No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012
KESENIAN JAIPONGAN:
SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK
TAHUN 1970-2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Pada Jurusan Pendidikan Sejarah
Disusun oleh: Gressandy Putra
(0605767)
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012
KESENIAN JAIPONGAN:
SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK
TAHUN 1970-2010
Oleh Gressandy Putra
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
© Gressandy Putra 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012
LEMBAR PENGESAHAN
KESENIAN JAIPONGAN
SEBUAH REVOLUSI DALAM SENI GERAK TAHUN 1970-2010
Oleh: Gressandy Putra
0605767
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH: Pembimbing I
Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum NIP. 196005291987032002
Pembimbing II
Drs. Ayi Budi Santosa, M.Si NIP. 196303111989011001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
No. Daftar FPIPS: 1218/UN.40.2.3/PL/2012
ABSTRAK
vii
Gressandy Putra, 2013
Kesenian Jaipongan
DAFTAR ISI
ABSTRAK……… i
KATA PENGANTAR………. ii
UCAPAN TERIMAKASIH……… iii
DAFTAR ISI……… vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………... 1
1.2.Rumusan dan Batasan Masalah………...5
1.3.Tujuan Penelitian………... 5
1.4.Manfaat Penelitian………... 6
1.5.Struktur Organisasi Skripsi………... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kesenian Tradisional dan Modern………... 9
2.2.Seni Pertunjukan………... 13
2.3.Seniman dan Kreativitas………... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Metode dan Teknik Penelitian………... 25
3.1.1. Metode Penelitian………... 25
3.1.2. Teknik Penelitian………... 20
3.2.Persiapan Penelitian………... 32
3.2.1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian…………... 32
3.2.2. Penyusunan Rancangan Penelitian………... 33
viii
Gressandy Putra, 2013
Kesenian Jaipongan
3.2.4. Proses Bimbingan/Konsultasi………... 34
3.3.Pelaksanaan Penelitian... 35
3.3.1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber... 35
3.3.1.1. Sumber Tertulis... 35
3.3.1.2. Sumber Lisan (Wawancara)... 36
3.3.2. Kritik Sumber... 39
3.3.2.1. Kritik Eksternal... 40
3.3.2.2. Kritik Internal...42
3.3.3.Interpretasi (Penafsiran Fakta)...44
3.4.Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)... 45
BAB IV PERKEMBANGAN KESENIAN JAIPONGAN TAHUN 1970-2010 4.1.Perkembangan Awal Kesenian Jaipongan di Jawa Barat... 47
4.1.1. Kondisi Kesenian di Jawa Barat Menjelang Lahirnya Jaipongan... 47
4.1.2. Kreasi Awal Kesenian Jaipongan... 51
4.1.3. Konsep Gerak, Musik, dan Busana, Dalam Jaipongan... 58
4.1.3.1. Konsep Gerak (Koreografi)... 59
4.1.3.2. Musik Pengiring... 62
4.1.3.3. Busana... 66
4.1.4. Peranan Gugum Gumbira Dalam Penciptaan Jaipongan... 68
4.2.Peran Para Seniman Sunda Dalam Mengembangkan Dan Melestarikan Kesenian Jaipongan... 70
4.3.Tanggapan masyarakat terhadap Kesenian Jaipongan hingga akhirnya dapat diterima secara luas... 74
ix
Gressandy Putra, 2013
Kesenian Jaipongan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1.Kesimpulan………. 79
5.2.Rekomendasi……….. 80
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki
keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset
yang sangat penting dalam perkembangan pariwisata daerah. Berbagai macam
kesenian berkembang di Jawa Barat di antaranya, seni pertunjukan Wayang
Golek, Jaipongan, tarian Ketuk Tilu, seni bela diri Pencak Silat, dan lain-lain.
Kesenian-kesenian tradisional yang pada awalnya merupakan bagian dari sebuah
ritual atau upacara adat, telah banyak beralih fungsi menjadi seni pertunjukan
yang lebih mementingkan hiburan dan komersil tetapi tidak menghilangkan
unsur-unsur atau nilai-nilai tradisi yang ada sebelumnya. Salah satu contoh adalah
seni tari Jaipong atau Jaipongan. Kesenian ini merupakan perkembangan dari tari
tradisi Ketuk Tilu yang berkembang di daerah pantura Jawa Barat (Subang,
Karawang, Bekasi) yang pada awalnya tarian Ketuk Tilu merupakan bagian dari
upacara adat masyarakat setempat.
Berbicara Jaipongan tidak akan lepas dari sosok seorang Gugum Gumbira,
Ia adalah tokoh yang mengembangkan tarian rakyat atau tari tradisi Ketuk Tilu
menjadi sebuah tarian baru yang orisinil dengan tidak menghilangkan nilai-nilai
tradisi yang terkandung di dalamnya. Perhatiannya pada kesenian rakyat (tari
Ketuk Tilu, Kliningan dan Pencak Silat) menjadikannya mengetahui dan mengenal
betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada kesenian-kesenian
tersebut. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak
mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk
mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Jaipongan). Dapat dikatakan bahwa Jaipongan
merupakan tarian kreasi baru yang tidak berpijak pada pola tradisi dan aturan
yang sudah baku.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
2 pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room Dance, yang biasanya dalam
pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan
pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk
Tilu/Doger/Tayub). Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau acara komersil. Keberadaan ronggeng
dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum
pamogoran, misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat
Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni
pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana,
seperti waditra (alat musik) yang meliputi rebab, kendang (gendang), dua buah
kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tariannya
yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai
cerminan kerakyatan.
Pada awalnya kehadiran Jaipongan ini disebut Ketuk Tilu perkembangan,
karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu, kemudian tarian
itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan. Sebelum Jaipongan terbentuk,
Gugum Gumbira mulai merekonstruksi semua hal yang telah dilihatnya untuk
selanjutnya seluruh rekonstruksi itu menjadi sebuah karya. Beliau memiliki tujuan
yang jelas yaitu untuk mengangkat seni tradisi agar lestari dan digemari oleh
generasi muda dan hasil karyanya nanti bisa bermanfaat. Dalam proses
penggarapannya dimulai dengan membuat kerangka dasar dari struktur lagu yang
biasa terdapat pada lagu-lagu Ketuk Tilu. Ditemukan suatu bentuk pengulangan
terus menerus pada penyajian lagu tersebut. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak
menampilkan gerakan-gerakan yang kemudian terus berulang lagi sehingga
memberikan kesan monoton (Rusliana, 2008 : 67). Berdasarkan hal itu, dalam tari
Jaipongan tercipta suatu gerakan dan iringan musik yang lebih dinamis dengan
memasukkan unsur-unsur yang ada dalam Pencak Silat, Topeng Banjet serta
Kliningan Bajidoran.
Kehadiran Kesenian Jaipongan adalah sebuah fenomena menarik dan
penting dalam perkembangan khazanah tari Sunda dan itu tak hanya mendasar
3 kemudian tarian ini membuat fenomena tersendiri atas sambutan masyarakat
terhadapnya (Imran, Pikiran Rakyat 2 April 2006). Akhir tahun 1970-an sebagai
awal kemunculannya Jaipongan langsung menjadi trend yang fenomenal.
Masyarakat melihat Jaipongan sebagai seni tari yang menarik karena di dalam
Jaipongan tidak terdapat aturan-aturan yang mengikat seperti pada tarian Ketuk
Tilu yang dianggap sakral oleh sebagian masyarakat karena bagian dari sebuah
upacara ritual. Dengan melihat respon yang begitu besar dari masyarakat,
Jaipongan tidak hanya menjadi bagian dari tari pergaulan/tari rakyat tetapi
menjadi sebuah seni pertunjukan yang lebih mementingkan segi komersil dan
hiburan. Pada saat ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas
keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang
berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka
disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi
kesenian ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari
Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat
Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang golek, degung,
genjring/terbangan, kecapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun
pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong
(http://www.banjar-jabar.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=1832).
Satu hal yang menjadi permasalahan saat itu, yakni ketika Jaipongan
mendadak tidak disukai oleh sejumlah pejabat Provinsi Jawa Barat pada masa
Pemerintahan Gubernur Aang Kunaefi (1975-1985) karena dianggap terlalu erotis.
Istilah 3G (Goyang, Geol, Gitek) ketika itu dianggap sebagai penyebab dari
erotisme dalam Jaipongan. Gerakan 3G yang menjadi ciri khas dari Jaipongan ini
menimbulkan pro dan kontra bukan karena tariannya akan tetapi karena Penarinya
yang menampilkan gerakan-gerakan erotis. Namun dengan adanya hal itu, justru
membuat orang semakin ingin mengetahui tentang Jaipongan. Masyarakat mulai
melihat akan kedinamisan karya tari kreasi baru ini dan mulai mencoba
mempelajarinya (Rusliana, 2008 : 70).
Sebagai hasil karya, tentunya kesenian tradisional memiliki daya tarik
4 mengalami tingkat kepopuleran yang signifikan (terlihat) bahkan tidak jarang pula
dikemudian hari bisa pudar dan musnah. Hingga tulisan ini dibuat, Jaipongan
termasuk dalam kategori salah satu kesenian rakyat yang masih tetap hidup di
Jawa Barat walaupun secara kuantitas keberadaannya terus mengalami penurunan.
Untuk itu perlu dikaji hal apa yang menghambat eksistensi dari kesenian
Jaipongan ini serta hal yang menyebabkan kesenian ini tetap eksis seiring dengan
perkembangannya.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana upaya pihak
terkait atau masyarakat setempat dalam mengembangkan dan melestarikan
nilai-nilai lokal dari kesenian tradisional yang dimilikinya hingga kesenian tersebut
tetap eksis dalam keadaan zaman yang terus berubah. Untuk memfokuskan suatu
kajian dalam rangka penelitian sejarah, dan untuk lebih memfokuskan suatu
penelitian maka harus dibatasi dalam angka tahun. Penelitian ini penulis fokuskan
pada tahun 1970-2010. Tidak ada alasan khusus mengenai pembatasan tahun
dalam kajian ini, namun untuk melihat dinamika perkembangan yang terjadi pada
kesenian tradisional Jaipongan ini dimana tahun 1970-1980 merupakan tahun
awal lahirnya kesenian Jaipongan. Penelitian ini penulis batasi hingga tahun 2010,
kesenian ini dianggap sebagai ikon seni pertunjukan tradisional khas Provinsi
Jawa Barat dan merupakan tahun dimana arus globalisasi membawa perubahan
dalam gerak ataupun melahirkan genre-genre baru dalam Jaipongan..
Satu hal bahwa dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini penulis juga
tidak hanya sebatas menggambarkan kurun waktu di atas, namun penulis juga
mengamati dan menganalisis serta menuliskan beberapa hal atau catatan penting
yang berkaitan dengan fenomena perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa
Barat sejak lahir, perkembangannya, kemunduran serta bagaimana upaya
pelestarian pada masa sekarang ini. Dengan kata lain bahwa dalam ilmu sejarah
waktu demi waktu merupakan satu hal yang saling berkaitan dan menentukan
dalam suatu peristiwa fenomena seperti halnya dalam perkembangan kesenian
5 Berdasarkan alasan di atas tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian lebih dalam, penulis mengambil judul “Perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat tahun 1970-2010 (Suatu Tinjauan Historis)”
1.2. Rumusan dan Batasan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka untuk memudahkan
dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan, maka penulis
mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu “Bagaimana perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat pada tahun
1970-2010?”. Mengingat rumusan masalah tersebut begitu luas, maka untuk
memudahkan dalam melakukan penelitian dan mengarahkan dalam pembahasan,
maka penulis mengidentifikasi rumusan masalah tersebut kedalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana awal perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat?
2. Bagaimana peran para seniman sunda dalam mengembangkan dan
melestarikan Kesenian Jaipongan?
3. Bagaimana Kesenian Jaipongan akhirnya dapat diterima oleh masyarakat
khususnya masyarakat Jawa Barat?
4. Nilai-nilai tradisi apa saja yang masih melekat dalam kesenian Jaipongan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan merupakan hal utama yang menyebabkan seseorang melakukan
tindakan. Begitupun dalam penulisan ini memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan atau penelitian ini mencakup dua aspek yakni
tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bermaksud untuk memperoleh
informasi dan pelajaran yang berharga dari peristiwa sejarah dimasa lampau agar
menjadi pijakan dalam melangkah di masa depan. Adapun tujuan khusus dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui alasan mengapa tari Jaipongan yang
merupakan kesenian khas daerah Jawa Barat masih tetap eksis dan digemari oleh
masyarakat luas bahkan dikenal sampai ke luar negeri. Ada beberapa tujuan yang
6 1. Mendeskripsikan keresahan yang terjadi pada awal perkembangan kesenian
Jaipongan di Jawa Barat Tahun 1970-1980.
2. Kemudian menjelaskan peran para seniman tari sunda dalam
mengembangkan dan melestarikan Jaipongan.
3. Mendeskripsikan Kesenian Jaipongan akhirnya dapat digemari dan diterima
oleh masyarakat sebagai suatu hasil karya yang baru.
4. Menjelaskan Nilai-nilai tradisi apa saja yang masih ada dan melekat dalam
kesenian Jaipongan.
1.4. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian di atas diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat dan kontribusi dalam mengangkat kesenian Jaipongan sebagai kesenian
tradisional atau kesenian khas daerah Jawa Barat dilihat dari sisi sejarah serta
memberikan gambaran yang jelas bagaimana perjalanan seorang Gugum Gumbira
dalam mengolah dan melahirkan suatu karya dengan memanfaatkan bahan-bahan
yang telah ada, kemudian diramu menjadi sebuah karya baru yang original. Selain
itu dengan penelitian ini diharapkan pada akhirnya nanti dapat menambah
wawasan guna mendapat nilai tambah pengetahuan di bidang studi masalah
sejarah, seni dan budaya dalam upaya untuk melestarikan seni budaya tradisional
yang semakin lama semakin tersisih oleh pengaruh-pengaruh budaya luar.
Adapun manfaat lain yang ingin diperoleh peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagi seniman, penulisan skripsi ini dapat mengangkat eksistensinya sebagai
penggiat seni di Tatar Sunda, agar senantiasa melestarikan kesenian yang
memiliki nilai historis sehingga kesenian tradisional Sunda tidak lantas
luntur tergerus perkembangan zaman. Di samping itu, skripsi ini dapat
dijadikan sumber tertulis untuk mempermudah mereka yang akan
melakukan penelitian lebih lanjut.
2. Bagi sekolah, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pengembangan
ekstrakurikuler bidang seni sebagai sarana dalam mengembangkan minat
7 1.5. Struktur Organisasi Skripsi
Agar penulisan skripsi ini tersusun secara sistematis, maka penulisan skripsi
ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, pada bab ini, penulis berusaha untuk memaparkan dan
menjelaskan mengenai latar belakang masalah yang menjadi alasan penulis untuk
melakukan penelitian dan penulisan skripsi, rumusan masalah yang menjadi
beberapa permasalahan untuk mendapatkan data-data temuan di lapangan,
pembatasan masalah guna memfokuskan kajian penelitian sesuai dengan
permasalahan utama, tujuan penelitian dari penelitian yang dilakukan, metode dan
tekhnik penelitian serta struktur organisasi dalam penyusunan skripsi.
Bab II Tinjauan Kepustakaan, disini akan dijabarkan mengenai daftar
literatur yang dipergunakan yang dapat mendukung dalam penulisan terhadap
permasalahan yang dikaji. Pada bagian bab kedua, berisi mengenai suatu
pengarahan dan penjelasan mengenai topik permasalahan yang penulis teliti
dengan mengacu pada suatu tinjauan pustaka melalui suatu metode studi
kepustakaan, sehingga penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi
bahan acuan dalam penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi
pembahasan yang kami uraikan berdasarkan data-data temuan di lapangan.
