• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bergulirnya era reformasi selama lebih dari satu dekade ini menandai runtuhnya rezim orde baru yang sentralistik dan otoriter. Rakyat bertransformasi dari yang semula apatis menjadi masyarakat kritis dan menuntut (Akbar, 2011). Sebagai hasilnya, pemerintah mengalami tekanan untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada rakyat selaku priority stakeholder. Segala program, kebijakan, dan keputusan yang diambil pemerintah harus berorientasi pada rakyat dan untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD RI Tahun 1945 dalam Pembukaan Alenia IV.

Menghadapi gelombang reformasi yang besar, beberapa regulasi dikeluarkan untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan secara demokratis dan terdesentralisasi, yaitu: TAP MPR No. XI Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Baik (Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), UU No. 22 Tahun 1999 (diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) yang mengatur Desentralisasi Pemerintah Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 (diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

(2)

2 pengalihan pendanaan, sehingga untuk memastikan kinerja pengelolaan kewenangan, perlu adanya suatu sistem untuk mengatur hubungan keuangan antara pusat–daerah dan pertanggungjawaban kegiatan serta pengelolaan keuangan oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan Negara, pemerintah dengan persetujuan DPR RI menetapkan paket perundang-undangan di bidang keuangan Negara, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Serangkaian regulasi tersebut diharapkan mampu mendorong terselenggaranya manajemen (pengelolaan) sektor publik yang profesional. Untuk itu, Pemerintah Indonesia saat ini sedang berupaya menerapkan paradigma good governance dalam konteks pengelolaan organisasional dan kinerja. Paradigma pengelolaan organisasi sektor publik pada tingkat global telah mengalami beberapa pergeseran, mulai dari model klasik (traditional public administration) yang berkembang dalam kurun waktu 1855/1887 hingga akhir 1980-an; new public management (NPM) yang berkembang dalam kurun waktu akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an; sampai kepada good governance yang berkembang sejak pertengahan 1990-an hingga saat ini.

(3)

3 kuatnya semangat yang diadopsi dari sektor privat dalam berkompetisi memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya dengan tetap melibatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Akbar, et al., 2013). Lebih dari satu dekade, governance memang telah menjadi isu pokok untuk organisasi-organisasi internasional. Organisasi seperti PBB, OECD, dan Uni Eropa gencar memberikan kebijakan, saran, dan penelitian berkenaan dengan isu governance (Löffler, 2003). Pada gilirannya, perkembangan wacana di tingkat global tentang good governance jelas berpengaruh pada perkembangan wacana good governance di Indonesia (Solikin, 2006).

Beberapa karakteristik/prinsip-prinsip good governance yang dicetuskan oleh UNDP di antaranya: participation (partisipasi), rule of law (aturan hukum), transparency (transparansi), responsiveness (responsivitas), consensus orientation (orientasi pada konsensus), equity (kesetaraan), effectiveness and efficiency (efektivitas dan efisiensi), dan accountability (akuntabilitas). Sementara itu, berdasarkan PP No. 101 Tahun 2000 disebutkan bahwa paradigma good governance memiliki prinsip-prinsip: profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum.

(4)

4 dulu oleh berbagai stakeholder di area geografis tertentu atau dalam sebuah jejaring kebijakan (Bovaird dan Löffler, 2003).

Good governance tidak hanya terkait dengan efisiensi, tapi juga berkaitan dengan akuntabilitas berbagai penyelenggaraan kepentingan publik kepada stakeholder‐nya (BPKP, 2011). Sebagai komponen penting dari good governance, akuntabilitas memiliki prinsip dasar agar lembaga publik terutama instansi pemerintah memberikan informasi dan transparansi penyelenggaraan urusan publik (UNDP, 2009; Elahi, 2009). Dengan demikian, semua unit organisasi publik harus mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan semua kegiatan/tindakan yang dilakukan dan menerima sanksi apabila terdapat tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut dipertegas dengan penjelasan Mardiasmo (2009) yang menyatakan bahwa akuntabilitas sebagai kewajiban pemegang amanah (pemerintah) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (masyarakat) yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.

(5)

5 melaksanakan kegiatan pelayanan masyarakat secara langsung (Kemenpan dan RB, 2011). Dalam kaitannya dengan penerapan SAKIP, Presiden menunjuk Kepala Lembaga Administrasi Negara untuk membuat pedoman penyusunan, memberikan bantuan teknis, dan penyuluhan tentang LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah), Kepala BPKP untuk melakukan evaluasi terhadap LAKIP, dan Menpan RB mengkoordinasikan pelaksanaan SAKIP.

SAKIP merupakan salah satu alat manajemen (kinerja) dalam rangka penyelenggaraan pemerintah terdesentralisasi yang diharapkan mampu memperbaiki kinerja pemerintah (Nusantoro, 2009). SAKIP dapat dianggap sebagai bagian dari sistem manajemen strategik sektor publik yang merujuk pada sistem pengendalian manajemen untuk memastikan bahwa tujuan organisasi dalam kerangka pemenuhan visi dan misi organisasi dapat dicapai melalui penyelenggaraan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan dengan baik (Sulaeman, 2013).

Sebagai produk pemerintah, proses SAKIP meliputi kegiatan perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, dan pelaporan kinerja (BPKP, 2011). Rangkaian proses/kegiatan SAKIP dibangun dan dikembangkan sebagai wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta pengelolaan sumber daya, pelaksanaan kebijakan, dan pelaksanaan program yang ditujukan kepada rakyat melalui jajaran di atasnya.

(6)

6 Pemerintah (SAKIP). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi (Modul SAKIP 5, 2000). Informasi kinerja yang terdapat dalam LAKIP selain sebagai alat mempertanggungjawabkan aktivitas pemerintahan (fungsi retrospektif), yang terpenting adalah dijadikan sebagai dasar pihak manajemen/internal pemerintah untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik di perioda berikutnya melalui praktik manajemen kinerja (fungsi prospektif).

Pada praktiknya, LAKIP menggantikan Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah melalui Waskat (pengawasan melekat). Waskat merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inpres No. 1 Tahun 1989). Gerakan pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) diawali dari Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang kemudian melibatkan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN, dulu Kementerian Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara) serta Lembaga Administrasi Negara (LAN) (Solikin, 2006).

(7)

7 reformasi, apakah sudah terjadi peningkatan kinerja nyata pelayanan publik dan akuntabilitas pemerintah secara signifikan? Tentunya sebagian besar aparat pemerintah kemungkinan besar secara serentak menjawab “sudah”, karena merasa sudah memberikan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) yang menjadi tuntutan dari Inpres No.7 Tahun 1999 dan hasil evaluasi AKIP (Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) selama beberapa tahun ini menunjukkan peningkatan signifikan. Namun, masyarakat luas dan stakeholder lainnya seperti: lembaga legislatif dan pelaku usaha merasakan hal yang berlawanan dengan klaim aparat pemerintah tersebut.

Tabel 1.1

Hasil Evaluasi AKIP Kementerian/Lembaga Tahun 2009-2012 Tahun 2009 2010 2011 2012 Jumlah K/L 72 79 82 81 Dievaluasi 72 79 82 81 AA 0 0 0 0 A 0 0 2 3 B 7 11 17 26 CC 29 39 49 48 C 33 27 14 4

Sumber: Kemenpan dan RB, 2012

Tabel 1.2

Hasil Evaluasi AKIP Pemerintah Provinsi Tahun 2009-2012 Tahun 2009 2010 2011 2012 Jumlah Prov 33 33 33 33 Dievaluasi 27 29 30 33 AA 0 0 0 0 A 0 0 0 0 B 0 0 2 6 CC 1 9 17 19 C 20 18 11 8

Sumber: Kemenpan dan RB, 2012.

(8)

8 dominannya kekecewaan masyarakat daripada kepuasan publik, sering terjadinya perseteruan antara lembaga eksekutif dengan legislatif, dan seringnya dunia usaha melontarkan ketidaktanggapan pemerintah terhadap kebutuhan pelaku bisnis sehingga menghambat pertumbuhan dunia usaha. Survei KPK pada tahun 2012 terhadap 498 unit layanan pemerintah menghasilkan skor indeks integritas nasional (IIN) 6,37, dari skala 0-10 (kpk.go.id, 2012). Hal tersebut menunjukkan kualitas integritas pelayanan publik yang buruk. Sementara itu, laporan The World Bank tahun 2013 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 166 dari 185 negara yang disurvei dalam hal kemudahan memulai bisnis, atau turun lima peringkat dari posisi tahun sebelumnya (doingbusiness.org, 2013). Dengan demikian, hasil evaluasi AKIP yang meningkat belum merepresentasikan atau dapat dijadikan acuan bahwa sudah berjalannya praktik akuntabilitas dengan baik, apalagi terjadinya peningkatan kinerja secara signifikan.

(9)

9 Penganggaran Berbasis Kinerja (SPBK), Sistem Manajemen Berbasis Kinerja (SMBK), dan Sistem Informasi Manajemen Kinerja (SIMK).

Penelitian yang dilakukan Akbar, et al. (2012) terhadap instansi Pemerintah Daerah (Pemda) Indonesia menemukan bahwa pengembangan ukuran kinerja dalam sistem pengukuran kinerja lebih dipengaruhi motif memenuhi kewajiban aturan daripada motif membuat organisasi menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan demikian, fungsi LAKIP sebagai muara dari SAKIP hanya sebatas pemenuhan kewajiban instansi pemerintah secara simbolis bukan dalam rangka mendorong perbaikan kinerja pada perioda berikutnya (it’s simply to conform, not to perform). Selain itu, tata cara penyusunan LAKIP tidak terstruktur dan apabila monitoring pelaporannya tidak konsisten, maka nasibnya akan sama dengan kewajiban pelaporan Waskat (Bastian, 2001).

(10)

10 di masa berikutnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian kritis terhadap konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, berikut rumusan masalah yang dapat diajukan:

1. Bagaimana perkembangan komponen, alat, dan prosedur pelaksanaan SAKIP? 2. Bagaimana pengukuran kinerja model SAKIP dari awal diterapkan hingga

sekarang?

3. Apakah pengukuran kinerja model SAKIP berjalan dengan baik dan sistematis?

4. Apa kelemahan konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja instansi pemerintah?

1.3. Batasan Masalah

(11)

11 1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dan membandingkan konstruksi SAKIP dari waktu ke waktu.

2. Mendeskripsikan perkembangan pengukuran kinerja model SAKIP dari awal diterapkan hingga sekarang.

3. Menganalisis berjalannya pengukuran kinerja model SAKIP.

4. Mengevaluasi SAKIP dan menganalisis kelemahan konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja dan alat manajemen berbasis kinerja.

1.5. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian yang diharapkan dapat tercapai dengan dilaksanakannya penelitian ini di antaranya:

1. Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan literatur-literatur akuntansi pemerintahan yang sudah ada, serta memberikan variasi bagi penelitian sebelumnya berkenaan dengan evaluasi konstruksi SAKIP dan analisis berjalannya SAKIP.

2. Hasil penelitian memberikan wawasan mengenai perkembangan konstruksi SAKIP dan pengukuran model SAKIP dari mulai diterapkan hingga sekarang. 3. Bagi jajaran praktisi di pemerintahan, hasil penelitian dapat dijadikan

(12)

12 diterapkan sebagai sistem pengukuran, alat manajemen kinerja, dan alat akuntabilitas.

4. Bagi instansi pemerintah yang menerapkan SAKIP, hasil penelitian dapat memberikan rekomendasi dan acuan dalam pengembangan dan perbaikan SAKIP ke depannya.

5. Bagi akademisi, penelitian ini memberikan kontribusi untuk penelitian-penelitian selanjutnya berkenaan dengan kajian kritis SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) dan alat manajemen kinerja organisasi sektor pemerintahan.

1.6. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

- Bab I

Merupakan bagian pendahuluan. Bab ini menjelaskan latar belakang yang mendasari munculnya permasalahan dalam penelitian, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

- Bab II

Merupakan bagian tinjauan pustaka, berisi teori-teori yang melandasi penelitian dan menjadi dasar/acuan melakukan kajian kritis serta penelitian-penelitian terdahulu.

(13)

13 Membahas mengenai metoda penelitian yang menjelaskan jenis dan ruang lingkup penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data, dan metoda analisis yang digunakan untuk melakukan kajian kritis.

- Bab IV

Merupakan bagian pembahasan, yang berisi analisis dan diskusi terhadap konstruksi SAKIP sebagai sistem pengukuran dan alat manajemen kinerja. - Bab V

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

208 DIMAS – Volume 19, Nomor 2, Nopember 2019 Penelitian ini diharapkan sebagai metode integrasi pendampingan yang konkret dalam rangka mengupayakan tranformasi

Kecamatan Rajapolah telah mengacu kepada kepuasaan pasien hal ini dapat dilihat bahwa Puskesmas Kecamatan Rajapolah cukup memiliki gedung yang luas, ruang tunggu

Video yang dimaksud dalam penelitian ini adalah video tentang program acara Muslim Travelers perjalanan di negara Spanyol, yang berisi tentang pesan dakwah

Merujuk pada Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3E1) tahun 2012, dengan sumber daya alam khususnya potensi energi primer yang

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen yaitu untuk mengetahui karakteriatik agregat dari sungai rokan kanan Kabupaten Rokan Hulu serta kuat tekan beton

Salah satu metode yang digunakan untuk memodelkan arsitektur sistem informasi adalah EAP (Enterprise Architecture Planning), dimana metode ini merupakan metode yang

Dalam kasus lain, bila jarak bukan masalah, komunikasi tatap muka dapat dipakai juga untuk menghasilkan e-learning campuran (blended e-learning).. Di sini selain ada interaksi