• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hendra Sardi# Rantau Batuah# 45x45cm# Akrilik di Kanvas# Konsep Karya :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hendra Sardi# Rantau Batuah# 45x45cm# Akrilik di Kanvas# Konsep Karya :"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Hendra Sardi# Rantau Batuah# 45x45cm#  Akrilik di Kanvas# 2012  Konsep Karya :  Pencarian daerah baru  untuk menetap dan berkehidupan maupun mengemban misi tertentu untuk  memperluas daerah kekuasaan  sudah dilakukan masyarakat Minang Kabau sejak dahulu kala (sejak  Langik basintak Naik, bumi basintak Turun). Dalam pencarian tersebut dikenal dengan manaruko  yang dilakukan  secara individu maupun kelompok. Hal itu ditandai dengan silsilah pengembangan  pengaruh Adat Minang Kabau. Selain Luak Nan Tigo terdapat juga daerah rantau dari pasisia karinci  sampai palembang dan dari kuok bangkinang dan seterusnya sampai ke Negeri Sembilan Malaysia.  Merantau sebelumnya banyak dilakukan oleh kaum laki‐laki karena di Minang Kabau laki‐laki tidak  diatur dalam Adat untuk menerima harta Pusaka Tinggi namun diberi tanggung jawab yang besar  untuk membimbing anak kemenakan baik secara moril maupun materil. Dengan demikian merantau  marupakan salah satu jalan untuk membangkit batang terendam dalam mengangkat harkat dan  martabat kaum maupun keluarga. ( Karatau madang dihulu , babuah babungo balun , marantau  denai dahulu, dikampuang baguno balun). Akan tetapi saat ini sudah banyak pula kaum perempuan  yang mendominasi. Selain ikut suaminya juga ada juga dikarenakan faktor ekonomi merantau adalah  pilihan.   

Dima bumi dipijak disitu langik dijunjung merupakan kata wasiat bagi

perantau minang untuk memulai langkahnya agar dapat mencari hidup

sekaligus menghidupi daerah dimana tempat berpijak. Tuah nya Rantau

dengan bermodalkan jiwa dagang cepat beradaptasi cerdik membaca peluang

maka sebagian besar perantau Minang sukses di Negeri orang baik sebagai

saudagar, politikus seniman dan banyak lagi yang lainya dan tentu saja

berdampak pada keluarga, kaum maupun kampung halamanya . Tidak

hanya di Indonesia saat ini di seantero dunia ini terdapat orang minang

dalam mengarungi tuahnya rantau . Dan diperkirakan 2/3 masayarakat

Minang berdomisili di Perantauan. Apa dan mengapa orang Minang

Merantau

Drs. St. Mukhlis Denros

Suatu kebiasaan orang Minangkabau yang tidak mudah dilepaskan begitu saja yaitu merantau

dalam rangka membenahi diri dengan berbagai pengalaman di daerah lain. Kebiasaan

(2)

berprestasi di negeri orang untuk perbaikan hidupnya, disamping untuk pertimbangan

kepentingan kampung halaman. Pandangan hidup yang demikian itu diungkapkan dalam

pepatah yang berbunyi, ”Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang

dahulu, di rumah paguno balun, satinggi tabang bangau,baliak juo ka kubangan, sanang bana

hiduik di rantau, takana juo kampuang halaman”.

Ini berarti bahwa selain adanya budaya pengembangan sumber daya manusia dan usaha

perbaikan kehidupannya sendiri, terkandung pula keterkaitan dan keterikatan para perantau

itu untuk turut memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup sanak famili dan kampung

halamannya seperti diperkuat oleh pepatah, ”Anak dipangku kamanakan dibimbiang, urang

kampuang dipatenggangkan”. Dengan demikian peningkatan kemampuan sumber daya

manusia dan budaya merantau itu masih tetap dapat dipertahankan dan dikembangkan sejauh

hal itu mengandung unsur manfaat bagi kehidupan dan pembangunan di kampung halaman.

Merantau itu sudah menjadi darah daging, tidak saja sekarang malahan sejak nenek moyang

kita dahulu. Kita tidak perlu terlena kalau ditengok di berbagai kota besar dan kecil di seluruh

persada nusantara ini, bahkan sampai keluar negeri, pokoknya setiap sudut ada orang

Minang.

Konon kabarnya, kalau orang Minang pergi merantau, bodoh atau bingungnya hanya satu

minggu. Hal tersebut dapat kita buktikan, seperti di Kota Jakarta atau lainnya, banyak kita

jumpai orang Minang berdagang di kaki lima, pepatah Minang juga mengatakan,”Bialah

tanduak takubang, asalkan sungu ka makan”[biarlah suara habis bersorak, asalkan perut

kenyang], setelah bersorak di kaki lima agak seminggu sampai sebulan akhirnya membuka

kios, dari kios menjadi toko, bahkan sampai pedagang besar.

