• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA RUANG PERMUKIMAN DAN RUMAH TRADISIONAL BALI AGA BANJAR DAUH PURA TIGAWASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA RUANG PERMUKIMAN DAN RUMAH TRADISIONAL BALI AGA BANJAR DAUH PURA TIGAWASA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

POLA RUANG PERMUKIMAN DAN RUMAH

TRADISIONAL BALI AGA BANJAR DAUH PURA TIGAWASA

Wayan Ganesha, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145 Indonesia

Email: ganeshawayan@gmail.com

ABSTRAK

Desa Tigawasa adalah salah satu Desa Bali Aga yang ada di Bali. Desa Adat Tigawasa memiliki perbedaan dengan desa-desa yang ada di Bali lainnya yang telah mendapat pengaruh dari kedatangan Majapahit. Perbedaan tersebut terletak pada karakteristik sosial budaya masyarakat serta pada pola tata ruang permukiman rumahnya. Tujuan studi ini adalah untuk mengindentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Desa Adat Tigawasa dan pola tata ruang permukiman rumah yang terbentuk. Kemudian menganalisis pola tata ruang permukiman rumah tradisional yang terbentuk akibat pengaruh dari sosial budaya masyarakatnya serta perubahan-perubahan pola ruangnya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-evaluatif. Data–data diperoleh melalui observasi lapangan, kuisioner, serta wawancara. Hasil studi diketahui bahwa pola permukiman makro desa Tigawasa dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, tata ruang makronya dibagi menjadi tiga zona. Tingkat hunian rumah (mikro) dilandasi oleh konsep hulu–teben pada konsep tata letaknya. Wilayah yang memiliki topografi lebih tinggi memiliki tingkat kesakralan/kesucian lebih tinggi dari wilayah yang bertopografi rendah. Pola tata ruang permukiman terbentuk akibat pengaruh sistem kepercayaan masyarakatnya sebagai pemeluk Agama Hindu Sekte Dewa Sambu. Terdapat perubahan pola permukiman rumah antara lain material bangunan serta lokasi dapur yang bergeser dari dalam bangunan utama (sakaroras) kini berada diluar sakaroras.

Kata Kunci: Pola ruang, permukiman rumah, Bali aga, desa adat

ABSTRACT

Tigawasa village is the one of Bali Aga Village in Bali. Tigawasa Traditional Village has differences with the other existing villages in Bali who have gained influence of the arrival of Majapahit. The difference can be seen on the social and cultural characteristics as well as the spatial patterns of settlement house. The purpose of this study was to identify the social and cultural characteristics of Tigawasa Traditional Village and identify spatial patterns of houses settlement formed, and analyze the spatial patterns of traditional houses settlement that formed due to the influence of socio-cultural community as well as changes to the spatial pattern. Descriptive-evaluative method was used in this study. The data obtained through field observations, questionnaires, and interviews. Results of research known Tigawasa macro-village settlement pattern can be seen based on the Tri Hita Karana and Tri Mandala concept, macro layout is divided into three zones. As the residential homes level (micro) based on the hulu - teben concept on the layout. Higher topography has sanctity/purity levels higher than at low topography location. Spatial patterns of settlement are formed also under the influence of Tigawasa Hindu belief of the Sambu Gods sect. There is a change in the house settlement, the material of the building and the kitchen transfer of location which was originally located in the main building (sakaroras) is now located outside the main building.

(2)

Pendahuluan

Bali memiliki tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal permukiman. Tidak hanya bentuk bangunannnya saja yang khas, tetapi demikian pula halnya dengan pola desanya. Hampir semua desa memiliki pola yang jelas. (Setiada 2003). Pola perkembangan permukiman tradisional di Bali umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual yang menempatkan zona sakral di bagian kangin (Timur) arah terbitnya matahari sebagai arah yang diutamakan. Faktor kondisi dan potensi alam, nilai utama pada arah gunung. Ke arah laut dinilai lebih rendah. Faktor ekonomi yang berpengaruh pada pola perkampungan adalah desa nelayan menghadap ke laut, desa petani menghadap ke arah sawah atau perkebunan (Gelebet, et al 1985:12). Desa Tigawasa sebagai desa Bali Aga di Bali memiliki ciri khas tersendiri pada pola permukimanya khususnya di Banjar Dinas Dauh Pura. Pola tata ruang permukimannya tidak seperti pola permukiman tradisional Bali secara umum yang di pengaruhi konsepsi Tri Hita Karana pada ruang makro dan Tri Angga serta Sanga

