• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akulturasi Budaya Hindu, Jawa dan Islam pada Masjid Laweyan Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Akulturasi Budaya Hindu, Jawa dan Islam pada Masjid Laweyan Surakarta"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Muh. Fajar Shodiq

Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Abstract: This paper focuses to uncover how a building of the Laweyan mosque reflects the acculturation of Islam and local culture in Surakarta. It proves that the long history of the coming of Islam in Indonesian archipelago is interesting to observe. One of the reasons is the success of accommodating the old religions attached to past Indonesian society through the process of acculturation of culture and religion, which has become a powerful means to introduce Islam to Hindu-Buddhist society. Islam is also very flexible to synergize with local cultures. The unique architecture of Laweyan Mosque is very interesting to study. In addition to the change of the form of temple into a mosque, a thick acculturation can be seen almost in all of the parts of the mosque and its philosophy which is the combination of three elements, Hinduism, Javanese and Islam.

Keywords: Acculturation, Hindu-Javanese-Islamic culture, Laweyan Mosque

(2)

Pendahuluan

Eksistensi Masjid Laweyan Surakarta, sejak berdirinya hingga kini tetap menunjukkan sesuatu yang bersifat penting untuk perkembangan heritage, sejarah dan saksi berbagai peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, khususnya di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Keberadaan suatu masjid tua, ternyata menyimpan misteri yang luar biasa dahsyat bagi perkembangan sebuah per-adaban, dan sejarah penting masuknya Islam untuk pertama kalinya di wilayah Surakarta.

Jika merujuk mengenai Laweyan, kebanyakan seseorang hanya tertumpu pada kerajinan batik, karena memang tidak bisa disangkal jika wilayah ini memang salah satu kampung tua yang merupakan pioneer berdirinya kerajinan kain batik di wilayah Surakarta dan sekitarnya, dan mempunyai kontribusi yang besar berkembangnya batik diseluruh Indonesia. Akan tetapi sebenarnya jika dirunut, kawasan Laweyan merupakan cagar budaya ini menyimpan banyak sekali sejarah yang berharga, baik untuk Islam sendiri, perjuangan bangsa Indonesia maupun kelekatan akulturasi budaya dari banyak etnis dan multi religion yang ada didalamnya. Bahkan masih banyak fakta yang bernilai sejarah tersembunyi dan tak terlalu terekspose oleh umum.

Masjid Laweyan, yang sepintas merupakan masjid kecil dan terkesan sangat kuno, ternyata merupakan saksi bisu sejarah yang tak bisa lagi ditutup-tutupi keberadaannya. Masjid seluas 162 meter persegi itu dibangun tahun 1546 saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di kerajaan Pajang, hampir dua abad lebih dahulu dari pada keraton Surakarta yang berdiri tepatnya pada tahun 1745.

Masjid ini menyimpan banyak misteri, tak hanya sekedar masjid tua dan kuno, namun ternyata merupakan pintu gerbang perjalanan dakwah di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Alih fungsi

(3)

dari tempat persembahyangan Hindu, sebuah pura kepunyaan seorang yang bernama Ki Ageng Beluk tokoh spiritual ternama yang dengan suka rela menyerahkan puranya untuk diubah menjadi Masjid kepada Kyai Ageng Henis (beberapa orang menyebutnya Ki Ageng Ngenis) salah satu keturunan Raja Brawijaya, salah seorang sahabat terbaiknya. Beliau adalah seorang juru dakwah Islam yang berkharismatik, karena pesona kerendahan hati dan masuk akal-nya Islam di mata Ki Ageng Beluk, maka ia dengan suka rela masuk Islam.

Jejak pesantren Laweyan yang tidak tersisa, komplek makam raja-raja yang tersembunyi, gejolak dengan para pembesar keraton Surakarta sangat fenomenal. Banyak pihak tak menduga jika masjid yang berpaku emas dan peran Presiden pertama RI yang menetapkan Masjid Laweyan sebagai masjid negara dengan Sebuah Surat Keputusan dan peran masjid ini untuk menentukan nasib bangsa dan sederet saksi yang luarbiasa perannya untuk Islam dan negeri Indonesia banyak tidak diketahui orang.

Sarikat Dagang Islam yang muncul karena pergolakan dengan para pedagang China, hingga memunculkan tokoh-tokoh Nasional yang sarat dengan nuansa politik sangat berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia muncul pada Masjid Tua ditengah kampung nan sesak, masjid Laweyan.

Banyak peneliti dan penulis yang sangat tertarik dengan Laweyan sebagai pusat ekonomi, pertarungan politik, juga keunikan masjidnya. Akan tetapi menuliskan sejarahnya secara historis- religion, dan akulturasi budaya yang multidimensi, seperti Islam, Hindu, Jawa amat sangat jarang,

Akulturasi secara sederhana bisa dikatakan sebagai proses social yang muncul saat sekelompok orang dengan budaya tertentu bersinergi dengan unsur-unsur budaya asing. Budaya asing itu

(4)

bukan untuk menjajah budaya local, namun secara bertahap mempengaruhi, diterima dan diolah oleh budaya local, hilang tidak menyebabkan hilangnya unsure kebudayaan kelompok itu sendiri.

Koentjaraningrat menyatakan jika akulturasi adalah proses social yang terjadi ketika kelompok social dengan kebudayaan tertentu terkena budaya asing yang berbeda. Ada persyaratan terjadinya proses akulturasi, yakni adanya senyawa (afinitas) jika penerimaan budaya tanpa rasa kejutan, maka akhirnya keseragaman (homogenitas) sebagai nilai baru dicerna karena tingkat dan pola budaya kesamaan.

Akulturasi kebudayaan di Laweyan juga memunculkan suatu fenomena baru yang berbeda dengan dengan kampung-kampung lainnya. Mengapa demikian? Karena kampung Laweyan tumbuh ditengah-tengah masyarakat birokrat kerajaan dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai inclave society. Keberadaan masyarakat ini berbeda dengan komunitas yang lebih besar disekitarnya, hingga keberadaan dan interakasi social demikian tertutup, karena untuk mempertahankan komunitasnya, lebih tergantung pada masyarakat laweyan itu sendiri (Baidi, 2006:242).

Sejarah Laweyan

Dari segi tataletaknya, Kampung Laweyan merupakan tempat strategis pada saat itu, karena kampung sekarang yang terletak di sebelah selatan jalan Dr. Radjiman dahulu adalah merupakan penghubung antara alas mentaok dengan Desa Sala. Batas selatan dari wilayah ini adalah Sungai Kabanaran yang merupakan lalulintas air yang menghubungkan Bandar Besar Nusupan di Sungai Bengawan Solo dengan Bandar Kabangan di Laweyan dan Bandar Pajang, dan sisa-sisa keberadaan Bandar Kabangan dan Bandar

(5)

Pajang masih bisa dilihat. Meski demikian pada saat sekarang ini di wilayah kecamatan, Kelurahan Laweyan berada ujung bagian barat, daerah ini terlihat terasing atau terpinggir karena dengan pusat pemerintahannya berjarak 4 km. Namun zaman dahulu saat pemerintahan Kerajaan Pajang, sangat dekat dengan pusat pemerintahan.

Asal-usul nama Laweyan memang bermacam-macam, ada yang menyebutnya Lawiyan. Daerah ini pada mulanya merupakan tanah perdikan (tanah yang bebas pajak) merupakan hadiah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang), kepada Kyai Ageng Henis atas jasanya dalam mengalahkan musuh Pajang kala itu yakni Arya Penangsang (Adipati Jipang Panolan).

Dari sini bisa diketahui jika Kyai Ageng Henis mempunyai peran yang sangat signifikan dalam cikal bakal masyarakat Laweyan. Disebut Laweyan karena disinyalir nama tersebut tertuang dalam nisan makan Sunan Ngalawiyan (Paku Buwana II) yang tertulis disitu dengan nama Astana Laweyan (Laweyan, Surakarta;tt:2). Jika ditinjau secara etimologis kata Laweyan berasal dari kata lawe (benang atau kain). Dalam bahasa Sanskerta kata laway bisa berarti jenazah tanpa kepala.

Dalam sejarahnya, daerah ini dijadikan tempat menghukum orang yang bersalah dengan kain lawe yang digantung. Jadi kata Laweyan bisa berarti pula tempat menghukum orang dengan lawe. Dalam tradisi lisan tercatat Laweyan sebagai tempat pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan (Kuntawijaya;2006:82). Hal ini dibuktikan dengan kisah Raden Ayu Lembah Putri Pangeran Puger (Paku Buwana I) ketika menjadi selir Sunan Mangkurat (Mangkurat III), yang berselingkuh dengan Raden Sukra (putra Patih Raden Arya Sindurejo) yang akhirnya dijatuhi hukuman gantung yang saat itu dinamakan hukuman lawe

(6)

oleh Sunan Mangkubumi dan mayatnya dimakamkan di Astana Laweyan (Janet Kharisma Himawan Prabowo; 2010:18).