Tidak hanya masalah pedagang, kendatikan di rantau mereka bekerja di suatu instansi

pemerintah, lama kelamaan akhirnya kembali ke daerah, ilmu yang didapat dirantau mereka

terapkan di ranah minang. Berbagai faktor pendorong yang menjadi urang awak pergi

merantau, disamping menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan ada juga panggilan

rohani atau bakatnya untuk melanglang buana. Faktor meningkatkan nilai diri salah satunya

dengan merantau, bahwa orang yang tidak pernah merantau bagi masyarakat pada umumnya

dianggap rendah dan hina, disini faktor harga diri yang banyak menghanyutkan putra Minang

ke rantau.

Pada saat di awal keberangkatan atau katakanlah pada saat persiapan segala sesuatunya untuk

bekal di negeri orang, maka tidak jarang pula para orangtua dan mamak di Minang

memberikan petuah atau nasehatnya seperti sebait pantun ini, ”Elok-elok manyubarang, jan

sampai titian patah, elok-elok di rantau urang, jan sampai babuek salah”.

(3)

Pantun di atas sarat dengan nilai adat dan agama sebagai bekal seorang calon perantau

melangkahkan kakinya meninggalkan kampung halaman. Sikap berhati-hati di rantau harus

dijaga jangan sampai melakukan kesalahan. Kesalahan seorang Minang di rantau sama

artinya merusak nama seluruh Minangkabau,sebait pantun lain berbunyi, ”Hiu beli belanak

beli, ikan panjang beli dahulu, kawan cara sanakpun cari, induk semang cari dahulu”.

Artinya sesampai di rantau seorang Minang berprinsip famili bukan satu tujuan, lebih

diutamakan ialah majikan atau pekerjaan. Boleh jadi keluarga tempat menetap tapi hanya

dalam waktu sementara, untuk itulah pemuda Minangkabau mau dan mampu bekerja apa saja

asal jangan membebani keluarga di rantau.

Bagi seorang pemuda Minang yang mewarisi sifat perantau nenek moyangnya itu, sangat

memperhatikan petuah-petuah tersebut, sehingga malam dibuat untuk bantal dan siang dibuat

untuk tongkat, maksudnya segala macam nasehat baik itu akan tetap dipegang teguh pada

setiap saat baik siang maupun malam hari.

Bekal lain yang diberikan orangtua atau mamak ketika melepas anak atau kemenakannya

merantau adalah sebuah ungkapan manis yang padat dengan nilai-nilai yang harus dijadikan

suluh dalam perjalanan yaitu,”Laut sati rantau batuah” dari ungkapan ini mengandung arti

yang dalam.

”Laut sati” adalah bahwa kadangkala daerah atau rantau yang ditempuh itu bukanlah kota

bebas, namun ada beberapa aturan atau pantangan yang harus dihindari atau batasan yang

tidak boleh dilanggar. Sedangkan ”Rantau batuah” itu hampir mirip pengertiannya bahwa

rantau/negeri orang itu selalu mempunyai keistimewaan buat daerahnya. Jadi antara saru

daerah/negeri itu tidaklah sama adat kebiasaannya dengan daerah lainnya, sehingga kalau

memasuki daerah orang, kita harus mempelajari terlebih dahulu adat kebiasaan

masyarakatnya dan tidak berbuat sekehendak hati saja.

Setiap perantau yang berada jauh di negeri orang, meninggalkan sanak keluarganya dan

kampung halaman,walaupun demikian warnanya sebagai orang Minang tidak akan berubah.

Dimana dan kemanapun putra Minang merantau, berinteraksi dengan suku apapun dan

berbaur dengan berbagai lapisan sosial masyarakat, dalam perputaran zaman dan pengaruh

situasi maka warna Minang tidak pernah luntur. Seorang putra Minang boleh saja lahir di

rantau, dibesarkan dan dididik di lingkungan perantauan, pun halal saja menemukan

kehidupan di negeri lain, tapi orang Minang tetap Minang. Bilapun ada bangau yang tidak

pulang ke kubangan dan lupa dengan asalnya, ada orang Minang yang luntur

ke-Minangannya, itu sungguh suatu pengecualian, sulit mencarinya, barangkali dalam 10.000

perantau Minang hanya seorang yang warna Minangnya jadi luntur, mereka boleh dicap

sosok Malin Kundang.

Sehingga wajar kalau orang Minang pada hari-hari baik, kalau ada kesempatan dan rezeki

lapang berusaha pulang kampung melepas kerinduan dengan teman bermain dan tepian

mandi, setelah itu kembali lagi ke rantau merambah kehidupan.

Di rantau apapun jabatan dan pekerjaan dilakukan dengan berhati-hati tak ubahnya di

kampung sendiri karena prinsip ”Dimana bumi dipijak disinan langik dijunjuang” telah

melembaga sejak dahulu yang diwarisi dari tradisi nenek moyang.

(4)

meninggalkan kampungnya mencari pengalaman, ilmu dan penghidupan di rantau orang.

Dimanapun berada yang dianggap baik tempat menetap oleh seseorang sama saja, karena

bumi Allah ini luas, lakukanlah sesuatu untuk menuju kemajuan hidup pribadi, keluarga,

masyarakat dan bangsa, entah di Solok atau di Solo, entah di Lampung atau di Kampung,

entah di Merauke atau di Maroko, bukan jadi penghalang bagi orang Minang untuk berkiprah

[Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Umum Singgalang Padang, 03101999].

