• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Intim Dari Empat Pola Attachment Dewasa Pada Individu Menikah Dengan Usia Pernikahan Dibawah Lima Tahun Di Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Tingkah Laku Intim Dari Empat Pola Attachment Dewasa Pada Individu Menikah Dengan Usia Pernikahan Dibawah Lima Tahun Di Bandung."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI

EMPAT POLA

ATTACHMENT

DEWASA

PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN USIA PERNIKAHAN

DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG

Oleh :

Fredrick Dermawan Purba

NIP : 132 318 263

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

(2)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI EMPAT POLA ATTACHMENT DEWASA PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN

USIA PERNIKAHAN DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG

Oleh

Fredrick Dermawan Purba

Fakultas Psikologi Universitas Padjadajaran

ABSTRAK

Fenomena yang terjadi adalah tingginya tingkat perceraian pasangan pada tahun-tahun awal pernikahan, yang diakibatkan oleh tingkah laku intim yang kurang optimal. Hal yang menentukan tingkah laku intim yang ditampilkan oleh individu dalam pernikahannya adalah pola attachment dewasa yang terbentuk dalam dirinya. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung. Teori pola

attachment dewasa yang digunakan adalah dari Bartholomew (1990), yang membagi pola attachment dewasa menjadi empat pola, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing, dan

fearful. Sementara tingkah laku intim dikutip dari sembilan dimensi intimacy status yang dipaparkan oleh Orlofsky (1993).

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa. Sampel penelitian adalah individu dengan usia pernikahan 1-5 tahun dan bertempat tinggal di kotamadya Bandung, yang didapat melalui teknik sampling purposif. Kepada 59 orang sampel diberikan alat ukur pola attachment dewasa dan tingkah laku intim.

Hasil analisa didapatkan pola secure memperoleh persentase skor terbesar ada pada kategori tinggi dalam semua dimensi tingkah laku intim. Pola preoccupied menunjukkan persentase skor yang tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi dan penghormatan terhadap integritas individu, pola preoccupied memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola dismissing menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi,pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi pola dismissing memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola fearful menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan,

perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi, pola

fearful memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang.

Kata kunci : Tingkah laku intim, pola attachment dewasa

(3)

A DESCRIPTIVE STUDY ABOUT INTIMACY BEHAVIORS OF FOUR ADULT ATTACHMENT PATTERNS IN MARRIED INDIVIDUALS IN

THEIR FIRST FIVE YEARS OF MARRIAGE IN BANDUNG

By pattern in his/her self. This research is intended to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns in married individuals in their first five years of marriage in Bandung. There are two theories that used in this research. One is theory of adult attachment patterns by Bartholomew (1990) that divided adult attachment into four different pattrens, which are secure, preoccupied, dismissing, and fearful. The other theory is from Orlofsky (1993) about intimacy behaviors.

The design of this research is descriptive study to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns. The sample are individuals who has been married not more than five years, and live in Bandung. The sampling technique is purposive sampling technique. All 59 subjects filled the questionnaires of adult attachment patterns and intimacy behavior.

The result are: secure pattern individuals have high score in all dimensions of intimacy behaviors. Preoccupied have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest and respect for individual integrity. The dismissing have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest. The fearful shows high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan, karena atas berkat dan kasih-Nya

saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi deskriptif mengenai tingkah

laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia

pernikahan dibawah lima tahun di Bandung” ini, sebagai tugas akhir untuk

menempuh pendidikan Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas

Padjadjaran. Proses pembuatan laporan penelitian ini memakan waktu yang tidak

dapat dikatakan sebentar, namun sepanjang waktu tersebut saya tetap memiliki

semangat untuk menyelesaikan penelitian ini atas dorongan, dukungan dan bantuan

banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih

kepada setiap pihak yang sudah memberikan bantuannya selama ini. Terimakasih

kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Ketua Bagian

Psikologi Perkembangan atas dukungan dan kepercayaannya, dan para responden

yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penelitian dan

membantu saya. Juga beberapa pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang

ikut mendukung dan membantu pelaksanaaan penelitian ini. Akhir kata kami harap,

semoga laporan ini dapat bermanfaat

Bandung, Mei 2006

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...………..

ABSTRACT …………..…..……….

KATA PENGANTAR……….

DAFTAR ISI………...

DAFTAR TABEL………...

PENDAHULUAN………...

TINJAUAN PUSTAKA………..

TUJUAN DAN MANFAAT ………..

METODE PENELITIAN………

HASIL DAN PEMBAHASAN………...

KESIMPULAN DAN SARAN ..………

DAFTAR PUSTAKA………...………...

i

ii

iii

iv

v

1

11

24

25

31

40

(6)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa 29

Tabel 3.2 Kategorisasi tingkah laku intim 30

Tabel 4.1 Hasil kategorisasi responden menurut pola attachment dewasa 31

Tabel 4.2 Gambaran tingkah laku intim dari pola secure (dalam %) 31

Tabel 4.3 Gambaran tingkah laku intim dari pola preoccupied (dalam

%)

33

Tabel 4.3 Gambaran tingkah laku intim dari pola dismissing (dalam %) 35

(7)

1. PENDAHULUAN

Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang

memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal

memfokuskan relasi interpersonal mereka pada hubungan yang lebih intim dengan

pasangannya. Jika relasi ini berkembang lebih lanjut, maka ia akan menghasilkan

suatu kesepakatan untuk terlibat secara mendalam dan dalam jangka waktu yang

relatif panjang, seperti halnya pernikahan. Hal ini seiring dengan salah satu tugas

perkembangan pada tahap dewasa awal yaitu belajar mulai hidup dalam hubungan

pernikahan dengan pasangan (Duvall, 1977).

Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Dalam

kehidupan pernikahan terjadi suatu penyatuan antara dua individu yang berasal dari

budaya, lingkungan dan keluarga yang berbeda. Wajar jika keduanya membawa

nilai-nilai yang berbeda. Banyak hal yang dihadapi pasangan yang baru dalam

mengarungi kehidupan pernikahan, seperti perbedaan minat, hobi, pandangan tentang

sesuatu hal. Kehadiran anak, hubungan dengan mertua atau ipar, masalah aktivitas

bersama atau pekerjaan menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi pembicaraan

atau perdebatan pasangan. Karenanya, diperlukan usaha bersama dan terus-menerus

untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dibawa pasangan agar hubungan

pernikahan dapat harmonis dan dinamis yang adalah harapan individu yang menikah.

Namun, pada kenyataannya pernikahan tidaklah selalu mulus. Adakalanya terjadi

konflik yang menyebabkan relasi terganggu. Masa awal pernikahan ini adalah masa

yang paling rawan terjadi konflik. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kemungkinan

tingkat perceraian yang paling tinggi terletak antara dua sampai lima tahun. Hal ini

terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap 120 pasangan suami istri yang

bercerai di Pengadilan Agama Bandung, 45% berada di bawah usia pernikahan

kurang dari lima tahun (Kompas, Juli 2003). Ini menunjukkan bahwa masa-masa

awal pernikahan merupakan masa yang rentan dan sangat menuntut penyesuaian

yang baik dari pasangan suami istri.

Timbul suatu pertanyaan yang mendasar: Faktor-faktor apa saja yang dapat

menyebabkan perceraian? Majalah Femina, April 2001, menyebutkan penyebab

tertinggi dari perceraian tersebut diantaranya adalah kekurangterbukaan dalam

(8)

perselingkuhan dan kekerasan ekonomi. Sementara pada tahun 2001, dari seluruh

kasus perceraian yang terjadi di Kotamadya Bandung, Pengadilan Agama

Kotamadya Bandung mencatat sebanyak 15,55% merupakan masalah moral

(perselingkuhan, krisis akhlak, cemburu), 34,23% masalah tanggung jawab

(ekonomi, penganiayaan), 42,16% disebabkan karena terus menerus berselisih

dengan pasangan (politis, gangguan pihak ketiga, tidak adanya keharmonisan) dan

8,06% disebabkan oleh hal-hal lain.

Hasil wawancara terhadap seorang psikolog pernikahan dan keluarga di

Bandung, Dra. Sawitri Supardi, menyatakan bahwa ada empat hal yang

menyebabkan terjadinya pertengkaran dan perceraian pada pasangan di awal

pernikahannya, yaitu menurunnya komitmen terhadap pernikahan, menurunnya

penghargaan terhadap pasangan, kurangnya rasa percaya (trust) terhadap pasangan,

dan ketidakmampuan dalam pengelolaan ekonomi.

Dari pemaparan data-data penyebab perceraian di atas, dapat disimpulkan

bahwa yang menjadi akar persoalan adalah ketidakmampuan individu dan

pasangannya untuk menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam

pernikahannya, sehingga relasi yang terjadi menjadi kurang hangat. Orlofsky (1993)

menjelaskan tentang tingkah laku intim dalam suatu pernikahan yang akan

menentukan kelangsungan pernikahan tersebut. Ia menyebutkan sembilan

bentuk/dimensi tingkah laku intim tersebut, yaitu: komitmen, komunikasi,

kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking,

wewenang dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi,

penghormatan integritas individu pasangan dan kemandirian. Hasil wawancara

terhadap beberapa orang yang bercerai ditemukan bahwa mereka atau pasangannya

kurang mampu menunjukkan tingkah laku intim yang disebutkan oleh Orlofsky.

Seorang responden menyebutkan bahwa ia dan suaminya memiliki perbedaan

pendapat tentang pergaulan dengan teman-teman setelah menikah. Sang istri masih

ingin banyak pergi dengan teman-temannya, sementara sang suami tidak setuju.

Ketidakmampuan mereka untuk menemukan cara menyelesaikan perbedaan tersebut,

tidak ada yang berusaha memahami apa yang menjadi dasar pasangannya bertindak

demikian, serta tidak ada yang mau mengalah menyebabkan persoalan menjadi besar

(9)

ia bercerai dengan pasangannya karena tidak mempu menemukan cara dan bentuk

komunikasi yang tepat bagi keduanya. Ia mengaku bahwa ia adalah tipe orang yang

“blak-blakan”, sementara pasangannya tipe orang yang tertutup. Ketidaksesuaian

tersebut mengakibatkan mereka sering bertengkar, dan berujung pada perceraian.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa individu akan mengalami banyak konflik

dan ketidakpuasan terhadap pernikahannya jika ia kurang mampu menampilkan

secara optimal tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya. Konflik

dan rasa tidak puas yang mungkin tidak terselesaikan ini mungkin saja akan berakhir

ke perceraian. Atau dapat disimpulkan bahwa efek terburuk dari ketidakmampuan

bertingkah laku intim adalah perceraian.

Jika kita berpaling dan melihat ke sekeliling kita, ternyata masih banyak juga

terdapat pasangan yang mampu mempertahankan ikatan pernikahannya sampai usia

tuanya. Peneliti mewawancarai lima pasangan yang rata-rata berusia 45-50 tahun.

Setengah dari mereka menyebutkan bahwa yang penting adalah mencoba berbuat

yang terbaik dalam pernikahan mereka, seperti misalnya jujur dan terbuka terhadap

pasangannya, selalu berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh

pasangannya, dan tetap mau menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Setengah lainnya mengatakan bahwa yang terpenting adalah menganggap pasangan

sama berharganya seperti diri sendiri, karena dengan itu ia akan berusaha selalu

terbuka, menghormati pendapat dan tindakan pasangannya. Keseluruhan dari mereka

tidak menyangkal bahwa kadang terjadi konflik, tapi mereka selalu berusaha untuk

duduk bersama dan mendiskusikan masalah yang terjadi, tidak memaksakan

pendapatnya pada pasangannya, serta mencari penyelesaian terbaik yang dapat

diterima keduanya. Pasangan yang langgeng ini adalah contoh nyata hubungan

pernikahan yang bahagia karena mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan

hangat secara optimal.

Muncul suatu pertanyaan tentang faktor apakah dalam diri individu yang

akan menentukan bagaimana ia bertingkah laku dalam pernikahannya. Jawabannya

adalah rasa aman dan nyaman yang dirasakan individu dalam relasinya dengan

pasangannya. Perasaan aman atau nyaman yang dirasakan individu ditentukan oleh

bagaimana ia mempersepsikan dirinya maupun pasangannya, apakah positif atau

(10)

menemukan bahwa kebanyakan mereka kurang merasakan rasa aman dan nyaman

dalam relasi pernikahannya. Mereka menganggap pasangannya kurang dapat

dipercaya, jarang ada saat mereka membutuhkan. Ini mengakibatkan tingkah laku

intim yang mereka tampilkan menjadi kurang optimal. Mereka menjadi kurang

terbuka dalam berkomunikasi, kurang mau berusaha memahami pasangannya, dan

lainnya. Namun sebaliknya, para responden yang dapat mempertahankan

pernikahannya langgeng dan bahagia menyatakan bahwa rasa aman dan nyaman

dalam relasinya dengan pasangannya tercipta dari pandangan yang positif terhadap

diri sendiri maupun terhadap pasangannya. Mereka umumnya menganggap

pasangannya sama berharganya dengan diri mereka, karenanya jarang sekali mereka

melakukan tingkah laku yang akan menyakiti pasangannya.

Rasa aman dan nyaman yang bersumber pada bagaimana individu

memandang diri dan pasangannya dipaparkan dalam suatu teori tentang ikatan

emosional antara individu dengan pasangan romantis dewasanya, yaitu teori

attachment dewasa (Adult Attachment theory). Secara singkat, teori ini menjelaskan

tentang bagaimana individu menjalin suatu kelekatan emosional dengan orang lain

yang bermakna secara emosional baginya. Teori attachment dewasa menjadikan teori

attachment masa kanak-kanak (childhood attachment theory) dari Bowlby sebagai

dasarnya. Bartholomew (1990) menyempurnakan teori Bowlby dan memaparkan

empat pola kelekatan emosional kepada seorang pasangan romantis dewasa yang

didasari oleh bagaimana persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan terhadap

orang lain, yang disebut dengan empat pola attachment dewasa.

Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola attachment dewasa,

khususnya di Amerika Serikat, yang bertujuan memperkaya teori attachment dewasa.

Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan banyak hal, termasuk didalamnya

tingkahlaku yang ditunjukkan oleh pola-pola attachment dewasa dalam relasi

sosialnya, dengan teman, pasangan, orangtua dan lainnya. Tapi sayangnya, di

Indonesia masih sangat minim literatur maupun penelitian tentang pola attachment

dewasa tersebut. Akibatnya, pengetahuan kita tentang pola attachment dewasa dan

bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa di

Indonesia pun sangat minim. Berdasarkan pemaparan tentang data-data tentang

(11)

tentang pola-pola attachment dewasa di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti

tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan

usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung.

PERUMUSAN MASALAH

Pernikahan adalah relasi yang mendalam antara dua individu. Pernikahan

dapat berjalan dengan baik dan langgeng jika individu-individu yang menjalani

pernikahan tersebut mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat.

Tingkah laku yang dimaksud adalah komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi,

pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan

pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, penghormatan integritas

individu pasangan serta kemandirian (Orlofsky, 1993).

Bagaimana individu akan menampilkan tingkah laku intim dalam

pernikahannya sangat ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi dirinya sendiri dan

pasangannya. Inilah yang disebut dengan pola attachment dewasa. Menurut

Bartholomew (1990; dalam Feeney and Noller, 1996) terdapat empat pola

attachment dewasa, yaitu pola Secure, Preoccupied, Dismissing, dan Fearful.

Keempat pola attachment dewasa tersebut berbeda dalam mempersepsi dirinya

sendiri dan mempersepsi orang lain.

Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola-pola attachment dewasa dan

bagaimana tiap pola bertingkah laku dalam relasinya dengan orang lain. Tapi

penelitian-penelitian tersebut hampir seluruhnya dilakukan di Amerika Serikat

maupun negara barat lainnya. Sementara di Indonesia hal tersebut masih sangat

minim, sehingga pengetahuan kita tentang pola-pola attachment dewasa masih

sedikit dan terbatas. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada

individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya

(12)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa

dewasa. Menandai secara pasti kapan masa dewasa awal dimulai merupakan ha yang

sulit disepakati oleh banyak ahli. Meskipun diakui sulit untuk menandai dimulainya

masa dewasa awal, namun beberapa ahli mencoba memberikan ancar-ancar melalui

usia kronologis. Hurlock (1990) misalnya, memberikan rambu-rambu

berlangsungnya usia dewasa awal pada usia 18 tahun hingga kira-kira 40 tahun.

Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial muda (Hurlock, 1990). Lebih lanjut

menurut Hurlock, orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru seperti

peran suami-istri, orang tua, pencari nafkah dan pengembangan sikap-sikap baru,

keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai tugas-tugas baru ini. Masa dewasa

awal merupakan masa pembuatan komitmen-komitmen.

Pentingnya pembuatan komitmen pada masa dewasa awal juga ditekankan

oleh Erikson. Menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 178:98), salah satu tugas

utama individu selama tahap perkembangan dewasa awal adalah membentuk

hubungan interpersonal yang akrab dan stabil dengan orang lain. Jika individu dapat

membentuk persahabatan yang sehat dan dapat membentuk hubungan yang intim

dengan individu lain, intimasi akan tercapai, sebaliknya, jika individu gagal

membangun persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim, individu akan

menghadapi isolasi.

2.1.1 Masa Dewasa Awal: Tugas Perkembangan Pasangan Muda

Menurut Duvall (1977), tugas-tugas perkembangan dari pasangan yang baru

menikah (pasangan muda) berasal dari tiga sumber. Yang pertama adalah

kematangan fisik, dimana suami dan istri harus memenuhi tugas pertama mereka,

yaitu mengendalikan dorongan-dorongan seksual mereka agar terjadi pemenuhan

seksual yang dewasa. Yang kedua adalah ekspekstasi dan dorongan dari masyarakat

yang mengharapkan mereka dapat bertingkah laku sebagai pasangan suami istri

seperti yang diharapkan oleh masyarakat sekitarnya. Yang ketiga, suami dan istri

(13)

yang mereka impikan selama ini. Seringkali apa yang diharapkan lingkungan tidak

sesuai dengan apa yang diharapkan individu. Realita situasi pernikahan yang mereka

hadapi mungkin tidak sesuai dengan bayangan mereka selama ini. Tujuan pribadi

suami dan istri mungkin bisa sesuai, tapi mungkin saja ternyata tidak saling cocok.

Beberapa tugas yang harus dipenuhi sebuah pasangan yang baru menikah

antara lain: berbagi tanggung jawab dalam tugas-tugas rumahtangga, keduanya harus

menjadi rekan yang setara dalam masalah ekonomi keluarga, keduanya memiliki

tugas untuk saling berkomunikasi secara intim, serta keduanya harus belajar untuk

berlaku sebagai tandem (pasangan) dalam kehidupan sosial mereka, tidak lagi

sebagai individu-individu.

Duvall juga menambahkan, pasangan harus memenuhi tugas perkembangan

mereka sebagai suatu keluarga, yaitu:

1. Menemukan, melengkapi, dan merawat rumah mereka

2. Menemukan cara yang tepat untuk saling memberi dukungan

3. Mengalokasikan tanggungjawab-tanggungjawab yang dapat dan mau

dilakukan masing-masing

4. Menemukan dan menjankan peran pribadi, emosional dan seksual yang saling

menguntungkan

5. Berhubungan dengan keluarga, kerabat, dan masyarakat sekitar

6. Merencanakan kemungkinan anak

7. Memelihara motivasi pasangan.

2.2 Teori AdultAttachment 2.2.1 Attachment

Attachment adalah suatu hubungan atau interaksi antara 2 individu yang

merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk

melanjutkan hubungan tersebut (Bowlby, 1988)

Perilaku attachment merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk

mencari dan memelihara kedekatan dengan individu lainnya. Dalam hal ini

perkembangan attachment terjadi pada dua orang individu, yaitu antara anak dengan

ibunya.

(14)

karena interaksi awal yang terjadi pada anak adalah dengan ibunya. Studi Ainsworth

(1963,1967) memberikan hasil bahwa perilaku attachment telah timbul sejak ia

berusia 6 bulan.

Interaksi sosial awal antara anak dan ibu selanjutnya menjadi dasar bagi

perkembangan kepribadian anak. Ibu sebagai orang terdekat pertama bagi anak

berperan dalam memberikan cara pengasuhan yang dapat memenuhi kebutuhan

psikologis anak. Pemenuhan kebutuhan psikologis anak dapat diwujudkan ibu lewat

kasih sayang, rasa cinta, perhatian, rasa aman, dan kooperatif serta responsif terhadap

kebutuhan orang lain.

2.2.2 Dimensi Cara Perlakuan Orang tua Terhadap Anak

Cara perlakuan orang tua terhadap anaknya akan memperngaruhi kualitas

perkembangan attachment anak. Menurut Ainsworth, Bell, dan Stayton (1971) cara

perlakuan ibu terhadap anak terdiri dari 4 dimensi:

1. Sensitivity – Insentivity

Ibu yang sensitif akan selalu responsif terhadap isyarat kebutuhan dan

komunikasi anak, mampu menginterpretasikan isyarat kebutuhan anak dan

komunikasi anak dengan benar, serta mampu memandang sesuatu dari sudut pandang

anak. Sedangkan pada ibu yang insensitif, ia sering tidak memberikan respon sama

sekali terhadap isyarat dan komunikasi anak serta sering memandang sesuatu dari

sudut pandangnya sendiri.

2. Acceptance – Rejection

Ibu yang menerima anaknya dengan senang hati terikat dengan anak melalui

aktivitas perawatan terhadap anak, menikmati aktivitas yang dilakukan bersama anak

apada saat anak dalam keadaan suasana hati yang baik dan suasana hati yang jelek.

Sedangkan ibu yang secara konsisten menolak anaknya akan mempunyai perasaan

marah yang melebihi rasa kasih sayangnya terhadap anak, serta mudah menyatakan

secara terbuka pada anak bahwa dirinya menjengkelkan atau mengganggunya,

menciptakan suasana yang tidak enak terhadap anak, sering menolak keinginan atau

harapan anak, dan sering memarahi atau mengomeli anak.

3. Cooperation – Interference

(15)

menaruh minat pada otonomi anak, berusaha untuk menghindari suasana yang dapat

menghambat kegiatan anak melalui kontrol secara langsung. Ibu juga selalu

menggunakan pengarahan pada saat anak berada dalam suasana hati yang baik.

Sedangkan pada ibu yang selalu mencampuri urusan anak akan selalu memaksakan

keinginan atau perasaan anak saat itu serta berusaha membentuk anak sesuai

keinginan atau standar ibu.

4. Accessibility – Ignoring

Ibu yang mudah didekati anak dan peduli dengan anak akan mampu

menangkap isyarat kebutuhan anak walaupun sedang sibuk, mampu menangkap

isyarat komunikasi anak walalu sedang sibuk, memperhatikan kebutuhan anak

walaupun jauh dari anak. Sedangkan ibu yang tidak peduli pada anak sering tidak

mengenali atau mempedulikan isyarat kebutuhan anak dan komunikasi anak, kurang

memperhatikan aktivitas anak, cenderung melupakan anak serta hanya

memperhatikan anak pada saat saat tertentu.

