• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima (PKL)

Dewi Citra Larasati1, Zusana S.N2. Maramba Djua3

Program Studi Administrasi Publik, FISIP, Universitas Tribhuwana Tunggadewi Email korespondensi: citralarasati311@gmail.com

Abstract: Street Vendors (PKL) are valves that support the economy of small communities, but on the other hand, their existence causes many problems, especially those related to violations of public order. Malang City Government is trying to implement Regional Regulation (Perda) No. 2 of 2012 concerning Public Order and Environment towards Street Vendors (PKL) in Malang City. The purpose of this study is to determine the implementation of Malang City government policies in controlling street vendors and the factors that play a role in these policies. This study uses a qualitative approach. From this study, it was found that the implementation of policies that have been carried out using communication through socialization media, but unfortunately the resources owned by the Malang City Government are still very inadequate to bring order to street vendors, including the disposition or attitude they have is still lacking, especially in terms of supervision even though the bureaucratic structure is owned by the implementors is very good, with regard to the suitability of the bureaucratic organization that is the organizer of the implementation of public policies. For the inhibiting factors faced are 1) Lack of Satpol PP personnel and 2) lack of awareness and understanding of street vendors

Keyword: Implementation of Regional Regulation, Street vendors

Abstrak : Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan katup penunjang perekonomian masyarakat kecil, tetapi di sisi lain keberadaannya menimbulkan banyak masalah khususnya berkaitan dengan pelanggaran ketertiban umum. Pemerintah Kota Malang berusaha mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan pemerintah Kota Malang dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima dan faktor-faktor yang berperan dalam kebijakan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa implementasi kebijakan yang telah dilakukan menggunakan komunikasi melalui media sosialisasi, namun sayangnya sumber daya yang dimiliki Pemkot Malang masih sangatlah kurang memadai untuk menertibkan PKL, termasuk Disposisi atau sikap yang dimiliki masih kurang terutama dalam hal pengawasan walaupun dari Struktur birokrasi yang dimiliki para implementor sudah sangat baik, berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik.Untuk faktor penghambat yang dihadapi adalah 1) Kurangnya personel satpol PP dan 2) kurangnya kesadaran dan pemahaman dari PKL

Kata kunci : Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah, Penertiban Pedagang Kaki Lima

PENDAHULUAN

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan pengusaha sektor informal. Ada yang berjualan pada lokasi tertentu, ada pula yang mobile dari tempat satu ke tempat yang lain (menggunakan pikulan, kereta dorong atau semacamnya) menjajakan bahan makanan, minuman dan barang-barang konsumsi lainnya secara eceran. Pedagang kaki lima umumnya bermodal kecil, tak jarang jika terkadang mereka hanyalah alat bagi pemilik modal untuk mendapatkan komisi/imbalan sekedarnya. Sebenarnya PKL juga memiliki peranan yang penting dalam perekonomian kota dan tidak bisa dipungkiri sektor informal ini telah memberikan andil yang besar untuk membantu pemerintah dalam upaya

(2)

mengurangi pengangguran. Namun disisi lain, kehadiran PKL merupakan salah satu faktor yang menimbulkan persoalan, kehadiran mereka sering menjadi penyebab kemacetan di jalan, kumuhnya lingkungan, dan muncul ketidakteraturan di beberapa sudut kota. Seperti halnya yang terjadi di Kota Malang. Bermunculannya PKL di Kota Malang, menimbulkan masalah yang dilematis, disatu sisi sektor tersebut merupakan katup penunjang perekonomian masyarakat kecil, tetapi di sisi lain keberadaannya menimbulkan banyak masalah khususnya berkaitan dengan pelanggaran ketertiban umum. Seperti halnya contoh PKL yang ada di sekitaran Alun-Alun Kota Malang dan beberapa ruas jalan di dekat Alun – Alun Mall, di depan Toko Tren serta di depan Gajah Mada Plaza hingga ke Malang Plaza. Seharusnya kondisi jalan raya cukup lebar namun dengan adanya lapak-lapak para PKL di sepanjang jalan membuat arus lalu lintas menjadi lebih padat.

