• Tidak ada hasil yang ditemukan

The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation ABSTRAK"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN DAN TEKANAN PENGGEMBALAAN TERHADAP KERAGAAN PASTURA Brachiaria

humidicola DAN PENAMBAHAN BOBOT BADAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN KELAPA

The effects of grazing system and stocking rate on performance of B.humidicola grazed pasture and daily gain of cattle in coconut plantation

ABSTRAK

Integasi padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan lahan secara berkelanjutan. Percobaan ini bertujuan mempelajari pengaruh stocking rate dan sistem penggembalaan terhadap produksi dan kualitas padang penggembalaan, keragaan padang penggembalaan, pertambahan berat badan ternak dan hasil buah kelapa. Percobaan ini dilakukan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) Manado sejak Juli 2009 sampai Oktober 2010. Perlakuan yang diuji adalah dua sistem penggembalaan ( penggembalaan kontinyu dan rotasi) serta tiga tingkat tekanan penggembalaan ( 0,77 UT ; 1,54 UT dan 2,31 UT ). Perlakuan diatur dalam pola petak terpisah yang didasarkan pada Rancangan Acak Kelompok (RAK). Sistem penggembalaan ditempatkan pada petak utama, tekanan penggembalaan sebagai anak petak. Hasil percobaan menunjukkan bahwa: (1) keragaan padang penggembalaan dan kandungan nutrient yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan tekanan penggembalaan tiga (SR3). (2) kandungan serat kasar,

ADF dan lignin tertinggi pada sistem penggembalaan kontinyu (SP1)dan

tekanan penggembalaan satu (SR 1). (3) naiknya tekanan penggembalaan pada

kedua sistem penggembalaan diikuti dengan penurunan penambahan bobot badan harian sapi per ekor. Tambahan bobot badan harian pada sistem penggembalaan rotasi nyata lebih tinggi dari pada sistem kontinyu. (4) Selanjutnya, hasil buah kelapa lebih tinggi pada lahan percobaan dibandingkan lahan di luar percobaan.

Kata kunci : kontinyu, rotasi, tanah, rumput, hewan, persistensi ABSTRACT

Integeted pasture and livestock in coconuts plantation based farming systems were expected to enhance the efficiency and the sustainability of land utilization. The aim of the experiment was to find out the effects of stocking rate and grazing systems on production and quality of forage, the performance of pasture, the everage of daily gain and the yield of coconuts. This experiment was conducted at Coconut and Others Palma Research Centre (BALITKA) Manado since July 2009 until October 2010.The treatments being evaluated were two grazing system ( continue and rotational ) and the level of stocking rate ( 0.77 AU , 1.54 AU and 2.31 AU ). The lay out of experiment was arranged in Split plot

(2)

based on Randomized Block Design (RBD). The results shows that : 1) the best pastures performance and nutrients content were found on the interaction of rotational grazing system (SP2) with the level of stocking rate of 2.31 AU

(SR3). 2) the highest crude fiber, ADF and lignin content were found on the

interaction of continue grazing system with stocking rate of 0.77 AU. (3) the higher of SR the lower of daily gain of both systems of grazing. Daily gain of SP2 was significantly higher than continue grazing system (SP1). (4) further

yield of coconuts was significantly higher on experimental field than out site. Key words: continue, rotational, soil, grass, animal, persistency.

Pendahuluan

Frekuensi defoliasi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa bahan kering hijauan di atas dan di bawah tanah, perkembangan perakaran, konsentrasi dan kandungan TNC, dan kematian akar (Flemmer et al., 2002). Pertumbuhan akar akan berhenti dalam 24 jam setelah pengambilan 50% atau lebih bagian pucuk, selanjutnya kematian dan dekomposisi akar akan terjadi 36 sampai 48 jam setelah tekanan penggembalaan berat (Mousel et al., 2005), sehingga terjadi pengurangan absorbsi unsur hara yang dapat mengancam terhadap pemulihan jaringan tempat terjadinya fotosintesis (Dawson et al., 2000). Namun demikian laporan terbaru menunjukkan naiknya frekuensi defoliasi tidak berpengaruh terhadap produksi dan dinamika akar, sebaliknya menaikan konsentrasi (%) dan kandungan TNC (g/tanaman) dalam crown dan akar (Gittins et al.,2010). Naiknya alokasi biomassa ke komponen akar rumput adalah respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut (Wang et al., 2003).

Intensitas penggembalaan mempengaruhi ketersediaan nutrisi untuk kebutuhan ternak, dan sebagai faktor utama penentu produksi ternak per ekor atau per hektar. Namun demikian keberlanjutan tanaman pastura mensuplai kebutuhan nutrisi untuk ternak tidak terlepas dari proses fisiologis dan morfologis tanaman untuk tetap hidup dan berproduksi. Hasil-hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hal ini sangat bergantung juga pada kondisi

(3)

lingkungan tanah risosfer tanaman rumput (Manske dan Caesar-Ton, 2002; Gorder et al., 2005).

Proses biogeokimia yang terjadi dalam lingkungan risosfer tersebut lebih banyak berbicara simbiose mutualistis antara tanaman rumput dan kehidupan mikroorganisme tanah yaitu terkait dengan aliran C dan asam amino dari tanaman ke lingkungan rizosfer, dan unsur N sebagi hasil dekomposisi bahan organik oleh mikroba tanah (Hamilton dan Frank, 2001). Simbiose ini terlihat lebih besar terjadi pada padang penggembalaan ketika direnggut atau digembalai pada fase pertumbuhan dan perkembangan vegetatif dibandingkan pada tanaman pangan. Hal ini terjadi karena tanaman pangan akan dipanen pada tahap reproduksi ketika menghasilkan buah, kendati pada tahapan ini suplai C dari tanaman ke lingkungan risosfer sangat menurun karena unsur tersebut lebih diprioritaskan untuk keperluan pembentukan biji atau kebutuhan reproduksi, dibandingkan pada fase vegetatif (Gorder et al., 2005). Selama masa pertumbuhan dan perkembangan vegetatif akumulasi unsur nitrogen pada bagian tajuk dan unsur karbon pada bagian akar berada dalam keadaan seimbang. Ketika bagian pucuk tanaman terdefoliasi atau terenggut akan terjadi kehilangan unsur nitrogen, yang akan menyebabkan ketidak seimbangan kedua unsur tersebut. Untuk menjaga keseimbangan, tanaman secara otomatis akan melepaskan karbon ke lingkungan rizosfer melalui eksudat akar (Kuzyakov 2002; Mousel et al. , 2003). Eksudat akar mengadung glukosa dan asam amino yang yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri (Gaystone et al., 2000).

Pada umumnya rerumputan pakan tropis selalu menghasilkan biomassa hijauan tinggi. Penggembalaan yang tidak teratur menyebabkan ketersediaan potensi produksi biomassa hijauan untuk ternak tidak efisien, bahkan banyak tanaman mati, yang dapat menghambat ternak untuk merumput (Sollenberger dan Burns, 2001). Penggembalaan yang tidak efisien ini mungkin disebabkan karena kebanyakan penelitian padang penggembalaan terfokus pada manajemen di atas permukaan tanah, dan menganggap faktor lain seperti lingkungan selalu berada dalam keadaan stabil (Da Silva, 2004). Untuk mengkonversi produksi potensial tersebut menjadi produksi riil dibutuhkan pemahaman yang benar

(4)

tentang aspek morfo-fisiologis dan ekologis tanaman (Carvalho et al., 2001). Intensitas defoliasi atau perenggutan yang optimum berbeda untuk setiap jenis rumput. Tinggi tanaman yang tersisa 30 cm setelah digembalakan menghasilkan komponen daun lebih banyak dan memberikan efisiensi penggembalaan 80%, lebih tinggi dibandingkan 68% pada tinggi tunggul 50 cm pada rumput P. Maximum (Carnevalli et al.,2006). Dilaporkan juga bahwa pada jenis rumput Brachiaria yang lebih sering digembalakan, efisiensinya lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurang digembalakan (CIAT, 2006).

Struktur padang penggembalaan sangat dipengaruhi oleh sistem penggembalaan yang diterapkan. Pada sistem penggembalaan kontinyu ternak diberi akses ke seluruh areal padang rumput sepanjang musim produksi, sedangkan pada sistem penggembalaan rotasi ternak berada pada satu pedok dalam waktu relatif singkat.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengaruh sistem penggembalaan terhadap produksi ternak tidak sebesar pengaruh tekanan penggembalaan yang diterapkan pada kedua sistem penggembalaan tersebut. Namun demikian sistem rotasi selalu menunjukkan hasil lebih baik, sebagaimana dilaporkan oleh Pereira et al (2009) bahwa pertambahan berat badan harian ternak sapi lebih tinggi dengan naiknya tekanan penggembalaan dengan sistem penggembalaan rotasi pada padang penggembalaan B. humidicola.

Pertambahan berat badan ternak sapi daging di padang penggembalaan dicapai terutama ditentukan oleh jumlah hijauan yang terkonsumsi. Karena itu sistem penggembalaan sapi daging yang efisien adalah bertujuan untuk maksimumkan jumlah hijauan yang terenggut oleh ternak. Hasil ini ditentukan oleh tinggi rendahnya kanopi padang penggembalaan sebagai akibat perbedaan tingkat tekanan penggembalaan (Carnevalli et al.,2006).

Perbedaan sistem penggembalaan dan tingkat tekanan penggembalaan akan dikaji dalam bab ini untuk melihat pengaruhnya pada keragaan padang penggembalaan, kualitas, komposisi botanis, karbohidrat non struktural, pertambahan berat badan sapi dan hasil buah kelapa.

(5)

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilaksanakan di lapang pada kebun percobaan BALITKA di Desa Paniki Bawah, Kabupaten Minahasa Utara, Propinsi Sulawesi Utara. Tipe tanah liat berpasir dengan kandungan unsur hara makro seperti pada Lampiran 3. Secara geografis terletak pada 010 30‟ LU, dan pada 1240 54‟ BT, dengan tinggi tempat 67 meter dari atas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2009 sampai Oktober 2010

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah bibit tanaman B. humidicola, lahan perkebunan kelapa varietas ”kelapa dalam” berumur 45 tahun, jarak tanam 9 x 9 m, sesuai lahan yang tersedia. Luas lahan keseluruhan termasuk lahan cattle yard seluas 6 Ha, tetapi untuk penggembalaan seluas 5,76 Ha. Ternak sapi jenis sapi lokalsebanyak 36 ekor dengan rataan berat badan awal 270 kg, tambang / tali pengikat sapi, alat tulis menulis, herbisida dengan bahan aktif Glifosat 480 g/l untuk rerumputan, dan herbisida dengan bahan aktif 2.4-D 686 g/l untuk gulma daun lebar, suntikan subcutan Ivomec (kontrol Endo dan Ecto parasit ternak sapi), dan bambu untuk pembuatan ” pedok ” dan sub ”pedok”. Alat yang digunakan adalah : traktor, garuk, cangkul dan parang, timbangan ternak digital kapasitas 1000 kg, termometer suhu udara maksimum minimum.

Metode Penelitian

Dalam percobaan ini perlakuan yang diuji adalah dua sistem penggembalaan (SP) terdiri atas penggembalaan kontinyu (SP1) dan

penggembalaan rotasi (SP2) berdasarkan akumulasi satuan bahang 456,54 DD ,

dan tekanan penggembalaan (SR) atau jumlah ternak terdiri atas 0,77 unit ternak (UT)/ha (SR1), 1,54 UT/ha (SR2), dan 2,31 UT /ha (SR3). Percobaan ini

menggunakan pola petak terpisah, dengan rancangan dasar acak kelompok (RAK). Sistem penggembalaan sebagai petak utama sedang tekanan

(6)

penggembalaan sebagai anak petak. Sesuai dengan perlakuan yang diuji, maka terdapat 6 kombinasi perlakuan yaitu sistem penggembalaan kontinyu dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT/ha (SP1SR1); sistem penggembalaan kontinyu

dengan tekanan penggembalaan 1,54 UT/ha (SP1SR2); sistem penggembalaan

kontinyu dengan tekanan penggembalaan 2,31 UT/ha (SP1SR3). Selanjutnya

sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 0,77 UT/ha (SP2SR1); sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan 1,54

UT/ha (SP2SR2); sistem penggembalaan rotasi dengan tekanan penggembalaan

2,31 UT/ha (SP2SR3) (Gambar 15).

Perlakuan ditempatkan pada 3 kelompok secara acak (sebagai ulangan), dengan demikian terdapat 9 unit percobaan (”pedok”) untuk sistem penggembalaan kontinyu dan 9 unit percobaan (”pedok”) untuk sistem penggembalaan rotasi. Untuk perlakuan penggembalaan rotasi, setiap ”pedok” dibagi menjadi 4 sub ”pedok” dengan luas masing masing sub”pedok” 800 m2

(0,32 ha) sesuai dengan kebutuhan luas lahan terkecil untuk rotasi mengikuti Rumus Voicin sebagai berikut :

(y – 1 ) s = r s = stay (lama merumput) (y – 1 ) 10 = 30 r = rest (lama istirahat) 10y = 30 + 10

y = 40/10 = 4 Pelaksanaan Penelitian

Sesuai dengan rancangan yang digunakan terdapat 18 unit percobaan (”pedok”) untuk kedua perlakuan yang diuji, luas keseluruhan lahan untuk penggembalaan adalah 5,76 ha. Sebelum penanaman, tanah diolah / dibajak sampai siap tanam dan bebas gulma (Gambar 14 A). Bibit yang ditanam berupa anakan rumput B. humidicola cv Tully asal Australia yang diintroduksi ke Manado sejak tahun 1989.

Bibit rumput ditanam dengan jarak tanam dalam baris 30 cm, dan jarak antar baris 1,0 m (Gambar 14 B). Setelah berumur 90 hari (Gambar 14 C) dilakukan pemotongan seragam untuk dapatkan umur pertumbuhan kembali

(7)

yang homogen (Gambar 14 D). Perlakuan sistem penggembalaan rotasi maupun kontinyu dimulai setelah kebutuhan satuan bahang sebesar 456,54 DD terpenuhi pada umur pertumbuhan kembali. Sedangkan perlakuan SR diterapkan bersamaan dengan perlakuan sistem penggebalaan tersebut. Prosedur pengukuran akumulasi satuan bahang dilakukan seperti pada percobaan I dan II, selama penggembalaan ternak.

Pada perlakuan sistem penggembalaan kontinyu ternak mulai digembalakan pada saat kebutuhan DD tercapai setelah pertumbuhan kembali. Pada perlakuan ini ternak tetap terus menerus berada dalam pedok sampai selesai periode peggembalaan. Air minum tersedia ad libitum di tiap pedok, demikian juga dengan garam dapur NaCl yang dapat diakses ternak secara bebas.

Penimbangan ternak dilakukan dalam cattle yard yang dilengkapi dengan timbangan digital kapasitas 1000 kg. Ternak ditimbang sebelum masuk perlakuan dan pada akhir masa penelitian. Kontrol parasit dilakukan penyuntikan sub-cutan dengan IVOMEC, dua minggu sebelum ternak dimasukan ke dalam pedok. Untuk memudahkan penanganan, ternak percobaan ditusuk hidung dan diikat dengan tali kekang dan diberi tanda sesuai perlakuan. Untuk penggembalaan rotasi, pemotongan seragam dimulai pada ”sub pedok” 1 untuk semua ulangan. Setelah akumulasi satuan bahang 456,54 DD tercapai pada sub-pedok 1, penggembalaan dimulai dengan memasukkan ternak sapi sesuai perlakuan tekanan penggembalaan ( SR1, SR2, SR3). Demikian

seterusnya sampai pada ”subpedok” yang lain. Dalam penelitian ini satuan bahang 456,54 DD dicapai bervariasi antara 24 dan 26 hari. Percobaan penggembalaan ini dilaksanakan sebanyak 5 periode.

(8)

Variabel yang diukur

Tanaman Induk, setelah padang penggembalaan siap digembalai ditetapkan sampel tanaman induk sebanyak 30 tanaman (diberi tanda dengan kawat berwarna) per bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm, sebanyak 10 buah yang ditempatkan secara permanen. Penempatan bujur sangkar tersebut sama dengan pada pengukuran komposisi botanis. Pada akhir penggembalaan, tanaman dalam bujur sangkar tersebut dipotong rata dengan tanah dan dihitung jumlah tanaman induk yang masih hidup (Busque dan Herero, 2001).

Jumlah Anakan (ground tiller) dengan menghitung secara manual banyaknya anakan yang muncul dari tanah dalam bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm pada padang penggembalaan di akhir percobaan.

Jumlah Anakan (aerial tiller) adalah anakan yang muncul bukan dari tanah tetapi sebagai anakan yang merupakan cabang yang tumbuh pada batang tajuk yang tidak terenggut oleh ternak. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan bujur sangkar seluas 50 cm x 50 cm setelah padang rumput digembalai.

Bobot Akar dan Crown diukur bersamaan, yaitu dengan menimbang bobot akar dan bobot crown kering yang diperoleh dengan menggunakan bujur sangkar seluas 10 cm x10 cm dengan kedalaman 20 cm pada padang penggembalaan setelah digembalai. Komponen akar dan crown dicuci dengan air, kemudian dipisahkan, dikeringkan dan ditimbang.

Komposisi Botanis, pengukuran ini menggunakan systimatic random sampling atau pengambilan sampel secara acak tetapi dalam sistem terkontrol menurut petunjuk Whalley dan Hardy (2000). Titik sampel pertama ditentukan secara acak, dan kemudian lokasi selanjutnya ditentukan secara teratur mengikuti letak 5 buah simpul pada seutas tali, dengan jarak masing-masing simpul 5 (lima) meter. Tali tersebut memotong diagonal pada tiap pedok. Untuk pengambilan sampel digunakan bujur sangkar seluas 0,5 x 1,0 meter sebanyak 5 bujur sangkar, kemudian ditimbang segar (‟t Mannetje, 2000). Selanjutnya sampel dipisahkan

(9)

secara manual antara komponen B. humidicola dan rumput lain termasuk legume merambat dan gulma untuk dapatkan komposisi botanis.

Kandungan Nutrien, khusus komponen rumput B. humidicola dalam pengukuran komposisi botanis digabung kembali dan dicampur merata, diambil sub-sampel sebanyak 1 kg, dimasukan dalam kantong kertas dan diberi label. Selanjutnya sampel dikeringkan matahari dan dilanjutkan dalam oven 700 C selama 24 jam, untuk keperluan analisis proksimat. Kandungan nutrien yang dianalisis terbatas pada kandungan protein kasar (PK), serat kasar (SK), neutral detergent fiber (NDF), acid detergent fiber (ADF) dan lignin.

Karbohidrat Mudah Larut, yang dianalisis adalah kandungan glukosa dan sukrosa pada komponen akar + crown. Bahan untuk analisis berupa akar + crown diperoleh dari bahan yang sama pada pengukuran bobot akar dan crown. Analisis dilakukan di Laboratorium Makanan Ternak, Balai Penilitian Ternak, Ciawi.

Lingkungan Rizosfer, populasi mikroorganisme dominan (dalam hal ini bakteri dan kapang). Metoda pengambilan sampel tanah untuk analisis mikroba tanah, sama dengan pengukuran karbohidrat, tetapi lokasinya berbeda dan berjarak satu meter dari lokasi pengambilan sampel karbohidrat. Sampel tanah segera dimasukkan ke dalam kantong plastik, dan disimpan dalam refrigerator 50C. Sebelum dianalisis laboratorium sampel tanah masing-masing perlakuan dianalisis secara komposit (Gao et al., 2007). Mikroorganisme dominan yang dianalisis adalah kapang mikoriza (VAM) dengan menggunakan metode pengadukan dan penyaringan bertingkat, kemudian dihitung spora yang ada. Sedangkan azotobakter dianalisis dengan metoda Pleting dengan menggunakan media azotobakter. Analisis kedua mikro organisme tersebut dilakukan pada laboratorium biologi dan kesehatan tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor.

Penambahan Berat Badan, untuk dapatkan pertambahan berat badan ternak dilakukan dengan mengukur selisih antara berat badan ternak sebelum dan sesudah penelitian.

(10)

Hasil Buah Kelapa, tingkat produktivitas yang diukur adalah jumlah buah kelapa yang dihasilkan pada pohon kelapa di dalam areal percobaan dan di luar areal percobaan pada waktu panen yang sama.

Gambar 14. A. Penyiapan Lahan B. Penanaman Rumput

C. Pemotongan Seragam setelah 90 hari tumbuh D. Pertumbuhan kembali padang penggembalaan siap masuk sapi

C D

(11)

A

B

C

Gambar 15. Perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan 2,31 UT (A), 1,54 UT (B) dan 0,77 UT (C)

(12)

Hasil dan Pembahasan

Tujuan percobaan ini untuk mempelajari bagaimana persistensi rumput B. humidicola setelah digembalai. Untuk itu beberapa variabel keragaan padang penggembalaan telah diukur yang dapat menjadi indikator persistensi setelah penggembalaan yaitu jumlah tanaman induk, jumlah anakan (gound tiller), jumlah anakan (aerial tiller), bobot akar dan bobot crown (Tabel 8).

Tabel 8. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap keragaan padang penggembalaan B. humidicola.

Parameter Sistem

Penggembalaan

Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Tanaman induk /

50 cm2

Kontinyu 6,22b 6,44b 9,22b

Rotasi 2,66c 7,00b 12,22a

Jumlah Gound tiller / 50 cm2

Kontinyu 13,22b 18,78b 26,55a Rotasi 3,67c 14,00b 27,89a Jumlah Aerial tiller/

50 cm2 Kontinyu 16,55a 9,78b 7,33b Rotasi 12,77a 5,44b 3,11c Bobot akar (g/10 cm2) Kontinyu 4,35c 5,48b 6,06b Rotasi 4,07c 5,80b 11,09a Bobot crown (g/10cm2) Kontinyu 5,11c 6,99b 9,78b Rotasi 3,48c 9,01b 14,34a

Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05

Tanaman Induk.

Analisis statistik menunjukkan adanya pengaruh yang nyata interaksi SP dan SR. Jumlah tanaman induk tertinggi diperoleh pada interaksi SP2 SR3

(12,22 tanaman) (Gambar 16), berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Sedangkan jumlah tanaman induk paling rendah

(13)

diperoleh pada interaksi SP2 SR1 sebanyak 2,66 dan berbeda nyata lebih

rendah dari interaksi lainnya.

Gambar 16. Jumlah tanaman induk setelah digembalai. Anakan/ Ground Tiller.

Jumlah anakan (ground tiller) tertinggi pada interaksi SP2 SR3 (27, 89)

dan SP1 SR3 (26, 55) dimana keduanya berbeda nyata lebih tinggi dari interaksi

lainya, tetapi keduanya tidak berbeda nyata. Sedangkan jumlah anakan yang paling rendah diperoleh pada interaksi SP2 SR1 (3,67) dan nyata lebih rendah dari

interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan pada interaksi perlakuan SP2 SR3

tersebut mungkin disebabkan karena sebagian besar biomassa hijauan terenggut oleh ternak, sehingga makin kurang jumlah mulsa dan tanaman kering (Schuman et al., 1999). Kondisi ini memungkinkan penetrasi cahaya yang cukup dan meningkatkan kecepatan pertukaran CO2 melalui proses fotosintesis. Lebih

lanjut terjadi peningkatan suhu permukaan tanah yang merangsang pertumbuhan pucuk baru dari crown (McMaster et al,. 2003).

