• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Gagal Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan kerusakan ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomelurus yang terjadi secara progresif dan kehilangan fungsi ginjal (LeMone, dkk, 2016).

Kerusakan pada ginjal terjadi secara progresif dan irreversible, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan serta elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi ginjal dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (Black & Hawks, 2014).

Ureum dan Kreatinin merupakan senyawa kimia yang menandakan fungsi ginjal normal. Oleh karena itu, tes ureum kreatinin selalu digunakan untuk melihat fungsi ginjal kepada pasien yang diduga mengalami gangguan pada organ ginjal. Gangguan ginjal yang kronik akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus (fungsi penyaringan ginjal) sehingga ureum, kreatinin, melalui air seni menurun, akibatnya zat-zat tersebut akan meningkat di dalam darah.

Upaya untuk menurunkan kadar kreatinin serum tentu saja dengan memperbaiki fungsi ginjal. Dan untuk memperbaiki fungsi ginjal ini perlu di lakukan cuci darah (Hemodialisis) yang akan berperan dalam mengganti fungsi utama ginjal adalah membersihkan darah dari sisa- sisa hasil metabolisme tubuh yang berada di dalam darah cara menyaringnya. Jika kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya (tahap akhir penyakit ginjal), sisa-sisa hasil metabolisme yang diproduksi

(2)

oleh sel normal akan kembali masuk ke dalam darah (uremia) (Theresia, 2011).

Gagal ginjal kronik dapat berlanjut menjadi gagal ginjal terminal atau end stage renal disease dimana ginjal sudah tidak mampu lagi untuk mempertahankan substansi tubuh, sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai terapi pengganti ginjal (Tieney ML, 2009).

Tahapan penyakit ginjal kronik berlangsung secara terus-menerus dari waktu ke waktu. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) mengklasifikasikan penyakit ginjal kronik sebagai berikut:

Stadium 1: kerusakan masih normal (LFG >90 mL/min/1.73 m2) Stadium 2: ringan (LFG 60-89 mL/min/1.73 m2)

Stadium 3: sedang (LFG 30-59 mL/min/1.73 m2)

Stadium 4: penyakit berat (LFG 15-29 mL/min/1.73 m2)

Stadium 5: penyakit ginjal terminal (LFG <15 mL/min/1.73 m2) Pada penyakit ginjal kronik tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda- tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009).

2.1.2 Etiologi Gagal Ginjal Kronik

Penyebab gagal ginjal kronik diberbagai negara hampir sama, akan tetapi berbeda dalam perbandingan presentasinya. Gagal ginjal kronik oleh glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal polikistik, batu saluran kemih serta infeksi saluran kemih dan lain-lain (Tjokoprawiro et al. 2015)

2.1.2.1. Penyakit infeksi tubuluintestinal, nama penyakitnya adalah Pielonefritis kronik dan reflunefropati;

2.1.2.2. Penyakit peradangan, nama penyakitnya adalah Glomerulonefritis;

(3)

2.1.2.3. Penyakit vaskuler hipertensi, nama penyakitnya adalah Nefrosklerosis benign, nefrosklerosis maligna dan stenosis arteri renalis;

2.1.2.4. Gangguan jaringan ikat, nama penyakitnya adalah Lupus erutomatosus sistemik, dan poliartritis nodosa;

2.1.2.5. Gangguan kongenital dan herediter, nama penyakitnya adalah Penyakit ginjal polikistik dan asedosis tumulis ginjal;

2.1.2.6. Penyakit metabolik, nama penyakitnya adalah Diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme dan amiloidosisis;

2.1.2.7. Nefropati toksik, nama penyakitnya adalah Nefropati timah dan penyalahgunaan analgesik;

2.1.2.8. Nefropati obstruksi, nama penyakitnya adalah Batu ginjal, neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertropi prostat, struktur uretra.

Menurut Price & Wilson (2006) menjelaskan bahwa diabetes dan hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi penyakit ginjal kronik yang paling besar, terhitung secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis adalah penyebab penyakit ginjal kronik tersering yang ketiga (17%). Infeksi nefritis tubulointerstisial (pielonefritis kronikatau nefropati refluks) dan Penyakit Ginjal Polikistik atau Polycystic Kidney Disease (PKD) masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari penyakit ginjal kronik.

21% penyebab penyakit ginjal kronik sisanya relatif tidak sering terjadi yaitu uropati obstruktif, Lupus Eritematosis Sistemik (SLE).

2.1.3 Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronik

Tanda dan gejala yang muncul tergantung pada tingkat keparahan nefron dan akan mempengaruhi semua sistem tubuh (Smeltzer dan Bare, 2002), diantaranya yaitu:

(4)

2.1.3.1. Sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sakrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher

2.1.3.2. Sistem integumen yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar

2.1.3.3. Sistem pulmoner yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal serta pernapasan kasmaul 2.1.3.4. Sistem gastrointestinal yang ditandai dengan napas berbau

ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran gastrointestinal

2.1.3.5. Sistem hematologi yang ditandai dengan anemia dengan kadar Hb <6 gr%, kadar hematokrit <25-30% merupakan tanda dan gejala yang sering dialami oleh pasien

2.1.3.6. Sistem neurologi yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku

2.1.3.7. Sistem muskuloskletal yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop

2.1.3.8. Reproduktif yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

2.1.4 Patofisiologi gagal ginjal kronik

Patofisiologi penyakit gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada etiologi atau penyakit yang mendasarinya. Adanya pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor.

(5)

Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Keadaan ini diikuti oleh proses maladaptasi yaitu sklerosis nefron dan pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif.

Dengan adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin- aldosteron intrarenal yang diperantarai oleh growth factor seperti Transforming Growth Factor β (TGF- β) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas. Selain itu progresifitas penyakit gagal ginjal kronik juga di pengaruhi oleh albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia (Suwitra, 2015).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menjalankan fungsi yang semakin berat sehingga nefron- nefron tersebut ikut rusak. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorbsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang. Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi penyakit ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma.

(Muttaqin, A & Kumala, S, 2011).

Gambaran laboratorium biasanya sesuai dengan penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan GFR yang dihitung dengan rumus Kockcroft-Gault. Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, dan leukosuria (Suwitra, 2015).

(6)

Kadar ureum dan kreatinin yang juga tinggi dapat menyebabkan komplikasi tambahan yaitu menyebabkan syok uremikum yang dapat berlanjut menjadi kematian (Setyaningsih, A. 2013).

Upaya untuk menurunkan kadar kreatinin serum tentu saja dengan memperbaiki fungsi ginjal. Dalam memperbaiki fungsi ginjal ini perlu perlu dilakukan cuci darah (hemodialisis) untuk mengganti fungsi utama ginjal yaitu membersihkan darah dari sisa-sisa hasil metabolisme tubuh yang berada di dalam darah. Tindakan hemodialisis dilakukan guna membersihkan zat toksik dalam darah seperti ureum dan kreatinin. Jika ginjal gagal menjalankan fungsinya maka hasil metabolisme yang diproduksi sel normal akan kembali ke dalam darah (uremia) (Denita, 2015).

2.1.5 Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat dialami oleh pasien dengan gagal ginjal kronis (dr. Aulia R. 2020), diantaranya sebagai berikut:

2.1.5.1 Anemia

Gambar 2.1 Berbagai kondisi yang menyertai gagal ginjal kronis (Thomas et.al, 2008)

(7)

Anemia didefinisikan sebagai penurunan satu atau lebih parameter sel darah merah yang meliputi: hemoglobin, hematokrit, atau red blood cell count. World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin <13 gram/dL pada laki-laki dan wanita post- menopause serta kurang <12 gram/dL pada wanita pre- menopause. Anemia normositik normokromis biasanya menyertai GGK yang progresif. Prevalensi anemia pada pasien GGK di Amerika adalah sekitar 50%. Anemia dapat terjadi pada pasien gagal ginjal di berbagai tingkat keparahan, dan prevalensinya semakin meningkat seiring memburuknya fungsi ginjal.

Anemia pada pasien GGK dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme (defisiensi besi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, perdarahan gastrointestinal, hiperparatiroidisme, dan inflamasi sistemik), namun pada umumnya disebabkan oleh insufisiensi dari produksi hormon Erithropoietin (EPO). EPO berfungsi merangsang pembentukan sel darah merah (eritrosit). sebagian besar EPO diproduksi oleh sel endothelial di bagian proksimal tubula renalis ginjal sehingga produksi EPO akan menurun seiring dengan penurunan fungsi ginjal.

Pasien akan mengalami berbagai keluhan sebagai manifestasi dari penurunan oksigen yang dihantarkan ke jaringan serta karena kompensasi kardiovaskular akibat anemia. Apabila tidak ditangani dengan adekuat kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien GGK. Target Hb hingga mencapai nilai normal pada pasien dengan GGK sudah

(8)

tidak direkomendasikan, Food Drug and Administration (FDA) Amerika merekomendasikan target Hb pada pasien GGK dengan anemia adalah antara 11 dan 12 gram/dL.

Mengingat defisiensi EPO merupakan penyebab utama kondisi anemia, pemberian agen yang dapat menggantikan fungsi eritropoietin, atau sering disebut Erythropoiesis Stimulating Agent (ESA) merupakan pilihan utama dalam mengatasi kondisi anemia. Beberapa jenis ESA yang saat ini ada di pasaran misalnya Epoetin alfa, Darbapoetin alfa, dan Methoxy-polyethyleneglycol-epoetin beta. Penelitian terbaru saat ini menargetkan agen Hipoxia-Inducible Factor (HIFs) Prolyl Hydroxylase Inhibitor (PHI) sebagai agen untuk mengatasi anemia pada psien GGK. Saat ini agen ini dipercaya bisa menurunkan efek kardiovaskular dibandingkan ESA. Ada 4 agen yang saat ini sedang dalam fase 2 dan 3 clinical trial di Amerika. Salah satu faktor yang paling sering menyebabkan respon sub optimal dari terapi ESA adalah defisiensi besi. Defisiensi besi terjadi pada lebih dari 40% pasien dengan CKD tanpa dialisis akibat kehilangan darah secara kronis, peningkatan kebutuhan besi ketika terapi ESA, penurunan asupan besi, inflamasi, serta penurunan absorbsi besi pada asupan makanan. Terapi defisiensi besi dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Terapi oral disarankan untuk terapi awal defisiensi besi dan diminum saat perut kosong tidak bersamaan dengan phosphate binders. Pemberian secara intravena dipilih pada pasien yang tidak respon terhadap terapi oral dan pasien yang mengalami defisiensi besi parah.

(9)

2.1.5.2 Inflamasi

Gambar 2.1.5.2 Inflamasi yang terjadi pasa pasien dengan GGK on dialysis. (Vadakedath, 2017)

Berdasarkan Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2016, sebanyak 98% penderita gagal ginjal tahap terminal (tahap V) menjalani terapi hemodialisis dan 2% sisanya menjalani terapi peritoneal dialisis. Selama proses dialisis, membran dialiser dapat menimbulkan respon imunologis yang diperantarai oleh IgG, komponen komplemen serta granulosit. Granulosit yang teraktivasi dalam darah, menstimulasi pelepasan reactive oxygen species (ROS) sehingga memperburuk stress oksidatif. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat penurunan trace element pada pasien post dialisis seperti copper, zinc dan superoxide dismutase (SOD). Selain itu kondisi kerusakan pada ginjal juga akan memicu kondisi inflamasi yang akan mengaktifkan makrofag, dan menstimulasi IL-1.

(Vadakedath, 2017).

(10)

2.1.5.3 Gangguan Mineral dan Tulang

Gambar 2.1.5.3 Patogenesis kelainan mineral dan tulang pada GGK (Lippincot William, 2017)

Peningkatan serum fosfor merupakan faktor resiko mortalitas dan luaran kardiovaskular pada pasien GGK tahap terminal. Peningkatan phosphor dalam darah berhubungan dengan meningkatnya resiko kardiovaskular karena meningkatkan resiko kalsifikasi vaskular dan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien GGK tahap akhir. Pada model penelitian, hiperfosfatemia terbukti menstimulasi pertumbuhan glandula paratiroid dan meningkatkan sekresi hormon paratiroid (PTH).

Terdapat tiga hormon yang berperan penting dalam homeostasis mineral dan tulang yaitu FGF23, kalsitriol (1,25dihydroxycholecalciferol), dan hormon paratiroid (PTH). Seiring dengan penurunan fungsi ginjal, terjadi penurunan secara progresif kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan mineral dan turnover tulang

(11)

berkurang. Pada kondisi GGK tahap akhir, kadar kalsitriol dan kalsium yang rendah serta fosfor yang tinggi menstimulasi sekresi FGF23 dan PTH sehingga memperburuk kondisi hiperparatiroid. Kondisi hiperparatiroid memiliki peran patologis dalam progresi penyakit kardiovaskular karena merusak mineralisasi tulang namun mendorong mineralisasi pada pembuluh darah dan jaringan lainnya. Mencegah defisiensi vitamin D, menjaga kalsium pada kadar normal (hindari hipokalsemia) serta mencegah hiperfosfatemia diharapkan dapat mencegah peningkatan PTH (Cannata-Andia JB, et al. 2013).

Rentang normal fosfat dan kalsium dalam serum adalah 2.7 sampai 4.5 mg/dL (0.9-1.5 mmol/L) dan 8,4-10,2 mg/dL (2,10-2,55 mmol/L). Manajemen hiperfosfatemia dapat dilakukan dengan pembatasan diet makanan tinggi fosfat, dengan dialisis yang adekuat, konsumsi phosphorus binder agent serta loading kalsium. Kalsium sebaiknya dijaga pada rentang normal. Seringkali, kadar kalsium tinggi terjadi karena penggunaan berlebih phosphorus binder berbasis kalsium. Vitamin D seringkali rendah pada pasien dengan dialisis karena beberapa faktor seperti kurangnya paparan sinar matahari pada pasien yang sakit, dan restriksi diet untuk untuk mengontrol fosfat. Terapi kekurangan vitamin D saat ini masih bervariasi di berbagai negara, salah satu nya adalah dengan menggunakan prekursor alami vitamin D yaitu cholecalciferol.

Ketidakseimbangan regenerasi tulang dapat menyebabkan berbagai permasalahan, seperti osteitis fibrosa yang terjadi akibat PTH yang selalu tinggi. Sehingga terapi pada pasien

(12)

GGK on dialisis adalah mencegah kondisi hiperparatiroidisme berlangsung terus menerus dan menyebabkan permasalahan tulang yang parah hingga menyebakan fraktur serta kalsifikasi jaringan. Sebaliknya, terapi yang berlebihan dapat menyebabkan adynamic bone sehingga menyebakan kondisi hiperkalsemia dan resiko kalsifikasi vaskuler.

2.1.5.4 Gangguan Kardiovaskular dan Hiperlipidemia

Pada GGK tahap akhir, mortalitas yang diakibatkan karena penyakit kardiovaskular 10 hingga 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Salah satu komplikasi yang paling ditakutkan pada Gagal Ginjal Kronik adalah Penyakit Jantung Koroner. Dua faktor yang dianggap memiliki kontribusi dalam terbentuknya atheroma pada pasien gagal ginjal kronik adalah inflamasi dan kalsifikasi dinding pembuluh darah. Penelitian menunjukkan bahwa proses inflamasi, terutama C-reactiveprotein (CRP) mempunyai efek langsung pada pembentukan atherosklerosis. (Sagita, 2018). Selain itu, pasien dengan dialisis yang mengalami diabetes memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami sindrom koroner akut dan terbukti memiliki luaran yang lebih buruk dibandingkan pasien dialisis tanpa diabetes.

Kontrol hipertensi harus dilakukan salah satunya adalah dengan mengontrol adekuasi dari hemodialisis serta dengan pengobatan. Pasien dengan kolesterol yang tinggi, memiliki resiko atherogenik yang tinggi, akan tetapi pasien dengan kolesterol yang rendah juga biasanya terkait dengan kondisi malnutrisi sehingga kolesterol terlalu tinggi maupun rendah sama-sama memiliki resiko pada pasien GGK tahap akhir

(13)

(Kilpatric, 2007). Kadar LDL-colesterol normal penting dalam meminimalisir resiko infark miokardial akan tetapi inisiasi pengobatan statin pada pasien GGK tidak terbukti memperbaiki luaran klinis menurut berbagai penelitian clinical trial meskipun terjadi penurunan kadar LDL-C. Kondisi kardiovaskular lainnya yang sering terjadi pada pasien GGK on dialisis adalah hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Beberapa data penelitian menyatakan bahwa modifikasi faktor resiko seperti anemia, tekanan darah sistolik, manajemen volume cairan, manajemen kelainan mineral dan tulang, penggunaan ACE-inhibitor dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dapat memperbaiki kondisi LVH pada pasien GGK on dialisis.

2.1.5.5 Gangguan Sistem Saraf dan Gangguan Tidur

Pada pasien dialisis dapat terjadi gangguan sistem saraf pusat (SSP) maupun perifer. Pada pasien dengan gangguan SSP sangat penting untuk mempertimbangkan kerusakan struktural dan gangguan akibat dari kadar ureum. Pada sistem saraf tepi, seringkali terjadi neuropati uremikum yang biasanya mengenai ekstremitas bawah dan ditandai dengan kelainan distal simetris yang dapat berupa polineuropati sensoris dan motoris. Manifestasi klinis yang mungkin muncul adalah paresthesia, dysestesia, ataxia, dan kelemahan. Seringkali kemampuan mendeteksi posisi dan fibrasi juga menurun.

Survei pada pasien dialisis melaporkan bahwa 40-50%

pasien memiliki keluhan gangguan tidur. Biasanya pasien mengalami kesulitan tidur terlepas dari masalah psikologis.

Gangguan dapat berupa kesulitan memulai tidur dan sering

(14)

terbangun saat tidur tanpa sebab yang jelas. Selain itu, keluhan lainnya adalah excessive daytime sleepiness (EDS) atau mengantuk di siang hari yang berlebihan seperti misalnya pasien seringkali sangat cepat tertidur saat sesi dialisis. EDS kronis dapat mengganggu fungsi kognitif serta menurunkan produktivitas dan membahayakan seperti misalnyaa saat pasien mengemudikan kendaraan.

2.1.5.6 Permasalahan Psikologi

Sebuah penelitian menyatakan bahwa sekitar 10% pasien dengan GGK tahap akhir yang dirawat memiliki kondisi kelainan psikiatri. Laju rawat inap pada gangguan psikiatris lebih tinggi dibandingkan gangguan kronis lain. Masalah umum yang terjadi pada pasien GGK adalah depresi, demensia, delirium, psikosis, kelainan kepribadian dan kecemasan serta penggunaan obat terlarang. Masalah lain yang dapat terjadi adalah permasalahan dalam rumah tangga, disfungsi seksual, sosioekonomi hingga rendahnya kualitas hidup.

Depresi merupakan salah satu masalah psikiatri terbesar pada pasien GGK. Diagnosis dan penanganan depresi pada pasien dialisis sangat penting karena berkaitan dengan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi dialisis dan minum obat. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk screening adalah Beck Depression Inventory (BDI) serta Hamilton Rating Scale for Depression. Sebagian besar kasus depresi saat ini underdiagnosed dan tidak dilakukan penanganan secara komprehensif. Penilaian penyebab depresi sangat penting dalam merencanakan tatalaksana depresi. Beberapa opsi penangannya adalah dengan

(15)

farmakoterapi dan psikoterapi (kognitif-behavioral, interpersonal dan suportif).

Permasalahan neurokognitif umum terjadi pada pasien gagal ginjal tahap akhir. Defisit kognitif sangat berkaitan dengan berbagai penyebab klinis seperti uremia. Selain itu, permasalahan lain yang sering terjadi adalah anxiety atau kecemasan. Kecemasan sering terjadi pada pasien GGK tahap akhir dan membuat persepsi pasien terhadap kualitas hidup menurun. Hal ini sangat penting untuk mengeksplorasi penyebab masalah serta mencari solusi pemecahannya yang sebaiknya dimulai dengan psikoterapi dan teknik behavioral.

2.1.5.7 Infeksi

Pada pasien GGK tahap akhir dengan dialisis, terdapat penurunan imunitas akibat perburukan pada fungsi limfosit dan granulosit. Toksin akibat kadar ureum diduga merupakan penyebabnya serta ditambah dengan kondisi malnutrisi dan defisiensi vitamin D yang turut berkontribusi. Hal tersebut membuat pasien GGK tahap akhir lebih rentan terhadap infeksi, baik infeksi virus maupun bakteri. Infeksi bakteri dapat berasal dari akses dialisis, mulai dari exit site hingga mesin saat dialisis.

Infeksi virus hepatitis pada pasien dengan dialisis berkaitan dengan beberapa faktor resiko yaitu frekuensi transfusi darah, durasi dialisis, jenis dialisis, riwayat transplantasi organ serta penggunaan obat intravena.

Infeksi bakteri yang tidak berkaitan dengan dialisis juga sering terjadi seperti infeksi saluran kencing (ISK), pneumonia, TB dan infeksi intraabdomen. Menurut

(16)

penelitian dikatahui bahwa insidensi pasien GGK mengalami ISK cukup tinggi, terlebih pada pasien dengan polikistik renal. Masalah paru yang sering terjadi pada pasien GGK adalah pneumonia dan TB. Hasil pemeriksaan overload cairan seringkali mirip dengan pneumonia terutama apabila terdapat infiltrat bilateral. Insidensi TB diperkirakan sepuluh kali lebih tinggi pada pasien dengan dialisis dibandingkan populasi normal dengan peningkatan mortalitas hingga 40%. Selain itu,peritonitis juga merupakan ancaman bagi pasien dengan peritoneal dialisis (PD) sehingga higiene merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan saat penggantian cairan pada PD.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik menurut Dongeous (1999) dalam skripsi Sutopo irina, A. I.

(2016) sebagai berikut:

2.1.6.1. Pemeriksaan laboratorium 1). Darah

a) BUN/kreatinin meningkat 10 mg/dl

b) Darah lengkap, Hb menurut karena adanya anemia Hb<7-8 g/dl

c) Natrium serum mungkin rendah

d) Kalium: peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan asidosis

e) Kalsium menurun

f) Magnesium/fosfat meningkat, kalium menurun g) Protein/albumin: kehilangan protein melalui urin.

2). Urine

a) Volume, biasanya kurang dari 400ml/24 jam

(17)

b) Warna, secara abnormal urin keruh oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah Hb, miglobin, porfirin

c) Berat jenis, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat)

d) Osmolalitas, kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular

e) Kliren kreatinin agak menurun

f) Natrium, lebih besar daru 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium

g) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fregmen juga ada.

3). Ultrasono ginjal, menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas

4). Biopsi Ginjal, dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis 5). Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis

ginjal

6). EKG abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa

7). KUB adalah menunjukkan ukuran

ginjal/ureter/kandung kemih adanya onstruksi (batu) 8). Anteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan

mengidentifikasi ekstravaskuler, massa

9). Piclogram retrograde, menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal

10). Sistouretrogram berkemih, menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk kedalam ureter, retensi.

(18)

2.1.7 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Pengobatan penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi tiga tahap.

Tahap pertama terdiri dari tindakan konservatif, tindakan terapi simptomatik dan tindakan terapi pengganti ginjal.

2.1.7.1 Terapi konservatif

Tindakan konservatif ditunjukan untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

2.1.7.1.1 Optimalisai dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat edema betis ringan. Pada beberapa pasien, furosemid dosis besar (2500-1000 mg/hari) atau deuretik loop (bumetamid, asam etakrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan cairan, sementara pasien lain mungkin memerlukan suplemen natrium klorida atau natrium bikarbonat.

Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urin dan pencatatan keseimbangan cairan (masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml).

2.1.7.1.2 Diet tinggi kalori dan rendah protein

Diet rendah protein (20-40 g/hari) dan tinggi kalori menghilangkan anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Serta menghindari masukan berlebih dari kalium dan garam.

(19)

2.1.7.1.3 Kontrol ketidakseimbangan elektrolit

Hal yang sering ditemukan pada penderita penyakit ginjal kronik adalah hiperkalemia dan asidosis berat, untuk mencegah hiperkalemia dihindari masukan kalium yang besar (batasi hingga 60 mol/hari) deuretik hemat kalium, obat–obat yang berhubungan dengan ekresi kalium (misalnya, penghambat ACE dan obat OAINS) asidosis berat, atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis.

Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG.

Gejala–gejala asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15mol/liter biasanya terjadi pada pasien yang sangat kekurangan garam dan dapat diperbaiki spontan dengan dehidrasi. Namun perbaikan yang cepat dapat berbahaya.

2.1.7.2 Terapi simtomatik

2.1.7.2.1 Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).

Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.

Terapi alkali (sodium bicarbonate) harus segera diberikan melalui intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2.1.7.2.2 Anemia

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi

(20)

darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

Terapi eritropoietin dimulai untuk mencapai hematokrit 33% hingga 38% dan target hemoglobin 12 g/dl, yang umumnya mengurangi gejala anemia. Pasien yang telah menerima terapi erythropoietin telah melaporkan penurunan tingkat kelelahan, peningkatan perasaan sehat, toleransi dialisis yang lebih baik, tingkat energi yang lebih tinggi, dan peningkatan toleransi olahraga. Selain itu, terapi ini telah mengurangi kebutuhan untuk transfusi dan risiko yang terkait, termasuk penyakit menular melalui darah, pembentukan antibodi, dan kelebihan zat besi (Smeltzer, et al, 2010).

2.1.7.2.3 Keluhan gastrointestinal

Anoreksia, cegukan, mual, dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penyakit ginjal kronik. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari penyakit ginjal kronik. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan adalah program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simptomatik.

2.1.7.2.4 Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis kelainan kulit.

2.1.7.2.5 Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,

(21)

medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

2.1.7.2.6 Hipertensi

Bila tidak terkontrol dapat terakselerasi dengan hasil penyakit jantung kiri. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan cairan diatur sendiri tanpa tergantung tekanan darah, sering diperlukan diuretik loop, selain obat antihipertensi.

2.1.7.2.7 Kelainan kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

2.1.7.3 Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal pada stadium akhir telah mengalami perubahan dengan perkembangan teknik-teknik dialisis dan transplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

2.1.7.3.1 Dialisis

Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.

Hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialisis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi zat terlarut dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.

(22)

a. Hemodialisis (HD) merupakan metode yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang mengalami kegagalan secara permanen.

Hemodialisis merupakan suatu proses membersihkan darah, membuang produk sisa dan kelebihan cairan melalui mesin yang dihubungkan ke dalam tubuh pasien (Pekumpulan Nefrologi Indonesia (2016).

Pasien hemodialisis di unit hemodialisa 2-3 kali per minggu dengan waktu 3-5 jam setiap periode (Lewis S. L & Lousie R, 2014).

b. Dialisis Peritoneal (PD) merupakan alternatif hemodialisis pada penanganan penyakit ginjal akut dan kronik. Meskipun sudah dikenal selama 20 tahun sebelum hemodialisis, dialisis peritoneal jarang dipakai pengobatan jangka panjang. Dialisis peritoneal dipakai sebagai alternatif hemodialisis pada penanganan penyakit ginjal kronik. Dalam Kidney Disease Statistic (2014) menyatakan bahwa pada tahun 2011 dari 430.273 pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) sebanyak 31,840 (8%) pasien menjalani terapi Peritoneal Dialisis (PD).

Sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 5,2%

pasien menjalani Peritoneal Dialisis (PD).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

(23)

1). Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

2). Kualitas hidup normal kembali 3). Masa hidup (survival rate) lebih lama 4). Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi)

terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

5). Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

2.1.8 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (Semakin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2000).

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Gagal Ginjal Kronik 2.2.1 Faktor Biomedik

2.2.1.1. Diabetes mellitus

Seseorang yang menderita diabetes mellitus yang cukup lama akan muncul beberapa komplikasi salah satunya adalah kerusakan ginjal. Masalah ginjal berkaitan dengan diabetes mellitus karena adanya kebocoran protein darah dalam jumlah kecil melalui urine. Setelah beberapa tahun kebocoran albumin dalam urine akan lebih banyak. Jumlah albumin

(24)

yang meningkat dalam urine dapat menyebabkan fungsi penyaringan ginjal akan menurun sehingga akan berakibat pada kerusakan ginjal (Tilong, 2014).

Menurut Dharma (2014), tingginya glukosa dapat menggangu struktur serta fungsi pembuluh darah. Penderita diabetes mellitus memiliki kadar insulin yang rendah, sehingga mengakibatkan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang tidak normal maka pembuluh darah yang berada dalam organ ginjal akan mengecil dan terganggu.

Penyakit diabetes dengan komplikasi ginjal ini disebut nefropati diabetes. Nefropati diabetes merupakan gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah (glomerulus). Kadar gula darah yang tinggi secara perlahan akan merusak glomerulus. Ketika ginjal berfungsi dengan baik, maka nefron berfungsi menjaga kondisi protein di dalam tubuh. Kadar gula yang tinggi akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein menjadi rusak kemudian terjadi kebocoran protein ke urine.

Salah satu fungsi ginjal yaitu mengeluarkan kotoran melalui urine serta menjaga kadar protein tubuh. Jika ginjal mengalami kerusakan, maka protein dikeluarkan melalui urine dan cairan limbah mengendap di dalam tubuh (Dharma, 2014).

2.2.1.2. Hipertensi

Menurut Dharma (2014), hipertensi merupakan penyebab gagal ginjal nomor dua setelah diabetes mellitus. Fungsi utama ginjal adalah sebagai sistem penyaring untuk

(25)

membuang kelebihan air dan limbah di dalam darah. Fungsi penyaringan dijalankan olah jutaan pembuluh darah kecil di dalam ginjal. Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah, tingginya tekanan darah ini juga dapat membuat pembuluh darah dalam ginjal tertekan.

Hipertensi yang tidak terkontrol dapat merusak pembuluh darah dan nefron di dalam ginjal. Nefron yang rusak tidak akan dapat melakukan tugasnya untuk menyaring limbah, natrium, serta kelebihan cairan dalam darah. Kelebihan cairan dan natrium yang terdapat pada aliran darah akan memberikan tekanan ekstra pada dinding pembuluh darah, sehingga meningkatkan tekanan darah hingga taraf yang berlebih. Hipertensi dapat berakibat pada kegagalan ginjal.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan agar dapat terhindar dari penyakit hipertensi. Cara pencegahan hipertensi agar tidak berlanjut pada gagal ginjal kronik (Tilong, 2014) dengan menerapkan pola hidup sehat, menerapkan pola hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari sangat penting dan salah satu upaya pencegahan hipertensi. Untuk itu lakukan aktivitas fisik, hindari kafein, merokok. Kemudian menerapkan pola makan sehat Konsumsi makanan yang tidak sehat hal ini yang mendasari penyakit hipertensi menyerang orang dewasa dan kaum muda. Menjaga pola makan sangat dibutuhkan agar tetap sehat dan terhindar dari hipertensi. Selanjutnya ada beberapa anjuran, adapun anjuran lain yang harus di perhatikan untuk mengendalikan hipertensi antara lain makanan yang mengandung kalium, makanan yang mengandung magnesium, makanan yang mengandung

(26)

kalsium, makanan yang mengandung vitamin C dan B6, dan minum air putih.

2.2.2 Faktor Pekerjaan

Menurut Nursalam dalam penelitian Kurniawati dan Asikin 2018, pekerjaan merupakan suatu kegiatan dengan tujuan mencari nafkah.

Penghasilan yang diperoleh juga digunakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Kejadian gagal ginjal kronik bisa terjadi karena faktor pekerjaan yang tanpa disadari dapat mempengaruhi pola hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi minuman suplemen untuk mencegah kelelahan, timbulnya stress karena target kerja yang harus dicapai bahkan kurang minum air putih pun sebagai pemicu terjadinya gagal ginjal kronik.

Mengutip dari Annis, J (2016), menyatakan sebagian besar responden bekerja sebagai karyawan swasta. Hasil sama dengan hasil Riskesdas (2013) yaitu penderita diabetes mellitus paling banyak bekerja sebagai karyawan swasta (45%). Responden yang berkerja sebagai karyawan swasta ini sebagian besar bekerja di pabrik. Sistem kerja di pabrik cenderung mendorong pekerja memiliki pola minum dan pola tidur yang tidak sehat. Sebagian besar pekerja pabrik cenderung kurang konsumsi air putih dikarenakan waktu kerja yang sangat padat. Selain itu pekerja pabrik yang cenderung memiliki pola tidur yang tidak teratur dikarenakan sistem kerja shift. Banyak orang tidak menyadari bahwa gaya hidup yang kurang mengkonsumsi air putih sangat berbahaya bagi tubuh. Kurang air putih dalam tubuh dapat mengakibatkan dehidrasi yang berdampak pada gangguan emosi, meningkatnya rasa lelah, serta turunnya produktivitas. Dalam jangka panjang kurang konsumsi air putih dapat menyebabkan gangguan ginjal (Dharma, 2014).

(27)

2.2.3 Faktor Perilaku 2.2.3.1. Merokok

Merokok merupakan salah satu gaya hidup yang tidak sehat, rokok memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan. Kebiasaan merokok juga dapat memperburuk fungsi ginjal. Merokok juga memperlambat aliran darah ke ginjal, serta dapat memperburuk penyakit ginjal yang sudah ada. Asap rokok yang dihisap masuk ke dalam jaringan halus yang ada di dalam mulut, tenggorokan, paru-paru, dan akan terbawa ke dalam saluran darah. Sebatang rokok akan mempercepat 15 kali lipat pukulan denyut jantung dalam satu menit. Hal ini menyebabkan tekanan darah menjadi lebih tinggi (Bangun, 2008).

Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia, 200 diantaranya beracun dan berbahaya bagi kesehatan. Racun pada rokok yaitu tar, nikotin dan karbon monoksida. Merokok dapat memperlambat aliran darah ke ginjal dan memperburuk fungsi ginjal. Efek merokok fase akut akan meningkatkan pacuan simpatis yang akan mengakibatkan pula peningkatan tekanan darah, nadi cepat dan penumpukan ketokolamin di dalam sirkulasi. Pembuluh darah juga sering mengalami vasokontriksi diikuti dengan peningkatan tekanan pembuluh darah ke ginjal yang akan mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerolus dan fraksi filter (Aisyah, Hermawan &

Ridha, 2015; Ariyanto et al., 2018).

2.2.3.2. Konsumsi Minuman Suplemen

Menurut Dharma (2014), minuman suplemen berkaitan dengan kebiasaan pola makan dan minum yang salah.

Masyarakat cenderung malas untuk mengkonsumsi makanan

(28)

bergizi kemudian beralih ke suplemen sebagai pengganti asupan vitamin. Suplemen merupakan vitamin sintetis hasil dari produk kimia yang tidak bebas dari zat karsinogenik.

Konsumsi minuman suplemen secara berlebihan dapat memperberat kerja ginjal.

Penelitian yang dilakukan Nugroho (2015) menyimpulkan bahwa semakin sering konsumsi minuman suplemen maka semakin tinggi stadium gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan karena suplemen mengandung beberapa zat kimia yang berbahaya seperti bahan pengawet, pewarna makanan, perasa dan pemanis buatan. Jika dikonsumsi maka glomerulus akan mengalami kematian sel, kehancuran inti sel dan kapsula bowman berongga. Semakin sering konsumsi suplemen dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang semakin cepat dan mempengaruhi stadium gagal ginjal semakin tinggi.

Minuman bersuplemen mengandung zat yang membahayakan bagi kesehatan, salah satunya adalah taurine. Taurine merupakan asam amino detoksifikasi yang memberikan efek seperti glisin dalam menetralkan semua jenis toksin.

Banyak konsumsi taurine pada suplemen dalam jumlah dan melebihi ambang batas yaitu sebanyak 50-100 mg ini membuat kerja ginjal semakin berat (Vitahealt, 2004).

Penelitian yang dilakukan Annis J (2016), menyatakan ada hubungan lama konsumsi minuman suplemen >5 tahun memiliki risiko 13,750 kali untuk menderita gagal ginjal kronik dari pada yang tidak konsumsi minuman suplemen, selain itu lama konsumsi minuman suplemen 1-5 tahun

(29)

memiliki risiko 7,333 kali untuk menderita gagal ginjal kronik dibanding orang yang tidak mengkonsumsi minuman suplemen.

2.2.4 Faktor Usia

Usia menjadi salah satu faktor risiko terjadinya CKD, semakin tua usia seseorang maka risiko terjadinya CKD semakin besar, selain itu usia tua juga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas penderita CKD (Mallappallil et al., 2014).

Pada rentang usia 5-14 tahun terdapat 9 kasus, 15-24 tahun 6 kasus, 25-44 tahun 49 kasus, 45-64 tahun 97 kasus, dan usia >65 tahun 59 kasus. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita gagal ginjal kronik pada rentang usia di atas 25 tahun. Hal tersebut dikarenakan pertambahan usia akan memengaruhi anatomi, fisiologi dan sitologi pada ginjal. Setelah usia 30 tahun, ginjal akan mengalami atrofi dan ketebalan kortek ginjal akan berkurang sekitar 10% setiap dekade. Selain itu juga akan bertambah penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangium glomerular dan terjadinya deposit protein matriks ekstraseluler sehingga menyebabkan glomerulosklerosis (Hsieh & Power, 2009).

2.2.5 Jenis Kelamin

Penelitian di Jepang dalam Japanese Society for Dialysis Therapy juga menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan pasien perempuan dengan odd ratio 1,41(Kazancioǧlu, 2013). Berbeda dengan data yang dilaporkan oleh US Renal Data System (USRDS) sebagai laporan tahunan bahwa prevalensi CKD antara 2007 sampai 2012 lebih banyak diderita oleh perempuan (15,1%) dibandingkan laki-laki (12,1%). Hal tersebut diakibatkan perempuan memiliki rasio albumin dan kreatinin yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (9,6%

(30)

versus 8,1%) serta penurunan GFR pada wanita yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki (7,6% versus 5,4%) (Goldberg and Krause, 2016).

Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan dengan kejadian penyakit ginjal kronik pada pasien hemodialisis. Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena penyakit ginjal kronik dibandingkan perempuan (Pranandari, R & Supadmi, W,2015).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Nurchayati, S. 2011), menunjukkan jenis kelamin laki-laki memiliki jumlah lebih bayak yaitu 50 orang dengan presentasi 52,6% dibandingkan dengan perempuan yaitu 45 orang dengan presentasi 47,7%.

2.3 Kerangka Konsep

Sumber: Modifikasi dari Australian Institute of Health and Welfare dan penelitian Inggitha Ajeng Irina Sutopo 2016

Faktor-Faktor Penyebab 1. Faktor Usia

2. Faktor Jenis Kelamin 3. Faktor Pekerjaan 4. Faktor Perilaku

a. Merokok

b. Konsumsi minuman suplemen 5. Faktor Biomedik

a. Diabetes Mellitus b. Hipertensi

Gagal Ginjal Kronik Fungsi Ginjal

(Ureum dan

Kreatinin)

(31)

2.4 Hipotesis

2.4.1. Hipotesis Mayor

Ada korelasi yang signifikan antara faktor-faktor penyebab gagal ginjal kronik dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik.

2.4.2. Hipotesis Minor

2.4.2.1 Ada korelasi yang signifikan antara faktor usia dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik 2.4.2.2 Ada korelasi yang signifikan antara faktor jenis kelamin

dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik

2.4.2.3 Ada korelasi yang signifikan antara faktor pekerjaan dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik

2.4.2.4 Ada korelasi yang signifikan antara faktor perilaku yang meliputi merokok dan konsumsi minuman suplemen dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik

2.4.2.5 Ada korelasi yang signifikan antara faktor biomedik yang meliputi diabetes mellitus dan hipertensi dengan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) pada pasien gagal ginjal kronik.

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakn faktor resiko yang paling

Hipertensi dapat bertindak sendiri atau dengan penyakit lain untuk membujuk penyakit ginjal kronis dan meskipun kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak pernah

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan diabetes mellitus dan non-diabetes mellitus dengan survival rate pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

1) Pasien melakukan cek laboratorium untuk mengukur kadar ureum dan kreatinin.. 2) Pasien diharuskan diet rendah serat sehari sebelum pemeriksaan dilakukan. Hal tersebut

Gambaran kadar kreatinin serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis.. Perbedaan Kadar SGOT, SGPT, Ureum, dan Kreatinin Pada Penderita TB Paru

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan protein dengan kadar ureum dan kreatinin pada pasien gagal ginjal kronik hemodialisis di unit ginjal

Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (gagal ginjal kronis/chronic renal failure atau juga pada kejadian gagal ginjal akut/acute renal failure apabila fungsi ginjal menurun

Simpulan penelitian adalah kadar ureum dan kreatinin serum semua pasien penyakit gagal ginjal di RSU Wiradadi Husada melebihi nilai normal nilai normal ureum 20 – 40 mg/dL, untuk