Hendra Sardi# Rantau Batuah# 45x45cm# Akrilik di Kanvas# 2012 Konsep Karya : Pencarian daerah baru untuk menetap dan berkehidupan maupun mengemban misi tertentu untuk memperluas daerah kekuasaan sudah dilakukan masyarakat Minang Kabau sejak dahulu kala (sejak Langik basintak Naik, bumi basintak Turun). Dalam pencarian tersebut dikenal dengan manaruko yang dilakukan secara individu maupun kelompok. Hal itu ditandai dengan silsilah pengembangan pengaruh Adat Minang Kabau. Selain Luak Nan Tigo terdapat juga daerah rantau dari pasisia karinci sampai palembang dan dari kuok bangkinang dan seterusnya sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Merantau sebelumnya banyak dilakukan oleh kaum laki‐laki karena di Minang Kabau laki‐laki tidak diatur dalam Adat untuk menerima harta Pusaka Tinggi namun diberi tanggung jawab yang besar untuk membimbing anak kemenakan baik secara moril maupun materil. Dengan demikian merantau marupakan salah satu jalan untuk membangkit batang terendam dalam mengangkat harkat dan martabat kaum maupun keluarga. ( Karatau madang dihulu , babuah babungo balun , marantau denai dahulu, dikampuang baguno balun). Akan tetapi saat ini sudah banyak pula kaum perempuan yang mendominasi. Selain ikut suaminya juga ada juga dikarenakan faktor ekonomi merantau adalah pilihan.
Dima bumi dipijak disitu langik dijunjung merupakan kata wasiat bagi
perantau minang untuk memulai langkahnya agar dapat mencari hidup
sekaligus menghidupi daerah dimana tempat berpijak. Tuah nya Rantau
dengan bermodalkan jiwa dagang cepat beradaptasi cerdik membaca peluang
maka sebagian besar perantau Minang sukses di Negeri orang baik sebagai
saudagar, politikus seniman dan banyak lagi yang lainya dan tentu saja
berdampak pada keluarga, kaum maupun kampung halamanya . Tidak
hanya di Indonesia saat ini di seantero dunia ini terdapat orang minang
dalam mengarungi tuahnya rantau . Dan diperkirakan 2/3 masayarakat
Minang berdomisili di Perantauan. Apa dan mengapa orang Minang
Merantau
Drs. St. Mukhlis Denros
Suatu kebiasaan orang Minangkabau yang tidak mudah dilepaskan begitu saja yaitu merantau
dalam rangka membenahi diri dengan berbagai pengalaman di daerah lain. Kebiasaan
berprestasi di negeri orang untuk perbaikan hidupnya, disamping untuk pertimbangan
kepentingan kampung halaman. Pandangan hidup yang demikian itu diungkapkan dalam
pepatah yang berbunyi, ”Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang
dahulu, di rumah paguno balun, satinggi tabang bangau,baliak juo ka kubangan, sanang bana
hiduik di rantau, takana juo kampuang halaman”.
Ini berarti bahwa selain adanya budaya pengembangan sumber daya manusia dan usaha
perbaikan kehidupannya sendiri, terkandung pula keterkaitan dan keterikatan para perantau
itu untuk turut memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup sanak famili dan kampung
halamannya seperti diperkuat oleh pepatah, ”Anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang
kampuang dipatenggangkan”. Dengan demikian peningkatan kemampuan sumber daya
manusia dan budaya merantau itu masih tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan sejauh
hal itu mengandung unsur manfaat bagi kehidupan dan pembangunan di kampung halaman.
Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak saja sekarang malahan sejak nenek moyang
kita dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di berbagai kota besar dan kecil di seluruh
persada nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri, pokoknya setiap sudut ada orang
Minang.
Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu
minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita
jumpai orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah Minang juga mengatakan,”Bialah
tanduak takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara habis bersorak, asalkan perut
kenyang], setelah bersorak di kaki lima agak seminggu sampai sebulan akhirnya membuka
kios, dari kios menjadi toko, bahkan sampai pedagang besar.
Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di rantau mereka bekerja di suatu instansi
pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka
terapkan di ranah minang. Berbagai faktor pendorong yang menjadi urang awak pergi
merantau, disamping menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan
rohani atau bakatnya untuk melanglang buana. Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya
dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah merantau bagi masyarakat pada umumnya
dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri yang banyak menghanyutkan putra Minang
ke rantau.
Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah pada saat persiapan segala sesuatunya untuk
bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para orangtua dan mamak di Minang
memberikan petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini, ”Elok-elok manyubarang, jan
sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”.
Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama sebagai bekal seorang calon perantau
melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus
dijaga jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan seorang Minang di rantau sama
artinya merusak nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain berbunyi, ”Hiu beli belanak
beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang cari dahulu”.
Artinya sesampai di rantau seorang Minang berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih
diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh jadi keluarga tempat menetap tapi hanya
dalam waktu sementara, untuk itulah pemuda Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja
asal jangan membebani keluarga di rantau.
Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat perantau nenek moyangnya itu, sangat
memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat
untuk tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik itu akan tetap dipegang teguh pada
setiap saat baik siang maupun malam hari.
Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak ketika melepas anak atau kemenakannya
merantau adalah sebuah ungkapan manis yang padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan
suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau batuah” dari ungkapan ini mengandung arti
yang dalam.
”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau rantau yang ditempuh itu bukanlah kota
bebas, namun ada beberapa aturan atau pantangan yang harus dihindari atau batasan yang
tidak boleh dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir mirip pengertiannya bahwa
rantau/negeri orang itu selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya. Jadi antara saru
daerah/negeri itu tidaklah sama adat kebiasaannya dengan daerah lainnya, sehingga kalau
memasuki daerah orang, kita harus mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan
masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati saja.
Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang, meninggalkan sanak keluarganya dan
kampung halaman,walaupun demikian warnanya sebagai orang Minang tidak akan berubah.
Dimana dan kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi dengan suku apapun dan
berbaur dengan berbagai lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran zaman dan pengaruh
situasi maka warna Minang tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh saja lahir di
rantau, dibesarkan dan dididik di lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan
kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap Minang. Bilapun ada bangau yang tidak
pulang ke kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang Minang yang luntur
ke-Minangannya, itu sungguh suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali dalam 10.000
perantau Minang hanya seorang yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh dicap
sosok Malin Kundang.
Sehingga wajar kalau orang Minang pada hari-hari baik, kalau ada kesempatan dan rezeki
lapang berusaha pulang kampung melepas kerinduan dengan teman bermain dan tepian
mandi, setelah itu kembali lagi ke rantau merambah kehidupan.
Di rantau apapun jabatan dan pekerjaan dilakukan dengan berhati-hati tak ubahnya di
kampung sendiri karena prinsip ”Dimana bumi dipijak disinan langik dijunjuang” telah
melembaga sejak dahulu yang diwarisi dari tradisi nenek moyang.
meninggalkan kampungnya mencari pengalaman, ilmu dan penghidupan di rantau orang.
Dimanapun berada yang dianggap baik tempat menetap oleh seseorang sama saja, karena
bumi Allah ini luas, lakukanlah sesuatu untuk menuju kemajuan hidup pribadi, keluarga,
masyarakat dan bangsa, entah di Solok atau di Solo, entah di Lampung atau di Kampung,
entah di Merauke atau di Maroko, bukan jadi penghalang bagi orang Minang untuk berkiprah
[Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Umum Singgalang Padang, 03101999].
Budaya Merantau Orang Minang (1)
Budaya Merantau Orang Minang
Oleh: Gamawan Fauzi
Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan
bersama Apallo 11 38 tahun silam, ia sangat terkejut mendapati
orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka
rumah makan Padang.
