1
MAKALAH KASUS
FRAKTUR PELVIS
Disusun oleh:
Adinda Dian Permata
106103003530
Pembimbing:
dr. Lukman, Sp.OT
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH RSUP FATMAWATI JAKARTA PERIODE 25 April 2011 – 2 Juli 2011 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian.1
Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, kendaraan, pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka mayoritas penyebab terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas. Selain itu, trauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga.1
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Rekonstruksi terjadinya kecelakaan penting untuk menduga fraktur yang terjadi. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ-organ penting lainnya.1
Fraktur pelvis merupakan 3% kasus dari semua kasus fraktur tulang. Lebih dari separuh dari semua kasus fraktur pelvis terjadi akibat dari trauma minimal-sampai sedang. Disisi lain, fraktur pelvis yang berat dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan. Sebuah analisis baru-baru ini lebih dari 63.000 pasien trauma menunjukkan bahwa fraktur pelvis berkaitan dengan tingginya angka mortality yang disebabkan oleh karena perdarahan, baik panggul atau extrapelvic, atau terkait cedera kepala parah.2
3 ILUSTRASI KASUS II.1 IDENTITAS Nama : Tn. M Umur : 34 thn Agama : Islam
Pendidikan : Tamat Akademik
Alamat : pondok kacang timur, pondok aren Bangsa : Indonesia
Tanggal masuk : Tanggal Pemeriksaan : No. R. M :
II.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal . A. Keluhan Utama
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada daerah perut dan panggul sejak 5 hari SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada pinggang sejak 5 hari SMRS. Pasien menyatakan nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas pada 5 hari SMRS, pasien pengendara sepeda motor bertabrakan dari arah berlawanan, kemudian pasien terjatuh dan terlindas mobil dengan kecepatan tidak terlalu tinggi.
Pasien menyatakan nyeri dipinggang terutama saat pasien menggerakkan panggulnya, luka terbuka ), pingsan ), muntah (-). Segera setelah kecelakaan terjadi pasien tidak langsung dibawa ke Rumah Sakit, tetapi dibawa ke dukun patah tetapi tidak ada
4
kemajuan. Kemudian karena tidak ada kemajuan pasien dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati. BAB blm sejak kecelakaan.
C. Riwayat Pengobatan Dahulu
1. Riwayat trauma sebelumnya (-) 2. Hipertensi (-)
3. Penyakit jantung (-) 4. DM (-)
5. Asma (-) 6. Alergi (-),
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Hipertensi (-) 2. Penyakit jantung (-) 3. DM (-) 4. Asma (-) 5. Alergi (-) E. Riwayat Operasi Tidak pernah
II.3 PEMERIKSAAN FISIK
Data pemeriksaan fisik tanggal
A. Primary Survey
Airway : clear
Breathing : spontan, pernafasan 20 x/m, thorako-abdominal Circulation : baik, nadi 80 x/m,tekanan darah 120/80
5
mmHg,CRT< 2” Disability : GCS = E4M6V5 = 15
B. Secondary Survey
Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaraan : Compos mentis
Tanda vital Tekanan darah : 130/80 mmHg Nadi : 80 X/menit Pernafasan : 20 X/menit Suhu : 36 ºC Status Generalis
Kepala : normochepali, rambut hitam, lurus, distribusi Merata, jejas (-)
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm
Mulut : Mukosa kering (-), oral hygiene baik
Telinga : normotia, serumen +/+, sekret -/-, othore (-/-) Hidung :normosepta, sekret -/-, tidak ada nafas
cuping hidung, rhinore (-/-)
Leher : pembesaran kelenjar KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O, jejas
(-), deviasi trakhea (-)
Thorak :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris saat statis maupun dinamis
Palpasi : Ekspansi dada baik, vocal fremitus kiri dan kanan sama
6
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V 1 jari medial linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kiri ICS V 1 jari medial linea Midklavikula sinistra
Batas jantung kanan di linea sternalis dextra Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah Palpasi : Dinding abdomen lemas, turgor baik, nyeri
tekan (+) di seluruh lapang abdomen, nyeri lepas (-), hepar dan limpa tidak teraba
membesar.
Perkusi : Timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema.
Kulit : turgor baik
C. Status Orthopedi
Regio pelvis :
Look : luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+). Feel : nyeri tekan (+), tenderness (+), NVD (-) Move : ROM terbatas karena nyeri
7
D. Status lokalis lainnya
Regio suprapubis :
Inspeksi : massa (-), jejas (-). Palpasi : nyeri tekan (+)
II.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Pelvis
Foto Pelvis :
B. emeriksaan Laboratorium pada tanggal 2 juni 2011
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI - Hemoglobin - Hematokrit - Leukosit - Trombosit - Eritrosit 10,4 31 18,2 377 3,27 13,2-17,3 g/dl 33-45% 5-10 ribu/Ul 150-440 ribu/Ul 4,4-5,9 juta/Ul VER/HER/KHER/RDW
8 - VER - HER - KHER 82 27 33 80-100 fl 26-34 pg 32-36 g/dl HEMOSTASIS - Prothrombin time (PT) - PT control - APTT - APTT control 20,6 11,1 47,1 34,2 11-14 detik 27,3-41 detik KIMIA KLINIK Fungsi ginjal - Ureum darah - Creatinin darah 38 1,0 20-40 mg/dl 0,6-1,5 mg/dl SGOT 34 10-35 u/l
Gula darah sewaktu 120 70-200 mg/dl
Elektrolit - Natrium - Kalium - Chlorida 131 6,3 102 135-147 mmol/l 3,5-5,5 mmol/l 100-106 mmol/l Kesan: leukositosis. II.5 RESUME
Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada daerah pinggang sejak 5 hari SMRS. Nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas terlindas mobil.
Nyeri dipinggang terutama saat pasien menggerakkan pinggangnya, luka terbuka (-), pingsan (-), muntah(-). Melakukan pengobatan ke dukun patah namun tidak ada kemajuan. Kemudian ke RSUP Fatmawati. BAB blm sejak kecelakaan.
9
Pemeriksaan fisik
Datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah , nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba membesar. BU (+) normal. Look:luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+). Feel : nyeri tekan (+) Move:ROM terbatas karena nyeri
Pemeriksaan penunjang :
Kesimpulan hasil pemeriksaan thoraks dan pelvis :
Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo. Fraktur asetabulum
Symphiolosis pubis.
Kesimpulan hasil pemeriksaan laboratorium : Kesan leukositosis
II.6 DIAGNOSIS
- Fraktur asetabulum
II.7 PENATALAKSANAAN
- Pantau tanda vital
- Bed rest dan immobilisasi
- Terapi konservatif traksi kulit selama 1 bulan
II.8 PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : dubia ad bonam - Ad sanationam : dubia ad bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Anatomi Pelvis
Pelvis dibentuk oleh tulang coxae, sacrum, dan coccygis, yang masing-masing tulang dihubungkan oleh ligamentum3.
Dinding pelvis dibentuk oleh tulang dan ligament yang sebagian diantaranya dilapisi oleh otot beserta fascia dan peritoneum parietal. Pelvis memiliki dinding anterior, posterior, lateral, dan juga mempunyai dinding inferior atau dasar pelvis. 3
Dinding anterior pelvis adalah dinding yang paling dangkal, dan dibentuk oleh permukaan posterior korpus os pubis, rami pubicum, dan sympisis pubis. Dinding posterior pelvis luas dan dibentuk oleh os.sacrum, dan os. Coccygis serta musculus piriformis dan fasia pelvis parietalis yang meliputinya. 3
Dinding lateralis pelvis dibentuk oleh sebagian os.coxae dibawah aperture pelvis superior, membrane obturatoria, ligamentum sakrotuburale, dan ligamentum sakrospinale, serta musculus obturatorius internus beserta fascia yang meliputinya. Os.coxae (tulang panggul) terdiri atas os ilium yang terletak di superior, os ischium yang terletak di posterior dan inferior, dan os pubis yang terletak di anterior dan inferior. Pada permukaan luar os coxae terdapat lekukan dalam, acetabulum, yang bersendi dengan kaput femoralis. Dibelakang acetabulum terdapat incisura besar, incisura ischiadica major yang dipisahkan dari incisura ischiadica minor oleh spina ischiadica. Os ilium yang merupakan bagian atas os coxae yang rata, mempunyai crista iliaca yang berjalan diantara spina iliaka anterior superior dan spina iliaka posterior superior. Dibawah kedua spina ini terdapat spina iliaca anterior inferior, dan spina iliaca posterior inferior. Os ischii merupakan bagian inferior dan posterior os coxae dan mempunyai spina ischiadica dan tuber
11
ishiadicum. Os pubis merupakan bagian anterior os coxae dan mempunyai corpus ossis pubis, ramus superior ossis pubis, dan ramus inferior ossis pubis. Pada bagian bawah coxae terdapat lubang besar, foramen obturatorum yang dibatasi oleh bagian-bagian os ischium dan os pubis. Foramen obturatoum ditutupi oleh membrane obturatoria. 3
Gambar 1 : Anatomi Pelvis4
Fascia pelvis dibentuk oleh jaringan ikat dan dilanjutkan ke atas sebagai fascia yang membatasi dinding abdomen. Dibawah, fascia melanjut sebagai fascia perinea. Fascia pelvis dibagi menjadi fascia pelvis parietalis, dan fascia pelvis visceralis. Fascia pelvis parietalis membatasi dinding-dinding pelvis dan diberi nama sesuai dengan otot yang dilapisinya. Fascia pelvis viseralis merupakan jaringan ikat longgar yang meliputi dan menyokong semua visceral pelvis. 3
Plexus sacralis terletak pada dinding posterior pelvis di depan musculus piriformis.plexus ini dibentuk dari rami anterior nervi lumbales IV dan V serta nervi anterior nervi sacrales I, II, III, IV. Sebagian nervus lumbalis IV bergabung dengan nervus lumbalis
12
V untuk membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis berjalan turun kedalam pelvis dan bergabung dengan nervus sacrales waktu nervus sacrales keluar dari foramina sacralia anterior. Cabang-cabang plexus sacralis yang menuju ke ekstremitas inferior antara lain : nervus ischiadicus, nervus gluteus superior, nervus gluteus inferior, saraf untuk musculus quadratus femoris, saraf untuk musculus obturatorius internus, nervus cutaneus femoris posterior. Cabang-cabang plexus sacralis untuk otot-otot pelvis, visceral pelvis, dan perineum antara lain : nervus pudendus, saraf untuk musculus piriformis, nervus splanchnicus pelvicus, nervus cutaneus perforans. 3
Plexus lumbalis memiliki cabang-cabang antara lain : truncus lumbosacralis, dan nervus obturatorius. Truncus lumbosacralis dibentuk dari sebagian ramus anterior nervus lumbalis 4 yang muncul dari sisi medial musculus psoas major dan bergabung dengan ramus anterior nervus lumbalis 5. Nervus obturatorius yang merupakan cabang dari plexus lumbalis ini muncul dari sisi medial musculus psoas major didalam abdomen dan mengikuti truncus lumbosacralis kebawah masuk kedalam pelvis. Nervus obturatorius ini terbagi 2 menjadi cabang anterior dan posterior yang berjalan melalui canalis obturatorius dan masuk ke regio aduktor tungkai atas. 3
13
Gambar 2 : Sisi Lateral Tulang Innominatum5
III.2 Fraktur pelvis a. Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang panggul. Pada orang tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan kematian terbesar melibatkan masalah yang signifikan misalnya karena kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian sebuah..6
Tulang panggul terdiri dari ilium, ischium, dan pubis, yang merupakan cincin anatomi dengan sakrum. Gangguan dari cincin ini membutuhkan energi yang signifikan. Patah tulang panggul sering melibatkan cedera pada organ-organ yang terdapat dalam tulang panggul. Patah tulang panggul sering dikaitkan dengan pendarahan parah karena pasokan darah yang luas ke wilayah tersebut.6
b. Penyebab6
1. Kecelakaan kendaraan bermotor (50-60%) 2. Kecelakaan sepeda motor (10-20%) 3. Pejalan kaki versus mobil (10-20%)
14
4. Jatuh dari ketinggian (8-10%)
5. Crush (3-6%)
c. Klasifikasi
1. Kalsifikasi menurut Tile, berdasarkan integritas kompleks sakroiliaca posterior
a. Tipe A : Fraktur stabil, kompleks sakroiliaca intak.
- Tipe A1 : fraktur panggul tidak mengenai cicin panggul
- Tipe A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
(Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul).7
Gambar 3 : Fraktur Stabil.
15
b. Tipe B: Fraktur tidak stabil, umumnya trauma disebabkan oleh adanya rotasi eksternal ataupun internal yang mengakibatkan gangguan parsial kompleks sacroiliac posterior. 7
- Tipe B1 : open book.