Mandala pada tata nilai pola hunian. Kebudayaan masyarakat yang sangat kental dalam

kegiatanya sehari-hari, serta keberadaan desa yang berada di daerah pegunungan, memberikan pengaruh tersendiri pada pola permukiman maupun pola hunian sehingga membentuk pola permukiman rumah yang unik.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas terkait dengan Pola Ruang Permukiman dan Perumahan Tradisional Bali Aga Desa Tigawasa Buleleng Bali adalah sebagai berikut; Bagaimana Karakteristik fisik, sosial–budaya masyarakat Tradisional Bali Aga di Desa Tigawasa Buleleng Bali; Bagaimana Karakteristik pola ruang permukiman rumah Tradisional Bali Aga di Banjar Dinas Dauh Pura Desa Tigawasa Buleleng Bali yang terbentuk serta perubahan yang terjadi pada pola ruang makro maupun tingkat hunian. Dengan demikian, dapat diketahui karakteristik fisik dan sosial-budaya masyarakat tradisonal Bali Aga, karakteristik pola ruang permukiman rumah, serta perubahan-perubahan yang terjadi saat ini. Dari hasil pembahasan diketahui terjadi perubahan pla ruang makro maupun mikro, pada pal ruang makro terjadi perubahan pada zona utama mandala dan nista mandala dengan adanya permukiman pada zona tersebut. Pada pola ruang unit hunian terjadi perubahan pada material penyusun bangunan serta semakin sempitnya natah karena penambahan bangunan baru.

Metode Penelitian

Studi Pola Ruang Permukiman Ruman Tradisional Bali Aga Banjar Dinas Dauh Pura Desa Tigawasa Buleleng Bali ini termasuk studi dengan menggunakan metode deskripti eksploratif dan evaluatif. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data, yaitu dengan melakukan survei primer dan survei sekunder.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik pengambilan sampel bersifat tidak acak, dengan sampel yang di pilih berdasarkan pertimbangan-pertimangan tertentu (Purposive Sampling). Berdasarkan pada kriteria tersebut, maka bangunan rumah yang didapat sebanyak tiga puluh tujuh (37) rumah, rumah yang dijadikan sampel berada pada Banjar Dinas Dauh Pura Desa Tigawasa. Sampel penduduk adalah pemilik rumah yang dijadikan responden.

Hasil dan Pembahasan Sejarah Desa Adat Tigawasa

Asal-usul Desa Tigawasa belum dapat diketahui, masih dalam penelitian, tetapi kenyataannya Desa Tigawasa adalah masuk Desa Purba (Bali Aga) karena banyak mengandung kepurbakalaan. Menurut Ilmu Bahasa, nama Desa itu terdiri dari kata majemuk, yaitu tiga-wasa (wasa-bahasa kawi) artinya Banjar atau Desa. Jadi Desa

(3)

Tigawasa terjadi dari 3 (tiga) Banjar: Banjar Sanda, Banjar Pangus, Banjar Kuum Mungggah (Gunung Sari).

Menurut Bapak Sudaya, perkembangan permukiman penduduk pertama kali di daerah wilayah desa (Banjar Dinas Dauh Pura). Berdasarkan penuturan beliau sejarah permukiman Desa Tigawasa dimulai di tiga Banjar, yaitu Sanda, Pangus dan Kuum Munggah. Pembanguan permukiman di tiga banjar tersebut mengalami gangguan baik dari binatang yang ada di hutan, maupun mahluk halus. Masyarakat dari ketiga banjar tersebut bersatu dan membangun permukiman baru di wilayah yang baru yang sekarang dikenal sebagai ibu kota desa, yaitu Banjar Dinas Dauh Pura yang tepat berada di tengah-tengah desa. Aktivitas penduduk hanya terkonsentrasi pada sektor pertanian dan melakukan ritual upacara yang terpusat di Pura Desa. Berdasarkan pengamatan lapangan bukti sejarah menunjukkan bangunan tertua terdapat di wilayah Banjar Dinas Dauh Pura.

Pola permukiman

Pola permukiman Desa Tigawasa memiliki pola permukiman memusat. Permukiman masyarakat mengelompok di tengah–tengah desa yang dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan tegalan dan perkembangannya menyebar pada lokasi pertanian yang berada pada luar wilayah Banjar Dauh Pura. Banjar Dauh Pura berada di pusat atau di tengah–tengah desa dan terdapat rumah dadia sebanyak 37 buah dan tempat suci, yaitu Pura Desa dan Pura Dalem yang menjadi satu dengan Pura Desa, sedangkan Banjar lainnya berada mengelilingi Banjar dauh pura dengan wilayahnya berada di luar wilayah utama Desa Tigawasa, biasanya masyarakat mengatakan wilayah tersebut dengan istilah “kubu”. Kubu merupakan rumah tinggal di luar pusat permukiman di ladang, di perkebunan atau tempat tempat kehidupan lainya. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan permukiman, menempati unit-unit perkebunan atau ladang-ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang kubu sebagai rumah tempat tinggal serupa pola dengan rumah/umah (Gelebet, et al. 1985 : 39). (Gambar 1)

(4)

Kehidupan sosial dan budaya

Terdapat empat bentuk persekutuan dasar yang terkait dengan secara fungsional struktural yang terdapat dalam kehidupan personal masyrakat Desa Tigawasa, yaitu keluarga inti, dadia, banjar dan pakraman desa atau warga. Keempat persekutuan tersebut sangat erat kaitanya dengan hak dan kewajiban sebagai warga desa. Semakin terbukanya desa terhadap lingkungan luar menyebabkan semakin tingginya minat terdapat pendidikan terutama generasi muda Desa Tigawasa. Arus globalisai juga telah masuk ke dalam desa ini, namun demikian Desa Tigawasa masih memiliki banyak keunikan dan kearifan tradisional. Di antara keunikan unikan tersebut teletak pada bahasa keseharian antar penduduk desa, sistem kepercayaan, ritual keagamaan, sistem kemasyarakatan, dan pandangan hidup.

Sistem pemerintahan

Secara umum, sistem pemerintahan desa yang dikenal oleh masyarakat Bali adalah sistem pemerintahan desa dinas dan sistem pemerintahan desa adat. Keduanya memiliki perbedaan secara substansial, struktur dan fungsi. Keterikatan masyarakat maupun respon yang diberikan pada dua lembaga pemerintahan tersebut berbeda pula. Sistem pemerintahan adat di pimpin oleh ulu apad yaitu sesepuh desa yang terdiri dari delapan orang yaitu, 1 pasang kebaan, 1 pasang pasek, 1 pasang takin dan 1 pasang

pamurakan.

Sistem kelembagaan/organisasi sosial

Secara turun–temurun kehidupan masyarakat Desa Tigawasa tidak pernah terlepas dari adat. Begitu juga sistem organisasi sosial yang ada selalu mengacu pada sistem adat dan awig–awig. Hal ini lah yang mendasari sistem organisasi sosial yang kuat dan bertahan hingga kini. Jenis-jenis lembaga tradisional dalam masyarakat Bali adalah desa, banjar, subak, dan sekehe. Konsep desa memiliki dua pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas.

Sistem kemasyarakatan

Sebagai desa yang masih tradisional dan selalu menjunjung tinggi awig–awig desa, kehidupan masyarakat Desa Tigawasa selalu mengedepankan prinsip persatuan, kesatuan dan kebersamaan. Hal ini dikarenakan setiap warga memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian dan kesucian desa. Sebagai salah satu dari desa Bali Aga, Tigawasa memiliki budaya, dialek bahasa, dan ritual yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Dalam sistem sosialnya Desa Tigawasa menganut sistem ulunan atau prajuru. Sistem ulunan berarti mengedepankan kedudukan dalam keluarga berdasarkan perkawinan. Begitu seseorang menikah, maka namanya dimasukkan dalam karma adat. Selain krama desa adat tersebut terdapat pula warda desa yang disebut dengan istilah pancer (panca datu), yaitu

Warga pasek bertugas untuk tetap melestarikan adat Tigawasa;

Juru gemblung yang bertugas untuk memegang gamelan sacraln ketika ada upacara

di pura;

Juru gambuh bertugas sebagai penari tari-tarian sakral;

Juru lawan bertugas sebagai penari saat upacara Galungan dan Kuningan; dan

Juru Sudamala bertugas untuk melaksanakan upacara pembersihan pada saat terjadi

kematian atau upacara ngaben.

Kehidupan ekonomi masyarakat Desa Tigawasa

Kehidupan ekonomi masyarakat di Desa Tigawasa terletak pada sektor pertanian dan industri rumah tangga bahwa jenis mata pencaharian yang paling dominan di Desa Tigawasa adalah petani sebanyak 47,85% dan sebagi pengarajin industri rumah tangga

(5)

sebanyak 47,01%. Banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai petani didukung oleh luasnya lahan pertanian yang ada di desa terutama lahan perkebunan kopi dan cengkeh mencapaii 6,05% dari luas keseluruhan Desa Tigawasa. Biasanya masyarakat memanfaatkan pekarangan rumah (natah) sebagai tempat menjemur hasil panen kopi maupun cengkeh.

Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa

Analisis karakteristik pola tata ruang permukiman rumah tradisional Desa Tigawasa bertujuan untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang tradisional masyarakat Desa Tigawasa, sehingga nanti dapat memberikan gambaran mengenani filosofi dan konsepsi serta pergeseran-pergeseran tata ruang yang ada.

Awig – awig (Hukum adat) Desa Tigawasa dalam pengaturan tata ruang desa

Sebagai salah satu desa tua di Bali pada khususnya Kabupaten Buleleng keberadaan Desa Adat Tigawasa bisa terjaga hingga kini dikarenakan dalam setiap kehidupan masyarakat selalu berpegang pada awig–awig desa. Begitu juga halnya dengan pemanfaatan wilayah desa yang telah diatur dalam ketentuan desa adat. Jika ada masyarakat yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi, mulai dari pamindanda (denda) hingga dikeluarkan dari keanggotaan krama desa adat.

Hukum adat (awig–awig) adalah aturan yang dibuat oleh warga (krama) desa adat yang dipakai pedoman dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari masayarakat Desa Adat Tigawasa, baik dalam kehidupan sosial budaya dan dalam pelaksaan tara ruang desa maupun dalam pekarangan.

Analisis tata ruang desa (Makro)

Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang dimaksudkan adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi tertentu serta tata nilai yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan berlandaskan pada ajaran agama Hindu di Bali. Seperti yang diungkapkan Parwata (2004), bahwa pengaturan tata ruang masyarakat Bali dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari zona parahyangan (ruang utama/suci), palemahan (wilayah desa/ruang interaksi dan kegiatan masyarakat),

pawongan (manusia).

Penerapan konsep Tri Mandala terbagi menjadi Zona Utama, Zona Madya, Zona Nista. Zona Utama adalah wilayah yang terletak pada sisi (Hulu) selatan desa topografi tinggi. Zona Utama merupakan zona suci (parahyangan) bangunan bangunan suci ataupun segala hal yang berkaitan dengan pemujaan diarahkan pada zona ini. Zona Madya, zona ini berda di tengah-tengah desa zona ini merupakan pusat permukiman masyarakat (pawongan) desa tigawasa. Untuk Zona Nista terletak pada sisi utara desa (Teben) topografi rendah, wilayah ini merupakan wilayah yang paling “kotor”, karena pada zona ini terdapat merupakan zona ini merupakan tempat pembuangan akhir untuk segala yang kotor. ciri khusus yaitu keberadaan kuburan (Gambar 2 dan Gambar 3).

(6)

Gambar 2. Indentifikasi Zona Tri Mandal.

Gambar 3. Transek Desa melintang vertikal utara selatan.

Tipologi Desa Adat Tigawasa

Ciri utama fisik Desa Bali Pegunungan adalah ruang terbuka cukup luas yang memanjang (linier) dari arah utara menuju selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi dua bagian. Pada posisi yang diametral, yakni pada ujung utara (kaja) terletak Pura Puseh (tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu, yaitu Dewa Penciptaan), di tengah sebagai tempat Pura Bale Agung (tempat pemujaan untuk Dewa Brahma), dan pada arah selatan (kelod) terletak Pura Dalem (tempat pemujaan untuk Dewa Siwa). Fasilitas umum atau infrastuktur berada di tengah desa dan hunian penduduk berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa. Untuk lebih jelasnya mengenai tipologi desa Bali Pegunungan (Gambar 4)

(7)

Gambar 4. Ilustrasi tipologi permukiman Desa Adat Tigawasa.