Hasil penelitian Zhang et al. (2011) menunjukkan bahwa penggembalaan berdampak positif terhadap perkecambahan, dimana pada ”pedok” yang digembalai perkecambahan meningkat 77% , sedangkan yang didefoliasi secara

(14)

mekanik (mowing) peningkatan tersebut hanya 59%. Peningkatan jumlah kecambah yang tumbuh tersebut berkorelasi positif dengan temperatur tanah. Radiasi cahaya matahari berpengaruh terutama terhadap temperatur tanah, namun temperatur tanah bervariasi secara periodik sepanjang waktu, dan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif.

Anakan/ Aeriel Tiller.

Jumlah anakan (aerial tiller) tertinggi pada interaksi SP1 SR1 (16,55) dan

SP2 SR1 (12,77). Keduanya tidak berbeda nyata, tetapi nyata dibandingkan

dengan interaksi lainnya. Tingginya jumlah anakan tersebut disebabkan karena pada tekanan penggembalaan 1 ekor ternak/ha untuk kedua sistem penggembalaan masih banyak tanaman rumput yang tidak terenggut oleh ternak. Hal ini memungkinkan tanaman menghasilkan tunas-tunas baru pada tanaman bagian atas sebagai aerial tiller. Selanjutnya jumlah aerial tiller terendah dihasilkan oleh interaksi SP2 SR3 sebanyak 1,11 anakan. Hal ini disebabkan sebagian besar pucuk

tanaman terenggut oleh ternak sehingga kurang menghasilkan aerial tiller (Busque dan Herrero, 2001).

Bobot Akar dan Crown.

Akar sebagai representasi sumber cadangan energi pada bagian tanaman di bawah tanah, dan dengan biomassa yang besar dapat memberikan kontribusi unsur C dan N lebih banyak ke dalam tanah .

(15)

Bobot akar tertinggi 11,09 g dan bobot crown sebanyak 14,34 g dihasilkan pada perlakuan SP2 SR3 (Gambar 17 ), dan nyata lebih tinggi

dibandingkan dengan interaksi lainnya. Bila frekuensi defoliasi meningkat pada jenis rerumputan perenial akan terjadi penurunan bobot akar (Flemmer et al., 2002). Namun tingginya bobot akar dan crown yang diperoleh pada penelitian ini merupakan respons adaptasi tanaman terhadap perenggutan, yang pada gilirannya akan mendukung terjadinya restorasi tanaman setelah direnggut. Hal ini penting mengingat fungsi akar sebagai sink untuk C dan N di padang rumput. Gao et al (2007) melaporkan bahwa penggembalaan berat 2,9 yaks/ha menghasilkan rasio akar/pucuk lebih tinggi dari pada penggembalaan ringan 1,2 yaks/ha dan medium 2,0 yaks/ha. Bobot akar tertinggi yang diperoleh pada perlakuan SP2SR3

sebanyak 11,09 g.

Gambar 18. Perakaran pada sistem penggembalaan rotasi dan kontinyu. Dari gambar 18 terlihat jelas bahwa pada sistem penggembalaan rotasi terjadi pertumbuhan akar yang lebih panjang, dan adanya akar-akar baru yang lebih segar, dibandingkan dengan pada sistem penggembalaan kontinyu. Hal ini terjadi kerena pada sistem penggembalaan rotasi tanaman mendapat kesempatan untuk bertumbuh kembali optimal. Dalam perkembangan tanaman, naiknya

(16)

proporsi pucuk selalu diimbangi dengan perkembangan akar yang lebih aktif. Sejalan dengan penelitian terbaru oleh Gittins et al. (2010) yang menunjukkan bahwa tekanan penggembalaan yang berat tidak berpengaruh negatif terhadap kecepatan tumbuh akar, biomasa akar dan crown, dan tingkat hidup akar pada rumput Poa ligularis. Penulis tersebut mengatakan bahwa hal ini sebagai petunjuk karakteristik morfologis rerumputan yang tergolong persisten sebagai penyusun padang penggembalaan. Kemungkinan lain dari hasil penelitian ini adalah bahwa rumput B .humidicola semasa pertumbuhan vegetatif tidak hanya menyimpan cadangan energi di akar dan crown, tetapi juga alokasi asimilat terjadi secara horinsontal ke stolon. Dengan demikian ketika terjadi perenggutan, untuk bertumbuh kembali tanaman rumput tidak tergantung sepenuhnya terhadap cadangan energi yang berasal dari akar dan crown saja melainkan juga dari stolon (Baruch dan Guenni, 2007).

Salah satu syarat integrasi tanaman padang penggembalaan pada perkebunan kelapa adalah tidak akan terjadi kompetisi pada tingkat akar terhadap air dan unsur hara. Secara umum dilaporkan bahwa kedalaman perakaran kelapa berada antara 30-120 cm pada lapisan tanah dalam radius 2 meter sekitar pohon kelapa (Kushwah et al., 1973). Konsentrasi karbon organik tanah dipengaruhi oleh tekanan penggembalaan ternak, dimana dilaporkan bahwa pada tekanan penggembalaan berat ditemukan konsentrasi karbon organik lebih tinggi pada kedalaman 10 cm, dibandingkan dengan tekanan penggembalaan sedang dan tekanan penggembalaan ringan (Gao et al., 2007). Akan tetapi perlakuan ini tidak memberi pengaruh nyata pada kedalaman 10-20 cm demikian juga 20-30 cm. Data ini menunjukan tidak terjadi ancaman kompetisi air dan unsur hara dengan tanaman kelapa dalam penelitian ini.

Data keragaan padang penggembalaan menunjukkan bahwa dari semua keragaan yang diukur yang terbaik dihasilkan pada interaksi antara sistem pengembalaan rotasi (SP2) dan tekanan penggembalaan tinggi (SR3). Dengan

tingginya jumlah tanaman induk yang terukur pada akhir percobaan, ternyata sejalan juga dengan banyaknya jumlah gound tiller , bobot akar dan bobot crown yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena pada penggembalaan rotasi tanaman

(17)

memperoleh kesempatan yang cukup untuk pemulihan proses fisiologis setelah mengalami defoliasi atau perenggutan.

Tanaman yang terdefoliasi menunjukkan kecepatan tumbuh kembali lebih cepat dari tanaman tanpa defoliasi, sebagai satu tindakan konpensasi untuk pemulihan bagian jaringan tanaman yang hilang. Gittins et al. (2010) membuktikan bahwa kecepatan menghasilkan biomassa pada tanaman yang terdefoliasi tidak lebih rendah dari pada tanaman kontrol. Selain itu juga pada tekanan penggembalaan tinggi (SR3) sebagian besar pucuk tanaman rumput

terenggut oleh ternak sehingga penetrasi cahaya lebih banyak mencapai permukaan tanah sekaligus menaikkan suhu permukaan tanah yang merangsang pertumbuhan tunas baru (McMaster et al., 2003). Sebaliknya pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP2) dengan tekanan penggembalaan rendah (SR1)

menghasilkan tanaman induk dan anakan terendah. Demikian juga perlakuan SR1

pada kedua sistem penggembalaan menghasilkan ground tiller, bobot akar dan bobot crown terendah. Hal ini terjadi karena pada tekanan penggembalaan rendah (SR1) sebagian besar biomassa hijauan tidak terenggut oleh ternak, sehingga

tanaman akan bertumbuh saling menutupi, dan biomassa akan terakumulasi sebagai tanaman mati dan mulsa.

Tanaman pada keadaan ternaungi atau keterbatasan cahaya akan melakukan tindakan toleransi melalui penyesuaian morfo-fisiologis seperti meningkatkan luas area daun spesifik dan pemanjangan daun untuk mempertahankan produksi (Guenni et al., 2008). Terdapat mekanisme toleransi yang lain yaitu melakukan modifikasi pola alokasi biomassa ke bagian tanaman di atas tanah untuk memaksimalkan penangkapan sinar matahari , tetapi sebaliknya mengurangi perkembangan akar. Pengurangan massa akar yang substansial dapat menyebabkan padang penggambalaan terancam pada kondisi cekaman lingkungan seperti kekurangan air di musim kemarau, kendati pada keadaan tersebut seharusnya sistem perakaran menunjang kondisi tanaman (Guenni et al., 2008 ; Puciullo et al., 2010).

Tekanan penggembalaan berpengaruh juga terhadap akumulasi biomassa hijauan. Hasil penelitian Vendramini et al. (2007) menunjukkan bahwa tekanan

(18)

penggembalaan rendah sebesar 11,1 AU/ha dan tekanan penggembalaan tinggi dengan 13,7 AU/ha menghasilkan akumulasi biomassa hijauan sebanyak berturut-turut 45 dan 121 kg BK/ha/hari pada tahun 2003, dan meningkat menjadi 56 dan 133 kg BK/ha/hari pada tahun 2004. Tingkat tekanan penggembalaan berpengaruh juga terhadap hasil biomassa tanaman di bawah permukaan tanah. Hasil biomassa terendah diperoleh pada tekanan penggembalaan ringan, sebaliknya pada tekanan penggembalaan sedang dan berat tertentu terjadi perangsangan terhadap perkembangan akar sebagai tindakan adaptasi tanaman terhadap penggembalaan. Hal ini terjadi karena intensitas penggembalaan pada tingkat tertentu merangsang pertumbuhan kembali tanaman dan pertumbuhan anakan baru. Dengan naiknya populasi anakan baru, memungkinkan proses fotosintesis berjalan optimal untuk menghasilkan fotosintat. Hasil ini dapat terukur pada penyimpanan C yang tinggi pada tanaman dan dalam tanah, sekaligus menjamin fungsi akar yang penting sebagi sink untuk N dan C di padang penggembalaan (Gao et al., 2007)

Komposisi Botanis Padang Penggembalaan.

Salah satu evaluasi produktivitas dan nilai kegunaan padang penggembalaan serta persistensinya adalah dengan menggunakan indikator komposisi botanis. Pengukuran ini penting karena degradasi padang penggembalaan sering terjadi oleh adanya faktor lingkungan seperti perubahan cuaca, lebih spesifik lagi pengaruh langsung dari ternak ruminan secara mekanis seperti renggutan dan injakan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya interaksi antara perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap komposisi botanis sebagaimana tertera pada Tabel 9.

(19)

Tabel 9. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap komposisi botanis padang penggembalaan (%)

Parameter Sistem

Penggembalaan

Tekanan Penggembalaan (SR) (jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT B. humidicola Kontinyu 79,21b 70,38b 63,41c Rotasi 78,89b 83,46b 90,42a Legume Kontinyu 3,72b 10,45a 14,49a Rotasi 0,78c 0,95c 1,33c Gulma Kontinyu 2,32c 4,94b 10,62a Rotasi 0,33d 1,77c 2,97c Tanaman mati Kontinyu 21,20a 15,69b 14,04b Rotasi 19,61a 12,40b 4,61c

Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05

Komponen rumput B. humidicola pada interaksi SP2 SR3 sebanyak

90,42% nyata lebih tinggi dari interaksi lainnya, sedangkan yang terendah pada interaksi SP1 SR3 sebesar 63,41% (Tabel 9 ). Tingginya prosentase B. humidicola

pada interaksi ini sejalan dengan tersedianya tanaman induk, anakan, bobot akar dan bobot crown setelah digembalai seperti terlihat pada Tabel 8 sebelumnya.

Pada sistem penggembalaan kontinyu komponen legume meningkat mengikuti naiknya tingkat tekanan penggembalaan. Komponen legume tertinggi pada interaksi SP1 SR2 sebanyak 10,45% dan interaksi SP1 SR3 sebanyak 14,49%.

Keduanya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya, terutama dengan semua tingkat tekanan penggembalaan yang berinteraksi dengan sistem penggembalaan rotasi. Prosentase legume terendah tersebut berturut-turut SP2SR1 sebanyak 0,78%, SP2SR2 sebanyak 0,95% dan SP1SR3 sebanyak 2,97%.

Naiknya prosentase komponen legume rambat pada sistem penggembalaan kontinyu (SP1), berbanding terbalik dengan turunnya prosentase B. humidicola

pada perlakuan yang sama. Hal ini disebabkan karena dengan naiknya tingkat tekanan penggembalaan berarti semakin banyak komponen hijauan B.humidicola

(20)

yang terkonsumsi. Pada sistem penggembalaan kontinyu tanaman rumput tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk pulih kembali setelah digembalai. Karena hal ini terjadi berulang kali dan berlanjut, maka tanaman lain mendapat kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang menguasai lahan.

Komponen gulma tertinggi diperoleh pada interaksi antara sistem penggembalaan kontinyu SP1SR3 sebanyak 10,62%. Proporsi gulma pada

interaksi perlakuan tersebut nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua tingkat tekanan penggembalaan yang berinteraksi dengan sistem penggembalaan rotasi, yaitu SP2SR1 sebesar 0,33%, SP2SR2 sebesar 1,77% dan SP2SR3 sebesar

2,97%.

Selain legume rambat dan gulma, komponen tanaman mati menentukan juga komposisi botanis. Tabel 9 menunjukkan bahwa komponen tanaman mati paling rendah ditemukan pada perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP2SR3

sebanyak 4,61% dan nyata lebih rendah dari interaksi perlakuan lainnya. Sedangkan komponen tanaman mati tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan kontinyu SP1SR1 sebesar 21,20% dan SP2SR1 sebanyak 19,61%.

Tingginya komponen rumput B. humidicola dan rendahnya komponen lain pada interaksi perlakuan SP2SR3 menunjukkan bahwa perlakuan tersebut

sangat menunjang persistensi rumput B. humidicola sebagai padang penggembalaan. Selanjutnya, dengan prosentase komponen rumput B. humidicola yang tinggi menunjukkan bahwa interaksi perlakuan tersebut memberikan juga nett primary production (NPP) yang tinggi dalam integrasi padang penggembalaan dengan perkebunan kelapa.

Untuk mengkaji persistensi rumput B. humidicola dalam penelitian ini maka beberapa faktor yang terkait menunjang persistensi diuraikan sebagai berikut. Pertama, keragaan padang penggembalaan sebagai indikator persistensi tanaman menunjukkan bahwa jumlah tanaman induk, jumlah anakan/gound tiller, bobot akar dan crown yang tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SR2) dengan tekanan penggembalaan tinggi (SR3) atau pada interaksi perlakuan

SP2SR3. Kedua, kandungan nutrien rumput B. humidicola menunjukkan bahwa

kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SP2) dengan tekanan penggembalaan tinggi (SR3). Sebaliknya kandungan serat

(21)

kasar, ADF dan Lignin terendah diperoleh pada perlakuan yang sama atau pada interaksi SP2SR3. Ketiga, komponen B. humidicola tertinggi dalam komposisi

botanis diperoleh pada sistem penggembalaan rotasi (SR2) dan tekanan

penggembalaantinggi (SR3) atau interaksi SP2SR3, sedangkan komponen tanaman

lainnya sangat terendah. Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin produktivitas dan persistensi rumput B. humidicola perlu diterapkan sistem penggembalaan rotasi dengan tingkat tekanan penggembalaan 3 ekor/ha, sedangkan waktu penggembalaan didasarkan pada akumulasi satuan bahang 456,54 DD.

Kandungan Nutrien

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa interaksi perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan nutrisi (Tabel 10).

Tabel 10. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalan terhadap kualitas pastura (kandungan protein kasar, serat kasar, neutral detergentfiber, acid detergen fiber dan lignin %).

Perlakuan Protein kasar Serat kasar Neutral detergent fiber Acid detergent fiber Lignin Sistem Penggembalaan Kontinyu 6,27b 33,20a 66,22b 37,77a 3,79a Rotasi 8,09a 32,12b 67,54a 35,98b 3,46b Tekanan Penggembalaan 0,77 UT 2,95c 33,93a 66,13b 37,78a 3,77a 1,54 UT 6,99b 32,42b 66,63b 37,30a 3,56b 2,31 UT 8,07a 31,63c 67,84a 35,55b 3,55b

Keterangan : angka pada kolom yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05

Tabel 10 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar tertinggi dihasilkan oleh sistem penggembalaan rotasi (SP2) sebesar 8,09% dan nyata lebih

tinggi dibandingkan pada sistem penggembalaan kontinyu (SP1) 6,27%. Tekanan

penggembalaan juga berpengaruh terhadap kandungan protein kasar, dimana yang tertinggi diperoleh pada SR3 sebesar 8,07% dan nyata lebih tinggi

(22)

dibandingkan dengan SR1 (2,95%) dan SR2 (6,99%). Kandungan PK pada sistem

penggembalaan rotasi (SR2) dan pada tekanan penggembalaan tinggi (SR3) tidak

berbeda nyata. Tingginya PK (8,09%) pada SP2 sejalan dengan hasil keragaan

padang penggembalaan (Tabel 7) dimana pada sistem penggembalaan rotasi jumlah tanaman induk dan ground tiller lebih tinggi terutama yang berinteraksi dengan SR3.

Keragaan padang penggembalaan yang baik tersebut bersinergi untuk mempercepat proses pemulihan tanaman rumput, yang pada gilirannya meningkatkan kecepatan fotosintesis dan menghasilkan tanaman hijauan pakan yang berkualitas (Pereira et al., 2009). Keragaan dan kualitas yang baik ini sangat diharapkan karena akan menentukan persistensi padang penggembalaan dan penambahan bobot badan ternak sapi (Gorder et al., 2005).

Ditinjau dari aspek nutrisi dan makanan ternak, kandungan PK dalam penelitian ini hampir mencukupi kebutuhan sapi perah laktasi yang membutuhkan kandungan PK dalam rumput pakan sebanyak 9,2%. Akan tetapi jumlah tersebut melebihi kebutuhan PK sapi daging 5,9%, dan rataan kebutuhan PK ternak ruminan secara umum 8% (NRC, 1996). Untuk mempertahankan aktifitas mikro organisme reticulo-rumen pada ternak ruminan dibutuhkan sebanyak 6% PK dalam hijauan.

Kandungan SK dalam penelitian ini berbanding terbalik dengan kandungan PK, dimana semakin tinggi kandungan PK diikuti dengan semakin rendah kandungan SK. Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Donkor et al (2003). Kandungan SK, ADF dan Lignin pada sistem penggembalaan kotinyu (SP1) masing-masing 33,20% ; 37,77% dan 3,79% nyata lebih tinggi dari pada

sistem penggembalaan rotasi (SP2), sedangkan kandungan NDF adalah

sebaliknya. Selanjutnya naiknya SR dalam penelitian ini diikuti dengan turunnya kandungan SK, ADF dan Lignin, tetapi kandungan NDF meningkat. Hasil ini menunjukkan bahwa naiknya SR memperbaiki kualitas nutrisi yang akan tergambar dengan naiknya nilai kecernaan hijauan. Stewart et al. (2007) menemukan bahwa tekanan penggembalaan tinggi memberikan hasil produksi hijauan lebih baik dibandingkan tekanan penggembalaan rendah, sebanyak 41

(23)

kg/ha/hari vs 17 kg/ha/hr. Untuk PK 140 g/kg vs 99 g/kg, in vitro digestible organic matter (IVDOM) 505 g/kg vs 459 g/kg dari pastura bahiagrass (paspalum notatum). Dari hasil penelitian Dubeux et al (2006) selama tiga tahun menunjukan bahwa kandungan N tertinggi diperoleh pada SR tinggi (4,2 AU/ha) yaitu sebesar 20-35,5 g/kg, dan pada SR rendah (1,4 AU/ha) hanya diperoleh sebanyak 14-15,7 g/kg BK.

Mikroba Tanah.

Mikroorganisme tanah pada lingkungan perakaran rumput berperan dalam proses dekomposisi bahan organik tanah. Dalam percobaan ini mikroba tanah yang diukur dikhususkan pada bakteri azotobakter dan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 9.

Tabel 11. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap konsentrasi mikoriza dan azotobakter.

Parameter Sistem

Penggembalaan

Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Mikroza (Spora/200 g tanah) Kontinyu 2,30d 2,60c 2,30d Rotasi 3,33c 5,00b 7,30a Azotobakter Kontinyu 4,23c 4,32c 4,58b Rotasi 5,80b 6,69a 6,98a

Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah spora mikoriza tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP2SR3 sebanyak 7,30 spora / 200 g tanah, dan nyata

lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya. Jumlah spora terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP1SR1 dan interaksi perlakuan SP1SR3 dengan jumlah

spora yang sama 2,30 spora/200 g tanah. Kandungan spora tertinggi dipengaruhi dengan nyata oleh sistem penggembalaan rotasi (SP2) dengan SR tertinggi (SR3).

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sistem penggembalaan rotasi meningkatkan populasi spora ectomycorhyzal basidomycetes, yakni fungi yang

(24)

menstabilkan tanah dengan membentuk water-stable agregat tanah di sekitar perakaran rumput, menjadi lebih tinggi dibandingkan pada penggembalaan kontinyu (Caesar Ton That et al., 2001b).

Koloni bakteri azotobakter tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP2SR2 sebanyak 6,69 CFU/g tanah dan interaksi perlakuan SP2SR3 sebanyak

6,98 CFU/g tanah. Keduanya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan interaksi lainnya. Naiknya tekanan penggembalaan meningkatkan populasi bakteri (Girma et al., 2007) dan memberikan umpan balik positif terhadap pool N anorganik tanah sebanyak 1,2 kali dan kandungan N daun sebanyak 1,5 kali (Hamilton et al., 2008). Umpan balik positif tersebut terjadi karena dengan naiknya populasi mikroorganisme tanah akan membantu mempercepat proses mineralisasi bahan organik tanah dan menghasilkan unsur hara dalam bentuk tersedia, yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman dan oleh mikroba tanah itu sendiri. Sebab itu dikatakan bahwa penggembalaan ternak dapat meningkatkan karbon mikroba, karbon tanah rizosfer, karbon terlarut dalam tanah, NH4+ dan NO3- lebih tinggi

dibandingkan dengan tanpa penggembalaan.

Sistem penggembalaan sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial di bawah tanah. Bila terjadi tekanan penggembalaan berat (over grazed) pada sistem penggembalaan kontinyu, akan mengakibatkan penurunan kemampuan mikroba tanah dalam merombak karbohidrat kompleks, termasuk juga potensi mineralisasi nitrogen (Lawrence and Vadakattu, 2007).

Karbohidrat Mudah Larut

Defoliasi atau perenggutan hijauan pakan oleh ternak herbivora senantiasa terkait dengan pelepasan karbon dan asam amino melalui eksudat akar. Hasil penelitian pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan terhadap konsentrasi glukosa dan sukrosa pada komponen akar dan crown disajikan pada Tabel 12.

(25)

Tabel 12. Pengaruh interaksi perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaanterhadap kandungan karbohidrat mudah larut (%).

Parameter Sistem

Penggembalaan

Tekanan Penggembalaan (SR) (Jumlah sapi per hektar) 0,77 UT 1,54 UT 2,31 UT Glukosa Kontinyu 0,153a 0,133b 0,169a Rotasi 0,136b 0,084c 0,033d Sukrosa Kontinyu 0,380a 0,330a 0,370a Rotasi 0,206b 0,190c 0,220b

Keterangan : angka yang diikuti huruf tidak sama berbeda nyata pada P< 0,05

Konsentrasi glukosa tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP1SR3

sebanyak 0,169% dan pada interaksi perlakuan SP1SR1 sebanyak 0,153%,

berbeda nyata lebih tinggi dari interaksi perlakuan lainnya. Sementara itu yang terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP2 SR3 sebanyak 0,033%. Dari

data terlihat bahwa konsentrasi glukosa yang lebih tinggi banyak didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan kontinyu SP1, sebaliknya konsentrasi glukosa

yang rendah banyak didominasi perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP2.

Konsentrasi sukrosa tertinggi diperoleh pada interaksi perlakuan SP1

dengan semua tingkat tekanan penggembalaan (SP1SR1, SP1SR2 dan SP1SR3),

berturut-turut sebesar 0,380; 0,330 dan 0,370%. Hasil ini bebeda nyata dengan interaksi perlakuan lainya. Sementara itu konsentrasi terendah diperoleh pada interaksi perlakuan SP2SR2 sebesar 0,190%. Konsentarsi sukrosa yang lebih

tinggi didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan kontinyu (SP1), dan

konsentarsi yang terendah didominasi oleh pengaruh perlakuan sistem penggembalaan rotasi (SP2).

Konsentrasi glukosa dan sukrosa pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Mayland et al (2000) yang memperoleh konsentrasi glukosa 2,09% dan sukrosa 3,87%. Hal ini mungkin karena perbedaan jenis rumput, dan pada penelitian tersebut bahan yang dianalisa adalah keseluruhan komponen crown (termasuk bagian tunggul sepanjang 3/4 inci) dan komponen akar, sedangkan pada penelitian ini tidak termasuk tunggul.

(26)

Konsentrasi glukosa yang rendah didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan rotasi (SP2) terutama yang berinteraksi dengan perlakuan tekanan

penggembalaan tinggi (SR3). Hal ini dapat diterangkan bahwa sebagaimana yang

terjadi secara umum pada tanaman rumput, dengan naiknya tekanan penggembalaan berarti semakin banyak bagian tanaman yang terenggut atau jaringan untuk proses fotosintesis yang hilang, sehingga membutuhkan energi yang lebih banyak untuk pemulihan kembali (Diaz-Filho, 2000; Interrante et al., 2009). Hasil pemulihan tersebut dapat diukur pada indikator persistensi tanaman sesudah digembalai seperti banyaknya jumlah tanaman induk yang masih hidup, jumlah anakan, bobot akar dan bobot crown. Pada penelitian ini semua indikator persistensi tersebut lebih banyak diperoleh pada perlakuan yang didominasi oleh perlakuan sistem penggembalaan rotasi SP2 (Tabel 8).

Pengambilan cadangan karbohidrat mudah larut dari komponen tanaman di bawah tanah mencapai puncaknya sekitar 7 hari setelah defoliasi, dan akan kembali normal setelah 14 kemudian. Pemulihan tersebut terjadi ketika bagian pucuk tanaman mulai aktif berfotosintesis kembali. Di daerah temperate rumput baru akan siap direnggut kembali setelah tanaman memiliki daun ketiga atau sekitar umur 30 hari (Mislevy et al., 2003). Walaupun terjadi fluktuasi konsentrasi karbohirat mudah larut akibat perenggutan, tetapi kenaikan tekanan penggembalaan mampu menunjukkan kandungan karbon organik lebih tinggi dalam tanah pada kedalam 10 cm (Gao et al.,2007).

Walaupun terjadi pengurasan cadangan dari dalam akar, tetapi rumput B.humidicola menunjukkan kemampuan bertumbuh kembali yang cepat karena rumput ini menyimpan lebih banyak cadangan karbohidrat mudah larut pada komponen stolon, sehingga lebih persisten pada tekanan penggembalaan berat dan pada kondisi ternaung (Baruch and Guenni, 2007).

(27)

Penambahan Bobot Badan Sapi

Analisis ragam menunjukkan tidak berpengaruh interaksi nyata terhadap penambahan bobot badan (pbb) ternak sapi (Tabel 13).

Tabel 13. Pengaruh perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalan terhadap penambahan bobot badan (pbb) sapi. __________________________________________________________________

Perlakuan Penambahan bobot badan (g/ekor/hari) __________________________________________________________________ Sistem penggembalaan Kontinyu 382,30b Rotasi 406,30a Tekanan Penggembalaan 0,77 UT 465,65a 1,54 UT 387,60b 2,31 UT 338,85c __________________________________________________________________

Keterangan : angka pada kolom yang sama diikuti huruf tidak sama berbeda nyata (P<0,05).

Sistem penggembalaan rotasi (SP2) memberikan rataan pbb 406,5 g/e/hari

berbeda nyata lebih tinggi dari sistem penggembalaan kontinyu (SP1) (382,3

g/e/hari). Hasil ini erat hubungannya dengan kualitas nutrien yang dihasilkan sebagai akibat pengaruh perlakuan. Pada analisis kandungan nutrien (Tabel 7) terlihat bahwa sistem penggembalaan rotasi (SP2) memberikan hasil kandungan

protein yang nyata lebih tinggi (8,09%) dibandingkan dengan sistem pengembalaan kontinyu SP1 (6,27%).

Tekanan penggembalaan berpengaruh pada penambahan bobot badan, dimana semakin tinggit ekanan penggembalaan, penambahan bobot badan sapi semakin kecil (Tabel 13). Penambahan bobot badan ternak pada perlakuan SR1

sebesar 465,65 g/ekor/hari, untuk SR2 387,60 g/ekor/hari dan 338,85 g/ekor/hari

(28)

untuk 3 ekor sapi. Apabila hasil penambahan berat badan per ekor tersebut dikonversi per unit percobaan (“pedok”), maka rataan penambahan berat badan pada SR1, SR2 dan SR3 pada sistem penggembalaan kontinyu (SP1) menjadi

berturut-turut 440,0 g/”pedok”, 730,4 g/”pedok” dan 1024,8 g/”pedok”. Sedangkan penambahan berat badan pada sistem penggembalaan rotasi (SP2)

untuk SR1 sebesar 473,3 g/”pedok”, SR2 sebesar 820,0 g/”pedok” dan SR3

sebesar 1098,3 g/”pedok”. Hasil ini sejalan dengan yang dilaporkan sebelumnya dimana penelitian selama 5 tahun pada pastura B. humidicola menunjukkan penurunan penambahan berat badan dengan naiknya tekanan penggembalaan dari 2 ekor menjadi 3 dan 4 ekor masing-masing berturut-turut 434, 365 dan 308 g/ekor/hari (Pereira et al., 2009).

Tekanan penggembalaan ternak tidak hanya mempengaruhi produksi dan morfologis tanaman padang penggembalaan, tetapi juga berpengaruh pada siklus nitrogen tanaman dan juga siklus nitrogen pada ternak melalui jumlah hijauan yang terkonsumsi dan jumlah feses dan urine yang dihasilkan (Boddey et al., 2004). Dilaporkan bahwa naiknya tekanan penggembalaan pada padang penggembalaan Brachiaria merobah pola daur ulang unsur N secara nyata. Dalam hal ini dengan naiknya tekanan penggembalaan dari 2 ekor menjadi 4 ekor/ha menaikkan jumlah konsumsi N oleh ternak berturut-turut dari 94 kg, menjadi 158 kg/ha/tahun. Sedangkan N yang terdeposit dalam mulsa menurun sangat nyata dari 170 kg menjadi 105 kg/ha/tahun.

Kenaikan berat badan ternak dari padang rumput merupakan hasil kegiatan simbiosis mutualistis dari satu kondisi ekofisiologis kompleks antara tanaman padang penggembalaan, tanah dan ternak ruminan. Penambahan berat badan (pbb) harian dengan naiknya tekanan penggembalaan tidak saja terkait dengan ketersediaan volume hijauan yang dikonsumsi oleh ternak. Proses pencernaan mikrobia rumen yang berperan mengkonversi produk potensial biomassa padang penggembalaan menjadi produk riil ternak berupa pbb, turut mempengaruhi . Untuk mencapai aktifitas fermentasi dalam rumen yang optimal, pakan hijau harus mengandung unsur N yang berada dalam keseimbangan dengan

(29)

unsur karbon mudah larut atau readily availabke carbohydrate (RAC), dengan rasio 32 g N/ kg RAC (Sinclair et al., 1993).

