• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA. Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA. Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

S

ejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, perubahan gaya hidup, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan, permintaan akan produk peternakan (telur, daging, dan susu) terus meningkat (Delgado et al. 1999). Sampai saat ini permintaan protein hewani atau produk ternak terutama daging dan susu

belum seimbang dengan pertumbuhan atau peningkatan produksi di dalam negeri. Untuk mengisi kekurangan tersebut dilakukan impor daging segar, ternak bakalan, dan susu yang jumlahnya terus meningkat. Impor daging beku dan jeroan dari Australia terus meningkat jumlahnya dengan perbandingan impor

sapi hidup : daging : jeroan mendekati angka 1 : 1 : 1 (Hadi et al. 2002). Pada tahun 2002, impor sapi bakalan dan siap potong telah mencapai lebih dari 420.000 ekor (Suharto 2004).

Data tahun 2002 menunjukkan, kon-tribusi perunggasan nasional terhadap PDB tahun 2000−2002 mencapai 46% dari

POTENSI, PELUANG, DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN VAKSIN HEWAN DI INDONESIA

Sjamsul Bahri dan A. Kusumaningsih

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK

Pembangunan peternakan perlu ditunjang oleh program peningkatan kesehatan hewan, karena dampak yang diakibatkannya dapat bersifat fatal dan sangat merugikan. Sampai saat ini kebutuhan obat hewan, terutama vaksin masih belum mencukupi baik jenis maupun jumlahnya. Sekitar 76,34% kebutuhan vaksin masih dipenuhi dari impor, sehingga dikhawatirkan akan muncul wabah penyakit karena pengendalian penyakit menjadi kurang efektif serta membuka peluang masuknya penyakit dari luar negeri. Sekitar 80% kebutuhan vaksin hewan di Indonesia berupa vaksin unggas (ayam). Dari delapan jenis vaksin ayam yang umum dipergunakan, yaitu newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, swallon head syndrome (SHS), egg drop syndrome (EDS), dan infectious laryngotracheitis (ILT), 93,36% merupakan vaksin ND, IB, dan IBD dan sekitar 80% dipenuhi dari impor. Berdasarkan hasil kajian, Indonesia memiliki potensi dan peluang untuk mengembangkan vaksin hewan karena telah tersedia teknologi pembuatan vaksin, sumber daya manusia, produsen vaksin, serta sumber daya plasma nutfah berupa mikroorganisme lokal yang sesuai untuk mengatasi penyakit. Strategi yang perlu dilakukan untuk pengembangan vaksin hewan di dalam negeri adalah: 1) melakukan penelitian dan pengembangan vaksin hewan yang berorientasi pasar (terutama vaksin unggas), 2) memanfaatkan sumber daya secara terpadu antarinstitusi, 3) optimalisasi peningkatan kapasitas produksi vaksin yang telah dikuasai, dan 4) membentuk unit produksi vaksin pada perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Kata kunci: Vaksin hewan, potensi, peluang, strategi pengembangan, Indonesia

ABSTRACT

Potency, opportunity, and strategy of livestock vaccines development in Indonesia

A program for animal health is needed in development of animal husbandry, because the impacts of animal diseases outbreaks were significant in economic loss. The demand for veterinary medicine, especially vaccine has not been covered. So far, 76.34% of the vaccine supply is imported, so it is concerned to cause an outbreak of animal diseases due to ineffectiveness in disease control program and open chances to import of animal disease agents. The demand for livestock vaccines in Indonesia is more than 80% for poultry vaccine, consisting of eight poultry vaccines: vaccines for newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, swallon head syndrome (SHS), egg drop syndrome (EDS), and infectious laryngotracheitis (ILT). Out of 93.36% of the total poultry vaccines in Indonesia are vaccines for ND, IB, and IBD and 80% of them are imported. A field study showed that Indonesia has potency and opportunity to develop livestock vaccines for a better animal health program since it has technologies for vaccine production, human resources and local microorganisms as natural resources. The strategies in developing livestock vaccine program cover: 1) doing the research and development of livestock vaccines based on consumer needs (mainly poultry vaccine), 2) integrating the use of natural resources among institutions, 3) optimising the vaccine production, and 4) setting up vaccine production units in universities and research institutes.

(2)

total PDB peternakan, namun demikian tingkat ketergantungan pada komponen impor masih sangat tinggi, sekitar 70−80%. Hal ini terlihat dari nilai impor pakan ternak (feedstuff) yang mencapai sekitar US$ 575 juta, complete feed US$ 14 juta, feed supplement US$ 121 juta, serta bahan baku obat hewan US$ 75 juta, dan obat hewan sekitar US$ 11 juta (Infovet 2002). Konsumsi daging nasional mening-kat dari 311,40 ribu ton tahun 1969 menjadi 1,624 juta ton tahun 2002 atau tumbuh rata-rata 13%/tahun. Konsumsi daging ayam dalam kurun waktu yang sama tumbuh rata-rata di atas 30% (dari 39,20 ribu ton pada 1969 menjadi 964,10 ribu ton pada 2002). Dengan kata lain, kontribusi konsumsi daging ayam pada tahun 1969 yang hanya 13% meningkat menjadi 60% terhadap konsumsi daging total pada 2002. Lebih separuh konsumsi daging nasional berasal dari daging unggas, terutama ayam (Sudardjat 2003). Dengan demikian, revolusi peternakan di Indo-nesia terjadi karena pesatnya perkem-bangan industri peternakan ayam ras (Simatupang et al. 2004).

Pada tahun 2002 konsumsi daging ayam per kapita/tahun mencapai 4,55 kg padahal tahun 1996 hanya 0,40 kg. Pada tahun 2005 Direktorat Jenderal Peternakan menargetkan konsumsi daging ayam per kapita/tahun sebesar 8 kg, sehingga populasi ayam yang pada 2002 sekitar 900 juta ekor harus meningkat menjadi sekitar 1,80 miliar ekor pada 2005 (Sudardjat 2003). Hal ini berimplikasi terhadap kebutuhan vaksin unggas yang akan meningkat menjadi dua kali lipat dari kebutuhan tahun 2002. Karena sebagian besar vaksin unggas masih diimpor, upaya untuk mengembangkan vaksin produk dalam negeri menjadi sangat strategis sebagai substitusi vaksin impor serta mengisi potensi pasar dalam negeri yang cukup besar.

Sampai saat ini kebutuhan obat hewan di Indonesia terutama vaksin masih belum mencukupi, baik jenis maupun jumlahnya. Diperkirakan lebih dari 65% kebutuhan vaksin dan bahan biologis lain masih dipenuhi dari impor, sehingga selain ikut mengurangi cadangan devisa negara, juga dapat menimbulkan kemungkinan masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia melalui kontaminasi agen penyakit pada vaksin yang diimpor. Dapat juga penyakit hewan masuk melalui vaksin aktif impor yang kemudian mengalami

mutasi yang akhirnya menyebarkan penyakit baru.

Kelemahan lain dari vaksin impor adalah kemungkinan kurang protektifnya vaksin tersebut terhadap kuman patogen atau agen penyakit yang ada di Indonesia. Hal seperti ini telah terjadi pada penyakit gumboro (IBD) yang mewabah di Indo-nesia pada awal tahun 1990-an, di mana vaksin impor banyak yang tidak mampu memberikan perlindungan terhadap wabah tersebut. Hasil penelitian membuktikan bahwa virus penyakit gumboro lokal yang menyebabkan wabah tersebut berbeda dengan virus yang digunakan pada vaksin impor (Parede et al. 1994; Parede 1996; Rudd et al. 2002). Keadaan demikian semakin memperkuat perlunya mengem-bangkan vaksin lokal di dalam negeri. Makalah ini mengulas potensi, peluang, dan strategi pengembangan vaksin hewan di Indonesia terutama vaksin ayam yang sangat dominan (lebih dari 80%) kebu-tuhannya di dalam negeri.

PERMINTAAN DAN

KETERSEDIAAN VAKSIN

HEWAN DI INDONESIA

Permintaan Vaksin Ayam

Kebutuhan (permintaan) berbagai vaksin hewan khususnya vaksin ayam di Indo-nesia dapat diketahui dengan cara menga-likan jumlah vaksinasi yang dilakukan dalam satu periode pemeliharaan ayam dengan populasi ayam dan cakupan vaksinasi dari masing-masing vaksin (Kusumaningsih et al. 2001). Dengan demikian diperoleh formula sebagai berikut:

Y = X x P x Z x 1 dosis di mana:

Y = jumlah vaksin yang dibutuhkan X = total vaksinasi

P = populasi ternak

Z = persentase (cakupan) ternak yang divaksinasi oleh setiap jenis vaksin. Untuk menggambarkan kebutuhan vaksin ayam di Indonesia dipergunakan data series populasi ayam dan data ketersediaan vaksin hewan tahun 1994−

2003 yang diolah dari data Direktorat Kesehatan Hewan dan Buku Statistik Peternakan Indonesia tahun 2000 dan 2004. Keadaan tahun 1994 hingga 1997 memperlihatkan situasi perkembangan

ternak yang membaik, sedangkan data tahun 1997−1999 menggambarkan perkem-bangan pada masa krisis, dan data 2000−

2003 menunjukkan pertumbuhan peter-nakan ayam yang kembali normal. Peng-gunaan data pada periode ini masih relevan untuk menggambarkan situasi kebutuhan vaksin hewan saat ini.

Kusumaningsih et al. (2001) mela-porkan terdapat delapan jenis vaksin yang sering digunakan pada ayam petelur selama masa produksinya, yaitu vaksin newcastle disease (ND), infectious bronchitis (IB), infectious bursal disease (IBD), snot (coryza), pox, infectious laryngotracheitis (ILT), egg drop syndrome (EDS), dan swallon head syndrome (SHS). Pada peternakan ayam petelur, rata-rata banyaknya vaksinasi (ulangan) untuk setiap jenis vaksin dalam satu periode pemeliharaan adalah 12 kali untuk ND, 9,80 kali untuk IB, 2,60 kali untuk IBD, 2 kali untuk snot, serta masing-masing satu kali untuk pox, ILT, EDS, dan SHS.

Untuk peternakan ayam potong, program vaksinasi selama masa peme-liharaan hanya dilakukan terhadap ND dua kali dan masing-masing satu kali untuk IB dan IBD. Untuk ayam buras, vaksinasi hanya dilakukan terhadap ND sebanyak 3 kali/ekor/tahun (Partadiredja 1999). Penggunaan vaksin marek tidak dimasukkan dalam perhitungan karena pelaksanaannya langsung diberikan oleh perusahaan pembibitan.

Dari perhitungan tersebut Kusuma-ningsih et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan (permintaan) vaksin ayam relatif sangat besar, baik jenis vaksin maupun dosis yang dibutuhkan setiap tahun (Tabel 1). Tingginya kebutuhan vaksin terutama karena berkembangnya usaha peternakan ayam komersial (petelur dan potong) sehingga peternak tidak mau mengambil risiko kegagalan akibat wabah penyakit. Selain itu pada pola usaha kemitraan dan usaha mandiri, vaksinasi merupakan paket dari usaha ayam petelur maupun potong sehingga merupakan bagian dari biaya produksi (Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al. 2001).

Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa 82,67% kebutuhan vaksin adalah untuk ayam ras yang meliputi 42,33% untuk ayam petelur dan 40,34% untuk ayam potong, sedangkan untuk ayam buras hanya 17,33%. Hal ini disebabkan pemeliharaan ayam buras umumnya bersifat ekstensif dan vaksinasi hanya

(3)

dilakukan terhadap ND rata-rata tiga kali setahun (Partadiredja 1999).

Data Tabel 1 memperlihatkan bahwa kebutuhan vaksin ayam pada tahun 1997 menurun karena terjadi krisis moneter sejak Juli 1997. Penurunan ini semakin mencolok pada 1998 serta meningkat kembali pada 1999. Sejak tahun tersebut kebutuhan vaksin ayam terus meningkat secara signifikan sesuai dengan pening-katan populasi ayam di Indonesia. Ayam buras tidak terlalu terpengaruh oleh krisis pada pertengahan 1997 hingga 1998,

Tabel 1. Kebutuhan vaksin ayam (dalam satuan dosis) di Indonesia, 1994– 2003.

Tahun Ayam petelur Ayam potong Ayam buras Total 1994 1.831.634.752 1.767.320.686 729.781.164 4.328.736.602 1995 1.992.488.545 1.958.086.982 750.241.314 4.700.816.841 1996 2.276.192.778 2.146.914.707 782.138.391 5.205.245.876 1997 2.045.410.479 1.821.501.635 782.504.094 4.649.416.208 1998 1.109.987.515 1.005.429.947 759.400.314 2.874.817.776 1999 1.213.674.042 1.189.791.057 797.965.443 3.201.430.542 2000 2.006.064.740 1.507.682.200 777.771.000 4.291.517.940 2001 2.030.472.400 1.766.008.600 801.126.000 4.597.607.000 2002 2.256.887.900 2.546.813.000 825.876.000 5.629.576.900 2003 2.459.588.200 2.606.287.900 862.032.000 5.927.908.100 Rata-rata 1.922.240.135 1.831.583.671 786.883.572 4.540.707.371 % 42,33 40,34 17,33

sehingga kebutuhan vaksin hanya sedikit menurun pada 1998.

Bila dilihat dari jenis vaksin, vaksin yang paling banyak dibutuhkan adalah vaksin ND yang rata-rata mencapai 63,15% (setara dengan 2,87 miliar dosis) per tahun dari keseluruhan vaksin ayam (Tabel 2). Vaksin IBD menempati posisi kedua dengan kebutuhan rata-rata mencapai 15,90% (sekitar 722,23 juta dosis) diikuti IB 14,31% (sekitar 649,81 juta dosis). Apabila kebutuhan ketiga jenis vaksin tersebut dijumlahkan maka 93,36%

dari total vaksin dipergunakan untuk ayam. Dengan kata lain 93,36% dari total kebutuhan vaksin ayam di Indonesia (sekitar 4,24 miliar dosis) adalah untuk vaksin ND, IB, dan IBD. Sisanya 6,64% adalah vaksin snot (2,60%), pox (1,08 %), ILT (1,42%), EDS (1,46%), dan SHS (0,06%).

Tingginya kebutuhan vaksin ND disebabkan vaksin ini mutlak diperlukan, baik untuk ayam petelur, potong maupun ayam buras. Hal ini dipertegas oleh berbagai laporan yang menyatakan bahwa vaksinasi ND pada ayam buras menjadi syarat mutlak untuk mencegah kematian (Darminto 1992; Tatang 1999). Para peneliti lain juga menyatakan bahwa vaksinasi ND pada ayam harus dilakukan karena Indonesia merupakan daerah endemis ND ganas.

Ketersediaan Vaksin Ayam

Data ketersediaan vaksin ayam di Indo-nesia tahun 1994–2003 diperoleh dari Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) berdasarkan pasokan yang ada (Akoso 1999; 2000; Direktorat Jenderal Bina Produksi Peter-nakan 2004). Data ketersediaan vaksin ayam dipenuhi dari produksi dalam negeri dan impor (Tabel 3). Data tahun 1998 yang tidak tersedia di Direktorat Kesehatan

Tabel 2. Rata-rata kebutuhan vaksin (dalam satuan ribu dosis) di Indonesia, 1994−−−−−2003.

Vaksin1 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-rata ND 2.734.388 2.955.935 3.238.528 2.912.725 1.927.983 2.139.446 2.671.911 2.887.314 3.492.493 3.718.022 2.867.875 (63,15) IBD 682.908 743.133 846.919 756.241 411.570 453.167 732.874 750.241 919.978 925.241 722.227 (15,90) IB 625.169 689.337 764.044 661.236 361.754 419.129 573.198 642.703 861.280 900.228 649.808 (14,31) Snot 112.735 122.636 140.098 125.709 68.319 74.701 123.471 124.974 138.909 151.385 118.288 (2,60) P o x 46.877 50.983 58.243 52.261 28.402 31.055 51.331 51.955 57.749 62.935 49.179 (1,08) ILT 60.801 66.141 75.558 76.798 36.846 40.288 66.591 67.402 74.917 81.646 64.699 (1,42) EDS 63.335 68.897 78.706 70.623 38.381 41.967 69.366 70.210 78.039 85.048 66.457 (1,46) SHS 2.533 2.756 3.148 2.825 1.535 1.679 2.745 2.808 3.122 3.402 2.655 (0,06)

1ND = newcastle disease, IBD = infectious bursal disease, IB = infectious bronchitis, ILT = infectious

laryngotracheitis, EDS = egg drop syndrome, SHS = swallon head syndrome.

(4)

Hewan diprediksi berdasarkan survei ASOHI yang menyatakan bahwa impor obat hewan tahun 1998 menurun 30–60%, begitu pula produksi dalam negeri juga terjadi penurunan yang sama dibanding tahun 1996 (Poultry Indonesia 2000).

Data pada Tabel 3 juga memperlihat-kan bahwa 76,34% ketersediaan vaksin berasal dari impor dan hanya 23,66% diproduksi di dalam negeri. Angka ini lebih rendah dari yang diperkirakan Partadiredja (1999) yang menyatakan bahwa sekitar 35% kebutuhan vaksin ayam di Indonesia berasal dari produksi dalam negeri dan 65% dari impor.

Bila dibandingkan antara kebutuhan dan ketersediaan maka ketersediaan vaksin ayam di Indonesia masih belum mencukupi atau terdapat kekurangan suplai vaksin sekitar 20% atau 1 miliar dosis per tahun (Gambar 1). Apabila dilihat dari kebutuhan dan ketersediaan masing-masing jenis vaksin ayam, maka akan diketahui kekurangan atau kelebihan dari masing-masing vaksin pada tahun tertentu. Pada kurun waktu 10 tahun (1994–2003), kekurangan pasokan vaksin tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebanyak 2,87 miliar dosis (67,04%). Pada tahun berikutnya kekurangan vaksin terus menurun dan mencapai angka terendah pada tahun 2003 yaitu hanya 406,50 juta dosis (6,85%). Diharapkan pada tahun-tahun selanjutnya jumlah kebutuhan dan ketersediaan vaksin ayam dapat seimbang, sehingga kerugian ekonomi akibat serangan penyakit pada ayam dapat ditekan.

Tabel 3. Ketersediaan vaksin ayam (dalam satuan ribu dosis) produksi dalam negeri dan impor, 1994–2003.

Tahun Impor Dalam negeri Total 1994 2.366.700 1.421.200 3.787.900 1995 2.671.300 1.563.300 4.234.600 1996 3.231.800 813.900 4.045.700 1997 3.420.840 395.400 3.816.240 1998 1.615.900 488.340 2.104.240 1999 1.964.980 335.847 2.300.827 2000 2.316.700 560.500 2.877.200 2001 2.123.982 850.000 2.973.982 2002 3.583.588 1.000.000 4.583.588 2003 4.373.052 1.148.317 5.521.369 Rata-rata 2.766.884 857.680 3.624.564 % 76,34 23,66 100 Sumber: Akoso (1999; 2000); Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2004).

Pasokan dan permintaan masing-masing jenis vaksin ayam pada tahun 1999 disajikan pada Tabel 4. Data tersebut menunjukkan terdapat kekurangan vaksin ND sebanyak 36,26% (sekitar 775,70 juta dosis), vaksin IB 15,82% (71,70 juta dosis), IBD 31,38%, sedangkan untuk vaksin snot (coryza), pox, dan SHS terjadi kelebihan pasokan. Apabila dilihat dari sumber atau asal penyediaannya (dalam negeri atau impor), 85,10% vaksin ND (1,16 miliar dosis), 84,92% vaksin IB (sekitar 324 juta dosis), dan 94,29% vaksin IBD (sekitar 271 juta dosis) berasal dari impor, atau baru sebagian kecil saja yang dipenuhi dari

dalam negeri. Dengan demikian ketiga jenis vaksin tersebut berpotensi besar untuk diproduksi di dalam negeri karena selain permintaannya besar, teknologi produksinya telah dikuasai.

Keadaan Vaksin Nonunggas

Vaksin ternak nonunggas meliputi vaksin ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, domba, kambing, dan babi) dan vaksin untuk hewan kecil atau hewan kesayangan (anjing dan kucing). Ke-butuhan vaksin untuk ternak besar diprioritaskan untuk pengendalian penyakit strategis seperti SE (septicaemia epizootica), antraks, brucellosis, dan hog kholera (Akoso 2000). Kusumaningsih et al (2001) melaporkan kebutuhan vaksin SE mencapai 7,50 juta dosis, vaksin antraks 9,40 juta dosis, vaksin brucellosis 3,70 juta dosis, dan vaksin hog kholera untuk babi sekitar 3 juta dosis. Ketersedia-an vaksin SE sekitar 3,50 juta dosis, vaksin antraks 1,40 juta dosis, vaksin brucellosis 198 ribu dosis, dan vaksin hog kholera 372 ribu dosis. Berdasarkan data tersebut terdapat kekurangan vaksin untuk hewan besar dalam jumlah yang cukup besar. Namun demikian mengingat sebagian besar peternakan ternak besar ini merupakan peternakan rakyat sehingga program vaksinasi dan kebutuhan vaksinnya masih disubsidi oleh pemerin-tah, bisnis vaksin untuk ternak besar belum menarik minat pihak swasta. Selain itu

Gambar 1. Kebutuhan, ketersediaan, dan kekurangan vaksin ayam, 1994-2003.

0 1 2 3 4 5 6 7 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Miliar dosis

(5)

volume kebutuhan vaksin tersebut masih jauh lebih kecil daripada vaksin ayam.

Vaksin hewan kesayangan umumnya berupa vaksin rabies, canine parvovirus, canine distemper, canine hepatitis, canine leptospirosis, dan feline panleucopenia. Kusumaningsih et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan vaksin rabies berkisar 4,90 juta dosis serta vaksin canine parvo-virus, canine distemper, canine hepatitis, dan canine leptospirosis masing-masing sekitar 2,10 juta dosis, sedangkan vaksin feline panleucopenia untuk kucing sekitar 2,80 juta dosis. Kebutuhan tersebut baru terpenuhi sekitar 12% dan sekitar 50% berasal dari impor. Baru vaksin rabies yang dapat diproduksi di Indonesia (Akoso 1999; 2000; Kusumaningsih et al. 2001). Walaupun kebutuhan vaksin untuk hewan kesayangan lebih kecil dibanding vaksin ayam, vaksin tersebut berpeluang dikembangkan di dalam negeri.

POTENSI DAN PELUANG

PENGEMBANGAN VAKSIN

HEWAN

Penelitian Vaksin Hewan

Penelitian vaksin hewan di Indonesia telah banyak dilakukan oleh perguruan

tinggi, lembaga penelitian departemen dan nondepartemen, serta produsen vaksin hewan baik milik pemerintah maupun swasta (Akoso 1999; Bahri 1999; Partadiredja 1999). Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) sebagai lembaga penelitian penyakit hewan tertua di Indonesia telah banyak menghasilkan vaksin hewan, antara lain vaksin ETEC

multivalen dan vaksin E. coli polivalen untuk babi dan sapi, serta vaksin enterotoksemia dan blackleg bivalen untuk sapi, kerbau, domba, kambing, dan babi (Natalia 1996; Natalia et al. 1996; Supar et al. 1998, 1999). Ramdani et al. (1997) dan Chancellor et al. (1999) juga telah menghasilkan vaksin SE bivalen dan polivalen dari isolat lokal terpilih yang dapat melindungi sapi dan kerbau secara lebih baik dibanding vaksin yang biasa dipergunakan.

Vaksin unggas juga telah banyak dihasilkan oleh Balitvet, yaitu vaksin ND inaktif, vaksin IB inaktif, vaksin ND aktif tahan panas RIVS2, vaksin IBD aktif intermediate dari isolat lokal, dan vaksin kholera unggas (Darminto 1992; Parede et al. 1994; Darminto dan Ronohardjo 1996; Parede 1996; Darminto 1999; Indriani dan Darminto 2001; Supar et al. 2001a; 2001b; Infovet 2003). Beberapa hasil penelitian tersebut telah mendapatkan paten (Tabel 5).

Beberapa vaksin lokal mempunyai efektivitas yang lebih baik, antara lain vaksin IBD aktif intermediate isolat lokal. Vaksin ini dikembangkan dari isolat virus IBD lokal yang ganas yang mewabah di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Galur virus lokal ini mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan virus vaksin IBD yang diimpor (Rudd et al. 2002), di mana vaksin impor tersebut tidak dapat melindungi wabah IBD di Indonesia (Parede 1996). Vaksin IBD lokal dikem-bangkan oleh Parede (1996) melalui

Tabel 4. Kebutuhan dan ketersediaan masing-masing jenis vaksin ayam (dalam satuan ribu dosis) tahun 1999.

Jenis Kebutuhan1 Ketersediaan Kekurangan/

vaksin Impor Dalam negeri Total kelebihan ND 2.139.446 1.160.552 203.166 1.363.718 -775.728 (66,83) (36,26) IB 453.167 323.914 57.541 381.455 -71.712 (14,16) (15,82) IBD 419.129 271.183 16.429 287.612 -131.517 (13,09) (31,38) Coryza 74.701 35.838 76.096 111.934 +37.233 (2,33) (49,84) P o x 31.055 340.766 3.392 344.158 +313.103 (0,97) (1008,22) ILT 40,288 30.605 2 4 30.629 -9.659 (1,26) (23,97) EDS 41.960 22.422 12.236 34.658 -7.302 (1,31) (17,40) SHS 1.679 1.710 − 1.710 +31 (0,05) (1,85) Total 3.201.425 2.186.990 368.884 2.555.874 -645.551

1Angka dalam kurung adalah persentase.

Sumber: Akoso (2000).

Tabel 5. Hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner yang telah mendapat paten.

Produk teknologi No. Paten Penemu Vaksin infectious bronchitis (IB) S 20000246 Dr. Darminto isolat lokal

Vaksin enterotoksigenik E. coli multi- S 20000247 Dr. Supar, MS valen untuk babi

Antigen berwarna pullorum polivalen S 20000248 J. Sri Poernomo, BSc untuk unggas

Vaksin tetelo inaktif isolat lokal P 00200100757 Dr. Darminto dan Dr. Purnomo Ronohardjo Vaksin tetelo aktif galur Balai P 00200100756 Dr. Purnomo Ronohardjo Penelitian Veteriner 2 (RIVS2) dan Dr. Darminto Vaksin verotoksigenik E. coli untuk sapi P 00200100755 Dr. Supar, MS Vaksin snot trivalen isolat lokal P 00200300437 J. Sri Poernomo, BSc. untuk unggas

(6)

berbagai uji coba dan dapat melindungi serangan wabah IBD di Indonesia. Darminto (1999) juga telah mengembang-kan vaksin IB inaktif untuk ayam yang mempunyai keunggulan komparatif dibanding vaksin IB inaktif impor, karena berasal dari isolat virus lokal yang berbeda dengan virus vaksin.

Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) juga telah berhasil meneliti vaksin ayam coccidia melalui proses radiasi. Beberapa perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Airlangga mempunyai pengalaman dalam meneliti dan memproduksi vaksin hewan dalam skala terbatas terutama vaksin ND (Bahri et al. 2001a). Perguruan tinggi sebenarnya mempunyai potensi yang besar untuk berperan sebagai produsen vaksin, tetapi dibatasi oleh masalah dana, sarana dan prasarana serta peraturan perundangan. Partadiredja (1999) mengemukakan bah-wa status otonomi beberapa perguruan tinggi berdasarkan PP No.16 tahun 1999 membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mendirikan badan usaha yang bergerak dalam bidang produksi vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh FKH-IPB dengan membentuk perusahaan terbatas yang memproduksi vaksin avian influenza (AI) (Infovet 2005).

Produsen Vaksin Hewan di

Indonesia

Produsen vaksin dalam negeri milik pemerintah adalah Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) yang merupakan UPT dari Direktorat Jenderal Peternakan di bidang produksi vaksin, antisera, diagnostika, dan bahan biologik lain. UPT tersebut telah banyak meneliti dan menghasilkan vaksin hewan seperti brucellosis, SE, antraks, rabies, IBD, dan berbagai vaksin ND (Bahri et al. 2001a). Menurut Siregar (1999), PUSVETMA telah memproduksi sekitar 14 jenis vaksin hewan yang meliputi 7 vaksin ayam (5 vaksin ND dan 2 vaksin IB), 4 vaksin hewan besar (brucellosis, SE, antraks, dan hog kholera), satu vaksin rabies, dan 2 vaksin ikan dan udang.

Beberapa produsen vaksin hewan swasta telah banyak pula memproduksi berbagai jenis vaksin terutama vaksin unggas. Perusahaan ini merupakan pionir swasta di bidang produksi vaksin dan

bahan biologis untuk hewan di Indonesia yang berdiri pada awal 1980-an. Peru-sahaan ini memiliki fasilitas produksi yang memadai dan SDM yang potensial dalam pengembangan vaksin di laboratorium dan pemasaran produk. Efisiensi dalam bekerja dan berproduksi diterapkan sehingga produk yang dihasilkan kom-petitif. Kapasitas produksi belum optimal sehingga masih berpeluang untuk di-tingkatkan bila diperlukan.

Rumawas (1999) melaporkan salah satu perusahaan vaksin hewan terkemuka di Indonesia mampu memproduksi 15 jenis vaksin ayam (7 vaksin ND, 4 vaksin IB, dan 4 vaksin IBD), 3 jenis vaksin hewan besar (SE, antraks, dan brucellosis), dan satu jenis vaksin rabies. Produk vaksin Indonesia tidak terbatas dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke Myanmar, Filipina, Thailand, dan Pakistan (Bahri et al. 2001a). Selain perusahaan tersebut, terdapat perusaha-an swasta lain (berlokasi di Bperusaha-andung) di bidang obat hewan, terutama bahan biologis berupa vaksin untuk hewan. Perusahaan memiliki fasilitas dan SDM yang memadai baik untuk pengembangan dan produksi vaksin maupun pemasaran-nya. Kapasitas produksinya cukup tinggi tetapi saat ini produksinya masih sekitar 50% dari kapasitas yang ada sehingga masih memiliki potensi untuk ditingkat-kan. Vaksin yang diproduksi terutama adalah vaksin unggas karena vaksin ini banyak dibutuhkan konsumen (pasar) serta vaksin untuk hewan besar dan hewan kesayangan seperti vaksin distemper, hepatitis dan parvovirus. Saat ini vaksin unggas yang diproduksi adalah 13 jenis vaksin ayam (3 jenis vaksin gumboro, 7 vaksin ND, 3 vaksin IB) serta vaksin pox dan coryza. Produk vaksin tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke beberapa negara Asia seperti Nepal, Vietnam, Filipina, dan Myanmar (Bahri et al. 2001a). Keadaan ini menggam-barkan bahwa produsen dalam negeri mempunyai potensi untuk mengisi kebutuhan vaksin di dalam negeri.

Ketersediaan dan Potensi Isolat

Lokal dan Sumber Daya

Lainnya

Potensi untuk mengembangkan vaksin hewan di dalam negeri didukung oleh ketersediaan isolat lokal baik virus, bakteri maupun parasit yang telah diisolasi dan

disimpan antara lain dalam bentuk kering beku di Balitvet Culture Collection (BCC) maupun di lembaga penelitian lainnya. Selain itu SDM yang berpengalaman dan terkait dengan teknologi produksi vaksin juga telah tersedia baik di lembaga penelitian seperti Balitvet, BATAN, dan perguruan tinggi maupun pada produsen vaksin. SDM maupun sumber daya lainnya sangat potensial untuk pengembangan vaksin hewan di dalam negeri (Bahri et al. 2001a; 2001b).

Balitvet Culture Collection sejak tahun 1982 telah menjadi anggota World Federation of Culture Collection (WFCC) dan juga terdaftar dalam World Data Centre (WDC). Saat ini BCC memiliki koleksi 1.589 isolat bakteri, 273 isolat cendawan, 3 isolat protozoa, dan 11 isolat virus hewan yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan vaksin dan bahan biologis lain. Sebagian dari isolat-isolat tersebut telah diidentifikasi dan dikarak-terisasi sehingga pembuatan vaksin menjadi lebih terarah. Beberapa isolat lokal asal bakteri yang telah dikem-bangkan di Indonesia adalah Pasteurella multocida untuk vaksin kolera unggas (Supar et al. 2001a; 2001b), P. multocida tipe B2 untuk vaksin SE (Ramdani et al. 1997; Chancellor et al. 1999), Clostridium perfringens untuk vaksin enterotoksemia dan C. chavoei untuk vaksin black leg pada hewan besar (Natalia 1996; Natalia et al. 1996). Isolat bakteri lokal lain yang dikembangkan sebagai vaksin adalah enterotoksigenik dan verotoksigenik E. coli untuk vaksin kolibasilosis pada sapi (Supar et al. 1998; 1999).

Beberapa isolat virus lokal yang telah dikembangkan menjadi vaksin hewan adalah virus newcastle disease velogenik galur ITA sebagai vaksin ND inaktif isolat lokal (Darminto 1992, Darminto dan Ronohardjo 1996) dan virus IB isolat lokal I-37, I-269, dan PTS-3 sebagai vaksin IB (Darminto 1999; Indriani dan Darminto 2001). Virus IBD isolat lokal yang berbeda dengan virus vaksin IBD impor telah dikembangkan sebagai vaksin IBD (Parede et al. 1994; Parede 1996). Vaksin-vaksin lokal lainnya adalah kombinasi dari virus ND, IB, dan IBD. FKH-IPB juga telah mengembangkan vaksin ND isolat lokal dan vaksin IBD isolat lokal terpilih, serta vaksin coccidiosis untuk ayam (Parta-diredja 1999). Semua ini menunjukkan bahwa sumber daya plasma nutfah mikro-organisme veteriner lokal mempunyai potensi besar sebagai vaksin hewan yang

(7)

mempunyai keunggulan komparatif di-bandingkan vaksin impor.

Peluang Pengembangan Vaksin

di Dalam Negeri

Pengembangan vaksin hewan di dalam negeri mempunyai peluang yang cukup baik karena permintaan akan vaksin hewan terutama vaksin unggas relatif tinggi dan belum terpenuhi. Untuk mencukupi kebutuhan (target) vaksinasi ayam tahun 2005 sebanyak 1,80 miliar ekor diperlukan tambahan vaksin (antara lain vaksin ND, IBD, dan IB) hampir dua kali dari kebu-tuhan saat ini, sedangkan kebukebu-tuhan saat ini sebesar 85,10% vaksin ND, 84,90% vaksin IB, dan 94,30% vaksin IBD masih dipenuhi dari impor (Akoso 2000). Hal ini juga sesuai dengan harapan ASOHI dalam mengembangkan vaksin hewan di dalam negeri (Pronohartono 1999; 2000). Selain itu produsen vaksin dalam negeri telah mempunyai kemampuan memproduksi vaksin ayam terutama ND, IBD, dan IB (Rumawas 1999; Siregar 1999).

Pengembangan vaksin hewan di dalam negeri juga ditunjang oleh fasilitas yang memadai, baik yang dimiliki oleh produsen vaksin milik pemerintah maupun swasta. Sampai saat ini kapasitas produksi masih jauh dari optimal sehingga vaksin yang diproduksi kurang dari 50% kapasi-tas terpasang (Bahri et al. 2001a). Keada-an ini juga menggambarkan bahwa peluang untuk mengisi kebutuhan vaksin ayam di dalam negeri sangat terbuka.

STRATEGI

PENGEMBANGAN

Upaya mengoptimalkan sumber daya lokal dalam pengembangan vaksin hewan di dalam negeri dilakukan dengan analisis SWOT dari lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang potensial mengem-bangkan dan memproduksi vaksin hewan, sehingga dihasilkan suatu formulasi strategis.

Reorientasi Penelitian dan

Pengembangan Vaksin

Kegiatan penelitian dan pengembangan vaksin hewan yang dilakukan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi masih belum berorientasi pasar. Oleh

karena itu perlu dilakukan perubahan sehingga hasil penelitian dan pengem-bangan mempunyai prospek komersial dan dibutuhkan pasar baik domestik maupun ekspor (Akoso 1999; Bahri et al. 2001b). Teknik produksi vaksin yang dihasilkan juga harus efisien sehingga mempunyai daya saing tinggi serta mutu terjamin.

Penelitian dilakukan dengan meman-faatkan keunggulan isolat lokal mengingat isolat tersebut umumnya memiliki keung-gulan kompetitif dan komparatif dalam mengatasi penyakit hewan di dalam negeri, terutama vaksin ND, IB, dan IBD. Kemungkinan pengembangan vaksin kombinasi (cocktail) dari ketiga agen penyebab tersebut perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hasil kajian yang telah dilakukan Bahri et al. (2001b) dan Kusumaningsih et al. (2001).

Inventarisasi berbagai hasil peneli-tian yang lalu untuk pengembangan vaksin yang mempunyai keunggulan tersendiri dengan memperhatikan permin-taan pasar domestik dan ekspor perlu pula mendapat perhatian. Penjajagan peluang pengembangan vaksin hewan kesayang-an maupun vaksin nonunggas lain ykesayang-ang dibutuhkan di dalam negeri dan mempu-nyai nilai ekonomis layak pula dilakukan.

Pemanfaatan Sumber Daya

Dalam Negeri

Strategi lain yang perlu dilakukan adalah melakukan kerja sama operasional atau kemitraan antara lembaga penelitian dan perguruan tinggi dengan produsen vak-sin pemerintah maupun swasta, terutama untuk vaksin yang teknologinya telah dikuasai atau dihasilkan oleh lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Kerja sama dapat melalui cara toll manufac-turing seperti yang diatur SK Menteri Pertanian atau melalui perjanjian yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Kerja sama dapat pula dilakukan dalam pengembangan vaksin baru. Kerja sama dapat berupa penelitian kemitraan dengan dana sebagian dari pemerintah, atau kerja sama berupa kontrak tenaga ahli (SDM) atau kerja sama produksi yang teknologi pembuatan vaksin tersebut telah dihasilkan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian. Kerja sama ini dapat mengatasi biaya riset yang mahal dalam pengembangan vaksin baru. Melalui kerja sama, kedua belah pihak

dapat saling melengkapi baik dalam SDM, fasilitas, dan dana (Bahri et al. 2001b).

Meningkatkan Kapasitas

Produksi Vaksin Dalam Negeri

Produsen vaksin dalam negeri perlu meningkatkan efisiensi baik produksi maupun usaha, serta meningkatkan produksi vaksin yang berorientasi komersial terutama untuk produsen milik pemerintah, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan pemerintah. Pe-ningkatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang ada, yaitu permintaan pasar yang tinggi terhadap vaksin-vaksin tertentu seperti vaksin ND, IB, dan IBD dalam bentuk tunggal mau-pun kombinasinya. Produsen vaksin milik pemerintah yang umumnya lemah dalam pemasaran perlu memperbaikinya dengan meningkatkan manajemen pemasaran dan strategi bisnis yang profesional, serta memperhatikan kualitas produk dan pelayanan serta melakukan promosi yang intensif. Produk-produk vaksin yang dihasilkan harus efisien, memiliki daya saing tinggi, mutu terjamin dengan menerapkan cara pembuatan obat hewan yang baik (CPOHB). Dengan demikian diharapkan kapasitas produksi terpasang dapat tercapai.

Produsen vaksin hewan milik swasta juga harus dapat memanfaatkan peluang pasar domestik yang tinggi dengan cara meningkatkan produksi vaksin yang telah dihasilkan, serta memperluas pangsa pasar dengan meningkatkan promosi dan pelayanan terutama untuk vaksin ND, IB, dan IBD. Efisiensi usaha perlu pula ditingkatkan agar produk dapat berkom-petisi dengan produk impor sehingga kepercayaan masyarakat terhadap vaksin produksi dalam negeri makin meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas produksi dapat dilakukan kerja sama toll manufac-turing dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi.

Membentuk Unit Produksi

Vaksin pada Lembaga

Pene-litian dan Perguruan Tinggi

Strategi lain yang dapat dilakukan perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk mempercepat produksi vaksin hasil penelitiannya adalah dengan membentuk unit produksi vaksin hewan

(8)

dalam bentuk badan usaha yang bersifat komersial (Partadiredja 1999). Hal ini memungkinkan bagi perguruan tinggi yang telah berstatus BHMN (otonomi). Pada akhir tahun 2004, FKH-IPB telah membentuk unit produksi vaksin bekerja sama dengan investor dari Jepang dan pada awal 2005 telah mampu mempro-duksi vaksin AI untuk ayam (Infovet 2005). Pembentukan unit usaha (unit produksi) semacam ini dapat dikem-bangkan pada lembaga penelitian lain apabila UU No.18 tahun 2002 tentang sistem nasional penelitian, pengem-bangan, dan penerapan iptek telah dilengkapi dengan peraturan pemerintah yang mendukung pendirian badan usaha tersebut. Hal demikian akan se-makin memungkinkan apabila kebijakan pemerintah yang mendukung upaya tersebut dapat terwujud.

Kebijakan Pemerintah dalam

Pengembangan Industri Vaksin

Hewan

Untuk memacu pengembangan vaksin hewan di dalam negeri, dukungan pemerintah berupa kebijakan sangat diperlukan, terutama peninjauan ulang terhadap peraturan yang cenderung menghambat proses komersialisasi hasil-hasil penelitian dari lembaga pemerintah. Pemberian izin produksi vaksin hewan bagi lembaga penelitian pemerintah dan perguruan tinggi diberikan dengan meng-acu kepada prinsip transparansi, akun-tabilitas, dan persyaratan teknis.

Keputusan Menteri Pertanian ten-tang pembuatan, pengemasan, dan per-edaran obat hewan oleh lembaga penelitian

dan perguruan tinggi pada tahun 2001 belum cukup untuk mempercepat pema-syarakatan vaksin hasil penelitian, karena peredarannya tidak diperbolehkan bersifat komersial. Oleh karena itu, adanya per-aturan Menteri Pertanian tentang sistem toll manufacturing perlu dimanfaatkan agar hasil penelitian vaksin lokal dapat dimanfaatkan oleh pengguna.

Kebijakan pemerintah terutama untuk perguruan tinggi negeri yang berstatus BHMN cukup mendukung upaya mempercepat komersialisasi hasil-hasil penelitian vaksin di dalam negeri. Dengan disahkannya Rancangan Per-aturan Pemerintah menjadi PerPer-aturan Pemerintah RI Nomor 20 tahun 2005 tentang alih teknologi kekayaan intelek-tual serta hasil penelitian dan pengem-bangan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan, diharapkan pengembangan vaksin hewan di dalam negeri semakin intensif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan aspek komersial dan nilai ekonomisnya, vaksin ayam perlu mendapat prioritas utama untuk dikembangkan di dalam negeri. Vaksin ND, IB, dan IBD merupakan vaksin ayam yang paling dibutuhkan pasar, mencapai 93,36% dari jumlah total vaksin yang dipergunakan pada ayam, masing-masing 63,15% vaksin ND, 15,90% vaksin IB, dan 14,31% vaksin IBD. Mengingat ketiga jenis vaksin ini sebagian besar (masing-masing 85,10%, 84,92%, dan 94,39%) masih diimpor, pada-hal ketiganya sudah dapat diproduksi di dalam negeri, terdapat peluang yang

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T. 1999. Kebijakan Direktorat Jen-deral Peternakan dalam memenuhi kebu-tuhan obat hewan (vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya). Direktorat Bina Kesehat-an HewKesehat-an, Direktorat Jenderal PeternakKesehat-an. Makalah Disajikan pada Workshop Veteriner 27 Juli 1999, Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, Bogor.

Akoso, B.T. 2000. Kebutuhan bahan biologis untuk menunjang pengamanan ternak ter-hadap penyakit. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan. Makalah Disajikan pada Seminar dan Pameran Teknologi Peternakan dan

cukup besar untuk mengembangkannya. Vaksin IBD perlu mendapat prioritas utama karena agen virus penyebab penyakit di lapangan berbeda dengan virus IBD yang digunakan dalam vaksin impor. Dengan demikian vaksin dalam negeri yang menggunakan isolat lokal mempunyai keunggulan komparatif.

Sumber daya di lembaga penelitian, perguruan tinggi dan produsen vaksin milik pemerintah maupun swasta masing-masing mempunyai keunggulan yang bila dipadukan bersifat komplementer. Sumber daya tersebut merupakan aset nasional yang sangat potensial untuk memacu produksi vaksin hewan dalam negeri. Dalam hal ini perlu diciptakan pola kerja sama yang saling menguntung-kan.

Arah kebijakan penelitian di lembaga penelitian dan perguruan tinggi harus berorientasi pasar dengan produk yang bernilai komersial serta merupakan substitusi impor. Pemerintah dan swasta perlu bekerja sama untuk: a) memperluas pemasaran dan meningkatkan promosi serta pelayanan kepada klien, b) mening-katkan produksi vaksin yang masih di bawah kapasitas terpasang dengan sistem toll manufacturing, c) meningkatkan produksi vaksin unggulan yang masih diimpor dalam jumlah besar seperti vaksin ND, IB, dan IBD, d) mengembangkan vaksin unggulan dalam bentuk kombinasi 2−4 jenis penyakit, e) mengembangkan vaksin baru dari isolat lokal terpilih; f) melakukan efisiensi usaha antara lain dengan menjalin kerja sama dalam memanfaatkan sumber daya, serta (g) meningkatkan mutu produk agar masya-rakat semakin percaya terhadap produk lokal.

Veteriner 14−15 Maret 2000, di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B. Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari. 1993. Sistem penyebaran dan pemasaran obat hewan di DKI Jakarta Raya dan Jawa Barat. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Bahri, S. 1999. Potensi lembaga penelitian dalam

mendukung pengadaan vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya di Indonesia. Workshop terbatas upaya pengembangan

vaksin dan bahan biologis veteriner lainnya di Indonesia, Bogor, 27 Juli 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Bahri, S., A. Nurhadi, E. Martindah, A. Kusuma-ningsih, dan E. Masbulan. 2001a. Studi potensi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta dalam memproduksi vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Pene-litian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 428−440.

(9)

ternakan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 391−404.

Natalia, L. 1996. Evaluasi respons antibodi sapi dan kerbau terhadap vaksin clostridium perfringens Tipe A dengan menggunakan ELISA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(3): 190−193.

Natalia, L., Sudarisman, dan M. Darodjat. 1996. Pencegahan enterotoksemia pada sapi yang ditransportasikan antarpulau. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): 54−59. Parede, L., P. Ronohardjo, H. Hamid, R. Indriani,

N. Sudarisma, I. Solihin, dan Kusmaedi. 1994. Isolasi dan karakterisasi virus IBD dari kejadian akut wabah penyakit gumboro. Penyakit Hewan XXVI(47): 20−24. Parede, L. 1996. Penelitian tentang pembuatan

master seed vaksin hidup virus gumboro (infectious bursa disease) dari isolat lokal virus Gumboro. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Partadiredja, M. 1999. Potensi, peluang dan

prospek perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Makalah di-sampaikan pada Workshop Veteriner 27 Juli 1999. Natalia, L. 1996. Evaluasi respons antibodi sapi dan kerbau terhadap vaksin clostridium perfringens Tipe A dengan menggunakan ELISA. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1(3): 190−193.

Poultry Indonesia. 2000. Industri Obat Hewan Tumbuh 21−30%. Poultry Indonesia, Edisi Mei 2000. hlm. 24−25.

Pronohartono, T. 1999. Peran, fungsi dan kebijakan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) dalam menunjang pemenuhan kebutuhan vaksin dan bahan biologis lain di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Workshop Veteriner 27 Juli 1999. Pronohartono, T. 2000. Kebutuhan dan

keter-sediaan obat hewan di Indonesia. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional IPTEK Veteriner, di 14−15 Maret 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor.

Ramdani, W. Asmara, dan I. Mulyadi. 1997. Analisis sifat antigenik lipopolysaccharide (LPS) dan protein dari Pasteurella multocida untuk pengembangan diagnosa yang akurat dan vaksin yang lebih efektif. Laporan Akhir RUT II. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Rudd, M.F., H.G. Heine, S.I. Sapats, L. Parede,

and J. Ignjatovic. 2002. Characterisation of an Indonesian very virulent strain of infectious bursal disease virus. Arch. Virol. 147: 1.303−1.322.

Rumawas, W. 1999. PT VAKSINDO dan keberhasilannya. Makalah Disampaikan

pada Workshop Terbatas Upaya Pengem-bangan Vaksin dan Bahan Biologis Veteriner Lainnya di Indonesia, 27 Juli 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Simatupang, P., N. Syafaat, S. Murdiyanto, S. Friyanto, M. Suryadi, M. Mardana, dan K. Kariyasa. 2004. Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2000−2003. Departemen Pertanian, Jakarta. 57 hlm.

Siregar, S.B. 1999. Strategi, kontribusi dan prospek Pusvetma dalam memenuhi ke-butuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Workshop terbatas Upaya Pengembangan Vaksin dan Bahan Biologis Veteriner Lainnya di Indonesia, 27 Juli 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-nakan, Bogor.

Sudardjat, S. 2003. Tahun 2005 bisnis per-unggasan tumbuh dua kali lipat. Infovet 102: 41−44.

Suharto, M. 2004. Dukungan teknologi pakan dalam usaha sapi potong berbasis sumberdaya lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong: Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan, Yogyakarta, 8−9 Oktober 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 14−21.

Supar, Kusmiyati, dan M.B. Poerwadikarta. 1998. Aplikasi vaksin enterotoksigenik

Escherichia coli (ETEC) K99, F41 polivalen

pada induk sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibacillosis dan kematian pedet neonatal. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 27−33.

Supar, B. Poerwadikarta, N. Kurniasih, dan Djaenuri. 1999. Pengembangan vaksin

Escherichia coli alfa hemolotik

vero-toksigenik: Respons antiverotoksik antibodi pada hewan percobaan mencit, kelinci, dan sapi perah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 4(1): 35−47.

Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih, B. Poerwadikarta, dan Sjafei. 2001a. Pengem-bangan vaksin kolera unggas: I. Proteksi vaksin pasteurella multocida isolat lokal pada ayam terhadap uji tantang galur homolog dan heterolog. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(1): 59−67.

Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih, B. Poewadikarta, dan Sjafei. 2001b. Pengem-bangan vaksin kholera unggas: II. Pato-genitas dan daya proteksi vaksin pasteurella multocida isolat lokal pada itik percobaan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): 120−

125.

Tatang, E.P. 1999. Beternak ayam kampung agar untung (Bagian 2). Infovet (063) Agustus 1999.

Bahri, S., E. Masbulan, A. Nurhadi, A. Kusu-maningsih, dan E. Martindah. 2001b. Studi kebijakan mengoptimalkan sumber daya dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan vaksin dan bahan biologis veteriner lain di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peterna-kan ARMP-II Tahun 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 441−455.

Balai Penelitian Veteriner. 2004. Vaksin hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner yang siap dikomersialkan. Laporan Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

Chancellor, R., S. Bahri, Y. Setiadi, dan Supartono. 1999. Vaksin septichaemia epizootica (SE) bivalen isolat lokal untuk sapi dan kerbau. Teknologi Unggulan Pemacu Pembangunan Pertanian 2: 51−60.

Darminto. 1992. Efisiensi vaksinasi penyakit tetelo (newcastle disease) pada ayam broiler. Penyakit Hewan XXIV(43): 4−8.

Darminto dan P. Ronohardjo. 1996. Vaksin

newcastle disease inaktif berasal dari virus

isolat lokal galur velogenik. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2(1): 42−49. Darminto. 1999. Pengembangan vaksin

in-fectious bronchitis inaktif isolat lokal. Jurnal

Ilmu Ternak dan Veteriner 4(2): 113−120. Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfield, S. Ehui,

and C. Courbies. 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. IFPRI, FAO, and ILRI.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2004. Buku Statistik Peternakan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, Canberra. Indriani, R. dan Darminto. 2001. Respons anti-bodi dan proteksi vaksin inaktif infectious

bronchitis isolat lokal pada ayam

pe-telur.Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 6(2): 134−140.

Infovet. 2002. Data Bank, diolah ASOHI 2002. Infovet 101: 62.

Infovet. 2003. Data Bank, American Soybean Association (ASA, 2002). Infovet 103: 54. Infovet. 2005. IPB-Shigeta bangun pabrik vaksin

terbesar di Indonesia. Infovet 127: 32. Kusumaningsih, A., S. Bahri, A. Nurhadi, E.

Martindah, dan E. Masbulan. 2001. Studi kebijakan penyediaan dan pengembangan vaksin dan bahan biologis veteriner untuk menunjang peningkatan mutu bibit ternak di Indonesia. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Bagian Proyek Rekayasa Teknologi

Gambar

Tabel 2. Rata-rata kebutuhan vaksin (dalam satuan ribu dosis) di Indonesia, 1994−−−−−2003.
Gambar 1. Kebutuhan, ketersediaan, dan kekurangan vaksin ayam, 1994-2003.
Tabel 5. Hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner yang telah mendapat paten.

Referensi

Dokumen terkait