Analisis pengaturan ruang budaya Desa Tigawasa

Zona parahyangan merupakan suatu bentuk manifestasi hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan melalui sarana peribadatan (pura) di setiap wilayah desa. Di Desa Adat Tigawasa terdapat 9 pura yang tersebar di dalam permukiman desa, di dalam hutan, dan di batas wilayah desa.

Analisis tata ruang unit hunian (Mikro)

Proses pembangunan tempat tinggal masyarakat Desa Tigawasa

Berdasarkan hasil kuisioner dapat diketahui bahwa rata-rata rumah tradisonal yang tedapat di wilayah Banjar Dinas Dauh Pura dibangun pada pada tahun 1901-1906. Demulai dengan membangun penyengker/bata pekarangan kemuadian membangun sanggah dilanjutkan dengan membangun sakaroras. Jika pemilik rumah memiliki keinginan membangun bangunan penjunjang lainya juga dapat dilbangun setelah membangun bangunan utama. Permukiman rumah panti Desa Adat Bali Aga Tigawasa pada dasarnya dalam satu perkarangan hanya terdiri dari dua bangunan yaitu bangunan

(8)

Gambar 5. Tata urutan pembangunan tempat tinggal.

Pola pengaturan ruang natah /pekarangan rumah

Pada umumnya, pola pemanfaatan ruang pekarangan rumah di Bali berdasarkan pada konsep Sanga Mandala. Konsep ini membagi pekarangan menjadi 9 bagian dengan tata nilai dari Utamaning Utama sampai Nistaning Nista. Namun berdasarkan pengamatan lapangan di Desa Adat Tigawasa konsep tata letak bangunan berorintasi pada konsep tata letak hulu-teben (tinggi-rendah). Peletakan setiap unit bangunan dalam pekarangan rumah tergantung pada fungsi dan nilai kesakralannya. Berdasar pada pengamatan fisik permukiman maka orientasi terhadap nilai utama dalam penataan lingkungan nampaknya menggunakan ketinggian sebagai nilai utama sedangkan daerah nistanya pada daerah yang lebih rendah (Gambar 6).

Gambar 6. Pembagian ruang dalam unit hunian.

Berdasarkan pengamatan fisik permukiman maka orientasi terhadap nilai utama dalam penataan lingkungan menggunakan ketinggian sebagai nilai utama sedangkan daerah nistanya pada daerah yang lebih rendah.

(9)

Dari penempatan sarana dan prasarana pura keluarga terletak lokasi yang posisinya lebih tinggi dari pekarangan. Tata nilai yang berdasarkan atas sumbu terbit dan tenggelamnya matahari tidak dipergunakan. Dengan demikian maka konsep Sanga

Mandala tidak diterapkan dalam penataan permukiman

Orientasi unit bangunan dalam pekarangan rumah

Sesuai dengan konsep pengaturan ruang pekarangan yang mengacu pada konsep Hulu-Teben, maka semua unit bangunan yang ada dalam rumah masyarakat Desa Adat Tigawasa berorientasi ke natah (teben). Natah merupakan suatu istilah umum untuk menyatakan suatu halaman di tempat yang paling rendah (teben) lingkungan terbangun, baik dalam rumah/unit hunian maupun desa (Gambar 7).

Gambar 7. Orientasi bangunan dalam pekarangan rumah.

Pola pemanfatan ruang pekarangan

Sumbu Utara - Selatan

Bila kita melihat pola pemanfaatan ruang berdasarkan sumbu utara selatan, maka pemanfaatan ruang satu unit pekarangan dari arah selatan adalah:

Paling selatan adalah ruang dengan peruntukan bangunan sanggah. Kedudukan lantai sanggah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan sakaroras, maupun dengan natah dan bangunan jineng/lumbung/penyimpanan padi. Namun demikian bila dilihat dari ketinggian halaman (natah). Apabila dalam satu unit pekarangan terdapat beberapa kepala keluarga maka hanya terdapat satu zona lahan tempat suci, dengan menempatkan sanggah di tempat itu pula, sedangkan bangunan baru dibangun di area natah/halaman. Lebih ke utara bangunan setelah sanggah adalah sakaroras. Sumbu Timur - Barat

 Bila kita melihat pola pemanfaatan ruang berdasarkan sumbu timur barat, maka terlihat bahwa yang dipergunakan sebagai sumbu utama (patokan) adalah jalan, dengan posisi ini umumnya merupakan daerah rendah dari pekarangan. Dilihat dari jalan, maka posisi yang paling dekat adalah zona madya (natah) yang menempati

(10)

Zona berikutnya adalah sakaroras dan dapur yang jika dilihat dari jalan posisinya berada lebih jauh bila dibandingkan dengan natah. Namun posisinya lebih tinggi dari

natah, karena tingkat kesucian bangunan ini lebih tinggi dari natah.

Zona terakhir bila ditinjau dari posisi timur barat adalah zona hulu yang merupakan bagian sisi paling tinggi dari pekarangan yang miring ke arah timur (pekarangan di sebelah timur jalan) dan kearah barat (pekarangan di sebelah barat jalan).

Perubahan pola ruang permukiman rumah

Perubahan pola ruang permukiman makro

Konsep pola ruang yang digunakan pada permukiman makro Desa Tigawasa adalah konsep Tri Hita Karana dan konsep Tri Mandala yang diimplementasikan pada permukiman makro desa. Hingga saat ini konsep tersebut masih bertahan sebagai konsep permukiman makro Desa Tigawasa. Pada perkembangannya seriring dengan pertambahan jumlah penduduk, keberadaan permukiman masyarakat desa tidak lagi hanya berpusat pada wilayah Banjar Dinas Dauh Pura, tetapi menyebar ke seluruh wilayah Desa Tigawasa. Tempat-tempat yang semula hanya menjadi tempat untuk berteduh ketika menjaga kebun atau ladang kini berubah menjadi tempat untuk menetap. Namun untuk istilah masyarakat desa masih menyebut dengan istilah kubu. Keberadaan permukiman-permukiman baru tersebut tidak merubah aktifitas masyarakat desa, karena pusat-pusat kegiatan masih berada di Banjar Dinas Dauh Pura seperti kantor desa, pura desa dan pura-pura panti atau pura keluarga, sehingga kerap kali masyarakat yang berada di luar wilayah Banjar Dinas Dauh Pura kembali untuk melakukan sebagian aktifitas terutama yang berkaitan dengan kegiatan religi (Gambar 8)

Gambar 8. Perkembangan permukiman Desa Tigawasa.

Perubahan pola ruang permukiman rumah mikro

Seiring dengan kemajuan jaman dan mulai masuknya pengaruh-pengaruh dari luar dan semakin terbukanya masyarakat desa dengan adanya kemajuan serta dengan adanya regenerasi pemilik rumah dari ayah ke anak, menjadi salah satu faktor yang menyebabnya adanya perubahan pada pola ruang rumah tradisional Desa Tigawasa. Generasi ke-2 yang menempati rumah tersebut memiliki sifat keterbukaan dan pola pikir yang lebih modern. Beberapa perubahan mendasar yang terdapat pada rumah tradisional adalah adanya letak dapur yang semula berada di dalam sakaroras kini berada luar

sakaroras namun masuh dalam area pekarangan. Letak atau posisi dapur yang baru di

area teben dari sakaroras baik itu di sebelah kanan, kiri atau depan tergantung dari ketersediaan lahan yang ada dalam pekarangan. Hal ini mengingat dapur memiliki tingkat kesakralan yang lebih rendah dari sakaroras. Selain perubahan letak dapur, juga terdapat penambahan bangunan baru, yaitu bangunan untuk kamar tidur anak serta kamar mandi.

(11)

Tidak semua rumah tradisional mengalami perubahan penambahan bangunan dari 37 jumlah sampel rumah tradisional terdapat 7 sampel rumah yang tidak mengalami perubahan pola tata ruang. Terdapat 19 rumah dengan penambahan dapur yang baru terpisah dengan bangunan utama, 10 rumah dengan penambahan dapur dan kamar mandi, serta 3 rumah dengan penambahan dapur, kamar mandi serta kamar tidur baru (Gambar 9 dan Gambar 10). Adapun perbedaan karakteristik sosial budaya dan pola ruang Bali Aga Desa Tigawasa dengan Bali Daratan (Tabel 1).

Gambar 9. Perubahan pota tata ruang karena penambahan dapur.

Gambar 10. Perubahan pota tata ruang karena penambahan dapur dan kamar mandi. Tabel 1. Martiks Perbandingan Desa Tigawasa dan Desa Bali Dataran

No Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keterangan

1 Sosial Budaya

 Sistem Kepercayaan

Menganut Sistem Kepercayaan Hindu Sekte Dewa Sambu

Menganut Sistem Kepercayaan Hindu Siwa Sidanta Dengan adanya kepercayaan Dewa Sambu berpengaruh

(12)

No Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keterangan

yaitu, sanggah ang berbentuk liner serta tidak terdapat sangah pengunkarang yang berada di dekat dengan pintu depan

 Sistem Pemerintahan adat

Uluapad (Sistem pemerintan adat yang dipimpin delapan pengurus adat yang di wariskan berdasarkan tingkat usia perkawinan)

Sistem

pemerintahan yang dipimpin oleh Ketua adat yang dipilih secara musyawarah adat  Sistem Kemasyarakat an Tidak mengenal istilah kasta Terdapat pengolongan masayarakat berdasarkan kasta Pengaruh dengan tidak adanya sistem kasta pada pla permukiman rumah yaitu pola rumah atau bentuk pekarangan yang seragam satu satu sama lainnya dengan istilah umah, tidak terdapat jero dll

 Upacara Keagamaan Panca Yadnya (Namun tidak mengenal istilah Ngaben(membakar mayat ) Panca Yadnya, Desa Kala Patra

Upacara agama tidak pernah terlepas dari kehidupan

masyarakat tigasawa juga sebagai bentuk sosialisme

masyarakat hal ini terwujud dalam pola hunian “natah” untuk aktifitas yang berkaitan dengan keagamaan.

2 Pola Ruang Desa

 Konsep Desa Tri Hita Karana Tri Hita Karana Konsep dasar dalam ajaran Agama Hindu dimana dalam suatu bentuk kehdupan untuk mencapai kebahagian harus terdadapat

keharmonisan antara Tuhan, Manusia dan Alam.

 Konsep Pola Ruang Desa

Tri Mandala, Tri Madala, Sanga Mandala, Tri Angga, Rwa-Bhineda, Konsep Dinamika

Dengan konsep pola ruang Desa yang mengacu pada Konsep Tri Mandala, membagi wilayah desa menjadi tiga zona yaitu zona mandala utama, madya utama dan nista utama.

 Konsep Pola Ruang

Permukiman dan Hunian

Hulu- Teben Hulu-Teben, Kaja-Kelod, Kangin Kauh, Sakral-Profan, Sanga Mandala

Konsep pola ruang hunian hulu teben menempatkan wilayah yang bertopografi lebih tinggi memiliki tinggkat kesarkralan yang lebih tinggi di banding dengan

(13)

No Materi Desa Tigawasa Desa Bali Dataran Keterangan

rendah.

 Tipologi Desa Pegunugnan Dataran

 Pola Desa adat  Pola II: Satu desa terdiri dari satu desa adat;

 Pola I : Satu desa mencakup beberapa desa adat;

 Pola II: Satu desa terdiri dari satu desa adat;  Pola III: Satu desa

adat terdiri dari beberapa desa; dan

 Pola IV: satu desa adat terbagi ke dalam beberapa desa.  Tata Cara Pembangunan Rumah Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi

Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi

Rekomendasi

Pola ruang tradisional dalam lingkup desa (makro)

1. Pembatasan pembangunan di zona utama dan nista mandala terutama dari penduduk yang berasal dari luar wilayah desa dengan menjalankan sepenuhnya ketentuan yang ada dalam awig–awig desa. Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat Desa Adat Tigawasa dari dulu hingga sekarang selalu diselimuti oleh aturan adat.

2. Menjaga aturan yang selama ini telah berlaku, yaitu dengan tidak mengijinkan pembangunan rumah adat (panti) di luar wilayah Banjar Dinas Dauh Pura (zona

madya mandala) sehingga kekhasan pola permukiman tetap terjaga.

Pola ruang tradisional dalam lingkup unit hunian (mikro)

1. Pembatasan terhadap bagian rumah yang boleh direnovasi, seperti hanya sebatas estetika bangunan. Namun jika sampai merubah unit bangunan hendaknya dilarang karena dapat menghilangkan ciri pola ruang tradisional yang dimiliki.

2. Memberikan intensif terhadap penduduk yang masih menjaga rumah tradisional Bali Aga.

3. Dalam pembangunan bangunan baru diharapkan masyarakat tetap mengacu pada konsep Hulu Teben sehingga kelestarian pola ruang tradisonal yang telah ada tetap berhan dan lestari.

4. Memberikan pemahaman pemahaman kepada generasi muda akan pentingnya menjaga kelestarian rumah tradisional Bali Aga Desa Tigawasa sebagai suatu warisan yang berharga sehingga nantinya jika sampai pada saat generasi tersebut mendiami rumah tradisonal senantiasa selalu menjaga kelestarian dari rumah tradisional Bali Aga tersebut.

(14)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan kesimpulan yang dapat diambil pada studi ini, antara lain:

1. Desa Adat Tigawasa tidak mengenal adanya strata sosial (tingkatan kasta). Seluruh penduduknya menganut agama Hindu Sekte Sambu;

2. Karakteristik Pola Tata Ruang Tradisional Desa Adat Tigawasa: Dalam sistem pembagian tata ruang secara makro, Desa Adat Tigawasa mengikuti konsep Tri Hita

Karana dan Tri Mandala. Ditinjau dari segi pola desa adat yang ada di Bali, Desa Adat

Tigawasa masuk ke dalam pola II, yaitu satu desa mencakup desa adat; Untuk pola ruang dalam unit hunian penduduk mengacu pada Konsep Hulu-teben. Dalam lingkup desa, perubahan pola ruang tradisional desa adalah semakin berkembanganya permukiman yang semula hanya terdapat pada wilayah Banjar Dinas Dauh Pura berkembang menjadi permukman-permukiam yang tersebar ke seluruh wilayah desa secara tidak terpola; Dalam lingkup unit hunian penduduk, pergeseran pemanfatan ruang terjadi pada natah/pekarangan rumah yang makin meyempit karena adanya pergeseran dari dapur, dapur yang mulanya berada di dalam sakaroras kemudian dibangun di luar dari sakaroras.

Saran

Terkait dengan hasil studi perlu ada studi lebih lanjut mengenai bagaimana melestarian permukiman rumah tradisonal Bali Aga, mengingat rumah terebut mempunyai makna sejarah dan merupakan warisan budaya yang harus dijaga kelsetarianya

Daftar Pustaka

Alit, I Ketut, 2004. Morfologi Pola Mukiman Adati Bali: Jurnal Permukiman Natah. 2 (2). Gelebet, I.N.M., I W., Negara Yasa, I M., Suwirya, I M.,Surata, I N 1985. Arsitektur

Tradisional Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Parwata, I. W. 2004. Dinamika Permukiman Perdesaan Pada Masyarakat Bali. Denpasar : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Setiada, N. K. 2003. Desa Adat Legian Di Tinjau Dari Pola Desa Tradisional Bali. Jurnal Permukiman Natah. 1 (2).

Gambar

Gambar 1. Peta permukiman  Desa Tigawasa.
Gambar 2. Indentifikasi Zona Tri Mandal.
Gambar 4. Ilustrasi tipologi permukiman Desa Adat Tigawasa.
Gambar 5. Tata urutan pembangunan tempat tinggal.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan wujud ruang, khususnya hunian tradisional masyarakat Bali, terjadi terutama pada wilayah-wilayah yang terkonsentrasi untuk pariwisata, seperti wilayah Ubud.. Ubud

Terwujudnya tata ruang dalam (uma) dan ruang luar (pelataran terbuka/Sadan) pada permukiman tradisional Suku Matabesi merupakan tindakan penghayatan ruang beserta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola ruang permukiman yang mempengaruhi perkembangan kawasan Kota Ngawi yaitu dengan analisis pola permukiman, analisis sarana dan

Pemakaman merupakan zona penting di dalam pola desa tradisional Bali, tidak saja berfungsi untuk kegiatan penguburan dan kremasi ( ngaben ), namun juga tersimpan

Konsep orientasi pada lahan yang tinggi sebagai tempat yang memiliki nilai utama dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) posisi dan orientasi pura-pura di Desa Batukandik memiliki

disandingkan dengan konsepsi penataan ruang-ruang permukiman di pulau Bali, maka sangat dimungkinkan bahwa pola spasial permukiman dusun Jenglong desa Sukodadi ini

Dari ketiga tipe rumah adat Desa Tigawasa yang dijelaskan diatas, perubahan terhadap bentuk serta penambahan fungsi ruang pada rumah adat di Desa Tigawasa ini

PEMBAHASAN Perubahan Spasial Rumah Tinggal Bagi masyarakat Banjar Adat Selat Peken, rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, juga merupakan ruang berde- viasi budaya yang terkait