• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitin

2.1.1 Kitin dan Sejarahnya

Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi yang pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang dinamakan fungi. Kemudian pada tahun 1823 Odiers mengisolasi suatu zat dari sari kutikula serangga jenis elytra dan mengusulkan nama kitin. (Rudall,1973)

Kitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi-β-(1→4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O. Struktur kitin menyerupai struktur selulosa dan hanya berbeda pada gugus yang terikat di posisi atom C-2. Gugus pada C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan pada C-2 kitin adalah gugus N-asetil (-NHOCH3, asetamida)

( Hirano,1986).

Gambar 2.1 struktur kitin

Sumber : ("http://id.wikipedia.org/wiki/Kitin", diakses 25 Mei 2010)

Struktur kitin hampir sama dengan selulosa hanya berbeda pada gugus yang terikat pada atom karbon nomor-2 dan hal ini menyebabkan sifat kimia kitin berbeda

(2)

dengan selulosa dimana secara umum kitin kurang reaktif dibandingkan selulosa, sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya terlebih dahulu dilakukan modifikasi kimia misalnya, deasetilasi, asilasi karboksimetilasi, sulfasi dan lain-lain.

(McNelly, 1959)

Kitin tersebar luas di alam dan merupakan senyawa organik kedua yang sangat melimpah di bumi. Kitin adalah bagian konstituen organik yang sangat penting pada kerangka hewan golongan Antropoda, Annelida, Molusca, Coelentrata, Nematoda, beberapa kelas serangga dan jamur. Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai acam pigmen. Sebagai contoh, kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3, dan 15-20% kitin, tetapi besarnya komponen tersebut masih bergantung pada jenis udangnya. (Altschul, 1976)

Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%) dan kitin (18,70-32,20%), hal ini tergantung pada jenis kepiting tempat hidupnya. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting tetapi kulit udang lebih mudah didapatkan dan tersedia dalam jumlah yang lebih banyak sebagai limbah. (Focher, 1992)

Sebagian besar kelompok Crustacea seperti, udang dan lobster, merupakan sumber utama kitin komersial. Di dunia, kitin yang di produksi secara komersial 120 ribu ton pertahun. Kitin yang berasal dari kepiting dan udang sebesar 39 ribu ton (32,5%) dan dari jamur 32 ribu ton (26,7%). (Knorr, 1991)

Dari semua polisakarida yang terdapat melimpah di alam, hanya kitin yang telah digunakan secara meluas dalam kuantitas yang besar. Kitin menempati urutan kedua terbanyak sebagai biopolimer alami yang diperoleh dari eksoskeleton

crustacean dan juga dinding sel dari fungi dan serangga. Setiap tahun, sekitar 5

hingga 1oo miliar ton kitin dihasilkan dari crustaceans, mollusca, serangga dan fungi. Kitin merupakan sumber daya biologis yang paling diskplitasi di bumi, meskipun setelah USDFA mengumumkan kitin sebagai zat adiktif makanan pada tahun 1983. (Warrand,J., 2006)

Kitin adalah polisakarida struktural yang digunakan untuk menyusun eksokleton dari artropoda (serangga, laba-laba, krustase, dan hewan-hewan lain sejenis). Kitin tergolong homopolisakarida linear yang tersusun atas residu N-asetilglukosamin pada rantai beta dan memiliki monomer berupa molekul glukosa dengan cabang yang mengandung nitrogen. Kitin murni mirip dengan kulit, namun

(3)

akan mengeras ketika dilapisi dengan garam kalsium karbonat. Kitin membentuk serat mirip selulosa yang tidak dapat dicerna oleh vertebrata.

Pada umumnya kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Keterikatannya untuk berbagai jenis hewan berbeda, meskipun keterikatannya berbeda tetapi struktur kitin yang dihasilkan umumnya sama. (Carroad, 1978) Kitin dapat dibuat dari kulit udang atau kulit kepiting atau bahkan dari kulit insekta.

Tabel 2.1 Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur (Knorr, 1984)

No Jenis Organisme Kandungan Kitin (%) 1 Crustaceae - Kepiting 72,1a - Lobster : - Nephops 69,8a - Homarus (60,8-77.0)a 2 Serangga - Kecoa 18,4a - Lebah (27-35)a - Ulat sutra 44,2a 3 Molusca - Kulit remis 6,1 - Kulit tiram 3,6 4 Jamur - Aspergillus niger 42,0b - Penicillium Chrysogenium 20,1b - Saccharomyceae Cereviciae 2,9b - Lactarius Vellereus (Mushroom) 19,0

Keterangan:

a = berat organik dari kutikula

b = berat kering dari dinding sel

2.1.2 Kitin sebagai Polisakarida Struktural

(4)

Kitin adalah komponen struktural utama dinding sel khamir dan cendawan berfilamen. Jumlah kitin pada khamir dan cendawan berfilamen cukup jauh berbeda. Kitin pada khamir Saccharomyces cerevisiae mencapai 1-2% dari bobot kering dinding sel, sedangkan proporsi pada cendawan berfilamen bervariasi antara 10-30% dari bobot kering dinding sel.

Kitin sintesa

Kitin sintesa adalah gabungan berbagai enzim yang digunakan oleh semua organisme penghasil kitin untuk membentuk polimer dari rantai beta 1-4 N-asetilglukosamin. Kemiripan enzim kitin sintesa ini pada berbagai organisme menunjukkan adanya kesamaan nenek moyang organisme eukariotik. Enzim kitin sintesa terdapat di dalam membrane sel dan persimpangan membran sehingga monomer N-asetilglukosamin dapat ditambahkan membentuk polimer sambil ditransportasikan melewati membran. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa kitin sintesa menghasilkan kitin pada berbagai lokasi sel dan untuk berbagai fungsi. Oleh karena itu, suatu organisme dapat memiliki beberapa jenis enzim kitin sintesa.

("http://id.wikipedia.org/wiki/Kitin", diakses 25 Mei 2010)

2.1.3 Sifat Fisik-Kimia pada Kitin

Kitin merupakan padatan yang berbentuk amorf, tidak larut dalan air, asam encer, alkali pekat maupun encer, alkohol dan pelarut-pelarut organik lainnya. Tetapi kitin dapat larut dalam HCL,H2SO4 pekat, dan H3PO4. Untuk melarutkan kitin tidak mudah, sehingga perlu disesuaikan konsentrasi pelarut yang sesuai untuk melarutkan kitin. (Anonim, 1976)

Kitin merupakan bahan yang tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih dengan kalor spesifik 0,373±0,03 kal/g/0C. (Knorr,1984). Dan derajat rotasi spesifik [α]D18

+220 pada konsentrasi asam metanasulfonat 1,0%. Kitin hampir tidak larut dalam air, asam encer dan basa, tetapi larut dalam asam format, asam metasulfonat, N,N-dimetilasetamida yang mengandung 5% litium klorida,

(5)

heksafluoroisopropil alkohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat dengan nisbah 35:65 (%[v/v]). (Hirano,1986).

Kitin juga larut dalam asam mineral pekat seperti H2SO4,HNO3, dan H3PO4 sekaligus menyebabkan rantai panjang kitin terdegradasi menjadi satu-satuan yang lebih kecil. (Bastaman, 1989).

Sifat fisika dan kimia kitin diatas telah dijadikan bagian dalam spesifikasi kitin niaga (Tabel 2.2).

Tabel 2.2 Spesifikasi Kitin Niaga (Anonim, 1987)

Parameter Ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

N-deasetilasi (%) ≥ 15,0

Kelarutan dalam:

- air Tidak larut

- asam encer Tidak larut

- pelarut organik Tidak larut - LiCL2/dimetilasetamida Sebagian larut

Enzim pemecah Lisozim dan kitinase

Kitin mempunyai reaktivitas kimia yang lebih rendah dibandingkan dengan selulosa dan kitosan sehingga dalam pemanfaatannya kitin biasanya terlebih dahulu dilakukan modifikasi kimia seperti deasetilasi, asilasi, karboksimetilasi, sulfasi dan lain-lain. Modifikasi yang sering dilakukan adalah deasetilasi yang dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses deasetilasi secara kimiawi digunakan dengan menggunakan basa misalnya NaOH, yang dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasitilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93%. (Tsigos et al ,2000)

Namun, proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot molekul yang beragam dan deasetilasinya juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam. Selain itu, proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen. Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Dimana deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai, sehingga menghasilkan kitosan yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya. (Tokuyasu et al., 1997)

(6)

Deasetilasi kitin secara enzimatik dapat diawali dengan pengamatan proses pengubahan kitin menjadi kitosan pada mikrob. Kitin deasetilasi memiliki aktivitas optimum pada suhu sekitar 500C pada pH yang beragam, bergantung pada mikroorganismenya. Umpamanya, kitin deasetilasi yang berasal dari M. rouxii optimum pada pH sekitar 4,5 (Kafetzopoulos, 1993), sedangkan yang berasal dari A.

nidulans optimum pada pH 7,0. (Alfonso et al, 1995). Enzim lain yang aktivitasnya

sama ialah lisozim yang terdapat dalam putih telur. (Kurita et al, 2000)

2.2 Kegunaan Kitin

2.2.1 Bidang Industri

Aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Di bidang industri, kitin, dan kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penyerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB(Poliklorinasi Bifenil). mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp dan produksi tekstil.

2.3.2 Bidang Pertanian

Sementara di bidang pertanian dan pangan, kitin dan kitosan digunakan antara lain untuk pencampur rasum pakan ternak, antimikrob, antijamur, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Fungsinya sebagai antimikrob dan antijamur juga diterapkan di bidang kedokteran. 2.3.2 Bidang Kedokteran

Kitin dan kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans dan

Staphylacoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai

antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut

(7)

luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinngi daya kekebalan dan antiinfeksi. (Rao, 1993).

2.4 Penentuan Derajat Deasetilasi

Derajat desetilasi dapat diukur dengan berbagai metode dan yang paling lazim digunakan adalah metode garis dasar spektroskopi IR transformasi Fourier (FTIR) yang pertama kali diajukan oleh Moore dan Robert pada tahun 1977. Teknik ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, contoh tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi dengan kisaran derajat deasetilasi contoh yang luas, dibandingkan dengan teknik tritimetri dan metode spektoskopi lainnya. Nilai yang digunakan untuk menghitung derajat deasetilasi sangat bergantung pada nisbah pita serapan yang digunakan untuk menghitungnya. Tiga nisbah yang diajukan ialah A1655/A2867, A1550/A2878, dan A1655/A3450. Dua nisbah pertama memberikan keakuratan pada % N asetilasi rendah, sedangkan A1655/A3450 lebih akurat pada % N deasetilasi tinggi. % DD kitin dan kitosan dapat dihitung sebagai berikut:

% 100 33 , 1 1 1 % 3450 1655 ×         × − = A A DD

Gambar

Gambar 2.1 struktur kitin
Tabel 2.1 Kandungan Kitin Pada Berbagai Jenis Hewan dan Jamur (Knorr,  1984)
Tabel 2.2 Spesifikasi Kitin Niaga (Anonim, 1987)

Referensi

Dokumen terkait

Kegunaan kitin lebih terbatas dibandingkan dengan kitosan maupun selulosa, akan tetapi kitin sangat berpotensi digunakan dalam pembuatan membran yang dibuat dengan cara

Kegunaan kitin lebih terbatas dibandingkan dengan kitosan maupun selulosa, akan tetapi kitin sangat berpotensi digunakan dalam pembuatan membran yang dibuat dengan cara

Hemiselulosa merupakan komponen penyusun dinding sel kayu yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan selulosa.. Hemiselulosa merupakan polimer-polimer dengan

Sulfoalkil Kitosan, yaitu reaksi antara kitin atau kitosan yang bersifat basa dengan 1,3 propana sulfonat akan menghasilkan ampholitik dimana gugus sulfopropil akan mesubstitusi

Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea, dan

Bahan yang dapat digunakan sebagai kitosan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu mempunyai kemampuan untuk mendukung pertumbuhan sel, mempunyai sifat mekanik

Tujuan perlakuan kimia dalam proses pemasakan pulp adalah untuk memperoleh serat-serat selulosa sebanyak mungkin dengan cara melarutkan atau menghilangkan semaksimal mungkin

Komponen kimia kayu dibedakan antara komponen-komponen makromolekul sebagai penyusun sel selulosa, poliosa (hemiselilosa), lignin dan komponen-komponen minor dengan