Overview Penyakit Paru Kerja Ida bagus Ngurah Rai
Program Studi Spesialis Ilmu Penyakit Paru,
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana - RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Pertumbuhan industri dan kemajuan teknologi yang pesat telah meningkatkan perekonomian di negara berkembang dan negara maju saat ini. Namun di balik itu, revolusi industri yang telah terjadi sejak abad ke 18 ini juga memiliki dampak besar pada penyakit akibat kerja.
Kurangnya perhatian pada keselamatan dan kesehatan kerja meningkatkan jumlah kecelakaan dan kematian yang disebabkan oleh mesin serta pajanan bahan-bahan beracun di tempat keja. Salah satu penyakit akibat kerja dan lingkungan adalah penyakit paru kerja.
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Penyakit paru kerja dapat berasal dari pajanan inhalasi seperti beberapa mineral, debu, mikroba, binatang, protein serangga, dan bahan-bahan kimia. Pajanan tersebut memiliki efek jangka panjang meskipun pajanan telah berakhir. Berbagai penyakit paru akibat kerja adalah sebagai berikut: pneumoconiosis, silikosis, anthrako-silikosis, asbestosis, bisinosis dan bagasosis, asma kerja, pneumositis hipersensitif, PPOK, dan lain sebagainya.Terdapat tujuh langkah dalam mendiagnosis penyakit paru kerja. Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Sebagian besar tatalaksana hanyalah bersifat suportif. Hal terpenting dalam tatalaksana kasus penyakit paru akibat kerja adalah melakukan pencegahan optimal.
Keyword: penyakit paru akibat kerja, 7 langkah diagnosis, pencegahan penyakit paru kerja
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi yang pesat dan pertumbuhan industri telah meningkatkan perekonomian di negara-negara berkembang dan negara maju saat ini. Revolusi industri yang telah terjadi sejak abad ke 18 memiliki dampak besar pada perkembangan penyakit akibat kerja.
Kemajuan teknologi dan pertumbuhan industri telah menyebabkan kondisi kerja yang padat dan tidak sehat. Hal ini juga meningkatkan jumlah kecelakaan dan kematian akibat kerja. 7
Pajanan agen berbahaya saat bekerja di lingkungan sekitar dapat menyebabkan tanda dan gejala pada seorang pekerja. Seorang pekerja yang terpajan, harus menjadi perhatian untuk segera mendapat intervensi dan pencegahan penyakit. Pasien harus mendapatkan penilaian mengenai tingkat gangguan, kecacatan, dan juga dapat diberikan kompensasi kerja. 6
ILO (International Labour Organisation) mengeluarkan rekomendasi baru (R194) yang mengklasifikasikan penyakit akibat kerja dari dua dimensi yaitu dari dimensi penyebab dan penyakit juga dimensi subkategori. Berdasarkan penyebab penyakit akibat kerja terjadi akibat trauma kimia, fisik, biologi, penyakit paru, kulit, keganasan, musculoskeletal, dan penyakit mental perilaku. Data mengenai angka kesakitan penyakit paru akibat kerja dan lingkungan masih sangat jarang tersedia.1,8
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Penyakit paru kerja dapat berasal dari pajanan inhalasi seperti beberapa mineral, debu, mikroba, binatang, protein serangga, dan bahan-bahan kimia. Pajanan tersebut memiliki efek jangka panjang meskipun pajanan telah berakhir. Berbagai penyakit paru akibat kerja adalah sebagai berikut: pneumokoniosis, silikosis, anthrako-silikosis, asbestosis, bisinosis dan bagasosis, asma kerja, pneumositis hipersensitif, PPOK, dan lain sebagainya.1
Pajanan agen berbahaya saat bekerja di lingkungan sekitar dapat menyebabkan tanda dan gejala pada seorang pekerja. Seorang pekerja yang terpajan, harus menjadi perhatian untuk segera mendapat intervensi dan pencegahan penyakit. Pasien harus mendapatkan penilaian mengenai tingkat gangguan, kecacatan, dan juga dapat diberikan kompensasi kerja. 6
PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. 13
Tabel 1. Jenis-jenis Penyakit Akibat Kerja
Penyebab Jenis penyakit
Penyakit
alergi/hipersensitif
Rinitis, rinosinusitis, asma, pneumonitis, aspergilosis akut, bronkopneumonia, hipersensitivitas akibat lateks, penyakit jamur, dermatitis kontak, anafilaksis.
Penyakit paru kerja pneumokoniosis, silikosis, anthrako-silikosis, asbestosis, bisinosis dan bagasosis, asma kerja, pneumositis hipersensitif, PPOK, dan lain sebagainya.
Penyakit hati dan gastrointestinal
kanker lambung dan kanker oesofagus (tambang batubara dan vulkanisir karet), sirosis hati (alkohol, karbon tetraklorida, trikloroetilen, kloroform)
Penyakit saluran urogenital
gagal ginjal (uap logam kadmium dan merkuri ,pelarut organik, pestisida, karbon tetraklorid), kanker vesika urinaria (karet, manufaktur/bahan pewarna organik, benzidin, 2-naptilamin)
Penyakit hematologi anemia (timbale), leukemia (benzena)
Penyakit kardiovaskuler
jantung koroner (karbon disulfida, viskon rayon, gliseril trinitrat, etilen glicol dinitrat), febrilasi ventrikel (trikloretilen)
Gangguan alat reproduksi
infertilitas (etilen bromida, benzena, anastesi gas, timbal, pelarut organik, karbon disulfida, vinil klorida, kloropen), kerusakan janin (anetesi gas, merkuri, pelarut organik) keguguran (kerja fisik)
Penyakit
muskuloskeletal
sindroma Raynaud (getaran 20 – 400 Hz), sindrom karpal tunel (tekanan yang berulang pada lengan), HNP/sakit punggung (pekerjaan fisik berat, tidak ergonomis)
Gangguan telinga Penurunan pendengaran (bising)
Gangguan mata rasa sakit (penataan pencahayaan), konjungtivitis (sinar UV), katarak (infra merah), gatal (bahan organik hewan, debu padi), iritasi non alergi (klor, formaldehid)
Gangguan susunan saraf
pusing, tidak konsentrasi, sering lupa, depresi, neuropati perifer, ataksia serebeler dan penyakit motor neuron (cat, laboratorium kimia, petrolium, oli)
Stress neuropsikiatrik; ansietas, depresi (hubungan
kerja kurang baik, monoton, upah kurang, suasana kerja tidak nyaman)
Infeksi pneumonia (legionella pada AC), leptospirosis (leptospira pada petani), brucelosis, antrakosis (brucela, antrak pada peternak hewan)
Keracunan Dapat berupa keracunan akut (CO, Hidrogen sulfida, hidrogen sianida), kronis (timah hitam, merkuri, pestisida)
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Berikut akan dibahas lebih rinci mengenai penyakit paru akibat kerja.
Definisi
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debu/asap/gas berbahaya yang terhisap oleh para pekerja di tempat pekerjaan. Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat pajanan zat seperti debu, serat dan gas yang timbul pada proses industrialisasi.
Jenis penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis zat paparan.
Namun, manifestasi klinis penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan penyakit paru kerja.1
Epidemiologi
Berdasarkan data International Labour Organization tahun 2013 terdapat 2,02 juta kasus meninggal terkait penyakit akibat kerja.9 Sementara itu di Indonesia jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun 2011-2014 terjadi penurunan (tahun 2011 ada 57.929 kasus, tahun 2012 ada 60.322 kasus, tahun 2013 ada 97.144 kasus, tahun 2014 ada 40.694 kasus). Tahun 2013 penyakit paru obstruktif kronik menempati 3,8 % dari seluruh penyakit tidak menular yang terjadi akibat kerja. Sementara untuk data penyakit paru kerja secara spesifik sendiri belum tersedia. 5
Mortalitas dan morbiditas bergantung pada frekuensi, intensitas dan durasi dari pajanan inhalasi. Faktor host seperti penyakit jantung dan pathogenesis imulologi merupakan faktor yang penting. Sebuah penelitian oleh Hart dan kawan-kawan menyimpulkan beberapa penyebab spesifik yang mengakibatkan kematian pada penyakit paru kerja. Adapun penyebab kematian seperti kanker paru, penyakit kardiovaskular dan penyakit respirasi akibat pajanan partikel yang diameternya kurang dari 2,5 mikrometer seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida. 2
Tidak ada data yang mengatakan apakah ada ras khusus berhubungan dengan terjadinya penyakit ini. Namun ras afrika-amerika dan asia memiliki ukuran paru yang lebih kecil dan kemungkinan besar lebih berisiko dengan pajanan yang sama. Tidak ada predisposisi spesifik yang tercatat untuk perbedaan jenis kelamin.1
Klasifikasi
Tabel 2. Jenis-jenis Penyakit Paru Kerja
Kategogori Besar Penyakit Bahan Penyebab
Iritasi jalan napas atas Gas iritan, uap, debu
Kelainan jalan napas
Asma kerja
Sensitisasi
Berat molekul rendah
Berat molekul tinggi
Induksi iritan, RADS
Bisimosis
Efek debu biji-bijian
Bronchitis kronik/PPOK
Disosianat, anhidra, debu kayu
Alergen dari binatang, lateks
Gas, iritan, asap
Debu kapas
Biji-bijian
Debu mineral, batubara, uap, debu
Jejas inhalasi akut
Pneumonitis toksik
Demam uap logam
Demam uap polimer
Inhalasi asap
Gas iritan, logam
Oksida logam, seng, tembaga
Plastic
Produk pembakaran
Pneumonitis hipersensitif Bakteri, jamur, protein binatang
Penyakit infeksi Tuberculosis, virus, bakteri
Pneumokoniasis Asbes, silica, batubara, berilium, cobalt
Keganasan
Kanker sinonasal
Kanker paru
Mesotelioma
Debu kayu
Asbes, radon
Asbes
Dilihat dari jenis bahan penyebab terjadinya penyakit paru kerja, terbagi menjadi dua, yaitu: organik dan anorganik. Penyakit paru kerja akubat bahan organik yaitu zat yang mengandung karbon, misalnya: bisinosis (jerami dan katun), pneumonitis hipersensitifitas (spora jamur dari tanaman atau binatang) dan asma akibat kerja (debu, asap, uap dan gas). Sementara penyakit paru kerja akibat bahan aorganik misalnya asbestosis (bahan-bahan yang mengandung asbes), silikosis (bahan Kristal silica), pneumoconiosis pada penambang batu bara.14
Patifisiologi
Pajanan di tempat kerja pada bahan-bahan kimia inhalasi dapat menimbulkan perubahan pada saluran nafas, parenkim paru, pembuluh darah, dan pleura atau kombinasi dari beberapa struktur dari paru.
Gejala sistemik bisa ada tergantung pada jenis pajanan.1
Mukosa hidung dan saluran nafas adalah area pertama yang kontak dengan pajanan inhalasi. Partikel yang besar dapat terperangkap dan bertumpuk dalam rongga hidung sementara partikel kecil akan terperangkap di trakea, bronkus, brokiolus hingga partikel yang lebih kecil dari 5 mm bisa sampai pada alveolus. Ada beberapa gas yang larut secara langsung diserap ke dalam mukosa pernapasan. Hal ini dapat menimbulkan dilatasi pembuluh darah, edema mukosa, dan rhimorrea yang menimbulkan bersin, hidung tersumbat, epistaxis, dan bahkan dapat menyebabkan perforasi dari septum (misalnya arsenic, asam kromida).6,8
Trakeitis, bronchitis akut dan kronik, bronkiolitis dapat terjadi akibat inflamasi saluran nafas. Bronkiolitis obliterans juga dilaporkan pada paparan bahan kimia seperti klorin, fosgen, dan nitrogen dioksida.
Manifestasi yang muncul adalah batuk berdahak atau kering, nafas pendek, bahkan hemoptisis.6
Iritasi bahan kimia pada saluram nafas dapat menyebabkan meningkatnya serangan asma baru atau perburukan dari gejala asma yang sudah ada sebelumnya. Antigen dengan berat molekuler besar menstimulasi pelepasan Ig-E. pasien dengan riwayat atopi dan perokok merupakan resiko tinggi untuk terjadi asma. Antigen dengan berat molekul kecil dapat menginduksi sensitisasi saluran nafas tanpa mediasi dari Ig-E. misalnya bahan yang menimbulkan rasa seperti asam anhidrida digunakan pada pembuatan cat dan perekat epoksi. Isosianat digunakan pada cat poliuretan dan sabun yang sering menimbulkan asma.6
Asma yang disebabkan oleh genetik berbeda dengan asma akibat kerja. Asma yang terjadi akibat genetik berhubungan dengan implikasi gen HLAs. Penyakit paru obstruktif dapat terjadi akibat pajanan kimia seperti diisosianat.