Orang Minang memang ada di mana‐mana di berbagai pelosok
Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki
budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku
bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau,
etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar,
Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.
Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan
berkembang sejak berabad‐abad silam. Para pengelana awal bangsa
Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang
Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum
orang‐orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan
pertengahan Abad ke‐19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan
Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau
State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung
Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri
Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi
Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di
Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam
mendirikan Negara Republik Indonesia.
Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis,
egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan
bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka
yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana
saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional
menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul
dan berkembang sejak berabad‐abad silam. Budaya yang unik ini
sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau Bujang dahulu
Di kampuang baguno balun
(Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau Bujang dahulu
Di kampung berguna belum)
Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti
(darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah
wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun
perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu
yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang
lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam
konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah
untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi
yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan
dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar),
mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan)
(Navis, 1999)
Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara
sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang
berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui
proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang
Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri.
Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah,
untuk membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim,
1984).
Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia
agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya
persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit
tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih
luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses
seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh‐tokoh
asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti
Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin,
Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih
belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di
kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”.
Selalu Membaur, tak Pernah Konflik
Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang
Minang memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Ini
sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup mereka: di
mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing
mengembek, di kandang kerbau mengo’ek.
Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah
terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini
karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak
eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana
pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”.
Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota‐kota di mana
perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung
halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para
pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan
Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada
Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.
Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu,
mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada.
Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di
rantaunya masing‐masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang
menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku
yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955‐1960), dan
Muhammad Padang (1960‐1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang
pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964‐1968);
Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau
Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama
Provinsi Jambi (1956‐1957).
Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan
mempunyai peranan di mana‐mana, di berbagai kota dan pelosok di
Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia yang
pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah
menjadi Gubernur Sumatera Barat, saya selalu bertemu dengan orang
Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup banyak di
daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan
Timor Timur. Bahkan, dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum
Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, yakni ketika
Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang
Minang sudah membuka dan mengusahakan rumah makan di sana.
Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang
(keturunan) Minang di perantauan lebih banyak ketimbang yang
tinggal di Sumatera Barat, atau kira‐kira 8 – 10 juta jiwa. Konon, di
wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang
di antaranya adalah orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang
hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam di Jakarta yang
menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek
pengurusnya adalah orang Minang.
Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau
atau keturunan Minang atau orang yang berasal dari Sumatera Barat.
Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan (Malaysia)
mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap
menyatakan diri menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau
(lihat Samad Idris, Payung Terkembang).
Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang
Minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga hidup dan membaur
dengan masyarakat di kota‐kota bahkan pelosok di semua pulau
besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali,
Nusatenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula
merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima benua.
Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang
mungkin saja sudah ada pula di sana.
Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat–
dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang
lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan
lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang,
saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan,
mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau
kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan
swasta, wartawan, sastrawan, dan lain‐lain).
Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan
diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang
unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan
kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang
umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang
dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid – 70:
“On two things in life you cannot be objective: first, the love to your
mother; secondly, the love to your country where you have been born”
(Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu;
kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).
Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang
dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial
(keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta
yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula
dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya,
orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya
sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun
tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat
pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang
tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat
Perpatih” (adat Minang).
Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan,
setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada
negeri asal dan adat‐budayanya. Kedua, di mana tempat mereka
berada, mereka membangun ikatan‐ikatan kekeluargaan dalam
bentuk kesatuan se‐nagari asal, se‐kabupaten, atau yang lebih luas
dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.
Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang
Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat,
tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi,
hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul
Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur,
bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan
tersebut. Ketika menghadiri kegiatan‐kegiatan orang Minang di
rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari
pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu‐lagu Minang.
Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh‐
jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang.
Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan
perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung.
Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan
unek‐unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur
Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang,
mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan
seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap
perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa
kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar,
ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun,
kalau bicara tentang nagari‐nya selalu bersemangat bahkan berapi‐
api bicaranya.
Setinggi‐tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh‐
jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat‐hebatnya
orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya,
mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung
halaman atau negeri asalnya.
Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan
berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan
terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal‐soal politik dan pemerintahan di
kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa
yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi
bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik.
Mereka tidak ber‐KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung
jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan
pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.
Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk
memimpin nagarinya. Semasa menjadi Bupati Solok, saya dua kali
menerima delegasi perantau nagari yang datang memperkenalkan
calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk
memimpin nagarinya. Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang
terpilih sebagai wali nagari.
Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari,
banyak pula tokoh‐tokoh rantau yang kemudian pulang kampung
untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries terkenal,
bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada
mantan walikota yang kemudian ikut pemilihan wali nagari dan
terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota sekarang
wali nagari.
Forum SSM dan Peranan Orang Minang
Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali
diadakan, adalah bentuk lain dari kepedulian perantau Minang
kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan
tradisi yang sudah terbangun selama berabad‐abad. Atas nama
masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat, saya menyambut
dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan
memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat
Sumatera Barat.
Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari
perantauan, namun kita tak pernah meragukan, kegiatan ini adalah
perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan
masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi
Saudagar Minang yang kedua tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat
dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat bagi
kampung halaman dan nagari.
Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan
putra‐putra Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.
Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan pembangunan
setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang
politik, pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi.
Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan
yang menonjol? Salah satunya adalah pendidikan. Penelitian yang
dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di Universitas
Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Asal‐usul Elite
Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa
salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke‐19 adalah karena
mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan tepat
pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau.
Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan,
orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam,
madrasah‐madrasah melalui surau‐surau yang ada. Setelah Belanda
memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke‐19, orang
Minangkabau pun meresponnya dengan tepat sehingga memberikan
keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya
memasukkan anak‐anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda,
tetapi juga membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi
sekolah model Barat itu.
Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan
mempunyai kemampuan. Sehingga, ketika Indonesia merdeka dan
memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan
teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang
Minang menjadi sangat menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya
di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan ekonomi.
Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing
yang tinggi dan wawasan yang luas. Dipadu dengan bekal pendidikan
dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu untuk
hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah
keberanian untuk hidup (ini untuk membedakan dengan suku bangsa
lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani hidup”)
Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter,
semangat mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka
memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian tumbuh
berkat kemampuan entrepreneurship‐nya yang tinggi menjadi
saudagar kelas menengah dan bahkan besar.
Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang
Minang sukar diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang
cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau
birokrasi
Info Penelitian
Budaya Merantau Orang Minang
Budaya Merantau Orang Minang Oleh: Gamawan Fauzi Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan bersama Apallo 11 38 tahun silam, ia sangat terkejut mendapati orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka rumah makan Padang. Orang Minang memang ada di mana‐mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura. Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad‐abad silam. Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang
Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang‐orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke‐19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia. Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul dan berkembang sejak berabad‐abad silam. Budaya yang unik ini sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi: Karatau madang di hulu Babuah babungo balun Marantau Bujang dahulu Di kampuang baguno balun (Keratau madang di hulu Berbuah berbunga belum Merantau Bujang dahulu Di kampung berguna belum) Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti (darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999) Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim, 1984). Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh‐tokoh asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”. Selalu Membaur, tak Pernah Konflik Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang Minang memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Ini sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup
mereka: di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing mengembek, di kandang kerbau mengo’ek. Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota‐kota di mana perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman. Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di rantaunya masing‐masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955‐1960), dan Muhammad Padang (1960‐1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964‐1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956‐1957). Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan mempunyai peranan di mana‐ mana, di berbagai kota dan pelosok di Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia yang pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah menjadi Gubernur Sumatera Barat, saya selalu bertemu dengan orang Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup banyak di daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan Timor Timur. Bahkan, dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, yakni ketika Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang Minang sudah membuka dan mengusahakan rumah makan di sana. Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang (keturunan) Minang di perantauan lebih banyak ketimbang yang tinggal di Sumatera Barat, atau kira‐kira 8 – 10 juta jiwa. Konon, di wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang di antaranya adalah orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek pengurusnya adalah orang Minang. Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau atau keturunan Minang atau orang yang berasal dari Sumatera Barat. Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan (Malaysia) mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap menyatakan diri menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau (lihat Samad Idris, Payung Terkembang). Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang Minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga hidup dan membaur dengan masyarakat di kota‐kota bahkan pelosok di semua pulau besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusatenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima benua. Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang mungkin saja sudah ada pula di sana. Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat– dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah
atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan swasta, wartawan, sastrawan, dan lain‐lain). Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid – 70: “On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu). Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial (keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya, orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat Perpatih” (adat Minang). Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat‐budayanya. Kedua, di mana tempat mereka berada, mereka membangun ikatan‐ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se‐nagari asal, se‐ kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat. Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat, tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi, hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur, bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Ketika menghadiri kegiatan‐kegiatan orang Minang di rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu‐lagu Minang. Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh‐jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang. Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung. Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan unek‐unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang, mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar, ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun, kalau bicara tentang nagari‐nya selalu bersemangat bahkan berapi‐api bicaranya. Setinggi‐tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh‐jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat‐hebatnya orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya, mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung halaman atau negeri asalnya. Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal‐soal politik dan pemerintahan di
kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik. Mereka tidak ber‐KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong. Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk memimpin nagarinya. Semasa menjadi Bupati Solok, saya dua kali menerima delegasi perantau nagari yang datang memperkenalkan calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk memimpin nagarinya. Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang terpilih sebagai wali nagari. Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari, banyak pula tokoh‐tokoh rantau yang kemudian pulang kampung untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries terkenal, bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada mantan walikota yang kemudian ikut pemilihan wali nagari dan terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota sekarang wali nagari. Forum SSM dan Peranan Orang Minang Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali diadakan, adalah bentuk lain dari kepedulian perantau Minang kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan tradisi yang sudah terbangun selama berabad‐abad. Atas nama masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat, saya menyambut dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat Sumatera Barat. Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari perantauan, namun kita tak pernah meragukan, kegiatan ini adalah perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi Saudagar Minang yang kedua tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat bagi kampung halaman dan nagari. Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan putra‐putra Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan pembangunan setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang politik, pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi. Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan yang menonjol? Salah satunya adalah pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di Universitas Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Asal‐usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke‐19 adalah karena mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau. Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam, madrasah‐madrasah melalui surau‐surau yang ada. Setelah Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke‐19, orang Minangkabau pun meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya memasukkan anak‐anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, tetapi juga membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi sekolah model Barat itu. Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan mempunyai kemampuan. Sehingga, ketika Indonesia merdeka dan memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang Minang menjadi sangat menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan ekonomi.
Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing yang tinggi dan wawasan yang luas. Dipadu dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu untuk hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah keberanian untuk hidup (ini untuk membedakan dengan suku bangsa lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani hidup”) Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship‐nya yang tinggi menjadi saudagar kelas menengah dan bahkan besar. Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi saudagar, pengusaha, diplomat, politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan‐pekerjaan tak terperintah lainnya. Termasuk di sini menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan orang merdeka. Hanya saja, ada yang sedikit merisaukankan kita belakangan ini. Dari survei yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2007, ternyata dari anak‐anak muda kita tamatan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat, sebanyak 71 persen menginginkan pekerjaan sebagai pegawai negeri. Bukan lagi Apakah ini berarti telah terjadi pergeseran budaya, sikap egaliter, semangat mandiri dan jiwa merdeka anak Minang? Kalau memang demikian, perlu usaha bersama untuk memelihara dan merevitalisasi budaya serta spirit merantau orang Minang yang mempunyai banyak nilai baik dan positif itu.*** Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda