UNIVERSITAS GADJAH MADA
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI NEGARA
Paper
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI ERA
OTONOMI DAERAH: PERSPEKTIF UU NO. 22 TAHUN
1999 DAN UU NO. 32 TAHUN 2004
oleh:
Teguh Kurniawan
06/09-I-1994/PS
dibuat sebagai komponen penugasan dalam Mata Kuliah
Otonomi Daerah
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI ERA OTONOMI DAERAH: PERSPEKTIF UU NO. 22 TAHUN 1999 DAN UU NO. 32 TAHUN 2004
Oleh: Teguh Kurniawan
A. Pendahuluan
Pergeseran paradigma Administrasi Publik sebagaimana diungkapkan oleh Benington dan Hartley yang dikutip oleh Wilson (2002) dalam Meehan (2003), serta Denhardt dan Denhardt (2000 dan 2003) tentu saja akan membawa implikasi terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Administrasi Publik sebagaimana dikemukakan Benington dan Hartley, telah bergeser dari model Administrasi Publik Tradisional dan New Public Management menuju ke model Citizen-Centered Governance atau oleh Denhardt dan Denhardt (2000 dan 2003) disebut sebagai the New Public Service. Penulis sendiri lebih senang menyebutnya dengan good governance.
Pergeseran tersebut akan membawa Pemerintahan Daerah di Indonesia yang juga merupakan bagian dari Administrasi Publik untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan paradigma terkini dari Administrasi Publik tersebut. Masyarakat dalam paradigma Citizen-Centered Governance ataupun the New Public Service akan memainkan peranan penting dalam penyelenggaraan kepemerintahan di Daerah. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Benington dan Hartley, model Citizen-Centered Governance menempatkan masyarakat sipil sebagai penentu strategi dari kebijakan publik; serta penyelenggaraan kepemerintahan yang dilakukan dengan mengoptimalkan jejaring dan kemitraan. Sejalan dengan itu, Denhardt dan Denhardt mengemukakan bahwa model the New Public Service mendasarkan kepada teori demokratis dimana kepentingan publik merupakan hasil dialog diantara para pemangku kepentingan; pemerintahan yang melayani masyarakat; serta pencapaian sasaran kebijakan melalui pembangunan koalisi antara publik, non profit dan lembaga swasta.
Karenanya, seiring dengan pergeseran paradigma dari Administrasi Publik tersebut, Pemerintahan Daerah di Indonesia pada satu sisi dituntut untuk dapat mentransformasikan dirinya menjadi sebuah institusi yang mampu dan dapat mengoptimalkan peran dari masyarakat sipil dalam menjalankan roda kepemerintahan di Daerahnya. Pada sisi lainnya, Pemerintahan Daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah merupakan bentukan dari Pemerintah Pusat melalui Undang-Undang (UU). Sehingga dalam hal ini, upaya dalam mentransformasi diri Pemerintahan Daerah di Indonesia akan turut pula ditentukan oleh karakter dari UU yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diantaranya UU tentang Pemerintahan Daerah.
Berangkat dari pemahaman di atas, paper ini berusaha untuk memberikan penggambaran dan analisis terhadap konstruksi dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan penggantinya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam mewujudkan good governance di Indonesia. Seperti diketahui, kedua UU tersebut dianggap membawa semangat penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang partisipatif sebagaimana dapat dilihat dalam konsiderans dan penjelasan umumnya. Penekanan analisis terhadap konstruksi dari kedua UU tersebut akan difokuskan pada sejauhmana kemungkinan peranan organisasi masyarakat sipil dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Pada akhirnya, paper ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran guna mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, paper ini dibagi kedalam empat bagian pembahasan. Bagian pertama adalah bagian pendahuluan yang berisikan urgensi dari permasalahan yang diangkat. Bagian kedua merupakan bagian yang mengkaji kerangka teori good governance, otonomi daerah dan peranan masyarakat sipil. Bagian ketiga membahas dan menganalis konstruksi dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 dalam mewujudkan good governance. Serta bagian keempat berisikan penutup yang merupakan kesimpulan dan saran dari permasalahan yang diangkat.
B. Good Governance, Otonomi Daerah, dan Peranan Masyarakat Sipil
B.1. Konsep dan prinsip dasar good governance
Konsep governance menurut Stoker (1998) merujuk kepada pengembangan dari gaya memerintah dimana batas-batas antara dan diantara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur (Ewalt, 2001). Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan kebutuhan dari negara modern untuk lebih melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya isu-isu menyangkut empati dan perasaan dari publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik (Stoker, 2004). Hal ini yang kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek yang sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan (Stoker, 2004).
Konsep governance kemudian berkembang menjadi good governance—seperti yang kita kenal sekarang—dalam rangka membedakan implementasinya antara yang “baik” (good) dengan yang “buruk” (bad) (lihat misalnya dalam Prasojo, 2003). Good governance menurut Plumptre and Graham (1999), merupakan model dari governance yang mengarahkan kepada hasil ekonomi dan sosial sebagaimana dicari oleh masyarakat.
