Den Aslam HARIMAU TUA
Harimau tua tak punya tenaga ia menunggu musuh lupa
karena kini mulutnya enggan menganga. “Berikan aku ranjang padi
serta selimut bulan.
Di tempat itu aku ingin menanti; melepas taring pedang,
mengelupas zirah loreng di sekujur tubuh.”
Kemudian ia hanyalah hantu
bertubuh bening—tapak bungking, matanya burung perling
jiwanya berpaling asing.
“Aku tua yang cua, duka dan papa.” Tibalah ia di singgasana pancarajadiraja
dibopong hembus angin, diatapi purnama pancawarna. Tak ada isak dan ratap juga raung para betina,
hanya cahaya menghujankan air matanya. Terlalu lalim ia,
terlanjur kering dosanya, sehingga remahnya tak kuasa menghamba pada raja biru bara
yang meleburkan segala.
“Buka sedikit saja celah cakrawala! Berilah tanda pada dada yang renta. Walau aku bersimpuh rapuh
dan ini tubuh berpeluh-peluh.” “Bukankah raungku punyamu, lariku adalah titahmu?
Biar kupanjat tiang-tiang itu, kembalikan aku!”
`