Dari sinilah terbukti jika nama Lawiyan sudah ada sejak masa kerajaan Pajang pada pemerintahan Sultan Hadiwijaya (1568-1582), sedang nama Laweyan terjadi saat pemerintahan Mangkurat III (1703-1704). Jadi dari sini sudah bisa diambil kesimpulan jika Laweyan sudah ada sejak sebelum kerajaan Pajang berdiri, karena Kyai Ageng Henis mengubah bentuk pura pemberian ki Beluk menjadi Masjid pada tahun 1546. Karena Kyai Ageng Henis-lah akhirnya Laweyan menjadi berarti untuk masyarakat sekitar dan memiliki kontribusi yang luarbiasa untuk Kota Surakarta dan negeri ini.

Peninggalan sejarah berupa Masjid dan pasarean (Kyai Ageng Henis juga dimakamkan disana), merupakan suatu indikasi jika Laweyan pada masa awal kerajaan pajang sudah menjadi pusat kekuasaan ( Siti Rahayu Binarsih dkk: 2013:103). Yang menarik pula dari daerah Laweyan adalah tempat dimana cikal bakal raja-raja Mataram berasal, hal ini dibuktikan dari tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau yang disebut Mas Ngabehi Sutawijaya, yang sering mendapat julukan Raden Ngabehi Loring pasar, karena tempat tinggal itu berada tepat disebelah utara pasar (pasar Laweyan). Setelah itu Sutawijaya pindah ke Alas Mentaok dan mendirikan kerajaan dan dinasti Mataram (monografi kelurahan Laweyan:2012:8-9).

Dalam monografi Laweyan , Kampung ini dinamai Laweyan karena daerah ini merupakan pasar lawe yang sangat ramai. Lawe atau benang yang terbuat dari kapas dan merupakan bahan baku tenun untuk membuat sandang. Kapas ini banyak dihasilkan didaerah Pedan, Juwiwring dan Gawok, yakni sekitar Pasar Lawe saja. Akhirnya penduduk banyak menyebutnya sebagai Laweyan.

(7)

Lawe juga dijual kebeberapa daerah dengan memanfaatkan angkutan sungai yang membelah kampung itu yang telah dibuat Bandar pula yang disebut Bandar Kabanaran ke pelabuhan besar Nusupan di tepi Bewangan Semanggi (sekarang bernama Bengawan Solo).

Biografi Kyai Henis dan Kiprah Dakwah

Kyai Ageng Henis, atau terkadang disebut juga Ki Ageng Enis (ada pula yang menyebutnya Kyai Ngenis), adalah keturunan dari Ki Ageng Sela (keturunan Brawijaya V, Raja Majapahit) dengan Nyai Bicak yang merupakan putri Ki Ageng Ngerang (Sunan Ngerang I, keturunan dari Maulana Maghribi II). Kyai Ageng Ngenis mempunyai putra Ki Ageng Pemanahan yang berputra Sutawijaya atau disebut Mas Ngabehi Loring Pasar yang akhirnya menjadi Panembahan Senapati, yakni Raja atau pendiri Kerajaan Mataram Islam. Ketika Ki Ageng Pemanahan dianugerahi Alas Mentaok (Mataram), KI Ageng Henis dianugerahi tanah perdikan Laweyan, hingga ia dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Laweyan. Penduduk setempat menganggap Kyai Ageng Henis adalah orang sakti (linuwih), karena ia keturunan Ki Ageng Selo yang terkenal bisa ‘menangkap’ petir hingga tempat tinggal orang sakti (orang linuwih) ini disebut Lawiyan (Sumarno; 2013;38-39).

Kyai Ageng Henis ini juga mempunyai julukan Kyai Ageng Laweyan atau Manggala Pinituwaning, semasa Jaka Tingkir berkuasa ia menjadi Adipati Pajang. Setelah beliau meninggal, ia dimakamkan di pasarean Laweyan, dan akhirnya cucunya, Sutawijaya atau yang biasa di sebut Raden Ngabehi Loring Pasar menempati rumahnya (FPKBL, 2004). Cucu inilah yang akhirnya menjadi Raja pertama di kerajaan Mataram.

(8)

Kontribusi Kyai Ageng Henis dalam bidang dakwah, tentu tak terbantahkan lagi. Ia dianggap sebagai pioneer dalam penyebar Islam pertama di wilayah Surakarta dan sekitarnya. Tidak diragukan lagi, karena beliau adalah murid dari Sunan Kalijaga dan tentu saja selain ia keturunan Maulana Maghribi II yang tentu keilmuan mengenai agama Islam sudah sangat mumpuni, meski sebelumnya Kyai Henis adalah pemeluk Agama Hindu, agama yang sebagian besar di anut oleh warga saat itu.

Persahabatannya dengan Ki Ageng Beluk, Tokoh masyarakat Laweyan yang merupakan penganut Hindu taat membuahkan hasil yang tidak disangka-sangka. Dengan suka rela Ki Ageng Beluk, akhirnya menyerahkan pura miliknya untuk dialihfungsi menjadi sebuah masjid pada Kyai Ageng Henis yang akhirnya menjadi sentra dakwah dan seiring berjalannya waktu masjid tersebutlah berdirilah pesantren yang mempunyai santri lumayan banyak.

Sifat Kyai Ageng Henis yang sangat bersahaja, meski seorang pembesar keraton, Ilmu agama yang cukup mumpuni, dan kepiawaiannya dalam berdakwah, membuat ia dengan mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat Laweyan. Hingga tidak terasa murid yang nyantri padanya semakin banyak hingga akhirnya berdiri sebuah pesantren.

Pesantren ini sangat dinamis, segala aktifitasnya dilakukan dengan baik oleh para santrinya, termasuk urusan dapur. Konon, karena jumlah santrinya banyak, maka pesantren Kyai Ageng Henis tidak henti-hentinya menanak nasi, hingga mengeluarkan banyak asap dari dapurnya. Karena itulah mengapa kampung ini juga mendapat sebutan Kampung Beluk, yang artinya Kampung yang berasap.

Masuknya Islam di wilayah Surakarta dan sekitarnya tidak pernah lepas dari nama Laweyan dengan Masjid “Laweyan” yang

(9)

memiliki sejarah panjang 4 kerajaan, yakni Majapahit, Demak, Pajang, dan Surakarta. Perjuangan bangsa Indonesia menggapai kemerdekaan dan sebagai pioneer dakwah di wilayah Surakarta juga tidak lepas dari peran serta Laweyan. Masjid ini, yang sepintas merupakan masjid kecil dan terkesan sangat kuno, seluas 162 meter persegi itu dibangun tahun 1546 saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di kerajaan Pajang, hampir dua abad lebih dahulu dari pada keraton Surakarta yang berdiri tepatnya pada tahun 1745. Eksistensi Masjid Laweyan Surakarta, sejak berdirinya hingga kini tetap menunjukkan sesuatu yang bersifat penting untuk perkembangan heritage, cagar budaya yang nyatanya merupakan akulturasi tiga kebudayaan, yakni Hindu, Jawa juga Islam.

Peran serta Kyai Ageng Henis yang saat itu juga merupakan petinggi kerajaan pajang (Adipati), mulai memperkenalkan seni membatik pada para santrinya yang berguru kepadanya. Sebenarnya, keberadaan kampung ini sudah ada sejak pemerintahan Demak, namun baru memberikan arti yang luarbiasa setelah dihuni oleh Ki Ageng Henis. Keberadaan Pasar Laweyan yang sebelumnya dikenal sebagai pasar lawe, tenun, benang akhirnya ditambah dengan kerajinan batik.

Peran Kyai Ageng Henis terhadap Kampung Laweyan

Bicara mengenai Kyai Ageng Henis, tentu tidak lepas dengan perannya yang luarbiasa membentuk Laweyan sebagai kampung yang sama sekali tidak mempunyai potensi apapun yang bisa dibanggakan masyarakatnya, sampai menjadi sebuah kawasan penting yang turut mewarnai negeri ini dibidang spiritual, mental, perjuangan, perserikatan sampai dengan industry perdagangan yang mencapai suatu titik mengagumkan!

(10)

Kyai Ageng Henis berjasa mengubah profil sebuah perkam-pungan Hindu menjadi perkamperkam-pungan para santri muslim juga penting untuk perkembangan dakwah Islam di Surakarta dan sekitarnya, bahkan kampung ini melahirkan pejuang-pejuang yang tangguh bukan hal yang mudah jika tidak ada peran satu tokoh penting dibalik itu.

Laweyan merupakan kawasan yang tak biasa. Bisa dikatakan unik, berbeda dengan kampung lainnya atau bahkan sentra batik lainnya. Bukan hanya karena industry batiknya, namun kawasan ini sangat spesifik dalam berbagai hal, belum lagi sejarah panjang yang sangat penting bagi perkembangan Islam di Indonesia, penanda suatu akulturasi manis dinegeri ini serta perjuangan dengan penjajah Belanda yang suka dengan politik devide et impera-nya.

