• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Industri kayu merupakan badan usaha yang mengelola kayu dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Industri kayu merupakan badan usaha yang mengelola kayu dan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

19

TINJAUAN PUSTAKA

Industri Kayu

Industri kayu merupakan badan usaha yang mengelola kayu dan menghasilkan suatu produk kayu sebagai objek dari seluruh rangkaian proses produksi. Kayu merupakan salah satu produk alam selain minyak mentah, ikan, biji besi, dan lain-lain sehingga dapat dikatakan sebagai produk alam yang sangat terbatas pasokannya. Menurut Dumanaw (1999), kayu didefenisikan sebagai suatu bahan yang diperoleh dari hasil pemungutan pohon-pohon di hutan sebagai bagian dari suatu pohon. Dalam hal pengelolaannya lebih lanjut perlu diperhitungkan secara cermat bagian-bagian kayu manakah yang dapat lebih banyak dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.

Menurut Risnasari (2001) industri pengolahan kayu di Sumatera Utara mencakup industri kayu gergajian (sawmill), kayu lapis (plywood) dan pulp. Industri sawmill, plywood dan pulp merupakan industri kayu hulu. Industri-industri tersebut tidak hanya mengolah produk-produk yang siap dipasarkan, tetapi juga mengolah kayu bulat menjadi produk yang dibutuhkan sebagai bahan baku bagi industri-industri hilir seperti moulding dan meubel. Industri hilir ini mengolah bahan baku tersebut menjadi barang jadi. Hasil terbaru mengenai industri perkayuan menurut buku Statistik Kehutanan (2012) Rekapitulasi IUPHHK kapasitas izin 6000m3 tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara disajikan pada Tabel 1.

(2)

20

Tabel 1. Rekapitulasi jumlah IUPHHK kapasitas izin 6000m3 pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara

No .

Jenis industri Jumlah unit usaha (buah) tahun 2011

1. Kayu lapis 0

2. Kayu gergajian 18

3. Veener 0

4. Wood chips 0

5. Laminated veener lumber 0

6. Wood pellet 0

7. Kayu lapis + Kayu

gergajian

3

8. Kayu gergajian + Veener 2

Jumlah 23

Sumber : Buku Statistik Kehutanan (2012)

Sedangkan kapasitas produksi hasil hutan berdasarkan sumber produksi kapasitas dia atas 6000m3 tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kapasitas produksi kayu di atas 6000m3 di Provinsi Sumatera Utara No

.

Jenis industri Kapasitas produksi (m3) tahun 2011 1. Kayu lapis (termasuk

LVL) 60.427,34 2. Kayu gergajian 110.828,00 3. Veener 2.653,00 4. Wood chips 0 5. Pulp 185.404,00 6. Kayu bulat 1.257.997,00 Jumlah 1.617.309,34

Sumber : Buku Statistik Kehutanan(2012)

Menurut Buku Statistik Kehutanan (2012) industri kayu gergajian memiliki kapasitas produksi lebih banyak 110.828,00 dari industri kayu lapis 60.427,34 sedangkan menurut penelitian Risnasari (2001) pada tahun 1998 kapasitas produksi kayu gergajian lebih sedikit 666.800,00 daripada industri kayu lapis 832.473,00. Hal ini disebabkan pada tahun 1998 adannya kebijakan pemerintah tentang peningkatan industri terpadu yang berintikan kayu lapis.

(3)

21

Industri pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara tidak lepas dari tenaga kerja yang dibutuhkan setiap perusahaan. Menurut Buku Statistik Kehutanan (2012) tenaga kerja dibagi berdasarkan status kerja tenaga kerja (harian, bulanan dan borongan). seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. jumlah tenaga kerja industri pengolahan kayu di Provinsi Sumatera Utara No

.

Status tenaga kerja Jumlah tenaga kerja (orang)

1. Bulanan 347

2. Harian 257

3. Borongan 0

Jumlah 604

Sumber : Buku Statistik Kehutanan (2012)

Industri pengolahan kayu yang membutuhkan pasokan kayu bulat adalah industri yang langsung mengolah kayu (industri pengoalahan kayu hulu) seperti kayu industri penggergajian, pulp dan kayu lapis. Sedangkan industri pengolahan kayu hilir seperti moulding dan meubel (furniture) mengolah bahan baku yang berasal dari industri kayu gergajian. Dengan demikian berkembangnya industri hilir sangat ditentukan oleh industri kayu hulu sebagai pemasok bahan baku. Jenis kayu yang banyak digunakan adalah kayu meranti, pinus, dan karet (Risnasari, 2001).

