• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reposisi Hakikat Beragama di tengah Kemajemukan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Reposisi Hakikat Beragama di tengah Kemajemukan Indonesia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 264

Reposisi Hakikat Beragama di tengah Kemajemukan Indonesia

Didimus Sutanto B. Prasetya1, Candra Gunawan Marisi2

1STAKPN Sentani

2STT Real Batam

Correspondence: dimuss4jc@gmail.com DOI: https://doi.org/10.46929/graciadeo.v4i2.95

Abstract: The philosophy of the state of the Indonesian people is Pancasila with the first principle "

Belief in One Supreme God" meaning that Indonesian citizens are human beings who believe in God in the diversity of beliefs and religions in Indonesia. It is ironic that as a country based on God, religion has become an identity to be proud of, but the moral decline is also shown. This study aims to find and reposition the nature of religion in realizing religious moderation in Indonesia's pluralism. The method in this research is descriptive qualitative, where data is collected through research literature in the form of books and journals related to the topic of the problem.

Religion should be placed in a private space. This restores religion as the most essential human right, there is no majority or minority, every individual has the same rights. Based on this understanding, religion and the nature of religion must be positioned in the privacy of each individual, so that religion is not indicated by its level of religiosity alone but rather to its spiritual level, personal relationship with God.

Keywords: nature of religion, plural society, religious moderation, religious tolerance

Abstrak: Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya bahwa warga negara Indonesia merupakan manusia yang ber-Tuhan dalam kebera- gaman kepercayaan dan agama di Indonesia. Ironis sebagai negara yang berlandaskan Ketuhanan, agama menjadi suatu identitas yang dibanggakan namun kemerosotan moral juga dipertontonkan.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan memposisikan kembali hakikat beragama dalam mewujudkan moderasi beragama di tengah kemajemukan Indonesia. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, di mana data dikumpulkan melalui literatur research yang berupa buku maupun jurnal yang berkaitan dengan topik permasalahan tersebut. Agama harus ditem- patkan pada ruang pribadi. Hal ini mengembalikan agama sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, tidak ada pemeluk mayoritas ataupun pemeluk minoritas, setiap individu memiliki hak yang sama. Berdasar dari pemahaman tersebut, agama dan hakikat beragama harus diposisikan pada ruang privasi setiap individu, sehingga agama bukanlah ditunjukkan dengan tingkat religio- sitasnya semata melainkan lebih kepada tingkat spiritualnya, hubungan pribadi dengan Tuhannya.

Kata kunci: hakikat beragama, masyarakat majemuk, moderasi beragama, toleransi beragama

Pendahuluan

Indonesia adalah negara majemuk dengan keragaman budaya maupun agama.

Hal ini telah disadari para pendiri bangsa sebagai suatu ancaman yang dapat mengakibatkan perpecahan bangsa, tetapi juga sekaligus menjadi kekayaan dan kekuatan yang dapat mempererat persatuan bangsa bila dapat dikelola dengan baik.

Semboyan bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu juga menjadi kunci perekat bangsa ini. Perbedaan bukan menjadi penghalang tetapi menjadi kekuatan dan kekayaan bangsa Indonesia. Hal itu dapat terwujud dengan adanya sikap toleransi,

e-ISSN 2655-6863

Volume 4, No. 2, Januari 2022 (264-274) http://e-journal.sttbaptisjkt.ac.id/index.php/graciadeo

(2)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 265

saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya, tanpa membedakan suku, ras, agama.

Falsafah dasar bernegara dari bangsa Indonesia adalah Pancasila, di mana sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bah- wa masyarakat Indonesia merupakan manusia ber-Tuhan dalam keberagaman keper- cayaan. Bangsa ini menyadari dan mengakui adanya Tuhan. Tuhan dipahami sebagai dasar penalaran secara moral, bukan dasar yang monis eksklusivistis melainkan plural inklusivistis, di mana Pancasila menjamin keberadaan masing-masing agama sebagai agama pendatang di luar kepercayaan-kepercayaan primitif.1 Sehingga dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara agamis tetapi bukan negara agama yang berdasarkan kepada satu keyakinan agama saja.

Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak kacau. Agama dimaksudkan agar manusia memiliki hidup yang teratur. Selain itu agama juga diistilahkan dengan kata religi, yaitu kata religio yang berasal dari bahasa Latin. Istilah ini kemudian dalam bahasa Inggris disebut religion, dalam bahasa Belanda disebut religie. Kata religio berasal dari akar kata relegare yang berarti mengikat.2 Kata relegare menurut Hardjana mengandung arti terus-menerus berpaling kepada sesuatu.3 Arti terus-menerus berpaling kepada sesuatu, menurut Widjaja dan Boiliu sesungguhnya selalu dalam proses kontinua bukan diskontinua, di mana manusia memahami diri sebagai yang lemah dan sesuatu, yang kepadanya manusia berpaling dipandang seba- gai yang memiliki kekuatan supra. “Sesuatu” dalam makna relegare, jangan dipikirkan melulu sebagai obyek melainkan sebagai “subyek.”4

Secara umum, agama terbagi dalam dua kategori, yaitu agama langit atau dike- nal dengan agama samawi dan agama bumi atau yang dikenal dengan istilah wad'i.

Agama samawi merupakan agama yang berdasarkan wahyu ilahi, antara lain:

Yahudi, Kristen dan Islam. Sedangkan agama wad'i merupakan agama budaya atau disebut juga sebagai agama alam (natural religion) yang berasal dari akal pikiran atau akal budi manusia dan perilaku manusia, antara lain seperti: Hindu, Budha, Khonghucu, Tao dan aliran kepercayaan yang lain.5

Berdasarkan pengertian di atas, maka agama dapat didefinisikan sebagai suatu proses sadar manusia akan kelemahannya dan membutuhkan sesuatu yang di atasnya (sumber), yaitu sang Khalik. Hal ini berkaitan dengan kesadaran untuk mem- bangun hubungan dengan sang Khalik. Dalam hubungan ini terdapat peraturan yang mengikat untuk dapat dikerjakan oleh pemeluknya. Sehingga agama seharusnya berada pada ruang privat seseorang. Agama merupakan suatu keyakinan yang mengikat secara sadar oleh seseorang. Menurut Magnis Suseno, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat di dunia ini yang tidak beragama.6 Agama dalam

1 Fransiskus Irwan Widjaja and Noh Ibrahim Boiliu, Misi Dan Pluralitas Keyakinan Di Indonesia, 1st ed. (Yogyakarta: PBMR Andi, 2019).

2 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009).

3 Agus M Hardjana, Religiositas, Agama Dan Spiritualitas. (Yogyakarta: Kanisius, 2009).

4 Widjaja and Boiliu, Misi Dan Pluralitas Keyakinan Di Indonesia.

5 Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkapkan Keragaman Budaya Untuk SMA/MA Kelas XII, ed. Ita Rospita, 1st ed. (Bandung: Setia Purna Inves, 2007).

6 Widjaja and Boiliu, Misi Dan Pluralitas Keyakinan Di Indonesia.

(3)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 266

pengertian ini tidak terbatas pada agama-agama besar atau modern, tetapi juga agama primitif (kuno) dalam konteks keyakinan budaya.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan keyakinannya, walaupun hal ini masih tumpul dalam tataran praksis. Kerukunan beragama di Indonesia akhir-akhir ini sedikit terusik dengan adanya sikap intoleran yang ditunjukkan sebagian kelompok yang melaku- kan persekusi terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dengan kelompok- nya. Sikap intoleran ini bukan hanya sekedar berada di ruang privat, tetapi telah menjelma sebagai suatu perundungan bagi orang-orang yang tidak sama dengan keyakinannya.7 Persekusi itu ditunjukkan dengan pelarangan atau pun penolakan pendirian tempat peribadatan umat lain, bahkan penolakan memakamkan jenazah yang tidak satu keyakinan menjadi potret kelam tersendiri kehidupan beragama saat ini. Timbulnya fanatisme sempit sebagian pemeluk dalam beragama yang mengang- gap bahwa orang di luar keyakinannya adalah salah, sering memicu dan menciderai toleransi beragama di negeri ini.

Pragmatisme dan relativisme yang merupakan dasar pemikiran filsafat post- modern rupanya telah menggejala dalam pemahaman beragama dewasa ini.

Kebenaran bersifat subyektif di dasarkan pada pertimbangan kontekstual bukan benar atau salah. Semua pertimbangan moral dikembalikan kepada individu atau kelompok. Tidak ada prinsip dan nilai kebenaran moral secara universal dan mutlak.8 Bahkan dalam ruang lingkup yang sangat sempit, seperti keluarga, keputusan moral harus dapat dikembalikan kepada tiap-tiap individu. Lantaran tidak ada objektivitas kebenaran tentang apa yang baik dan yang jahat, maka dalam tindakan moral yang mereka tekankan bukan apa yang benar atau salah, melainkan dasar pertimbangan- nya adalah hal-hal yang sangat praktis dan subjektif.

Trend lain dari dunia postmodern adalah terbukanya akses informasi di ruang internet yang dengan bebas dapat diakses oleh siapapun. Era disrupsi digital seperti saat ini, memungkinkan orang untuk mengakses internet dengan mudah.9 Sayangnya tidak semua yang berseliweran di internet adalah hal-hal yang baik dan membangun.

Berita hoax, ujaran kebencian, provokasi yang dapat memicu konflik, bahkan radika- lisme yang berbalut ajaran agama yang menimbulkan kebencian dan sikap intoleransi terhadap umat beragama yang tidak sepemahaman dapat diakses dari dunia digital ini dengan mudah.

Sebuah kritikan tajam terhadap kehidupan beragama di Indonesia saat ini, telah lama disuarakan oleh ulama karismatik, K.H. Mustofa Bisri atau yang sering dikenal sebagai Gus Mus. Gus Mus bukan hanya sekedar ulama, tetapi juga merupakan buda- yawan dan sastrawan. Melalui puisi tulisannya yang berjudul ketika agama kehi-

7 Kamaluddin, Ismet Sari, and Mimi Anggraini, “Intoleransi Menurut Tokoh Agama Islam Dan Kristen,” Studia Sosia Religia 4, no. 1 (2021): 1–13.

8 Candra Gunawan Marisi, Didimus Sutanto, and Ardianto Lahagu, “Teologi Pastoral Dalam Menghadapi Tantangan Kepemimpinan Kristen Di Era Post-Modern: Tinjauan Yesaya 40:11,” Diegesis:

Jurnal Teologi Kharismatika 3, no. 2 (2020): 120–132.

9 Muria Khusnun Nisa et al., “Moderasi Beragama: Landasan Moderasi Dalam Tradisi Berbagai Agama Dan Implementasi Di Era Disrupsi Digital,” Jurnal Riset Agama 1, no. 3 (2021): 79–96.

(4)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 267

langan Tuhan, Gus Mus menuangkan keresahan dan keprihatinannya atas kehidupan beragama di Indonesia akhir-akhir ini. Satir sajaknya mengungkapkan betapa agama telah mengalami pergeseran, di mana agama dulu menghancurkan berhala, tetapi kini agama menjelma menjadi berhala.10 Agama telah meruntuhkan sendi-sendi solidari- tas, karena banyak orang beragama tetapi tidak mengenal Tuhannya dengan baik.

Sikap solidaritas dalam bermasyarakat mulai bergeser menjadi sikap intoleran, pada- hal ajaran agama tidak pernah berubah. Agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia. Agama dipahami sebatas symbol dan ritual semata. Kesalehan seseorang ditunjukkan dengan simbol-simbol dan ritualitas tanpa mendalami makna.

Agama dilihat sebatas religiusitas seseorang tanpa dimaknai sebagai pemahaman spiritualitas umatnya.

Agama seharusnya menjadi pedoman tata nilai tetapi justru terjebak kepada arogansi kesalehan. Agama seharusnya menjadi pedoman nilai-nilai moral tetapi nilai moral berantakan karena agama telah disalahgunakan dan disalah artikan. Merasa paling benar dan gampang menyatakan yang lain salah. Agama telah menjelma men- jadi Tuhan dan melupakan Tuhan itu sendiri. Agama dipandang secara dangkal, hanya dilihat secara praksis. Eksistensi agama dilihat berdasarkan simbol-simbol atri- but agamawi semata.

Agama mengalami pergeseran nilai, sehingga dibutuhkan kajian yang men- dalam guna dapat mengembalikan agama kepada posisi yang sesungguhnya. Hakikat beragama perlu dikembalikan kepada ruang privat individu yang paling hakiki.

Sehingga setiap individu dapat dengan perasaan yang merdeka dapat memilih, menganut dan menjalankan agama dan kepercayaannya dengan bebas tanpa diinter- vensi oleh pihak mana pun yang tidak sepemahaman atau pun sekeyakinan. Agama tidak lagi sebagai religiusitas yang ditunjukkan dengan atribut serta rutinitas ritual agamawi, tetapi agama merupakan bentuk spiritualitas individu dalam mengimani dan menghidupi agama yang dipercayainya. Bagaimanakah reposisi hakikat beraga- ma dari sudut pandang kekristenan?

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Octavianey G.P.H Meman dalam “Dialog Sebagai Sarana Reposisi Agama-Agama Di Ruang Publik,” menekankan pentingnya dialog antar umat beragama maupun dialog internal untuk menjaga kondusifitas hubungan antar umat beragama.11 Namun yang sering terjadi dialog terbuka antar umat beragama maupun internal agama yang berbeda keyakinan semakin mempe- runcing perbedaan dan berujung kepada pembenaran pendapat serta menggiring opini publik, sehingga tidak terdapat titik temu, bahkan tidak menyelesaikan per- soalan yang sedang dibahas. Penelitian lain yang dituliskan Muh. Fihris Khalik mengenai reposisi agama sebagai sumber spiritualitas masyarakat modern.12 Hasil penelitiannya menekankan pentingnya spiritualitas agama dari perspektif Islam,

10 Lailatus Syarifah and Turahmat, “Nilai Moral Puisi Ketika Agama Kehilangan Tuhan Karya Gus Mus,” Jurnal Bindo Sastra 3, no. 2 (2019): 126–129.

11 Octavianey G.P.H. Meman, “Dialog Sebagai Sarana Reposisi Aagama-Agama,” Stulos 19, no. 2 (2021): 223–247.

12 Muh Fihris Khalik, “Reposisi Agama Sebagai Sumber Spiritulitas,” Ash-Shahabah 3, no. 1 (2017):

1–8.

(5)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 268

yaitu penghayatan batiniah kepada Tuhan yang diperlihatkan melalui perilaku dalam masyarakat sebagai bentuk pengamalan iman bukan hanya berhenti kepada segi-segi eksoteris, segi-segi luar saja (lahiriah). Sedangkan Widodo dan Karnawati dalam penelitiannya tentang “Moderasi beragama dan pemahaman radikalisme di Indonesia”, menyatakan bahwa; gereja harus berpegang pada teks Alkitab dan meng- ajarkannya kepada umat, setiap insan Indonesia harus melestarikan integrasi bangsa Indonesia dalam sebuah keputusan dan perbuatan menjunjung tinggi nilai empat pilar kebangsaan demi Indonesia yang bermartabat dan terhormat. Kekristenan adalah ajaran yang moderat.13 Sayangnya, moderat yang dipaparkan hanya sebatas menghargai dan menghormati kerukunan umat majemuk baik secara masyarakat maupun agama. Secara tidak disadari justru mereduksi makna dari kekristenan itu sendiri. Alih-alih menghargai dan menghormati kerukunan tetapi mengorbankan tugas marturia. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa moderat yang dimaksud adalah perwujudan kasih. Kasih dalam kekristenan seharusnya dinyatakan bukan hanya melalui aksi sosial saja, tetapi juga melaksanakan mandat amanat agung sebagai pertanggung jawaban iman untuk keselamatan jiwa-jiwa (Matius 9: 35; 28: 19- 20). Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan memposisikan kembali hakikat beragama dalam mewujudkan moderasi beragama di tengah kehidupan postmodern yang majemuk.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif,14 di mana data dikumpulkan melalui literatur research. Data primer dikumpulkan dari buku-buku dan jurnal terbaru tentang topik yang berkaitan untuk mengkaji posisi hakikat beragama dalam konteks kemajemukan, dan dikaji melalui ayat Alkitab. Data sekunder didapatkan dalam pengamatan fenomenologi di lapangan dan juga berita- berita di sosial media tentang radikalisme, moderasi beragama dan kemajemukan di Indonesia. Sehingga memberikan suatu narasi bagaimana insan beragama dapat menempatkan keyakinannya dalam ruang privasi antara pribadi dan Tuhannya.

Hasil dan Pembahasan

Agama di tengah Krisis

Ironi sebagai negara yang berlandaskan Ketuhanan, agama menjadi sebuah identitas yang dibanggakan tetapi kemerosotan moral terus terjadi. Anarkisme atas nama agama pun sering dipertontonkan. Sejarah seolah berulang, agama yang seha- rusnya berada di tengah kini bergeser ke arah politik praktis. Terjebak dalam pragma- tisme sesaat. Politik identitas seolah laris di tengah masyarakat yang mabok agama.15 Para pemuka agama yang seharusnya berfungsi sebagai imam yang menyuarakan suara kenabian pun tergiur kenikmatan kekuasaan. Pada awalnya kemauan para aga-

13 Priyantoro Widodo and Karnawati Karnawati, “Moderasi Agama Dan Pemahaman

Radikalisme Di Indonesia,” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 15, no. 2 (2019): 9–14.

14 Sonny Eli Zaluchu, “Qualitative and Quantitative Research Method in Religious Research [Metode Penelitian Di Dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan],” Jurnal Teologi Berita Hidup 3, no. 2 (2021): 249–266.

15 Kamaluddin, Sari, and Anggraini, “Intoleransi Menurut Tokoh Agama Islam Dan Kristen.”

(6)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 269

mawan untuk turun gunung membenahi negara yang carut marut menjadi secercah harapan untuk menguak awan gelap yang melingkupi negeri. Tetapi tak sedikit dari mereka yang tergoda candu kekuasaan. Sehingga ketika berjumpa dengan kekuasaan menjadi tumpul. Korupsi, suap dan praktek-praktek gelap pun tak sedikit yang menyeret para agamis. Kondisi seperti ini yang mendasari Presiden Jokowi untuk menyuarakan adanya revolusi mental.16

Gerakan Revolusi Mental semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang menghadapi tiga masalah pokok, yakni: merosotnya wibawa negara;

merebaknya intoleransi; dan, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Seha- rusnya hal ini disambut oleh agamawan untuk merevolusi diri. Membenahi ke dalam, merenungkan kembali sejauh mana kehidupan beragama berkontribusi membenahi sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Apakah agama sudah dimaknai secara men- dalam oleh pemeluknya, atau hanya sekedar pada tataran simbol dan ritual agamawi semata.

Perspektif postmodern juga turut memberikan sumbangsih pergeseran nilai beragama. Agama dilihat dari sudut pandang pragmatis, relatif dan tidak ada suatu agama atau kitab suci yang absolut benar dan sempurna. Kebenaran bersifat subyektif, relatif dan lebih mengedepankan kepada tujuan baik (egoism teleologis atau univer- salism teleologis).17 Hal ini juga memicu pembenaran persekusi yang dilakukan oleh pihak tertentu yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

Munculnya Covid-19 seharusnya menjadi momentum untuk merenungkan kembali dan merevolusi diri cara beragama selama ini. Agama harus dapat beradap- tasi dan berevolusi.18 Pada awalnya sulit untuk menerima kenyataan bahwa ibadah dibatasi dan bahkan cenderung dilakukan melalui dunia virtual digital. Anjuran pemerintah ini semula menjadi perdebatan di kalangan agamis. Terjadi pro kontra di segala lapisan, baik dari kalangan rohaniawan Kristen maupun agama lainnya.

Banyak yang menolak karena alasannya hidup dan mati itu di tangan Tuhan bukan di tangan Covid-19.

Dari kalangan Kristen: dalam menyikapi anjuran pemerintah terjadi perdebatan sengit di kalangan Kristen dan sempat terbelah di media social. Ada yang berpan- dangan mengenai perlindungan Tuhan pada Mazmur 91, sehingga tidak perlu takut terhadap Covid-19. Ada pula yang berpatokan pada Amsal 22:3, di mana dikatakan bahwa orang yang berhikmat melihat malapetaka adalah bersembunyi sesaat. Hal ini mendukung himbauan pemerintah untuk tetap stay at home. Mengakhiri polemik, PGI memberikan himbauan agar umat Kristen melakukan ibadah dari rumah.19

Beragam pandangan tersebut semakin memperjelas bahwa agama masih dipa- hami secara sempit. Keimanan seseorang masih dilihat dalam perbuatan ritual aga-

16 Ari Welianto, “Revolusi Mental: Sejarah Penerapan Dan Capaian,” Kompas.Com (Jakarta, 2020).

17 Candra Gunawan Marisi et al., “Etika Teologis Dalam Memandang Tanggung Jawab Kristen Terhadap Kelestarian Budaya Nusantara” 2, no. 1 (2021): 64–74.

18 Fransiskus Irwan Widjaja et al., “Menuju Evolusi Ibadah Kristen Di Masa Pandemi Covid-19” 3, no. 2 (2021): 150–159.

19 Noverius Laoli, “Cegah Penyebaran Virus Corona, Ini Himbauan PGI Kepada Umat Kristen,”

Kontan.Co.Id (Jakarta, 2020).

(7)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 270

mawi dan simbol-simbol keagamaan semata, bahkan menjadi suatu ukuran terhadap seseorang yang terlihat sering melakukan peribadatannya di depan umum. Situasi pandemic membuat sunyi tempat ibadah, tetapi kesunyian itu membawa kekusyukan kembali hubungan individu dengan Tuhannya. Ibadah bukan lagi sebagai ritual dan symbol religiusitas tetapi makna spiritualitas individu terhadap Tuhannya.

Pada akhirnya semua menaati anjuran Pemerintah untuk bekerja, belajar bahkan beribadah dari rumah. Hal ini merupakan kebiasaan baru. Pandemi Covid-19 menga- jarkan ibadah yang sejati sesungguhnya adalah hubungan pribadi dengan Tuhannya.

Di mana hubungan itu tidak terbatas pada ruang/tempat bahkan waktu. Sekalipun pada situasi pandemi tidak dapat menghalangi hubungan intim dengan Tuhan secara pribadi. Bahwa adalah baik untuk melakukan ibadah korporat secara komunal bersama-sama dalam suatu jamaah, tetapi pandemi mengingatkan bahwa ibadah korporat dapat dilakukan secara berjamaah dalam komunitas kecil, yaitu keluarga.

Sehingga keluarga adalah tempat awal dimulainya belajar tentang Tuhan dan kembali lagi menjadi tujuan akhir beribadah adalah membangun keluarga ilahi.20

Agama dalam Perspektif Kristen

Agama Kristen termasuk salah satu agama Abrahamik, merupakan salah satu agama samawi, yaitu agama wahyu. Ajaran agama ini tertulis dalam kitab sucinya yang disebut Alkitab, di mana terdiri dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Pada dasarnya Alkitab tidak menyatakan umat pilihan Tuhan sebagai suatu agama, melainkan sebagai umat pilihan. Keturunan Abraham, Ishak dan akhirnya keturunan Yakub yang disebut Israel menjadi suatu bangsa dan menjadi umat pilihan, umat kepunyaan Tuhan (Yes. 43). Bangsa Israel tidak taat, bahkan menyakiti hati Tuhan, serta tidak dapat melakukan Firman Tuhan, sehingga Allah mengaruniakan Yesus Kristus untuk menebus umat manusia yang selanjutnya disebut anak-anak Allah (Yoh 1:12; 3:16). Orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang dipanggil oleh prajurit Roma dengan sebutan Kristen (Kis 11:26). Orang percaya disebut sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani umat kepunyaan Allah sendiri (1Pet. 2:9). Pada dasarnya Kristen bukan hanya sekedar agama, melainkan suatu personal encounter antara insani dengan Ilahi, suatu pengalaman pertemuan seorang manusia dengan Tuhan. Meador menyebut terdapat empat tema besar Alkitab, yaitu: penciptaan, kejatuhan, penebu- san dan penyempurnaan.21 Pada mulanya manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah tetapi manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Tuhan untuk tidak makan buah larangan, yaitu buah pengetahuan yang baik dan jahat.

Kejatuhan manusia membuat manusia harus terpisah dengan Allah dan dihukum.

Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah dan upah dosanya adalah maut.

Konsep penebusan sesungguhnya ada pada Kej. 3: 15, yang oleh teolog disebut sebagai protoevangelium, yaitu yang dapat menyelesaikan persoalan dosa manusia adalah keturunan perempuan. Dan dalam misi penyelamatannya, dia terluka dan

20 Candra Gunawan Marisi, Didimus Sutanto B Prasetya, and Ardianto Lahagu, “Keluarga Sebagai Pusat Misi Masa Kini,” in Great Commission as a Family Lasting Legacy (Batam: STT REAL BATAM, 2020), 77–91.

21 Gery T. Meador, Decision Making God’s Way (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2009).

(8)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 271

menumpahkan darah. Gambaran ini jelas terlihat melalui simbol penumpahan darah binatang, di mana kulitnya dipakaikan Tuhan untuk menutupi ketelanjangan manu- sia. Bahwa dosa hanya dapat diselesaikan dengan korban darah, dan hal ini digenapi dalam korban Yesus Kristus di kayu salib.

Misi penyelamatan adalah inisiatif Allah sendiri bukan dihasilkan oleh usaha manusia, karena sama halnya untuk menutupi ketelanjangannya, manusia memakai daun-daunan tetapi hal itu tidak berkenan di hadapan Allah dan Allah menggantinya dengan kulit binatang. Sehingga kekristenan mengajarkan tentang misi Allah untuk menyelamatkan manusia. Misi Allah adalah untuk mengembalikan manusia kembali kepada kultur penciptaan, yaitu menjadi gambar Allah yang utuh.22 Hal ini telah dilaksanakan dengan sempurna oleh Yesus Kristus tatkala berinkarnasi menjadi ma- nusia. Oleh karenanya, setiap manusia harus menjadi seperti Kristus. Menjadi seperti Kristus adalah meneladani Kristus, hidup seperti Kristus dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Kekristenan adalah suatu personal encounter umat manusia dengan Tuhan Yesus melalui pendengaran akan Firman Tuhan (Rom 10:17). Kekristenan merupakan ajaran yang berdasarkan pada hidup, teladan, penyaliban, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke sorga dan janji eskatologis, yaitu kedatangan-Nya kedua kali untuk menjemput umat-Nya dan pada akhirnya memberikan hidup kekal di sorga. Yesus Kristus dipercaya sebagai Tuhan dan juruselamat umat manusia adalah mesias yang dijanjikan dalam kitab Perjanjian Lama. Dengan demikian, agama dalam perspektif Kristen adalah dipandang sebagai misi Allah menyelamatkan manusia melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib sehingga barangsiapa percaya kepada-Nya diselamatkan dan memperoleh hidup kekal di sorga. Keselamatan tidak didapat dari perbuatan baik. Perbuatan baik adalah buah pertobatan, sehingga setiap orang yang dilahir barukan wajib hidup seperti Kristus hidup (1 Yoh. 2: 5-6).23

Reposisi Hakikat Beragama

Dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat di negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang multikultur dan pluralis, agama dapat menjadi jembatan para umat untuk saling menghormati dan menghargai sebagai saudara senegara dan setanah air walaupun berbeda keyakinan dan agama. Sikap toleransi ini sejalan dengan apa yang diajarkan oleh masing-masing agama. Di mana Islam yang berarti damai, mengarahkan umat untuk dapat hidup berdamai dengan lingkungan dan sesama. Kristen mengajarkan cinta kasih, di mana penekanannya bukan hanya memberi cinta kasih kepada yang sealiran atau seagama saja tetapi kepada semua umat manusia. Sementara Buddha mengajarkan untuk jangan membenci, Konfusius mengajarkan bahwa seseorang itu harus memiliki cinta kasih untuk hidup selaras dengan sesama. Dari semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, tetapi nilai-nilai itu tidak berfaedah ketika tidak diamalkan.24 Artinya agama bukan sekedar ritualitas

22 Fransiskus Irwan Widjaja, Misiologi Antara Teori, Fakta Dan Pengalaman, 1st ed. (Yogyakarta:

Andi Offset, 2018).

23 Candra Gunawan Marisi, “Esensi Kemanusiaan Menurut Gambar Dan Rupa Allah,” Real Didache: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 2 (2017): 5–33.

24 Wendy Sepmady Hutahaean, Teologi Agama-Agama (Malang: Ahlimedia Perss, 2021).

(9)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 272

agamawinya semata yang ditonjolkan, tetapi setiap perubahan hidup atas perilaku yang ditunjukkan dalam melaksanakan ajarannya (Mat. 6:1-24). Agama dapat mem- beri pengaruh kehidupan rukun bermasyarakat dalam masyarakat majemuk.

Agama merupakan sesuatu yang bersifat subyektif, batiniah dan individualitas karena akan dipengaruhi oleh pandangan pribadi berdasarkan agama atau keper- cayaan yang dianut. Dibutuhkan sikap dewasa dalam memandang kehidupan bera- gama yang beragam seperti di Indonesia ini. Pemerintah melalui Kemenag RI menca- nangkan gagasan mengenai moderasi beragama, di mana moderasi beragama harus dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan keimanan agama sendiri (eksklusif) dan sikap menghormati dan menghargai agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan keyakinannya (inklusif).25 Hal ini harus dipahami bahwa moderasi beragama bukan merupakan posisi netral (jalan tengah) seperti halnya dengan pluralisme yang menganggap semua agama sama hanya berbeda dalam cara peribadatannya saja.

Moderasi beragama harus dimaknai sebagai perwujudan pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang mana negara menjamin akan kebebasan (kemerdekaan) setiap individu untuk meyakini, memeluk dan mengamalkan keima- nan agama atau kepercayaan yang dipercaya dan dianutnya secara eksklusif tanpa diintervensi dan dipersekusi oleh orang atau kelompok yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Hal ini mengembalikan agama sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, tetapi dalam eksklusifitasnya tidak boleh melanggar hak asasi bera- gama orang lain. Di sini tidak ada mayoritas maupun minoritas, semua memiliki hak yang sama. Berpijak dari pemahaman ini, agama dan hakikat beragama harus diposi- sikan pada ruang privasi setiap individu, sehingga agama bukanlah ditunjukkan dengan tingkat religuisitasnya semata tetapi lebih kepada tingkat spiritualitasnya. Jika hal ini terjadi, maka secara inklusif, pemeluk agama dapat melakukan toleransi beragama yang dapat saling menghormati dan menghargai umat agama lain tanpa risih dan takut keimanannya goyah oleh dakwah maupun pemberitaan ajaran agama lain. Dakwah maupun siar agama (penginjilan) dapat dilakukan dengan bebas sebagai bentuk pengamalan agama yang diyakininya selama tidak memaksakan keya- kinannya kepada orang lain dan tidak menyinggung akidah agama atau kepercayaan yang lain.

Kesimpulan

Indonesia adalah negara majemuk dengan keragaman budaya maupun agama dengan semboyan bhineka tunggal ika. Falsafah dasar bernegara dari bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya bahwa warga negara Indonesia merupakan manusia yang ber-Tuhan dalam keberagaman kepercayaan dan agama di Indonesia. Ironis sebagai negara yang berlandaskan Ketuhanan, agama menjadi suatu identitas yang dibanggakan namun kemerosotan moral juga dipertontonkan. Agama yang seharusnya berada di tengah dan menjadi suatu keyakinan yang diamalkan bergeser kea rah politik praktis. Dalam perspektif

25 Tim Penyusun Kemenag RI, Moderasi Beragama, Kementerian Agama RI, 1st ed. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2019).

(10)

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 273

Kristen, agama adalah suatu pengalaman pribadi, perjumpaan dengan Tuhan melalui Firman Tuhan. Kekristenan dipandang sebagai misi Allah menyelamatkan manusia melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Keselamatan bukan didapatkan dari perbuatan baik, melainkan perbuatan baik adalah buah dari pertobatan.

Moderasi beragama bukan merupakan posisi netral yang menganggap semua agama sama, hanya berbeda dari cara beribadah saja. Beragama merupakan sesuatu yang bersifat subjektif, batiniah dan individualitas karena dipengaruhi oleh pan- dangan pribadi berdasarkan keturunan, budaya, keluarga dan pengalaman. Dibutuh- kan sikap dewasa dalam memandang kehidupan beragama di Indonesia. Moderasi beragama harus dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan keyakinan agama sendiri (eksklusif) dan sikap menghormati dan menghargai agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan keyakinannya (inklusif) tidak lagi merasa terganggu keimanan dan keyakinannya karena orang lain melakukan ibadah dan keyakinan yang berbeda walupun berdekatan. Perwujudan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 dalam moderasi beragama adalah, negara menjamin akan kebebasan setiap individu untuk meyakini, memeluk dan mengamalkan keimanan agama dan kepercayaannya secara eksklusif tanpa diintervensi dan dipersekusi oleh orang atau kelompok yang berbeda keyakinan.

Penginjilan sebagai mandat utama kekristenan tetap dapat dilaksanakan dengan santun tanpa harus menyinggung akidah agama atau kepercayaan lain yang dapat menciderai kerukunan. Penginjilan dapat dilaksanakan dengan menunjukkan kasih sebagai bentuk pengamalan iman yang radikal ke dalam. Agama harus ditempatkan pada ruang pribadi. Hal ini mengembalikan agama sebagai hak asasi manusia yang paling hakiki, tidak ada pemeluk mayoritas ataupun pemeluk minoritas, setiap individu memiliki hak yang sama. Berdasar dari pemahaman tersebut, agama dan hakikat beragama harus diposisikan pada ruang privasi setiap individu, sehingga agama bukanlah ditunjukkan dengan tingkat religuisitasnya semata melainkan lebih kepada tingkat spiritual hubungan pribadi dengan Tuhannya. Insan beragama seharusnya menjadi radikal dan fanatik dalam mengamalkan keyakinannya di dalam ruang privasi bukan untuk dipertontonkan di ruang publik agar terlihat religius dan menuntut penghargaan dan pengakuan publik. Hal itulah yang sering memicu konflik, sehingga penempatan beragama kepada ruang privat individu adalah untuk menghargai dan menegakkan hak asasi yang paling hakiki seseorang, tetapi dalam menerima haknya itu tidak boleh melanggar dan memaksakan haknya kepada hak orang lain.

Referensi

Hardjana, Agus M. Religiositas, Agama Dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Hutahaean, Wendy Sepmady. Teologi Agama-Agama. Malang: Ahlimedia Perss, 2021.

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

Kamaluddin, Ismet Sari, and Mimi Anggraini. “Intoleransi Menurut Tokoh Agama Islam Dan Kristen.” Studia Sosia Religia 4, no. 1 (2021): 1–13.

Kemenag RI, Tim Penyusun. Moderasi Beragama. Kementerian Agama RI. 1st ed. Jakarta:

Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2019.

(11)

Jurnal Teologi Gracia Deo, Vol 4, No 2, Januari 2022

Jurnal Teologi Gracia Deo, e-ISSN: 2655-6863 | 274

Khalik, Muh Fihris. “Reposisi Agama Sebagai Sumber Spiritulitas.” Ash-Shahabah 3, no. 1 (2017): 1–8.

Laoli, Noverius. “Cegah Penyebaran Virus Corona, Ini Himbauan PGI Kepada Umat Kristen.” Kontan.Co.Id. Jakarta, 2020.

Marisi, Candra Gunawan. “Esensi Kemanusiaan Menurut Gambar Dan Rupa Allah.”

Real Didache: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen 2, no. 2 (2017): 5–33.

Marisi, Candra Gunawan, Didimus Sutanto B Prasetya, and Ardianto Lahagu.

“Keluarga Sebagai Pusat Misi Masa Kini.” In Great Commission as a Family Lasting Legacy, 77–91. Batam: STT REAL BATAM, 2020.

Marisi, Candra Gunawan, Didimus Sutanto B Prasetya, Dewi Lidya S, and Rikson Situmorang. “Etika Teologis Dalam Memandang Tanggung Jawab Kristen Terhadap Kelestarian Budaya Nusantara” 2, no. 1 (2021): 64–74.

Marisi, Candra Gunawan, Didimus Sutanto, and Ardianto Lahagu. “Teologi Pastoral Dalam Menghadapi Tantangan Kepemimpinan Kristen Di Era Post-Modern:

Tinjauan Yesaya 40:11.” Diegesis: Jurnal Teologi Kharismatika 3, no. 2 (2020): 120–

132.

Meador, Gery T. Decision Making God’s Way. Yogyakarta: Yayasan Andi, 2009.

Meman, Octavianey G.P.H. “Dialog Sebagai Sarana Reposisi Aagama-Agama.” Stulos 19, no. 2 (2021): 223–247.

Nisa, Muria Khusnun, Ahmad Yani, Andika, Eko Mulyo Yunus, and Yusuf Rahman.

“Moderasi Beragama: Landasan Moderasi Dalam Tradisi Berbagai Agama Dan Implementasi Di Era Disrupsi Digital.” Jurnal Riset Agama 1, no. 3 (2021): 79–96.

Sutardi, Tedi. Antropologi Mengungkapkan Keragaman Budaya Untuk SMA/MA Kelas XII.

Edited by Ita Rospita. 1st ed. Bandung: Setia Purna Inves, 2007.

Syarifah, Lailatus, and Turahmat. “Nilai Moral Puisi Ketika Agama Kehilangan Tuhan Karya Gus Mus.” Jurnal Bindo Sastra 3, no. 2 (2019): 126–129.

Welianto, Ari. “Revolusi Mental: Sejarah Penerapan Dan Capaian.” Kompas.Com.

Jakarta, 2020.

Widjaja, Fransiskus Irwan. Misiologi Antara Teori, Fakta Dan Pengalaman. 1st ed.

Yogyakarta: Andi Offset, 2018.

Widjaja, Fransiskus Irwan, Fredik Melkias Boiliu, Didimus SB Prasetya, Haposan Simanjuntak, and Vicky BGD Paat. “Menuju Evolusi Ibadah Kristen Di Masa Pandemi Covid-19” 3, no. 2 (2021): 150–159.

Widjaja, Fransiskus Irwan, and Noh Ibrahim Boiliu. Misi Dan Pluralitas Keyakinan Di Indonesia. 1st ed. Yogyakarta: PBMR Andi, 2019.

Widodo, Priyantoro, and Karnawati Karnawati. “Moderasi Agama Dan Pemahaman Radikalisme Di Indonesia.” PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 15, no. 2 (2019): 9–14.

Zaluchu, Sonny Eli. “Qualitative and Quantitative Research Method in Religious Research [Metode Penelitian Di Dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan].”

Jurnal Teologi Berita Hidup 3, no. 2 (2021): 249–266.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan selama 10 tahun (2003 – 2012) diperoleh dari 15 pos hujan yang tersebar di Sulawesi Utara,

Kekuatan adalah berbagai kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan berperan besar, tidak hanya dalam memperlancar

Pengelola hutan adat sebagaimana dimaksud pada diktum KEENAM wajib melaporkan kepada Bupati Sarolangun melalui Camat setiap tahunnya dengan tembusan Dinas Perkebunan dan

Penelitian yang dilakukan oleh Hermi (2019) dan Herawaty (2019) menyatakan bahwa varia- bel profitabilitas tidak berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dikarenakan

Family Triple Support (FTS) merupakan intervensi terintegrasi yang melibatkan peran orang tua dalam mengatasi permasalahan nyeri saat prosedur imunisasi bayi

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan SETIABUDI DANA CAMPURAN yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi

Pembagian tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar melibatkan 20 orang yang terdiri dari kepala sekolah, 11 guru kelas, 2 guru agama, 2 guru olah raga, 1 guru bahasa

Peraturan-peraturan yang mengatur tentang gadai tanah tersebut adalah UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria),