Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh :
Muqtadir
NIM: E02213028
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang kehidupan komunitas Syi’ah di jemundo
pasca konflik, sedangkan tujuan dari penulisan ini adalah menganalisis bangai mana
mereka bisa bertahan hidup dalam tekanan yang tidak henti-hentinya dan hal apa saja
yang meraka upayakan untuk mendapatkan haknya. Dalam pembahasannya akan
memaparkan hal apasa saja yang mereka lakukan untuk bertahan hidup dalam
tekanan tersebut dan hal apa saja yang mereka upayakan untuk mendapatkan haknya
yang telah hilang darinya. Adapun metode yang di pakai oleh peneliti yaitu setudi
kasus,
sehingga
ditemukan
beberapa
langkah
komunitas
Syi’ah
untuk
mempertahankan hidup dan upaya mendapatkan haknya yaitu salah satunya dengan
cara memuni Presiden Susilo Bangbang Yudoyono Kala itu. Dalam penulisan ini
penulis menggunakan teori nir-kekerasan oleh Chaiwat Satha Anand yang
mempunyai pandangan bahwa tidak semua kekerasan harus dibalas dengan
kekerasan. Dari teori tersebut akan digunakan bagai mana komunitas Syi’ah bertahan
hidup dan mendapatkan haknya tanpa harus melakukan kekerasan dan bahkan tanpa
menaruh dendam sedikitpun. Hasil dari penelitian ini adalah mereka menjalankan
kehidupanya dengan cara berdagang dan bekerja serabutan stiap harinya, dan mereka
selalu sabar tanpa menyalakan orang lain walaupun mereka telah di dholimi oleh
kelompok lain dan juga mereka selalu berupaya mendapatkan haknya tanpa
menggunakan kekeresan sedikitpun. Pembahasan yang telah dilakukan ini masih
memiliki kekurangan yaitu penjabaran teori dalam pembahasan. Hal ini dikarenakan
kurangnya literatur dan penjabaran yang mendetail dari penulis.
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ...iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ...iv
HALAMAN MOTTO ...v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...vi
HALAMAN KATA PENGANTAR ...vii
HALAMAN ABSTRAK ...ix
HALAMAN DAFTAR ISI ...x
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ...1
B.
Rumusan Masalah ...3
C.
Tujuan Penelitian ...3
D.
Manfaat Penelitian ...4
E.
Kerangka Teori ...4
F.
Telaah Kepustakaan ...17
G.
Metode Penelitian ...19
H.
Sistematika Pembahasan ...22
BAB II :
AWAL DI UNGSIKAN
A.
Sekilas Konflik Syi’ah-Sunni ...24
1.
Faktor Internal ...25
2.
Faktor politik ...25
3.
Faktor pemerintah...26
B.
Kehidupan Syi’ah di Pengungsian...27
1.
Pengungsian di GOR...29
2.
Pengungsian di jemundo...31
1.
Profil Rusun Jemundo Sidoarjo...33
2.
Keadaan Pengungsi Di Rusun...35
B.
Usaha Bertahan di pengungsian...38
1.
Teologi...40
2.
Sosial...42
3.
Ekonomi...44
C.
Usaha Untuk Kembali ke Kampung Halaman...46
1.
Menemui Pemerintah...47
2.
Bersama LSM-LSM...49
3.
Saling Kunjung...54
BAB IV:
ANALISIS
A.
Hasil Temuan di Lapangan...55
1.
Cara Bertahan di Pengungsian...55
2.
Mendapatkan Haknya...57
B.
Informasi dan Temuan di Lapangan...60
BAB VI:
PENUTUP
A.
Kesimpulan ...64
B.
Saran-Saran ...65
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Konflik sering berawal dari persoalan kecil dan sederhana. Salah satunya
konflik agama yang masih hangat ditengah-tengah kita yaitu konflik Sunni-Syi’ah
yang terjadi di Desa Karang Gayem, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang,
Madura. Konflik ini selain hingga menelan korban jiwa dan menyebabkan
penganut Syi’ah di desa itu mengungsi, juga sempat menjadi isu nasional dan
mendapat perhatian khusus dari belahan dunia. Yang nama telah terjadi sejak
2004 dan memuncak pada 26 Agustus 2012, dengan pembakaran 37 rumah
pengikut Syi’ah dan berujung pada pengusiran pengikut Syi‘ah di Sampang
Madura.
1Konflik Sunni-Syi’ah sampai saat ini masih menjadi pusat perhatian dari
berbagai kalangan akademisi dikarenakan sampai saat ini konflik tersebut masih
belum selesai atau sebagainya sehingga penulis mencoba peneliti tentang
kehidupan komunitas Syi’ah Sampang pasca konflik yang berada di penampungan
komplek Rumah Susun Desa Jemundo Sidoarjo Jemundo Sidoarjo.
Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan
dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, Dalam hal ini
penelitian penting untuk melihat hal apa yang dilakukan oleh komunitas Syi’ah
1
untuk mencapai hidup damai tanpa ada kesenjangan yang dapat merugikan semua
pihak.
Dengan demikian peneliti mencoba menjelasan bagaimana kehidupan
komunitas Syi’ah yang sampai saat ini masih berada di tempat penampungan
Jemundo Sidoarjo. Dan hal apa yang diupayakan oleh mereka untuk medapatkan
kembali apa yang telah hilang darinya, tentunya dalam perspektif nirkekerasan
oleh Chaiwat Satha Anand yang mana dalam hal ini untuk membuktikan bahwa
bagi kaum Muslim masa kini, jika mereka benar-benar ingin menjadi Muslim
sejati, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain berperilaku nirkekerasan.
Dengan menggunakan jalur nir-kekerasan komunitas Syi’ah dipengungsian
bisa mendapatkan hak-haknya kembali, yang mana nirkekerasan ini berarti
sebagai tindakan yang berangkat dari pemikiran bahwa suatu persoalan dapat
diselesaikan dengan jalan yang lebih baik dibandingkan dengan kekerasan.
Dengan jalan nir-kekerasan bukan berarti orang bersikap pasif yang bisa
“diinjak-injak” oleh orang lain. Dalam hal ini orang harus bersikap aktif dengan cara,
dengan aturan main nir-kekerasan. Menurut teori nir-kekerasan jika kita
diperlakukan tidak layak, dan kita menerimanya, bukan berarti kita setuju dengan
perbuatan tersebut. Oleh karena itu penelitian ini mencoba menguji asumsi ini
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang diatas, maka
penulis membatasi pembahasan dangan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana memahami langkah komunitas Syi’ah bertahan hidup pasca
konflik di penampungan Jemundo dalam perspektif nirkekerasan oleh
Chaiwat Satha Anand?
2.
Langkah/upaya apa yang dilakukan oleh komunitas Syi’ah untuk
medapatkan hak hak nya?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang terdapat diatas, berikut ini
merupakan tujuan dari penelitian diantaranya :
1.
Untuk mengetahui komunitas Syi’ah bertahan hidup pasca konflik di
penampungan Jemundo dalam perspektif nirkekerasan oleh Chaiwat Satha
Anand.
2.
Untuk mengetahui langkah/upaya apa yang dilakukan oleh komunitas
D.
Mamfaat Penlitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat. Karena dalam
penelitian ini bermaksud untuk mengetahui kehidupan sehari-hari komunitas
Syi’ah di Jemundo pasca konflik yang terjadi di Sampang Madura.
Dengan demikian maka penelitian ini diharapkan mampu memberi
manfaat sebagaimana yang diharapkan oleh peneliti sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoritis, Penelitian ini mengembangkan keilmuan khususnya untuk
memperkaya Ilmu Perbandingan Agama danUmumnya pada ranah
kehidupan umat beragama pasaca konflik.
2.
Manfaat Praktis, Untuk menambah bahan informasi bagi para peneliti yang
berminat untuk mengkaji lebih mendalam mengenai kehidupan komunitas
Syi’ah yang telah mengalami konflik untuk dikembangkan dalam spektrum
yang lebih luas dan dapat berguna dalam mengembangkan wawasan studi.
E.
Kerangka Teori
1.
Gagasan nir-kekerasan
Gagasan nir-kekerasan dapat dikatakan hal baru yang muncul
belakangan ini. Namun dalam tindakan nir kekerasan itu sendiri sudah lama
tercermin seperti dalam tindakan suri tauladan tiga Nabi yaitu: Muhammad,
Yesus, Gandhi, dan Sidharta Gautama, yang mewakili agama-agama besar di
dunia ini. Pada akhir-akhir abad ke-20, terlihat bahwa aksi nirkekerasan telah
kejadian-kejadian seperti di Filipina, eropa Timur dan rusia, telah membuatnya
yakin bahwa ekspansi tersebut betul-betul nyata.
2Nirkekerasan sendiri secara harfiyah nir-kekersan berarti tidak
membunuh. Namun jika dikaji lebih dalam lagi yaitu bahwa seseorang tidak boleh
menyerang orang lain dan tidak boleh memendam pemikiran yang jahat atau tidak
mengenal belas kasihan terhadap musuh. Menurut Gandhi:
seseorang yang
engkau anggap sebagai musuh, melainkan seseorang yang barangkali
menganggap dirinya adalah musuhmu.
3Nirkekerasan telah memperoleh posisi unik pada titik waktu sejarah
saat ini. Dikarenakan Ada banyak bukti bahwa nirkekerasan adalah senjata khusus
yang cukup ampuh, seperti pada Mei 1992, pertumpahan darah di jalan-jalan
Bangkok, tidak dapat menyembunyikan karakter dasar demonstrasi demonstrasi
nirkekerasan yang mendahului penindasan keras orang-orang tidak bersenjata oleh
militer. orang-orang yang turun ke jalan bergerak dengan membawa sejumlah
plakat, termasuk yang bertuliskan: “ahimsa” (nirkekerasan gandhi) dan “ahosi”
(memaafkan).
Chaiwat Satha Anand dalam bukunya yang berjudul “Agama dan
Budaya Perdamaian” menjelaskan bahwa semua agama pada intinya membawa
pesan perdamaian, dengan segala nilai-nilai luhur dan perdamaiannya itu, mampu
2
Gene sharp, “are We in a new situation?”,
Thinking About Nonviolent Struggle: Trends,
Research, and Analysis (Cambridge, Massachussets: The albert einstein institution,
1990), 3.
3
diinterpretasikan dengan bijak dan benar oleh orang-orang terpilih itu, karena
tidak semua orang mampu meniru dan menauladaninya, yang mana terkadang
terjebak dalam subyektifitas interpretasi yang cenderung mengikuti hawa nafsu
manusia itu sendiri dan menolak nilai-nilai ideal yang bertolak belakang dengan
agresifitas dan nafsu manusia.
4Dalam kunjungannya di Universitas Paramadina Jakarta, pada Selasa, 6
Oktober 2015, Chaiwat mengatakan: hanya jalan nir-kekerasanlah seorang
Muslim untuk menunaikan dua prinsip agamanya sekaligus, melindungi nyawa
tak berdosa dan memerangi ketidakadilan di dunia. Sebagai mana beliau
menguatkan pemikirannya dengan menunjukkan dalil-dalil agamanya, bukti-bukti
empirisnya, dan sejarahnya. Ayat ke-32 dari surat Al-Maidah menjadi titik tolak
utama Chaiwat.
5Lepas dari nilai ideal ajaran agama, yang mencerminkan tindakan
nirkekerasan dalam menyelesaikan konflik dan masalah. Manusia dan perbuatan
yang dilakukannya merupakan dua hal yang berbeda. Perbuatan baik akan selalu
mendapatkan penerimaan yang baik dan perbuatan buruk akan mendapatkan
penerimaan yang buruk. Sementara, si pelaku perbuatan itu, apakah perbuatan itu
baik atau buruk senantiasa pantas mendapatkan penghormatan serta belas kasih.
Sedangkan Gandhi menjelaskan Lima Aksioma Tentang Nir-kekerasan;
Pertama: Nir-kekerasan mensyaratkan pemurnian dan pensucian diri sesempurna
4
Chaiwat Satha-Anand “Barangsiapa Memelihara Kehidupan”, Esai-esai tentang
Nirkekerasan dan Kewajiban Islam, vol. 1 (Oktober 2015),
5
mungkin yang bisa diraih secara manusiawi.
Kedua: Kekuatan nir-kekerasan
terletak pada kemampuan dan kerelaan, bukan sekedar kemauan, seorang
penganut nir-kekerasan untuk menahan diri terhadap tindakan yang bisa
menimbulkan kekerasan.
Ketiga: Nir-kekerasan pasti bisa mengungguli
kekerasan. Kekuatan yang lahir dari para penganut nir-kekerasan selalu lebih
besar daripada kekuatan yang dihasilkan daripada penganut kekerasan. Keempat:
Nir-kekerasan tidak mengenal kekalahan. Akhir dari kekerasan adalah yang
tak-terelakkan.
Kelima: Muara akhir dari nir-kekerasan adalah kemenangan yang
pasti, jika istilah menang boleh diterapkan dalam nir-kekerasan. Sesungguhnya,
ketika kita tidak memikirkan kekalahan, maka kita juga tidak memerlukan
kemenangan.
Gandhi juga menulis: Kebenaran dan aksi-aksi nirkekerasan tidak
mungkin tanpa keyakinan yang hidup kepada Tuhan, Tuhan dalam arti Kekuatan
hidup Yang berdiri sendiri dan Maha-tahu yang melekat dalam setiap kekuatan
lain yang dikenal di dunia ini dan yang tidak tergantung pada apa pun, dan yang
akan hidup terus sementara kekuatan-kekuatan lain mungkin lenyap atau berhenti
bekerja.
62.
Tindakan nirkekerasan tiga nabi
Dalam pandangan orang beriman, ketiga nabi ini, Buddha, Yesus dan
Muhammad lebih dari sekadar manusia biasa. Contohnya, Buddha dapat di
pandang sebagai seorang manusia, makhluk spiritual atau pun seseorang yang
berada di antara keduanya. dalam kenyataannya, bagi kebanyakan pemeluk
6
Buddhisme, jasad manusia Buddha dan eksistensi kesejarahannya terlihat seperti
“beberapa potongan kain buruk yang menutupi kemuliaan spiritual.”
7Orang
Kristen di seluruh dunia membacakan doa setiap minggu yang mengakui bahwa
Yesus adalah anak Tuhan dan bahwa seluruh yang ada di alam semesta diciptakan
melaluinya. Dari sudut pandang kaum Muslim, Muhammad adalah simbol
kesempurnaan baik sebagai manusia pribadi maupun manusia sosial. Ia juga
prototipe individu manusia dan kolektivitas manusia. Di dalam lingkaran mistik
islam, ia dipandang sebagai simbol kembali ke asal dan kebangkitan kembali
kepada realitas abadi.
8a)
Buddha dan Aksinya
Lima tahun setelah Buddha mengalami pencerahan dan ayahnya baru
saja meninggal, suatu pertikaian pecah antara orang sakya dan tetangganya
Koliya mengenai irigasi sungai rohini.
9sungai, yang kini disebut rowai,
membentuk perbatasan antara kawasan orang sakya dan tanah suku Koliya.
Sungai rohini dibendung sebuah dam yang dibangun bersama oleh kedua
pihak. Bendungan ini mengalirkan air ke ladang-ladang mereka. Kemudian
terjadi musim kemarau sehingga air mustahil mengairi ladang kedua pihak.
Pertikaian pun pecah antara pekerja ladang kedua pihak. Kedua pihak yang
berlawanan saling mencerca dan “perang” pun tidak dapat dielakkan. Dalam
kenyataannya, setelah sorak-sorai, terjadi perkelahian tangan kosong.
7
Edward Conze, Buddhism:
Its Essence and Development (new York: harper Colophon
Books, 1975), hal. 34-38. Kutipan dari hal. 38.
8Seyyed hossein nasr, Ideals and Realities of Islam (london: unwin hyman, 1988), hal. 89.
9Umat Buddha melukiskan adegan itu sebagai berikut: “pembicaraan
bertambah panas, hingga akhirnya salah seorang bangkit dan memukul yang
lainnya. Yang dipukul balas memukul dan perkelahian umum terjadi.
Orang-orang yang berkelahi itu membuat masalah bertambah runyam dengan lontaran
kata-kata kotor tentang asal-usul keluarga kerajaan kedua pihak.”
10Sehingga
akibatnya, pimpinan kedua suku memutuskan untuk siap-siap berperang, bukan
untuk menyelesaikan masalah kekurangan air, tetapi untuk penghinaan yang
mereka alami. Buddha memutuskan mencampuri urusan tersebut, sebab “jika
saya menahan diri dari mendatangi mereka, maka orang-orang ini akan saling
menghancurkan. Jelas merupakan tugas saya pergi menemui mereka.”
11Lantaran integritas spiritual dan pertalian kekeluargaan Buddha dengan
para pemimpin sakya, kedua pihak mendengarnya ketika ia mulai menanyai
mereka tentang sebab-sebab pertikaian. Seluruh orang mulai dari rajahingga
panglima perang, dan guru lupa akan sebab konflik yang mereka hadapi.
Hanya budak-budak pekerja yang bisa menjawab bahwa pertikaian itu
disebabkan oleh air. Di penghujung perang, sebab awal pertikaian terlihat lepas
dari pertimbangan kedua pihak. Kemudian Buddha berkata: “Berapa banyak
lagi air yang bisa dimanfaatkan, wahai raja yang agung?” “sangat sedikit, Tuan
pendeta yang mulia.” “Berapa (pejuang) Khattiya yang tinggal, wahai raja yang
agung?” “orang-orang Khattiya amat berharga, Tuan pendeta yang mulia.”
“apakah tidak cukup bahwa lantaran Sedikit air engkau harus melenyapkan
10
Burlingame, Buddhist Legends, bagian ke-3 (harvard oriental series lanman vol. 30 for
pTs, 1969), hal. 70.
11
orang-orang Khattiya yang amat berharga.” Mereka terdiam. Kemudian sang
guru menasehati mereka dan berkata, “raja-raja yang agung, kenapa kalian
berbuat seperti itu? Seandainya saya tidak ada hari ini, kalian akan mengalirkan
sebuah sungai dengan darah. Kalian telah bertindak secara tidak terpuji.”
12Yang terjadi dalam kasus ini adalah suatu bentuk persuasi nirkekerasan.
Buddha meminta pihak-pihak yang bertikai merenungkan
konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi jika pertikaian itu menjadi keras. Dalam proses,
mereka diingatkan untuk membandingkan nilai kehidupan mereka dan akibat
yang mungkin terjadi karena perang. Dalam rangka melakukan hal itu, ia harus
mencairkan kebuntuan ketika pihak-pihak yang bertikai “lupa” akan sebab
awal konflik dan lebih berkonsentrasi pada akibat penghinaan dan harga diri
yang terluka. Meskipun ia mampu mengendalikan perhatian mereka, lantaran
kedua pihak mengetahui siapa dirinya dan terlihat menghormati otoritas
moralnya, keputusan untuk mengintervensi ini pertama kali berasal dari
dirinya. Ia bisa saja menegaskan bahwa konflik politik berada di luar
kewajiban seorang biarawan Buddha. Ia memilih bertindak dan aksinya
menggagalkan pecahnya suatu perang yang “akan mengalirkan sungai darah.”
Sebagaimana selalu ditegaskan Sharp, “aksi nirkekerasan adalah persis seperti
yang dikatakan: aksi yang nirkekerasan, bukan inaksi.”
13Buddha bertindak
nirkekerasan dengan melangkah masuk untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perang dan ia berhasil.
12
Buddhist Legends, bagian ke-3, hal. 7.
13Gene sharp, Civilian-Based Defense: A Post-Military Weapons System
(princeton, new
b)
Yesus dan Keputusan
Suatu ketika ada kasus yang mana para juru tulis dan orang-orang Farisi
membawa seorang perempuan yang ditangkap karena berzina; dan
membawanya berdiri di tengah-tengah masyarakat dan di hadapan Yesus.
Mereka berkata kepada Yesus, “guru, perempuan ini tertangkap sedang
berzina. apa yang mesti engkau katakan?” Mereka mengajukan pertanyaan ini
kepada Yesus sebagai suatu ujian untuk mencari tuduhan yang dapat digunakan
untuk menentangnya. Tetapi, Yesus membungkukkan badan dan mulai
menulis di atas tanah dengan tangannya. Ketika mereka tetap mengajukan
pertanyaannya, Yesus meluruskan badan dan berkata, “silakan salah satu dari
kamu yang merasa tidak bersalah menjadi orang pertama yang merajamnya.”
Ia kemudian membungkuk dan meneruskan menulis di atas tanah.
sementara si perempuan tetap berada di tengah. Yesus meluruskan badannya
lagi dan berkata, “Wahai perempuan, di manakah mereka? Apakah tidak
seorang pun yang mempersalahkan engkau?” “Tidak seorang pun, tuan,” jawab
perempuan tersebut. “saya juga tidak mempersalahkan engkau,” kata Yesus.
“pergilah, dan sejak saat ini jangan lagi berbuat dosa.” Lanjudnya.
14Dalam kejadian ini dapat dipandang sebagai suatu kasus di mana Yesus
berperan sebagai hakim. Dalam kenyataannya, kasus ini sering dipahami
sebagai “ujian kecakapan kasuistiknya sebagai seorang rabbi.” Tetapi, Joachim
14
Jeremias memandangnya sebagai “tantangan untuk berperan serta (atau turut
campur) dalam proses pengadilan, yang mungkin dikehendaki Yesus.”
15Bagi seseorang seperti Yesus, adalah logis meyakini bahwa
menyelamatkan nyawa dengan menerima tantangan untuk memutuskan
tuduhan itu menjadi pijakan dari keputusannya dalam bertindak. Senada
dengan Buddha dalam kisah kasus di atas, Yesus menggunakan bujukan
rasional nirkekerasan untuk menghentikan masyarakat merajam perempuan
yang dituduh berzina. Namun demikian Yesus tidak menanggalkan hukum
Musa, tetapi ia bertanya siapa yang ditetapkan untuk menjalankan hukuman
guna mengetahui dengan pasti bahwa mereka pantas melakukan tugas tersebut.
dalam proses penilaian-diri, mereka menyadari bahwa mereka juga orang
berdosa dan tidak berani melakukan rajaman pertama.
c)
Muhammad dan Kebijaksanaannya
Menurut al-Qur’an, Kabah dibangun oleh ibrahim
16sebagai rumah
Tuhan pertama dalam tradisi monoteisme. di dalam Kabah, ada sebuah batu
hitam yang diyakini sebagai sebuah meteor. Imam al-ghazali menulis bahwa
batu hitam itu “adalah salah satu permata dari permata-permata surga.”
17dalam
tradis islam, batu ini berasal dari langit, yang melambangkan asal-usul
15
John howard Yorder, The Politics of Jesus (grand rapids, Michigan: William B.
Eerdmans pub. Co., 1987), hal. 62.
16
The Massage of the Qur’an, trans. Muhammad asad (gibraltar: dar al-andalus, 1980),
ii:125-127.
17
perjanjian (al-mitsaq) antara Tuhan dan manusia, serta bahwa manusia harus
hidup selaras dengan kebenaran dan memelihara dunia.
18Pada 605 M, ketika nabi Muhammad berusia 35 tahun, masyarakat
Mekkah membangun kembali Kabah, yang sebelumnya rusak oleh banjir.
Ketika itu, Kabah tegak tanpa atap dan hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh
manusia. Berbagai klan mengumpulkan batu untuk meninggikan bangunan
Kabah. Mereka bekerja secara terpisah, hingga temboknyacukup tinggi untuk
meletakkan batu hitam itu di sudutnya. Kemudian meletuslah pertikaian
pendapat karena setiap klan ingin mendapatkan kehormatan sebagai
pengangkat batu tersebut dan meletakkannya di tempatnya. Kebuntuan
berlangsung empat atau lima hari dan masing-masing klan siapsiap bertarung
untuk menyelesaikan konflik.
Kemudian, orang tertua dari yang hadir mengusulkan kepada
kelompok-kelompok yang bertikai itu supaya mereka mengikuti apa yang
disarankan orang berikutnya yang memasuki kompleks Kabah melalui gerbang
“Bab al-safa”. seluruh pihak menyepakati usulan ini. orang pertama yang
masuk melalui gerbang tersebut adalah Muhammad. setiap orang gembira
karena Muhammad mereka kenal sebagai al-amîn, yang terpercaya lagi.
Mereka siap menerima keputusannya.
Setelah mendengarkan kasusnya, Muhammad meminta mereka
membawakan untuknya sepotong jubah, yang kemudian ia bentangkan di atas
tanah. Ia mengambil batu hitam dan meletak kannya di tengah-tengah kain itu.
18
lalu, ia berkata: “Marilah setiap klan memegang pinggiran jubah. Kemudian,
kalian angkatlah bersama-sama.” Ketika mereka mengangkatnya mencapai
ketinggian yang tepat, Muhammad mengambil batu itu dan meletakkannya di
sudut. Dan pembangunan kembali Kabah dilanjutkan hingga selesai.
19Pada waktu kejadian ini berlangsung, nabi Muhammad belum menjadi
nabi. Karena itu, pada awalnya Muhammad tidak memilih untuk
mengintervensi. para pihak yang bertikailah yang memutuskan menyerahkan
nasib mereka pada keputusan orang yang pertama kali memasuki Kabah.
Klan-klan yang bertikai telah membuat persetujuan di antara mereka untuk
mendengarnya.
Tetapi, kekuatan persuasif metodenya dalam menyelesaikan pertikaian
itulah yang diterima. Jika sarannya tidak melegakan seluruh pihak, maka
mungkin sejumlah orang yang terlibat dalam perseteruan itu tidak akan
menerima putusannya. Bahkan jika itu terjadi, mereka mungkin melakukannya
tanpa sadar dan kekerasan pun
akan
pecah. Tetapi, menyusuli
kebijaksanaannya, terlihat bahwa pihak-pihak yang bertikai pulang dengan
senyum puas diwajahnya, sebab tidak seorang pun kehilangan kesempatan
melakukan tugas mulia. nabi Muhammad amat bijak dalam tidak memutuskan
individu atau klan manakah yang mestinya mendapat kehormatan meletakkan
Batu hitam ke tempatnya. Malahan ia mampu menemukan pemecahan
sehingga seluruh kelompok yang bertikai dapat berpartisipasi dalam kedudukan
yang sama, dan karena itu memuaslegakan seluruh pihak. Dengan meletakkan
19
Batu hitam ke atas jubah, ia berhasil memperluas ruang partisipasi yang pada
gilirannya menyelesaikan secara nirkekerasan konflik tersebut tepat di akarnya.
akibatnya, kemungkinan pecah peperangan di kalangan orang-orang arab yang
sangat menjunjung tinggi kehormatan dan martabat secara efektif dihindarkan.
3.
Praktek nirkekerasan
Di Negara India yang beberapa tahun terakhir kerap dilanda konflik
hindu-Muslim, ashis nandy menemukan bahwa dalam setiap kerusuhan yang
dilaporkan, selalu ada kisah “keberanian yang ditunjukkan orang-orang yang
melindungi tetangga mereka dengan mempertaruhkan nyawa dan keluarganya
sendiri.”
20Bahkan pada masa getir ketika anak-benua asia ini terpecah, di mana
ratusan ribu nyawa menjadi korban, hindu maupun Muslim, selalu ada riwayat
mengenai seseorang dari salah satu kelompok yang menolong keluarga dari
“kelompok lain”.
21Koeksistensi semacam itu bertahan, karena dari 2.800
kelompok masyarakat india yang didominasi hindu atau Muslim sejak tahun
1990an, hanya sekira 350-an yang benar-benar eksklusif hindu atau Muslim,
sementara 600-an komunitas serupa hidup bersama dalam suasana multikultur.
22Berbeda kasus di Thailand salah satu masalah paling menghawatirkan
yaitu tentang masalah penyalagunaan Narkoba, Bisnis narkoba bertahan dan
bahkan berkembang karena dilindungi orang-orang berpengaruh di Thailand,
20
Ashis nandy, “The Twilight of Certitudes: secularism, hindu nationalism, and other
Masks of deculturation,” Alternatives 22 (1997), hal. 160.
21
Nandy, “The Twilight of Certitudes”, hal. 160.
22diduga melibatkan pejabat kepolisian dan politisi papan atas.
23Tak heran jika
narkoba menjadi masalah besar di Thailand.
Yang luar biasa adalah ketika komunitas-komunitas kecil memutuskan
untuk melawan. Para penduduk pinggiran Bangkok yang sudah lama hidup
diliputi ketakutan pada geng pengedar narkoba yang bertransaksi secara
terang-terangan. Di satu wilayah seluas 2000-an m tinggal komunitas “Mitraparb”
(persahabatan), namun penghuni setempat lebih mengenalnya dengan “desa
apache”. penduduknya sekitar 800 orang, sebagian besar adalah Muslim yang
bekerja sebagai buruh pabrik dan usaha kecil. Pencurian dan tindak kriminal
ringan merajalela seiring meningkatnya jumlah pecandu di wilayah tersebut. polisi
setempat umumnya telah disuap sehingga tak bisa diandalkan. pada oktober 1997,
penduduk Mitraparb yang sudah jengah menggelar rapat desa untuk merespons
masalah ini. Mereka memutuskan untuk mengatur waktu jaga 24 jam dengan cara
ronda keliling kampung. Pada malam pertama, para peronda menangkap 17 orang
yang sedang bertransaksi. Dari oktober 1997 hingga Juni 1998, tercatat ada 64
pengguna/penjual yang tertangkap. Pemuka setempat mengatakan bahwa
kebanyakan penjual berasal dari daerah lain. Ketika ditangkap, petugas ronda
mencatat nomor identitas dan nama mereka. Mereka diperingatkan jika mereka
kembali, warga tak akan segan menyerahkan mereka pada polisi. alhasil, angka
23
kejahatan menurun tajam. Perempuan dan anak-anak dapat ke jalan tanpa diliputi
ketakutan.
24Dengan demikian penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan
memahami pola masyarakat dengan kekerasan yang mana Gagasan
nir-kekerasan, ini nantinya bisa mengembalikan atau merespon komunitas Syi’ah
untuk selalu tabah dalam menghadapi apapun yang terjadi. Dan dengan demikian
penelitian ini bersifar narasi bukan menciptakan atau membuat sendiri
batasan-batasannya. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif.
F.
Telaah Pustaka
Konflik Syi’ah sampang yang sampai sekarang masih belum
menemukan titik terang sehingga masih menarik banyak minat pihak untuk
melakukan penelitian seperti yang di lakukan oleh dosen Fak. Ushuluddin UIN
SUNAN AMPEL yaitu salah satunya Muhammad Afdillah dalam tesis yang
berjudul
Dari Masjid ke Panggung Politik: Studi Kasus Peran Pemuka Agama
dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antar Komunitas Suinni-Syiah di
Sampang Jawa Timur
25. Yang mana dalam tesis ini beliau menitik beratkan pada
fakotr-faktor penyebab kekerasan dalam konflik seperti : faktor keluarga, faktor
perebutan pengaruh keagamaan di masyarakat, faktor ekonomi, faktor politik dan
faktor penistaan agama.
24
Ampa Santimetaneedol, “Villagers Find Courage to drive out drug dealers,” (Bangkok
Post, 8 Juni 1998).
25
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad Zainul Hamdi dalam
penelitian yang berjudul :
Klain Religious Autthority dalam konflik Sunni-Syi’ah
Sampang Madura.
26Zainul mengatakan awal mula konflik ini didasaari pada
usaha mempertahankan kelompok yang telah lama berkuasa. Dan jauh dari itu
yaitu upaya menghakimi kokmunitas Syi’ah sebagai ajaran yang sesat.
Penelitian yang dilakukan oleh Affaf Mujahidah,
27Eksistensi Civic
Engagement dan Elite Integration dalam Konflik Sunni-Syiah di Sampang, dalam
jurnal Studi Agama Agama ini menelaah problematika yang terjadi dalam proses
konflik tersebut serta keberadaan civi cengagement dan elite integration pada
masyarakat yang berkonflik.
Kontras yang dari awal telah mengikuti kasus ini juga mengeluarkan
laporan dan bahkan dengan dokumentasinya tentang konflik Syi’ah-sunni di
Sampang yang terjadi pada tanggal 29 desember 2011. Yang mana laporan ini
menjelaskan latar belakang terbentukmya komunitas Syia’ah dan sampai
faktor-faktor terpecahnya konflik. Dan bahkan yang baru baru ini Kontras mengadakan
upaya mengenang komunitas Syi’ah mengungsi di negeri sendiri.
2826
Ahmad Zainul Hamdi “klaim Religious Autority
dalam
konflik Sunni-Syi’I Sampang
Madura”. ISLAMICA. Vol. 6 No. 2 (Maret, 2012)
27Affaf Mujahidah “Eksistensi Civic Engagement dan Elite Integration dalam Konflik
Syiah Sampang” (Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel,
2014).
28
Petrus Riski, “Lima Tahun Terusir Dari Kampung Halaman Pengungsi Syiah Sampang
Berharap Negara Hadir” Laporan KontraS,
http//www.voaindonsia.com/a/lima-tahun-
Dan juga LSM-LSM seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Surabaya, Gus Durian Jatim (JIAD), PMII Jawa Timur. Ini sudah pernah
melaporkan mengenai Kronologi terjadinya konflik Syi’ah Sampang pada 26
Agustus 2012.
Dan penelitian yang baru baru ini dilakukan oleh Romel Masykuri
Dkk
29“Dibalik
Dinding
Rusunawa
(Mengungkap
Pengalaman
Komunitas Syiah Sampang Di Pengungsian” Dalam laporan mini riset
ini, Romel sangat detail dalam menjelaskan keadaan komunitas pengungsi Syi’ah
di sidoarjo. sebenarnya hampir sama dalam keseluruhan isi materi dengan dengan
apa yang akan di tuliskan oleh penelitian kami namun yang membedakan nantinya
peneliti memfokuskan pada teori yang akan peneliti angkat yaitu dalam
nir-kekerasannya sehingga bisa dikatakan tidak ada plagiat yang dilakukan oleh
peneliti. Sehingga tidak nantinya tidak ada yang dirugikan setelah kami
menyelesaikan penelitian kami.
Berbeda dengan beberapa karya skripsi yang dipaparkan sebelumnya,
disini peneliti memfokuskan pada “Studi tentang Kehidupan komunitas Syi’ah
Pasca Konflik Sampang Madura dalam Perspektif Nirkekerasan oleh Chaiwat
Satha Anand”. Jika penelitian sebelumnya memfokuskan pada titik konflik maka
peneliti mencoba memfokuskan pada pasca konfliknya dalam
Perspektif
Nirkekerasan oleh Chaiwat Satha Anand Karena di rasa belum ada yang meneliti
29
Romel Masykuri dkk., Laporan mini reset
“mengungkap Penglaman Komunitas Syiah
mengenai ini, maka penulis ingin lebih dalam meneliti tentang kehidupan
masyarakat Syi’ah pasca konflik.
G.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian lapangan (field
research) dengan pendekatan kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai suatu tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.
30Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Penentuan fokus penelitian kualitatif, pada umumnya didasarkan pada
pendahuluan, pengalaman, refrensi serta saran dari pembimbing atau orang tua
yang dianggap ahli. Tidak hanya itu, bahkan menggali data secara mendalam yang
melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks.
31Untuk mendapatkan Sumbar data yang diperlukan, peneliti melakukan
berbadai cara pengumpulan data yaitu pertama Observasi, yang mana cara
pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa alat standart lain keperluan
30
Lexy J Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), h. 4.
31penelitian.
32Obsevasi merupakan metode awal bagi penulis untuk mengamati dan
meneliti fenomena-fenomena, fakta-fakta yang akan diteliti.
33Penulis
menggunakan metode ini dengan menggunakan pendekatan pribadi terhadap
pimpinan komunitas Syi’ah (Tajul Muluk) selain cara tersebut peneliti juga hadir
dalam acara pertemuan dengan pengungsi Syi’ah di Puspa Agro Jemondo. Acara
tersebut diisi dengan
shering dari pihak pengungsi mengenai keinginan mereka
untuk segera dipulangkan.
Cara yang kedua wawancara, wawancara tersebut merupakan proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka untuk memperoleh informasi dari responden.
34Wawancara ini
dilakukan dengan cara berdialog dengan masyarakat bagaimana kehidupan
masyarakat Syi’ah pasca konflik. Target yang dipilih dalam wawancara yaitu
komunitas Syi’ah yang terlibat didalam kejadian langsung seperti Tajul Muluk,
Iklil al-Milal selaku pimpinan komunitas Syi’ah dan bahkan nantinya beberapa
pengikut aliran Syi’ah lainnya seperti Roziq, Rohma, Abduh yang juga mengunsi
di Jemundo, Sidorjo.
Metode ini digunakan untuk analisis data secara langsung dengan
masyarakat setempat agar mendapatkan bukti kebenarannya. Akan tetapi, tidak
menutup kemungkinan metode-metode penelitian lain yang sekiranya dapat
menunjang dalam perolehan data penelitian secara valid turut pula diterapkan.
32
Muh. Nzir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 202.
33Lexy J. Moleong, “Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), h., 6.
34Cara yang ketiga yaitu melalui dokumentasi, Dokumentasi diperoleh
melalui pengumpulan atau pengolahan data. Sifat yang terkandung dalam
data-data yang berbentuk dokumentasi tak terbatas pada ruang dan waktu. Hal ini lah
yang kemudian memberi kesempatan bagi peneliti untuk tidak hanya terfokus
pada pengetahuan yang ada di masa sekarang namun juga hal-hal yang pernah
terjadi di masa lampau.
35Dokumentasi ini digunakan sebagai bukti yang real
dalam pengumpulan data menjadi penting saat digunakan untuk mendukung dan
menambah bukti dari sumber-sumber lain. Metode ini digunakan untuk
memperkuat atau melengkapi data penting yang harus di ringkas untuk
menciptakan pertanyaan yang akan di ajukan penetilian.
36Setelah keseluruhan data yang diperoleh selanjutnya di lakukan
pengolahan data. Analisa perlu dilakukan untuk mengetahui keakuratan dan untuk
mempertanggung jawabkan keabsahan data.
Alanalisis yang dilakukan dengan hal-hal yang telah diteliti yang
kemudian akan dikaitkan dengan teori yang telah ditentukan. Dalam hal ini tidak
cukup hanya dengan melakukan penjabaran, melaikan juga dengan penjelasan
yang akan di pandu dengan teori yang ditentukan.
Anaisis dilakukan dengan pengelolaaan data yang sudah ada. Dari
penyuntingan hingga analisa yang merupakan hasil akhir penelitian. Penyuntingan
adalah pemeriksaan kembali seluruh daftar pertanyaan yang dikembalikan
responden. Dengan begitu penulis bisa menyimpulkan dan menjelaskan
35
Burhan Bungin, peenlitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2007), h., 124-125.
36Dawson R. Hancock,
Doing Case Study Research, (New York: Teacher College Press,
bagaimana kehidupan masyarakat syi’ah pasca konflik di penampungan Rusun
Jemundo sidoarjo. Denga demikian hasil penelitian yang telah direvisi dan
pengecekan ulang dapat di pertanggung jawabkan secara akademik.
H.
Sistematika Pembahasan
Sistematika
penulisan
dalam
penelitian
ini
desususn
untuk
mempermudah pemahaman sehingga dapat menghasilkan pembahasan yang
sistematis. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, yang terdiri dari
berbagai bab, sebagai berikut pemabahasan terperinci penulis yang diganakan,
yaitu:
Bab pertama merupakan pendahuluan, yang mana padabab ini
mengawakili seluruh rangkaian pembahasan yang terdiri dari sub-sub bab, yang
meliputi latar belakang penelitian, rumusa nmasalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, telaah kepustakaan, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua menjelaskan kembali secara singkat tentang latar belakang
pecahnya konflik di Karang Gayam Omben, Sampang. Dan sampain pada awal
diungsikannya komunitas Syi’ah di berbagai tempat sampai pada Jemundo
sidoarjo.
Bab ketiga merupakan pembahasan tentang klasifikasi data penelitian.
Dalam bab ini dijelaskan tempat penelitian, dan gambaran umum tempat
apa saja yang mereka lakukan untuk mendapatkan haknya pasca konflik di
penampungan, Jemundo Sidoarjo.
Bab keempat merupakan penggabungan antara hasil penelitian dengan
teori. mengenai kehidupan komunitas Syi’ah di penampungan dan hal apa saj
ayeng meraka upayakan untuk pendapatkan haknya yang telah direnggut paksa
darinya pasca konflik.
Bab kelima, berisi kesimpulan dari hasil penelitian, analisis serta saran
dari penulis, dan harapan dalam kesimpulan dapat menjawab permasalahan
penelitian yang terdapat pada rumusan masalah, dan dapat memberikan saran
yang sesuai dengan hasil kesimpulan penelitian. Bagian akhir yang berisi daftar
BAB II
AWAL PENGUNGSIAN
A.
Sekilas Konflik Syi’ah-Sunni
Konflik antara komunitas Syi’ah dan Sunni merupakan konflik
internal-umat satu agama yang memiliki pemahaman yang berbeda. Konflik ini telah
berlangsung cukup lama dan berulang-ulang, hingga akhirnya mencapai
klimaks pada 26 Agustus 2012 menjadi salah satu kasus konflik antar
kelompok agama yang menyedot perhatian dalam beberapa tahun terakhir ini.
Pasalnya, konflik tersebut telah mengakibatkan korban yang cukup parah.
Terdiri dari satu orang tewas dan sejumlah orang lainnya luka parah, serta
puluhan rumah terbakar. Selain itu, telah mengakibatkan sejumlah warga syiah
diungsikan ke Rumah Susun di komplek pasar Puspa Agro, Desa Jemundo
Sidoarjo. Hingga kini, pengungsi Syi’ah sebanyak 235 jiwa, terdiri atas orang
dewasa dan anak-anak.
1Konflik ini bukanlah murni karena persoalan keyakinan. Mulai dari
faktor intern (keluarga) yang meluas menjadi faktor keagamaan dan faktor
kepentingan (politik) serta puncaknya yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sampang bahkan Menteri Agama menegaskan bahwa Syi’ah sebagai aliran
sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa faktor pemicu konflik
antara lain:
1
1.
Faktor Internal (Keluarga)
Berlatar belakang asmara perseteruan antara dua saudara yaitu Raisul
Hukama dan Tajul Muluk yang kedunya sama-sama kaum Syi’ah dan
keduanya merupakan pengurus IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia).
Raisul ingin menikahi salah satu santrinya yang bernama Halimah, namun
Tajul Muluk tidak merestuinnya.
2Raisul merasa terkhianati kemudian Raisul
keluar dari ajaran Syi’ah dan bergabung dengan kelompok yang berlawanan
(Suni) untuk membangun kekuatan mengalahkan Tajul Muluk dengan
menyebarkan isu penolakan terhadap ajaran syi’ah yang dipimpin Tajul Muluk
(2005). Pada bulan Maret 2009, Halimah menikah dengan Abdul Aziz yang
merupakan orang dekat Tajul Muluk. Tajul Muluk yang menikahkan sekaligus
menjadi saksi, hal ini semakin memperuncing pertikaian diantara kakak
beradik ini.
2.
Faktor Kepentingan (Politik)
Politik demokrasi dan keragaman sosikultural Indonesia membari
kontribusi yang besar bagi tumbuh dan berkembangnya demograsi yang
berbasis pada pluralitas politik dan multikultural.
3Implementasi dari politik
demokrasi antara lain adalah pemilohan kepala daerah (Pilkada). Keseluruhan
proses Pilkada merupakan suatu arena unjuk pluralitas politik pada daerah
2
Muhammad Afdillah, “
Dari Masjid Ke Panggung Politik...”,
(Yogyakarta: CRCS 2016),
h.,55
3
otonom. Dalam era pembaharuan politik, format. Pilkada adalah untuk
menghasilkan demokrasi yang mendekati subtansi. Pilkada sebagai salah satu
bagian integral dari proses demokratisasi di Indonesia.
43.
Faktor Pemerintahan
Berdasarkan Keputusan Fatwa MUI Propinsi Jatim Tentang Kesesatan
Aliran Syiah (21 Januari 2012)
5yang sebelumnya telah terjadi penyerangan
terhadap warga Syiah di Sampang (21 Desember 2011) disusul dengan
dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012
Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di
Jawa Timur (Pergub Jatim No. 55 Tahun 2012) yang keluar pada tanggal 23
Juli 2012
6yang menguatkan Fatwa MUI Jatim yang telah dikeluarkan
sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa kebebasan beragama di Indonesia
masih sangat kurang.
Terlebih setelah Pergub No. 55 Tahun 2012 dikeluarkan terjadi lagi
penyerangan dengan skala lebih besar yang mengakibatkan sembilan rumah
terbakar, dua orang meninggal, lima lainnya orang terluka, selain korban dari
warga Kapolsek Omben juga terluka parah. Ada dua versi tentang bentrokan
tersebut. Versi pertama, insiden itu berawal dari rencana keluarga membesuk
4
Siti Aminah,
“Kuasa Negara Pada Ranah Politik Lokal”
, (Jakarta: kencana Prenada
media Group, 2014), h. 225
5
Fatwa MUI Jawa Timur Tentang Kesesatan Ajaran syiah No. Kep-01/Skf
MUI/JTM/I2012 ditanda tangani pada tanggal 21 Januari 2012oleh ketua umum KH.
Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Drs. H. Imam Tabroni MM
6
Tajul Muluk di lapas. Diperjalanan, mobil yang dikendarai keluarga Tajul
Muluk dicegat kelompok lain. Mereka mengolok-olok keluarga Tajul Muluk
sebagai penganut ajaran sesat. Untuk menghindari bentrokan, keluarga Tajul
Muluk mengurungkan niat pergi ke lapas. Namun, kelompok penghadang terus
membuntuti akhirnya bentrokan pun tak terhindarkan. Versi kedua, bentrokan
ini berawal dari keberangkatan 20 santri kelompok syiah yang hendak balik ke
pondok di Bangil, Pasuruan dan Pekalongan. Mereka kemudian dihadang
kelompok anti syiah, warga syiah diminta kembali ke rumah mereka dengan
turun dari mobil. Lalu mereka diarak. Setiba dikampung Syi’ah suasana
bertambah panas. Bentrokan diantara kedua kelompok pun pecah.
7B.
Kehidupan Syi’ah di Pengungsian
Dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya konflik membuat
penduduk setempat harus mengungsi ke tempat yang lebih aman dan
kondusif sehingga secara langsung mengganggu bahkan menghentikan
aktifitas sehari-hari yang sudah menjadi rutinitas penduduk. Dikarenakan
aktifitas yang terganggu maka dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari tidak dapat terpenuhi dengan baik seperti sebelum terjadinya konflik.
Mau tidak mau korban konflik yang bertempat tinggal di pengungsian
harus berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan
7
hidup sehari-hari, meskipun melihat kondisi di tempat pengungsian yang
tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencari penghasilan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Polres Sampang memutuskan membawa dan mengamankan Tajul
Muluk ke kantor Polres Sampang. Untuk semtara waktu Tajul Muluk
ditempatkan di rumah kediaman Wakapolres Sampang. Karena tidak ada
kejelasan dalam penyelesaian masalah dan tidak nyaman diperlakukan
layaknya tahanan rumah akhirnya pada tanggal 16 April 2011 Tajul Muluk
memutuskan untuk pergi ke Malang karena banyak kerabat dan temannya
disana.
8Semua pihak yang berwenang di Sampang telah mengambil keputusan
bahwa solusi awal dalam penyelesain konflik Syiah-Suni adalah dengan
mengasingkan Tajul Muluk keluar dari pulau Madura. Mereka berpendapat
bahwa dengan ditinggalnya Tajul Muluk warga yang menjadi pengikut
Syiah akan berbalik kepada ajaran Suni. Namun, pendapat tersebut salah,
jamaah Syiah dengan gigih tetap mempertahankan keyakinannya. Kondisi
ini membuat situasi desa memanas. 20 Desember 2011 didusun Gedeng
Laok, rumah salah satu pengikut syiah yang masih kerabat dekat Tajul
Muluk dibakar massa, sebelum dibakar pintu rumah ditutup dengan palang
kayu dari depan. Untunglah ia bisa menyelamatkan diri. 29 Desember 2011,
massa yang berjumlah 500 an mengepung pesantren dalam waktu singkat
merusak dan membakarnya hingga habis. Kompleks pesantren yang terdiri
dari rumah tinggal keluarga Tajul, mushola, ruang kamar santri, ruang
kamar kelas, toko kelontong dan segala isinya ludes terbakar. Setelah
membakar rumah Tajul dan pesantrennya massa bergerak ke menuju rumah
warga yang penganut syiah lain yaitu Iklil dan Syaiful rumah mereka
dibakar hingga menjadi abu. Khawatir warga pengikut Syiah melakukan
perlawanan yang dapat menimbulkan korban di kedua belah pihak, aparat
kepolisian
mendatangi
rumah-rumah
warga
pengikut
syiah
dan
mengevakuasi mereka ke kantor kecamatan Omben. Karena keadaan kantor
yang tidak memungkinkan untuk menapung warga maka selanjutnya
mereka dipindahkan ke Gedung Olahraga Kabupaten Sampang. Dari total
jamaah syiah di dusun Nangkareng yang berjumlah 584 atau 135 kepala
keluarga hanya 306 orang yang dievakuasi, dimana sebagian besar terdiri
dari perempuan, anak-anak, dan balita.