Untuk dapat memahami governance dan juga good governance, terlebih dahulu kita harus dapat membedakannya dengan konsep government yang selama ini kita kenal dalam era klasik dan NPM.
Governance vs government
Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 (lima) fitur dimensi berdasarkan pengamatan mereka terhadap interaksi pada sebuah kontinuum pengaturan kebijakan antara governance dan government sebagai berikut:
Dimensi aktor; Dimensi fungsi; Dimensi struktur;
Dimensi distribusi dari kekuasaan.
Tabel 1.: Fitur yang membedakan governance dari government
Government Dimensi Governance Peserta sangat terbatas jumlahnya
Umumnya adalah lembaga-lembaga pemerintah
Aktor Jumlah peserta yang besar Terdiri atas aktor publik dan privat
Sedikit/jarangnya konsultasi Tidak ada kerjasama dalam pembuatan/pelaksanaan kebijakan Issue kebijakan menjadi luas
Fungsi Lebih banyak konsultasi Adanya kemungkinan kerjasama dalam pembuatan/pelaksanaan kebijakan
Issue kebijakan menjadi sempit Batas-batas yang tertutup
Batas berdasarkan kewilayahan (teritori)
Keanggotaan yang tidak sukarela
Struktur Batas-batas yang sangat terbuka Batas berdasarkan fungsi (fungsional)
Keanggotaan secara sukarela Kewenangan yang hirarkhis,
kepemimpinan yang terkunci Interaksi yang saling berlawanan / hubungan yang cenderung konflik Kontak-kontak informal Kerahasiaan Konvensi dari Interaksi Konsultansi horisontal, intermobilitas
Konsensus atas nilai-nilai teknokratik / hubungan kerjasama Kontak-kontak yang sangat informal
Keterbukaan Otonomi yang besar dari Negara
terhadap masyarakat (organisasi yang dikendalikan/steered organising) / dominasi Negara
Tidak ada akomodasi terhadap kepentingan masyarakat oleh Negara Tidak adanya keseimbangan/simbiosis antar aktor
Distribusi dari Kekuasaan
Otonomi yang rendah dari negara terhadap masyarakat (organisasi mandiri/self-organising) / dominasi negara yang tersebar
Kepentingan masyarakat diakomodir oleh Negara Adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor
Tabel diatas dibuat mengacu kepada elemen analisis dari van Waarden dan menunjukan kategori dimana 'statism' (government) memiliki karakteristik yang berbeda dengan 'issue networks' (governance).
Sumber: Schwab and Kubler, 2001
Senada dengan pandangan Schwab and Kubler diatas, Stoker (1998) mengemukakan 5 (lima) proposisi mengenai governance sebagai berikut (Ewalt, 2001):
Governance merujuk kepada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah Governance mengidentifikasikan kaburnya batas-batas dan tanggungjawab dalam
mengatasi isu sosial dan ekonomi
Governance mengidentifikasikan adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi kolektif
Governance adalah mengenai self-governing yang otonom dari aktor-aktor
Governance menyadari untuk memperbaiki sesuatu tidak perlu bergantung kepada kekuasaan pemerintah melalui perintah dan kewenangannya
Sejalan dengan itu, dalam konteks perkembangan Administrasi Publik dari bentuknya yang tradisional kemudian NPM dan pada akhirnya memusatkan kepada masyarakat,
maka Benington dan Hartley serta Denhardt dan Denhardt membandingkannya sebagaimana dua tabel berikut ini:
Tabel 2.: Model Kompetisi Paradigma Governance
Administrasi Publik Tradisional New Public Management Citizen-centered governance
Konteks Stabil Kompetisi Perubahan yang terus
menerus
Populasi Homogen Atomized
(terfragmentasi)
Berbeda-beda
Kebutuhan/masalah Secara langsung, ditentukan oleh profesional Keinginan diekspresikan melalui pasar Kompleks, berubah-ubah dan cenderung beresiko
Strategi Memfokuskan pada
negara dan produsen
Memfokuskan pada pasar dan konsumen
Ditentukan oleh masyarakat sipil
Governance melalui ... Hirarkhi Pasar Jejaring dan kemitraan
Aktor Aparat pemerintah Pembeli dan penyedia; klien dan kontraktor
Kepemimpinan masyarakat
Sumber: Benington dan Hartley sebagaimana dikutip dalam Meehan (2003)
Tabel 3.: Membandingkan perspektif: Administrasi Publik Lama, New Public
Management, dan New Public Service Administrasi Publik
Lama
New Public Management
New Public Service
Dasar epistemologi dan teori utama
Teori politik, komentar sosial dan politik yang lebih besar dari ilmu sosial naif
Teori ekonomi, dialog yang lebih canggih berdasarkan ilmu sosial positif Teori demokratis, berbagai pendekatan pengetahuan termasuk, positif, interpretif dan kritik
Pandangan terhadap rasionalitas dan model terkait lainnya dari perilaku manusia
Rasionalitas Sipnotis “manusia
administrasi”
Rasionalitas ekonomi dan teknis, “manusia ekonomi” atau pembuat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pribadi
Rasionalitas strategik atau formal, tes berganda terhadap rasionalitas (politik, ekonomi dan organisasi) Konsepsi mengenai kepentingan publik Kepentingan publik didefiniskan secara politik dan diekspresikan kedalam hukum Kepentingan publik mewakili agregasi dari kepentingan individu
Kepentingan publik adalah hasil dialog mengenai nilai-nilai bersama
Kepada siapa pelayan publik harus tanggap
Klien dan konstituen Konsumen Masyarakat
Peranan pemerintah Mendayung (mendesain dan
Menyetir (bertindak sebagai katalis untuk
Melayani (negosiasi perantara
melaksanakan kebijakan dengan memfokuskan pada sasaran tunggal dan didefinisikan secara politik)
menjaga dari kekuatan pasar) kepentingan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat, menciptakan nilai-nilai bersama Mekanisme untuk mencapai sasaran dari kebijakan
Mengadministrasikan program melalui badan-badan pemerintah yang ada
Menciptakan mekanisme dan struktur insentif untuk mencapai sasaran kebijakan melalui badan-badan swasta dan non profit
Membangun koalisi badan publik, non publik dan privat untuk memenuhi kesepakatan yang paling menguntungkan kebutuhan bersama Pendekatan akuntabilitas Hirarkis— administrator bertanggungjawab kepada pemimpin politik yang dipilih secara demokratis Dorongan pasar— akumulasi dari kepentingan pribadi akan menghasilkan keluaran yang diinginkan oleh kelompok dominan masyarakat (atau konsumen) Berbagai sisi— pelayan publik harus memenuhi hukum, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar profesional dan kepentingan masyarakat luas
Diskresi administratif Diskresi terbatas dapat dilakukan oleh pejabat administratif
Kebebasan yang luas untuk memenuhi tujuan kewirausahaan Diskresi dibutuhkan tetapi ada pengawasan dan akuntabilitas Asumsi struktur organisasi Organisasi birokratis ditandai dengan otoritas top-down didalam lembaga dan pengawasan atau regulasi dari klien
Desentralisasi organisasi publik dengan pengawasan utama dilakukan dalam lembaga Struktur kolaborasi dengan kepemimpinan yang terbagi secara internal dan eksternal
Asumsi dasar
terhadap motivasi dari pelayan publik dan administrator
Gaji dan keuntungan, perlindungan terhadap pegawai negeri Semangat kewirausahaan, keinginan ideologis untuk mengurangi ukuran pemerintah Pelayanan publik, ingin berkontribusi kepada masyarakat
Sumber: Denhardt dan Denhardt (2002 dan 2003)
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa konsep governance merujuk kepada sebuah proses pembuatan kebijakan dan proses dimana kebijakan tersebut dilaksanakan yang melibatkan baik negara (pemerintah), sektor privat, maupun masyarakat madani dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Disini dapat terlihat adanya interaksi antar ketiga aktor tersebut dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan sebagaimana terdapat dalam gambar berikut:
Gambar 1.: Interaksi antar Aktor dalam Governance
Governance melibatkan tidak hanya negara (pemerintah) tetapi juga sektor privat dan masyarakat madani. Kesemuanya merupakan aktor yang memiliki peran sama penting dalam sebuah penyelenggaraan pemerintahan. Negara (pemerintah) berperan dalam menciptakan situasi politik dan hukum yang kondusif; sektor privat berperan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan; dan masyarakat madani berperan dalam memfasilitasi interaksi secara sosial dan politik yang memadai bagi mobilisasi individu atau kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas, ekonomi, politik dan sosial (lihat dalam Tamin, 2002). Dengan kata lain menurut Salomo (2002), birokrasi dituntut agar mempunyai karakter bersih, terbuka, akuntabel responsif, berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan mendorong partisipasi masyarakat bagi keterlibatan dalam proses pembuatan, pelaksanaan dan kontrol kebijakan; dunia usaha dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, moralitas tinggi, social responsibility dan patuh pada perundang-undangan yang berlaku serta; masyarakat dituntut agar kuat, selalu menyatakan pendapatnya, berkualitas tinggi serta partisipatif terhadap berbagai proses yang dilakukan baik oleh birokrasi maupun oleh dunia usaha. Setiap aktor tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Karenanya melalui good governance diharapkan terciptanya interaksi yang konstruktif dan memadai diantara para aktor tersebut.
Good governance
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dari pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya (Bappenas, 2002). Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good governance mengusung sejumlah isu seperti: keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabilitas; serta keberlanjutan.
Berdasarkan pengertian di atas, good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut (Bappenas, 2002):
• Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya;
• Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan;
• Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder;
• Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan;
• Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik; • Mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan;
• Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor;
• Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat.
B.2. Desentralisasi, otonomi daerah dan keterkaitannya dengan good governance
Desentralisasi pada saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Penerimaan desentralisasi sebagai azas dalam penyelenggaraan pemerintahan disebabkan oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006)
Pandangan di atas sejalan dengan pendapat dari Rondinelli (1983) yang mengemukakan lima alasan penyebab didesentralisasikannya perencanaan pembangunan dan administrasi di Asia sebagai berikut:
1. Desentralisasi dilaksanakan sebagai cara dalam mengatasi kegagalan akibat perencanaan dan manajemen yang terpusat serta tidak flesibel-nya dan tidak tanggap-nya birokrasi pusat
2. Desentralisasi dilaksanakan agar program pembangunan sesuai dengan kondisi lokal, memperoleh dukungan dan keterlibatan dari administrator dan masyarakat lokal serta terintegrasi dengan sejumlah layanan yang dibutuhkan untuk menstimulasikan pembangunan ekonomi di pedesaan
3. Desentralisasi dilihat penting untuk meningkatkan efektivitas baik pemerintah pusat, maupun kemampuan unit administratif di tingkat lokal dalam menyampaikan pelayanan yang dibutuhkan dalam pembangunan, khususnya di wilayah miskin dan pedesaan
4. Desentralisasi dilihat sebagai sebuah alternatif cara dalam mengkoordinasikan aktivitas di tingkat provinsi atau lokal untuk menyelesaikan masalah sosial, politik, atau ekonomi secara cepat
5. Desentralisasi sebagai tujuan politik yang diinginkan untuk membuat daerah mandiri, partisipatif dan akuntabel
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan structural efficiency model) dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan local democracy model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuan-tujuan desentralisasinya. Hal itu sangat ditentukan oleh kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi. Bahkan dalam kurun waktu tertentu titik berat tujuan desentralisasi di setiap negara akan mengalami perbedaan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006)
Dalam konteks Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal 18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan 18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Amanat dan Konsensus Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak Kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai pasang naik dan pasang surut tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi tersebut. Sampai saat ini, kita telah memiliki 7 (tujuh) UU yang mengatur pemerintahan daerah yaitu UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999 dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Melalui berbagai UU tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia mengalami berbagai pertumbuhan dan juga permasalahan. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006)
Pertumbuhan yang paling fenomenal dalam konteks penyelenggaraan Desentralisasi di Indonesia terjadi pada saat diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dikatakan fenomenal mengingat semenjak diberlakukannya, UU No. 22 Tahun 1999 ini telah menciptakan struktur negara yang sangat desentralistis dan mampu memantik euphoria otonomi Propinsi dan Kabupaten yang luar biasa besarnya (Wibawa, 2005).
Penyelenggaraan desentralisasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 menurut Prasojo (2003) diharapkan dapat memberikan sejumlah efek positif terhadap fungsi pelayanan birokrasi di Daerah dengan sejumlah alasan: pertama, melalui desentralisasi jalur birokrasi Pusat ke Daerah menjadi lebih singkat; kedua, proses debirokratisasi negara melalui desentralisasi akan memperkuat basis participatory democracy; ketiga, debirokratisasi negara akan meningkatkan kompetisi antar Daerah; keempat, melalui kompetisi akan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab birokrasi dalam pelayanan publik untuk mempercepat proses pembangunan di daerah; serta kelima, desentralisasi akan menjadi struktur direktif (pengarah) dalam penciptaan local good governance yaitu Pemerintahan Daerah yang berbasis pada transparansi, akuntabilitas, participatory democracy dan rule of law (Prasojo, 2003). Dengan kata lain menurut Prasojo (2003), implementasi elemen-elemen dari good governance tersebut dapat dilakukan dengan efektif jika unit-unit Desentralisasi menjadi motor dan katalisator pembangunan dan perubahan di Daerah. Dengan demikian, desentralisasi politik dan dukungan Administrasi Publik lokal menjadi salah satu instrumen penting dalam pengimplementasian good governance. Hanya saja menurut Prasojo (2003), kondisi
ini hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik dapat dipahami sebagai instrumen demokrasi lokal dan partisipasi masyarakat dan tidak hanya sekedar sebagai instrumen maksimalisasi efisiensi pelayanan publik. Selain itu, upaya mewujudkan good governance tidak bisa dilepaskan dari usaha mereformasi birokrasi (Prasojo, 2003). Dalam artian menurut hemat penulis bagaimana mempersiapkan birokrasi yang telah ada untuk dapat mendukung impelementasi dari prinsip-prinsip good governance tersebut.
Efek positif dari desentralisasi politik dan reformasi birokrasi sebagai basis penciptaan local good governance sebagaimana disebutkan di atas bukan tanpa masalah. Ketidakmampuan Daerah secara personal dan finansial dapat menjadi hambatan keberhasilan proses tersebut. Hal ini dapat terjadi jika proses transformasi dari sistem yang sentralistis-hirarkhis menjadi desentralistis-partisipatif tidak memiliki kejelasan peraturan pelaksanaan di lapangan. Sehingga dalam hal ini, hukum harus menjadi dasar proses reformasi birokrasi untuk menuju good governance. (Prasojo, 2003)
Faktor lainnya yang akan mempengaruhi implementasi desentralisasi menurut Rondinelli (1983) adalah: (1) kuatnya dukungan politik dan administratif dari Pemerintah Pusat; (2) pengaruh perilaku, tingkah laku dan budaya; (3) faktor-faktor organisasi; (4) sumberdaya keuangan, manusia, dan fisik yang cukup dan memadai.
B.3. Masyarakat sipil dan peranannya dalam mendukung good governance
Masyarakat sipil dalam pandangan Thoha (2004) identik dengan masyarakat madani dan dapat diartikan sebagai suatu lembaga yang ingin mendudukkan supremasi sipil dalam tata kenegaraan. Dalam pengertian ini menurut Thoha, masyarakat sipil merupakan suatu masyarakat yang citranya dapat digambarkan sebagai praktik demokrasi yang nyata, dimana rakyat benar-benar hidup dalam masyarakat demokratis dalam suasana dan iklim yang demokratis dan taat hukum.
Pandangan Thoha mengenai masyarakat sipil di atas, sejalan dengan pandangan O’Connell (1999) yang menyatakan bahwa istilah masyarakat sipil lebih luas daripada hanya sekedar sektor independen atau sukarela maupun beradab (civility). Istilah masyarakat sipil merepresentasikan keseimbangan antara hak yang diberikan kepada seorang individu dalam masyarakat yang bebas dengan kewajibannya sebagai warga masyarakat untuk menjaga hak-hak tersebut. Masyarakat sipil sendiri menurut O’Connell (1999) terdiri atas sejumlah komponen, yakni: individu; komunitas; pemerintah; kelompok bisnis; dan organisasi sukarela.
Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara memadai, O’Connel (1999) berpendapat bahwa masyarakat harus diyakinkan akan kebutuhan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang. Dalam konteks ini yang harus dilakukan adalah membangunkan kesadaran masyarakat mengenai hal-hal yang dapat dilakukannya untuk kebaikan bersama. Dalam bahasa yang lain, Thoha (2004) mengatakan sebagai diperlukannya peletakan masyarakat madani pada posisi baik secara konsepsual maupun operasional bisa berperan untuk memberdayakan masyarakat.
Terkait dengan pemberdayaan masyarakat ini, Yang (2005) mengangkat isu mengenai diperlukannya rasa saling percaya antara administrator publik dengan warga
masyarakat guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Administrasi Publik. Merujuk kepada pendapat Offe (1999), kepercayaan memiliki 4 (empat) dimensi, yakni: (1) kepercayaan warga masyarakat kepada sesama warga masyarakat; (2) kepercayaan masyarakat terhadap elit; (3) kepercayaan elit politik terhadap sesama elit; serta (4) kepercayaan elit politik terhadap warga masyarakat (Yang, 2005).
Selain daripada kepercayaan yang harus dibangun antara Administrator Publik dengan masyarakat dan sebaliknya, terdapat sejumlah hal yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mau berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan. Hal ini menurut Mitchell (2005) terkait dengan diperlukannya visi bersama dan sejumlah atribut lainnya guna terwujudnya kemitraan yang efektif antara pemerintah dan masyarakat. Atribut tersebut adalah: (1) kompatibilitas antar peserta berdasarkan kepercayaan dan penghargaan yang saling menguntungkan; (2) keuntungan bagi semua mitra; (3) kesetaraan kekuatan dengan mitra; (4) saluran komunikasi; (5) kemampuan beradaptasi; serta (6) keberadaan integritas, kesabaran dan kemauan untuk menyelesaikan permasalahan.
Pada akhirnya, upaya penguatan terhadap kapasitas dari masyarakat untuk dapat berpartisipasi sebagaimana diungkapkan di atas sejalan dengan modeal CLEAR yang dikembangkan oleh Lowndes, Pratchett, and Stoker (2006) sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.: Faktor yang Mempromosikan Partisipasi: CLEAR
Faktor yang mempengaruhi partisipasi
Cara bekerjanya Target kebijakan yang
diinginkan
Can do (dapat
melakukan)
Sumberdaya individual yang dimiliki masyarakat untuk memobilisasi dan mengorganisasikan (berbicara, menulis, dan kemampuan teknis lainnya, serta kepercayaan diri untuk menggunakan kemampuan tersebut) akan membuat kapasitas yang berbeda dalam melakukan partisipasi
Peningkatan Kapasitas: ukuran dukungan khusus atau pengembangan target
Like to (ingin
melakukan)
Agar berkomitmen untuk berpartisipasi membutuhkan kesadaran untuk terlibat dalam entitas
publik yang menjadi fokus keinginannya
Kesadaran komunitas; pelibatan masyarakat, modal sosial, dan citizenship
Enabled to (mampu
melakukan)
Infrastruktur kemasyarakatan dari kelompok-kelompok dan organisasi payung dapat membuat perbedaan dalam berpartisipasi dikaitkan dengan struktur kesempatan yang dibuat agar masyarakat dapat berpartisipasi
Membangun infrastruktur kemasyarakatan sehingga kelompok-kelompok dan organisasi di sekitarnya dapat memfasilitasi partisipasi
Asked to (diminta
untuk melakukan)
Memobilisasi masyarakat untuk berpartisipasi dengan menanyakan input kepada mereka dapat membuat
Skema bagi partisipasi publik yang beragam, menarik, dan refleksif
perbedaan besar dalam partisipasi
Responded to
(tanggap untuk)
Ketika masyarakat yang ditanya menyatakan akan terlibat jika mereka didengar, tidak sepenuhnya setuju, tetapi mampu melihat tanggapan
Sistem pembuatan kebijakan yang dapat menunjukkan kapasitas untuk menanggapi
Sumber: Stoker (2004)
C. Konstruksi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 dalam Mewujudkan Good Governance melalui Peningkatan Peran Masyarakat Sipil
Merujuk kepada kerangka teori mengenai good governance, otonomi daerah, dan peranan dari masyarakat sipil sebagaimana diungkapkan di atas, maka perwujudan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia akan sangat ditentukan oleh sejauhmana UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan akomodasi dan penjaminan bagi terlaksananya prinsip-prinsip good governance seperti akuntabilitas, transparansi, responsivitas, kesetaraan, efektivitas, aturan hukum, partisipasi, serta konsensus.
Dalam konteks tersebut, dari hasil penelusuran yang penulis lakukan terhadap isi dari kedua UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut ditemukan sejumlah informasi sebagai berikut:
1. Konstruksi UU No. 22 Tahun 1999 dalam mewujudkan good governance
Apabila kita melihatnya dari dasar pertimbangan dikeluarkannya UU ini, maka dapat dilihat adanya dukungan dari UU ini terhadap pelaksanaan dari good governance sebagaimana dapat dilihat dalam konsideran huruf (b) dan huruf (c) dimana prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat lebih ditekankan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini ditegaskan kembali apabila kita melihat penjelasan umum dari UU No. 22 Tahun 1999.
Namun demikian, apabila kita melihatnya dari isi pasal-pasalnya dan juga penjelasan terhadap pasal-pasal tersebut, maka dapat dilihat betapa miskinnya pengaturan yang ada dalam UU No. 22 Tahun 1999 dalam upaya mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Meskipun ditegaskan dalam Pasal 1 huruf (h) dan (i) serta Pasal 4 ayat (1) bahwa aspirasi masyarakat merupakan aspek yang harus dipertimbangkan dalam melaksanakan otonomi daerah, pada kenyataannya hanya 1 pasal saja menurut hemat penulis yang secara signifikan mengakomodir kepentingan ini, yakni Pasal 92 dan penjelasannya yang mengatur mengenai kawasan perkotaan. Dalam pasal ini dengan tegas dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan. Pasal-pasal lainnya tidak ada yang memberikan pengaturan yang signifikan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip good governance tersebut.
2. Konstruksi UU No. 32 Tahun 2004 dalam mewujudkan good governance
Dibandingkan dengan UU sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa UU 32 Tahun 2004 memberikan peluang yang lebih besar dalam upaya mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Hal ini dapat
UU tersebut yang dapat mengakomodir bagi penerapan prinsip-prinsip good governance.
Dalam konsideran (a) misalnya ditegaskan bahwa Pemerintahan Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi.
Aturan lainnya yang dirasakan mendukung bagi penerapan good governance adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 20 mengenai Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang memasukkan sejumlah prinsip-prinsip good governance. Namun demikian, yang dirasakan agak mengganggu dalam pengaturan ini adalah terlihat kesan bahwa sejumlah asas penting seperti akuntabilitas hanya merujuk kepada akuntabilitas internal yang berdasarkan hirarkhi dan bukan akuntabilitas kepada masyarakat.
Sejumlah pasal lainnya yang menurut hemat penulis cukup signifikan dan menjanjikan bagi terwujudnya good governance adalah sebagai berikut:
9 Pasal 22 huruf (c) yang mengatur kewajiban Daerah untuk mengembangkan kehidupan berdemokrasi
9 Pasal 23 ayat (2) yang mengatur pengelolaan keuangan daerah secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut dan taat pada peraturan perundang-undangan
9 Pasal 27 ayat (2) yang mengatur kewajiban kepala daerah untuk menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat
9 Sejumlah Pasal dalam pengaturan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mewajibkan transparansi dan pemberian sejumlah informasi kepada masyarakat 9 Pasal 126 ayat (3) huruf (a) dan Pasal 127 ayat (3) huruf (b) yang memasukan
tugas kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai tugas Camat dan Lurah
9 Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 139 ayat (1) yang mengatur mengenai muatan Peraturan Daerah (Perda) dan hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda 9 Pasal 150 ayat (3) hurud (d) dan Pasal 151 ayat (2) yang memberikan peluang
partisipasi masyarakat dalam implementasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dan Rencana Strategi-Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) 9 Pasal 178 ayat (3) dan (4) yang mengatur penerapan asas transparansi dalam
pengadaan dan penghapusan barang dan jasa; serta
9 Pasal 199 ayat (6) yang mengatur kewajiban mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan
Berdasarkan informasi temuan di atas dapat terlihat bahwa sudah terdapat sinyalemen positif bagi upaya mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia, khususnya berdasarkan pengaturan dalam UU No. 32 tahun 2004. Namun demikian, dapat pula dikatakan bahwa pengaturan tersebut dalam banyak hal masih belum beranjak dari apa yang disebut oleh Thoha (2004) sebagai Sarwa Negara. Artinya etos yang digunakan dalam banyak hal masih berpijak kepada etos dari administrative state sebagaimana diungkapkan Kirlin (1996) yang menempatkan administrator publik sebagai pusat pembuatan dan pelaksanakan kebijakan dalam operasi birokrasi pemerintah, serta memberikan administrator peran pengawasan yang tidak demokratis (Kathi dan Cooper, 2005).
Dalam model administrative state tersebut, partisipasi warga masyarakat diasumsikan sebagai berikut (Kathi dan Cooper, 2005):
9 Masyarakat sebagai pemilih, konstituen atau klien 9 Masyarakat sebagai kepentingan pribadi
9 Masyarakat tidak dapat menentukan kepentingan publik 9 Partisipasi masyarakat mengganggu jalannya administrasi
9 Kepentingan masyarakat direfleksikan melalui pemilu, perwakilan politik dan hukum
9 Akuntabilitas administrator kepada politisi 9 Legitimasi administrasi melalui konsultasi
Pandangan penulis terkait temuan menyangkut konstruksi dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, sejalan dengan sejumlah hasil temuan penelitian Yappika (2006) mengenai Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia yang dilaksanakan di 15 (lima belas) daerah. Dalam penelitian ini, Yappika berusaha untuk menjawab sejumlah masalah diantaranya mengenai apakah desentralisasi telah mendorong terciptanya mekanisme dan sistem akuntabilitas pemerintah daerah dilihat dari hak-hak dasar masyarakat dan nilai-nilai kesetaraan politik, akuntabilitas lokal dan responsivitas lokal. Sejumlah temuan tersebut diantaranya adalah:
9 Dalam hubungannya dengan efektivitas pemerintahan, hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah masih diwarnai oleh dominannya eksekutif dalam penyusunan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).
9 Hubungan antara Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah dicerminkan oleh dominasi pemerintah dalam proses perencanaan pembangunan dan penganggaran. Seringkali masyarakat hanya dilibatkan pada tahapan paling awal dari proses perencanaan program, dan selalu sulit untuk memantau status aspirasi mereka di tingkat berikutnya, termasuk ketika telah menjadi dokumen anggaran
9 Hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam diwarnai oleh ketidaksetaraan antar komponen masyarakat
9 Dalam hubungannya dengan akses warganegara untuk memperoleh informasi, di daerah-daerah penelitian tidak ditemukan Perda yang mengatur tentang jaminan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh akses informasi terhadap dokumen-dokumen atau data-data penyelenggaraan pemerintahan
9 Dalam hubungannya dengan Pilkada akses informasi mengenai proses penyaringan dan penetapan calon Kepala Daerah yang dilakukan partai politik sangat sulit diperoleh karena prosesnya berlangsung secara tertutup
9 Proses penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya masih dipandang sebagai eksklusif domain pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik
9 Sekalipun sarat dengan keterbatasan, kalangan eksekutif di daerah-daerah masih mengasumsikan bahwa DPRD adalah satu-satunya representasi rakyat untuk semua hal
9 Salah satu problem implementasi otonomi daerah adalah sedikitnya akses dan kesempatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mempersoalkan kinerja pemerintah daerah
9 Pada dasarnya gagasan bahwa pemerintah daerah akuntabel kepada warga (konstituen)-nya tidak dikenal dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Pemerintah Daerah hanya akuntabel terhadap pemerintah yang berada di atasnya (Pemerintah Provinsi, Pemerintah Nasional) serta kepada DPRD
9 Tidak ada Pemerintah Daerah yang menerapkan prinsip untuk melakukan konsultasi serta meminta persetujuan sebelumnya dari kelompok-kelompok masyarakat, khususnya terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang secara langsung akan terkena dampak dari proyek-proyek pembangunan yang akan dijalankan pemerintah
D. Penutup
Sebagai penutup dari paper ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dari Perspektif UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, maka upaya mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia masih harus menempuh jalan yang sangat panjang. Aturan yang ada masih belum beranjak dari Sarwa Negara. Karenanya, diperlukan upaya dalam mereformasi aturan-aturan yang ada terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tersebut. Upaya mereformasi aturan tersebut harus disertai dengan operasionalisasi-nya serta penerapan sanksi tegas bagi Pemerintahan Daerah atau pihak-pihak lainnya yang melanggar. Selain itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang terencana dan sistematis dalam mempersiapkan masyarakat sipil yang mampu mendorong terwujudnya good governance di Indonesia.
E. Daftar Kepustakaan
BAPPENAS, 2002, Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat, Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS
Bovaird, Tony and Elke Loffler (Eds.), 2003, Public Management and Governance, New York: Routledge
Denhardt, Robert B and Janet Vinzant Denhardt, 2000, “The New Public Service: Serving Rather than Steering”, Public Administration Review, Vol. 60, No. 6, pp. 549-559
Denhardt, Janet V and Robert B Denhardt, 2003, The New Public Service: Serving, Not Steering, Armong NY: M. E. Sharpe
Ewalt, Jop Ann G, 2001, “Theories of Governance and New Public Management: Links to Understanding Welfare Policy Implementation”, paper prepared for presentation at the Annual Conference of the American Society for Public
Administration, Available Online:
http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/ASPA/UNPAN00056 3.pdf [6 November 2006]
Kathi, Pradeep Chandra and Terry L. Cooper, 2005, “Democratizing the Administrative State: Connecting Neighborhood Councils and City Agencies”, Public Administration Review, Vol. 65, No. 5, pp 559-567
Kurniawan, Teguh, 2006, “Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia”, Paper dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, Jurusan Teknologi Informasi Universitas Pasundan dan Departemen Teknologi Informasi Institut Teknologi Bandung, Bandung 18 Februari 2006. Dipublikasikan dalam Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, Bandung: Penerbit Informatika
Kurniawan, Teguh, 2006, “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”, Paper tidak dipublikasikan, dibuat dalam memenuhi Tugas Mata Kuliah Good Governance dalam Program Doktor Ilmu Administrasi Negara, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada
Meehan, Elizabeth, 2003, “From Government to Governance, Civic Participation and ‘New Politics’; the Context of Potential Opportunities for the Better Representation of Women”, Occasional Paper, No. 5, Centre for Advancement of Women in Politics, School of Politics and International Studies, Quuen’s University, Available Online:
http://www.qub.ac.uk/cawp/research/meehan.pdf [6 November 2006]
Mitchell, Bruce, 2005, “Participatory Partnerships: Engaging and Empowering to Enhance Environmental Management and Quality of Life?”, Social Indicators Research, Vol. 71, pp. 123-144
O’Connell, Brian, 1999, Civil Society: The Underpinnings of American Democracy, London: Tuffs University
Plumptre, Tim and John Graham, 1999, “Governance and Good Governance: International and Aboriginal Perspectives”, Institute on Governance, Available Online: http://www.iog.ca/publications/govgoodgov.pdf [6 November 2006] Prasojo, Eko, 2003, “Agenda Politik dan Pemerintahan di Indonesia: Desentralisasi
Politik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. XI, No.1, Januari
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota
Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum and Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Rondinelli, Denis A, 1983, “Implementing decentralization programmes in Asia: a comparative analysis”, Public Administration and Development, Vol. 3, pp. 181-207
Salomo, Roy, 2002, “E-Government: Suatu Inovasi dalam Kerangka Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei
Schwab, B and D Kubler, 2001, “Metropolitan Governance and the ‘democratic deficit’: Theoretical Issues and Empirical Findings”, Paper in Conference Area-based initiatives in contemporary urban policy, Copenhagen, May 2001,
Available Online:
http://www.sbi.dk/eura/workshops/papers/workshop2/schwab.pdf [17 Januari 2006]
Stoker, Gerry, 2004, “New Localism, Participation and Networked Community Governance”, Available Online: http://www.ipeg.org.uk/docs/ngcnewloc.pdf [6 November 2006]
Tamin, Feisal, 2002, “Pengembangan SDM Aparatur dalam Meningkatkan Kinerja Birokrasi”, Bisnis & Birokrasi, Vol. X, No.2, Mei
Thoha, Miftah, 2004, Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada
Wibawa, Samodra, 2005, Peluang Penerapan New Public Management untuk Kabupaten di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Yang, Kaifeng, 2005, “Public Administrators’ Trust in Citizens: A Missing Link in Citizen Involvement Efforts”, Public Administration Review, Vol. 65, No. 3, pp 273-285
Yappika, 2006, “Penelitian Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia”, Laporan Penelitian, Jakarta: Yappika