Budaya Merantau Orang Minang (1)

                 

(5)

Budaya Merantau Orang Minang

Oleh: Gamawan Fauzi

Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan

bersama Apallo 11 38 tahun silam, ia sangat terkejut mendapati

orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk membuka

rumah makan Padang.

Orang Minang memang ada di mana‐mana di berbagai pelosok

Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Mereka terkenal karena memiliki

budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku

bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau,

etnis yang juga mempunyai budaya merantau adalah Bugis, Banjar,

Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.

Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan

berkembang sejak berabad‐abad silam. Para pengelana awal bangsa

Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang

Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum

orang‐orang kulit putih datang ke sana. Bahkan, sebuah laporan

pertengahan Abad ke‐19 yang tersimpan dalam arsip di Perpustakaan

Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau

State in Malay Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung

Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal sebagai Negeri

Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi

Malaysia. Jadi, mereka sudah mendirikan sebuah negara di

Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan terdepan dalam

mendirikan Negara Republik Indonesia.

Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis,

egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Ditambah kemampuan

bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka

yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana

saja. Banyak hasil studi para sarjana asing maupun ilmuwan nasional

menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah muncul

dan berkembang sejak berabad‐abad silam. Budaya yang unik ini

sering dikaitkan dengan pantun yang berbunyi:

Karatau madang di hulu

Babuah babungo balun

(6)

Marantau Bujang dahulu

Di kampuang baguno balun

(Keratau madang di hulu

Berbuah berbunga belum

Merantau Bujang dahulu

Di kampung berguna belum)

Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti

(darek) dan rantau (daerah luar). Rantau secara tradisional adalah

wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun

perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu

yang menjanjikan harapan untuk masa depan dan kehidupan yang

lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan bukan dalam

konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah

untuk pengembangan diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi

yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau sering dikaitkan

dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar),

mencari ilmu (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan)

(Navis, 1999)

Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara

sukarela, atas kemauan sendiri, maka merantau orang Minang

berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui

proses transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang

Minang merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri.

Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah,

untuk membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim,

1984).

Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia

agraris– kampung halaman atau tanah kelahiran ibaratnya

persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit

tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih

luas agar menjadi pohon yang besar kemudian berbuah. Proses

seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh‐tokoh

asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti

Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin,

Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang lebih

belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di

kampung, lalu pergi merantau dan “menjadi orang”.

(7)

Selalu Membaur, tak Pernah Konflik

Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang

Minang memiliki daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya. Ini

sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup mereka: di

mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing

mengembek, di kandang kerbau mengo’ek.

Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah

terlibat konflik dengan masyarakat di manapun mereka berada. Ini

karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak

eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana

pun rantaunya, orang Minang tidak pernah membuat “kampung”.

Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota‐kota di mana

perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung

halamannya sendiri mereka memberikan “kampung” kepada para

pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang, Bukittinggi dan

Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada

Kampung Jao (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.

Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu,

mereka pun diterima oleh masyarakat di mana mereka berada.

Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di

rantaunya masing‐masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang

menjadi Gubernur Jawa Barat yang kedua (1946); Gubernur Maluku

yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955‐1960), dan

Muhammad Padang (1960‐1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang

pertama, Datuk Madjo Basa Nan Kuniang (1964‐1968);

Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau

Gani; atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama

Provinsi Jambi (1956‐1957).

Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan

mempunyai peranan di mana‐mana, di berbagai kota dan pelosok di

Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia yang

pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah

menjadi Gubernur Sumatera Barat, saya selalu bertemu dengan orang

Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup banyak di

daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan

Timor Timur. Bahkan, dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum

Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, yakni ketika

(8)

Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang

Minang sudah membuka dan mengusahakan rumah makan di sana.

Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang

(keturunan) Minang di perantauan lebih banyak ketimbang yang

tinggal di Sumatera Barat, atau kira‐kira 8 – 10 juta jiwa. Konon, di

wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang

di antaranya adalah orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang

hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam di Jakarta yang

menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek

pengurusnya adalah orang Minang.

Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau

atau keturunan Minang atau orang yang berasal dari Sumatera Barat.

Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan (Malaysia)

mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap

menyatakan diri menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau

(lihat Samad Idris, Payung Terkembang).

Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang

Minang dalam jumlah yang banyak. Mereka juga hidup dan membaur

dengan masyarakat di kota‐kota bahkan pelosok di semua pulau

besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali,

Nusatenggara dan sebagainya. Dalam jumlah yang cukup banyak pula

merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima benua.

Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang

mungkin saja sudah ada pula di sana.

Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat–

dalam rangka mengembangkan diri dan mencari kehidupan yang

lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan

lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang,

saudagar atau pengusaha. Namun banyak pula yang menjadi ilmuwan,

mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah atau

kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan

swasta, wartawan, sastrawan, dan lain‐lain).

Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan

diri dengan lingkungannya di rantau, namun ada sesuatu hal yang

unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan

kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang

umum saja, seperti ucapan ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang

(9)

dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya Rasjid – 70:

“On two things in life you cannot be objective: first, the love to your

mother; secondly, the love to your country where you have been born”

(Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta kepada ibumu;

kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).

Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang

dipikirkan Einstein. Sebagai masyarakat penganut matrilial

(keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta

yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula

dalam hal mencintai tanah kelahiran atau kampung halamannya,

orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai ibunya

sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun

tetap mencintai dan peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat

pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di Malaysia yang

tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat

Perpatih” (adat Minang).

Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan,

setidaknya, dalam dua hal. Pertama, kepedulian yang tinggi kepada

negeri asal dan adat‐budayanya. Kedua, di mana tempat mereka

berada, mereka membangun ikatan‐ikatan kekeluargaan dalam

bentuk kesatuan se‐nagari asal, se‐kabupaten, atau yang lebih luas

dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.

Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang

Minang yang menganut “Adat basandi syarak, syarak basandi

Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat,

tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi,

hampir setiap tahun bersamaan dengan momentum Hari Raya Idul

Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang gubernur,

bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan

tersebut. Ketika menghadiri kegiatan‐kegiatan orang Minang di

rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah –ada tari

pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu‐lagu Minang.

Dan biasanya sangat ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh‐

jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok tabang.

Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan

perkembangan dan selalu mengikuti setiap informasi dari kampung.

Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan

(10)

unek‐unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur

Sumatera Barat datang ke daerah di mana banyak perantau Minang,

mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan

seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap

perantau sangat peduli kepada nagari asalnya, tak peduli apa

kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha besar,

ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun,

kalau bicara tentang nagari‐nya selalu bersemangat bahkan berapi‐

api bicaranya.

Setinggi‐tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh‐

jauh merantau, kampung halaman terbayang jua. Sehabat‐hebatnya

orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan kedudukannya,

mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung

halaman atau negeri asalnya.

Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan

berpangkat, sering tak bisa menahan diri untuk terlibat bahkan

terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal‐soal politik dan pemerintahan di

kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa

yang akan menjadi Gubernur Sumatera Barat, atau yang akan menjadi

bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya. Memang unik.

Mereka tidak ber‐KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung

jawab untuk ikut mengambil keputusan soal politik dan

pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.

Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk

memimpin nagarinya. Semasa menjadi Bupati Solok, saya dua kali

menerima delegasi perantau nagari yang datang memperkenalkan

calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk

memimpin nagarinya. Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang

terpilih sebagai wali nagari.

Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari,

banyak pula tokoh‐tokoh rantau yang kemudian pulang kampung

untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries terkenal,

bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada

mantan walikota yang kemudian ikut pemilihan wali nagari dan

terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota sekarang

wali nagari.

Forum SSM dan Peranan Orang Minang

(11)

Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali

diadakan, adalah bentuk lain dari kepedulian perantau Minang

kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan

tradisi yang sudah terbangun selama berabad‐abad. Atas nama

masyarakat dan pemerintah Sumatera Barat, saya menyambut

dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan

memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat

Sumatera Barat.

Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari

perantauan, namun kita tak pernah meragukan, kegiatan ini adalah

perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan

masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi

Saudagar Minang yang kedua tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat

dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat bagi

kampung halaman dan nagari.

Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan

putra‐putra Minangkabau dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini.

Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan pembangunan

setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang

politik, pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi.

Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan

yang menonjol? Salah satunya adalah pendidikan. Penelitian yang

dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di Universitas

Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Asal‐usul Elite

Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa

salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke‐19 adalah karena

mereka berhasil merespon dan memanfaatkan dengan tepat

pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau.

Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan,

orang Minangkabau sudah mengembangkan pendidikan agama Islam,

madrasah‐madrasah melalui surau‐surau yang ada. Setelah Belanda

memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke‐19, orang

Minangkabau pun meresponnya dengan tepat sehingga memberikan

keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini. Mereka tidak hanya

memasukkan anak‐anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda,

tetapi juga membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi

(12)

sekolah model Barat itu.

Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan

mempunyai kemampuan. Sehingga, ketika Indonesia merdeka dan

memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan

teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang

Minang menjadi sangat menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya

di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan ekonomi.

Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing

yang tinggi dan wawasan yang luas. Dipadu dengan bekal pendidikan

dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu untuk

hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah

keberanian untuk hidup (ini untuk membedakan dengan suku bangsa

lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani hidup”)

Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter,

semangat mandiri dan jiwa merdeka yang mereka miliki. Mereka

memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian tumbuh

berkat kemampuan entrepreneurship‐nya yang tinggi menjadi

saudagar kelas menengah dan bahkan besar.

Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang

Minang sukar diperintah, sehingga mereka sering dianggap kurang

cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau

birokrasi

Info Penelitian

Budaya Merantau Orang Minang

    Budaya Merantau Orang Minang  Oleh: Gamawan Fauzi      Ada sebuah anekdot, bahwa ketika Neil Amstrong mendarat di Bulan bersama Apallo 11 38 tahun  silam, ia sangat terkejut mendapati orang Minang sudah lebih duluan sampai di sana untuk  membuka rumah makan Padang.  Orang Minang memang ada di mana‐mana di berbagai pelosok Indonesia, bahkan di seluruh dunia.  Mereka terkenal karena memiliki budaya merantau. Suatu budaya yang hanya dimiliki oleh suku  bangsa tertentu saja di Indonesia. Selain suku bangsa Minangkabau, etnis yang juga mempunyai  budaya merantau adalah Bugis, Banjar, Batak, sebagian orang Pantai Utara Jawa dan Madura.  Budaya merantau orang Minangkabau sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad‐abad silam.  Para pengelana awal bangsa Eropa yang mengunjungi Asia Tenggara mencatat bahwa orang 

(13)

Minangkabau sudah merantau ke Semenanjung Melayu jauh sebelum orang‐orang kulit putih datang  ke sana. Bahkan, sebuah laporan pertengahan Abad ke‐19 yang tersimpan dalam arsip di  Perpustakaan Leiden, Negeri Belanda, menyebutkan tentang “The Minangkabau State in Malay  Peninsula” (Negara Minangkabau di Semenanjung Malaya). Negeri itulah yang kemudian kita kenal  sebagai Negeri Sembilan, salah satu Kerajaan yang mendirikan Negara Federasi Malaysia. Jadi,  mereka sudah mendirikan sebuah negara di Semenanjung Malaya sebelum berdiri di barisan  terdepan dalam mendirikan Negara Republik Indonesia.  Tradisi merantau orang Minang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa  merdeka. Ditambah kemampuan bersilat lidah (berkomunikasi) sebagai salah satu ciri khas mereka  yang membuatnya mudah beradaptasi dengan suku bangsa mana saja. Banyak hasil studi para  sarjana asing maupun ilmuwan nasional menunjukkan bahwa budaya merantau orang Minang sudah  muncul dan berkembang sejak berabad‐abad silam. Budaya yang unik ini sering dikaitkan dengan  pantun yang berbunyi:  Karatau madang di hulu  Babuah babungo balun  Marantau Bujang dahulu  Di kampuang baguno balun  (Keratau madang di hulu  Berbuah berbunga belum  Merantau Bujang dahulu  Di kampung berguna belum)  Dalam konsep budaya Alam Minangkabau dikenal wilayah inti (darek) dan rantau (daerah luar).  Rantau secara tradisional adalah wilayah ekspansi, daerah perluasan atau daerah taklukan. Namun  perkembangannya belakangan, konsep rantau dilihat sebagai sesuatu yang menjanjikan harapan  untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik dikaitkan dengan konteks sosial ekonomi dan  bukan dalam konteks politik. Berdasarkan konsep tersebut, merantau adalah untuk pengembangan  diri dan mencapai kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Dengan demikian, tujuan merantau  sering dikaitkan dengan tiga hal: mencari harta (berdagang/menjadi saudagar), mencari ilmu  (belajar), atau mencari pangkat (pekerjaan/jabatan) (Navis, 1999)  Sebagai sebuah pola migrasi (perpindahan penduduk) secara sukarela, atas kemauan sendiri, maka  merantau orang Minang berbeda dengan, katakanlah, merantau orang Jawa yang melalui proses  transmigrasi –diprogramkan dan dibiayai pemerintah. Orang Minang merantau dengan kemauan  dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk  membangun kehidupan yang lebih baik (lihat Mochtar Naim, 1984).  Dalam alam pikiran orang Minangkabau –analog dengan dunia agraris– kampung halaman atau  tanah kelahiran ibaratnya persemaian yang berfungsi untuk menumbuhkan bibit. Setelah bibit  tumbuh, mereka harus keluar dari persemaian ke lahan yang lebih luas agar menjadi pohon yang  besar kemudian berbuah. Proses seperti inilah yang dialami dan kemudian terlihat pada tokoh‐tokoh  asal Minang yang berkiprah di “dunia” yang jauh lebih luas seperti Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir,  Tan Malaka, Muhammad Yamin, Hamka, Muhammad Natsir, Haji Agus Salim, atau generasi yang  lebih belakangan –lahir, tumbuh, mengalami masa kecil dan remaja di kampung, lalu pergi merantau  dan “menjadi orang”.  Selalu Membaur, tak Pernah Konflik  Ke mana pun mereka merantau, di mana pun mereka berada, orang Minang memiliki daya adaptasi  yang tinggi dengan lingkungannya. Ini sesuai dengan ungkapan yang merupakan pedoman hidup 