Hingga dapat disimpulkan, jika peran Kyai Ageng Beluk terhadap kampung ini sangat besar. Selain ia giat berdakwah, hingga santri menjadi banyak, Kyai Ageng Henis yang inovatif dan kreatif juga suka berkesenian karena pengaruh dari Sunan Kalijaga), berinisiatif untuk mengajarkan batik pada keluarga dan orang-orang terdekatnya, setelah batik selama ini tak pernah keluar dari keraton. Tidak disangka kontribusi mengenai batik yang diperkenalkan olehnya ini akhirnya menjadi industri batik utama dikampung yang menyebabkan kampung ini menjadi profil kampung sukses, yang memperkerjakan hampir seluruh masyarakatnya bekerja disektor batik.

Akulturasi Budaya Hindu, Islam dan Jawa pada Masjid Laweyan Surakarta

Menurut Koentjaraningrat, akulturasi disebut sebagai proses sosial yang terjadi ketika kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu terkena budaya asing yang berbeda . Persyaratan proses

(11)

akulturasi adalah senyawa afinitas) bahwa penerimaan budaya tanpa rasa kejutan, maka keseragamaan homogenitas) sebagai nilai baru dicerna karena tingkat dan pola budaya kesamaan. a. Akulturasi dapat terjadi melalui berbagai bentuk kontak

budaya, antara lain sebagai berikut:

b. Kontak sosial di semua tingkat masyarat, beberapa orang atau bahkan antara individu dalam dua komunitas.

c. Kontak buadaya antara keompok yang mengendalikan dalam semua unsur-unsur budaya, diperbagai bidang seperti ekonomi, bahasa, teknologi, masyrakat, agama, seni dan ilmu penge-tahuan.

d. Kontak budaya dalam keadaan damai atau permusuhan e. Kontak budaya antara warga masyarakat dalam jumlah banyak

atau sedikit

f. kontak budaya dalam sistem budaya, sistem sosial ataupun juga unsur budaya-budaya fisik.

Dari sinilah dapat dinilai jika hasil akulturasi juga ditentukan oleh kekuatan setiap kebudayaan itu sendiri, hingga apabila semakin budaya yang diusung, hingga semakin cepat dan menyebar . Begitu pula yang terjadi pada masjid Laweyan Surakarta, dimana keberadaannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan berbagai kelompok etnis dan budaya yang ada di Indonesia, antara lain Budaya Hindu, Islam dan Jawa.

Proses akulturasi dari ketiga elemen tadi berjalan sinergi, semua perbedaan berjalan beriringan, saling mempengaruhi dan beriringan mencari kesesuaian, menambah atau mengurangi, hingga sampai pada akhirnya budaya yang terkuatlah yang akan memainkan peran utama dalam proses akulturasi.

(12)

Dalam prosesnya, ada tiga periode akulturasi yang terjadi di negara Indonesia, dimana periode awal, unsur-unsur Hindu-Budha sangat kuat dan sangat menonjol. Hal ini bisa dibuktikan atas banyak bangunan, candi atau relief, patung atau peninggalan yang merujuk pada berbagai dewa, seperti Siwa, Brahma, Siwa, Wisnu dan berbagai kerajaan Budha banyak tersebar seperti Tarumanegara, Kutai dan mataram Kuno. Periode ini ciri khas Budaya Indonesia terlihat seperti tenggelam, karena akulturasi baru mencari bentuknya.

Pada periode abad pertengahan, terlihat elemen Hindu-Budha dan budaya Indonesia sudah mencari bentuk menyelarasksan. Hal ini dikarenakan Budaya Hindu-Budha mulai melemah, sedang unsur-unsur kebudayaan Indonesia kembali menonjol, hingga menyebabkan muncul sinkretisme kombinasi dari dua atau lebih aliran budaya). Hal ini bisa dibuktikan dalam peninggalan kerajaan di jawa Timur, seperti Kediri, Singasari dan Majapahit. Ada aliran Tantrayana, yakni aliran agama yang merupakan sinkretisme ke-percayaan asli Indonesia dengan Agama Hindu-Budha.

Pada Periode Akhir, Setelah orang-orang Indonesia menyadari keluhuran budaya mereka, maka budaya Indonesia kembali kuat dari yang sebelumnya, sedang unsur budaya Hindu Budha menjadi semakin melemah, salah satu akibatnya perkembangan politik ddan ekonomi pada bangsa India yang pada saat itu tidak stabil.

Islam yang datang ke Indonesia dengan mengalami proses akulturasi melalui kegiatan perdagangan yang dibawa oleh pedagang dari Timur Tengah maupun negeri China, pernikahan dengan pedagang Muslim dengan masyarakat lokal ataupun juga dengan berbagai seni baik seni musik, tari, bangunan, arsitektur, bahasa dan banyak lainnya.

Dalam seni arsitektur, seperti pada bangunan, masjid atau makam, akulturasi diberbagai tempat juga terjadi, seperti pada

(13)

Masjid Kudus Menara atau disebut juga Masjid Al-Aqsa dan Al Manar yang merupakan bukti akulturasi yang dibangun oleh Sunan Kudus yang dibangun pada tahun 956 H atau 1549 M. Dalam bidang seni rupa, meski Islam tidak menggunakan bentukan manusia atau hewan, namun ada relief patung yang menghiasi masjid atau makam Islam disinyalir merupakan bentuk tali vegetasi tetapi juga sinkretisme yakni hasil perpaduan dari dua aliran seni logam, hal ini untuk mendapatkan harmoni.

Masjid Laweyan yang dibangun pada masa Jaka Tingkir pada tahun 1546 yang merupakan masjid pertama yang ada dikerajaan Pajang. Masjid yang alih fungsi dari sebuah Pura milik Ki Beluk yang dihibahkan pada Kyai Ageng Henis, akhirnya mendapat tempat yang luarbiasa dari masyarakat Laweyan. Masjid ini berfungsi selain untuk ibadah, belajar ilmu agama, nikah, talak, rujuk, musyawarah juga komplek makam.

Komplek makam ini bukan hanya sembarang makam, karena merupakan makam Kyai Ageng Henis, Kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan Kasunan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang dikhususkan untuk Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam. Hanya saja keinginan ini tidak berlanjut lama karena beliau hanya menggunakan sekali saja karena 1 tahun setelah kunjungan, beliau wafat.

Selain Kyai Henis, yang dimakamkan disana adalah Susuhunan Paku Buwono II, Permaisuri Pakubuwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II, dan Pakubuwono III, Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto, Kyai Ageng Proboyekso . Ada kisah menarik mengapa Susuhunan Pakubuwono II ingin dimakamkan dekat Kyai Ageng Henis, karena beliau ingin makam ini bisa menjaga kraton kasunan Surakarta dari serangan musuh.

(14)

Pada makam ini terdapat tumbuhan langka, yakni Pohon Nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun. Dimana merupakan simbolisasi dari perwujudan penjagaan makam oleh binatang Naga yang dianggap sosok makluk yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisasi wujud dari Betari Durga. makam ini direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Keraton Surakarta. Wujud dari patung Betari Durga tentu merupakan akulturasi dengan Hindu-Jawa, dikarenakan Islam tidak mengenal patung, relief atau gambaran semacam itu.

Arsitektur Masjid Laweyan, sesuai dengan alih fungsi dari pura ke masjid, tentu sarat dengan akulturasi dari tiga hal, Hindu, Jawa dan Islam. Bangunan ini mirip dengan Klenteng Jawa. Ada Kentongan besar yang usianya ratusan tahun, dan ini merupakan adaptasi budaya Jawa, dan memang jarang sekali digunakan atau dibunyikan, lalu fungsinya digantikan dengan bedug, inilah yang dinamakan kebiasaan Islam. Hal-hal lain yang merupakan filosofi Islam terlihat pada duabelas tiang utama masjid yang terbuat dari kayu Jati.Terdapat pula tiga lorong jalur masuk bagian depan masjid,, yang bermakna filosofi tinggi yakni tiga jalan menuju kehidupan Islam, Iman dan Ihsan.

Sebelumnya Masjid ini penuh dengan ornamen peninggalan Hindu. Namun seiring berjalannya waktu, ornamen ini tidak nampak, hanya tersisa seperti ukiran batu yang masih menghiasi makam kuno yang ada dikompleks masjid. Pengaruh Hindu yang kental terdapat dalam posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan sekitarnya yakni dengan tangga yang bersusun-susun , yang menandakan bangunan pura yang berbentuk laiknya candi yang menjulang tinggi.

(15)

Hal yang menarik dari tataruang Masjid Laweyan adalah pengaruh kentalnya Kerajaan Surakarta, yakni berubahnya bangunan pura menyerupai bentuk masjid yang bernuasa bangunan Jawa, yang terdiri dari pendopo atau bangunan utama dan serambi. Secara umum tata ruang Masjid Laweyan ini merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruangnya terbagi menjadi tiga, yakni ruang utama (induk), seluas 162 meter persegi dan serambi terbagi menjadi dua, yakni kanan dan kiri. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi empat khusus jamaah putri atau disebut pawastren, sedang serambi kiri merupakan untuk jamaah laki-laki, yang sudah diperluas dari yang sebelumnya.

Arsitektur yang bernuansa Jawa pada Masjid Laweyan terlihat dengan jelas pada bentuk atap masjid menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid ini terdiri dari dua bagian yang bersusun. Dinding Masjid Laweyan ini terbuat dari susunan batu bata dan semen, hal ini sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan, dikarenakan bukan bentuk asli dari dinding masjid ini. Bisa dipahami saat pembangunan masjid sekitar tahun 1500-an masyarakat belum mengenal batu bata apalagi semen. Aslinya dinding dibangun menggunakan kayu. Untuk alasan kekuatan masjid dan renovasi terbaik agara masjid ini bertahan lama, maka tahun 1800-an

(16)

dinding masjid ini diganti dengan batu bata dan semen. Bukti jika masjid ini dahulunya terbuat dari kayu dapata dilihat dari adanya rumah pelindung makam kuno terbuat dari kayu dan masih lestari dan bertahan hingga kini.

Interior Masjid Laweyan ini memang sangat bernuansa Jawa. Terdapat empat sakaguru dibagian tengah, mihrab yang menjorok ke dalam bukan bagian luar, mimbar ukir dari kayu, atap tinggi tanpa plafon, dan di bagian beranda ada beduk yang berdampingan dengan kentongan. Beduk ini yang setia dibunyikan hingga kini, menggantikan kentongan yang sudah berjasa selama ratusan tahun yang lalu.

Jejak yang masih ketara yang bernuansa Jawa-Hindu terdapat pada keberadaan tiga pintu masuk masjid. Satu pintu utama berukuran besar dibagian tengah, dan dua pintu lain berukuran kecil disisi kiri dan kanan yang masing-masing dilengkapi dengan anak tangga.

Pemeliharaan masjid ini ternyata didominasi oleh masyarakat sekitar. Ritual-ritual tradisi keraton yang sering dilakukan pada

(17)

masa lalu, sudah tidak terlihat lagi seiring dengan perkembangan pengetahuan keagamaan masyarakat yang tinggi. Dahulu saat Kerajaan Pajang dan Masa Kyai Ageng Henis Masjid ini sangat menyolok dalam belajar mengajar masalah keagamaan, apalagi keberadaan Pesantren dikomplek masjid itu, sekarang hal ini sudah tidak terlihat geliat seramai dulu, karena hanya untuk kegiatan TPA, Pengajian dan ibadah biasa.

Di Laweyan ini terdapat fenomena akulturasi yang sangat kaya lagi luarbiasa yang sangat berbeda dengan wilayah lainnya diseluruh Indonesia. Kampung ini sangat dinamis, perkembangan kampung tua dari tahun 1500-an sampai tahun awal tahun 1900-an, begitu terlihat kentara, dari mulai rumah kayu bergaya Jawa-Hindu, dan setelah kemunculan Islam, Masjid Laweyan kemudian berakulturasi Islam. Namun begitu tingkat ekonomi Penduduknya mulai bertambah dengan sangat drastis, sangat batik sebagai suatu industri sudah mulai melesat tajam, maka hal ini berimbas pada akulturasi Barat yang mampu mengubah wajah kampung Laweyan, menjadi kampung yang berakulturasi Jawa-Belanda.

Para Pengusaha batik diawal tahun 1900-an menjadi sangat sukses dan kekayaannya melebihi kaum bangsawan, yang memiliki gaya hidup berbeda dengan kaum rakyat pada umumnya membuat kaum bangsawan mulai cemburu dan membenci mereka. Lalu, seperti apakah kekayaan yang ditunjukkan pada arsitektur rumah para saudagar batik kala itu yang masih bisa terlihat hingga kini dan ditetapkan sebagai kawasan heritage, cagar budaya yang patut dilindungi.

Rumah yang dibangun dengan tembok tinggi, berasitektur Jawa, Belanda atau perpaduan Jawa Eropa. Mereka juga memiliki kereta dan kuda bak para bangsawan. Rumah para saudagar ini terdiri dari pendapa, ndalem, senthong, gandhok (ini khas rumah

(18)

para bangsawan) paviliun, pabrik (ciri Eropa) dengan regol (pintu gerbang) dan halaman depan cukup luas dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan. Hampir tiap rumah memiliki pintu kecil sebagai butulan (ciri rumah Jawa) yang berfungsi sebagai ajang silaturahmi atau komunikasi antar tetangga atau saudara juga sebagai jalan keamanan bersama.

Ada suatu fenomena unik dikawasan Laweyan ini, karena ada tradisi kawin antar saudara (indogami), dikarenakan beberapa hal, dimungkinkan untuk melindungi kekayaannya, atau tidak ingin kekayaan mereka jatuh pada lingkungan atau kelompok lainnya. Hingga terbentuklah keluarga besar dan hidup mengelompok dalam satu kompleks. Antar rumah saling berhubungan melalui butulan yang bisa diatas atau dibawah tanah. yang mengejutkan para saudagar ini ada juga yang memiliki bunker yang berfungsi untuk menyimpan kekayaannya, berlindung dari bahaya atau bahkan untuk keperluan pertemuan rahasia, yang terkadang pula bunker ini tembus ketempat lain.

Umumnya, bangunan yang ada diliwayah Laweyan initidak memiliki muka bangunan atau menggunakan kapling tanah secara maksimal. Hingga ada sesuatu yang tidak lazim pada para saudagar Laweyan ini, meski rumah luas, halaman dalam luas, mereka tidak bisa menggunakan kapling tanah secara maksimal karena semuanya dikelilingi tembok tinggi. Hingga tempat-tempat yang biasa digunakan untuk bertemu warga (kontak publik) pada umumnya adalah ruang umum milik masyarakat, seperti langgar, masjid, jalan/gang dan lain sebagainya.

Masyarakat Laweyan memiliki beberepa kelompok masyarakat, yakni saudagar atau pengusaha, wong cilik atau kebanyakan, wong mutihan (priyayi) dan Priyayi (bangsawan). Menurut Kuntawijaya (2006:82), jika letak kampung Laweyan yang berada dipinggiran

(19)

kota memiliki arti penting bagi pertumbuhan masyarakat pinggiran. Masyarakat laweyan juga merupakan masyarakat marjinal dalm sistem sosial kerajaan jawa karena penduduknya adalah saudagar, pedagang atau saudagar tidak seperti wong cilik pada umumnya, mereka tidak terikat dengan hubungan patrimonial berdasarkan pemilikan dan penguasaan tanah, hingga ,memungkinkan mengembangkan subkultural mereka sendiri. Masyarakat Laweyan jadi membentuk komunitas tersendiri, dengan saudagar sebagai pusat hirarki. Dari sinilah kita bisa memahami mengapa masyarakat Laweyan bergitu berbeda dengan masyarakat pada umumnya, dan berimbas pada bentuk bangunan mereka.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa akulturasi yang terjadi di komplek Masjid Laweyan Surakarta, berupa masjid , komplek makam, dan lingkungan masjid (rumah-rumah penduduk) , menunjukkan jika Masyarakat Indonesia, Khususnya Laweyan, menerima dengan tangan terbuka proses akulturasi yang berulangkali datang dan mewarnai perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan agama yang terjadi dikampung tersebut.

Masjid Laweyan merupakan salah satu bukti terjadinya akulturasi Hindu, Jawa dan Islam yang memperkaya arsitektur yang penuh filosofi dan fungsi. Begitupula komplek makam yang terdapat disana, tidak bisa dipungkiri jika akulturasi ketiganya sangat kental. Berbeda dengan lingkungan Masjid, pada pemukiman penduduk, akulturasi yang lebih menonjol ternyata terihat Eropa dan Belanda saat melihat arsitekturnya. Hal ini cukup beralasan sebagai imbas kekayaan penduduknya yang berasal dari industri batik yang cukup pesat diawal tahun 1900-an.

(20)

Daftar Pustaka

Abu Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Baidi, “Pertumbuhan Pengusaha Batik Laweyan Surakarta, Suatu Studi Sejarah Sosial Ekonomi”, dalam Bahasa dan Seni, Tahun 34, Nomor 2, Agustus, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, 2006

Fajar Kusumawardani, Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Laweyan Surakarta. Semarang: FIS UNNES, 2001.

Janet Kharisma Himawan, Prabowo, Mbok Mase dalam Sejarah Batik Laweyan, Bandung: UNIKOM, 2010.

Kuntowijoyo, Raja Priyayi dan Kawula, Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006.

Monografi Kelurahan Laweyan tahun 2012

Mulyono & Sutrisno Kutoyo, Haji Samanhudi, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979.

Putri An Nur r Sakhaa, Hazmitha, Saudagar Laweyan Abad XX (Peran dan Eksistensinya dalam Membangun Perekonomian Muslim), Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, 2011. Siti Rahayu Binarsih, dkk, “Bisnis Internasional bagi Pengusaha di

Kampung Batik Laweyan”, Prosiding Seminar Nasional 2013 dengan tema “Menuju Masyarakat Madani dan Lestari” ISBN: 978-979-98438-8-3, Surakarta: Program Pascasarjana, UNIBA, 2013

Soepanto, Hizbullah Surakarta 1945-1950, Karang Anyar: UMS Press, 2008.

(21)

Sumarno, dkk, Potret Keluarga Jawa di Kota Surakarta, Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2013.

Tim Sunrise Pictures, 100 Keajaiban Indonesia, Jakarta Selatan: Cikal Perkasa 2010.

Referensi

Dokumen terkait