Stage 1 : symphisiolisis < 2,5 cm, terapi bed rest
Stage 2 : symphisiolisis > 2,5 cm, terapi OREF
Stage 3 : bilateral lessio, terapi OREF - Tipe B2 : kompresi lateral/ipsilateral - Tipe B3 : kompresi lateral/kontralateral
(Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open book), atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada ramus isiopubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada bagian posterior tetapi simpisis tidak terbuka (closed book)) 7
16
c. Tipe C : Fraktur tidak stabil, akibat adanya trauma yang terjadi secara rotasi dan vertical.
- Tipe C1 : unilateral - Tipe C2 : bilateral
- Tipe C3 : disertai fraktur acetabulum
(Terdapat disrupsi ligament posterior pada satu atau kedua sisi disertai pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertical, mungkin juga disertai fraktur asetabulum).7
Gambar 6 : Fraktur tidak stabil pada trauma rotasi dan vertical.8
2. Klasifikasi menurut Key dan Conwell.7
a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin.
- Fraktur avulsi
Spina iliaka anterior superior
Spina iliaka anterior inferior
Tuberositas isium - Fraktur pubis dan isium - Fraktur sayap ilium - Fraktur sacrum
17
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul - Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
- Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis - Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka c. Fraktur bilateral pada cincin panggul
- Fraktur vertical ganda dan atau dislokasi pubis - Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne) - Fraktur multiple yang hebat
d. Fraktur asetabulum - Tanpa pergeseran - Dengan pergeseran
3. Klasifikasi menurut Young, berdasarkan mekanisme trauma, terbagi menjadi 4 yaitu: kompresi lateral, kompresi anteroposterior, pergeseran vertical, atau kombinasi.
4. Klasifikasi lain. 7
a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis tanpa gangguan pada cincin.
- Fraktur ramus isiopubis superior - Fraktur ramus isiopubis inferior - Fraktur yang melewati acetabulum - Fraktur sayap ilium
- Avulsi spina iliaka anterior-inferior b. Fraktur disertai robekan pada cincin
5. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi. 7 a. Fraktur avulsi
b. Faktur stabil c. Fraktur tidak stabil
d. Fraktur dengan komplikasi
Dalam menilai klasifikasi maka hal yang paling penting adalah stabilitas panggul, apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam penanggulangan serta prognosis.
18
d. Mekanisme trauma
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung. Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka. 7
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas : 1. Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara pejalan kaki dengan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simphisis. Keadaan ini disebut sebagai open book
injury. Bagian posterior ligament sacro-iliaka mengalami
robekan partial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium7
Gambar 7: gambaran radiologi fraktur kompresi anteriorposterior (APC) yang melibatkan diastasis simfisis atau rami fraktur longitudinal.6
19
2. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro-iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama. 7
3. Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai. 7
Gambar 8 : gambaran radiologi fraktur vertical. 6
4. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas. 7
e. Gambaran klinis
Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain : 6,7,9
20
1. Nyeri
2. Pembengkakan 3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul 5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal 7. Syok
f. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung. 6
b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau mikroskopik. 6
c. Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran, abrupsio plasenta). 6 2. Pemeriksaan Imaging
a. Radiografi
Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini. 6
b. CT-Scan
CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan derajat perdarahan pelvis,
21
retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur acetabular. 6
c. MRI
MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu penelitian retrospektif, sejumlah besar positif palsu dan negatif palsu itu dicatat ketika membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI. 6 d. Ultrasonografi
Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki sensitivitas yang lebih rendah untuk mengidentifikasi hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas. 6
e. Cystography
Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra utuh. 6
g. Penatalaksanaan
Pengobatan harus dilakukkan sesegera mungkin berdasarkan prioritas penanggulangan trauma yang terjadi (A, B, C). yaitu :7 1. Resusitasi awal
22
b. Kontrol perdarahan dengan pemberian cairan ringer dan transfusi
2. Anamnesis
a. Keadaan dan waktu trauma (mekanisme trauma) b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah (makan dan minum) yang terakhir d. Bila penderita seorang wanita, apakah sedang hamil atau
menstruasi
e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala 3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
- Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah, dan respirasi
- Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal
- Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan, dan deformitas.
- Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis.
- Adakan pemeriksaan colok dubur. 4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma.
b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta pemeriksaan foto panggul lainnya.
c. Pemeriksaan urologis dan lainnya : - Kateterisasi
- Ureterogram
- Sistogram retrograde dan postvoiding - Pielogram intravena
23
- Aspirasi diagnostic dengan lavase peritoneal 5. Pengobatan
a. Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-alat dalam rongga panggul.
b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic
sling, spika panggul.
h. Pengobatan khusus fraktur
Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, dan pelvic sling. Fraktur yang tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan oleh group ASIF.7
i. Traksi (pengobatan konservatif)
Traksi merupakan salah satu pengobatan konservatif yaitu mudah dilakukan oleh setiap dokter dan bermanfaat dalam mereduksi suatu fraktur atau kelainan – kelainan lain seperti spasme otot. Traksi yang dipasang memakai pemberat dengan berat badan sebagai counter traksi.10
Tujuan penggunaan Traksi
Walaupun penggunaan traksi telah jarang digunakan seiring dengan frekuesi trauma yang menurun di daerah barat, pengetahuan tentang prinsip-prinsip efektif diperlukan untuk indikasi khusus atau situasi di mana peralatan atau keahlian tidak tersedia atau komorbiditas pasien tidak mengijinkan intervensi operasi. 10
Tujuan traksi diantaranya adalah : 10
1. Mempertahankan panjang suatu ekstremitas, mempertahankan kesegarisan (alignment) dan keseimbangan (stability) pada suatu patah tulang.
24
Contohnya : Memperbaiki fraktur femoral dengan dilakukan fiksasi menggunakan traksi tulang.
2. Dengan pemasangan traksi gerakan sendi dimungkinkan dengan sekaligus tetap mempertahankan kesegarisan fragmen-fragmen patah tulang.
3. Dengan traksi kejang otot-otot yang disebabkan penyakit pada tulang atau sendai dapat diatasi. Contohnya : traksi buck, yang terkadang direkomendasikan pada pasien dengan cedera panggul
4. Dengan traksi suatu tungkai yang mengalami pembengkakkan dapat ditinggikan sehingga mengurangi pembengkakkan.
Jenis – jenis Traksi
Berdasarkan mekanisme traksi dikenal dua macam, yaitu : 10 1. Traksi menetap (fixation traction) dipergunakan untuk
melakukan fiksasi sekaligus traksi dengan mempergunakan traksi dari Thomas Splint
2. Traksi berimbang (sliding traction) merupakan suatu traksi secara bertahap untuk memperoleh reduksi tertutup dan sekaligus imobilisasi pada daerah yang dimaksud.
Berdasarkan jenis pemasangannya traksi dikenal 2 macam, yaitu :
1. Traksi kulit
Traksi kulit dapat digunakan sebagai terapi definitif maupun sementara sebagai pertolongan pertama. Tenaga traksi dilanjutkan pada tulang melalui fasia superfisial, fasia dalam dan intermuskular. Tenaga traksi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada kulit . Berat maksimum traksi sebaiknya tidak melebihi 5 kg, tergantung dari besar atau kecilnya penderita dan dari usia penderita. Jika digunakan
25
beban maksimal sebaiknya hanya digunakan tidak lebih dari 1 minggu. Jika kurang dari beban maksimal dan kulit diperiksa dua kali dalam seminggu, traksi kulit dapat dipergunakan dengan aman selama 4-6 minggu. 10
Traksi kulit menggunakan plester lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas toleransi kulit. Terdapat 2 metode penggunaan traksi kulit yang sering digunakan, yaitu traksi kulit berperekat (adhesive) dan traksi kulit tidak berperekat (non-adhesive). (Stewart, John D.M, 1983)
a. Traksi kulit berperekat (adhesive)
Cara pemasangan traksi kulit berperekat (adhesive) Siapkan kulit :
Bersihkan, cukur rambut bagian tubuh yang akan dipasang traksi, cuci dan keringkan.
Cegah pemasangan pleister di atas tonjolan-tonjolan tulang. Jika terpaksa, lindungi dengan pelapis gips (cotton wool, padding, lainnya) sebelum melekatkan. Mulai melekatkannya pada pergelangan tangan atau
kaki, sisakan gulungan traksi 2 inci diseberang ujung distal bagian tubuh yang sakit dengan tujuan memberikan gerakan bebas pada kaki atau jari.