Hasil buah kelapa.

Integrasi padang penggembalaan dan ternak sapi ke dalam sistem perkebunan kelapa diharapkan juga akan meningkatkan produktivitas kelapa. Hasil buah kelapa pada percobaan ini disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Rataan jumlah buah kelapa (butir) di luar dan di dalam lokasi penelitian

Waktu Lokasi

Panen ________________________________________ Luar Penelitian Dalam Penelitian

_________________________________________________________ Juli-Agustus 2009 9,28 + 2,167 9,70 + 2,922 Sept-Oktober 2009 9,20 + 2,969 9,00 + 2,626 Januari-Februari 2010 7,84 + 3,328 10,66 + 4,710 Mei-Juni 2010 10,86 + 5,711 15,86* + 6,263 Juli-Agustus 2010 10,30 + 2,705 16,18* + 6,546 Sept-Oktober 2010 8,08 + 5,110 14,66* + 4,443 ___________________________________________________________

Keterangan : * berbeda nyata. N = Jumlah tanaman 50 pohon.

Uji t menunjukkan hasil buah kelapa (butir) dalam lokasi penelitian nyata lebih tinggi dari pada di luar lokasi. Hal ini mungkin disebabkan adanya peningkatan kesuburan tanah karena adanya pengolahan tanah, dan adanya daur ulang unsur hara lebih cepat. Dalam 24 jam hijauan yang dikonsumsi ternak sapi sudah tercerna dan dikeluarkan sebagai urine dan feses, terutama dengan naiknya tekanan penggembalaan per satuan luas (Rika et al., 1981). Kemungkinan lain adalah penggunaan unsur nitrogen pada padang penggembalaan B. humidicola menjadi lebih efisien, karena rumput ini dilaporkan sangat aktif menghasilkan eksudat akar antara 17 sampai 50 ATU (allylthiourea unit) per gram akar kering per hari, yang mengandung substans kimia yang disebut brachialactone. Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk inhibisi nitrifikasi secara biologis (biological nitrification inhibition)(Subbarao et al., 2009; Ipinmoroti et al., 2008). Sampai sekarang satu-satunya cara mengatur kecepatan

(30)

nitrifikasi pada sistem pertanian yaitu dengan menerapkan inhibitor nitrifikasi sintetik dengan biaya yang relatif lebih mahal. Penghambatan ini perlu sebab sekitar 50-70% nitrogen hilang dalam proses nitrifikasi melalui pencucian (CIAT, 2009).

Walaupun dalam penelitian ini tidak mengukur adanya substrat tersebut, tetapi oleh karena sifat Brachialactone hanya akan menjadi aktif apabila pada sistem perakaran tersedia NH4+ (Ipinmoroti et al., 2008), maka dengan adanya

ternak mungkin fenomena tersebut dapat terjadi. Hal ini disebabkan karena ternak sapi mengeluarkan kembali ke lahan sebanyak 65-75% dari N yang dikonsumsi. Dari jumlah tersebut di atas 50% dikeluarkan sebagai urine, 82% nitrogen dalam urine tersebut ditemukan di padang penggembalaan (Mc Leod et al., 2009). Dengan demikian naiknya hasil buah kelapa pada pastura yang digembalai ternak sapi diduga mungkin terjadi karena adanya ureum yang berasal dari urine dan feses yang mengandung NH4+, dan yang bertindak sebagai perangsang aktivitas

brachialactone tersebut (Ipinmoroti et al., 2008).

Sumber lain melaporkan bahwa seekor sapi dewasa membuang urine sebanyak 1,5-3,5 liter / hari, dengan konsentrasi N sebanyak 2-20 g N/liter urine, dan setiap urinasi dapat menutupi 0,4 – 0,8 m2. Jumlah ini setara dengan 75 - 875 kg N/ ha (Gregorini et al., 2010).

Berat badan ternak sapi pada percobaan ini rata-rata 270 kg sebanyak 36 ekor. Bila seekor menghasilkan feses segar seberat 20 kg /hari, dan 2,5 liter urine/hari, berarti ternak-ternak tersebut menghasilkan feses segar sebanyak 259.200 kg per tahun dan 32.000 liter urine per tahun. Kandungan nitrogen feses segar 1,13% sedangkan kandungan nitrogen urine sebanyak 0,01%. Dengan demikian jumlah ternak yang digembalakan dalam percobaan ini memberikan sumbangan N melalui feses dan urine sebanyak 3252,9 kg/tahun. Bila pupuk urea mengandung 42% N, berarti kontribusi tersebut di atas setara dengan 1366,2 kg pupuk urea/tahun.

Dalam perhitungan sederhana ini hanya difokuskan pada unsur N, sebab sekitar 70% N yang dikonsumsi oleh ternak dilepaskan kembali melalui manure. Namun demikian ternak ruminan tidak saja mengembalikan apa yang dikonsumsinya, tetapi ternak ruminan sebagai pabrik biologis menghasilkan N

(31)

dalam proses pencernaan mikrobia rumen untuk kebutuhan hidup mereka, tetapi sebagian besar dibuang melalui urine dan feses (Lapierre et al., 2005).

Kesimpulan

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Keragaan padang penggembalaan yang terbaik diperoleh pada interaksi sistem penggembalaan rotasi (SP2) dan tekanan penggembalaan tinggi (SR3).

2. Kandungan serat kasar, ADF dan lignin tertinggi pada sistem penggembalaan kontinyu (SP1), sedangkan sistem penggembalaan rotasi

(SP2)menghasilkan kandungan protein kasar tertinggi dan kandungan NDF

tertinggi.

3. Naiknya tekanan penggembalaan pada kedua sistem penggembalaan diikuti dengan penurunan penambahan berat badan harian per ekor, tetapi tambahan bobot badan harian pada sistem penggembalaan rotasi nyata lebih tinggi dari pada sistem kontinyu.

4. Hasil buah kelapa nyata lebih tinggi pada lahan percobaan dengan padang penggembalaan B. humidicola serta penggembalaan ternak sapi dibandingkan dengan lahan kelapa di luar lokasi penelitian.

Gambar

Gambar 15. Perlakuan sistem penggembalaan dan tekanan penggembalaan 2,31  UT (A), 1,54 UT (B) dan 0,77 UT (C)
Gambar 16. Jumlah tanaman induk setelah digembalai.
Gambar 17.  Penimbangan bobot akar dan crown
Gambar 18.  Perakaran pada sistem penggembalaan rotasi dan kontinyu.

Referensi

Dokumen terkait

Menentukan unsur-unsur yang terdapat pada pengertian fungsi dan penerapan operasi aljabar pada fungsi, sifat suatu fungsi dan teknik manipulasi aljabar dalam menentukan invers

In the first case, the hybrid is based on the process- LCA and all data for the individual product are collected as in the traditional LCA studies, but the data gaps are

Hubungan Praktik Pemberian MP-ASI dengan Status Gizi Anak Usia 6-23 Bulan di Puskesmas Sukomulyo Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik Doctoral dissertation, Universitas Airlangga..

RQ1 : Apakah pelaksanaan kegiatan pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung perkantoran dengan umur di atas 20 tahun di Jakarta Pusat masih layak untuk digunakan dan

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa (1) berdasarkan analisis kurikulum, proses pembelajaran sains-kimia SMP menuntut adanya pendekatan kontekstual yang

Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap.. setiap satuan luas

ƒ Teknologi t ersebut mudah unt uk dit erapkan berdampingan dengan t eknologi at au sist em yang sudah ada. Aplikasi indust ri ƒ Ide at au invensi mudah diwuj udkan dalam bent uk

Penelitian ini dilakukan di kolam pendidikan FPK Unair, bertujuan untuk mengetahui dinamika nilai rasio N/P dan kelimpahan plankton dengan pemberian produk komersial yang berisi