Bab III Metodologi Penelitian, dalam bab ini mengkaji tentang
langkah-langkah yang dipergunakan dalam penulisan berupa metode penulisan dan teknik
penelitian yang menjadi titik tolak penulis dalam mencari sumber serta data-data,
pengolahan data dan cara penulisan. Dalam bab ini juga, penulis berusaha
memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian,
metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah-langkah serta
tahapan-tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua
prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian
berakhir harus diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang
akan dikaji.
Bab IV Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam Seni Gerak, pada bab ini, yaitu
8 data-data temuan di lapangan. Data-data temuan tersebut penulis paparkan secara
deskriptif untuk memperjelas maksud yang terkandung dalam data-data temuan
tersebut, khususnya baik bagi saya sebagai penulis dan umumnya bagi pembaca.
Penulis berusaha mencoba mengkritisi data-data temuan di lapangan dengan
membandingkannya kepada bahan atau sumber yang mendukung pada
permasalahan yang penulis teliti. Selain itu juga dalam bab ini dipaparkan pula
mengenai pandangan penulis terhadap permasalahan yang menjadi titik fokos
dalam penelitian yang penulis lakukan.
Bab V Kesimpulan, bab terakhir ini berisi suatu kesimpulan dari
pembahasan pada bab empat dan hasil analisis yang penulis lakukan merupakan
kesimpulan secara menyeluruh yang menggambarkan perkembangan Kesenian
Jaipongan Di Jawa Barat Tahun 1970-2010 berdasarkan rumusan masalah yang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas secara rinci mengenai langkah, prosedur atau
metodologi penelitian yang dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan fakta yang
berkaitan dengan judul skripsi “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi Dalam
Seni Gerak Tahun 1970-2010”. Penulis mencoba untuk memaparkan berbagai
langkah yang digunakan dalam mencari sumber-sumber, cara pengolahan sumber,
analisis dan cara penelitiannya.
Pada bagian pertama penulis akan menjelasakan metode dan teknik
penelitian secara teoritis sebagai landasan dalam pelaksanaan penelitian yang
penulis lakukan. Pada bagian kedua akan dijelaskan mengenai tahapan-tahapan
persiapan dalam pembuatan skripsi, yaitu penentuan dan pengajuan tema,
penyusunan rancangan penelitian, mengurus perizinan, menyiapkan perlengkapan
penelitian, dan proses bimbingan. Bagian ketiga berisi tentang pelaksanaan
penelitian yang dimulai dari pengumpulan data (heuristik) baik sumber tertulis
maupun sumber lisan, kritik sumber, dan interpretasi. Pada bagian terakhir akan
dipaparkan mengenai proses penulisan skripsi atau historiografi sebagai bentuk
laporan tertulis dari penelitian sejarah yang telah dilakukan. Berdasarkan uraian
tersebut, penulisan dan penyusunan skripsi ini dijabarkan menjadi tiga langkah
kerja penelitian sejarah. Ketiga langkah tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu
persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan laporan hasil penelitian.
3.1.Metode dan Teknik Penelitian 3.1.1. Metode Penelitian
Metode sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau teknik untuk mencapai atau
menggarap sesuatu secara efektif dan efisien. Metode merupakan salah satu ciri
kerja ilmiah. Berbeda dengan metodologi yang lebih mengarah kepada kerangka
referensi, maka metode lebih bersifat praktis, ialah memberikan petunjuk
mengenai cara, prosedur, dan teknik pelaksanaan secara sistematik. Metodologi
menggunakan pendekatan multidisipliner. Metode historis adalah suatu proses
menguji, menjelaskan, dan menganalisis (Gosttchlak, 1985 : 32). Pernyataan
tersebut sama dengan pendapat Garragan bahwa metode sejarah merupakan
seperangkat aturan yang sistematis dalam mengumpulkan sumber sejarah secara
efektif, melakukan penilaian secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil
yang dicapai dalam bentuk tulisan (Abdurahman, 1999: 43). Di samping itu
metode sejarah yakni suatu proses pengkajian, penjelasan, dan penganalisaan
secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Sjamsuddin, 2007:
17-19).
Menurut Kuntowijoyo (2003: xix), metode sejarah merupakan petunjuk
khusus tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah. Menurut Sukardi
(2003: 203) penelitian sejarah adalah salah satu penelitian mengenai pengumpulan
dan evaluasi data secara sistematik, berkaitan dengan kejadian masa lalu untuk
menguji hipotesis yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab, pengaruh
atau perkembangan kejadian yang mungkin membantu dengan memberikan
informasi pada kejadian sekarang dan mengantisipasi kejadian yang akan datang.
Abdurrahman (1999: 43) metode sejarah dalam pengertian yang umum adalah
penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya
dari perspektif historis. Secara lebih singkat Richard F. Clarke mengartikan
metode sejarah sebagai sistem prosedur yang benar untuk mencapai kebenaran
sejarah. Beberapa ciri khas metode sejarah adalah:
1. Metode sejarah lebih banyak menggantungkan diri pada data yang diamati
orang lain di masa-masa lampau.
2. Data yang digunakan lebih banyak bergantung pada data primer
dibandingkan dengan data sekunder. Bobot data harus dikritik, baik secara
internal maupun eksternal.
3. Metode sejarah mencari data secara lebih tuntas serta menggali informasi
yang lebih tua yang tidak diterbitkan ataupun yang tidak dikutip dalam
bahan acuan yang standar.
4. Sumber data harus dinyatakan secara difinitif, baik nama pengarang, tempat,
harus dibenarkan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang tidak pernah
berhubungan (Nazir, 2003: 48-49).
Kesimpulan yang dapat diambil penulis dari beberapa pengertian tersebut
adalah bahwa metode sejarah merupakan proses penelitian terhadap
sumber-sumber masa lampau yang dilakukan secara kritis-analitis dan sistematis dengan
akhir kontruksi imajinasi yang disajikan secara tertulis.
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa metode
sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan
berasal dari masa lampau sehingga perlu di analisis terhadap tingkat kebenarannya
agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa dalam penelitian sejarah, metode historis merupakan suatu
metode yang digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa atau permasalahan pada
masa lampau secara deskriptif dan analitis. Oleh karena itu, penulis menggunakan
metode ini karena data dan fakta yang dibutuhkan sebagai sumber penelitian
skripsi ini berasal dari masa lampau. Dengan demikian, metode sejarah
merupakan metode yang paling cocok dengan penelitian ini karena data-data yang
dibutuhkan berasal dari masa lampau khususnya mengenai fenomena sejarah yang
terjadi pada perkembangan Kesenian Jaipongan di Jawa Barat mulai dari lahir
serta perkembangannya pada tahun 1970-2010.
Wood Gray (Sjamsuddin, 2007: 89) mengemukakan ada enam langkah
dalam metode historis, yaitu :
1. Memilih suatu topik yang sesuai.
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik.
3. Membuat catatan tentang apa saja yang di anggap penting dan relevan
dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung.
4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik
sumber).
5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola
yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan
6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti
sejelas mungkin.
Pendapat lain dikemukakan oleh Kuntowijoyo (1995: 1) bahwa dalam
melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan yang harus ditempuh,
yaitu:
1. Pemilihan topik
2. Pengumpulan sumber
3. Verifikasi (kritik sejarah atau keabsahan sumber)
4. Interpretasi: analisis dan sintesis
5. Penulisan
Sementara itu, metode sejarah menurut Ernst Bernsheim yang terdapat
dalam buku Ismaun (2005 : 32) mengungkapkan bahwa ada beberapa langkah
yang dilakukan dalam mengembangkan metode historis. Langkah yang harus
ditempuh dalam melakukan penelitian historis tersebut yakni :
1. Heuristiek, yakni mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber
sejarah. Heuristik merupakan salah satu tahap awal dalam penulisan sejarah
seperti mencari, menemukan dan mengumpulkan fakta-fakta atau
sumber-sumber yang berhubungan dengan perkembangan kesenian Jaipongan di
Jawa Barat tahun 1970-2010. Dalam tahap ini penulis memperoleh data-data
yang berhubungan dengan permasalahan penulisan baik berupa sumber
tertulis maupun sumber lisan di antaranya Bapak Gugum Gumbira selaku
pencipta Kesenian Jaipongan, Bapak Edi Mulyana dan Bapak Lalan Ramlan
selaku orang yang bergiat dalam seni tari, Ibu Itje Trisnawati selaku penari
dan murid langsung Bapak Gugum Gumbira.
2. Kritiek, yakni menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah. Tujuan
yang hendak dicapai dalam tahap ini adalah untuk dapat menilai
sumber-sumber yang relevan dengan masalah yang dikaji dan membandingkan
data-data yang diperoleh dari sumber-sumber primer maupun sekunder dan
disesuaikan dengan tema atau judul penulisan skripsi ini. Penilaian terhadap
ekstern. Kritik yang penulis lakukan lebih cenderung melakukan kritik
terhadap beberapa sumber tertulis di antaranya: Buku karya Endang
Caturwati yang berjudul Seni dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang
Pertunjukan Tari Sunda, Skripsi karya Edi Mulyana yang berjudul Proses
Kreatif Gugum Gumbira dalam Penciptaan Kesenian Jaipongan, Buku karya
Tati Narawati dan Soedarsosno Tari Sunda. Dulu, Kini, dan Esok, serta
sebuah Tesis karya Sumantri yang berjudul Asal-usul dan perkembangan
Jaipongan dewasa ini di Jawa Barat.
3. Aumassung, yakni Penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah yang dipunguti
dari dalam sumber sejarah. Fakta sejarah yang ditemukan tersebut kemudian
dihubungkan dengan konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang
dikaji yaitu mengenai perkembangan kesenian Jaipongan di Jawa Barat.
4. Dahrstellung, yakni penyajian cerita yang memberikan gambaran sejarah
yang terjadi pada masa lampau yang penulis wujudkan dalam bentuk Skripsi
dengan judul “Perkembangan Kesenian Jaipongan Di Jawa Barat Tahun 1970-2010 (Suatu Tinjauan Historis)”.
Agar metode sejarah memiliki makna yang utuh dan komprehensif, maka
dalam melaksanakan penelitian sejarah seyogyanya memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Dalam historiografi diperlukan pendekatan fenomenologis yang didasarkan
atas pengalaman dan pemahaman pelaku sendiri.
2. Pengungkapan yang bersifat reflektif, sehingga dimungkinkankan tetap
adanya kesadaran akan subjektivitas diri sendiri, seperti kepentingan,
perhatian, logika, metode, serta latarbelakang historisnya.
3. Bersifat komprehensif, sehingga memiliki relevansi terhadap realitas sosial
dari pelbagai tingkat dan ruang lingkup.
4. Perlu pula memiliki relevansi terhadap kehidupan praktis (Kartodirdjo,
1992: 236).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pada dasarnya terdapat suatu
langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ini adalah mengumpulkan sumber,
menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk karya tulis ilmiah.
Untuk mempertajam analisis dalam penulisan maka penulis menggunakan
pendekatan interdisipliner. Arti dari pendekatan interdisipliner disini adalah suatu
pendekatan yang meminjam konsep pada ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi
dan antropologi. Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosiologi seperti status
sosial, peranan sosial, perubahan sosial, mobilitas sosial dan lainnya. Sedangkan
konsep-konsep dari ilmu antropologi dipergunakan dalam mengkaji mengenai
budaya pada masyarakat Jawa Barat untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai
budaya yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Penggunaan berbagai
konsep disiplin ilmu sosial lain ini memungkinkan suatu masalah dapat dilihat
dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah yang akan dibahas
baik keluasan maupun kedalamannya semakin jelas (Sjamsuddin, 2007: 201).
3.1.2. Teknik Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi
kepustakaan, wawancara dan dokumentasi. Studi kepustakaan ini dilakukan
dengan membaca dan mengkaji buku-buku serta artikel yang dapat membantu
penulis dalam memecahkan permasalahan yang dikaji yaitu mengenai kesenian
Jaipongan. Berkaitan dengan ini, dilakukan kegiatan kunjungan pada
perpustakaan-perpustakaan di Bandung yang mendukung dalam penulisan ini.
Setelah berbagai literatur terkumpul dan cukup relevan sebagai acuan penulisan
maka penulis mulai mempelajari, mengkaji dan mengidentifikasikan serta
memilih sumber yang relevan dan dapat dipergunakan dalam penulisan.
Teknik berikutnya yang dilakukan penulis dalam penelitian skripsi ini
adalah teknik wawancara. Teknik ini merupakan teknik yang paling penting
dalam penyusun skripsi ini, karena sebagian besar sumber diperoleh melalui
wawancara. Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh sumber lisan terutama
sejarah lisan, yang dilakukan dengan cara berkomunikasi dan berdiskusi dengan
beberapa tokoh yang terlibat atau mengetahui secara langsung maupun tidak
Wawancara yang dilakukan adalah teknik wawancara gabungan yaitu
perpaduan antara wawancara terstruktur dengan wawancara tidak terstruktur.
Wawancara terstruktur atau berencana adalah wawancara yang terdiri dari suatu
daftar pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua
responden yang diwawancarai diberi pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan
tata urutan yang seragam. Sedangkan wawancara yang tidak terstruktur adalah
wawancara yang tidak mempunyai persiapan sebelumnya dari suatu daftar
pertanyaan dengan susunan kata-kata dan tata urut yang harus dipatuhi peneliti.
Wawancara ini dilakukan oleh penulis kepada orang-orang yang langsung
berhubungan dengan peristiwa atau objek penelitian, pelaku atau saksi dalam
suatu peristiwa kesejarahan yang akan diteliti dalam hal ini yaitu mengenai
kesenian Jaipongan. Penggunaan wawancara sebagai teknik untuk memperoleh
data berdasarkan pertimbangan bahwa periode yang menjadi bahan kajian dalam
penulisan ini masih memungkinkan didapatkannya sumber lisan mengenai
kesenian Jaipongan. Selain itu, narasumber (pelaku dan saksi) mengalami, melihat
dan merasakan sendiri peristiwa di masa lampau yang menjadi objek kajian
sehingga sumber yang diperoleh akan menjadi objektif. Teknik wawancara yang
digunakan erat kaitannya dengan sejarah lisan (oral history). Sejarah lisan (oral
history), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh
orang-orang yang di wawancara sejarawan (Sjamsuddin, 1996 : 78).
Kebaikan dari penggabungan antara wawancara terstruktur dan tidak
terstruktur adalah agar tujuan wawancara lebih terfokus. Selain itu agar data yang
diperoleh lebih mudah di olah dan yang terakhir narasumber lebih bebas
mengungkapkan apa saja yang dia ketahui.
Dalam teknis wawancara penulis mencoba mengkolaborasikan antara kedua
teknik tersebut, yaitu dengan wawancara terstruktur penulis membuat susunan
pertanyaan yang sudah dibuat, kemudian diikuti dengan wawancara yang tidak
terstruktur yaitu penulis memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan
pertanyaan sebelumnya dengan tujuan untuk mencari jawaban dari setiap
pertanyaan yang berkembang kepada tokoh atau pelaku sejarah. Selain kedua
mengumpulkan data baik berupa data angka maupun gambar. Dalam hal ini
dilakukan pengkajian terhadap arsip-arsip yang telah ditemukan berupa data
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mencoba memaparkan beberapa
langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian sehingga dapat menjadi
karya tulis ilmiah yang sesuai dengan tuntutan keilmuan. Langkah-langkah yang
dilakukan terbagi menjadi tiga tahapan yaitu persiapan penelitian, pelaksanaan
penelitian, dan laporan penelitian.
3.2.Persiapan Penelitian
3.2.1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal untuk memulai suatu jalannya
penelitian. Pada tahap ini penulis melakukan proses memilih dan menentukan
topik yang akan dikaji kemudian penulis melakukan upaya-upaya pencarian
sumber atau melaksanakan pra penelitian mengenai masalah yang akan dikaji baik
melalui observasi ke lapangan atau dengan mencari dan membaca berbagai
sumber literatur yang berhubungan dengan tema yang penulis kaji.
Judul yang penulis tetapkan berdasarkan ketertarikan penulis terhadap
perkembangan kesenian Jaipongan sebagai salah satu kesenian yang sangat
populer di Jawa Barat. Topik ini didapatkan oleh penulis ketika melakukan
diskusi dengan beberapa orang teman mengenai kesenian Sunda yang pernah
populer dimasa lalu. Pengetahuan tentang kesenian Jaipongan ini baru penulis
dapatkan setelah membaca buku-buku mengenai kesenian Sunda masa silam, di
antaranya dalam buku Tari Sunda Dulu, Kini dan Esok karya Tati Narwati dan
R.M Soedarsono. Minimnya pengetahuan mengenai seni tari Sunda tentu tidak
hanya dirasakan oleh penulis saja. Kondisi seperti ini membuat penulis menjadi
termotivasi untuk melakukan penelitian mengenai kesenian Sunda (khususnya
seni tari). Setelah penulis memiliki minat dengan seni tari Sunda, kemudian
penulis kembali meminta seorang teman untuk diajak berdiskusi. Seorang teman
yang memiliki pengetahuan dan kepedulian yang besar terhadap kehidupan seni
kemudian meminta saran sebaiknya bagian mana dari seni tari Sunda yang
menarik untuk dibahas, dan akhirnya setelah diskusi yang panjang penulis
menemukan sebuah topik yang mungkin akan menarik untuk dibahas, yaitu
mengenai Jaipongan yang berkembang di Jawa Barat sekitar akhir tahun 80an.
Selanjutnya penulis mengajukan judul “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi
Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” kepada Drs. Ayi Budi Santosa M.Si.
selaku wakil ketua TPPS (Tim Pertimbangan dan Penulisan Skripsi) Jurusan
Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas
Pendidikan Indonesia sebagai judul skripsi yang diseminarkan pada tanggal 15
Agustus 2010. Seminar ini dilakukan sebagai salah satu prosedur awal yang harus
dilakukan penulis sebelum melakukan penelitian.
Setelah rancangan penelitian diseminarkan dan disetujui, maka pengesahan
penelitian ditetapkan dengan surat keputusan bersama oleh TPPS dan ketua
Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI dengan No 066/TPPS/JPS/2010 tertanggal
03 September 2010 sekaligus menentukan pembimbing I yaitu Ibu Dra. Murdiyah
Winarti, M.Hum. dan pembimbing II yaitu Bapak Drs. Ayi Budi Santosa, Msi.
3.2.2. Penyusunan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan salah satu tahapan yang harus dilakukan
oleh penulis. Rancangan penelitian ini kemudian dijabarkan dalam bentuk
proposal penelitian skripsi yang diajukan kembali kepada Tim Pertimbangan
Penulisan Skripsi (TPPS) untuk dipresentasikan dalam seminar pada tanggal 13
Agustus 2010. Adapun proposal penelitian tersebut pada dasarnya berisi tentang :
1. Judul Penelitian
2. Latar Belakang Masalah
3. Rumusan Masalah
4. Tujuan Penulisan
5. Tinjauan Kepustakaan
6. Metode dan Teknik Penelitian
3.2.3. Menyiapkan Perlengkapan dan Izin Penelitian
Perlengkapan yang harus disiapkan oleh penulis dalam melakukan
penelitian adalah segala fasilitas penunjang untuk kelancaran penelitian skripsi.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, harus direncanakan rancangan penelitian
yang dapat berguna bagi kelancaran penelitian dengan perlengkapan penelitian.
Adapun perlengkapan penelitian ini antara lain:
1. Surat izin penelitian dari Pembantu Rektor I UPI Bandung,
2. Instrumen wawancara,
3. Kamera Foto, dan
4. Alat tulis.
Perlengkapan penelitian berikutnya yang sangat penting adalah surat
keputusan izin penelitian dari pihak Rektor UPI Bandung, jadwal kerja penelitian,
dana penelitian dan penunjang penelitian lainnya.
Surat keputusan izin penelitian dari pihak Rektor UPI Bandung digunakan
penulis sebagai surat pengantar yang bertujuan dan berfungsi mengantarkan atau
menjelaskan kepada suatu instansi/perorangan bahwasannya penulis sedang
melaksanakan suatu penelitian dengan harapan agar instansi/perorangan tersebut
dapat memberikan informasi data dan fakta yang penulis butuhkan selama proses
penelitian.
3.2.4. Proses Bimbingan/Konsultasi
Dalam melakukan penelitian ini penulis dibimbing oleh dua orang dosen
yang kemudian disebut dengan Dosen Pembimbing I dan II. Pada tahapan ini
mulai dilakukan proses bimbingan atau konsultasi dengan Dosen Pembimbing I
dan II. Proses bimbingan diperlukan agar penelitian yang berlangsung berjalan
dengan baik dan tidak mengalami hambatan yang berarti. Dalam proses
bimbingan ini selain menentukan teknis dari bimbingan itu sendiri, penulis juga
menerima masukan dan arahan terhadap proses penulisan skripsi ini, baik teknis
3.3.Pelaksanaan Penelitian
Tahapan ini merupakan sebuah proses yang sangat penting dalam suatu
penelitian. Melalui tahapan ini penulis memperoleh data serta fakta yang
dibutuhkan untuk penyusunan skripsi. Beberapa langkah yang harus ditempuh
dalam tahapan ini adalah sebagai berikut :
3.3.1. Heuristik atau Pengumpulan Sumber
Langkah kerja sejarawan untuk mengumpulkan sumber-sumber (sources)
atau bukti-bukti (evidences) sejarah ini disebut heuristik. Heuristik yang dalam
bahasa Jerman disebut juga dengan Quellenkunde merupakan sebuah kegiatan
awal mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah
atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007 : 86). Pada tahap ini penulis berusaha
mencari sumber-sumber yang relevan bagi permasalahan yang sedang dikaji.
Menurut Helius Sjamsuddin (1996 : 730) yang dimaksud dengan sumber sejarah
adalah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada
kita, tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan di masa lalu. Sumber sejarah berupa
bahan-bahan sejarah yang memuat bukti-bukti aktifitas manusia dimasa lampau
yang berbentuk tulisan atau cerita. Sumber tertulis berupa buku dan artikel yang
berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dan juga ditambah dengan sumber
lisan dengan menggunakan teknik wawancara kepada narasumber yang menjadi
pelaku dan juga mengetahui tentang “Kesenian Jaipongan: Sebuah Revolusi
Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan
dibawah ini:
3.3.1.1. Sumber Tertulis
Pada tahap ini penulis mencari sumber tertulis yang sangat relevan dengan
permasalahan penelitian baik berupa buku, artikel, majalah, koran, maupun karya
ilmiah lainnya. Studi literatur yang dilaukan yaitu dengan cara membaca dan
mengkaji sumber-sumber tertulis tersebut yang menunjang dalam penulisan
skripsi ini. Sumber tertulis tersebut diperoleh dari berbagai tempat seperti UPT
Edi Mulyana. Buku-buku yang berkenaan dengan seni dan seni tari, buku-buku
tersebut antara lain Art In Indonesia: Continuitas And Change karya Claire Holt
tahun 1967 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. R. M. Soedarsono
pada tahun 2000 menjadi Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia,
Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat karya Enoch Atmadibrata, buku karya
Edi S Ekadjati yang berjudul Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat, dan buku
yang berjudul Kritik Seni karya Nooryan Bahari.
Berikutnya buku-buku yang berkenaan tentang tari dan Jaipongan di
antaranya buku yang berjudul Sosiologi Tari karya Sumandiyo Hadi, buku karya
Endang Caturwati yang berjudul Seni Dalam Dilema Industri. Sekilas Tentang
Perkembangan Pertunjukan Tari Sunda, buku yang berjudul Tari Sunda. Dulu,
Kini dan Esok karya Tati Narawati dan Soedarsono, dan Skripsi karya Edi
Mulyana yang berjudul Proses Kreatif Gugum Gumbira Dalam Penciptaan
Jaiponganan.
Selain sumber-sumber tertulis di atas, penulis juga melakukan penelusuran
sumber melalui browsing di internet untuk mendapatkan artikel-artikel maupun
jurnal yang berhubungan dengan masalah yang penulis kaji. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan tambahan informasi agar dapat mengisi kekurangan dari
sumber lainnya
3.3.1.2. Sumber Lisan (Wawancara)
Sumber lisan ini memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya sebagai
sumber sejarah yang lainnya. Dalam menggali sumber lisan dilakukan dengan
teknik wawancara, yaitu mengajukan beberapa pertanyaan yang relevan dengan
permasalahan yang dikaji kepada pihak-pihak sebagai pelaku dan saksi.
Dalam pengumpulan sumber lisan, dimulai dengan mencari narasumber
yang relevan agar dapat memberikan informasi yang sesuai dengan permasalahan
yang dikaji melalui teknik wawancara. Dalam hal ini penulis mencari para
narasumber (saksi dan pelaku) melalui pertimbangan-pertimbangan yang sesuai
perilaku (kejujuran dan sifat sombong) serta kelompok usia yaitu umur yang
cocok, tepat dan memadai (Kartawiriaputra, 1994: 41).
Sumber lisan ini penulis peroleh melalui proses wawancara. Orang yang
penulis wawancarai disebut narasumber. Dalam hal ini narasumber dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu pelaku dan saksi. Pelaku adalah mereka yang
benar-benar mengalami peristiwa atau kejadian yang menjadi bahan kajian seperti
para seniman Jaipongan atau budayawan yang merupakan pelaku sejarah yang
mengikuti perkembangan Jaipongan dari waktu ke waktu, sedangkan saksi adalah
mereka yang melihat dan mengetahui bagaimana peristiwa itu terjadi, misalnya
masyarakat sebagai pendukung dan penikmat seni serta pemerintah sebagai
lembaga terkait. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa narasumber yang di
wawancarai adalah mereka yang benar-benar melihat dan mengalami pada tahun
kejadian tersebut.
Teknik wawancara merupakan suatu cara untuk mendapatkan informasi
secara lisan dari narasumber sebagai pelengkap dari sumber tertulis
(Kuntowijoyo, 1995: 23). Berdasarkan uraian tersebut, tujuan wawancara adalah
mendapatkan informasi tambahan dari kekurangan atau kekosongan informasi
yang ada dari sumber tertulis. Oleh sebab itu, kedudukan sejarah lisan (oral
history) semakin menjadi penting. Dudung Abdulrrahman (1999: 57), menyatakan
bahwa wawancara dan interview merupakan teknik yang sangat penting untuk
mengumpulkan sumber-sumber lisan. Melalui wawancara sumber-sumber lisan
dapat diungkap dari para pelaku-pelaku sejarah. Bahkan peristiwa-peristiwa
sejarah yang belum jelas betul persoalannya sering dapat diperjelas justru
berdasarkan pengungkapan sumber-sumber sejarah lisan.
Menurut Koentjaraningrat (1994: 138-139) teknik wawancara dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Wawancara terstruktur atau berencana yang terdiri dari suatu daftar
pertanyaan yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua
responden yang diselidiki untuk diwawancara diajukan pertanyaan yang
2. Wawancara tidak terstruktur atau tidak terencana adalah wawancara yang
tidak mempunyai suatu persiapan sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan
dengan susunan kata-kata dan atata urut yang harus dipatuhi peneliti.
Dalam melakukan wawancara di lapangan, penulis menggunakan kedua
teknis wawancara tersebut. Hal itu digunakan agar informasi yang penulis dapat
lebih lengkap dan mudah diolah. Selain itu, dengan penggabungan dua teknis
wawancara tersebut pewawancara menjadi tidak kaku dalam bertanya dan
narasumber menjadi lebih bebas dalam mengungkapkan berbagai informasi yang
disampaikannya.
Sebelum wawancara dilakukan, disiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu.
Daftar pertanyaan tersebut dijabarkan secara garis besar. Pada pelaksanaannya,
pertanyaan tersebut di atur dan diarahkan sehingga pembicaraan berjalan sesuai
dengan pokok permasalahan. Apabila informasi yang diberikan oleh narasumber
kurang jelas, maka peneliti mengajukan kembali pertanyaan yang masih terdapat
dalam kerangka pertanyaan besar. Pertanyaan-pertanyaan itu diberikan dengan
tujuan untuk membantu narasumber dalam mengingat kembali peristiwa sehingga
informasi menjadi lebih lengkap. Teknik wawancara ini berkaitan erat dengan
penggunaan sejarah lisan (oral history), seperti yang diungkapkan oleh
Kuntowijoyo (2003 : 26-28) yang mengemukakan bahwa:
Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat
pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal sejarah lisan tidak
kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali
permasalahan sejarah bahkan zaman modern ini yang tidak tertangkap
dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari
kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya,
tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang
dialami oleh seseorang atau segolongan… selain sebagai metode, sejarah
Narasumber yang diwawancarai adalah mereka yang mengetahui keadaan
pada saat itu dan terlibat langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa
sejarah yang terjadi, mereka berasal dari berbagai kalangan, baik seniman
Jaipongan maupun pengamat dan pemerhati seni di Jawa Barat dan pemerintah
setempat di antaranya Bapak Edi Mulyana, Bapak Gugum Gumbira, Bapak Lalan
Ramlan, Ibu Ria Dewi Fajaria, dan Ibu Itje Trisnawati.
Hasil wawancara dengan para narasumber kemudian disalin dalam bentuk
tulisan untuk memudahkan peneliti dalam proses pengkajian yang akan dibahas
pada bagian selanjutnya. Setelah semua sumber yang berkenaan dengan masalah
penelitian ini diperoleh dan dikumpulkan, kemudian dilakukan penelaahan serta
pengklasifikasian terhadap sumber-sumber informasi, sehingga benar-benar dapat
diperoleh sumber yang relevan dengan masalah penelitian yang dikaji.
Penggunaan teknik wawancara dalam memperoleh data dilakukan dengan
pertimbangan bahwa pelaku benar-benar mengalami sendiri peristiwa yang terjadi
di masa lampau, khususnya mengenai gambaran kehidupan sosial budaya
masyarakat Jawa Barat dan perkembangan grup kesenian Jaipongan tahun
1970-2010. Dengan demikian penggunaan teknik wawancara sangat diperlukan untuk
memperoleh informasi yang objektif mengenai peristiwa yang menjadi objek
kajian dalam penelitian ini.
3.3.2.Kritik Sumber
Langkah kedua setelah melakukan heuristik dalam penelitiannya, penulis
tidak lantas menerima begitu saja apa yang tercantum dan tertulis pada
sumber-sumber itu. Langkah selanjutnya adalah penulis harus melakukan penyaringan
secara kritis terhadap sumber yang diperoleh, terutama terhadap sumber-sumber
primer, agar terjaring fakta yang menjadi pilihannya. Langkah-langkah inilah
yang disebut kritik sumber, baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun
terhadap substansi (isi) sumber. Dalam tahap ini data-data yang telah diperoleh
berupa sumber tertulis maupun sumber lisan disaring dan dipilih untuk dinilai dan
Dalam bukunya Sjamsuddin (2007: 133) terdapat lima pertanyaan yang
harus digunakan untuk mendapatkan kejelasan keamanan sumber-sumber tersebut
yaitu :
1. Siapa yang mengatakan itu ?
2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah di ubah?
3. Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya?
4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang
kompeten, apakah ia mengetahui fakta?
5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita
fakta yang diketahui itu?
Kegiatan ini perlu dilakukan mengingat semua data yang diperoleh dari sumber
tertulis atau lisan tidak mempunyai tingkat kebenaran yang sama.
Fungsi kritik sumber erat kaitannya dengan tujuan sejarawan itu dalam
rangka mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk
membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar (palsu), apa yang mungkin dan
apa yang meragukan atau mustahil (Sjamsuddin, 2007: 131). Dengan kritik ini
maka akan memudahkan dalam penulisan karya ilmiah yang benar-benar objektif
tanpa rekayasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Adapun
kritik yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah
sebagai berikut:
3.3.2.1. Kritik Eksternal
Kritik ekstern adalah cara pengujian sumber terhadap aspek-aspek luar dari
sumber sejarah secara terinci. Kritik eksternal merupakan suatu penelitian atas
asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri
untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui
apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh
orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 104-105).
Kritik ekstern ingin menguji otentisitas (keaslian) suatu sumber, agar
diperoleh sumber yang sungguh-sungguh asli dan bukannya tiruan atau palsu.
dapat dipercaya pengetahuan kita mengenai suatu sumber, akan makin asli sumber
itu. Dalam hubungannya dengan historiografi otentisitas suatu sumber mengacu
kepada masalah sumber primer dan sumber sekunder. Maka konsep otentisitas
(keaslian) memiliki derajat tertentu, dan terdapat tiga kemungkinan otentisitas
(keaslian) suatu sumber, yakni sepenuhya asli, sebagian asli, dan tidak asli. Dalam
hubungan ini dapat diinterpretasikan bahwa sumber primer adalah sumber yang
sepenuhnya asli, sedang sumber sekunder memiliki derajat keaslian tertentu.
Kritik eksternal merupakan suatu penelitian atas asal-usul dari sumber,
suatu pemeriksaan atas catatan-catatan atau peninggalan itu sendiri untuk
mendapatkan semua informasi dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu
sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak.
Sumber kritik eksternal harus menerangkan fakta dan kesaksian bahwa:
Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang itu atau pada waktu itu
authenticity atau otentisitas.
Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan, atau
penambahan dan penghilangan fakta-fakta yang substansial, karena memori
manusia dalam menjelaskan peristiwa sejarah terkadang berbeda setiap
individu, malah ada yang ditambah ceritanya atau dikurangi tergantung pada
sejauh mana narasumber mengingat peristiwa sejarah yang sedang dikaji.
Dalam penelitian ini penulis melakukan kritik eksternal baik terhadap
sumber tertulis maupun sumber lisan. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis
dilakukan dengan cara memilih buku-buku yang ada kaitannya dengan
permasalahan yang dikaji. Kritik terhadap sumber-sumber buku tidak terlalu ketat
dengan pertimbangan bahwa buku yang penulis pakai merupakan
buku-buku hasil cetakan yang didalamnya memuat nama penulis, penerbit, tahun terbit,
dan tempat dimana buku tersebut diterbitkan. kriteria tersebut dapat di anggap
sebagai suatu jenis pertanggungjawaban atas buku yang telah diterbitkan.
Adapun kritik eksternal terhadap sumber lisan dilakukan dengan cara
mengidentifikasi narasumber apakah mengetahui, mengalami atau melihat
diperhatikan dari narasumber adalah mengenai usia, kesehatan baik mental
maupun fisik, maupun kejujuran narasumber.
3.3.2.2. Kritik Internal
Kritik internal dilakukan untuk menguji kredibilitas dan reabilitas
sumber-sumber sejarah. Penulis melakukan kritik internal dengan cara mengkomparasikan
dan melakukan cross check diantara sumber yang diperoleh.
Kritik internal merupakan suatu cara pengujian yang dilakukan terhadap
aspek dalam yang berupa isi dari sumber. Dalam tahapan ini penulis melakukan
kritik internal baik terhadap sumber-sumber tertulis maupun terhadap sumber
lisan. Kritik internal terhadap sumber-sumber tertulis yang telah diperoleh berupa
buku-buku referensi dilakukan dengan membandingkannya dengan sumber lain
namun terhadap sumber yang berupa arsip tidak dilakukan kritik dengan
angggapan bahwa telah ada lembaga yang berwenang untuk melakukannya.
Dengan kata lain bahwa kritik ekstern terhadap sumber tertulis bertujuan untuk
menguji keaslian dokumen, sedang kritik intern lebih menguji makna isi dokumen
atau sumber tertulis tersebut (Shafer, 1974: 117-119).
Kritik ini pada dasarnya menekankan kompetensi dan kebenaran informasi
yang dipaparkan narasumber kepada peneliti. Artinya, semakin mendekati kepada
kebenaran, semakin tinggi reliabilitas yang disampaikan oleh narasumber dengan
mempertimbangkan hal tersebut:
1. Apakah pembuat kesaksian atau narasumber “mampu” memberikan
kesaksian, yang meliputi hubungannya dengan peristiwa yang diteliti
(apakah ia ikut terlibat sebagai pelaku sejarah, apakah ia hanya sebagai
saksi sejarah yang hanya melihat peristiwa tersebut, ataukah hanya
mendengar dari orang lain). Dengan mengkaji pertanyan-pertanyaan
tersebut maka setiap narasumber akan bisa dibedakan mengenai derajat
kewenangan dan kedudukannya dalam peristiwa tersebut. Hal ini, akan
mengidentifikasikan sumber yang diperoleh oleh peneliti, tentunya akan
sejarah sebagai sumber primer dengan informasi yang diperoleh dari orang
biasa yang tidak terlibat dalam peristiwa tersebut.
2. Apakah pemberi informasi atau narasumber “mau” memberikan informasi
yang benar. Dalam tahapan ini, peneliti mulai mengkaji kadar subjektifitas
yang mungkin saja terjadi dalam informasi yang diberikan oleh narasumber.
Apakah ia jujur dalam menyampaikan informasi tersebut dengan mengkaji
apakah ada hal yang ditutup-tutupi atau melebih-lebihkan oleh narasumber
ketika menyampaikan informasinya.
Kritik internal bertujuan untuk mengetahui kelayakan sumber yang telah
diperoleh peneliti dari hasil wawancara dengan narasumber sebagai sumber
sejarah yang berhubungan peristiwa yang peneliti teliti. Sebagai langkah pertama
yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan kritik internal dalam sumber lisan
adalah dengan melihat kualitas informasi yang dipaparkan oleh narasumber,
konsistensi pemaparan dalam menyampaikan informasi tersebut, serta kejelasan
dan keutuhan informasi yang diberikan oleh narasumber. Karena semakin
konsisten informasi yang diberikan oleh narasumber akan semakin menentukan
kualitas sumber tersebut, serta tingkat reliabilitas dan kredibilitas juga dapat
dipertanggungjawabkan.
Kritik internal terhadap sumber lisan ini pada dasarnya dilakukan dengan
cara membandingkan hasil wawancara antara narasumber yang satu dan
narasumber lainnya sehingga penulis mendapatkan fakta dan informasi mengenai
perkembangan kesenian Jaipongan. Setelah penulis melakukan kaji banding
pendapat narasumber yang satu dan lainnya kemudian membandingkan pendapat
narasumber dengan sumber tertulis atau dengan menggunakan pendekatan
Triangulasi. Kaji banding ini bertujuan untuk memperoleh kebenaran fakta-fakta
yang didapat dari sumber tertulis maupun sumber lisan yang dibutuhkan dalam
3.3.3.Interpretasi (Penafsiran Fakta)
Tahap ketiga dalam penulisan karya ilmiah ini adalah interpretasi.
Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (facts)
atau bukti-bukti sejarah (evidences). Interpretasi diperlukan karena pada dasarnya
bukti-bukti sejarah (evidences) dan fakta-fakta sebagai saksi-saksi sejarah tidak
dapat berbicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya dari realitas masa
lampau. Interpretasi merupakan proses pemberian penafsiran terhadap fakta yang
telah dikumpulkan. Pada tahap ini, fakta-fakta yang telah dikumpulkan dipilih
dan diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji sehingga dapat
menjawab permasalahan yang diajukan dalam Bab I. Pada tahapan interprestasi
berbagai data dan fakta yang lepas satu sama lain dirangkai dan dihubungkan
sehingga diperoleh satu kesatuan yang selaras, dimana peristiwa yang satu
dimasukan ke dalam keseluruhan konteks peristiwa atau kejadian yang lain yang
melingkupinya (Ismaun, 2005: 131).
Pada tahapan ini, peneliti mulai menyusun dan merangkai fakta-fakta
sejarah yang didasarkan pada sumber sejarah yang telah dikritik sebelumnya.
Dalam upaya rekonstruksi sejarah masa lampau pertama-tama interpretasi
memiliki makna memberikan kembali relasi antar fakta-fakta. Tahapan tersebut
ialah mencari dan membuktikan adanya relasi antara fakta yang satu dengan
lainnya, sehingga terbentuk satu rangkaian makna yang faktual dan logis tentang
bagaimana perkembangan kesenian Jaipongan yang terdapat di Jawa Barat pada
tahun 1970-2010. Cara yang dilakukan peneliti dengan cara membandingkan
berbagai sumber. Hal ini berguna untuk mengantisipasi penyimpangan informasi
yang berasal dari para pelaku sejarah. Dari hubungan antara berbagai sumber dan
fakta inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat penafsiran
(Interpretasi). Makna yang kedua dari interpretasi ialah memberikan eksplanasi
terhadap fenomena sejarah. Interpretasi menjelaskan argumentasi-argumentasi
jawaban peneliti terhadap pertanyaan-pertanyaan kausal, mengapa dan bagaimana
peristiwa-peristiwa atau gejala-gejala di masa lampau terjadi.
Proses interpretasi merupakan proses kerja yang melibatkan berbagai
bermuara pada sintesis. Oleh sebab itu interpretasi merupakan proses
analisis-sintesis. Keduanya merupakan kegiatan yang tak terpisahkan yang satu dari yang
lain dan keduanya saling menunjang. Karena analisis dan sintesis dipandang
sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 2003: 103-104).
Fakta tersebut kemudian disusun dan ditafsirkan, sehingga fakta-fakta tersebut
satu sama lain saling berhubungan dan menjadi suatu rangkai peristiwa sejarah
yang logis dan kronologis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta
memberikan penjelasan terhadap permasalahan penelitian.
3.4.Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)
Tahap selanjutnya dari proses penelitian ini adalah penulisan laporan
penelitian. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam penulisan karya ilmiah ini atau
disebut juga historiografi.
Historiografi merupakan langkah akhir dari keseluruhan prosedur penulisan
karya ilmiah sejarah, yang merupakan kegiatan intelektual dan cara utama dalam
memahami sejarah (Helius Sjamsuddin, 1996: 153). Tahap ini merupakan hasil
dari upaya penulis dalam mengerahkan kemampuan menganalisis dan mengkritisi
sumber yang diperoleh dan kemudian dihasilkan sintesis dari penelitiannya yang
terwujud dalam penulisan skripsi dengan judul “Kesenian Jaipongan: Sebuah
Revolusi Dalam Seni Gerak Tahun 1970-2010” Hasan Usman dalam
Abdurrahman (1999: 67-68) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa syarat
umum yang harus diperhatikan oleh seorang peneliti dalam melakukan pemaparan
sejarah, yaitu:
1. Peneliti harus memiliki kemampuan mengungkapkan bahasa secara baik,
agar data dapat dipaparkan seperti seperti apa adanya atau seperti yang
dipahami oleh peneliti dan dengan gaya bahasa yang khas.
2. Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah itu disadari
sebagai bagian dari sejarah yang lebih umum, karena ia didahului oleh masa
dan diikuti oleh masa pula. Dengan perkataan lain, penulisan itu
3. Menjelaskan apa yang ditemukan oleh peneliti dengan menyajikan
bukti-buktinya dan membuat garis-garis umum yang akan diikuti secara jelas oleh
pemikiran pembaca.
4. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatif, artinya usaha
peneliti dalam mengerahkan ide-idenya dalam merekonstruksi masa lampau
itu didasarkan pada bukti-bukti terseleksi, bukti yang cukup lengkap dan
detail fakta yang akurat.
Pada tahap ini seluruh hasil penelitian yang berupa data-data dan fakta-fakta
yang telah mengalami proses heuristik, kritik dan interpretasi dituangkan oleh
penulis ke dalam bentuk tulisan. Dalam historiografi ini penulis mencoba untuk
mensintesakan dan menghubungkan keterkaitan antara fakta-fakta yang ada
sehingga menjadi suatu penulisan sejarah.
Laporan penelitian ini disusun dengan menggunakan gaya bahasa
sederhana, ilmiah dan menggunakan cara-cara penulisan sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan sedangkan sistematika penulisan yang digunakan mengacu pada
buku pedoman penulisan karya ilmiah tahun 2007 yang dikeluarkan oleh UPI.
Adapun tujuan laporan hasil penelitian ini adalah selain untuk memenuhi
kebutuhan studi akademis tingkat sarjana pada Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS
UPI juga bertujuan untuk mengkombinasikan hasil temuan atau penelitian kepada
umum sehingga temuan yang diperoleh dari hasil penelitian tidak saja
memperkaya wawasan sendiri. Akan tetapi, hal itu dapat memberikan sumbangan
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai Perkembangan Kesenian
Jaipongan di Jawa Barat tahun 1970-2010, maka terdapat empat hal yang ingin
penulis sampaikan, yaitu pertama, Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa.
Keanekaragaman seni ini lah yang kemudian melahirkan Jaipongan karena
Jaipongan merupakan hasil dari modifikasi seni-seni tradisi yang sudah ada dan
berkembang sebelumnya seperti tari Ketuk Tilu, Kliningan, dan Pencak Silat.
Kelahiran kesenian Jaipongan tidak terlepas dari upaya seorang Gugum Gumbira
selaku creator atau pencipta tari Jaipongan untuk melestarikan seni budaya
tradisional yang ada di Jawa Barat.
Kedua, Jaiopongan sebagai salah satu kesenian tradisional yang
keberadaannya terbilang masih sangat muda, namun ternyata kesenian ini sangat
diminati masyarakat terutama pada awal-awal perkembangannya sekitar tahun
1980-an. Hal ini disebabkan karena perubahan fungsi yang terjadi dalam tari
Jaipongan yang semula tari Ketuk Tilu hanya berfungsi sebagai bagian dari
upacara adat sedangkan Jaipongan lebih mementingkan unsur hiburan dalam
bentuk penyajiaannya dan tidak terikat dengan budaya atau adat istiadat
masyarakat tertentu. Unsur inilah yang kemudian menjadikan Jaipongan lebih
disukai oleh masyarakat secara luas tidak hanya terbatas pada wilayah tertentu.
Kesenian Jaipongan yang berkembang di Jawa Barat pada dasarnya
menyesuaikan dengan perubahan pola pikir secara umum yang terjadi di
masyarakat yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Pola pikir masyarakat yang
tadinya sangat menghargai nilai-niali tradisi berubah menjadi masyarakat sekuler
yang hanya mementingkan hiburan semata. Namun demikian Gugum Gumbira
berusaha untuk tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi yang terkandung dalam
Jaipongan. Nilai-nilai tradisi ini terlihat dari pakaian yang digunakan penari,