Pasang pleister perekat longitudinal sejajar pada sisi berlainan tungkai dan jamin adanya jaringan kulit bebas diantaranya untuk mencegah efek tourniquet.
Pakai elastis verban dengan kuat diatas lekatan traksi kulit.
cek penyebaran dan tali traksi. Ikatkan pada pemberat traksi
26
Tungkai ditopang untuk mencegah pembengkakan dan iritasi dari tumit. (Stewart, John D., 1983 dan Subroto Saparda, 1994)
b. Traksi kulit tanpa perekat (non-adhesive).
Traksi kulit yang tanpa perekat sangat berguna pada kulit tipis ataupun pada kulit atrofi atau ketika terdapat sensitifitaas terhadap traksi kulit yang berperekat. Cara pemasangan traksi kulit tanpa perekat (non-adhesive) pada dasarnya sama seperti pemasangan traksi kulit berperekat (adhesive).
Gambar 19. non-adhesive skin traction (Maher, A. Salmond, S., & Pellino, T, 2002)
Jenis – jenis traksi kulit
Beberapa jenis traksi kulit yaitu :
Traksi ekstensi dari buck adalah traksi kulit dimana plester melekat secara sederhana dengan memakai katrol.
27
Gambar 18 Traksi Buck. Kaki di elevasikan kemudian di
berikan bantalan dibawah betis. Menjaga kepala fibular dan malleoli.
Traksi dari gallow atau traksi dari Bryant, dipergunakan pada fraktur femur anak-anak usia dibawah 2 tahun
Gambar 20 Traksi Gallows
Indikasi dilakukannya traksi kulit : 10
Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak.
Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat dilakukan
28
Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitif
Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil misalnya fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak
Untuk traksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut dan panggul
Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus pulposus (HNP) atau spasme otot-otot tulang belakang
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada traksi kulit yaitu:
Penyakit Trombo-emboli
Aberasi, infeksi serta alergi pada kulit
2. Traksi tulang
Traksi tulang adalah traksi dengan tarikan langsung pada tulang. Biasanya menggunakan kawat Kirschner (K-wire) atau batang dari Steinmann pada lokasi-lokasi tertentu, yaitu : 10
Proksimal tibia
Epikondilus femur
Olekranon
Kalkaneus (jarang dilakukan karena komplikasinya)
Traksi pada tengkorak
Trokanter mayor
Bagian distal metakarpal Jenis-jenis traksi tulang : 10
Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braun pada fraktur orang dewasa
29
Thomas splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari Pearson
Traksi tulang pada olekranon, pada fraktur humerus.
Gambar 22. gambar traksi pada olekranon. (A) traksi
melalui badan. Sendi bahu dapat bergerak tanpa mengganggu fraktur. Tangan dan pergelangan dilakukan imobilisasi dengan splint plester (B) traksi lateral.
Traksi dari Dunlop, dipergunakan pada fraktur suprakondiler humeri anak-anak
30
Gambar 19 Traksi Dunlop
Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia lebih dari 2 tahun
Gambar 21 Traksi hamilton Russel
Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak misalnya Gardner Well Skull calipers, Crutchfield cranial tong
31
Indikasi penggunaan traksi tulang : 10
Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg
Traksi pada anak-anak yang lebih besar
Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik atau komunitif
Fraktur-fraktur tertentu yang pada daerah sendi
Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan.
Dipergunakan sebagai traksi langsung pada fraktur yang sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama sebagai persiapan terapi definitive
Komplikasi : 10
Infeksi, misalnya infeksi melalui kawat atau pin yang digunakan
Kegagalan penyambungan tulang (Non-union)akibat traksi berlebihan
Luka akibat tekanan misalnya tekanan Thomas splint pada tuberositas tibia
Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (overtraksi) atau bila pin mengenai saraf.
j. Komplikasi fraktur pelvis
Komplikasi fraktur pelvis dibagi dalam :7 1. Komplikasi segera
a. Thrombosis vena ilio-femoral.
Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada keraguan sebaiknya diberikan anti-koagulan secara rutin untuk profilaksis.
32
b. Robekan kandung kemih.
Robekan dapat terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam. c. Robekan urethra.
d. Robekan urethra terjadi karena adanya disrupsi simfisis pada daerah urethra pars membranosa.
e. Trauma rectum dan vagina.
f. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan massif sampai syok.
g. Trauma pada saraf. - Lesi saraf skiatik
Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggutidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukkan eksplorasi.
- Lesi pleksus lumbosakralis
Biasanya terjadi pada fraktur sacrum yang bersifat vertical, disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.
2. Komplikasi lanjut.7
a. Pembentukan tulang heterotropik
Pembentukan tulang heterotropik biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang hebatatau setelah suatu diseksi operasi. Dapat diberikan indometasin untuk profilaksis.
b. Nekrosis avaskuler
Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
33
Apabila terjadi fraktur pada daerah acetabulum dan tidak dilakukkan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidak-sesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta osteoarthritis di kemudian hari.
d. Skoliosis kompensatoar
34
BAB IV ANALISA KASUS
Dari ilustrasi kasus diatas, berdasarkan dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka mengarah pada suatu diagnosis yaitu fraktur pelvis.
Fraktur pelvis
Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan berupa : nyeri di daerah pinggang yang terjadi setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien tersungkur ke bawah mobil. Nyeri dipinggang terutama saat menggerakkan panggulnya. Tedapat memar pada pinggang pasien. Keluhan ini sesuai dengan teori yang mengarah ke keadaan fraktur pelvis, antara lain :
1. Nyeri
2. Pembengkakan 3. Deformitas
4. Perdarahan subkutan sekitar panggul
5. Hematuria
6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal 7. Syok
Pada pemeriksaan fisik,didapatkan data berupa : nyeri tekan (+) di seluruh lapang abdomen, di Regio pelvis : Look : jejas (+), Feel : nyeri tekan (+), Move : ROM terbatas karena nyeri. Tanda dan gejala di atas sesuai dengan teori yang mengarah ke fraktur pelvis, antara lain : nyeri (+), ROM terbatas, deformitas (+), ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis.
Untuk menegakkan diagnosis pada pasien ini dilakukan pemeriksaan rontgen regio pelvis.
35
Farktur pelvis
Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut gambarannya menyerupai gambaran klasifiksai fraktur pelvis tidak stabil berdasarkan klasifikasi TILE.
Melihat dari data keseluruhan yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis fraktur pelvis dapat ditegakan dan berdasarkan teori yang telah dijelaskan diatas, maka fraktur pelvis pada pasien ini di klasifikasikan kedalam klasifikasi fraktur pelvis tidak stabil.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain : - Pantau tanda vital
- Bed rest dan immobilisasi
- Terapi konservatif traksi kulit selama 1 bulan - Rencana foto pelvis ulang setelah traksi kulit
Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, maka tatalaksana yang diberikan masih perlu sedikit tambahan karena berdasarkan teori tatalaksana untuk fraktur pelvis antara lain :
- Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-alat dalam rongga panggul.
- Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic sling, spika panggul.
- Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, dan pelvic sling.
- Fraktur yang tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Fraktur. Diunduh dari
http://bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fracture.html. Update terakhir: 3 Agustus 2008.
2. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, Reinert CM. The effect of pelvic fracture on mortality after trauma: an analysis of 63,000 trauma patients. J Bone Joint Surg Am. Dec 2009;91(12):2803-10.
3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa indonesia, Huriawati Hartanto....[ et al]. Ed.6. Jakarta: EGC, 2006.
4. Anatomy The pelvis. Diunduh dari
http://www.victorchiropractic.com/si.html
5. medical illustration of pelvis skeletal anatomy, ilium, acetabulum. Di unduh dari http://www.medical-illustrations.ca/tag...hopedic/
6. C Crawford Mechem. Fracture pelvic. Di unduh dari
http://www.emedicine.com/orthoped/Fracture-Pelvic.htm. Up date
terakhir: 12 Mei 2010
7. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar: 2007. Hal: 424-428.
8. Fraktur pelvis. Diunduh dari
http://bedahugm.net/Bedah-Orthopedi/Fracture pelvic.html. Update terakhir: 3 Agustus 2008.
9. Fracture of the Pelvis. Di unduh dari http:// www. American
Academy of Orthopaedic Surgeons/fracture pelvic.html. update
terakhir : September 2007.
10. Rasjad, Chairuddin, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. PT Yarsif Watampoe : Jakarta. 2007. Hal 87-9