1.
Pengungsian di Gor (Gedung Olahraga)
Di GOR (Gedung Olahraga) Kabupaten Sampang yang berbentuk
bundar Warga Syi’ah diungsikan. Pengungsi tidur beralaskan tikar dan
karpet seadanya, banyak diantara mereka harus tidur beralaskan kardus
karena jumlah karpet dan tikar yang tidak memadai. Untuk kebutuhan
sehari-hari para pengungsi tidak mendapatkan pelayanan dan fasilitas yang
cukup. Meraka mendapatkan jatah makan 3 kali sehari berupa nasi bungkus
saja hal ini sangat tidak berimbang dengan kebutuhan pengungsi yang
berjumlah ratusan orang. Pembuatan kamar mandi dan WC darurat baru
disediakan oleh pemerintah setelah satu minggu pengungsi menghuni Gor
Sampang. Belum lagi soal kesehatan. Sama sekali tidak ada dokter yang
memantau atau memeriksa keadaan kesehatan pengungsi. Untuk pelayanan
kesehatan hanya ditempatkan beberapa petugas dari dinas kesehatan yang
tidak terlalu peduli dengan keadaan pengungsi. Keadaan semakin runyam
ketika pemerintah melarang pengungsi mendirikan dapur umum, sedangkan
pemerintah tidak menyediakan logistik yang memadai. Sebagian besar
pengungsi adalah anak-anak, akan tetapi pemerintah tidak menyediakan
kebutuhan belajar dan bermain serta kebutuhan psiko sosial bagi anak-anak.
Bahkan untuk kebutuhan dasar bagi balita pun juga tidak tersedia. Banyak
diantara ibu-ibu kesulitan untuk memandikan bayinya karena tidak ada air
hangat.
9Pengungsi yang telah bertahan di GOR sering mengalami intimidasi
agar mau di relokasi. Bahkan pemerintah kabupaten Sampang menghentikan
bantuan agar masyarakat Syi’ah direlokasi atau berpindah mahzab menjadi
Sunni. Penghentian bantuan itu tidak hanya sekali dua kali bahkan
berkali-kali. Selang sebulan, pada tanggal 20 Juni 2013, sejumlah massa
mendatangi GOR Tennis Indoor Kabupaten Sampang. Mereka mendesak
agar pemerintah memindahkan pengungsi Syi’ah ke Rusunawa Jemundo,
Sidoarjo. Menanggapi tuntutan ini, Pemkab Sampang memindahk
9
pengungsi dengan 3 truk, 2 bus polisi, dan dikawal dengan 2 mobil polisi.
Sejak saat itu, sekitar 168 orang pengungsi Syiah menempati Rusunawa
Jemundo, Sidoarjo.
102.
Rusun Jemundo Sidoarjo
Ketidak jelasan terkait sampai kapan warga Syi’ah Sampang
menempati rumah susun di Jemundo, Kecamatan Taman, Kabupaten
Sidoarjo ini, memicu kekhawatiran akan kelangsungan masa depan para
orang tua dan anak-anak yang merasa terusir. Ummi Khulsum, warga Syiah
Sampang mengatakan, relokasi paksa ini menunjukkan bahwa pemerintah
tidak berpihak pada masyarakat yang menjadi korban.
“Iya itu gak ada kepastian dari pemerintah, sampai berapa bulan disini
kita tidak dikasi tahu. Nah itu saya kecewanya sama pemerintah, kenapa
pemerintah memperlakukan kita seperti ini,” papar Ummi Khulsum, Warga
Syiah Sampang. Menurut Iklil Almilal, relokasi paksa oleh kelompok
intoleran yang didukung pemerintah, menimbulkan trauma tersendiri pada
anak-anak maupun para perempuan. “Setelah sampai disini, anak-anak kecil
terutama ya trauma. Sebenarnya kejadian kemarin (itu terjadi) di depan
mereka, dengan paksa. Mereka ya jelas (anak-anak itu) masih ada rasa
ketakutan, seperti itu,” jelas Iklil Almilal, Pemimpin Syiah Sampang
10
Pengusiran paksa yang tidak manusiawi serta tidak memperdulikan
kesamaan hak warga negara, disesalkan Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan. Pengusiran paksa yang dilakukan oleh jajaran
pemerintah di Kabpaten Sampang, baik itu DPRD, Wakil Bupati, dan
beberapa pemerintah yaitu Kesbangpol, dan juga melihat pembiaran
Kepolisian terkait pemaksaan yang dilakukan oleh beberapa Kiyai yang
masuk di dalam gedung GOR waktu itu.”
11Mengakibatkan komunitas
Syi’ah sampai sekarang masih mengungsi di rusun jemundo sidoarjo.
11
BAB III
TEMUAN DI LAPANGAN
A.
Gambaran Umum Pengungsi Syi’ah di Rusun Jemundo Sidoarjo
1.
Profil Rusun Jemundo Sidoarjo
Rusun (Rumah susun) Jemundo Sidoarjo merupakan dua bangunan
yang besar dan terdiri dari lima lantai manun demikian dingding temboknya
sudah mulai pecah-pecah dan bahkan ada yang sampai ngelupas, selain itu cat
temboknya yang mulai memudar sehingga kondisinya sudah mulai
menghawatirkan orang yang menempatinya. Bangunan berwarna biru tersebut
dikelilingi oleh halaman yang cukup luas. Kondisi Rusun saat peneliti kunjungi
tampak sepi, tidak banyak orang yang lalu lalang di sekitar Rusun. Rusun
Jemundo ini tidak semuanya dihuni oleh komunitas Syi’ah dari Sampang
melainkan ada beberapa warga merupakan penduduk yang menyewa Rusun
tersebut. Memasuki kawasan Rusunawa, aktivitas penghuni terlihat tidak telalu
ramai, hanya beberapa aktivitas pengungsi, yaitu ibu-ibu yang sedang mencuci
baju dan bapak-bapak yang sedang berbincang-bincang santai.
selebihnya berada di Gedung A.
1hubungan sosial antara warga yang bukan
pengungsi dengan warga pengungsi Syiah juga nampak harmonis. Sementara
itu, untuk aktivitas keagamaan seperti mengaji dan belajar anak-anak,
pengungsi Syi’ah selalu menggunakan lantai 5 atau terkadang juga di lokasikan
perkiran sepeda motor bagian bawah.
Para pengungsi Syi’ah masing-masing menempati kamar berukuran
6x6 meter yang digunakan untuk ruang kumpul keluarga, ruang tamu, dan
bahkan termasuk dapur, dan kamar mandi. Sementara untuk kebutuhan MCK
sudah tersedia fasilitas air yang menggunakan pompa air, meski terkadang
sering macet airnya. Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti
sandang dan pangan warga Syiah masih mendapatkan bantuan dari Pemerintah
Daerah Jawa Timur serta BPBD setempat. Banyak warga yang mengeluhkan
ingin segera kembali ke kampung halamannya di Sampang, namun demi alasan
keamanan sampai saat ini terhitung lima tahun sudah mereka belum juga bisa
kembali ke kampung halaman mereka masing-masing. kebanyakan dari mereka
sudah pasrah dan menyerahkan urusan ini kepada pemerintah untuk mencari
solusi terbaiknya.
2Rusun Jemundo Puspa Agro berada di komplek Pasar Induk Puspa
Agro yang secara administratif beralamat di Jl. Sawunggaling 177–183
Jemundo, Taman Sidoarjo. Di dalam komplek Puspa Agro terlihat bangunan
1
Romel Masykuri dkk., Laporan mini reset
“mengungkap Penglaman Komunitas Syiah
Sampang di Pengungsian”
Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya
(februari, 2017)
2
yang megah di sekitar Rusunawa, mulai dari pasar, laboratorium klinis, balai
pertemuan, perkantoran, mini market, dan area wisata agro. Di komplek Puspa
Agro ini terdapat dua Rusun, yang satu warna biru dan satunya lagi berwarna
merah. Rusun yang ditempati komunitas Syiah Sampang berwana biru,
memiliki lima lantai yang terdiri dari 76 kamar di blok A dan 76 kamar di blok
B, jadi total kamar berjumlah 152 kamar. Berdasarkan informasi yang kami
terima tidak semua kamar ditempati oleh komunitas Syi’ah yang berjumlah 82
KK. kurang lebih hanya 76 kamar, yang lain ditempati oleh penyewa, sebagian
juga ditempati pengungsi WNA dari Timur Tengah. Barulah setelah
meletusnya konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Rusun ini digunakan
sebagai tempat relokasi atau pengungsian bagi warga Syiah yang sebelumnya
menghuni GOR Sampang. Para pengungsi mulai menghuni Rusun ini pada
hari Kamis, 20 Juni 2013.
32.
Keadaan Pengungsi di Rusun
Pada tahun pertama mengungsi, Pemprov Jatim memberikan bantuan
berupa nasi yang dimasak oleh Tim Taruna Siaga Bencana (TAGANA).
Kurang lebih selama satu tahun komunitas Syi’ah menerima bantuan nasi
tersebut. Namun demikian, bantuan nasi ini terkadang abai terhadap anak-anak
dan balita sebagai mana makanan yang disediakan tidak sesuai dengan gizi
yang seharusnya diberikan terhadapanya. Bahkan, terkadang kualitas makanan
yang diberikan tidak layak. Akibatnya, kurang lebih selama tahun-tahun
3
pertama mengungsi, komunitas Syiah Sampang berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.
4Ibu Hayati juga mengungkapkan bahwa nasi bungkus
yang diberikan terkadang berasnya apek.
5Dan juga dulu awal komunitas Syi’ah mengungsi Pemprov Jatim
menyediakan layanan kesehatan gratis, akan tetapi penyediaan layanan
kesehatan tersebut hanya bersifat sementara. Penuturan mereka cukup kesulitan
untuk mengakses fasilitas kesehatan karena persoalan administratif.
6Bantuan
nasi dari Tim Tagana dirasa tidak efektif lagi untuk jangka panjang. Akhirnya
Pemprov Jatim memberikan bantuan berupa Tunjangan Hidup (Jadup) sebesar
Rp 709.000,00 dan bantuan nasi dari TAGANA dihentikan. Suwisyono,
Kasubag
Pencegahan
Konflik
Bakesbangpol
Provinsi
Jawa
Timur
menyebutkan bahwa alokasi bantuan Jadup tersebut diambil dari dana APBD
karena merupakan kebijakan Pemprov Jawa Timur.
7Berdasarkan penjelasan komunitas Syi’ah di penampungan, saat ini
sejumlah 332 jiwa menjadi pengungsi terdiri dari 154 anak-anak usia sekolah
dan 9 usia batita (0-4 th). Dan saat penulis berada di lokasi, terhitung hanya
sekitar 234 jiwa yang menetap di rusun lima lantai tersebut. Sementara Yang
lain tinggal bersama keluarganya karena menikah dengan orang luar (non
4
Iklil,
Wawancara
, Sidoarjo, 21 Juli 2017. Dan juga, Laporan mini reset
“Mengungkap
Penglaman Komunitas Syiah Sampang di Pengungsian”
Magister Ilmu Politik
Universitas Airlangga Surabaya (februari, 2017)
5
Hayati
Wawancara
, Sidoarjo, 21 Juli 2017.
6
Rohma,
Wawancara
, Sidoarjo, tanggal 21 juli 2017.
7
Romel Masykuri dkk., Laporan mini reset
“mengungkap Penglaman Komunitas Syiah
pengungsi),. “Ada juga yang bekerja di Malaysia sehingga ketika konflik pecah
dan komunitas Syi’ah di ungsikan mereka yang menjadi TKI kembali lagi
menjadi TKI, ada juga yang tinggal bersama orang tuanya karena mengurus
orang tua yang sudah tua.”
8Selama hidup di pengungsian, komunitas Syiah Sampang tetap
berusaha untuk melanjutkan kehidupan sebagaimana mestinya. Mereka hidup
dalam keadaan bimbang, pasrah akan nasib serta masa depan mereka.
Terkadang saat hujan turun komunitas Syi’ah merasa takut dan hawatir
dingding bangunan tiba-tiba roboh ketika di timpa hujan dan angin yang
kencang yang memang dingding tersebut sudah mulai menghawatirkan
kondisinya. Namun demikian komunitas Syi’ah Sampang yang hampir
memasuki tahun ketujuhnya dapat hidup berdampingan dalam kehidupan
sehiri-harinya, baik dengan sesama komunitasnya maupun dengan penduduk
sekitar. Namun mereka tetap menginginkan untuk segera pulang ke Sampang.
Orang tua dan anak-anak menginginkan untuk dapat segera pulang ke
Sampang, hidup dengan damai, dan melakukan aktivitasnya seperti dahulu.
Harapan untuk pulang masih mengebu-ngebu dalam hati mereka sampai
sekarang.
Selain belum adanya kepastian dan jaminan keamanan para pengungsi
untuk pulang menyebabkan para pengungsi merasa takut untuk kembali ke
Sampang meskipun mayoritas pengungsi ingin pulang. Permasalahan lain yang
8
dialami oleh pengungsi hingga saat ini adalah belum adanya kejelasan akan
nasib harta benda mereka yang telah mereka tinggalkan di Sampang dimana
para warga disana memiliki rumah dan tanah serta harta benda namun tidak
legal secara hukum melainkan kepemilikan sejak dahulu secara turun temurun
sehingga menyebabkan banyak sekali rumah dan tanah dari para pengungsi
yang diambil dan ditempati oleh orang lain sehingga tuntutan para pengungsi
Syi’ah Sampang kepada pemerintah terus dilakukan namun hingga saat ini
tidak ada kejelasan akan harta mereka.
Tekanan-tekanan yang terjadi menyebabkan banyak konflik yang ada
dalam diri para pengungsi konflik sampang ini yang menyebabkan mereka
harus terus beradaptasi dengan apa yang terjadi atau bahkan menerima kondisi
apapun yang mereka alami sehingga dibutuhkan adanya cara bagi para
pengungsi untuk terus bertahan dalam kondisi penuh dengan tekanan dan
ketidakpastian tersebut.
B.
Usaha Bertahan di Pengungsian
maka dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tidak dapat terpenuhi dengan
baik seperti sebelum terjadinya konflik.
Mau tidak mau korban konflik yang bertempat tinggal di pengungsian
harus berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dan ertahan hidup, meskipun melihat kondisi di tempat pengungsian
yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencari penghasilan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun mereka tetap berupaya
semaksimal mungkin karena banyaknya kebutuhan.
Banyak hal yang membuat mereka tetap semangat dan bisa bertahan
hingga sekarang namun demikian awal dipindahkannya mereka ke Rusun
Jemundo, tidak banyak yang bisa mereka lakukan, dalam kegiatan sehari-harinya,
mereka hanya bercengkraman dengan komunitasnya.
Namun, belakangan Tajul yang
telah di lepaskan dari penjara mulai melakukan aktifitas seperti beternak kambing di
sebelah rusun dan menanam sayyur-sayuran dan bahkan berternak lele untuk mengisi
waktu luangnya dan untuk kebutuhan sehari-hari mereka.
Selain itu, tajul yang merupakan salah satu pimpinann komunitas Syi’ah
memulai memimpin kegiatan keagamaan bersama pengungsi di Rusun, biasanya
kegiatan dipusatkan di lantai lima. "Setiap malam ada tadarus Al-qur’an bersama.
Sedangkan pengajian rutin biasanya digelar setiap malam Jumat."
9Dalam
kegiatan rutin tersebut Tajul sering menasehati agar komunitas Syi’ah selalu tegar
dalam menghadapi hal ini karena sejatinya manusia hidup didunia ini hanya akan