• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanggar Wisanggeni: Sebuah Rekam Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sanggar Wisanggeni: Sebuah Rekam Sejarah"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Sanggar Wisanggeni:

Sebuah Rekam

Sejarah 2000-2017

Tim II KKN Universitas Diponegoro

Penulis: Akbar Ridwan

(2)

Sanggar Wisanggeni:

Sebuah Rekam

(3)

B

umi tempat saya berpijak perlahan mulai menjauhi Mataha-ri. Senja belum tiba kala saya memutuskan untuk pergi ke kedai kopi di kawasan Kajen guna menulis Sejarah Wisanggeni, yang kemudian tulisan ini saya beri judul “Sanggar Wisanggeni:

Sebuah Rekam Sejarah 2001-2017”.

Pada awalnya tulisan ini saya tulis lantaran program KKN TIM II UNDIP 2017. Tetapi, selama pengumpulan sumber, saya berpikir bahwasannya tulisan ini bukan hanya sekedar program saya saat KKN. Lebih dari itu, tulisan ini saya tulis karena

(4)

kekaguman saya kepada sosok Bapak Rediyanto selaku pemilik sanggar dan Bapak Sapari yang mana sebagai dalang. Saya sa-dar betul, apa yang Pak Rediyanto dan Pak Sapari kerjakan ada-lah suatu hal yang mulia, yaitu melestarikan kebudayaan Indo-nesia. Tulisan ini saya dedikasikan untuk Pak Rediyanto dan Pak Sapari sebagai bentuk apresiasi dan bentuk penghormatan saya kepada dua orang yang saya anggap masuk ke dalam golongan penjaga kebudayaan Indonesia, lebih khusus kebudayaan Jawa.

Dalam tulisan ini, saya sadar betul terlalu banyak kekurangan. Metode pengumpulan sumber pun saya lebih menekankan pada metode sejarah lisan. Tidak adanya sum-ber pustaka (saya sum-berharap dugaan saya salah) membuat saya kesulitan untuk melakukan studi pustaka dan studi kompara-si. Kesulitan saya bertambah tatkala dikitnya dokumentasi dan arsip terkait Sanggar Wisanggeni. Maka dari itu, pengum-pulan sumber dalam tulisan ini saya tekankan dengan metode sejarah lisan.

Ketidakmahiran saya dalam berbahasa Jawa menjadi tan-tangan tersendiri. Melalui kesempatan ini, saya ingin meminta

(5)

maaf yang sebesar-besarnya apabila masih terlalu banyak keku-rangan, atau terdapat kesalahan penulisan nama maupun diksi yang digunakam, dan segala kekeliruan yang tidak disengaja.

Pada hakikatnya, tiada manusia yang dapat hidup seorang diri. Saya selaku penulis mengucapkan terimakasih yang seda-lam-dalamnya kepada Bapak Rediyanto yang sudah mengizink-an saya guna menulis sejarah Smengizink-anggar Wismengizink-anggeni, Bapak Sapa-ri yang sudah bersedia saya wawancarai, Bapak Siswoyo selaku Kepala Desa Rejosari yang sudah menerima saya dan teman-teman dengan baik dan juga sudah bersedia saya wawancarai, Bapak Syaffri Dwiyanto dan para staffnya yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan yang telah membantu saya dalam melakukan penelitian ini, dan sudah ba-rang tentu saya sangat berterimakasih kepada masyarakat Desa Rejosari. Tidak luput pula kepada teman-teman saya, Pradha-na Anggit S, Sholihatun Nissa, Stella Dyah P, Olivia Riftanisa, Suparni, Pratiwi Princesswara, dan Wining Dian W yang sudah banyak membantu saya dalam proses pengumpulan sumber. Ka-lian semua akan selalu saya kenang; saya menyayangi kaKa-lian.

(6)

Besar harapan saya tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata saya mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi

langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk ke-abadian.”

Desa Rejosari, Kab. Pekalongan, 21 Juli 2017.

(7)

Daftar Isi

Sekapur Sirih...3

Daftar Isi...7

Secarik Kisah Awal dan Filosofis...9

Sanggar Wisanggeni: Kehidupan dari Kebudayaan...23

Peran Pemerintah...37

Simpulan dan Harapan untuk Kebudayaan Kita...41

Daftar Wawancara...46

(8)
(9)

Secarik Kisah Awal

dan Filosofis

S

ecara umum sanggar dapat diartikan sebagai tempat untuk berkegiatan seni, seperti: tari, lukis, musik, wayang, dan sebagainya. Dalam hal ini, sanggar ialah wadah yang digunakan oleh sekelompok komunitas. Dalam perkembangannya, sang-gar identik dengan dunia kesenian, bahkan lebih luas, berkaitan dengan segala hal mengenai kebudayaan. Hal tersebut bukan tanpa sebab, dari kegiatan yang dilakukan sanggar, yang mana kegiatannya memang tidak terlepas dari kesenian dan kebu-dayaan. Berdasarkan hal tersebut, melekatlah segenap unsur kesenian dan kebudayaan terhadap sebuah sanggar.

(10)

Foto: Dokumen pribadi Arsip milik Pak Rediyanto tertulis Sanggar Wisanggeni berdiri

sejak tahun 2000.

Foto: Dokumen pribadi Piangam pengesahan yang diberikan

oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Pekalongan kepada

Sanggar Wisangeni

Foto: Dokumen pribadi

Data kesenian Kabupaten Pekalongan per Januari sampai dengan 31 Desember 2016. Tercatat Sanggar Wisanggeni di dalamnya, pertanda

(11)

Berkenaan dengan sanggar, penulis berusaha menulis sejarah sebuah sanggar, yang mana sanggar tersebut bernama Sanggar Wisanggeni yang terletak di Desa Rejosari, Keca-matan Bojong, Kabupaten Pekalongan. Sanggar Wisanggeni didirikan oleh Bapak Rediyanto. Berdasarkan penuturannya, Sanggar Wisanggeni didirikan sejak tahun 2000.1 Akan tetapi,

di dalam Piagam Pengesahan yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan pada tahun 2014 dengan nomor pengesahan 431/0070/2014 yang berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No-mor 8 tahun 1985 dan PP NoNo-mor 18 tahun 1986 yang diter-bitkan pada 9 Januari 2014, tertulis bahwasannya Sanggar Wisanggeni berdiri sejak tahun 2001.

Menurut penuturan Pak Rediyanto, nama Wisangge-ni diambil dari tokoh perwayangan yang dianggap memiliki karakter yang jujur.2 Bambang Wisanggeni sendiri dalam

pe-wayangan adalah putra Arjuna. Ia merupakan pemuda yang

1 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, 73 tahun, 14 Juli 2017. 2 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, 73 tahun, 14 Juli 2017.

(12)

pemberani dan bisa menjadi pemersatu di keluarga Pandawa.3

Berbicara sanggar, tidak hanya berbicara tentang seni. Tetapi, lebih luas tentang kebudayaan. Dalam tahapan awal, Pak Rediyanto mula-mu-la merupakan pengrajin gamelan yang dimulai sejak tahun 1997. Hal tersebut terus berlan-jut hingga memutuskan bersama anaknya un-tuk mendirikan sebuah sanggar yang kini dike-nal sebagai Sanggar Wisanggeni. Keinginan untuk membuat sanggar bermula dari keresahan yang timbul dari dalam dirinya akan kelestarian kebudayaan, dalam hal ini khususnya kebudayaan Jawa. Menurut Pak Rediyanto, di tempo

3 Jonathan Adrian, Mengenal Sosok Wisanggeni Lebih Dekat, National Geograph-ic Indonesia, 2015. http://nationalgeographGeograph-ic.co.id/berita/2015/09/mengenal-so- http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/mengenal-so-sok-wisanggeni-lebih-dekat Diakses tanggal 21 Juli 2017.

Foto: Dokumen Pribadi Wawancara bersamaa Pak Rediyanto,

(13)

itu kebudayaan Jawa dirasa mau punah. Berangkat dari keresa-han itu, akhirnya Pak Rediyanto bersama anaknya memutuskan untuk membuat sanggar yang selanjutnya diberi nama Sanggar Wisanggeni.4

Berdirinya Sanggar Wisanggeni juga berkat dukungan dari kalangan seniman.5 Hal tersebut senada dengan apa yang

disampaikan oleh Pak Sapari, yakni sahabat karib dan juga seorang dalang yang tinggal tidak jauh dari kediaman Pak Rediyanto. Menurut penuturan Pak Sapari, beliau bertemu dengan Pak Rediyanto ditahun 1974 di sebuah paguyuban yang bernama Paguyuban Setio Budoyo yang dipimpin oleh Bapak Soeharto, S. Pd. Pak Sapari sendiri memiliki nama panggung Siswogondomargono yang sudah aktif menjadi dalang dan menekuni kesenian karawitan sejak tahun 1977 sampai tahun 1995. Ketika aktif menjadi dalang, Pak Sapari melanglangbuana sampai ke beberapa daerah, seperti: Peka-longan, Batang, Kendal, Pemalang, dan Semarang. Pak Sapari

4 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, 73 tahun, 14 Juli 2017. 5 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, 73 tahun, 14 Juli 2017.

(14)

juga pernah pentas di RRI Purwokerto. Menurut Pak Sapa-ri, Sanggar Wisanggeni didirikan Pak Rediyanto juga berkat dukungan yang diberikan oleh Paguyuban Setio Budoyo. Pa-guyuban ini setidak-tidaknya memiliki dua puluh anggota, yaitu:

1. Soeharto, S. Pd. 2. Rasmani S. Pd. 3. Abdul Ajam 4. Rediyanto 5. Sapari 6. Darmo 7. Raidi 8. Sutar 9. Budiono 10. Suryan 11. Cariban 12. Suyudi 13. Radi 14. Nurbuat 15. Adil

Foto: Dokumen pribadi Wawancara dengan Bapak Sapari,

(15)

16. Tukiyat 17. Suyat 18. Rilo 19. Carwadi 20. Sucoyo6

Berlandasan keresahan akan kelestarian kesenian Jawa, khususnya kesenian dan kebudayaan Jawa dan dukungan dari rekan-rekan akhirnya berdirilah Sanggar Wisanggeni.

6 Wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017. Foto: Dokumen pribadi

Proses pembuatan gendang. Proses pembuatan alat musik Foto: Dokumen pribadi tradisional.

Foto: Dokumen pribadi Alat musik tradisional yang dibuat di Sanggar Wisanggeni.

(16)

Dalam keberlangsungannya, Sanggar Wisanggeni selain sebagai tempat pembuatan alat kesenian Jawa, Sanggar Wisang-geni juga digunakan sebagai latihan. Beberapa kesenian yang digeluti Sanggar Wisanggeni, yaitu:

1. Wayang Kulit; 2. Wayang Golek; 3. Macopat; 4. Pedalangan;

5. Tari Tradisional Jawa; 6. Campursari;

7. Kuda Lumping; 8. Sintren;

9. Gareng Musik.7

Dari beberapa jenis seni yang ada di Sanggar Wisang-geni, wayang dan pedalangan menjadi ciri khas tersendiri. Hal ini diperkuat dengan sedikitnya terdapat tujuh dalang di lingkungan Desa Rejosari, yaitu Bapak Sapari, Bapak

Juma-7 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, Juma-73 tahun, 14 Juli 201Juma-7, wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017, dan wawancara dengan Bapak Siswoyo, 61 tahun, 20 Juli 2017.

(17)

di, Bapak Joko Widodo, Bapak Sutoro, Bapak Kastini, Bapak Sukardi dan Bapak Wiyono.8 Sedangkan wayang memang

se-jatinya adalah kesenian khas Jawa.

Menelisik lebih lanjut, wayang merupakan seni tra-disional Indonesia yang berkembang pesat, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Wayang sendiri merupakan budaya asli Jawa. Wayang mulai ada sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indo-nesia dan berkembang pada zaman Hindu Jawa. Dalam catatan sejarah, kesenian wayang ini sesungguhnya sudah dikenal sejak zaman prasejarah, yaitu sekitar 1500 SM.9

Kesenian wayang dapat dikatakan sebagai peninggalan upacara keagamaan Jawa. Dahulu masyarakat Indonesia banyak yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme10

meya-kini bahwa roh yang sudah meninggal masih tetap ada. Bisa dikatakan untuk memuja nenek moyang, generasi sesudahnya melakukan sebuah ritual yang mana ritual tersebut diwujudkan

8 Wawancara dengan Bapak Siswoyo, 61 tahun, 20 Juli 2017.

9 Rif’an Ali, Buku Pintar Wayang, (Yogyakarta: Gerailmu, 2010) hlm. 9.

10 Istilah masyarakat Indonesia kepercayaan tersebut dapat dikatakan pula sebagai kepercayaan penghayat.

(18)

dalam bentuk gambar dan patung.

Pada dasarnya, perwayangan bukan sekedar pertunju-kan saja. Di dalam seni perwayangan juga terdapat filosofi. Dalam hal ini, filsafat perwayangan membuat masyarakat se-bagai penonton merenungkan hakikat, asal, dan tujuan hidup,

manunggaling kawula Gusti11, kedudukan manusia dalam alam

semesta, serta sangkan parining dumadi12 yang dilambangkan

dengan kancep kayon13 oleh ki dalang pada akhir pergelaran.14

Berangkat dari apa yang sudah dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan dalam perwayangan terdapat nilai-nilai filosofis yang meliputi ontologi, epistimologi, dan aksiologi dalam kehidupan manusia, bahkan lebih jauh dapat menggambarkan kompleksitas kehidupan manusia.

Dalam dunia perwayangan, wayang memiliki landasan

11 Manunggaling kawula Gusti ialah sesuatu yang berkenaan dengan lahir dan batin-nya manusia. Dalam keberlangsunganbatin-nya di dalam lahir dan batin terdapat kesatuan. Tujuannya tiada lain ialah untuk membangun jiwa.

12 Sangkan parining dumadi adalah pemikiran atau pandangan bahwa segala yang terjadi di dunia adalah rahasia Tuhan.

13 Kancep kayon adalah saat di mana dalang menancapkan wayang di tengah-tengah. Hal tersebut sebagai pertanda pergelaran sudah selesai.

(19)

yang kokoh, yaitu: 1. Hamot

Hamot adalah keterbukaan menerima pengaruh dan

ma-sukkan dari dalam dan luar. 2. Hamong

Hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur

baru dan sesuai dengan nilai yang ada, selanjutnya di-angkat menjadi nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai dengan perkembangan masyarakat.

3. Hamemangkat

Hamemangkat adalah perubahan dari suatu nilai

menja-di nilai baru yang melalui suatu proses yang panjang dan dapat dicerna secara cermat.

4. Trikarsa

Trikarsa adalah tekad untuk melestarikan,

mengembang-kan, dan mengagungkan wayang.15

Berangkat dari landasan filosofis tersebut, akhirnya

(20)

dapat disimpulkan bahwasannya wayang bukan hanya sebagai pergelaran atau tontonan semata, melainkan juga sebagai tun-tunan kehidupan. Dalam perkembangannya, perwayangan juga digunakan oleh Wali Sanga untuk menyebarkan aja-ran Islam di tanah Jawa. Nilai-nilai yang terkandung dalam wayang akhirnya membuat UNESCO pada tanggal 7 No-vember 2003, mengakui pertunjukan wayang sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga.16

Berbicara wayang tidak lengkap tanpa kehadiran dalang karena wayang dan dalang adalah satu kesatuan yang saling ber-kaitan. Dalam pergelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi sangat sentral.17 Selayaknya pembuatan film, dalam

per-wayangan dalang merupakan sutradara bahkan sekaligus tokoh utama. Sebagai seniman, dalang dituntut menguasai unsur-unsur pedalangan, yang mencangkup seni drama, seni rupa, seni kriya,

16 Rif’an Ali, Buku Pintar Wayang, hlm. 15. 17 Rif’an Ali, Buku Pintar Wayang, hlm. 80.

(21)

seni sastra, seni suara, seni karawitan, dan seni gaya.18 Selain

hal tersebut, seorang dalang juga harus memguasai dua belas keahlian, yang mencangkup:

1. Antawacana; 2. Renggep; 3. Enges; 4. Tutug;

5. Pandai dalam sabetan; 6. Pandai melawak; 7. Pandai amardawa lagu; 8. Pandai amardi basa; 9. Paham kawi readya; 10. Paham parama kawi; 11. Paham parama sastra; 12. Paham awi cerita.19

18 Rif’an Ali, Buku Pintar Wayang, hlm. 81. 19 Rif’an Ali, Buku Pintar Wayang, hlm 81.

(22)
(23)

E

ksistensi Sanggar Wisanggeni tidak terlepas dari sikap tenang Pak Rediyanto. Dengan tekad dan usaha yang kuat, akhirnya Sanggar Wisanggeni berdiri sejak 2000 dan tetap aktif sampai saat ini (2017). Seperti yang sudah penulis jabarkan dibagian sebelumnya, Sanggar Wisanggeni selain me-layani pesanan gamelan juga menjadi rumah bagi mereka yang ingim belajar kesenian Jawa. Menurut Pak Siswoyo, banyak masyarakat yang belajar kesenian Jawa di Sanggar Wisanggeni. Mereka yang belajar bukan hanya dari masyarakat Desa Rejo-sari saja, melainkan secara luas dari masyarakat se-kabupaten

Sanggar Wisanggeni:

Kehidupan

(24)

Pekalongan bahkan ada yang berasal Pemalang yang berlatih di Sanggar Wisanggeni.1 Suatu hal yang membanggakan lainnya

terkait Sanggar Wisanggeni adalah adanya anak-anak yang ikut berlatih di sana. Keberadaan anak-anak yang berlatih patut di-syukuri dan dijaga karena sebagai regenerasi. Anak-anak yang berlatih di Sanggar Wisanggeni merupakan program Forum Anak Desa, yang mana sejatinya Desa Rejosari merupakan desa layak anak.2 Selain hal itu, berdasarkan penuturan Pak Sapari,

anak-anak yang latihan berada direntang usia 7-11 tahun. Anak-anak yang latihan berangkat dari kemauannya sendiri, dalam hal ini tidak dipaksakan,3 sebuah berkah yang tidak ternilai di mana

saat ini sudah semakin maraknya kebudayaan Barat yang masuk dan berkembang di Indonesia. Selain anak-anak, ada pula ka-langan pemuda dan ibu-ibu PKK yang aktif latihan di Sanggar Wisanggeni.

1 Wawancara dengan Bapak Siswoyo, 61 tahun, 20 Juli 2017. 2 Wawancara dengan Bapak Siswoyo, 61 tahun, 20 Juli 2017. 3 Wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017.

(25)

Foto: Dokumen pribadi

Pak Sapari sedang melatih anak-anak di Sanggar Wisanggeni.

Foto: Dokumen pribadi

Pemuda sedang berlatih di Sanggar Wisanggeni.

Foto: Dokumen Pribadi

(26)

Untuk pengajarnya sendiri, mereka yang belajar di Sang-gar Wisanggeni langsung berada di bawah asuhan Pak Redi-yanto dan Pak Sapari. (Lampiran foto 12) Pak Sapari sendiri sudah menjadi pengajar suka relawan di Sanggar Wisanggeni sejak Sanggar Wisanggeni berdiri. Khusus anak-anak, Pak Sapa-ri menggunakan metode kesabaran ketika mengajaSapa-ri anak-anak dalam latihan alat musik tradisional Jawa dan anak-anak diberi-kan kebebasan dalam memilih alat musik tradisional mana yang ingin mereka pelajari.4

Ada pun struktur organisasi dan alat-alat musik tradisional yang

4 Wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017. Foto: Dokumen Pribadi

Pak Rediyanto sedang melatih anak-anak dan ibu-ibu di Sanggar Wisanggeni

(27)

ada di Sanggar Wisanggeni, meliputi: A. Struktur Organisasi

1. Pelindung : Muspika Bojong 2. Penasehat : Siswoyo, S. Pd. 3. Pembina

a. Bidang Gending dan wiraswara : Cahyodo b. Bidang Laras Gending : Rediyanto c. Bidang Pedalangan : Sutoro d. Bidang Sindhen : Danipah 4. Ketua : Rediyanto

5. Sekertaris : Nur Yatin 6. Bendahara : Walam 7. Anggota : Nama Profesi 1. Darmo Pengendang 2. Rediyanto Gender 3. Sutar Bonang 4. Tarjo Bonang 5. Rilo Demung

(28)

6. Yondo Demung 7. Warlam Saron 8. Soadi Saron 9. Guntoko Peking 10. Untung Peking 11. Kesruh Kemong 12. Cipto Kethuk 13. Kandung Gong 14. Raidi Slenthem 15. Nurbuat Siter 16. Rasmani Rebab 17. Slamet Wiraswara 18. Wihartono Wiraswara 19. Rinoto Wiraswara 20. Dunipah Wiranggana 21. Barkah Wiranggana 22. Joko Widodo Dalang 23. Sutoro Dalang 24. Junadi Dalang

(29)

25. Kastini Dalang 26. Sukardi Dalang 27. Wiyono Dalang

B. Alat-alat musik tradisional yang dimiliki Sanggar Wisang-geni

1. Gendang Jawa; 2. Gender;

3. Rebab;

Foto: Dokumen Pribadi

(30)

4. Suling; 5. Siter; 6. Gambang; 7. Bonang; 8. Demung; 9. Saron; 10. Peking; 11. Kenong; 12. Gong; 13. Seletem; 14. Ketu.5

5 Wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017. Foto: Dokumen Pribadi Sanggar Wisanggeni tampak dari luar

(31)

Dalam perkembangannya, Sanggar Wisanggeni juga mengalami beberapa hambatan, diantaranya seperti, tidak adanya generasi penurus di awal-awal pendirian Sanggar Wisanggeni, sifat Sanggar Wisanggeni yang tidak komersil mengakibatkan Sanggar Wisanggeni mengalami pendanaan yang terseok-seok, tidak adanya dokumentasi karena keku-rangan yang diakui Pak Rediyanto sendiri, dan tidak ber-jalannya struktur organisasi dengan baik.6 Sekali pun Pak

Redi-yanto menerima pesanan gamelan dan yang lainnya, hal tersebut

6 Wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017 dan dengan Bapak Redi-yanto, 73 tahun, 14 Juli 2017.

Foto: Dokumen Pribadi Sanggar Wisanggeni tampak dari dalam.

(32)

belum menutupi kebutuhan sanggar yang mana memang mem-butuhkan dana yang tidak sedikit, khususnya pendanaan untuk perawatan dan pengadaan alat-alat musik tradisional yang ada di Sanggar Wisanggeni dan perbaikan tempat yang memang belum memadai.

Foto: Dokumen Pribadi Perawatan alat musik tradisional di Sanggar

Wisanggeni.

Foto: Dokumen Pribadi Alat musik tradisional di

(33)

Sekali pun demikian, Pak Rediyanto pernah mendapatkan ban-tuan dana guna menunjang kebutuhan Sanggar Wisanggeni.

Dengan segenap kekurangan, bukan berarti Sangar Wisanggeni menyerah dengan keadaan. Prestasi-prestasi pernah diperoleh dan tampil di beberapa acara dan tempat, seperti:

1. Siaran Wayang Kulit Radio Republik Indonesia Pur-wokerto tahun 2004;

2. Duta seni di Taman Mini Indonesia Indah tahun

Foto: Dokumen Pribadi Laporan Realisasi Bantuan Rehab Sanggar Wisanggeni.

Foto: Dokumen Pribadi Laporan Realisasi Bantuan Rehab Sanggar Wisanggeni.

(34)

2005, 2006, dan 2007;

3. Festival Borobudur tahun 2005;

4. Pentas Seni PRPP Jawa Tengah tahun 2006; 5. Festival Kethoprak tahun 2007;

6. Festival Waranggono Kabupaten tahun 2008;

7. Menjadi pengiring pementasan tari pada beberapa acara pembukaan di Kabupaten Pekalongan dan tem-pat-tempat lainnya di sekitar Jawa Tengah.

Untuk pemesanan alat musik tradisional, sampai saat ini pemesan kebanyakkan dari Jawa Tengah dan paling jauh ada yang dari Sumatera.

(35)
(36)
(37)

Peran Pemerintah

D

alam pelestarian kebu-dayaan Jawa sudah ba-rang tentu di dalamnya harus ada peran pemerintah. Berkai-tan dengan hal tersebut, Pak Syaffri Dwiyanto dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan menja-barkan apa-apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam segenap upaya melestarikan kebu-dayaan Jawa.

Foto: Dokumen Pribadi Wawancara dengan Pak Syaffri D. di Dinas

(38)

Berdasarkan penuturan Pak Syaffri yang penulis temui pada tanggal 18 Juli 2017, mengatakan, pemerintah dalam upa-ya pelestarian kebudaupa-yaan Jawa dilakukan berdasarkan Peratur-an Daerah No. 5 tahun 2011 dPeratur-an PeraturPeratur-an Bupati No. 49 tahun 2011.

Berangkat dari penuturannya, penulis menelisik lebih lan-jut terkait peran pemerintah dalam Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 49 tahun 2011.1 Pada pasal 30 dalam Peraturan Bupati

Pekalongan Nomor 49 Tahun 2011 dikatakan, bahwa:

(1) Kepala Seksi Seni Budaya mempunyai tugas melaksanakan penggalian, pengembangan, pembinaan, dan pelestarian seni bu-daya.

Berdasarkan pasal 30 ayat (1) dalam pelaksanaannya pemerintah sudah berupaya menerapkan apa yang tertuang di pasal tersebut dengan cara, memfasilitasi pembuatan sertifikat dan pemberian izin operasional kepada Sanggar Wisanggeni. Berdasarkan Data Kesenian Kabupaten Pekalongan Keadaan:

1 Saya sangat berterimkasih kepada Pak Syaffri yang sudah memberikan saya copy-an draft Peraturan Bupati Pekalongan Nomor 49 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Ja-batan Struktural pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

(39)

Januari s.d. 31 Desember 2016 Sanggar Wisanggeni tercatat secara resmi dengan nomor pengesahan 431/0070/2014. Selain hal tersebut, pemerintah Kabupaten Pekalongan juga acap kali melakukan kerjasama dengan Sanggar Wisanggeni, tercatat Sanggar Wisanggeni sudah beberapa kali tampil di acara Pe-merintahan Kabupaten Pekalongan, kegiatan kemah budaya, dan diikut sertakan sebagai delegasi apabila ada perlombaan mewakili Kabupaten Pekalongan.2

Sekali pun demikian, Pak Syaffri menyatakan biar pun sudah aktif dalam upaya pelestarian kebudayaan Jawa di lingkungan Kabupaten Pekalongan, beliau menyadari adanya kekurangan dan mengatakan ke depannya akan selalu ada per-baikan secara step by step.3

2 Wawancara dengan Bapak Syaffri Dwiyanto, 51 tahun, tanggal 18 Juli 2017. 3 Wawancara dengan Bapak Syaffri Dwiyanto, 51 tahun, tanggal 18 Juli 2017.

Foto: Dokumen Pribadi Bersama pihak Dikdas dan Kebudayaan, Kab. Pekalongan.

(40)
(41)

Simpulan dan

Harapan untuk

Kebudayaan Kita

S

ebelum mendirikan Sanggar Wisanggeni, Pak Rediyan-to sudah telebih dahulu terjun sebagai pengrajin gamelan atau alat musik tradisional. Sanggar Wisanggeni sendiri berdi-ri sejak tahun 2001. Awal pendiberdi-riannya berdasarkan keresahan yang dirasakan oleh Pak Rediyanto akan eksistensi kebudayaan Jawa yang dianggap hampir punah diperiode 1980-an. Atas hal tersebut dan dukungan dari rekan-rekan seniman Paguyuban Se-tio Budoyo akhirnya Pak Rediyanto bersama anaknya mendi-rikan Sanggar Wisanggeni. Di awal-awal pendirian, kendala

(42)

yang amat terasa ialah sedikitnya, bahkan tidak adanya genera-si penerus. Akan tetapi, hal itu sedikit demi sedikit teratagenera-si dan hasilnya saat ini banyak anak-anak dan pemuda yang aktif lati-han kesenian Jawa di Sanggar Wisanggeni. Kendala lain ialah soal pendanaan yang masih terseok-seok. Bukan tanpa soal, hal ini lantaran Sanggar Wisanggeni sifatnya tidak komersial dan niat awal Pak Rediyanto mendirikan Sanggar Wisanggeni tidak lain ialah untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan Jawa. Dalam perkembangannya, pemerintah Kabupaten Pekalongan sudah berusaha ikut serta dalam upaya pelestarian kebudayaan Jawa, dengan cara memberikan fasilitas dan mengadakan be-berapa kerjasama dengan Sanggar Wisanggeni.

Harapan selalu ada, karena dari harapanlah kita dapat me-nentukan tujuan-tujuan hidup yang ingin dicapai. Berkenaan tentang Sanggar Wisanggeni, harapan yang ada tentunya mengaharapkan agar ke depan Sangar Wisanggeni dapat lebih baik lagi dari sebelumnya, makin banyaknya anak muda yang tertarik dengan kesenian Jawa guna melestarikan, dan

(43)

se-moga kelak Sanggar Wisanggeni tetap jaya dan lestari.1 Sedang

dari pemerintah, mengharapkan di tempo yang akan datang sinergi yang sudah terjalin ini dapat ditingkatkan kembali karena sinergisitas adalah kunci keberhasilan.2

1 Wawancara dengan Bapak Rediyanto, 73 tahun, 14 Juli 2017, wawancara dengan Bapak Sapari, 57 tahun. 17 Juli 2017, dan wawancara dengan Bapak Siswoyo, 61 tahun, 20 Juli 2017.

(44)
(45)

Daftar Wawancara

dan Daftar Pustaka

(46)

1. Nama : Rediyanto Usia : 73 tahun

Pekerjaan : Pemilik Sanggar Wisanggeni dan pen-grajin alat music tradisional Jawa

2. Nama : Sapari Usia : 57 tahun Pekerjaan : Dalang

3. Nama: : Siswoyo, S. Pd Usia : 61 tahun Pekerjaan : Kepala Desa 4. Nama : Syaffri Dwiyanto Usia : 51 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kab. Pekalongan.

(47)

Ali, Rif’an. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Gerailmu.

Referensi

Dokumen terkait