Padahal untuk mengatasi permasalahan di atas, Jordian Ari (2014) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa pemerintah melalui instansi yang berwenang yakni Dinas Perdagangan Kota Malang telah menyediakan tempat khusus yang sudah diatur dalam perjanjian antara Pemkot Malang dan para pedagang, mengenai pengaturan tempat berjualan mana yang diijinkan dan mana yang tidak diijinkan untuk digunakan sebagai lahan berdagang. Faktanya di lapangan para PKL yang berjualan disekitar Alun –Alun Kota Malang semakin hari malah semakin bertambah dan telah menggunakan lahan dagang di luar lokasi yang telah ditentukan Dinas Perdagangan. Tentunya kondisi seperti ini, menyebabkan dampak yang sangat merugikan terutama bagi pengendara kendaraan yang tidak lagi bebas dalam perjalanan, banyaknya orang yang berlalu lalang, kendaraan-kendaraan penyetok barang yang bercampur dengan arus lalu lintas bagi angkutan jalan sampai kotoran-kotoran yang disebabkan oleh sisa jualan para PKL menimbulkan bau tidak sedap dan tidak enak dipandang. Selain itu, adanya preman pasar juga menjadi andil terhadap banyaknya PKL berjualan di pinggir jalan, yang biasanya meminta bagiannya dua kali lipat sebagai uang keamanan. PKL juga memiliki alasan sepinya pembeli jika mereka dipindahkah ke tempat yang disediakan Pemkot Malang dan lebih memilih berjualan di pinggir jalan karena dapat meraup banyak para pembeli.

Selain solusi yang telah dijelaskan sebelumnya, Pemerintah Kota Malang berusaha mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Ketertiban Umum dan Lingkungan terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Malang. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam penertiban terhadap pedagang kaki lima, harus segera melaksanakan optimalisasi berkaitan dengan hal tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya dapat meminimalisasi dan mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan pedagang kaki lima yang ada di Kota Malang. Pada dasarnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Ketertiban umum dan lingkungan terhadap Pedagang Kaki Lima PKL tersebut merupakan usaha pemberdayaan PKL agar dapat melakukan kegiatan mereka tanpa melanggar peraturan.

Peraturan Daerah tersebut merupakan upaya Pemkot untuk menumbuhkan ekonomi berbasis kerakyatan sesuai ketentuan. Sehingga fokus dari penelitian ini adalah 1) Implementasi Pemerintah Daerah Kota Malang dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) di Alun – Alun Kota Malang dan 2) Faktor – faktor yang dihadapi Pemerintah Kota Malang dalam menerapkan Peraturan Daerah Kota Malang dalam penertiban pedagang kaki lima (PKL).

Adapun kajian pustaka yang digunakan oleh peneliti sebagai pisau analisis hasil penelitian yang ada yaitu menggunakan Model Implementasi George C. Edward III. Dimana dijelaskan dalam Setyawan (2017:126) terdapat empat variabel yang sangat sangat menentukan keberhasilan suatu kebijakan, yaitu: 1) Komunikasi (communication,), komunikasi menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi bisa berjalan dengan baik apabila para pembuat keputusan memahami apa yang sedang dikerjakan. Pengetahuan mengenai apa yang dikerjakan dapat berjalan jika komunikasi dilakukan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan harus bisa dikomunkasikan kepada pegawai yang tepat. Selain itu, kebijakan

(3)

yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat dan kosisten. 2) Sumberdaya (resorce). Implementasi bisa jadi dikomunikasikan secara cermat, jelas dan konsisten tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. 3) Disposisi atau Sikap (Disposition Or Attitudes). Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakanya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias.

Disposisi ini adalah watak dan karakteristik yang dimiliki pelaksana kebijakan, seperti komitmen, disiplin, kejujuran, kecerdasan, dan sifat demokratis. 4) Sruktur Organisasi (Bereaucratich structures), Kebijakan itu sangatlah kompleks menuntut adanya kerja sama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif maka akan menghambat jalanya kebijakan birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang sudah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik”. Ramdhani dan Ramdhani (2017:6) juga menjelaskan bahwa: “kewenangan merupakan otoritas/legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Kewenangan ini berkaitan dengan struktur birokrasi yang melekat pada posisi atau / strata kelembagaan atau individu segai pelaksana kebijakan.