(14)

mereka: di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung. Atau, di kandang kambing mengembek, di  kandang kerbau mengo’ek.  Sepanjang sejarahnya, orang Minang di perantauan tidak pernah terlibat konflik dengan masyarakat  di manapun mereka berada. Ini karena budaya dan perilaku hidup mereka yang yang terbuka, tidak  eksklusif, dan hidup membaur dengan masyarakat setempat. Di mana pun rantaunya, orang Minang  tidak pernah membuat “kampung”. Tidak ditemukan ada Kampung Minang di kota‐kota di mana  perantau Minang jumlahnya cukup banyak. Sebaliknya, di kampung halamannya sendiri mereka  memberikan “kampung” kepada para pendatang, termasuk kepada orang Cina. Di Padang,  Bukittinggi dan Payakumbuh ada Kampung Cino (Cina), di Padang dan Solok ada Kampung Jao  (Jawa), atau Kampung Keling di Padang dan Pariaman.  Karena daya adaptasi, kemampuan menyesuaikan diri, yang tinggi itu, mereka pun diterima oleh  masyarakat di mana mereka berada. Mereka diterima menjadi pemimpin formal maupun informal di  rantaunya masing‐masing. Sebutlah, misalnya, Mr. Datuk Djamin yang menjadi Gubernur Jawa Barat  yang kedua (1946); Gubernur Maluku yang kedua dan ketiga, yakni Muhammad Djosan (1955‐1960),  dan Muhammad Padang (1960‐1965); Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama, Datuk Madjo Basa  Nan Kuniang (1964‐1968); Residen/Gubernur Sumatera Selatan yang pertama dr. Adnan Kapau Gani;  atau Djamin Dt. Bagindo yang menjadi gubernur pertama Provinsi Jambi (1956‐1957).  Budaya merantaulah yang menyebabkan orang Minang tersebar dan mempunyai peranan di mana‐ mana, di berbagai kota dan pelosok di Indonesia dan di mancanegara. Kota manapun di Indonesia  yang pernah saya kunjungi, semasa menjadi Bupati Solok dan setelah menjadi Gubernur Sumatera  Barat, saya selalu bertemu dengan orang Minang. Tak kecuali mereka juga ada dalam jumlah cukup  banyak di daerah remote seperti Irian Jaya (kini Papua), Nusatenggara, dan Timor Timur. Bahkan,  dari berbagai cerita kita tahu, jauh sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia,  yakni ketika Timor Timor masih merupakan bagian negara Portugal, orang Minang sudah membuka  dan mengusahakan rumah makan di sana.  Meskipun belum ada angka statistik yang pasti, ditaksir jumlah orang (keturunan) Minang di  perantauan lebih banyak ketimbang yang tinggal di Sumatera Barat, atau kira‐kira 8 – 10 juta jiwa.  Konon, di wilayah Jabotabek saja, dari setiap 10 orang yang kita temui, seorang di antaranya adalah  orang Minang. Saya pernah diberi tahu tentang hasil survei sebuah lembaga pendidikan agama Islam  di Jakarta yang menyebutkan bahwa sekitar 50 persen masjid di Jabotabek pengurusnya adalah  orang Minang.  Diperkirakan 40 persen penduduk Provinsi Riau adalah perantau atau keturunan Minang atau orang  yang berasal dari Sumatera Barat. Sebanyak 60 persen dari total penduduk Negeri Sembilan  (Malaysia) mengaku berasal dari Minangkabau dan hingga kini tanpa ragu tetap menyatakan diri  menganut “Adat Perpatih” atau adat Minangkabau (lihat Samad Idris, Payung Terkembang).  Hampir di semua provinsi di Sumatera dapat ditemukan orang Minang dalam jumlah yang banyak.  Mereka juga hidup dan membaur dengan masyarakat di kota‐kota bahkan pelosok di semua pulau  besar di Indonesia –Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusatenggara dan sebagainya. Dalam  jumlah yang cukup banyak pula merantau sangat jauh hingga ke luar negeri, menyebar ke lima  benua. Bahkan, kalaupun di Bulan ada kehidupan manusia, orang Minang mungkin saja sudah ada  pula di sana.  Selaras dengan tujuan merantau –mencari harta, ilmu atau pangkat– dalam rangka mengembangkan  diri dan mencari kehidupan yang lebih baik, maka orang Minang di perantauan berbagai profesi dan  lapangan kehidupan. Kebanyakan memang menjadi pedagang, saudagar atau pengusaha. Namun  banyak pula yang menjadi ilmuwan, mubaligh serta orang berpangkat sebagai pejabat pemerintah 

(15)

atau kaum professional (dokter, dosen, eksekutif BUMN atau perusahaan swasta, wartawan,  sastrawan, dan lain‐lain).  Meskipun orang Minang selalu membaur dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya di  rantau, namun ada sesuatu hal yang unik dan selalu menjadi ciri khas mereka. Yakni kepedulian dan  kecintaan kepada kampung halaman. Hal ini mungkin sesuatu yang umum saja, seperti ucapan  ilmuwan besar dunia Albert Einstein yang dikutip oleh Mr. Sutan Muhammad Rasjid dalam bukunya  Rasjid – 70:  “On two things in life you cannot be objective: first, the love to your mother; secondly, the love to  your country where you have been born” (Dalam dua hal Anda tak bisa objektif: pertama, cinta  kepada ibumu; kedua, cinta kepada tanah kelahiranmu).  Dalam kedua hal itu, barangkali orang Minang jauh melebihi apa yang dipikirkan Einstein. Sebagai  masyarakat penganut matrilial (keturunan menurut garis ibu), jelas mereka mempunyai rasa cinta  yang sangat besar kepada ibu yang melahirkannya. Demikian pula dalam hal mencintai tanah  kelahiran atau kampung halamannya, orang Minang pun sangat menonjol, tak obah mencintai  ibunya sendiri. Bahkan, orang (keturunan) Minang yang lahir di rantau pun tetap mencintai dan  peduli dengan negeri ini sebagaimana kita lihat pada diri mayoritas penduduk Negeri Sembilan di  Malaysia yang tanpa ragu menyatakan bahwa mereka adalah penganut “Adat Perpatih” (adat  Minang).  Kecintaan kepada kampung halaman mereka ditunjukkan, setidaknya, dalam dua hal. Pertama,  kepedulian yang tinggi kepada negeri asal dan adat‐budayanya. Kedua, di mana tempat mereka  berada, mereka membangun ikatan‐ikatan kekeluargaan dalam bentuk kesatuan se‐nagari asal, se‐ kabupaten, atau yang lebih luas dalam ikatan kekeluargaan Minang atau Sumatera Barat.  Di rantau mereka tetap mempertahankan jati diri sebagai orang Minang yang menganut “Adat  basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Mereka tetap setia memelihara budaya, adat istiadat,  tradisi, dan kesenian daerah asal mereka. Bahkan sudah tradisi, hampir setiap tahun bersamaan  dengan momentum Hari Raya Idul Fitri, mereka mengadakan halalbihalal dan mengundang  gubernur, bupati atau walikota dari Sumatera Barat untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Ketika  menghadiri kegiatan‐kegiatan orang Minang di rantau itu, biasanya penyambutannya sangat meriah  –ada tari pasambahan, siriah di carano, pertunjukan tari dan lagu‐lagu Minang. Dan biasanya sangat  ramai. Ini sejalan dengan ungkapan, sejmauh‐jauh merantau, adat Minang tetap digungguang dibaok  tabang.  Meskipun tinggal jauh di rantau, mereka sangat peduli dengan perkembangan dan selalu mengikuti  setiap informasi dari kampung. Mereka juga selalu pula ‘gatal’ untuk menyampaikan aspirasi bahkan  unek‐unek bagi kemajuan daerahnya. Karena itulah, kalau Gubernur Sumatera Barat datang ke  daerah di mana banyak perantau Minang, mereka akan selalu minta mengadakan pertemuan. Dalam  pertemuan seperti itu, yang dihadiri gubernur, terlihat sekali betapa setiap perantau sangat peduli  kepada nagari asalnya, tak peduli apa kedudukan dan kelas sosialnya. Pejabat tinggi, pengusaha  besar, ataupun orang tenama yang sudah berkelas internasional sekalipun, kalau bicara tentang  nagari‐nya selalu bersemangat bahkan berapi‐api bicaranya.  Setinggi‐tinggi terbang bangau, kembalinya ke kubangan jua. Sejauh‐jauh merantau, kampung  halaman terbayang jua. Sehabat‐hebatnya orang Minang di rantau, setinggi apapun jabatan dan  kedudukannya, mereka tetap saja memerlukan pengakuan dan eksistensi di kampung halaman atau  negeri asalnya.  Mereka yang umumnya punya status sosial tinggi, kaya dan berpangkat, sering tak bisa menahan diri  untuk terlibat bahkan terkesan ‘intervensi’ sampai ke soal‐soal politik dan pemerintahan di 

(16)

kampungnya. Misalnya, mereka merasa perlu ikut menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur  Sumatera Barat, atau yang akan menjadi bupati, walikota, bahkan wali nagari di daerah asalnya.  Memang unik. Mereka tidak ber‐KTP Sumatera Barat, tetapi merasa bertanggung jawab untuk ikut  mengambil keputusan soal politik dan pemerintahan hingga ke tingkat nagari dan jorong.  Bukan hanya itu. Mereka bahkan terjun langsung dari rantau untuk memimpin nagarinya. Semasa  menjadi Bupati Solok, saya dua kali menerima delegasi perantau nagari yang datang  memperkenalkan calon wali nagari yang mereka datangkan dari rantau untuk memimpin nagarinya.  Kedua pemimpin “impor” itu ternyata memang terpilih sebagai wali nagari.  Di beberapa kabupaten, sejak Sumatera Barat kembali ke Nagari, banyak pula tokoh‐tokoh rantau  yang kemudian pulang kampung untuk bertarung dalam pemilihan Wali Nagari. Ada notaries  terkenal, bekas pejabat BUMN, mantan pejabat pemerintahan, bahkan ada mantan walikota yang  kemudian ikut pemilihan wali nagari dan terpilih. Dengan demikian ia tetap Pak Wali, dulu walikota  sekarang wali nagari.  Forum SSM dan Peranan Orang Minang  Forum Silaturahim Saudagar Minang (SSM) yang sudah dua kali diadakan, adalah bentuk lain dari  kepedulian perantau Minang kepada kampung halamannya. Forum seperti ini adalah penerusan  tradisi yang sudah terbangun selama berabad‐abad. Atas nama masyarakat dan pemerintah  Sumatera Barat, saya menyambut dengan gembira adanya forum seperti ini, yang diharapkan akan  memberikan sumbangan pula bagi kemajuan daerah dan masyarakat Sumatera Barat.  Meskipun yang bersilaturahmi adalah para saudagar Minang dari perantauan, namun kita tak pernah  meragukan, kegiatan ini adalah perwujudan dari rasa cinta mereka kepada kampung halaman dan  masyarakatnya. Karena itu, saya mengharapkan agar Silaturahmi Saudagar Minang yang kedua  tanggal 10 – 12 Oktober 2008 ini dapat dioptimalkan dengan program dan kegiatan yang bermanfaat  bagi kampung halaman dan nagari.  Sejarah bangsa Indonesia menorehkan tinta emas tentang peranan putra‐putra Minangkabau dalam  perjuangan kemerdekaan negeri ini. Demikian pula pada awal masa pertumbuhan dan  pembangunan setelah kemerdekaan, peranan mereka sangat menonjol di bidang politik,  pemerintahan, dan juga di bidang sosial dan ekonomi.  Apa yang membuat orang Minang maju dan dan mempunyai peranan yang menonjol? Salah satunya  adalah pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth E. Graves untuk disertasinya di  Universitas Wisconsin, Amerika, yang telah diterbitkan sebagai buku dan diterjemahkan ke dalam  bahasa Indonesia Asal‐usul Elite Minangkabau Modern (Yayasan Obor, 2007) menyebutkan, bahwa  salah satu kunci kemajuan orang Minang Abad ke‐19 adalah karena mereka berhasil merespon dan  memanfaatkan dengan tepat pendidikan Barat yang dikenalkan oleh Belanda di Minangkabau.  Jauh sebelum suku bangsa lain di Indonesia mengenal pendidikan, orang Minangkabau sudah  mengembangkan pendidikan agama Islam, madrasah‐madrasah melalui surau‐surau yang ada.  Setelah Belanda memperkenalkan pendidikan Barat sejak awal abad ke‐19, orang Minangkabau pun  meresponnya dengan tepat sehingga memberikan keuntungan untuk kemajuan suku bangsa ini.  Mereka tidak hanya memasukkan anak‐anaknya ke sekolah yang didirikan Belanda, tetapi juga  membangun banyak sekali sekolah yang mengadopsi sekolah model Barat itu.  Pendidikan menghasilkan generasi orang Minang terpelajar dan mempunyai kemampuan. Sehingga,  ketika Indonesia merdeka dan memerlukan tenaga terdidik yang profesional dan berkemampuan  teknis untuk mengelola negeri yang baru merdeka ini, peranan orang Minang menjadi sangat  menonjol (E. Graves, 2007). Itu bukan hanya di bidang pemerintahan, tapi juga di bidang sosial dan  ekonomi. 

(17)

Semangat egaliter dan budaya yang dinamis melahirkan daya saing yang tinggi dan wawasan yang  luas. Dipadu dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang memadai, mereka tak pernah ragu  untuk hidup di manapun di muka bumi ini. Keberanian orang Minang adalah keberanian untuk hidup  (ini untuk membedakan dengan suku bangsa lain yang terkenal “berani mati”, orang Minang “berani  hidup”)  Banyak saudagar Minang masa lalu, tumbuh karena budaya egaliter, semangat mandiri dan jiwa  merdeka yang mereka miliki. Mereka memulai dari usaha kecil, katakanlah kaki lima, kemudian  tumbuh berkat kemampuan entrepreneurship‐nya yang tinggi menjadi saudagar kelas menengah  dan bahkan besar.  Semangat dan jiwa merdeka ini pulalah yang menyebabkan orang Minang sukar diperintah, sehingga  mereka sering dianggap kurang cocok untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya di militer atau  birokrasi yang sangat hirarkis sentries. Merekanya cocoknya jadi saudagar, pengusaha, diplomat,  politisi, wartawan, sastrawan dan pekerjaan‐pekerjaan tak terperintah lainnya. Termasuk di sini  menjadi pedagang kaki lima sebagai bentuk pekerjaan orang merdeka.  Hanya saja, ada yang sedikit merisaukankan kita belakangan ini. Dari survei yang dilakukan Dinas  Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Barat tahun 2007, ternyata dari anak‐anak muda  kita tamatan perguruan tinggi yang ada di Sumatera Barat, sebanyak 71 persen menginginkan  pekerjaan sebagai pegawai negeri.  Bukan lagi Apakah ini berarti telah terjadi pergeseran budaya, sikap egaliter, semangat mandiri dan  jiwa merdeka anak Minang? Kalau memang demikian, perlu usaha bersama untuk memelihara dan  merevitalisasi budaya serta spirit merantau orang Minang yang mempunyai banyak nilai baik dan  positif itu.***    Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda  

Arsip

 yang 

Referensi

Dokumen terkait