• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU) JURNAL. Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU) JURNAL. Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)

JURNAL

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

FREDRIGK ROGATE HUTAJULU NIM : 090200438

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(2)

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) MENUNTUT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)

JURNAL KARYA ILMIAH

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

FREDRIGK ROGATE HUTAJULU Nim : 090200438

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Mengetahui : Penanggung Jawab : Dr. M. Hamdan, SH, MH Nip. 195703261986011001 Editor : Prof.Dr.Syafruddin Kalo,SH,M.Hum Nip. 195102061980021001 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016

(3)

ABSTRAKSI Frederigk Rogate Hutajulu

Syafruddin Kalo Mahmud Mulyadi

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang. Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah adalah metode penelitian yuridis normatid dan yuridis empiris dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya menjatuhkan pidana bagi pelaku tetapi juga untuk mengembalikan kerugian negara yang disebabkan oleh Tindak Pidana Korupsi.Korupsi sebagai predicate crime sangat berkaitan erat dengan tindak pidana pencucian uang sebagai proceeds of crime. Kewenangan Komisi pemberantasan Korupsi dalam penyidikan dan penuntutan dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang yang tindak pidana asalnya adalah korupsi sangat diperlukan untuk pemberantasan Tindak pidana Korupsi.

Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Maka dengan adanya Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang maka KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku dengan melakukan paradigma follow the money.

Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dapat dilaksanakan melalui Pelaksanaan Undang-Undang TPPU dengan menguatkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang. Sehingga tujuan pemberantasan tindak pidana korupsi dalam mengembalikan kerugian negara dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Kata Kunci: Kewenangan, Pemberantasan,Penuntutan, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Komisi Pemberantasan Korupsi

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 

Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara



Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

A. PENDAHULUAN

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.1

Dunia internasional sebenarnya sudah menjadikan korupsi sebagai agenda tersendiri. Ini terbukti dari agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyiapkan dan mengkaji sebuah naskah tentang Convention Againts Corruption.2Dalam konvensi yang bernama UNCAC (United Nation Convention Against Corruption, Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Menentang Korupsi) dimana negara-negara yang merupakan anggota PBB diwajibkan meratifikasi hasil Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi.3 UNCAC juga menutut negara yang meratifikasi untuk membentuk suatu badan khusus untuk memerangi korupsi 4 dan juga agar

1

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 136.

2

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2010, Hal. 66.

3

Pasal 6 ayat 1 UNCAC adalah “setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasarsistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu badan atau badan-badan, sejauh diperlukan yang mencegah korupsi dengan cara-cara seperti.

a. Melaksanakan kebijakan-kebijakan yang disebut dalam Pasal 5 dari konvensi ini dan dimana diperlukan, mengawasi dan mengkoordinasikan pelaksanaan dan kebijakan-kebijakan tersebut.

b. Meningkatkan dan menyebarluaskan pengetahuan mencegah korupsi. 4

Pasal 36 UNCAC adalah “setiap negara peserta wajib, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, memastikan keberadaan suatu badan atau badan-badan, atau orang-orang yang memiliki kekhususan untuk memerangi korupsi melalui penegakan hukum. Badan-badan atau orang-orang tersebut wajib diberi kebebasan yang diperlukan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukum Negara peserta itu, agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi mereka secara efektif dan tanpa pengaruh/tekanan yang tidak seharusnya. Orang-orang itu atau staff badan atau badan-badan tersebut harus memiliki pelatihan dan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan tugas mereka.

(5)

meluncurkan undang-undang yang melarang aktivitas seperti pencucian uang, mencegah korupsi dan saling bekerja sama satu sama lain.5

Untuk masalah korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan yang sangat rumit dimana sudah hampir semua sendi kehidupan terjangkit masalah korupsi, maka pemerintah indonesia sudah melakukan berbagai cara dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut sejak awal kemerdekaan, dimana pemberantasan korupsi sudah dilakukan hingga saat ini. W. F. Wertheim, Profesor of Modern History and Sosiology pada Universiteit Masterdam dalam bukunya Indonesian Sociatyin Transition, berpendapat bahwa korupsi di Indonesia, antara lain bersumber pada peningkatan pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan coflicting loyalties antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara.6

Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan korupsi secara formal sudah dimulai sejak awal kemerdekaan, di mana pemberantasan korupsi telah dilakukan secara terus-menerus sampai saat ini.

Pemberantasan korupsi pada kurun waktu tahun 1945-1957, menggunakan dasar hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan pleh pejabat/pegawai negeri (ambtenar), yaitu pada Bab XXVIII Buku Kedua KUHP. Pada tahun 1956, kasus korupsi mulai muncul ke permukaan. Tercatat nama Rosihan Anwar dan Muchtar Lubis

5

Ian McWalters, SC. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, 2006, Hal. 163.

6

Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, Semarang, hal. 69.

(6)

yang mengangkat kasus korupsi di koran-koran atau media. Namun keduanya dipenjara pada tahun 1961 oleh pemerintahan Orde Lama.7

Pada masa selanjutnya yaitu tahun 1957-1960, untuk pemberantasan korupsi saat itu, dasar hukum yang digunakan adalah peraturan-peraturan militer, yaitu : Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/06/1957 tentang Tata Kerja Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi; Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/08/1957 tentang Pemilikan Harta Benda; Peraturan Penguasa Militer Nomor: PRT/PM/11/1957 tentang Penyitaan Harta Benda Hasil Korupsi, Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi; Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat, Nomor: PRT/PEPERPU/031/1958; dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala staf dan Peraturan Penguasa Perang pusat Kepala Staf angkatan Laut, Nomor: PRT/z.1/I/7/1958. Pada saat itu pernah dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Namun karena kuatnya reaksi dari pejabat yang terlibat melakukan korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) tidak dapat menjalankan tugasnya dan menyerahkan kembali pelakswanaan tugasnya kepada Kabinet Juanda.8

Pada masa itu, pemerintah juga telah berusaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan membentuk bebrapa lembaga khusus untuk memberantas korupsi, diantaranya adalah: Operasi Budhi (Keutusan Presiden, Nomor: 275/1963); Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi

7

Budiman Ginting, Syafruddin Kalo, dan Aflah, Hukum Antikorupsi, Jakarta, Hal. 182-183.

8

(7)

(KONTRAR) dengan ketua Presiden RI Ir. Soekarno dibantu oleh Soebandrio dan Ahmad Yani, selanjutnya membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (Keputusan Presiden Nomor: 228/1967); Tim Komisi Empat (Keputusan Presiden Nomor: 12 Tahun 1970) dan Komite Anti Korupsi (KAK) tahun 1967.9

Dalam hal lembaga Anti Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) sebagai institusi yang diberikan wewenang sebagai penyidik dan penuntut umum, disamping lembaga lain yang mempunyai wewenang yang sama yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersifat independen telah membawa angin segar bagi masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana Korupsi di Indonesia baik secara preventif dan represif. Pembentukan Komisi khusus dalam penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ini dibentuk dengan pertimbangan yaitu pertama, banyaknya kasus besar yang tidak jelas penanganannya. Kedua, pada kasus tertentu sering adanya kebijakan pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh aparat terkait sekalipun secara yuridis bukti permulaan sudah cukup kuat. Ketiga, vonis-vonis yang tidak sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat. Dan juga penanganan tindak pidana korupsi secara Konvensional selama ini terbukti seringkali mengalami hambatan.10 Oleh karena pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan

9

Ibid hal. 183.

10

Mahrus Ali, Asas-asas dan Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yokyakarta, hal. 224.