Panglong menurut Alwi (2008) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga memiliki definisi : perusahaan kayu yang diusahakan orang cina dan kilang kayu (tempat penggergajian kayu). Panglong merupakan salah satu industri pengolahan kayu yang termasuk dalam industri sekunder.

Jual beli kayu yang terus meningkat member peluang untuk pengusaha dalam menciptakan badan usaha yang berbeda-beda sehingga mampu menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pendapatan daerah maupun pendapatan nasional. Menurut Fuad et. al., (2005) ada beberapa untuk perusahaan legal di

(4)

22

Indonesia terdiri dari perusahaan perorangan, firma (FA), perseroan komanditer/

commanditer vennotschap (CV), perseroan terbatas (PT), badan usaha milik

Negara (BUMN) dan koperasi.

Dephutbun Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat USU (2000), menjelaskan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang berpengaruh dalam tumbuh dan berkembangnya suatu jenis industri adalah :

1. Faktor pendorong, yaitu faktor yang mampu merangsang dilakukannya kegiatan industri oleh pihak–pihak tertentu (investor) sehubungan dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memungkinkan kegiatan tersebut secara normal. Faktor-faktor tersebut antara lain: sumber bahan baku yang terjamin, teknologi yang tersedia, tenaga kerja dan iklim berusaha yang menunjang

2. Faktor-faktor yang mampu memacu pertumbuhan industri tersebut untuk berkembang terus di masa yang akan datang, yaitu permintaan pasar dan nilai tambah.

Industri Primer, Sekunder dan Tersier

Menurut Suryana (2012) berdasarkan sifat bahan mentah dan sifat produksinya, industri dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Industri primer adalah industri yang langsung mengolah bahan mentah hasil sektor primer, baik dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, maupun pertambangan, tanpa perlu adanya pengolahan lebih lanjut. Contohnya adalah hasil produksi pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan sebagainya.

(5)

23

2. Industri sekunder adalah industri yang mengolah lebih lanjut hasil-hasil industri lain (industri primer), bahan bakunya adalah barang setengah jadi atau barang jadi yang diproduksi industri lain.

3. Industri tersier adalah industri yang hasilnya berupa layanan jasa yang dapat mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat. Contohnya seperti telekomunikasi, transportasi, perawatan kesehatan, pariwisata, dan sebagainya.

Berdasarkan klasifikasi diatas industri panglong termasuk kedalam industri sekunder. Panglong termasuk industri sekunder yang biasanya memproduksi kayu gergajian hingga produk-produk yang terbuat dari kayu. Industri sekunder ini dapat berada jauh dari sumber bahan baku. Misalnya saja terdapat di perkotaan dan kayu gergajian yang biasa ditemui dan dikonsumsi masyarakat misalnya dalam bentuk kaso, reng, papan, broti dan lain–lain. Industri primer cenderung jauh dari perkotaan dan dekat dengan bahan baku. Hasil dari industri primer berupa log kayu yang akan diolah untuk produk lanjutan (Suryana, 2012).

Profil Wilayah Kota Padangsidimpuan

Kota Padangsidimpuan merupakan salah satu kotamadya di Provinsi Sumatera Utara. Memiliki penduduk 191.531 jiwa dengan areal seluas 146,86 km2 yang secara administratif dibagi atas 6 Kecamatan, seperti disajikan pada tabel 4.

Padangsidimpuan secara geografis terletak 1º08’-1º28’ Lintang Utara 99º13’-99º20’ Bujur Timur. Batas wilayah Kota Padangsidimpuan adalah sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Batang Angkola dan

(6)

24

Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebelah barat, berbatasan dengan Kecamatan Angkola Barat dan Kecamatan Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebelah timur, berbatasan dengan Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan (BPS Padangsidimpuan, 2010). Tabel 4. Luas wilayah kecamatan di Kota Padangsidimpuan

No. Kecamatan Luas (km2)

1. Padangsidimpuan Angkola Julu 28,18 2. Padangsidimpuan Batunadua 37,74 3. Padangsidimpuan Hutaimbaru 22,34 4. Padangsidimpuan Selatan 15,81 5. Padangsidimpuan Tenggara 27,69 6. Padangsidimpuan Utara 14,09 Total 146,86

Sumber BPS Kota Padangsidimpuan (2010)

Kebutuhan Masyarakat Terhadap Kayu

Produk dapat didefenisikan sebagai : Suatu sifat yang kompleks baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, bungkus, warna, harga, nama perusahaan, jasa perusahaan, yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya. Barang industri merupakan barang yang memiliki sifat yang berbeda dengan barang konsumsi. Barang industri dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen tidak untuk konsumsi sendiri, akan tetapi barang tersebut dibeli untuk dipergunakannya sebagai alat usaha atau alat berproduksi lagi ataupun dijual kembali dalam menjalankan usaha bisnisnya, baik bisnis yang mempertimbangkan untung rugi atau pertimbangan biaya (Indriyo, 2001).

Penggunaan kayu dalam kehidupan manusia telah ada sejak dahulu, fungsi kayu sangat beragam dan digunakan untuk berbagai keperluan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kayu masih dikonsumsi hingga saat ini. Kayu merupakan komponen terpenting dalam pembangunan perumahan dan bangunan gedung lainnya di Indonesia. Sampai abad ke-20 sebagian besar dari seluruh bangunan

(7)

25

seperti perumahan atau struktur bangunan komersil berbahan dasar kayu (Sitorus, 2009).

Kayu sebagai Bahan Konstruksi

Menurut Wirjomartono (1977) dalam Sitorus (2009) bahan konstruksi adalah bahan yang dipergunakan untuk mendukung beban dalam arti memerlukan analisis perhitungan yang cukup cermat dan untuk kayu mencakup bahan-bahan untuk kuda-kuda, jembatan, tiang pancang dan sebagainya. Sebagai bahan konstruksi bangunan, kayu sudah dikenal dan banyak dipakai sebelum orang memakai beton dan baja. Kayu tersebut harus memenuhi syarat:

1. Mampu menahan bermacam-macam beban yang bekerja dengan aman dalam jangka waktu yang direncanakan.

2. Mempunyai ketahanan dan keawetan yang memadai.

3. Serta mempunyai ukuran penampang dan panjang yang sesuai dengan pemakaianya dalam konstruksi.

Wirjomartono (1977) dalam Sitorus (2009) menunjukkan bahwa penggunaan kuda-kuda kayu dapat menghemat biaya sekitar 10-50% dibandingkan dengan menggunakan baja. Jika membicarakan tentang kayu sebagai struktur bangunan, maka yang harus diperhatikan antara lain adalah kekuatan dan keawetan kayu. Karena tujuan umum para pemilik bangunan maupun perencanaan adalah membangun/ mempunyai gedung yang aman dan kuat konstruksinya, biaya konstruksinya murah, umur bangunan cukup lama serta biaya pemeliharaannya ringan.

(8)

26

Menurut Indriyo (2001) jumlah permintaan akan sangat tergantung dari tinggi rendahnya harga pasar yang berlaku. Apabila harga yang berlaku itu rendah maka tentu saja jumlah yang diminta masyarakat akan lebih banyak. Karena dengan harga yang lebih rendah tentulah akan lebih banyak orang yang dapat menjangkau harga tersebut.

Menurut Fuat et. al., (2005) harga adalah sejumlah kompensasi (uang atau barang kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi barang dan jasa. Bagi masyarakat harga masih menduduki tempat teratas dalam keputusan untuk membeli suatu barang dan jasa.

Mutu dan Kualitas Kayu

Mutu dan kualitas kayu perlu diperhatikan juga sebelum membeli dan menggunakan kayu untuk berbagai keperluan. Menurut Wirjomantoro (1977)

dalam Sitorus (2008) mutu atau kualitas kayu secara umum dapat didefenisikan

sebagai suatu ukuran ciri-ciri yang mempengaruhi sifat produk-produk yang dibuat dari kayu tersebut. Defenisi kualitas yang lebih tepat mungkin sukar dipahami karena sifat penting kayu yang digunakan untuk suatu produk sering berbeda dengan sifat penting untuk produk lain.

