LAPORAN PENELITIAN
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI
EMPAT POLA
ATTACHMENT
DEWASA
PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN USIA PERNIKAHAN
DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG
Oleh :
Fredrick Dermawan Purba
NIP : 132 318 263
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI EMPAT POLA ATTACHMENT DEWASA PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN
USIA PERNIKAHAN DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG
Oleh
Fredrick Dermawan Purba
Fakultas Psikologi Universitas Padjadajaran
ABSTRAK
Fenomena yang terjadi adalah tingginya tingkat perceraian pasangan pada tahun-tahun awal pernikahan, yang diakibatkan oleh tingkah laku intim yang kurang optimal. Hal yang menentukan tingkah laku intim yang ditampilkan oleh individu dalam pernikahannya adalah pola attachment dewasa yang terbentuk dalam dirinya. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung. Teori pola
attachment dewasa yang digunakan adalah dari Bartholomew (1990), yang membagi pola attachment dewasa menjadi empat pola, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing, dan
fearful. Sementara tingkah laku intim dikutip dari sembilan dimensi intimacy status yang dipaparkan oleh Orlofsky (1993).
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa. Sampel penelitian adalah individu dengan usia pernikahan 1-5 tahun dan bertempat tinggal di kotamadya Bandung, yang didapat melalui teknik sampling purposif. Kepada 59 orang sampel diberikan alat ukur pola attachment dewasa dan tingkah laku intim.
Hasil analisa didapatkan pola secure memperoleh persentase skor terbesar ada pada kategori tinggi dalam semua dimensi tingkah laku intim. Pola preoccupied menunjukkan persentase skor yang tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi dan penghormatan terhadap integritas individu, pola preoccupied memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola dismissing menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi,pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi pola dismissing memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola fearful menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan,
perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi, pola
fearful memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang.
Kata kunci : Tingkah laku intim, pola attachment dewasa
A DESCRIPTIVE STUDY ABOUT INTIMACY BEHAVIORS OF FOUR ADULT ATTACHMENT PATTERNS IN MARRIED INDIVIDUALS IN
THEIR FIRST FIVE YEARS OF MARRIAGE IN BANDUNG
By pattern in his/her self. This research is intended to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns in married individuals in their first five years of marriage in Bandung. There are two theories that used in this research. One is theory of adult attachment patterns by Bartholomew (1990) that divided adult attachment into four different pattrens, which are secure, preoccupied, dismissing, and fearful. The other theory is from Orlofsky (1993) about intimacy behaviors.
The design of this research is descriptive study to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns. The sample are individuals who has been married not more than five years, and live in Bandung. The sampling technique is purposive sampling technique. All 59 subjects filled the questionnaires of adult attachment patterns and intimacy behavior.
The result are: secure pattern individuals have high score in all dimensions of intimacy behaviors. Preoccupied have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest and respect for individual integrity. The dismissing have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest. The fearful shows high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan, karena atas berkat dan kasih-Nya
saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi deskriptif mengenai tingkah
laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia
pernikahan dibawah lima tahun di Bandung” ini, sebagai tugas akhir untuk
menempuh pendidikan Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran. Proses pembuatan laporan penelitian ini memakan waktu yang tidak
dapat dikatakan sebentar, namun sepanjang waktu tersebut saya tetap memiliki
semangat untuk menyelesaikan penelitian ini atas dorongan, dukungan dan bantuan
banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih
kepada setiap pihak yang sudah memberikan bantuannya selama ini. Terimakasih
kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Ketua Bagian
Psikologi Perkembangan atas dukungan dan kepercayaannya, dan para responden
yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penelitian dan
membantu saya. Juga beberapa pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang
ikut mendukung dan membantu pelaksanaaan penelitian ini. Akhir kata kami harap,
semoga laporan ini dapat bermanfaat
Bandung, Mei 2006
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK...………..
ABSTRACT …………..…..……….
KATA PENGANTAR……….
DAFTAR ISI………...
DAFTAR TABEL………...
PENDAHULUAN………...
TINJAUAN PUSTAKA………..
TUJUAN DAN MANFAAT ………..
METODE PENELITIAN………
HASIL DAN PEMBAHASAN………...
KESIMPULAN DAN SARAN ..………
DAFTAR PUSTAKA………...………...
i
ii
iii
iv
v
1
11
24
25
31
40
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa 29
Tabel 3.2 Kategorisasi tingkah laku intim 30
Tabel 4.1 Hasil kategorisasi responden menurut pola attachment dewasa 31
Tabel 4.2 Gambaran tingkah laku intim dari pola secure (dalam %) 31
Tabel 4.3 Gambaran tingkah laku intim dari pola preoccupied (dalam
%)
33
Tabel 4.3 Gambaran tingkah laku intim dari pola dismissing (dalam %) 35
1. PENDAHULUAN
Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang
memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal
memfokuskan relasi interpersonal mereka pada hubungan yang lebih intim dengan
pasangannya. Jika relasi ini berkembang lebih lanjut, maka ia akan menghasilkan
suatu kesepakatan untuk terlibat secara mendalam dan dalam jangka waktu yang
relatif panjang, seperti halnya pernikahan. Hal ini seiring dengan salah satu tugas
perkembangan pada tahap dewasa awal yaitu belajar mulai hidup dalam hubungan
pernikahan dengan pasangan (Duvall, 1977).
Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Dalam
kehidupan pernikahan terjadi suatu penyatuan antara dua individu yang berasal dari
budaya, lingkungan dan keluarga yang berbeda. Wajar jika keduanya membawa
nilai-nilai yang berbeda. Banyak hal yang dihadapi pasangan yang baru dalam
mengarungi kehidupan pernikahan, seperti perbedaan minat, hobi, pandangan tentang
sesuatu hal. Kehadiran anak, hubungan dengan mertua atau ipar, masalah aktivitas
bersama atau pekerjaan menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi pembicaraan
atau perdebatan pasangan. Karenanya, diperlukan usaha bersama dan terus-menerus
untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dibawa pasangan agar hubungan
pernikahan dapat harmonis dan dinamis yang adalah harapan individu yang menikah.
Namun, pada kenyataannya pernikahan tidaklah selalu mulus. Adakalanya terjadi
konflik yang menyebabkan relasi terganggu. Masa awal pernikahan ini adalah masa
yang paling rawan terjadi konflik. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kemungkinan
tingkat perceraian yang paling tinggi terletak antara dua sampai lima tahun. Hal ini
terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap 120 pasangan suami istri yang
bercerai di Pengadilan Agama Bandung, 45% berada di bawah usia pernikahan
kurang dari lima tahun (Kompas, Juli 2003). Ini menunjukkan bahwa masa-masa
awal pernikahan merupakan masa yang rentan dan sangat menuntut penyesuaian
yang baik dari pasangan suami istri.
Timbul suatu pertanyaan yang mendasar: Faktor-faktor apa saja yang dapat
menyebabkan perceraian? Majalah Femina, April 2001, menyebutkan penyebab
tertinggi dari perceraian tersebut diantaranya adalah kekurangterbukaan dalam
perselingkuhan dan kekerasan ekonomi. Sementara pada tahun 2001, dari seluruh
kasus perceraian yang terjadi di Kotamadya Bandung, Pengadilan Agama
Kotamadya Bandung mencatat sebanyak 15,55% merupakan masalah moral
(perselingkuhan, krisis akhlak, cemburu), 34,23% masalah tanggung jawab
(ekonomi, penganiayaan), 42,16% disebabkan karena terus menerus berselisih
dengan pasangan (politis, gangguan pihak ketiga, tidak adanya keharmonisan) dan
8,06% disebabkan oleh hal-hal lain.
Hasil wawancara terhadap seorang psikolog pernikahan dan keluarga di
Bandung, Dra. Sawitri Supardi, menyatakan bahwa ada empat hal yang
menyebabkan terjadinya pertengkaran dan perceraian pada pasangan di awal
pernikahannya, yaitu menurunnya komitmen terhadap pernikahan, menurunnya
penghargaan terhadap pasangan, kurangnya rasa percaya (trust) terhadap pasangan,
dan ketidakmampuan dalam pengelolaan ekonomi.
Dari pemaparan data-data penyebab perceraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang menjadi akar persoalan adalah ketidakmampuan individu dan
pasangannya untuk menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam
pernikahannya, sehingga relasi yang terjadi menjadi kurang hangat. Orlofsky (1993)
menjelaskan tentang tingkah laku intim dalam suatu pernikahan yang akan
menentukan kelangsungan pernikahan tersebut. Ia menyebutkan sembilan
bentuk/dimensi tingkah laku intim tersebut, yaitu: komitmen, komunikasi,
kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking,
wewenang dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi,
penghormatan integritas individu pasangan dan kemandirian. Hasil wawancara
terhadap beberapa orang yang bercerai ditemukan bahwa mereka atau pasangannya
kurang mampu menunjukkan tingkah laku intim yang disebutkan oleh Orlofsky.
Seorang responden menyebutkan bahwa ia dan suaminya memiliki perbedaan
pendapat tentang pergaulan dengan teman-teman setelah menikah. Sang istri masih
ingin banyak pergi dengan teman-temannya, sementara sang suami tidak setuju.
Ketidakmampuan mereka untuk menemukan cara menyelesaikan perbedaan tersebut,
tidak ada yang berusaha memahami apa yang menjadi dasar pasangannya bertindak
demikian, serta tidak ada yang mau mengalah menyebabkan persoalan menjadi besar
ia bercerai dengan pasangannya karena tidak mempu menemukan cara dan bentuk
komunikasi yang tepat bagi keduanya. Ia mengaku bahwa ia adalah tipe orang yang
“blak-blakan”, sementara pasangannya tipe orang yang tertutup. Ketidaksesuaian
tersebut mengakibatkan mereka sering bertengkar, dan berujung pada perceraian.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa individu akan mengalami banyak konflik
dan ketidakpuasan terhadap pernikahannya jika ia kurang mampu menampilkan
secara optimal tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya. Konflik
dan rasa tidak puas yang mungkin tidak terselesaikan ini mungkin saja akan berakhir
ke perceraian. Atau dapat disimpulkan bahwa efek terburuk dari ketidakmampuan
bertingkah laku intim adalah perceraian.
Jika kita berpaling dan melihat ke sekeliling kita, ternyata masih banyak juga
terdapat pasangan yang mampu mempertahankan ikatan pernikahannya sampai usia
tuanya. Peneliti mewawancarai lima pasangan yang rata-rata berusia 45-50 tahun.
Setengah dari mereka menyebutkan bahwa yang penting adalah mencoba berbuat
yang terbaik dalam pernikahan mereka, seperti misalnya jujur dan terbuka terhadap
pasangannya, selalu berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh
pasangannya, dan tetap mau menerima perbedaan yang ada di antara mereka.
Setengah lainnya mengatakan bahwa yang terpenting adalah menganggap pasangan
sama berharganya seperti diri sendiri, karena dengan itu ia akan berusaha selalu
terbuka, menghormati pendapat dan tindakan pasangannya. Keseluruhan dari mereka
tidak menyangkal bahwa kadang terjadi konflik, tapi mereka selalu berusaha untuk
duduk bersama dan mendiskusikan masalah yang terjadi, tidak memaksakan
pendapatnya pada pasangannya, serta mencari penyelesaian terbaik yang dapat
diterima keduanya. Pasangan yang langgeng ini adalah contoh nyata hubungan
pernikahan yang bahagia karena mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan
hangat secara optimal.
Muncul suatu pertanyaan tentang faktor apakah dalam diri individu yang
akan menentukan bagaimana ia bertingkah laku dalam pernikahannya. Jawabannya
adalah rasa aman dan nyaman yang dirasakan individu dalam relasinya dengan
pasangannya. Perasaan aman atau nyaman yang dirasakan individu ditentukan oleh
bagaimana ia mempersepsikan dirinya maupun pasangannya, apakah positif atau
menemukan bahwa kebanyakan mereka kurang merasakan rasa aman dan nyaman
dalam relasi pernikahannya. Mereka menganggap pasangannya kurang dapat
dipercaya, jarang ada saat mereka membutuhkan. Ini mengakibatkan tingkah laku
intim yang mereka tampilkan menjadi kurang optimal. Mereka menjadi kurang
terbuka dalam berkomunikasi, kurang mau berusaha memahami pasangannya, dan
lainnya. Namun sebaliknya, para responden yang dapat mempertahankan
pernikahannya langgeng dan bahagia menyatakan bahwa rasa aman dan nyaman
dalam relasinya dengan pasangannya tercipta dari pandangan yang positif terhadap
diri sendiri maupun terhadap pasangannya. Mereka umumnya menganggap
pasangannya sama berharganya dengan diri mereka, karenanya jarang sekali mereka
melakukan tingkah laku yang akan menyakiti pasangannya.
Rasa aman dan nyaman yang bersumber pada bagaimana individu
memandang diri dan pasangannya dipaparkan dalam suatu teori tentang ikatan
emosional antara individu dengan pasangan romantis dewasanya, yaitu teori
attachment dewasa (Adult Attachment theory). Secara singkat, teori ini menjelaskan
tentang bagaimana individu menjalin suatu kelekatan emosional dengan orang lain
yang bermakna secara emosional baginya. Teori attachment dewasa menjadikan teori
attachment masa kanak-kanak (childhood attachment theory) dari Bowlby sebagai
dasarnya. Bartholomew (1990) menyempurnakan teori Bowlby dan memaparkan
empat pola kelekatan emosional kepada seorang pasangan romantis dewasa yang
didasari oleh bagaimana persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan terhadap
orang lain, yang disebut dengan empat pola attachment dewasa.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola attachment dewasa,
khususnya di Amerika Serikat, yang bertujuan memperkaya teori attachment dewasa.
Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan banyak hal, termasuk didalamnya
tingkahlaku yang ditunjukkan oleh pola-pola attachment dewasa dalam relasi
sosialnya, dengan teman, pasangan, orangtua dan lainnya. Tapi sayangnya, di
Indonesia masih sangat minim literatur maupun penelitian tentang pola attachment
dewasa tersebut. Akibatnya, pengetahuan kita tentang pola attachment dewasa dan
bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa di
Indonesia pun sangat minim. Berdasarkan pemaparan tentang data-data tentang
tentang pola-pola attachment dewasa di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti
tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan
usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung.
PERUMUSAN MASALAH
Pernikahan adalah relasi yang mendalam antara dua individu. Pernikahan
dapat berjalan dengan baik dan langgeng jika individu-individu yang menjalani
pernikahan tersebut mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat.
Tingkah laku yang dimaksud adalah komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi,
pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan
pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, penghormatan integritas
individu pasangan serta kemandirian (Orlofsky, 1993).
Bagaimana individu akan menampilkan tingkah laku intim dalam
pernikahannya sangat ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi dirinya sendiri dan
pasangannya. Inilah yang disebut dengan pola attachment dewasa. Menurut
Bartholomew (1990; dalam Feeney and Noller, 1996) terdapat empat pola
attachment dewasa, yaitu pola Secure, Preoccupied, Dismissing, dan Fearful.
Keempat pola attachment dewasa tersebut berbeda dalam mempersepsi dirinya
sendiri dan mempersepsi orang lain.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola-pola attachment dewasa dan
bagaimana tiap pola bertingkah laku dalam relasinya dengan orang lain. Tapi
penelitian-penelitian tersebut hampir seluruhnya dilakukan di Amerika Serikat
maupun negara barat lainnya. Sementara di Indonesia hal tersebut masih sangat
minim, sehingga pengetahuan kita tentang pola-pola attachment dewasa masih
sedikit dan terbatas. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada
individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masa Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa
dewasa. Menandai secara pasti kapan masa dewasa awal dimulai merupakan ha yang
sulit disepakati oleh banyak ahli. Meskipun diakui sulit untuk menandai dimulainya
masa dewasa awal, namun beberapa ahli mencoba memberikan ancar-ancar melalui
usia kronologis. Hurlock (1990) misalnya, memberikan rambu-rambu
berlangsungnya usia dewasa awal pada usia 18 tahun hingga kira-kira 40 tahun.
Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola
kehidupan baru dan harapan-harapan sosial muda (Hurlock, 1990). Lebih lanjut
menurut Hurlock, orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru seperti
peran suami-istri, orang tua, pencari nafkah dan pengembangan sikap-sikap baru,
keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai tugas-tugas baru ini. Masa dewasa
awal merupakan masa pembuatan komitmen-komitmen.
Pentingnya pembuatan komitmen pada masa dewasa awal juga ditekankan
oleh Erikson. Menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 178:98), salah satu tugas
utama individu selama tahap perkembangan dewasa awal adalah membentuk
hubungan interpersonal yang akrab dan stabil dengan orang lain. Jika individu dapat
membentuk persahabatan yang sehat dan dapat membentuk hubungan yang intim
dengan individu lain, intimasi akan tercapai, sebaliknya, jika individu gagal
membangun persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim, individu akan
menghadapi isolasi.
2.1.1 Masa Dewasa Awal: Tugas Perkembangan Pasangan Muda
Menurut Duvall (1977), tugas-tugas perkembangan dari pasangan yang baru
menikah (pasangan muda) berasal dari tiga sumber. Yang pertama adalah
kematangan fisik, dimana suami dan istri harus memenuhi tugas pertama mereka,
yaitu mengendalikan dorongan-dorongan seksual mereka agar terjadi pemenuhan
seksual yang dewasa. Yang kedua adalah ekspekstasi dan dorongan dari masyarakat
yang mengharapkan mereka dapat bertingkah laku sebagai pasangan suami istri
seperti yang diharapkan oleh masyarakat sekitarnya. Yang ketiga, suami dan istri
yang mereka impikan selama ini. Seringkali apa yang diharapkan lingkungan tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan individu. Realita situasi pernikahan yang mereka
hadapi mungkin tidak sesuai dengan bayangan mereka selama ini. Tujuan pribadi
suami dan istri mungkin bisa sesuai, tapi mungkin saja ternyata tidak saling cocok.
Beberapa tugas yang harus dipenuhi sebuah pasangan yang baru menikah
antara lain: berbagi tanggung jawab dalam tugas-tugas rumahtangga, keduanya harus
menjadi rekan yang setara dalam masalah ekonomi keluarga, keduanya memiliki
tugas untuk saling berkomunikasi secara intim, serta keduanya harus belajar untuk
berlaku sebagai tandem (pasangan) dalam kehidupan sosial mereka, tidak lagi
sebagai individu-individu.
Duvall juga menambahkan, pasangan harus memenuhi tugas perkembangan
mereka sebagai suatu keluarga, yaitu:
1. Menemukan, melengkapi, dan merawat rumah mereka
2. Menemukan cara yang tepat untuk saling memberi dukungan
3. Mengalokasikan tanggungjawab-tanggungjawab yang dapat dan mau
dilakukan masing-masing
4. Menemukan dan menjankan peran pribadi, emosional dan seksual yang saling
menguntungkan
5. Berhubungan dengan keluarga, kerabat, dan masyarakat sekitar
6. Merencanakan kemungkinan anak
7. Memelihara motivasi pasangan.
2.2 Teori AdultAttachment 2.2.1 Attachment
Attachment adalah suatu hubungan atau interaksi antara 2 individu yang
merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk
melanjutkan hubungan tersebut (Bowlby, 1988)
Perilaku attachment merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk
mencari dan memelihara kedekatan dengan individu lainnya. Dalam hal ini
perkembangan attachment terjadi pada dua orang individu, yaitu antara anak dengan
ibunya.
karena interaksi awal yang terjadi pada anak adalah dengan ibunya. Studi Ainsworth
(1963,1967) memberikan hasil bahwa perilaku attachment telah timbul sejak ia
berusia 6 bulan.
Interaksi sosial awal antara anak dan ibu selanjutnya menjadi dasar bagi
perkembangan kepribadian anak. Ibu sebagai orang terdekat pertama bagi anak
berperan dalam memberikan cara pengasuhan yang dapat memenuhi kebutuhan
psikologis anak. Pemenuhan kebutuhan psikologis anak dapat diwujudkan ibu lewat
kasih sayang, rasa cinta, perhatian, rasa aman, dan kooperatif serta responsif terhadap
kebutuhan orang lain.
2.2.2 Dimensi Cara Perlakuan Orang tua Terhadap Anak
Cara perlakuan orang tua terhadap anaknya akan memperngaruhi kualitas
perkembangan attachment anak. Menurut Ainsworth, Bell, dan Stayton (1971) cara
perlakuan ibu terhadap anak terdiri dari 4 dimensi:
1. Sensitivity – Insentivity
Ibu yang sensitif akan selalu responsif terhadap isyarat kebutuhan dan
komunikasi anak, mampu menginterpretasikan isyarat kebutuhan anak dan
komunikasi anak dengan benar, serta mampu memandang sesuatu dari sudut pandang
anak. Sedangkan pada ibu yang insensitif, ia sering tidak memberikan respon sama
sekali terhadap isyarat dan komunikasi anak serta sering memandang sesuatu dari
sudut pandangnya sendiri.
2. Acceptance – Rejection
Ibu yang menerima anaknya dengan senang hati terikat dengan anak melalui
aktivitas perawatan terhadap anak, menikmati aktivitas yang dilakukan bersama anak
apada saat anak dalam keadaan suasana hati yang baik dan suasana hati yang jelek.
Sedangkan ibu yang secara konsisten menolak anaknya akan mempunyai perasaan
marah yang melebihi rasa kasih sayangnya terhadap anak, serta mudah menyatakan
secara terbuka pada anak bahwa dirinya menjengkelkan atau mengganggunya,
menciptakan suasana yang tidak enak terhadap anak, sering menolak keinginan atau
harapan anak, dan sering memarahi atau mengomeli anak.
3. Cooperation – Interference
menaruh minat pada otonomi anak, berusaha untuk menghindari suasana yang dapat
menghambat kegiatan anak melalui kontrol secara langsung. Ibu juga selalu
menggunakan pengarahan pada saat anak berada dalam suasana hati yang baik.
Sedangkan pada ibu yang selalu mencampuri urusan anak akan selalu memaksakan
keinginan atau perasaan anak saat itu serta berusaha membentuk anak sesuai
keinginan atau standar ibu.
4. Accessibility – Ignoring
Ibu yang mudah didekati anak dan peduli dengan anak akan mampu
menangkap isyarat kebutuhan anak walaupun sedang sibuk, mampu menangkap
isyarat komunikasi anak walalu sedang sibuk, memperhatikan kebutuhan anak
walaupun jauh dari anak. Sedangkan ibu yang tidak peduli pada anak sering tidak
mengenali atau mempedulikan isyarat kebutuhan anak dan komunikasi anak, kurang
memperhatikan aktivitas anak, cenderung melupakan anak serta hanya
memperhatikan anak pada saat saat tertentu.
2.2.3 Pola-pola Attachment
Melalui cara perlakuan ibu terhadap anak yang berbeda-beda, maka akan
terbentuk pola attachment yang dapat berbeda-beda secara individual. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian-penelitian Ainsworth (1971; dalam Bowlby, 1988).
Ada tiga pola attachment:
1. Secure attachment
Anak dengan pola ini percaya bahwa ibunya akan selalu ada, responsif
dan mau memberikan bantuan ketika ia memerlukannya. Anak cenderung dapat
bermain dengan nyaman, bereaksi positif terhadap orang lain yang asing
baginya, dan tidak terlalu membutuhkan kedekatan fisik dan tidak harus selalu
dekat dengan ibunya.
Pola ini terbentuk dari perlakuan ibu yang selalu peka dan sensitif terhadap
kebutuhan anak, baik ketika ia sedang sibuk atau tidak, menerima dan menikmati
keterikatan dengan anak secara senang hati, menaruh minat pada otonomi anak,
dan berusaha tidak menggunakan kontrol langsung yang dapat menghambat
2. Anxious Ambivalent/Resistent attachment
Anak dengan pola ini tidak yakin apakah orangtuanya akan selalu ada
dan membantunya jika dibutuhkan, sehingga anak cenderung menjadi tidak
dapat dilepaskan dan takut untuk berpisah dengan ibunya, serta rasa cemas dan
tidak aman dalam mengeksplorasi lingkungannya. Rasa tidak aman ini
menyebabkan anak menjadi ragu-ragu dalam menjalin hubungan yang dekat
dengan orang lain sehingga ia cenderung menjadi terisolasi dari lingkungan.
Anak dengan pola ini mempunyai ibu yang cenderung tidak konsisten
dalam mengasuh anak. Pada saat-saat tertentu ibu merespon kebutuhan anak,
namun tidak di saat lainnya. Ibu yang terkadang menunjukkan sikap penolakan
terhadap dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering memaksakan
keinginannya pada anak. Penemuan klinis juga menunjukkan bahwa seringkali
orangtua memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku
anak.
3. Avoidant attachment
Anak dengan pola ini sama sekali merasa tidak yakin dan percaya bahwa
ia akan mendapat respon atau bantuan dari ibu jika ia mencari perhatian atau
bantuan dari ibunya. Anak sering mempunyai prasangka ibunya akan menolak
membantunya. Hal ini akan membuat anak memutuskan untuk hidup tanpa
kasih sayang dan dukungan orang lain serta cenderung untuk mencukupi
kebutuhan psikologisnya sendiri dengan cara menghibur dirinya sendiri yang
didiagnosis sebagai narsistik. Anak cenderung tumbuh menjadi individu yang
lebih mementingkan diri sendiri.
Pola ini diperoleh berdasarkan perlakuan ibu yang sering menolak anak
secara konsisten serta sering tidak responsif terhadap isyarat dan komunikasi
anak. Kasus yang ekstrim dihasilkan dari penolakan ibu yang secara konsisten
brulang dan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan.
2.2.4 Pengukuran Kualitas Attachment
Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Ainsworth dan kawan-kawan
dalam mengukur kualitas attachment pada bayi dan anak kecil dilakukan melalui
dilakukan karena kehadiran aktual ibu sebagai pengasuh kurang diperhatikan sebagai
akibat dari anak yang telah mempunyai pandangan sendiri terhadap ibu sebagai figur
attachment. Oleh karena itu pengukuran kualitas attachment anak lebih diperhatikan
pada Internal Working model anak (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam
Bowlby, 1988)
2.2.5 InternalWorking model
Penjelasan bagaimana cara perlakuan ibu terhadap anak berkembang menjadi
pola-pola attachment pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan konsep
internal working model dari Bowlby (1988). Internal working model adalah suatu
representasi mental individu terhadap diri sendiri (self) dengan lingkungannya yang
akan membantu individu tersebut merencanakan tingkah laku yang akan ditampilkan
di lingkungan. Internal working model dari hubungan attachment merupakan
representasi mental anak dengan figur attachment, dalam hal ini adalah dengan ibu.
Internalisasi pada anak mengenai bagaimana dirinya (self) dan figur ibu, bagaimana
cara perlakuan ibu terhadap dirinya selama tahun pertama kehidupannya akan
menetap sebagai struktur kognitif (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam Bowlby,
1988). Selanjutnya model ini akan mengarahkan pada bagaimana perasaan anak
terhadap dirinya dan orang tuanya (ibu), bagaimana anak mengharapkan perlakuan
orang lain terhadapnya serta pada perencanaan anak terhadap tingkah laku yang akan
ia tampilkan di lingkungannya (Bowlby, 1988).
Terdapat dua konsep penting dalam internal working model. Pertama adalah
bagaimana anak memandang perlakuan figur attachment dan pengaruhnya terhadap
tingkah lakunya. Kedua, bagaimana self-image anak yaitu seberapa besar anak
merasa diterima atau tidak oleh figur attachment mereka. Dua konsep ini akan saling
mengisi membentuk internal working model anak. Ibu sebagai figur attachment yang
memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, responsif terhadap kebutuhan dan
komunikasi anak, dan mau menerima anak akan membentuk internal working model
pada anak bahwa dirinya dicintai, diterima, dan dihargai. Model ini cenderung
menetap dan berfungsi diluar kesadaran. Pola attachment yang terbentuk dari
internal working model ini juga cenderung menetap karena perlakuan orang tua (ibu)
2.2.6. Attachment Dewasa
Beberapa peneliti mengkhususkan penelitian terhadap dunia orang dewasa
dan hubungan-hubungan yang dijalin pada masa itu, sehinga keterikatan emosional
yang menjadi topiknya diberi nama adult attachment. Pola-pola adult attachment
pada dasarnya merupakan replikasi dari pola-pola yang terbentuk semasa bayi,
namun adult attachment dengan infant-parent attachment bukanlah hal yang sama.
Relasi orangtua terhadap anak berupa caregiving (memberi), sementara relasi anak
pada orang tua berupa attachment (meminta), masing-masing sifatnya satu arah.
Sedangkan pada pasangan suami istri, relasi yang terjadi bersifat dua arah, yaitu
caregiving dan attachment. Masing-masing individu berperan sebagai figur
attachment yang memberi sekaligus membutuhkan kedekatan dan responsivitas dari
pasangannya.
Hazan dan Shaver (1987) merupakan salah satu pelopor penelitian adult
attachment dengan mengadopsi tiga pola infant-parent attachment types dari
Ainsworth untuk diberlakukan pada pasangan dalam hubungan romantis dewasa,
yaitu secure, avoidance dan preoccupied (anxious-ambivalent). Ini kemudian
disempurnakan oleh Bartholomew dan Horowitz (1991; dalam Feeney and Noller,
1996) menjadi empat pola berdasarkan karakteristik khusus yang membedakan dua
subpola avoidance, yaitu: dismissing (menolak) dan fearful (takut).
Menurut Bartholomew (1990), working model of self dapat diperlakukan
secara dikotomi sebagai positif dan negatif, demikian juga model of others.
Kombinasi antara working model of self yang positif atau negatif dengan working
model of others yang juga positif dan negatif akan menghasilkan empat variasi
pola-pola adult attachment, yaitu:
1. Pola Secure memiliki persepsi yang positif terhadap dirinya dan orang lain. Artinya ia memiliki keyakinan bahwa dirinya berharga, dan mengharapkan
orang lain menerima dan responsif terhadap dirinya, serta merasa nyaman
dengan intimacy dan otonomi. Individu secure umumnya memiliki masa kecil
yang bahagia, dimana ibu cukup peka dan sensitif terhadap kebutuhan sang
anak. Karena anak yakin bahwa ibu akan selalu ada saat ia membutuhkan
anak mengembangkan persepsi yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang
lain.
Pola secure menginginkan hubungan yang mendalam namun terdapat
keseimbangan antara kelekatan dengan pasangan dan otonomi dalam hubungan
tersebut. Mereka merasa nyaman dengan kedekatan, namun juga menghargai
otonomi dan merasa lebih berbahagia dengan hubungan yang dijalani apabila
kedua kebutuhan tersebut terpenuhi. Pola ini memiliki pandangan bahwa orang
lain beritikad baik dan berhati mulia, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan
altruistik. Mereka juga memiliki orientasi terhadap hubungan interpersonal.
Dalam keadaan tertekan mereka mampu mengenali distress dan memodulasi
afek negatif ke dalam cara-cara konstruktif. Umumnya pola ini memiliki self
esteem dan percaya diri, serta jarang meragukan diri sendiri dalam berelasi
dengan orang lain (Feeney and Noller, 1990; Feeney, Noller, and Hanrahan,
1994; dalam Feeney and Noller, 1996).
2. Pola preoccupied (Anxious-ambivalent) memiliki persepsi yang positif terhadap orang lain, tapi negatif terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain,
mereka kurang merasa dirinya berharga, namun memiliki harapan dan
pandangan positif bahwa orang lain akan menyediakan responsivitas emosional
yang diperlukannya. Pola preoccupied umumnya berasal dari perlakuan ibu
yang kurang konsisten dalam mengasuh anaknya. Kadang si ibu hadir saat anak
membutuhkan sesuatu, kadang tidak. Ibu juga terkadang menunjukkan sikap
penolakan terhadap anak dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering
memaksakan keinginannya pada anak. Seringkali ibu memberikan ancaman
perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak. Karenanya, anak akan
mengembangkan perasaan ketidakberhargaan diri, sementara ia
mengembangkan juga kepercayaan bahwa orang lainlah yang mampu
menyediakan kash sayang dan perhatian yang ia butuhkan.
Pola ini seperti halnya pola secure juga menginginkan hubungan mendalam,
meskipun hubungan semacam ini sering menimbulkan tekanan bagi mereka.
Pola ini cenderung takut akan penolakan dan takut ditinggalkan serta
melewatkan sebagian besar waktunya untuk mencemaskan hubungan yang
secara ekstrim dan bersedia mencampakkan kebutuhan otonomi mereka demi
memenuhi kebutuhan intimacy. Mereka memandang orang lain sebagai sulit
dimengerti dan sangat kompleks. Pada saat-saat penuh tekanan mereka
menunjukkan distress dan sangat mendambakan respon dari orang lain untuk
membantunya.
3. Pola Dismissing memiliki persepsi positif mengenai dirinya, tapi negatif terhadap orang lain. Individu dengan pola ini memberi makna yang tinggi
terhadap dirinya, dan lebih memilih mempertahankan self worth daripada
menjalin hubungan intimacy dengan orang lain. Selain itu, pola ini juga
memandang orang lain sebagai tidak dapat dipercaya dan tidak dapat
diandalkan, sehingga dalam rangka melindungi diri, perilaku menghindar
menjadi penting. Individu dengan pola dismissing umumnya berasal dari
perlakuan ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak
responsif terhadap isyarat dan komunikasi anak. Hal ini akan membuat anak
memutuskan untuk hidup tanpa kasih sayang dan dukungan orang lain serta
cenderung untuk mencukupi kebutuhan psikologisnya sendiri. Inilah yang
membuat individu dismissing mengembangkan persepsi yang positif terhadap
diri tetapi negatif terhadap orang lain.
Pola dismissing memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional)
dengan orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang
terlalu dekat dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy
yang bagi pola dismissing untuk mempertahankan self reliance dan otonomi
berlebihan. Pola ini memiliki prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin
hubungan dengannya. Mereka memandang orang lain tidak dapat diandalkan
dan dipercaya. Dalam keadaan tertekan, pola dismissing cenderung menekan
emosi negatif yang dirasakannya (Shaver, Collin, and Clark, 1995)
4. Pola Fearful memiliki persepsi yang negatif terhadap diri dan orang lain. Pola ini percaya bahwa orang lain tidak dapat diandalkan dan merasa dirinnya tidak
berharga untuk mendapat respon emosional. Individu fearful umumnya berasal
dari ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak responsif
terhadap isyarat dan komunikasi anak. Berbeda dengan pola dismissing, anak
melainkan menganggap dirinya sangat tidak berharga karena selalu ditinggal
dan ditolak ibunya. Karenanya individu dengan pola fearful mengembangkan
persepsi yang negatif terhadap diri maupun orang lain.
Pola fearful memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional) dengan
orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang terlalu dekat
dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy yang bagi pola
fearful disebabkan oleh kekhawatiran ditolak oleh orang lain. Pola ini memiliki
prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin hubungan dengannya. Mereka
memandang orang lain tidak dapat diandalkan dan dipercaya. Dalam keadaan
tertekan pola fearful cenderung menampilkan emosi yang dirasakan namun
menolak untuk meminta perlindungan dan dukungan orang lain (Shaver, Collin,
and Clark, 1995)
Tingkah laku attachment akan teraktifkan terutama dalam kondisi yang
tampak mengancam. Tingkah laku keempat pola adult attachment akan tampak
berbeda secara lebih nyata pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu: kondisi individu
(misal; sakit atau lelah), kondisi lingkungan (bencana alam, hal-hal yang
membahayakan), dan kondisi-kondisi lain yang diangap mengancam hubungan
attachment (misal ketidakhadiran atau keengganan figur attachment untuk dekat)
(Bowlby, 1969; dalam Feeney and Noller,1998). Jenis kondisi yang terakhir dapat
membangkitkan kecemasan akan hubungan (relationship-centered anxiety) dalam
diri individu yang merupakan respon umum akibat ancaman terhadap hubungan
attachment.
Di dalam pernikahan, ketika pasangan sebagai figur attachment tidak berada
dalam jangkauan atau tidak dapat memberikan responsivitas emosional yang
diinginkan, maka akan tercipta kondisi yang mungkin menimbulkan kecemasan
dalam hubungan attachment.
2.3 Tingkah Laku Intim 2.3.1 Definisi Intimacy
Banyak di antara para ahli yang telah mendefinisikan keintiman. Keintiman
Turner & Helms, 1995), yang diartikan sebagai inti atau bagian yang terdalam.
Dalam bahasa Jerman, keintiman dideskripsikan sebagai kesadaran akan lingkungan
internal dan realitas batin yang terdalam dari orang lain, sementara dalam lingkungan
yang lebih luas keintiman berarti menjadi lebih dekat dengan seseorang (Turner &
Helms, 1995).
Dari sudut pandang Erikson (1963; dalam Olofsky, 1993), mengatakan bahwa
intimacy adalah :
“The capacity to commit (one) self to concrete affiliations an partnership and
to develop the ethical strength to abide by such commitments, even though they may
call for significant sacrifices and compromises”
Dari pengertian-pengertian ini dapat ditarik suatu pengertian yang sama
mengenai intimacy. Bahwa intimacy berkaitan erat dengan hubungan interpersonal
yang mendalam dan terlibat satu sama lain.
Intimacy merupakan tahap perkembangan psikososial keenam dari delapan
tahap yang diajukan Erikson. Pada tahap perkembangan ini, terdapat kutub bipolar
yaitu intimacy versus isolation. Keberhasilan pada tahap tugas perkembangan ini
adalah terbentuknya orientasi pada keintiman. Mereka mampu untuk mengikatkan
diri dalam suatu relasi jangka panjang seperti halnya perkawinan dan di dalamnya
memiliki tingkat komunikasi yang tinggi disertai keterbukaan dan kedekatan yang
merupakan ciri khas dari relasi ini (Olofsky, 1993). Berdasarkan definisi-definisi
tersebut, jelaslah bahwa keintiman diartikan sebagai suatu hubungan antar dua orang
dan ditandai dengan adanya kedekatan emosional, keterbukaan pikiran, perasaan dan
komitmen.
Suatu relasi yang intim akan melibatkan aspek kognitif maupun afektif. Pada
relasi seperti ini, masing-masing harus memiliki kemampuan untuk memahami
pasangannya, baik itu mengenai pandangan-pandangan, perasaan-perasaan ataupun
kebutuhan-kebutuhan. Dalam membangun relasi seperti ini, individu haruslah
memiliki rasa percaya diri yang baik dan saling menghargai satu sama lain.
sedangkan beberapa pendapat lain mengatakan selain kepercayaan diri yang baik dan
adanya perasaan saling menghargai, mereka menitikberatkan pada masalah
mengemukakan pentingnya komunikasi, komitmen, penurunan harapan-harapan dan
melangsungkan perkembangan masing-masing individu sebagai bagian dari
pengembangan pola relasi ke arah keintiman yang lebih baik.
2.3.2 Tingkah laku intim dan Dimensi-Dimensinya
Penelitian ini memodifikasi sedikit istilah intimacy/keintiman. Yang diteliti
dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim, dimana peneliti menanyakan secara
langsung tentang tingkah laku yang ditunjukkan oleh responden penelitian dalam
berelasi intim dengan pasangannya (suami atau istri). Tingkah laku intim, sama
halnya dengan intimacy, tetap menggunakan teori Erikson sebagai dasarnya. Tapi
peneliti menggunakan pemaparan dari Orlofsky (1993) yang menjabarkan
keintiman/intimacy ke dalam sembilan dimensi, yaitu:
1. Komitmen
“Membuat kesepakatan bersama tentang kehidupan pernikahan dan berusaha
memelihara kesepakatan itu untuk seterusnya”
2. Komunikasi
“Bagaimana individu berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterbukaan dan
kenyamanan dalam berkomunikasi”
3. Kepedulian dan afeksi
“Adanya rasa peduli dan mengasihi pasangan, yang diwujudkan dalam
bentuk tingkah laku memperhatikan, membantu, dan menghargai
pasangannya”
4. Pemahaman sifat pasangan
“Berusaha mencari tahu, memahami, dan menerima sifat-sifat pasangan, baik
yang positif maupun negatif”
5. Perspective taking
“Berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangan saat
berkomunikasi, serta tidak memaksakan sudut pandang dan pemikiran
sendiri”
6. Wewenang dan pengambilan keputusan
menghormati keputusan yang diambil bersama, serta menghargai sikap
pasangannya tentang suatu keputusan”
7. Mempertahankan minat pribadi
“Menghormati kebebasan pribadi dan pasangan untuk melakukan
aktivitas-aktivitas pribadi yang terpisah”
8. Penghormatan terhadap integritas individu
“Menghormati integritas pasangan dalam segala hal, seperti pandangan
hidup, relasi sosial, dan kegiatan-kegiatan individual”
9. Kemandirian
“Memberikan ruang untuk kemandirian dan perbedaan antara dirinya dan
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai
tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan
usia pernikahan di bawah lima tahun di Bandung.
3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan:
Dalam konteks teoritis (kegunaan ilmiah): sebagai rintisan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat memperkaya
khasanah pengetahuan psikologi khususnya dalam area perkembangan,
juga dalam area keluarga.
Dalam konteks praktis (kegunaan terapan): diharapkan dapat digunakan
sebagai masukan bagi pasangan suami istri, calon pasangan, maupun
konselor dalam penanganan masalah-masalah yang terjadi dalam rumah
4. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dimana
penelitian akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari
empat pola attachment dewasa, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing dan
fearful dalam relasi pernikahan dengan pasangannya.
4.1 Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini akan digunakan sampel dengan karakteristik sebagai
berikut:
1. Individu menikah
Yang diteliti dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim yang ditampilkan
individu dalam pernikahannya, sesuai dengan pola attachment dewasa apa yang
terbentuk pada dirinya. Peneliti tidak mempersoalkan apakah individu tersebut
laki-laki atau perempuan, yang penting adalah ia menikah. Peneliti tidak mengharuskan
suami dan istri sekaligus harus diambil.
2. Usia pernikahan dibawah 5 tahun
Alasan pemilihan sampel dengan usia pernikahan dibawah lima tahun (atau
tahun-tahun awal perkawinan) adalah untuk mencari individu-individu yang sedang
dihadapkan kepada tantangan perubahan kehidupan secara personal dan
interpersonal. Tahun awal perkawinan diwarnai dengan eksplorasi dan evaluasi.
Tahun-tahun awal perkawinan menentukan apakah pasangan berhasil menyesuaikan
diri dengan tuntutan baru yang mereka hadapi (Elizabeth Hurlock, 1990).
3. Bertempat tinggal di Kotamadya Bandung
Alasan pemilihan sampel yang bertempat tinggal di Kotamadya Bandung
adalah berdasarkan fenomena yang menjadi dasar penelitian ini, yaitu tingkat
perceraian di Kotamadya Bandung. Kotamadya Bandung juga adalah tempat tinggal
peneliti, sehingga memudahkan dalam pencarian sampel yang sesuai.
Alat ukur pola attachment dewasa adalah hasil modifikasi dari alat ukur
Experiences ini Close relationships (ECR) yang disusun oleh Brennan, Clark, and
Shaver (1998). Alat ukur ini berupa kuesioner dan berbentuk summated ratings, yang
terdiri dari tujuh jawaban, yaitu: sangat setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak
tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju
Alat ukur tingkah laku intim diturunkan dari pedoman interviu Intimacy
Status dari Orlofsky (1993) yang terdiri dari 9 dimensi. Alat ukur ini berupa
kuesioner berbentuk summated ratings, yang terdiri dari lima jawaban, yaitu; sangat
setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak
setuju.
4.3 Pengolahan Data
4.3.1. Teknik Pengolahan Data
1.
Mencari median (nilai tengah) untuk dimensi model of self dan model ofothers berdasarkan data yang diperoleh dari alat ukur pola attachment
dewasa.
2.
Membagi seluruh responden menjadi empat kelompok pola attachmentdewasa berdasarkan kombinasi nilai total dimensi model of self dan dimensi
model of others.
3.
Mencari nilai total setiap dimensi tingkah laku intim yang diperoleh setiapresponden dalam semua kelompok pola attachment dewasa. Ini akan
digunakan sebagai dasar kategorisasi tingkah laku intim.
4.
Menentukan nilai maksimal, minimal, dan rentang dari setiap dimensi tingkahlaku intim yang tergantung pada jumlah item setiap dimensi dan jumlah
pilihan jawaban yang berjumlah tujuh (sangat tidak setuju sampai sangat
setuju)
5.
Menentukan rentang nilai kategori rendah, sedang, dan tinggi pada setiapdimensi tingkah laku intim
6.
Mengkategorikan nilai total tiap dimensi tingkah laku intim semua responden7.
Setelah semua nilai total setiap dimensi dari seluruh responden memilikikategori (apakah rendah, sedang, atau tinggi), kemudian disusun persentase
jumlah dalam setiap kategori pada semua dimensi tingkah laku intim.
4.3.2. Kategorisasi
4.3.2.1. Kategorisasi Untuk Variabel Pola Attachment Dewasa
Kategorisasi ini digunakan untuk membagi responden ke dalam empat pola
attachment dewasa. Pola attachment dewasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi
model of others dan dimensi model of self. Kedua dimensi akan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu rendah dan tinggi. Kemudian kedua dimensi akan dikombinasikan
hingga menjadi empat pola attachment dewasa. Langkah-langkah untuk penentuan
setiap kategori adalah sebagai berikut:
1. Menghitung total skor masing-masing dimensi
2. Membuat ranking kelompok skor tersebut dari keseluruhan sampel
3. Menentukan batas tinggi dan batas rendah dari dimensi model of others dan
model of self
4. Menyusun data dalam distribusi frekuensi, kemudian diambil nilai tengah
dari skor yang diperoleh dalam kelompok sampel
Untuk menentukan nilai tengah, rumus yang digunakan adalah:
Me = b + p ½ n – F
f
Me = median
b = batas bawah kelas median, yaitu kelas median terletak
p = panjang kelas median
n = ukuran sampel
median
f = frekuensi kelas median
5. Membuat norma kelompok berdasarkan nilai tengah tersebut untuk
menentukan tinggi atau rendahnya skor yang diperoleh responden pada
masing-masing dimensi
6. Menentukan kategori pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi hasil
dari butir 5.
Berikut ini adalah cara penentuan kategorisasi variabel pola attachment
dewasa:
Dimensi model of others:
Nilai tertinggi : 57
Nilai terendah : 16
Median : 34
Interval kelas :
Kategori Skor
Rendah 16 – 34
Tinggi 35 - 57
Dimensi model of self:
Nilai tertinggi : 90
Nilai terendah : 20
Interval kelas :
Kategori Skor
Rendah 20 – 56
Tinggi 57 - 90
Berdasarkan kategorisasi di atas, maka pembagian empat pola attachment dewasa
menjadi sebagai berikut :
Tabel 3.1 Kategorisasi pola attachment dewasa
Model of self
Kategorisasi dilakukan untuk menentukan apakah tingkah laku intim yang
ditampilkan tiap responden dalam pernikahannya termasuk rendah, sedang, dan
tinggi. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mencari nilai maksimum dan minimum dari setiap dimensi yang didasarkan
pada jumlah item setiap dimensi dan skor pilihan jawaban (antara 1 sampai 7)
2. Mencari rentang nilai setiap dimensi dengan cara mengurangi nilai
maksimum dengan nilai minimum
3. Membagi rentang nilai tersebut dengan 3, karena jumlah kelompok kategori
yang diinginkan adalah tiga (rendah, sedang, tinggi)
4. Menentukan rentang nilai setiap kategori dari setiap dimensi tingkah laku
Tabel 3.2 Kategorisasi tingkah laku intim
Dimensi Rendah Sedang Tinggi
Komitmen 9-27 27-45 45-63
Komunikasi 11-33 33-55 55-77
Kepedulian dan afeksi 8-24 24-40 40-56
Pemahaman sifat pasangan 6-18 18-30 30-42
Perspective taking 3-9 9-15 15-21
Wewenang dan pengambilan keputusan
6-18 18-30 30-42
Mempertahankan minat pribadi 3-9 9-15 15-21 Penghormatan integritas individu 3-9 9-15 15-21
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 HASIL
5.1.1 Hasil kategorisasi responden menjadi empat pola attachment dewasa Seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 59 orang. Mereka dibagi menjadi
empat kelompok pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi skor total dimensi
model of self dan model of others pada alat ukur pola attachment dewasa. Hasil
kategorisasi dan jumlah responden dalam setiap pola attachment dewasa adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil kategorisasi responden menurut pola
attachment dewasa
Penghormatan 0 25 75
Kemandirian 0 0 100
Tabel 4.2 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari
pola secure. Pola secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap
pernikahan (100%), ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana
masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya, serta
terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan
pernikahannya, pola secure mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka
dengan pasangannya (100% tinggi). Saat ia menghadapi suatu masalah, ia mau
berbagi kepada pasangan, bukannya memendam sendiri permasalahannya.
Pola secure menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang tinggi pada
pasangannya (93,8%). Ia berusaha untuk selalu hadir saat pasangan membutuhkan,
termasuk saat pasangan hendak berkeluh kesah tentang suatu masalah. Pengetahuan
dan pemahamannya terhadap sifat pasangan, baik yang positif maupun negatif,
tergolong tinggi (93,8%). Ia memahami benar bahwa pasangannya adalah manusia
yang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk sifat-sifatnya. Ia mampu menerima
pasangan apa adanya dan tidak menyesal menikah dengannya.
Komunikasi yang jujur dan terbuka serta pemahaman akan sifat pasangan
dilandasi oleh kesediaannya yang tinggi untuk terbuka dan menerima sudut pandang,
perasaan dan minat pasangannya (perspective taking 100% tinggi). Saat berdiskusi
tentang sesuatu hal, pola secure mencoba untuk menempatkan diri pada posisi
paangan untuk memahami lebih baik bagaimana sudut pandang atau perasaan
pasangannya tentang hal tersebut. Kemampuan perspective taking (pemahaman sudut
pandang pasangan) yang tinggi ini juga mendasari bagaimana pembagian wewenang
dan pengambilan keputusan. Pola secure mampu dengan baik menjaga
keseimbangan wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (100%
tinggi). Ia tidak memaksakan endapatnya p sendiri, melainkan selalu
mempertimbangkan pendapat pasangan dalam suatu pengambilan keputusan.
Keterbukaan terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan menyebabkan ia dapat
menghargai keputusan yang diambil oleh pasangan, walaupun mungkin ia kurang
Pola secure menghormati integritas dirinya dan pasangannya sebagai individu
yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas sendiri. Ia tidak melarang
pasangan untuk memiliki hubungan pertemanan dengan siapa saja atau melakukan
aktivitas lain, selama tidak meninggalkan kewajiban rumah tangganya (dimensi
penghormatan terhadap integritas individu 75% tinggi). Pola secure juga memiliki
aktivitas-aktivitas yang terpisah dengan pasangannya. Ia mengharapkan pasangannya
dapat menerima aktivitas terpisah tersebut, sebagaimana ia juga memperbolehkan
pasangannya untuk beraktivitas pribadi. Ia tidak merasa cemburu atau merasa
ditinggalkan secara berlebihan (skor mempertahankan minat pribadi 100% tinggi).
Pola secure menunjukkan kemandirian yang tinggi (100%). Untuk beberapa
hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun pada hal lainnya ia
ia akan meminta pendapat pasangan. Dalam pernikahannya, ia tetap memberikan
ruang untuk perbedaan dan kemandirian.
Tingkah laku intim yang ditampilkan oleh pola secure dapat dikatakan
optimal karena pada semua dimensi tingkah laku intim pola secure memiliki
persentase skor terbesar dalam kategori tinggi. Ini disebabkan karena pola secure
memandang dirinya dan pasangannya secara positif, sehingga relasi pernikahannya
dilandasi suatu perasan aman dan nyaman. Tidak ada keraguan dalam dirinya bahwa
ia tidak berharga, atau pasangan tidak akan ada saat ia membutuhkan. Dengan
landasan ini, ia mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam
pernikahannya.
5.2.2. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Preoccupied dalam pernikahannya
Rendah Sedang Tinggi
Komitmen 0 10,5 89,5
Komunikasi 0 0 100
Kepedulian 0 10,5 89,5
Paham sifat 0 5,2 94,8
Perspective taking 0 0 100
Wewenang 0 10,5 89,5
Minat pribadi 5,2 68,4 26,4
Penghormatan 0 57,9 42,1
Kemandirian 0 15,8 84,2
Tabel 4.3 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari
pola preoccupied. Pola preoccupied menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap
pernikahan (89,5%). Ini ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan
rencana masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya,
serta terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Komunikasi
yang terjalin antara pola preoccupied dengan pasangannya adalah komunikasi yang
dilandasi kejujuran dan keterbukaan (100% tinggi). Pola preoccupied tidak segan
untuk menceritakan masalah yang ia hadapi kepada pasangannya.
Pola preoccupied mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang
tinggi pada pasangannya (89,5%). Ia mau membantu pasangan saat dibutuhkan,
menunjukkan penghargaan pada pasangan, mendengarkan keluhan pasangan, serta
memperhatikan minat pasangan, termasuk minat seksual pasangan. Ia juga mampu
dengan baik memahami dan menerima sifat-sifat pasangannya, baik positif maupun
negatif (94,8% tinggi). Ia juga tahu harus melakukan apa saat pasangan menunjukkan
sifat negatifnya.
Pola preoccupied menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk menerima dan
memahami sudut pandang, perasaan, dan minat pasangan (100%). Dalam
pengambilan keputusan, ia selalu mempertimbangkan pertimbangan pasangan, tidak
memaksakan pemikirannya sendiri. Ia menjaga agar terdapat keseimbangan
wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (89,5% tinggi).
Pola preoccupied cukup mampu mempertahankan sebagian minat pribadinya
dengan tetap melakukan hobi-hobinya semasa belum menikah dulu, serta tidak
menampilkan rasa cemburu yang berlebihan jika pasangan melakukan suatu aktivitas
tanpa melibatkannya (68,4% sedang). Ia cukup mampu menghormati integritas
dirinya dan pasangannya sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi
kemandirian yang tinggi (84,2% tinggi) dimana ia dapat membuat keputusan sendiri
untuk beberapa hal, walau untuk beberapa hal lainnya ia pasti meminta pendapat
pasangannya.
Pola preoccupied menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam
pernikahannya. Dengan dasar pandangan yang positif terhadap orang lain (dalam hal
ini pasangannya), pola preoccupied mampu menunjukkan komitmen, komunikasi,
kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking,
wewenang dan pengambilan keputusan, dan kemandirian yang tinggi. Tapi
pandangannya yang negatif terhadap diri sendiri menyebabkan ia tidak menonjol
dalam mempertahankan minat pribadi dan menghormati integritas individu
(persentase terbesar ada pada kategori sedang). Fokus pola preoccupied ada pada diri
pasangannya, bukan pada dirinya sendiri.
Satu hal yang menarik adalah tingkat kemandirian yang tinggi pada pola
preoccupied. Ini berbeda dengan pemaparan Bartholomew yang menyebutkan bahwa
pola preoccupied dicirikan dengan ketergantungan yang tinggi pada pasangannya.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain karena tingkah laku intim yang
ditampilkan pola preoccupied sendiri ternyata cukup baik, sehingga seharusnya relasi
pernikahannya menjadi cukup intim dan hangat. Keadaan yang kondusif ini
menyebabkan ia mulai mengembangkan sisi kemandirian dalam dirinya.
5.2.3. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Dismissing dalam pernikahannya
Rendah Sedang Tinggi
Komitmen 0 7,7 92,3
Komunikasi 0 15,4 84,6
Kepedulian 0 30,8 69,2
Paham sifat 0 7,7 92,3
Perspective taking 0 7,7 92,3
Wewenang 0 7,7 92,3
Minat pribadi 0 69,2 30,8
Penghormatan 0 46,2 53,8
Kemandirian 0 15,4 84,6
Dari tabel 4.4 di atas dapat dilihat gambaran tingkah laku intim yang
ditampilkan oleh pola attachment dewasa dismissing dalam pernikahannya. Pola
secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (92,3%),
ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi
pernikahannya, berupaya memelihara pernikahan, serta terus berusaha meningkatkan
kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan pernikahannya, pola dismissing
mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka dengan pasangannya
(84,6% tinggi). Saat menghadapi suatu masalah, ia mau berbagi kepada pasangan,
bukan memendamnya sendiri.
Pola dismissing mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang
tinggi pada pasangannya (69,23% tinggi). Ia berusaha menunjukkan perhatian dan
penghargaan pada pasangannya, serta siap untuk membantu saat dibutuhkan.
Pemahaman pola dismissing akan sifat-sifat pasangannya juga tinggi (92,3%). Ia
mengenal dengan baik sifat-sifat pasangannya, baik atau buruk, serta menerima
pasangan apa adanya.
Pola dismissing terbuka terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan. Ia
berusaha untuk menempatkan dirinya pada posisi pasangan untuk memahami
perasaan pasangan akan suatu hal (92,3% tinggi). Kemampuan perspective taking
yang tinggi membuatnya selalu mempertimbangkan pendapat pasangan saat mereka
akan mengambil suatu keputusan. Pola dismissing mengusahakan terciptanya
keseimbangan dalam wewenang di rumah tangganya. Tidak ada pemaksaan
kehendak pada pasangan, melainkan penghargaan terhadap pertimbangan dan
keputusan yang diambil pasangan (92,3% tinggi pada dimensi wewenang dan
pengambilan keputusan).
Pola dismissing tetap melakukan beberapa hobinya semasa belum menikah
Sikapnya cukup positif terhadap aktivitas terpisah, sehingga saat pasangan
melakukan suatu aktivitas tanpa mengikutsertakannya, ia mampu menerimanya dan
tidak merasa cemburu secara berlebihan (69,2% sedang pada dimensi
mempertahankan minat pribadi). Pola dismissing cukup mampu menghormati
integritas dirinya dan pasangan sebagai individu yang memiliki pandangan hidup,
relasi sosial, dan aktivitas sendiri (53,8% tinggi). Ia mengijinkan pasangan untuk
berteman dengan siapa saja, serta melakukan aktivitas lain selama tidak mengganggu
kewajiban sebagai suami/istri.
Pola dismissing menunjukkan tingkat kemandirian yang tinggi (84,6%).
Untuk beberapa hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun
pada hal lainnya ia ia akan meminta pendapat pasangan. Ia tetap memberikan ruang
untuk perbedaan dan kemandirian dalam pernikahannya.
Pola dismissing menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam
pernikahannya. Ia mampu menunjukkan komitmen, komunikasi, kepedulian dan
afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan
pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian
yang tinggi. Sementara pola dismissing tidak menonjol dalam hal mempertahankan
minat pribadi (69,2% sedang).
5.2.4. Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola fearful dalam pernikahannya
Rendah Sedang Tinggi
Komitmen 0 27,2 72,8
Komunikasi 0 36,4 63,6
Kepedulian 0 36,4 63,6
Paham sifat 0 36,4 63,6
Perspective taking 0 18,2 81,8