(8)

berkesinambungan selain itu lembaga pemerintahan yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi.11

Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan secara lebih diatur dalam Undaang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kpk adalah lembaga negara yang melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil gua terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakuka tidak pidana korupsi. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tantang KPK menyatakan bahwa, KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tuduk kepada hukum acara yang berlaku. KPK dapat dikategorikan sebagai badan khusus yang berwenang untuk melakukan penanganan kasus-kasus korupsi tertentu seperti yang diisyaratkan oleh Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu : (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,

11

Konsideran Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(9)

(b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).12

Dari ketentuan Undang-Undang ini maka timbul kesan bahwa KPK dalam kaitannya dengan kompetensi tugas dan fungsi di lapangan dipandang sebagai lembaga Super body. Status dan sidat KPK yang terkesan super body tersebut antara lain dikarenakan tiga ciri dominan. Pertama, KPK sebagai Lembaga Negara yang secara khusus melakukan tugas dalam tindak pidana korupsi. Kedua, keberadaan KPK melebihi peran dan fungsi yang ada pada lembaga penegak hukum lainnya antara lain Kepolisian dan Kejaksaan. KPK memiliki kewenangan untuk tidak saja melakukan koordinasi dan supervisi dengan institusi penegak hukum dan lembaga negara lainnya dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK dapat menyatukan tugas dan fungsi yang berada dalam kewenangan kepolisian untuk penyelidikan dan penyidikan, dan Kejaksaan dalam hal penyidikan dan peuntutan.13

Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntut para pelaku Korupsi yang diikuti tindak pidana pencucian uang, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu mendapat tantangan yang cukup berat karena dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak disebutkan secara jelas tentang kewenangan menuntut Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Komisi Peberantasan Korupsi (KPK). Hanya disebutkan secara tegas tentang kewenangan

12

Evi Hertanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 70.

13

Sarwedi Oemarmadi dkk, Jurnal Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah

(10)

melakukan penyidikan yang disebutkan dalam pasal 74 yang menyatakan “penyidik tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-unfang ini”. Begitu juga penjelasan pasal 74 yang menyebutkan “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan tidak pidana asal saat melakukan penyidikan sesuai dengan kewenangannya.”14

Harta kekayaan yang didapat dari kejahatan korupsi biasanya oleh pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. 15 Biasanya para pelaku lebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (fynancial system). Dengan cara demikian asal-usul kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh para penegak hukum dan upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan

14

Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang.

15

M. Jasin, PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia-Pasific, dapat dilihat dalam: http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/PERC-indonesia-negara-terkorup-di-asia-pasific, akses pada tanggal 10 Desember 2015.

(11)

yang diperoleh dari tindak pidana tersebut dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).16

Pengaturan mengenai anti-money laundering di Indonesia mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan adanya keputusan FATF (The Financial Action Task Force)17 pada tanggal 22 Juni 2001. Dalam keputusan FATF ini Indonesia dimasukkan sebagai salah satu diantara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif atau non-cooperative countries and teritories (NCCT’s) dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering,18karena di Indonesia : 19

a. Tidak adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana ;

b. Tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (know Your Cusomer – KYC) untuk lembaga keuangan non bank;

c. Rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;

16

Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) Peraturan

Perundang-undangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga studi Hukum dan

Ekonomi, Jakarta, 2004, Hal 69. 17

FAFT adalah sebuah badan antar pemerintah (inter governmental body) yang didirikan oleh Negara-negara maju yang tergabung dalam G.7 di Paris pada bulan Juli 1985. Semula tugas dari FATF adalah memberantas pencucian uang (money laundering). FATF telah mengeluarkan rekomendasi tentang pencucian uang yang dikenal dengan nama THE 40 FATF

RECOMMENDATIONS yang kemudian setelah peristiwa tanggal 11 september 2001, dikeluarkan

lagi 8 rekomendasi untuk memberantas terorisme dan 1 (satu) rekomendasi untuk khusus tentang

Cash Courier. Rekomendasi tersebut bukan merupakan produk hukum yang mengikat, tetapi

merupakan mandat atau kewajiban bagi setiap Negara apabila ingin dipandang sebagai Negara yang meenuhi standar interbasional oleh masyarakat dunia. Indonesia belum menjadi anggota FATF, tetapi anggota dari Asian Pasific Group on Money Laundering (APG). APG menjadi anggota FATF.

18

Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace & Library, Pusat Informasi hukum Indonesia, Jakarta, 2008, hal 2.

19

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008, hal 89.

(12)

d. Kurangnya kerjasama Internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang yang merupakan undang-undang pertama yang secara spesifik mengatur tentang tindak pidana pencucian uang ternyata tidak mampu memberantas ini. Kemudian Undang-Undang ini diubah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pemerintah bersama dengan badan Legislatif seiring berjalannya waktu mulai memikirkan upaya pemberantasan saja tidak cukup untuk menangani permasalahan kejahatan pencucian uang. Oleh karena itu dibutuhkan upaya prefentif (pencegahan) yang berguna untuk mencegah tindak pidana ini agar jangan sampai terjadi terus menerus. Dari pemikiran inilah maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang ini secara otomatis mencabut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.20

Instrumen anti Pencucian Uang dinilai menjadi suatu perangkat yang sangat efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil korupsi hampir pasti dilakukan pencucian uang, yaitu ketika koruptor menyembunyikan atau menikmati hasil korupsinya. Maka setiap menangani korupsi jangan hanya dikenakan Undang-Undang Anti Korupsi tetapi juga dengan Undang-Undang Anti

20

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tetang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(13)

Pencucian Uang, agar bisa ditelusuri kemana uang hasil korupsi harus disita dan yang menguasai juga dipidana karena terlibat pencucian uang.21

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan Latar Belakang masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka ada 2 (dua) Rumusan masalah dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana Ketentuan Hukum Acara tentang Kewenangan KPK dalam Memberantas Korupsi dan Kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang

2. Bagaimana Legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Melakukan Penuntutan terhadap Pelaku Pindak Pidana Pencucian Uang.

C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni dengan pengumpulan data secara studi kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka dan data-data sekunder. Penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Penelitian dari jenis ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Data sekunder tersebut digunakan sebagai sumber atau bahan informasi, yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

21

Yenti Garnasih, Korupsi Pasti Diikuti Pencucian Uang, dapat dilihat dalam: http://www.suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2012/03/05/179259/Korupsi-pasti-diikuti-pencucian-uang, diakses pada tanggal 10 Januari 2016.

(14)

2. Jenis dan Sumber Data

Penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari:

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti, peraturan perundang-undangan berupa KUHP, dan bahan hukum primer lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya tulis dari kalangan hukum seperti literatur hukum pidana dan bahan hukum sekunder lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian;

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ensiklopedia, media elektronik dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini dipergunakan Teknik Studi Kepustakaan (Library Research). Metode melalui kepustakaan (Library Research) yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisi Data

Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh,

(15)

kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif, untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti.22

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Ketentuan Hukum Acara tentang Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi dan Kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang

Membicarakan hukum acara tindak pidana korupsi tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan terkait dengan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara garis besarnya dibagi dalam 5 (lima) tahapan yang dilaksanakan oleh subjek pelaksana hukum acara pidana : (1) tahap penyidikan dilaksanakan oleh penyidik, (2) tahap penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum, (3) tahap mengadili dilaksanakan oleh hakim, (4) tahap eksekusi dilaksanakan oleh jaksa, dan tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan oleh hakim pengawas dan pengamat.23

Dalam hukum acara pemberantasan tindak pidana korupsi selain berlakunya KUHAP juga berlaku peraturan lain diluar KUHAP yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK.

Defenisi penyelidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir 5 KUHAP, adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan

22

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hal 55.

23

Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal.2.

(16)

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut ketentuan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”.

Pasal 5 KUHAP mengatur kewenangan penyelidik meliputi kewenangan berdasarkan kewajiban (hukum) dan kewenangan berdasarkan perintah penyidik.

Pasal 12 ayat (1) memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 huruf c.

Penyidikan diatur dalam Pasal-pasal 102-136 bagian kedua BAB XIV KUHAP, penyidik dan penyidik pembantu diatur dalam Pasal 6 – Pasal 13 bagian kesatu dan kedua BAB IV KUHAP. Kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan dapat dilihat dalam Pasal 7 Ayat (1) KUHAP yaitu: (a) menerima laporan dan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian perkara; (c) menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (g) memanggil orang untuk didengar untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (h) mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian

(17)

penyidikan; (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam Pasal 141 bahwa penunt umum dapat melakukan penggabungan perkara dengan satu surat dakwaan. Tetapi kemungkinan penggabungan itu dibatasi dengan syarat-syarat oleh pasal tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

Apa yang dimaksud dengan kata “penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan” tidak disebut, dan penjelasan pasal tersebut mengatakan cukup jelas. Yang dijelaskan ialah kata “bersangkut-paut”:

a. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan;

b. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;

c. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan delik lain atau menghindarkan diri dari pemindahan karena delik lain.24

Salah satu kekhususan yang berkaitan dengan Penuntutan yaitu tentang beban pembuktian. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menganut sistem pembuktian terbalik yaitu diatrur dalam Pasal 37, berbunyi sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

24

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1998, hal 92

(18)

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban pembuktian terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.25

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ada pasca Mahkamah Konstitusi memutus perkara Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 19 Desember 2006, Dari amar putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 012-016-019PUU-IV/2006 tersebut, terdapat dua poin krusial. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dan kedua, Pasal 53 masih mempunyai kekuatan mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan diucapkan.26

Menurut ketentuan Pasal 6 huruf c, KPK bertugas antara lain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

25

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung, 2007 , hal 197.

26

Mahkamah Konstitusi RI, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Tentang PengujianUndang-undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. hlm. 290.

(19)

Selanjutnya Pasal 11, menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c a quo,

Wewenang KPK terkait dengan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tidak pidana korupsi tertuang dalam pasal 11 UU KPK yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang:

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang-orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, KPK berlandaskan pada asas sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 huruf e UU KPK27:

a. Kepastian Hukum, bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh KPK harus berdasar pada peraturan perundang-undangan.

b. Keterbukaan, bahwa KPK wajib membuka dan memberikan akses informasi kepada masyarakat atas kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

c. Akuntabilitas, bahwa setiap tindakan KPK termasuk hasil akhir dari tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

27

(20)

d. Kepentingan Umum, bahwa segala tindakan KPK dalam pengungkapan kasus korupsi wajib memperhatikan dan mengutamakan kepentingan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

e. Proporsionalitas merupakan asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

Predicate crime adalah tindak pidana yang menghasilkan uang atau harta kekayaan yang akan dikaburkan asal usul hartanya dengan melakukan pencucian uang. Undang-undang dalam hal ini UU No. 8 Tahun 2010 melimitatifkan apa saja yang dapat dianggap sebagai kejahatan asal sebelum terjadinya tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 2 menyatakan bahwa harta kekayaan adalah harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;penyuapan;narkotika;psikotropika;penyelundupan tenaga kerja;penyelundupan migran;di bidang perbankan;di bidang pasar modal;di bidang perasuransian;kepabeanan;cukai;perdagangan orang;perdagangan senjata gelap;terorisme;penculikan;pencurian;penggelapan;penipuan;pemalsuan

uang;perjudian;prostitusi;di bidang perpajakan;di bidang kehutanan;di bidang lingkungan hidup;di bidang kelautan dan perikanan; atautindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih.

2. Legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Melakukan Penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam hal penuntutan diatur dalam BAB IV Pasal 38 s/d Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dimana dalam bab itu terdapat pengaturan mengenai Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan.

(21)

Dalam Pasal 38 ayat (1) disebutkan “segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum pada Komis Pemberantasan Korupsi”.

Upaya mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggabungkannya dengan tindak pidana pencucian uang, tampaknya menjadi semakin strategis ke depan. Hal ini, dikarenakan upaya untuk menyembunyikan uang hasil korupsi semakin kompleks, namun dapat diantisipasi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

. Pencucian uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan korupsi untuk melegalkan uang hasil kejahatannya dengan cara menyembunyikan ataupun menghilangkan asal-usul uang yang diperoleh dari hasil kejahatan melalui mekanisme lalulintas keuangan.28

Korupsi sebagai tindak pidana asal Tindak Pidana Pencucian Uang seperti yang sudah dijelaskan diatas menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, hal ini merupakan concursus realis (perbarengan perbuatan) yang diatur dalam Pasal 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71 KUHP, dimana Korupsi dan Pencucian Uang merupakan dua tindak pidana yang berdiri sendiri. Sebagai konsekuensi dari adanya tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka pemrosesan terhadap kedua tindak pidana itu dilaksanakan secara bersamaan/digabung. Hal ini dalam istilah hukumnya disebut dengan istilah

28

(22)

concursus realis pada saat mana penghukuman terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan.29

Penanganan perkara tidak pidana pencucian uang mempunyai arti penting bagi pengembalian aset negara terkait dengan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Money Laindering hanya diperlukan dalam hal uang yang tersangkut jumlahnya besar, karena bila jumlahnya kecil uang itu dapat terserap ke dalam peredaran secara tidak kentara. Uang kotor itu harus dikonversikan menjadi uang sah sebelum uang tersebut dapat diinvestasikan atau dibelanjakan, yaitu denga cara yang disebut pencucian uang (money laundering).30

Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan Pemberantasan Korupsi yang dikeluarkan oleh presiden pada tanggal 9 Desember 2004 bertepatan dengan hari anti Korupsi Sedunia menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang hasil korupsi tersebut sekaligus menjadi suatu instrumen hukum yang memerintahkan aparat penegak hukum untuk secepatnya memulihkan kerugian negara (asset recovery).31

Pengembalian Aset (asset recovery) dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 (UNCAC) diatur pada Bab IV Pasal 51-Pasal 59). Untuk mengedepankan asset recoverydalam penanganan tindak pidana korupsi, setiap negara di samping membuka hubungan kerja sama yang lebih 1uas, tidak hanya dalam penegakan hukum para pelakunya melainkan juga dalam

29

Ibid, hal. 4

30

Sarah N. Welling, Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss, hal. 201

31

(23)

mengembalikan aset hasil korupsi yang dilarikan/disembunyikan di wilayah negara lain, baik yang terkait aspek pidana maupun aspek perdata.32

Pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan melalui jalur Pidana (Aset Recovery secara tidak langsung melalui Criminal recovery) dan jalur perdata (Aset Recovery secara langsung melalui civil recovery). Khusus terhadap jalur hukum pidana (Penal) yaitu aset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:33

a. pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik/tindak pidana yang dilakukan.

b. pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi, atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten.

c. penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten.

d. pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.

32

Ibid

33

(24)

Ketentuan Pasal 68 UU PPTPPU menegaskan berlakunya azas “lex specialis derogate legi generali”, yang mana UU PPTPPU menjadi ketentuan yang bersifat khusus sedangkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai ketentuan yang bersifat umum.

Dalam hal penuntut umum tindak pidana pencucian uang yang bersumber dari tindak pidana korupsi maka perlu dicermati Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK),

Berdasarkan pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan dan penuntutan dapat diambilalihkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan-alasan yang dijelaskan oleh Pasal 9 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam melaksanakan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Jika lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana asal dan lembaga yang berwenang melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang adalah lembaga yang berbeda, maka berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan serta ketidakpastian yang menghambat proses penuntutan. Kondisi ini tidak sesuai dengan harapan tercapainya peradilan pidana yang efektif

(25)

yang diindikasikan melalui 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan, yaitu adanya undang-undang yang baik (good legislation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing).34

Dalam pertimbangan oleh Mahkamah Kostitusi dalam perkara Nomor 77/PPU-XII/2014 menyatakan “menimbang bahwa mengenai Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 yakni ketentuan bahwa penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri yang menurut pemohon hanya penuntut umum pada Kejaksaan RI yang berwenang sedangkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang, menurut mahkamah penuntut umum merupakan suatu kesatuan sehingga apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, penuntutan oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat daripada harus dikirim lagi ke Kejaksaan Negeri. Apalagi tindak pidana pencucian uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dengan demikian dalil pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum”.35

Dengan ditolaknya permohonan pemohon oleh Mahkamah Konstitusi maka semakin menguatkan kewenangan KPK menuntut tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

34

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2005, Hal 57

35

(26)

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1). Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Putusan Mahkamah Kostitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Kostitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.36

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi berpatokan kepada Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan kaitannya dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dimana adalah dimana Tindak Pidana Pencucian Uang tidak bisa lepas dari tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi merupakan salah satu predicate crime daripada tindak pidana pencucian uang.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang predicate crime-nya adalah tindak pidana korupsi dapat memaksimalkan pengembalian kerugian negara

36

Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

(27)

sehingga penerapan Undang-Undang Pencucian Uang dapat mengikuti peredaran uang hasil tindak pidana tersebut (follow the money). Mahkamah Konstitusi juga sudah memutuskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Penuntut Umumnya berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014.

B. Saran

1. Diperlukan adanya perubahan ketentuan dalam Undang-Undang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ujuan untuk memperkuat semua institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi terkhusus Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Perlu segera dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menguatkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menggabungkan tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntut tindak pidana pencucian uang dengan mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, 2005.

Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace & Library, Pusat Informasi hukum Indonesia, Jakarta, 2008.

Budiman Ginting, Syafruddin Kalo, dan Aflah, Hukum Antikorupsi, Jakarta. Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit Djambatan,

Jakarta, 1998

Djoko Prakoso, Peranan Pengawasan dalam Penangkalan Tindak Pidana Korupsi, Aksara Persada Indonesia, Semarang.

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Graha Ilmu, Yokyakarta, 2010.

Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering) Peraturan Perundang-undangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga studi Hukum dan Ekonomi, Jakarta.

Evi Hertanti, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana,

Mandar Maju, Bandung, 2003

Ian McWalters, SC. Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, 2006.

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung, 2007

(29)

Marwan Efendi, Korupsi dan Pencegahan, Timpani, Jakarta, 201

Mahrus Ali, Asas-asas dan Praktek Hukum PidanaKorupsi, UII Press, Yokyakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1992.

Sarwedi Oemarmadi dkk, Jurnal Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah Indonesia Procurement, Watch-Hivos, 2005.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001

Surachmin dan Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tiga Lima, Jakarta, Cetakan ke-1, 2008

Jurnal:

Sarah N. Welling, Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law, yang dimuat dalam Brent Fisse, David Fraser & Graeme Coss

Sarwedi Oemarmadi dkk, Jurnal Tool Kit Anti Korupsi, Lima Belas Langkah Pengadaan barang dan Jasa Pemerintah Indonesia Procurement, Watch-Hivos, 2005.

(30)

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PPU-XII/20014

PutusanMahkamah Konstitusi RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Website:

M. Jasin, PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia-Pasific, dapat dilihat dalam:

http://metrotvnews.com/read/news/2011/08/11/60962/PERC-indonesia-negara-terkorup-di-asia-pasific.

Yenti Garnasih, Korupsi Pasti Diikuti Pencucian Uang, dapat dilihat dalam: http://www.suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2012/03/05/1792

Referensi

Dokumen terkait

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling karena data yang diambil didasarkan pada karakteristik daerah penelitian, yaitu nelayan

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012

Oleh karena itu untuk membuat animasi iklan dibutuhkan dua komponen animasi yaitu animasi teks yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan animasi twening objek yang

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 merupakan penjabaran RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2019 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dan Rencana

Langkah pertama pembuatan program ini adalah mengumpulkan elemen elemen yang dibutuhkan untuk membuat suatu aplikasi multimedia lalu dilanjutkan dengan menggabungkan elemen

Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Rahmadani dkk (2017), dan Arviantama (2017) yang menyatakan bahwa kepuasan tidak berpengaruh terhadap

Simpulan kegiatan yang telah dilakukan dalam program Diseminasi Teknologi Mesin Genset Tenaga Surya Bagi Masyarakat Terdampak Bencana Gunung Merapi Desa Wukirsari