Menurut Wirjomantoro (1977) dalam Sitorus (2008) mutu dari suatu jenis kayu ditentukan oleh sifat fisiknya seperti warna, tekstur, serat, kesan raba, bau, nilai dekoratif dan sifat-sifat pengerjaan, seperti sifat pengetaman, pembubutan, pemboran dan pengampelasan. Dalam satu hal, kualitas mungkin ditentukan dari kerapatan, kenampakan, cacat kayu yang terkandung seperti mata kayu, serat miring, lubang gerek yang akan mempengaruhi pengerjaan dan pemakaiannya.

(9)

27

Kebutuhan masyarakat akan kayu di Indonesia menurut data statistik dalam satu tahun tercatat tidak kurang dari 2 juta m3 kayu gergajian yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan perumahan dan pemukiman. Pada kenyataanya, jumlah kayu gergajian yang diperlukan jauh dari atas angka tersebut karena banyak sekali kayu-kayu yang digunakan sebagai bahan konstruksi bangunan yang dihasilkan dari industri kecil rakyat yang tidak tercatat (Greenomics, 2004).

Jumlah Penduduk Terhadap Kebutuhan Masyarakat Terhadap Kayu

Jumlah penduduk serta banyaknya pembangunan membuat konsumsi kayu semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari pemasaran produk kayu olahan yang berupa kayu gergajian di wilayah provinsi Sumatera Utara. volume yang dipasarkannya mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (Dephutbun dan LPPM USU, 2000).

Jenis Kayu yang Diperdagangkan di Indonesia

Beberapa jenis kayu yang sering dipakai di industri-industri penggergajian dan pengerjaan kayu adalah damar (Agathis alba), meranti merah (Shorea

leprosula) dan durian (Durio zibethinus). Sifat pemesinan kayu yang baik dan

mudah diolah serta kualitas hasil pengolahan yang baik adalah alasan banyak pengusaha indutri dan masyarakat gemar memakai jenis kayu ini. Sebagaimana diketahui bahan ketersediaan kayu semakin menurun baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1980-an kayu bangunan didominasi jenis-jenis kayu tertentu seperti kapur, kempas, jati, merbau, ulin yang termasuk jenis-jenis kayu kelas kuat dan kelas awet cukup (Rudi, 2002 dalam Sitorus, 2009).

(10)

28

Menurut Benny (1992), dalam perdagangan kayu umumnya mempunyai ukuran-ukuran tertentu yang biasanya banyak dipakai untuk bangunan rumah. Masing-masing bentuk dan ukuran dikenal dengan nama-nama sebagai berikut :

1. Balok : mempunyai ukuran tinggi lebih besar dari lebarnya, biasanya terbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar, misalnya (cm) 6 x 12, 6 x 15, 8 x 12, 8 x 14, 10 x 10, 12 x 12.

2. Papan : berupa lembaran tipis yang lebarnya jauh lebih besar dari tebalnya misalnya (cm) 2 x 20, 3 x 20, 3 x 35.

3. Ram : yaitu papan untuk membuat rangka daun pintu dengan ukuran (cm) 3 x 10, 3 x 12.

4. Kaso/usuk : yaitu balok kecil dengan ukuran (cm) 4 x 6, 5 x 7. 5. Reng : yaitu kecil dengan ukuran (cm) 2 x 3.

6. Plepet : kayu kecil dengan ukuran (cm) 1 x 3, 1 x 5, biasanya untuk klem kaca pada kusen jendela atau lis penutup sambungan langit-langit/ plafoon. Panjang dari ukuran di atas sudah tertentu, yang banyak dijumpai adalah 1 sampai 3 meter, 3 sampai 4 meter sudah jarang, lebih dari 4 meter sudah sulit dicari dan seandainya ada biasanya harganya mahal.

Menurut Benny (1992) berbagai jenis kayu yang banyak dipakai sebagai bahan bangunan, diantaranya:

1. Kayu jati: cocok untuk pintu dan jendela, mebel, konstruksi berat terutama yang tidak terlindungi.

2. Kayu kalimantan: jenisnya: kamper, kruing, bangkirai, meranti, laban dan sebagainya. Cocok untuk segala macam konstruksi bangunan terutama yang terlindung dari pengaruh panas dan air.

(11)

29

3. Kayu glugur (kelapa): masih banyak dipakai untuk membuat kuda-kuda rumah, terutama pohonnya yang sudah benar-benar tua.

4. Kayu nangka, sawo, mahoni, rasamala: masih banyak digunakan rumah-rumah di desa.

Menurut Martawijaya, et. al., (1995) ada 30 jenis kayu perdagangan diantaranya agathis (Agathis spp.), balam (Shorea spp., dan Hopea spp.), bangkirai (Shorea leavis Ridi), bintangur (Calophylium spp.), durian (Durio spp.) eboni (Diospyros celebica), gerunggang (Cratoxylon arbosences BI), jati (Tectona

grandis L.F.), jelutung (Dyera spp.), kapur (Dryobalanops spp.), kruing

(Dipterogarpus spp.), mahoni (Swietenia spp.), matoa (Bonietia spp.), medang (semua family Lauraceae kecuali genus Eusideroxylon), mentibu (Dactylocdalus

stenotachys Oliv), meranti kuning (Shorea spp.), meranti putih (Shorea spp.),

merawan (Hopea spp.), mersawa (Anisoptera spp.), nyantoh (Ganua sp.,

Plaquium spp.), pulai (Alstonis spp.), ramin (Gonystylus spp.), rengas (Gluta spp.), resak (Vatica spp.), sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb), sonokembang

(Ptrecarpus indicus Willd), sungkai (Peronenomons canescens Jack).

Keawetan dan Kekuatan Kayu

Kelas kuat kayu di Indonesia dibagi ke dalam 5 kelas (seperti disajikan pada Tabel 5) yang diterapkan menurut berat jenisnya. Berat jenis dalam hal ini adalah perbandingan berat dan volume kayu dalam keadaan kering udara dengan kadar air sekitar 15% (Yap, 1964 dalam Sitorus, 2008).

(12)

30

Tabel 5. Kelas kuat kayu menurut berat jenis kayu (BJ)

Kelas awet Berat jenis Contoh kayu

I 2 – 0,90 bangkirai (Shorea leavis), eboni (Dyospiros

celebica), merbau (Intsia spp.) ulin (Euderoxylon zwagerii), dll

II 0,90 – 0,60 rengas (Gluta rengas), meranti (Shorea spp.), dll

III 0,60 – 0,40 durian (Durio zibethinus), ramin (Gonystilus

bancanus)

IV 0,40 – 0,30 kemiri (Aleuyitus mollucana), perupuk (Lophopetahan spp.)

V ≤ 0,30 pulai (Alstonia scholaris)

Sumber : Martawijaya, at. al., (1995) Tingkat Keawetan

Pemakaian kayu tidak lepas dari kualitas kayu dalam hal ini kekuatan dan keawetanya yaitu kelas kuat dan kelas awet kayu. Wiryamartono (1976) dalam Sitorus (2009) menyebutkan bahwa yang menentukan tingkat keawetan kayu adalah daya tahan kayu terhadap pengaruh perusakan oleh rayap-rayap, serangga dan binatang-binatang kecil lainnya. Kelas awet kayu dibagi kedalam 5 kelas seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat kelas keawetan kayu Tingkat kelas A (tahun) B (tahun) C (tahun) Contoh kayu I 8 20 Tak terbatas Jati (Tectona grandis L.F.) II 5 15 Tak terbatas Bangkirai (Shorea leavis Ridi)

III 3 10 Lama kruing

(Dipterogarpus spp.) IV Singkat sekali Beberapa tahun 10-20 Suren (Toona sureni) V Singkat sekali Singkat sekali Singkat

Sumber : Martawijaya, at. al., (1995) Keterangan :

A. : Kayu ditempatkan di tanah lembab

B. :aKayu ditempatkan ditempat yang tidak terlindungi tetapi dicegah

cimasuk air ke dalam

(13)

31

Tingkat Pemakaian

Menurut Martawijaya, at. al., (1995) tingkat pemakaian sesuatu kayu menyatakan kecakapan kayu untuk suatu macam konstruksi. Dalam menentukan tingkat pemakaian tidak dipandang soal mengerjakan kayu serta mudah atau sukarnya pengolahan kayu itu. Kayu yang digunakan adalah kayu biasa atau dalam keadaan tidak diawetkan. Ada 5 macam tingkat pemakaian kayu yaitu :

1. Tingkat I dan II untuk keperluan konstruksi-konstruksi berat tidak terlindung dan terkena tanah lembab. Tingkat I diantanya adalah kayu jati, merbau, bangkirai. Tingkat II diantanya adalah merawan, rasamala dan sebagainya.

2. Tingkat III untuk keperluan konstruksi-konstruksi berat terlindung diantaranya adalah kruing, kamper, meranti.

3. Tingkat IV untuk keperluan konstruksi-konstruksi ringan yang terlindung yang termsuk dalam tingkat ini adalah suren, jerujing dan lain-lain.

4. Tingkat V untuk keperluan pekerjaan sementara.

Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi adalah proses kekuatan dan kelemahan suatu ekonomi dianalisis. Analisis ekonomi adalah penting untuk memahami kondisi ekonomi yang tepat (Alam et. al., 2009).

Menurut Aziz (2003) untuk mengetahui tingkat kelayakan dari berbagai produk hal yang dilakukan adalah menganalisis biaya dan pendapatan. Setelah mengetahui biaya dan pendapatan dilanjutkan dengan pemakaian metode R/C

(14)

32

a. Analisis biaya dan pendapatan

Dalam analisis biaya dan pendapatan dilakukan perhitungan biaya produksi total (biaya tetap total dan biaya variabel total). Setelah mengetahui biaya produksi dihitung penerimaan dan keuntungan.

Menurut Aziz (2003) rumus perhitungan biaya produksi, penerimaan dan keuntungan adalah sebagai berikut:

a. Biaya produksi: TC = TFC + TVC Penerimaan: TR = P.Q

Keuntungan = TR – TC Keterangan:

TC = total cost (biaya total)

TFC = total fixed cost (biaya tetap total )

TVC = total variabel cost (biaya tidak tetap total) TR = total revenue (penerimaan total)

P = price per unit (harga jual per unit) Q = quantity (jumlah produksi) b. Revenue Cost Ratio (R/C)

Metode R/C merupakan perbandingan penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan. Menurut Kuswadi (2006) untuk menghitung R/C dapat dirumuskan sebagai berikut.

RC =

TC TR

Keterangan:

TR = total revenue (penerimaan total) TC = total cost (biaya total)

Kriteria penilaian R/C:

R/C < 1 = produk tidak layak secara ekonomi R/C > 1 = produk layak secara ekonomi

(15)

33

c. Pendekatan Break Event Point (BEP)

Analisis break event point adalah suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik, dalam unit atau rupiah, yang menunjukkan biaya sama dengan pendapatan. Menurut Aziz (2003) perhitungan BEP (konsep titik impas) dapat dilakukan dengan dua rumus yaitu:

BEP Biaya Produksi =

roduk P rga Ha Total Biaya

BEP Harga Produksi =

roduksi P

Total

Total Biaya

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut, mendorong penelitian pada usaha industri kerajinan kayu hitam “Krisna karya” di Kota Palu, dengan menggunakan alat analisis rentabilitas,

penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. Menyatakan bahwa pelaku

Pemasaran atau sering juga disebut tataniaga adalah suatu proses pertukaran yang meliputi kegiatan untuk memindahkan barang atau jasa dari produsen ke konsumen (Azzaino 1980

Permintaan pasar merupakan jumlah total suatu barang yang ingin dibeli oleh setiap konsumen pada setiap tingkat harga, atau dengan kata lain merupakan penjumlahan

Penyaluran gas bumi sampai ke konsumen akhir dapat dilakukan dalam rangka kegiatan usaha hulu, umumnya untuk konsumen besar (sektor listrik dan industri) dan dalam rangka

H5 : sales growth , profitabilitas, likuiditas, dan struktur aktiva berpengaruh secara signifikan terhadap struktur modal pada perusahaan aneka industri dan industri