Bahan kimia seperti anhidrida, diisosianat termasuk trimelitik anhidrida dan bahan kimia lainnya dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitif. Onsetnya bisa akut, subakut, atau kronik tergantung intensitas, durasi dan kerentanan pasien. 6,8
Gejala yang dapat timbul seperti demam, kedinginan, cepat lelah, batuk, nafas yang pendek. Pajanan berulang dapat menimbulkan penyakit paru intersisial dan kelainan pada pembuluh darah paru.
Kerusakan pada parenkim paru yang terus menerus memberat akan memicu terjadinya hipertensi pada arteri pulmonalis. 6 Kanker paru akibat kerjaa dapat juga dihasilkan dari paparan berbagai bahan yang digunakan pada produksi pestisida, dan obat nyamuk. 6
Diagnosis
Berdasarkan klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis penyakit paru kerja dapat menggunakan tujuh langkah, yaitu;10
1) Menentukan diagnosis klinis melalui anamnesa, pemeiksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Manifestasi klinis yang muncul bisa akut, subakut atau kronik bergantung pada frekuensi, intensitas, dan durasi dari paparan
inhalasi dan mungkin tergantung dari factor host dan imunopatogenesis. Pada awalnya tidak tampak langsung gejala dengan pekerjaan, lama kelamaan pasien memiliki gejala yang terus-terusan, walaupun sudah tidak terpajan lagi. Gejala akut dapat berupa batuk berdahak maupun batuk kering, dyspnea, mengi, nyeri dada atau rasa sesak di dada. Gejala penyerta lainnya seperti mialgia, lesu, dan sakit kepala bisa ada. Pasien dengan riwayat penyakit paru sebelumnya dapat memiliki gejala yang lebih berat lagi. 6,8
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing, sianosis, ronki dan redup pada perkusi jika ditemukan efusi pleura. Tanda dari hipertensi arteri pulmonal adalah peningkatan tekanan vena jugularis, suara katup jantung pulmonalis meningkat, edema tungkai, dan pembesaran ukuran hepar. 6,8
Rongten torak adalah pemeriksaan pertama yang membantu menegakkan diagnosis penyakit paru kerja.
CT Scan biasa tidak terlalu banyak membantu diagnosis karena hasilnya bisa normal. CT scan dengan kontras dapat membantu menggambarkan variasi hilur dan limfonodus lebih baik.
Penggunaan CT scan dengan resolusi tinggi dapat menunjukan adanya mirip infiltrat atau gambaran abnormal lainnya yang tidak dapat terlihat difoto torax biasa.
Tes fungsi paru sebaiknya dilakukan seperti spirometri, tes volume paru, tes kapasitas difusi paru untuk karbonmonoksida. Untuk menentukan apakah termasuk jenis obstruksi atau restriksi paru.
Tes fungsi paru juga dapat dipakai untuk menilai progresifitas penyakit. Tes ini dilakukan setelah berjalan kaki selama 6 menit.
Pemeriksaan bronkoskopi dengan atau tanpa bronchoalveolar lavage (BAL), biopsi endobrokial, endobronchial brushing, biopsy transbronchial, dan aspirasi jarum pada transbronchial juga pemeriksaan histology juga membantu.
Biopsi jaringan paru secara langsung seharusnya dilakukan, meskipun pemeriksaan ini digunakan namun tidak membantu konfirmasi diagnosis. Data histologi sangatlah terbatas. Diharapkan dapat ditemukan sesuatu yang nonspesifik yang berhubungan dengan kemungkinan lama pajanan dan pajanan spesifik yang berkaitan.
2) Menentukan pajanan yang dialami dalam pekerjaan melalui pencatatan riwayat pekerjaan dan kegemaran secara kronologis, identifikasi pajanan bahan berbahaya di tempat kerja
3) Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit dengan menentukan waktu mulai bekerja dengan gejala pertama, urutan-urutan perkembangan gejala, hubungan antara gejala dan tugas tertentu, perubahan gejala pada waktu libur, jauh dari tempat kerja, pemakaian alat proteksi diri
4) Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup besar melalui besarnya dosis, durasi dan intensitas pajanan
5) Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan seperti faktor genetik (atopi, usia, jenis kelamin), faktor lain (merokok dan penyakit yang pernah diderita).
6) Menentukan apakah ada faktor lain di luar pekerjaan seperti hobi atau lingkungan tempat tinggal yang berhubungan dengan penyakit paru
7) Menentukan diagnosis penyakit paru kerja
Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bersifat suportif. Sebaiknya pasien di edukasi untuk menghindari paparan lagi.
Strategi manajemen pasien secara umum adalah:6
Suplementasi oksigen
Bronkodilator
Steroid inhalasi atau sistemik
Pemberian diuretic pada edema paru
Thorakosintesis
Terapi hipertensi pulmonal
Pada gagal nafas akut dapat dilakukan non-invasiv atau pemasangan ventilator mekanik
Bila ada pajanan yang menginduksi terjadi keganasan diterapi sesuai indikasi
Rehabilitasi paru
Pemberian vaksin influenza dan pneumokokus
Terapi pembedahan dapat dilakukan pada penyakit parenkim paru yang berat, dapat berupa transplantasi paru sebagai pengganti paru yang rusak.
Skrining diperlukan pada pekerja yang terpajan agen bersangkutan. Seperti pengisian kuisioner berulang, spirometri, dan bila diperlukan pemeriksaan radiologi berkala.6
Berkow R dan kawan-kawan merekomendasikan penggunaan kriteria
“Lower Limit Of Normal (LLN)”, untuk mengidentifikasikan adanya progresifitas dini dari penyakit paru. Mereka merekomendasikan penggunaan perubahan FEV1 secara longitudinal. Jika terjadi suatu penurunan lebih dari 15 %, maka akan dicatat dan diindikasikan untuk dilakukan pemeriksaan complete pulmonary function tests (PFTs) dan dapat diulang setiap 4-6 minggu. Jika hasilnya tetap, maka disarankan untuk dilakukan pemeriksaan CT Scan high-resolution. Jika dicurigai menderita penyakit paru kerja, maka disarankan untuk menghindari pajanan dan menggunakan alat pelindung yang selalu mencegah paparan masuk atau total menjauhi pajanan bahkan beralih ke pekerjaan yang lain.3,4
Rawat inap diindikasikan bagi pasien yang memiliki eksaserbasi pada gejala asma, demam dengan infiltrate bilateral, atau penyakit paru stadium akhir. Manajemen pasien sama seperti pasien paru lainnya.6
Pencegahan
Pada prinsipnya, penyakit paru kerja adalah penyakit yang dapat dicegah. Pencegahan penyakit tidak hanya dilakukan oleh dokter atau tenaga medis saja, namun memerlukan kerja sama lintas sektoral antara pekerja, manajemen industri dan pemerintah.12
Terdapat 3 strategi pencegahan dalam penyakit paru kerja, yaitu:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan tahap pertama dimana pajanan yang ada di lingkungan kerja, contohnya debu atau bahan kimia, dan pekerja yang akan bekerja di daerah yang penuh pajanan tersebut diusahakan agar terhindar dari pajanan yang ada dan dapat tetap sehat selama bekerja. Kegiatan yang dilakukan adalah Health Promotion (Promosi kesehatan):
Penyuluhan tentang perilaku kesehatan di lingkungan kerja, faktor bahaya ditempat kerja, dan bagaimana melakukan perilaku kerja yang baik
Olah raga, termasuk di dalamnya adalah olah raga senam kesegaran jasmani
makan dengan gizi seimbang 2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan pencegahan tahap kedua, dimana pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang spesifik untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu, dalam hal ini penyakit paru akibat kerja. Kegiatan yang dilakukan disebut dengan Specific protection (Pencegahan spesifik), termasuk di dalamnya adalah
Pengendalian melalui perundang-undangan
Pengendalian administratif/organisasi, seperti rotasi dan pembatasan jam kerja
Pengendalian teknis, seperti substitusi, isolasi,ventilasi
Penggunaan alat pelindung diri, untuk mencegah penyakit paru akibat kerja dengan memakai masker / respirator (tergantung besar partikel dan bahan kimia yang ada di lingkungan kerja)
Pengendalian jalur kesehatan: imunisasi untuk penyakit tertentu, misalnya hepatitis B
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat tiga, dimana pekerja sudah terpajan suatu zat dan ada kemungkinan terkena gangguan kesehatan.
Kegiatan yang dilakukan adalah :
Early Diagnosis & Prompt treatment, termasuk di dalamnya adalah
Pemeriksaan pra-kerja: Pemeriksaan berkala, surveilans medis, pemeriksaan lingkungan secara berkala,pengobatan segera bila ditemukan adanya gangguan kesehatan pada pekerja, pengendalian segera ditempat kerja
Disability limitation: termasuk didalamnya kegiatan evaluasi kembali bekerja (Fit to work)
Rehabilitation: termasuk di dalamnya kegiatan evaluasi kecacatan, menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi pekerja, mengganti pekerjaan sesuai dengan kemampuan pekerja
Komplikasi
Fibrosis paru
Nodul paru (jinak atau ganas)
Hipereaktivitas bronkus
Pembesaran jantung kanan (karena hipertensi pulmonal, cor pulmonale)
Kesimpulan
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan paru yang timbul sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat pajaran zat seperti debu, serat dan gas yang timbul pada proses industrialisasi. Jenis penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis pajanan. Berbagai penyakit paru akibat kerja adalah sebagai berikut: iritasi jalan napas atas, kelainan jalan napas, jejas inhalasi akut, pneumonitis hipersensitif, penyakit infeksi, pneumoconiosis, dan keganasan. Dalam mendiagnosis penyakit paru kerja dapat menggunakan tujuh langkah dengan berpedoman pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.. Sebagian besar tatalaksana hanyalah bersifat suprotif. Pada prinsipnya, penyakit paru kerja adalah penyakit yang dapat dicegah dengan menggunakan tiga prinsip, yaitu: pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shakeekah A. Chemical Worker's Lung [Internet]. Background, Pathophysiology, Epidemiology. 2018 [cited 2018Oct18]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/297248-overview 2. Hart JE, Garshick E, Dockery DW, Smith TJ, Ryan L, Laden F. Long-
term ambient multipollutant exposures and mortality. Am J Respir Crit Care Med. 2011 Jan 1. 183(1):73-8.
3. Berkow R, Beers MH, Fletcher AJ. The Merck manual of medical information. London: Merck Publication; 1997
4. Bruce H Culver MD. How Should the Lower Limit of the Normal Range Be Defined?Respiratory Care Journal. 2012 Jan; 57 (1):136- 45.
5. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Kerja. Infodatin. 2015. 3
6. Goldman R. [Internet]. UpToDate. [cited 2018Oct18]. Available from: https://www.uptodate.com/contents/overview-of- occupational-and-environmental-health#H1
7. Kazantzis G. Occupational disease [Internet]. Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica, inc.; 2018 [cited 2018Oct18].
Available from: https://www.britannica.com/science/occupational- disease
8. Kim E-A, Kang S-K. Historical review of the List of Occupational Diseases recommended by the International Labour organization (ILO). Annals of Occupational and Environmental Medicine.
2013;25(1):14.
9. International Labour Organization (ILO). 2013. Global employment trends 2013: recovering from a second job dips. International office: Geneva
10. Mukhtar Ikhsan. Dalam Bunga Rampai Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan. Balai Penerbit FKUI. 2009.P1-13
11. Lax MB, Grant WD, Manneti FA at all. Recognizing Occupational Disease-Taking an Effective Occupational Hystory. Am Fam Physician. 1998,58:4 page 935-4
12. Gulati M, Redlich CA. 2008. Occupational Lung Disorders: General Principles ad Approach. In Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders. 2008. New York: Mc Graw Hill: 933-42
13. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2016. 2016:1-35
14. Occupational Lung Diseases [Internet]. Occupational Lung Diseases
| Johns Hopkins Medicine Health Library. [cited 2018Oct23].
Available from:
https://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/respira tory_disorders/occupational_lung_diseases_85,P01318
15. occupational lung diseases. [cited 2018Oct22];:131–44. Available from: https://www.thoracic.org/patients/patient- resources/breathing-in-america/resources/chapter-13-
occupational-lung-diseases.pdf
16. Beckett WS. Metal Industry and Related Jobs (Including Welding).
Occupational and Environmental Lung Diseases. 2010;:191–202.
17. Rodriquez E, Marois M, Hennessy-Burt T, Schenker MB.
Characteristics Of Low-Level Cigarette Smoking In A California Hispanic Farm Worker Cohort. A52 Smoking And Lung Disease.
2011;
18. Gupta S, Gupta S, Eiger G, Minimo C, Khemasuwan D. World Trade Center “Sarcoid-Like” Granulomatous Pulmonary Disease In A Construction Worker. C50 Update On Occupational Lung Diseases.
2010;
19. Joshi J, Karkhanis V. Cement dust exposure-related emphysema in a construction worker. Lung India. 2011;28(4):294.
20. Hasugian AR. Perilaku Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Tenaga Kerja Indonesia di Kansashi, Zambia: Analisis Kualitatif. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2017;27(2).