Karakteristik utama dari birokrasi umunya tertuang dalam prosedur kerja atau standard operating procedure (SOP) dan pragmentasi organisasi”.

Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh beberapa instrument yang mendukungnya. Brigdman dan Davis dalam Suharto (2013:37) membagi instrument implementasi kebijakan kedalam dua kelompok, yaitu instrumen yang berkaitan dengan tindakan paksaan (coercive forms of action) dan tindakan tanpa paksaan (non coercive of action). Instrument yang berkaitan dengan tindakan paksaan, meliputi: a) lisensi. Pemerintah memiliki otoritas untuk member lisensi atau sertifikat untuk menetapkan lembaga-lemabaga mana saja yang berhak menjalankan kebijakan atau menerapkan programnya. b) Legislasi atau regulasi. Hukum dan perundang undangan dapat dijadikan instrument untuk mendukung agar kebijakan dapat diterapkan. c) Petunjuk administrasi. Pedoman admintrasi seperti petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dapat member petunjuk kepada para petugas pelaksana untuk menjalankan program. d) Pelaporan. Persyaratan wajib yang diberikan kepada pihak-pihak pelaksana kebijakan untuk melapor aspek-aspek operasional dan keberhasilan tugasnya mengimplementasikan program. e) Pemajakan. Pajak dapat dijadikan alat atau insentif yang ampuh dalam memaksa orang atau lembaga melaksanakan suatu kegiatan. Sedangkan instrument yang berkaitan dengan tindakan tanpa paksaan, mencakup: a) komunikasi. Brosur, iklan, press release, pertemuan-pertemuan publik, pelatian staff, dan instruksi tertulis merupakan alat-alat yang dapat mengkomunikasikan kebijakan kepada individu-individu atau lembaga-lemabaga yang terkena kebijakan. b) Kontrak. Persetujuan legal untuk mengatur dan menetapkan pihak swasta menjalankan program pemerintah. c) Pengeluaran. Belanja pemerintah yang berupa barang-barang jasa, pelayanan, tanah dan fasilitas lain yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan kebijakan. d) Pengawasan. Pengawasan dan pengujian terhadap produk atau hasil-hasil disesuaikan dengan standar formal yang ditetapkan. e) Pinjaman. Subsidi dan tunjangan. Instrument ini merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada individu maupun lembaga agar dapat melaksanakan suatu program. f) Operasi pasar. Keterlibatan pemerintah untuk membeli, menjual atau menyediakan barang-barang jasa untuk menjamin stabilitas sisi penawaran dan permintaan (supply and demand) dari proses transaksi ekonomi yang berlangsung di masyarakat. g) Pemberian pelayanan. Pemberian pelayanan yang diberikan pemerintah kepada warganya biasanya disertai criteria elijibilitas (kelayakan) sesuai hak- hak warga negara memperoleh pelayanan publik.

Menurut Suharto (2013:39-40) implementasi kebijakan dapat juga digagalkan oleh beberapa faktor penghambat. Aspek-aspek ini biasanya disebut sebagain jebakan implementasi kebijakan (implementation trap of policy). Agar implementasi kebiajakn berjalan, kita disarnkan agar

(4)

menghindari jebakan ini: 1) Spesifikasi yang tidak lengkap. Kebijakan yang tidak memiliki atribut dan instrument yang lengkap akan menuai kegagalan dalam pengimplementasiannya. 2) Lembaga yang tidak tepat. Kebijakan yang baik belum tentu berjalan baik jika dilaksanakan oleh lembaga yang tidak tepat. 3) Konflik tujuan. 4) Kegagalan insentif. 5)Konflik petunjuk. Instruksi yang tidak jelas dan berlawanan satu sama lain dapat membingungkan pelaksana kebijakan dalam menjalalankan sebuah program. 6) Kurang kompetensi. Para pelaksana kebijakan perlu memiliki bidang keahlian sesuai dengan jenis program yang diterpkan. Kelemahan atau ketidak sesuaian bidang keahlian dengan kegiatan yang dikerjakannya akan menghambat dan bahkan menggagalkan keberhasilan program. 7) Sumber daya tidak memadai. Kebijakan yang tidak didukung oleh sumber daya dan dana yang memeadai sulit merealisasikan tujuan-tujuannya.

METODE PENELITIAN

Penelitian mengenai Implemantasi kebijakan penertiban PKL di Alun – Alun Kota Malang ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan rumusan masalah deskriptif, diharapkan dengan metode ini bisa menggambarkan bagaimana Pemkot Malang melalui OPD terkait menertibkan PKL yang ada di sekitaran Alun – Alun Kota Malang. Dalam memperoleh data, penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dengan mewawancarai beberapa orang yang dianggap mengetahui dan paham mengenai permasalahan PKL yaitu pegawai Satpol PP, Pegawai Dinas Perdagangan, beberapa PKL dan masyarakat di sekitar Alun-Alun Kota Malang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini selain menggunakan wawancara juga langsung meninjau ke lapangan. Dengan menggunakan analisis interaktif dimana data yang dikumpulkan di lapangan dihimpun terus menerus sampai tuntas dan data yang dicari sampai pad titik jenuh. Kemudian data tersebut di display dan di reduction kemudian di analisis untuk memperoleh conclusion drawing/verification.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Penertiban Pedagang Kaki Lima

Kebijakan publik merupakan keputusan yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk menyelesaikan masalah publik. Ada 4 variabel yang dapat menentukan keberhasilan suatu kebijakan menurut Model Edward III. Sesuai dengan fokus permasalahan yang menjadi tolak ukur peneliti tentang implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam penertiban pedagang kaki lima di alun-alun kota malang diantaranya sebagai berikut:

1) Komunikasi

Keberhasilan implementasi menuntut supaya implementor mengetahui apa yang ingin dilakukan. Komunikasi sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan.

Informasi kebijakan perlu disampaikan agar pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang menjadi isu, tujuan, arah, kelompok sasaran kebijakan, agar para pelaku kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa yang harus disiapkan dan dilakukan untuk melaksanakan kebijakan.

Pentingnya penyampaian informasi dilakukan oleh pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan agar pelaksana kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran kebijakan agar para pelaksana kebijakan dapat mempersiapkan dengan baik apa yang harus disiapkan dan lakukan untuk melaksanakan suatu kebijakan sehingga apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai yang diharapkan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa komunikasi kebijakan penanganan PKL dilakukan dengan cara melakukan sosialisasi. Sosialisasi ini dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sosialisasi tersebut seperti mengadakan sosialisasi ketertiban pasar, sosialisasi peraturan daerah kepada masyarakat dan sosialisasi dengan cara menempelkan papan himbuan tidak

(5)

berjualan di area Alun-Alun Kota Malang. Pola komunikasi dengan menggunakan media sosialisasi ini juga dilakukan secara internal dan eksternal. Sosialisasi internal ini bertujuan untuk menyamakan persepsi dalam melakukan tugas, dengan mengintensifkan komunikasi dilakukan di internal satpol PP.

Sedangkan sosialisasi eksternal dilakukan kepada pedagang kaki lima dengan sosialisasi langsung dan tidak langsung.

Papan himbauan tersebut dipasang di beberapa tempat yaitu di dalam taman alun-alun dan di pinggir taman alun-alun. Papan himbauan ini total semuanya berjumlah 14 buah. Di area luar taman 9 buah papan dan di dalam taman 5 buah papan. Selain papan himbauan, satpol pp juga melakukan himbauan dengan menggunakan pengeras suara agar tidak berjualan diarea taman alun-alun Kota Malang. Sosialisasi ini dilakukan sebulan sekali, hal ini dilakukan agar adanya partisipasi masyarakat untuk tidak berjualan di area taman alun-alun Kota Malang. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima dapat mengetahui lebih dalam peraturan daerah yang telah di buatkan pemerintah daerah karena dinatara mereka, masih banyak yang kurang paham akan tulisan yang sudah dicantumkan di papan himbauan. Seperti beberapa hasil dokumentasi berikut ini :

Gambar 1 Papan himbauan agar tidak berjualan diarea taman dan Sosialisasi dengan menggunakan pengeras suara

Sumber : dokumentasi penelitian, 2019.

2) Sumber Daya

Sumber daya adalah faktor yang paling penting dalam mempengaruhi implementasi kebijakan tanpa kebijakan yang telah dirumuskan diatas kertas mungkin hanya akan menjadi rencana saja dan tidak pernah ada realisasinya. Sumber daya yang dimaksud dalam pelaksanaan kebijakan mengenai penertiban PKL meliputi kendaraan keliling, truck operasional, pos jaga satpol PP, personel yang menjaga atau piket menjaga Alun-Alun Kota Malang serta tersedianya pasar-pasar untuk masyarakat yang berjualan.

Kendaraan keliling ini berfungsi untuk mengecek pedagang kaki lima yang masih berjualan di tempat terlarang salah satunya di area taman alun-alun Kota Malang. Hal ini dilakukan agar tidak hanya berjaga pada tempat jaga tapi harus keliling untuk melihat PKL yang melanggar aturan.

Totanya yang dimiliki adalah 5 unit kendaraan keliling untuk menangani PKL. Dan untuk Alun-Alun Kota Malang jumlahnya 2 unit dan selebihnya bertugas untuk menangani PKL di tempat terlarang lainnya. Selain menyediakan kendaraan keliling pemerintah daerah juga menyiapkan pos jaga di alun- alun Kota Malang untuk tempat menjaga pedagang kaki lima. Pos jaga yang disediakan pemerintah daerah untuk menjaga ketertiban umum total 4 unit, terdapat di setiap sudut alun- alun Kota Malang.

Hal ini bertujuan untuk menjaga area taman alun-alun kota malang, agar tidak ada masyarakat yang berjualan di taman alun-alun kota malang.

(6)

Selain menyediakan pos jaga, pemerintah daerah sperti dinas perdagangan juga menyedikan pasar khusus untuk penampungan para PKL yaitu total 28 pasar, lembaga terkait menyediakan pasar agar masyarakat pedagang bisa menggunakan pasar untuk berjualan tanpa berjualan di tempat yang dilarang oleh pemerintah daerah. Hal ini di lakukan agar masyarakat dapat mengembalikan fungsi pasar yaitu untuk tempat berjualan. Pasar yang dapat digunakan para pedagang kaki lima adalah semua pasar dapat digunakan pedagang kaki lima untuk berjualan yaitu termasuk pasar kebalen, pasar sukun, pasar klojen dan masih ada beberapa pasar. Berdasarkan hasil wawancara bahwa semua pasar- pasar yang sudah disediakan Pemerintah Daerah PKL dapat menggunakan pasar tersebut karena Pemerintah Daerah sendiri sudah mengijinkan. Selain tersedianya pasar-pasar untuk berjualan, Pemerintah Daerah juga memiliki sumber daya seperti truck untuk menertibkan pedagang kaki lima.

Truck operasional untuk menertibkan pedagang kaki lima total 2 unit. Truck ini digunakan ketika ada pedagang kaki lima yang tertangkap karena berjualan diarea terlarang, kususnya di area taman Alun- Alun Kota Malang dan menyita barang atau menyita kereta untuk berjualan.

3) Disposisi atau Sikap

Disposisi merupakan kecenderungan sikap, keinginan dan komitmen pelaksana kebijakan untuk melaksanakan sebuah kebijakan yang ditetapkan. Disposisi yang diungkapkan oleh George C.

Edwards III sebagai pendorong keberhasilan implementasi kebijakan, disposisi pelaksana kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan sebab jika pelaksanaan kebijakan didasari oleh sikap, keinginan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan dengan baik, maka keberhasilan implementasi kebijakan akan semakin besar. Disposisi atau sikap ini berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut. Kecakapan saja tidak cukup tanpa kesediaan komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

Sikap atau disposisi para implementor dalam mengelola PKL di Alun-Alun Kota Malang sudah seutuhnya mendukung implementasi kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang ketertiban umum dan lingkungan. Para implementator dalam hal ini aparat bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab dengan baik, disposisi atau sikap para implementor sudah seutuhnya mendukung dan menjalankan tupoksinya dengan baik dan kinerjanya bagus dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sebagai aktor pengelola dan menertibkan pedagang kaki lima, selalu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dan selalu menunjukan sikap yang profesional dalam membina dan mengelola pedagang kaki lima dengan baik karena satpol sendiri sudah mengetahui apa yang perlu dilakukan dan tanpa harus dikoordinir setiap saat. Walaupun masih banyak PKL yang mencuri kesempatan saat para petugas tidak sedang bertugas. Hal ini menuntut para aparat harus membuat sebuah inovasi supaya ada ataupun tidak ada petugas yg piket, PKL tetap taat dengan aturan yang ada. Ini merupakan salah satu kekurangan dan kendala yang ada, mereka tetap berusaha untuk mensiasatinya seperti selalu menunjukan sikap yang tegas, tidak adanya kekerasan, menyediakan tempat bagi PKL serta mengecek lokasi yang sudah di larang untuk berjualan dan mengecek lokasi yang sudah disediakan untuk berjualan.

4) Struktur Organisasi

Pendapat Edward III, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi yaitu penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Selain itu, struktur birokrasi mencakup dimensi standar prosedur operasional yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Dinas Perdagangan dan Satuan Polisi Pamung Praja (Satpol PP) merupakan implementator dalam hal penertiban PKL. Dinas perdagangan bertanggung jawab dalam menata pasar untuk pedagang kaki lima agar PKL tidak berjualan ditempat yang dilarang, sedangkan Satpol PP juga selalu bertanggung jawab dalam membina dan menertibkan PKL

(7)

yang masih berjualan di tempat terlarang. Kedua perangkat daerah ini menertibkan dan mengamankan barang-barang dagang pedagang kaki lima yang telah berjualan di tempat yang dilarang pedagang kaki lima.

Struktur organisasi pada Dinas perdagangan dan satpol PP Kota Malang menggambarkan jelas pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain sehingga hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam melaksanakan aktivitas penertiban pedagang kaki lima ini dibentuk kelompok kerja yang masing-masing mempunyai tugas pokok dan fungsi saling terkait. Hal ini Lembaga terkait dinas perdagangan dan satpol PP Kota Malang bekerja sama dalam menangani pedagang kaki lima yaitu dinas perdagangan menyediakan pasar-pasar untuk masyarakat yang berjualan sehingga para pedagang kaki lima berjualan di pasar sedangkan satpol PP menyediakan tempat atau lokasi yang cukup memadai untuk pedagang kaki lima , selain itu juga dinas perdagangan dan satpol PP bekerja sama dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang penggunaan pasar dan himbauan untuk tidak berjualan di tempat yang di larang Pemerintah Daerah. Struktur birokrasi yang dimiliki para implementor sudah sangat baik, berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik.

Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pemerintah Daerah dalam Menertibkan PKL 1) Faktor Pendukung

Setiap pelaksanaan kebijakan, selalu ada faktor yang berperan, baik itu faktor pendukung maupun faktor penghambat kebijakan. Ada beberapa faktor pendukung dalam menertibkan PKL adalah 1) tersedinya pasar-pasar untuk berjualan, Pemkot Malang sebenarnya sudah menyediakan pasar-pasar untuk merelokasi PKL untuk berdagang, tetapi banyak PKL yang memilih untuk berjualan di tepi jalan dengan alasan pasar yang ada kurang representatif dan sepi pengunjung. 2) anggaran yang cukup dalam rangka memperbanyak fasilitas atau sarana dan prasarana, 3) tersedianya sarana dan prasarana yang cukup memadai seperti kendaraan keliling dan truck pengangkut yang menunjang tugas Satpol PP. Kendaraan keliling yang tersedia untuk mendukung pemerintah daerah dalam mengimplementasikan suatu kebijakan terdapat 4 unit kendaraan. Kendaraan keliling ini disediakan Pemkot Malang sangat membantu dalam menertibkan pedagang kaki lima yang masih berjualan di tempat terlarang. Selain memiliki kendaraan keliling, Satpol PP juga juga memiliki truck operasional. Truck operasional ini terdapat 2 unit yang disiapkan saat melakukan operasi penertiban pedagang kaki lima selain itu juga tersedianya pos jaga Satpol PP di alun-alun Kota Malang, yang mana bias digunakan ketika sedang melakukan piket. Selain itu juga terdapat papan himbuan melarang agar tidak berjualan di Alun-Alun Kota Malang. Papan himbaun tersebut di pasangkan di beberapa tempat didalam taman alun-alun dan di pinggir taman alun-alun. Papan himbauan ini total semuanya berjumlah 14 buah. Di area luar taman 9 buah papan dan di dalam taman 5 buah papan.

Beberapa papan himbauan yang di pasangkan pemerintah daerah sangat mendukung dalam mengimplementasikan suatu kebijakan karena papan himbauan tersebut sudah di cantumkan perda dan jumlah denda apabila PKL yang melanggar peraturan daerah tersebut sebanyak Rp. 10.000.000.

2) Faktor Penghambat

Faktor penghambat yang dihadapi dalam melaksanakan kebijakan penertiban pedagang kaki yaitu: Kurangnya personel, sebagai polisi perda, Satpol PP tidak hanya menertibkan PKL saja namun juga melakukan penertiban terhadap semua pelanggaran yang berhubungan dengan pelanggaran perda seperti spanduk, penertiban minuman beralkohol, anak jalanan, reklame, dan perlindungan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan kurangnya personel dalam menertibkan PKL. Walaupun OPD ini telah merekruit Pegawai Tenaga Pendukung Operasional Kegiatan (TPOK) untuk membantu kerja di lapangan, namun banyaknya perda yang dikawal membuat Satpol PP tetap saja kekurangan personel. Jadi tak heran jika PKL sering berjualan saat Satpol PP tidak berada di lokasi untuk

(8)

melakukan piket. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, sebaiknya satpol PP lebih mengintensifkan petugas pada hari – hari tertentu yang mana PKL lebih sering berjualan. Terutama di hari Jum’at dan hari libur Sabtu Minggu. Sehingga mengurangi kenakalan PKL yang mencuri kesempatan saat Satpol PP tidak bertugas.

Faktor penghambat kedua adalah kurangnya kesadaran para PKL untuk mentaati peraturan yang ada. Sebenarnya jika PKL ini bisa mematuhi peraturan yang ada, patuh kepada aturan dimana mereka boleh berjualan atau tidak, maka tidak akan ada namanya penertiban PKL. Perlu adanya pendekatan secara humanis dan berkesinambungan sehingga PKL bisa menyadari apa yang harus mereka lakukan. Pengawasan pemerintah daerah terlebih lembaga terkait (satpol pp) sangatlah penting untuk PKL tetapi pengawasan itu sifatnya hanya sementara. Masih banyak pedagang kaki lima yang tidak mengerti dan kurang paham tentang Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 2 Tahun 2012, dikarenakan masih banyak PKL yang tidak paham dan tidak mengerti akan peraturan yang dikeluarkan oleh Pemkot Malang. Pemkot harus bisa membuat program tersendiri untuk menangani masyarakat yang tidak paham akan peraturan daerah dan lebih memperhatikan faktor- faktor yang dapat mengganggu berjalannya suatu aturan yang sudah di keluarkan agar PKL tidak lagi menggunakan tempat-tempat yang tidak bisa digunakan untuk berjualan.

KESIMPULAN

Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam penertiban pedagang kaki lima di alun-alun kota malang ditinjau dari empat variabel yang dapat menentukan keberhasilan suatu kebijakan yaitu 1) komunikasi yang dilakukan menggunakan media sosialisasi, 2) sumber daya yang dimiliki Pemkot Malang dalam hal ini personel Satpol PP masih sangatlah kurang memadai, 3) Disposisi atau sikap yang dimiliki pemerintah daerah masih kurang, contohnya pengawasan terhadap pkl masih kurang maksimal, jadi untuk hal ini pemerintah daerah yang bertugas untuk mengawasi pkl harus lebih fokus dan lebih ketat penjagaannya agar tidak ada pkl yang masih bersembunyi untuk berjualan; 4) struktur organisasi, Struktur birokrasi yang dimiliki para implementor sudah sangat baik, berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik.

Faktor-faktor yang dihadapi pemerintah kota malang adalah faktor pendukung dan faktor penghambat, dimana faktor pendukung yang sudah dimiliki pemerintah daerah kota malang untuk mengimplementasikan kebijakan penertiban PKL adalah 1) tersedinya pasar-pasar untuk relokasi PKL, 2) anggaran yang cukup dalam rangka memperbanyak fasilitas atau sarana dan prasarana, 3) tersedianya sarana dan prasarana yang cukup memadai Sedangkan faktor penghambat yang dihadapi adalah 1) Kurangnya personel satpol PP dan 2) kurangnya kesadaran dan pemahaman dari PKL sehingga melanggar Perda yang sudah ada. Sehingga untuk mengatasi faktor penghambat yang ada perlu adanya pendekatan secara humanis dan berkesinambungan sehingga PKL bisa menyadari apa yang harus mereka lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2014. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Anggara, sahya. 2014. Kebijakan Publik. Bandung: Pustaka Setia

Ari, Jordian. 2014. Implementasi Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Jurnal Hukum. Malang.

Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Daerah Secara

Langsung. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

(9)

Fadoli, Mochammad . (2011). Implementasi Perda No. 17/2003 Tentang Ijin. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Moleong, Lexy J. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Najib, Abdurohman. 2012. Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.

Jurnal Ilmu Sosial. Yogyakarta.

Nugroho, Riant. 2014. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Sedarmayanti. 2013. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi,dan Kepemimpinan Masa Depan (mewujudkan pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Reflika Aditama.

Setyawan, Dody. 2017. Pengantar Kebijakan Publik. Malang: Intelegensia Media Sugiyono. 2016. Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharto, Edi. 2013. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Ramdhani, Abdula & Ramdhani, Muhammad Ali. 2017. Konsep Umum Pelaksanaan

Kebijakan Publik. Jurnal publik, Vol. 11, No. 1 : 1-12, ISSN; 1412-7083.

Winarno, Budi. 2014. Kebijakan Publik (Teori, Proses, Dan Studi Kasus) Edisi & Revisi Terbaru. Jakarta: CAPS

West, Richad & Turner, Lynn H. 2008. Introducing Communication Theory: Analysis and Application, 3

rd

ed. (Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi) Jakarta:

Salemba Humanika

Gambar

Gambar 1  Papan himbauan agar tidak berjualan diarea taman dan Sosialisasi dengan menggunakan  pengeras suara

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya 2 (dua) perda yang berlaku di Kabupaten Kotabaru yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 03 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum dan

1. Pemilik bisnis kecil dan menengah. Anda punya usaha restoran? Anda punya toko online? Anda menjual properti? Maka, Anda bisa memanfaatkan Facebook untuk menjaring lebih

Kenaikan laba bersih seiring dengan kenaikan pendapatan bunga bersih menjadi Rp15,896 triliun dari perolehan tahun 2008 Rp14,062 triliun.. Penyaluran kredit mencapai Rp198,55

OXCY MEDIA TELEVISI yang merupakan pemilik BCTV sebelumnya merupakan salah satu stasiun jaringan dari stasiun Kompas TV yang secara progresif memberikan tayangan

Karena dengan metode analisis isi ini, penulis dapat mengetahui secara sistematis isi gambaran komunikasi ( describing communication content ) oleh majalah Gatra, selain itu

karena asas hukum acara perdata dalam hal pembiayaan menyebutkan “ tidak ada biaya tidak ada perkara” bagaimana masyarakat yang miskin secara finansial dapat beracara di

Surat rasmi dari Politeknik Balik Pulau akan dihantar sebelum pelajar melaporkan diri di organisasi tuan bagi tujuan pengesahan. Kerjasama dari pihak tuan kami dahulukan dengan

(Endraswara, 2011: 144). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini, peneliti menganalisis adanya persamaan-persamaan yang terdapat pada dua karya yang berbeda