2.2.3 Pola-pola Attachment

Melalui cara perlakuan ibu terhadap anak yang berbeda-beda, maka akan

terbentuk pola attachment yang dapat berbeda-beda secara individual. Hal ini

dibuktikan dengan penelitian-penelitian Ainsworth (1971; dalam Bowlby, 1988).

Ada tiga pola attachment:

1. Secure attachment

Anak dengan pola ini percaya bahwa ibunya akan selalu ada, responsif

dan mau memberikan bantuan ketika ia memerlukannya. Anak cenderung dapat

bermain dengan nyaman, bereaksi positif terhadap orang lain yang asing

baginya, dan tidak terlalu membutuhkan kedekatan fisik dan tidak harus selalu

dekat dengan ibunya.

Pola ini terbentuk dari perlakuan ibu yang selalu peka dan sensitif terhadap

kebutuhan anak, baik ketika ia sedang sibuk atau tidak, menerima dan menikmati

keterikatan dengan anak secara senang hati, menaruh minat pada otonomi anak,

dan berusaha tidak menggunakan kontrol langsung yang dapat menghambat

(16)

2. Anxious Ambivalent/Resistent attachment

Anak dengan pola ini tidak yakin apakah orangtuanya akan selalu ada

dan membantunya jika dibutuhkan, sehingga anak cenderung menjadi tidak

dapat dilepaskan dan takut untuk berpisah dengan ibunya, serta rasa cemas dan

tidak aman dalam mengeksplorasi lingkungannya. Rasa tidak aman ini

menyebabkan anak menjadi ragu-ragu dalam menjalin hubungan yang dekat

dengan orang lain sehingga ia cenderung menjadi terisolasi dari lingkungan.

Anak dengan pola ini mempunyai ibu yang cenderung tidak konsisten

dalam mengasuh anak. Pada saat-saat tertentu ibu merespon kebutuhan anak,

namun tidak di saat lainnya. Ibu yang terkadang menunjukkan sikap penolakan

terhadap dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering memaksakan

keinginannya pada anak. Penemuan klinis juga menunjukkan bahwa seringkali

orangtua memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku

anak.

3. Avoidant attachment

Anak dengan pola ini sama sekali merasa tidak yakin dan percaya bahwa

ia akan mendapat respon atau bantuan dari ibu jika ia mencari perhatian atau

bantuan dari ibunya. Anak sering mempunyai prasangka ibunya akan menolak

membantunya. Hal ini akan membuat anak memutuskan untuk hidup tanpa

kasih sayang dan dukungan orang lain serta cenderung untuk mencukupi

kebutuhan psikologisnya sendiri dengan cara menghibur dirinya sendiri yang

didiagnosis sebagai narsistik. Anak cenderung tumbuh menjadi individu yang

lebih mementingkan diri sendiri.

Pola ini diperoleh berdasarkan perlakuan ibu yang sering menolak anak

secara konsisten serta sering tidak responsif terhadap isyarat dan komunikasi

anak. Kasus yang ekstrim dihasilkan dari penolakan ibu yang secara konsisten

brulang dan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan.

2.2.4 Pengukuran Kualitas Attachment

Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Ainsworth dan kawan-kawan

dalam mengukur kualitas attachment pada bayi dan anak kecil dilakukan melalui

(17)

dilakukan karena kehadiran aktual ibu sebagai pengasuh kurang diperhatikan sebagai

akibat dari anak yang telah mempunyai pandangan sendiri terhadap ibu sebagai figur

attachment. Oleh karena itu pengukuran kualitas attachment anak lebih diperhatikan

pada Internal Working model anak (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam

Bowlby, 1988)

2.2.5 InternalWorking model

Penjelasan bagaimana cara perlakuan ibu terhadap anak berkembang menjadi

pola-pola attachment pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan konsep

internal working model dari Bowlby (1988). Internal working model adalah suatu

representasi mental individu terhadap diri sendiri (self) dengan lingkungannya yang

akan membantu individu tersebut merencanakan tingkah laku yang akan ditampilkan

di lingkungan. Internal working model dari hubungan attachment merupakan

representasi mental anak dengan figur attachment, dalam hal ini adalah dengan ibu.

Internalisasi pada anak mengenai bagaimana dirinya (self) dan figur ibu, bagaimana

cara perlakuan ibu terhadap dirinya selama tahun pertama kehidupannya akan

menetap sebagai struktur kognitif (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam Bowlby,

1988). Selanjutnya model ini akan mengarahkan pada bagaimana perasaan anak

terhadap dirinya dan orang tuanya (ibu), bagaimana anak mengharapkan perlakuan

orang lain terhadapnya serta pada perencanaan anak terhadap tingkah laku yang akan

ia tampilkan di lingkungannya (Bowlby, 1988).

Terdapat dua konsep penting dalam internal working model. Pertama adalah

bagaimana anak memandang perlakuan figur attachment dan pengaruhnya terhadap

tingkah lakunya. Kedua, bagaimana self-image anak yaitu seberapa besar anak

merasa diterima atau tidak oleh figur attachment mereka. Dua konsep ini akan saling

mengisi membentuk internal working model anak. Ibu sebagai figur attachment yang

memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, responsif terhadap kebutuhan dan

komunikasi anak, dan mau menerima anak akan membentuk internal working model

pada anak bahwa dirinya dicintai, diterima, dan dihargai. Model ini cenderung

menetap dan berfungsi diluar kesadaran. Pola attachment yang terbentuk dari

internal working model ini juga cenderung menetap karena perlakuan orang tua (ibu)

(18)

2.2.6. Attachment Dewasa

Beberapa peneliti mengkhususkan penelitian terhadap dunia orang dewasa

dan hubungan-hubungan yang dijalin pada masa itu, sehinga keterikatan emosional

yang menjadi topiknya diberi nama adult attachment. Pola-pola adult attachment

pada dasarnya merupakan replikasi dari pola-pola yang terbentuk semasa bayi,

namun adult attachment dengan infant-parent attachment bukanlah hal yang sama.

Relasi orangtua terhadap anak berupa caregiving (memberi), sementara relasi anak

pada orang tua berupa attachment (meminta), masing-masing sifatnya satu arah.

Sedangkan pada pasangan suami istri, relasi yang terjadi bersifat dua arah, yaitu

caregiving dan attachment. Masing-masing individu berperan sebagai figur

attachment yang memberi sekaligus membutuhkan kedekatan dan responsivitas dari

pasangannya.

Hazan dan Shaver (1987) merupakan salah satu pelopor penelitian adult

attachment dengan mengadopsi tiga pola infant-parent attachment types dari

Ainsworth untuk diberlakukan pada pasangan dalam hubungan romantis dewasa,

yaitu secure, avoidance dan preoccupied (anxious-ambivalent). Ini kemudian

disempurnakan oleh Bartholomew dan Horowitz (1991; dalam Feeney and Noller,

1996) menjadi empat pola berdasarkan karakteristik khusus yang membedakan dua

subpola avoidance, yaitu: dismissing (menolak) dan fearful (takut).

Menurut Bartholomew (1990), working model of self dapat diperlakukan

secara dikotomi sebagai positif dan negatif, demikian juga model of others.

Kombinasi antara working model of self yang positif atau negatif dengan working

model of others yang juga positif dan negatif akan menghasilkan empat variasi

pola-pola adult attachment, yaitu:

1. Pola Secure memiliki persepsi yang positif terhadap dirinya dan orang lain. Artinya ia memiliki keyakinan bahwa dirinya berharga, dan mengharapkan

orang lain menerima dan responsif terhadap dirinya, serta merasa nyaman

dengan intimacy dan otonomi. Individu secure umumnya memiliki masa kecil

yang bahagia, dimana ibu cukup peka dan sensitif terhadap kebutuhan sang

anak. Karena anak yakin bahwa ibu akan selalu ada saat ia membutuhkan

(19)

anak mengembangkan persepsi yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang

lain.

Pola secure menginginkan hubungan yang mendalam namun terdapat

keseimbangan antara kelekatan dengan pasangan dan otonomi dalam hubungan

tersebut. Mereka merasa nyaman dengan kedekatan, namun juga menghargai

otonomi dan merasa lebih berbahagia dengan hubungan yang dijalani apabila

kedua kebutuhan tersebut terpenuhi. Pola ini memiliki pandangan bahwa orang

lain beritikad baik dan berhati mulia, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan

altruistik. Mereka juga memiliki orientasi terhadap hubungan interpersonal.

Dalam keadaan tertekan mereka mampu mengenali distress dan memodulasi

afek negatif ke dalam cara-cara konstruktif. Umumnya pola ini memiliki self

esteem dan percaya diri, serta jarang meragukan diri sendiri dalam berelasi

dengan orang lain (Feeney and Noller, 1990; Feeney, Noller, and Hanrahan,

1994; dalam Feeney and Noller, 1996).

2. Pola preoccupied (Anxious-ambivalent) memiliki persepsi yang positif terhadap orang lain, tapi negatif terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain,

mereka kurang merasa dirinya berharga, namun memiliki harapan dan

pandangan positif bahwa orang lain akan menyediakan responsivitas emosional

yang diperlukannya. Pola preoccupied umumnya berasal dari perlakuan ibu

yang kurang konsisten dalam mengasuh anaknya. Kadang si ibu hadir saat anak

membutuhkan sesuatu, kadang tidak. Ibu juga terkadang menunjukkan sikap

penolakan terhadap anak dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering

memaksakan keinginannya pada anak. Seringkali ibu memberikan ancaman

perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak. Karenanya, anak akan

mengembangkan perasaan ketidakberhargaan diri, sementara ia

mengembangkan juga kepercayaan bahwa orang lainlah yang mampu

menyediakan kash sayang dan perhatian yang ia butuhkan.

Pola ini seperti halnya pola secure juga menginginkan hubungan mendalam,

meskipun hubungan semacam ini sering menimbulkan tekanan bagi mereka.

Pola ini cenderung takut akan penolakan dan takut ditinggalkan serta

melewatkan sebagian besar waktunya untuk mencemaskan hubungan yang

(20)

secara ekstrim dan bersedia mencampakkan kebutuhan otonomi mereka demi

memenuhi kebutuhan intimacy. Mereka memandang orang lain sebagai sulit

dimengerti dan sangat kompleks. Pada saat-saat penuh tekanan mereka

menunjukkan distress dan sangat mendambakan respon dari orang lain untuk

membantunya.

3. Pola Dismissing memiliki persepsi positif mengenai dirinya, tapi negatif terhadap orang lain. Individu dengan pola ini memberi makna yang tinggi

terhadap dirinya, dan lebih memilih mempertahankan self worth daripada

menjalin hubungan intimacy dengan orang lain. Selain itu, pola ini juga

memandang orang lain sebagai tidak dapat dipercaya dan tidak dapat

diandalkan, sehingga dalam rangka melindungi diri, perilaku menghindar

menjadi penting. Individu dengan pola dismissing umumnya berasal dari

perlakuan ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak

responsif terhadap isyarat dan komunikasi anak. Hal ini akan membuat anak

memutuskan untuk hidup tanpa kasih sayang dan dukungan orang lain serta

cenderung untuk mencukupi kebutuhan psikologisnya sendiri. Inilah yang

membuat individu dismissing mengembangkan persepsi yang positif terhadap

diri tetapi negatif terhadap orang lain.

Pola dismissing memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional)

dengan orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang

terlalu dekat dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy

yang bagi pola dismissing untuk mempertahankan self reliance dan otonomi

berlebihan. Pola ini memiliki prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin

hubungan dengannya. Mereka memandang orang lain tidak dapat diandalkan

dan dipercaya. Dalam keadaan tertekan, pola dismissing cenderung menekan

emosi negatif yang dirasakannya (Shaver, Collin, and Clark, 1995)

4. Pola Fearful memiliki persepsi yang negatif terhadap diri dan orang lain. Pola ini percaya bahwa orang lain tidak dapat diandalkan dan merasa dirinnya tidak

berharga untuk mendapat respon emosional. Individu fearful umumnya berasal

dari ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak responsif

terhadap isyarat dan komunikasi anak. Berbeda dengan pola dismissing, anak

(21)

melainkan menganggap dirinya sangat tidak berharga karena selalu ditinggal

dan ditolak ibunya. Karenanya individu dengan pola fearful mengembangkan

persepsi yang negatif terhadap diri maupun orang lain.

Pola fearful memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional) dengan

orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang terlalu dekat

dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy yang bagi pola

fearful disebabkan oleh kekhawatiran ditolak oleh orang lain. Pola ini memiliki

prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin hubungan dengannya. Mereka

memandang orang lain tidak dapat diandalkan dan dipercaya. Dalam keadaan

tertekan pola fearful cenderung menampilkan emosi yang dirasakan namun

menolak untuk meminta perlindungan dan dukungan orang lain (Shaver, Collin,

and Clark, 1995)

Tingkah laku attachment akan teraktifkan terutama dalam kondisi yang

tampak mengancam. Tingkah laku keempat pola adult attachment akan tampak

berbeda secara lebih nyata pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu: kondisi individu

(misal; sakit atau lelah), kondisi lingkungan (bencana alam, hal-hal yang

membahayakan), dan kondisi-kondisi lain yang diangap mengancam hubungan

attachment (misal ketidakhadiran atau keengganan figur attachment untuk dekat)

(Bowlby, 1969; dalam Feeney and Noller,1998). Jenis kondisi yang terakhir dapat

membangkitkan kecemasan akan hubungan (relationship-centered anxiety) dalam

diri individu yang merupakan respon umum akibat ancaman terhadap hubungan

attachment.

Di dalam pernikahan, ketika pasangan sebagai figur attachment tidak berada

dalam jangkauan atau tidak dapat memberikan responsivitas emosional yang

diinginkan, maka akan tercipta kondisi yang mungkin menimbulkan kecemasan

dalam hubungan attachment.

2.3 Tingkah Laku Intim 2.3.1 Definisi Intimacy

Banyak di antara para ahli yang telah mendefinisikan keintiman. Keintiman

(22)

Turner & Helms, 1995), yang diartikan sebagai inti atau bagian yang terdalam.

Dalam bahasa Jerman, keintiman dideskripsikan sebagai kesadaran akan lingkungan

internal dan realitas batin yang terdalam dari orang lain, sementara dalam lingkungan

yang lebih luas keintiman berarti menjadi lebih dekat dengan seseorang (Turner &

Helms, 1995).

Dari sudut pandang Erikson (1963; dalam Olofsky, 1993), mengatakan bahwa

intimacy adalah :

“The capacity to commit (one) self to concrete affiliations an partnership and

to develop the ethical strength to abide by such commitments, even though they may

call for significant sacrifices and compromises”

Dari pengertian-pengertian ini dapat ditarik suatu pengertian yang sama

mengenai intimacy. Bahwa intimacy berkaitan erat dengan hubungan interpersonal

yang mendalam dan terlibat satu sama lain.

Intimacy merupakan tahap perkembangan psikososial keenam dari delapan

tahap yang diajukan Erikson. Pada tahap perkembangan ini, terdapat kutub bipolar

yaitu intimacy versus isolation. Keberhasilan pada tahap tugas perkembangan ini

adalah terbentuknya orientasi pada keintiman. Mereka mampu untuk mengikatkan

diri dalam suatu relasi jangka panjang seperti halnya perkawinan dan di dalamnya

memiliki tingkat komunikasi yang tinggi disertai keterbukaan dan kedekatan yang

merupakan ciri khas dari relasi ini (Olofsky, 1993). Berdasarkan definisi-definisi

tersebut, jelaslah bahwa keintiman diartikan sebagai suatu hubungan antar dua orang

dan ditandai dengan adanya kedekatan emosional, keterbukaan pikiran, perasaan dan

komitmen.

Suatu relasi yang intim akan melibatkan aspek kognitif maupun afektif. Pada

relasi seperti ini, masing-masing harus memiliki kemampuan untuk memahami

pasangannya, baik itu mengenai pandangan-pandangan, perasaan-perasaan ataupun

kebutuhan-kebutuhan. Dalam membangun relasi seperti ini, individu haruslah

memiliki rasa percaya diri yang baik dan saling menghargai satu sama lain.

sedangkan beberapa pendapat lain mengatakan selain kepercayaan diri yang baik dan

adanya perasaan saling menghargai, mereka menitikberatkan pada masalah

(23)

mengemukakan pentingnya komunikasi, komitmen, penurunan harapan-harapan dan

melangsungkan perkembangan masing-masing individu sebagai bagian dari

pengembangan pola relasi ke arah keintiman yang lebih baik.

2.3.2 Tingkah laku intim dan Dimensi-Dimensinya

Penelitian ini memodifikasi sedikit istilah intimacy/keintiman. Yang diteliti

dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim, dimana peneliti menanyakan secara

langsung tentang tingkah laku yang ditunjukkan oleh responden penelitian dalam

berelasi intim dengan pasangannya (suami atau istri). Tingkah laku intim, sama

halnya dengan intimacy, tetap menggunakan teori Erikson sebagai dasarnya. Tapi

peneliti menggunakan pemaparan dari Orlofsky (1993) yang menjabarkan

keintiman/intimacy ke dalam sembilan dimensi, yaitu:

1. Komitmen

“Membuat kesepakatan bersama tentang kehidupan pernikahan dan berusaha

memelihara kesepakatan itu untuk seterusnya”

2. Komunikasi

“Bagaimana individu berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterbukaan dan

kenyamanan dalam berkomunikasi”

3. Kepedulian dan afeksi

“Adanya rasa peduli dan mengasihi pasangan, yang diwujudkan dalam

bentuk tingkah laku memperhatikan, membantu, dan menghargai

pasangannya”

4. Pemahaman sifat pasangan

“Berusaha mencari tahu, memahami, dan menerima sifat-sifat pasangan, baik

yang positif maupun negatif”

5. Perspective taking

“Berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangan saat

berkomunikasi, serta tidak memaksakan sudut pandang dan pemikiran

sendiri”

6. Wewenang dan pengambilan keputusan

(24)

menghormati keputusan yang diambil bersama, serta menghargai sikap

pasangannya tentang suatu keputusan”

7. Mempertahankan minat pribadi

“Menghormati kebebasan pribadi dan pasangan untuk melakukan

aktivitas-aktivitas pribadi yang terpisah”

8. Penghormatan terhadap integritas individu

“Menghormati integritas pasangan dalam segala hal, seperti pandangan

hidup, relasi sosial, dan kegiatan-kegiatan individual”

9. Kemandirian

“Memberikan ruang untuk kemandirian dan perbedaan antara dirinya dan

(25)

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai

tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan

usia pernikahan di bawah lima tahun di Bandung.

3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan:

 Dalam konteks teoritis (kegunaan ilmiah): sebagai rintisan bagi

penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat memperkaya

khasanah pengetahuan psikologi khususnya dalam area perkembangan,

juga dalam area keluarga.

 Dalam konteks praktis (kegunaan terapan): diharapkan dapat digunakan

sebagai masukan bagi pasangan suami istri, calon pasangan, maupun

konselor dalam penanganan masalah-masalah yang terjadi dalam rumah

(26)

4. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dimana

penelitian akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari

empat pola attachment dewasa, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing dan

fearful dalam relasi pernikahan dengan pasangannya.

4.1 Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini akan digunakan sampel dengan karakteristik sebagai

berikut:

1. Individu menikah

Yang diteliti dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim yang ditampilkan

individu dalam pernikahannya, sesuai dengan pola attachment dewasa apa yang

terbentuk pada dirinya. Peneliti tidak mempersoalkan apakah individu tersebut

laki-laki atau perempuan, yang penting adalah ia menikah. Peneliti tidak mengharuskan

suami dan istri sekaligus harus diambil.

2. Usia pernikahan dibawah 5 tahun

Alasan pemilihan sampel dengan usia pernikahan dibawah lima tahun (atau

tahun-tahun awal perkawinan) adalah untuk mencari individu-individu yang sedang

dihadapkan kepada tantangan perubahan kehidupan secara personal dan

interpersonal. Tahun awal perkawinan diwarnai dengan eksplorasi dan evaluasi.

Tahun-tahun awal perkawinan menentukan apakah pasangan berhasil menyesuaikan

diri dengan tuntutan baru yang mereka hadapi (Elizabeth Hurlock, 1990).

3. Bertempat tinggal di Kotamadya Bandung

Alasan pemilihan sampel yang bertempat tinggal di Kotamadya Bandung

adalah berdasarkan fenomena yang menjadi dasar penelitian ini, yaitu tingkat

perceraian di Kotamadya Bandung. Kotamadya Bandung juga adalah tempat tinggal

peneliti, sehingga memudahkan dalam pencarian sampel yang sesuai.

(27)

Alat ukur pola attachment dewasa adalah hasil modifikasi dari alat ukur

Experiences ini Close relationships (ECR) yang disusun oleh Brennan, Clark, and

Shaver (1998). Alat ukur ini berupa kuesioner dan berbentuk summated ratings, yang

terdiri dari tujuh jawaban, yaitu: sangat setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak

tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju

Alat ukur tingkah laku intim diturunkan dari pedoman interviu Intimacy

Status dari Orlofsky (1993) yang terdiri dari 9 dimensi. Alat ukur ini berupa

kuesioner berbentuk summated ratings, yang terdiri dari lima jawaban, yaitu; sangat

setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak

setuju.

4.3 Pengolahan Data

4.3.1. Teknik Pengolahan Data

1.

Mencari median (nilai tengah) untuk dimensi model of self dan model of

others berdasarkan data yang diperoleh dari alat ukur pola attachment

dewasa.

2.

Membagi seluruh responden menjadi empat kelompok pola attachment

dewasa berdasarkan kombinasi nilai total dimensi model of self dan dimensi

model of others.

3.

Mencari nilai total setiap dimensi tingkah laku intim yang diperoleh setiap

responden dalam semua kelompok pola attachment dewasa. Ini akan

digunakan sebagai dasar kategorisasi tingkah laku intim.

4.

Menentukan nilai maksimal, minimal, dan rentang dari setiap dimensi tingkah

laku intim yang tergantung pada jumlah item setiap dimensi dan jumlah

pilihan jawaban yang berjumlah tujuh (sangat tidak setuju sampai sangat

setuju)

5.

Menentukan rentang nilai kategori rendah, sedang, dan tinggi pada setiap

dimensi tingkah laku intim

6.

Mengkategorikan nilai total tiap dimensi tingkah laku intim semua responden

(28)

7.

Setelah semua nilai total setiap dimensi dari seluruh responden memiliki

kategori (apakah rendah, sedang, atau tinggi), kemudian disusun persentase

jumlah dalam setiap kategori pada semua dimensi tingkah laku intim.

4.3.2. Kategorisasi

4.3.2.1. Kategorisasi Untuk Variabel Pola Attachment Dewasa

Kategorisasi ini digunakan untuk membagi responden ke dalam empat pola

attachment dewasa. Pola attachment dewasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi

model of others dan dimensi model of self. Kedua dimensi akan dibagi menjadi dua

bagian, yaitu rendah dan tinggi. Kemudian kedua dimensi akan dikombinasikan

hingga menjadi empat pola attachment dewasa. Langkah-langkah untuk penentuan

setiap kategori adalah sebagai berikut:

1. Menghitung total skor masing-masing dimensi

2. Membuat ranking kelompok skor tersebut dari keseluruhan sampel

3. Menentukan batas tinggi dan batas rendah dari dimensi model of others dan

model of self

4. Menyusun data dalam distribusi frekuensi, kemudian diambil nilai tengah

dari skor yang diperoleh dalam kelompok sampel

Untuk menentukan nilai tengah, rumus yang digunakan adalah:

Me = b + p ½ n – F

f

Me = median

b = batas bawah kelas median, yaitu kelas median terletak

p = panjang kelas median

n = ukuran sampel

(29)

median

f = frekuensi kelas median

5. Membuat norma kelompok berdasarkan nilai tengah tersebut untuk

menentukan tinggi atau rendahnya skor yang diperoleh responden pada

masing-masing dimensi

6. Menentukan kategori pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi hasil

dari butir 5.

Berikut ini adalah cara penentuan kategorisasi variabel pola attachment

dewasa:

Dimensi model of others:

Nilai tertinggi : 57

Nilai terendah : 16

Median : 34

Interval kelas :

Kategori Skor

Rendah 16 – 34

Tinggi 35 - 57

Dimensi model of self:

Nilai tertinggi : 90

Nilai terendah : 20

(30)

Interval kelas :

Kategori Skor

Rendah 20 – 56

Tinggi 57 - 90

Berdasarkan kategorisasi di atas, maka pembagian empat pola attachment dewasa

menjadi sebagai berikut :

Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa

Model of self

Kategorisasi dilakukan untuk menentukan apakah tingkah laku intim yang

ditampilkan tiap responden dalam pernikahannya termasuk rendah, sedang, dan

tinggi. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Mencari nilai maksimum dan minimum dari setiap dimensi yang didasarkan

pada jumlah item setiap dimensi dan skor pilihan jawaban (antara 1 sampai 7)

2. Mencari rentang nilai setiap dimensi dengan cara mengurangi nilai

maksimum dengan nilai minimum

3. Membagi rentang nilai tersebut dengan 3, karena jumlah kelompok kategori

yang diinginkan adalah tiga (rendah, sedang, tinggi)

4. Menentukan rentang nilai setiap kategori dari setiap dimensi tingkah laku

(31)

Tabel 3.2 Kategorisasi tingkah laku intim

Dimensi Rendah Sedang Tinggi

Komitmen 9-27 27-45 45-63

Komunikasi 11-33 33-55 55-77

Kepedulian dan afeksi 8-24 24-40 40-56

Pemahaman sifat pasangan 6-18 18-30 30-42

Perspective taking 3-9 9-15 15-21

Wewenang dan pengambilan keputusan

6-18 18-30 30-42

Mempertahankan minat pribadi 3-9 9-15 15-21 Penghormatan integritas individu 3-9 9-15 15-21

(32)

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 HASIL

5.1.1 Hasil kategorisasi responden menjadi empat pola attachment dewasa Seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 59 orang. Mereka dibagi menjadi

empat kelompok pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi skor total dimensi

model of self dan model of others pada alat ukur pola attachment dewasa. Hasil

kategorisasi dan jumlah responden dalam setiap pola attachment dewasa adalah

sebagai berikut:

Tabel 4.1 Hasil kategorisasi responden menurut pola

attachment dewasa

(33)

Penghormatan 0 25 75

Kemandirian 0 0 100

Tabel 4.2 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari

pola secure. Pola secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap

pernikahan (100%), ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana

masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya, serta

terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan

pernikahannya, pola secure mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka

dengan pasangannya (100% tinggi). Saat ia menghadapi suatu masalah, ia mau

berbagi kepada pasangan, bukannya memendam sendiri permasalahannya.

Pola secure menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang tinggi pada

pasangannya (93,8%). Ia berusaha untuk selalu hadir saat pasangan membutuhkan,

termasuk saat pasangan hendak berkeluh kesah tentang suatu masalah. Pengetahuan

dan pemahamannya terhadap sifat pasangan, baik yang positif maupun negatif,

tergolong tinggi (93,8%). Ia memahami benar bahwa pasangannya adalah manusia

yang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk sifat-sifatnya. Ia mampu menerima

pasangan apa adanya dan tidak menyesal menikah dengannya.

Komunikasi yang jujur dan terbuka serta pemahaman akan sifat pasangan

dilandasi oleh kesediaannya yang tinggi untuk terbuka dan menerima sudut pandang,

perasaan dan minat pasangannya (perspective taking 100% tinggi). Saat berdiskusi

tentang sesuatu hal, pola secure mencoba untuk menempatkan diri pada posisi

paangan untuk memahami lebih baik bagaimana sudut pandang atau perasaan

pasangannya tentang hal tersebut. Kemampuan perspective taking (pemahaman sudut

pandang pasangan) yang tinggi ini juga mendasari bagaimana pembagian wewenang

dan pengambilan keputusan. Pola secure mampu dengan baik menjaga

keseimbangan wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (100%

tinggi). Ia tidak memaksakan endapatnya p sendiri, melainkan selalu

mempertimbangkan pendapat pasangan dalam suatu pengambilan keputusan.

Keterbukaan terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan menyebabkan ia dapat

menghargai keputusan yang diambil oleh pasangan, walaupun mungkin ia kurang

(34)

Pola secure menghormati integritas dirinya dan pasangannya sebagai individu

yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas sendiri. Ia tidak melarang

pasangan untuk memiliki hubungan pertemanan dengan siapa saja atau melakukan

aktivitas lain, selama tidak meninggalkan kewajiban rumah tangganya (dimensi

penghormatan terhadap integritas individu 75% tinggi). Pola secure juga memiliki

aktivitas-aktivitas yang terpisah dengan pasangannya. Ia mengharapkan pasangannya

dapat menerima aktivitas terpisah tersebut, sebagaimana ia juga memperbolehkan

pasangannya untuk beraktivitas pribadi. Ia tidak merasa cemburu atau merasa

ditinggalkan secara berlebihan (skor mempertahankan minat pribadi 100% tinggi).

Pola secure menunjukkan kemandirian yang tinggi (100%). Untuk beberapa

hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun pada hal lainnya ia

ia akan meminta pendapat pasangan. Dalam pernikahannya, ia tetap memberikan

ruang untuk perbedaan dan kemandirian.

Tingkah laku intim yang ditampilkan oleh pola secure dapat dikatakan

optimal karena pada semua dimensi tingkah laku intim pola secure memiliki

persentase skor terbesar dalam kategori tinggi. Ini disebabkan karena pola secure

memandang dirinya dan pasangannya secara positif, sehingga relasi pernikahannya

dilandasi suatu perasan aman dan nyaman. Tidak ada keraguan dalam dirinya bahwa

ia tidak berharga, atau pasangan tidak akan ada saat ia membutuhkan. Dengan

landasan ini, ia mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam

pernikahannya.

5.2.2. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Preoccupied dalam pernikahannya

Rendah Sedang Tinggi

Komitmen 0 10,5 89,5

Komunikasi 0 0 100

Kepedulian 0 10,5 89,5

Paham sifat 0 5,2 94,8

Perspective taking 0 0 100

(35)

Wewenang 0 10,5 89,5

Minat pribadi 5,2 68,4 26,4

Penghormatan 0 57,9 42,1

Kemandirian 0 15,8 84,2

Tabel 4.3 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari

pola preoccupied. Pola preoccupied menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap

pernikahan (89,5%). Ini ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan

rencana masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya,

serta terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Komunikasi

yang terjalin antara pola preoccupied dengan pasangannya adalah komunikasi yang

dilandasi kejujuran dan keterbukaan (100% tinggi). Pola preoccupied tidak segan

untuk menceritakan masalah yang ia hadapi kepada pasangannya.

Pola preoccupied mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang

tinggi pada pasangannya (89,5%). Ia mau membantu pasangan saat dibutuhkan,

menunjukkan penghargaan pada pasangan, mendengarkan keluhan pasangan, serta

memperhatikan minat pasangan, termasuk minat seksual pasangan. Ia juga mampu

dengan baik memahami dan menerima sifat-sifat pasangannya, baik positif maupun

negatif (94,8% tinggi). Ia juga tahu harus melakukan apa saat pasangan menunjukkan

sifat negatifnya.

Pola preoccupied menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk menerima dan

memahami sudut pandang, perasaan, dan minat pasangan (100%). Dalam

pengambilan keputusan, ia selalu mempertimbangkan pertimbangan pasangan, tidak

memaksakan pemikirannya sendiri. Ia menjaga agar terdapat keseimbangan

wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (89,5% tinggi).

Pola preoccupied cukup mampu mempertahankan sebagian minat pribadinya

dengan tetap melakukan hobi-hobinya semasa belum menikah dulu, serta tidak

menampilkan rasa cemburu yang berlebihan jika pasangan melakukan suatu aktivitas

tanpa melibatkannya (68,4% sedang). Ia cukup mampu menghormati integritas

dirinya dan pasangannya sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi

(36)

kemandirian yang tinggi (84,2% tinggi) dimana ia dapat membuat keputusan sendiri

untuk beberapa hal, walau untuk beberapa hal lainnya ia pasti meminta pendapat

pasangannya.

Pola preoccupied menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam

pernikahannya. Dengan dasar pandangan yang positif terhadap orang lain (dalam hal

ini pasangannya), pola preoccupied mampu menunjukkan komitmen, komunikasi,

kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking,

wewenang dan pengambilan keputusan, dan kemandirian yang tinggi. Tapi

pandangannya yang negatif terhadap diri sendiri menyebabkan ia tidak menonjol

dalam mempertahankan minat pribadi dan menghormati integritas individu

(persentase terbesar ada pada kategori sedang). Fokus pola preoccupied ada pada diri

pasangannya, bukan pada dirinya sendiri.

Satu hal yang menarik adalah tingkat kemandirian yang tinggi pada pola

preoccupied. Ini berbeda dengan pemaparan Bartholomew yang menyebutkan bahwa

pola preoccupied dicirikan dengan ketergantungan yang tinggi pada pasangannya.

Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain karena tingkah laku intim yang

ditampilkan pola preoccupied sendiri ternyata cukup baik, sehingga seharusnya relasi

pernikahannya menjadi cukup intim dan hangat. Keadaan yang kondusif ini

menyebabkan ia mulai mengembangkan sisi kemandirian dalam dirinya.

5.2.3. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Dismissing dalam pernikahannya

Rendah Sedang Tinggi

Komitmen 0 7,7 92,3

Komunikasi 0 15,4 84,6

Kepedulian 0 30,8 69,2

Paham sifat 0 7,7 92,3

Perspective taking 0 7,7 92,3

(37)

Wewenang 0 7,7 92,3

Minat pribadi 0 69,2 30,8

Penghormatan 0 46,2 53,8

Kemandirian 0 15,4 84,6

Dari tabel 4.4 di atas dapat dilihat gambaran tingkah laku intim yang

ditampilkan oleh pola attachment dewasa dismissing dalam pernikahannya. Pola

secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (92,3%),

ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi

pernikahannya, berupaya memelihara pernikahan, serta terus berusaha meningkatkan

kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan pernikahannya, pola dismissing

mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka dengan pasangannya

(84,6% tinggi). Saat menghadapi suatu masalah, ia mau berbagi kepada pasangan,

bukan memendamnya sendiri.

Pola dismissing mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang

tinggi pada pasangannya (69,23% tinggi). Ia berusaha menunjukkan perhatian dan

penghargaan pada pasangannya, serta siap untuk membantu saat dibutuhkan.

Pemahaman pola dismissing akan sifat-sifat pasangannya juga tinggi (92,3%). Ia

mengenal dengan baik sifat-sifat pasangannya, baik atau buruk, serta menerima

pasangan apa adanya.

Pola dismissing terbuka terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan. Ia

berusaha untuk menempatkan dirinya pada posisi pasangan untuk memahami

perasaan pasangan akan suatu hal (92,3% tinggi). Kemampuan perspective taking

yang tinggi membuatnya selalu mempertimbangkan pendapat pasangan saat mereka

akan mengambil suatu keputusan. Pola dismissing mengusahakan terciptanya

keseimbangan dalam wewenang di rumah tangganya. Tidak ada pemaksaan

kehendak pada pasangan, melainkan penghargaan terhadap pertimbangan dan

keputusan yang diambil pasangan (92,3% tinggi pada dimensi wewenang dan

pengambilan keputusan).

Pola dismissing tetap melakukan beberapa hobinya semasa belum menikah

(38)

Sikapnya cukup positif terhadap aktivitas terpisah, sehingga saat pasangan

melakukan suatu aktivitas tanpa mengikutsertakannya, ia mampu menerimanya dan

tidak merasa cemburu secara berlebihan (69,2% sedang pada dimensi

mempertahankan minat pribadi). Pola dismissing cukup mampu menghormati

integritas dirinya dan pasangan sebagai individu yang memiliki pandangan hidup,

relasi sosial, dan aktivitas sendiri (53,8% tinggi). Ia mengijinkan pasangan untuk

berteman dengan siapa saja, serta melakukan aktivitas lain selama tidak mengganggu

kewajiban sebagai suami/istri.

Pola dismissing menunjukkan tingkat kemandirian yang tinggi (84,6%).

Untuk beberapa hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun

pada hal lainnya ia ia akan meminta pendapat pasangan. Ia tetap memberikan ruang

untuk perbedaan dan kemandirian dalam pernikahannya.

Pola dismissing menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam

pernikahannya. Ia mampu menunjukkan komitmen, komunikasi, kepedulian dan

afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan

pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian

yang tinggi. Sementara pola dismissing tidak menonjol dalam hal mempertahankan

minat pribadi (69,2% sedang).

5.2.4. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola fearful dalam pernikahannya

Rendah Sedang Tinggi

Komitmen 0 27,2 72,8

Komunikasi 0 36,4 63,6

Kepedulian 0 36,4 63,6

Paham sifat 0 36,4 63,6

Perspective taking 0 18,2 81,8

Gambar

Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa
Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa
Tabel 3.2 Kategorisasi tingkah laku intim
Tabel 4.1 Hasil
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, hasil perhitungan hipotesis menunjukan persamaan berupa ̂ , dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa, jika X adalah 0 maka pendapatan asli

Economic Order Quantity (EOQ) Multi Item adalah sebuah metode yang digunakan untuk menghitung jumlah persediaan yang efektif bagi perusahaan.. Setelah dilakukan perbandingan

Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan oleh peneliti pada bab sebelumnya, tentang pelaksanaan dan hasil tindakan dengan penggunaan

[r]

Sedangkan menurut Ibnu Syamsi (1994: 124) mendefinisikan pengarahan merupakan kegiatan pimpinan yang berupa pemberian bimbingan atau petunjuk kepada bawahan

Aksi Bela Islam (ABI) yang diikuti jutaan umat Islam Indonesia, baik secara sosiologis maupun psikologis, sejatinya digerakkan oleh hati nurani dan cinta suci terhadap agama

[r]

Sebelum mengajar atau sebelum melaksanakan proses pembelajaran dikelas ada beberapa hal yang harus di persiapkan antara lain menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran