Proceeding Tugas Akhir Teknik Elektro ITS
ANALISIS INTERFERENSI PADA PROSES TRANSISI DARI SISTEM TV ANALOG KE SISTEM TV DIGITAL DVBT
DENGAN KONFIGURASI SFN DI INDONESIA
Achmad Hafidz Effendi – 2207 100 633
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 6011
Abstrak Penerapan teknologi digital pada sistem TV memberikan banyak keuntungan. Itulah alasan perlunya melakukan transisi teknologi pada sistem TV di Indonesia. Standard teknologi yang digunakan untuk mengembangkan sistem TV digital di Indonesia adalah DVBT (Digital Video Broadcasting Terrestrial). Kemampuan DVBT diimplementasikan pada konfigurasi SFN (Single Frequency Network) membuat teknologi ini sangat efisien pada penggunaan bandwidth. Dalam perjalanan proses transisi dari sistem TV analog ke sistem TV digital DVBT, sangat mungkin terjadi saling interferensi antara kedua sistem karena menduduki band yang sama. Interferensi yang terjadi tidak dapat diabaikan karena akan mengganggu sistem yang ada. Pada tugas akhir ini akan dilakukan analisis interferensi sesuai skenario pada saat masa transisi dengan menggunakan software SEAMCAT. Analisis dilakukan dengan menggunakan referensi data dan model propagasi hasil pengukuran di Jakarta.
Kata Kunci: TV digital, TV analog, DVBT, SFN, interferensi.
I. PENDAHULUAN
Sistem TV digital memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sistem TV analog, antara lain kualitas gambar dan suara yang lebih baik, kebutuhan daya yang lebih kecil, program TV yang lebih banyak[1]
dan memungkinkan dikembangkannya layanan interaktif[2]. Beberapa kelebihan tersebut merupakan alasan dilakukannya proses transisi dari sistem TV analog yang ada di Indonesia saat ini (PAL (Phase Alternating Line)) ke sistem TV digital. Standard TV
digital yang akan diterapkan di Indonesia adalah DVBT (Digital Video Broadcasting Terrestrial).
Pada perjalanan proses transisi, sangat mungkin akan terjadi saling interferensi pada kedua sistem karena menduduki band yang sama. Agar perjalanan proses transisi minimal terhadap efek interferensi, maka dibutuhkan suatu skenario transisi yang tepat. Untuk itu perlu dilakukan suatu analisis interferensi melalui simulasi beberapa skenario interferensi antara kedua sistem sehingga dapat diketahui karakteristik masingmasing sistem pada kondisi terinterferensi.
II. METODE PENELITIAN
Metodologi yang dilakukan dalam melakukan simulasi interferensi yang terjadi pada saat transisi dari sistem TV analog (PAL) ke sistem TV digital (DVBT) adalah :
a) Perancangan skenario transisi b) Penentuan parameter simulasi
c) Simulasi menggunakan perangkat lunak SEAMCAT
A. Skenario Transisi
Gambar 1(a) adalah model sel DVBT dan PAL pada saat proses transisi. Kedua sel saling overlap dimana satu pemancar PAL berada di pusat sel SFN DVBT dengan 7 pemancar.
1. PAL Menginterferensi DVBT Skenario 1
Pada skenario 1, pemancar PAL bertindak sebagai sumber interferensi terhadap user yang tersebar secara uniform pada wilayah sel tengah DVB
T seperti diilustrasikan pada gambar 1(b).
(a) (b) (c) (d)
Gambar 1
(a) Model sel overlap DVBT dan PAL pada saat proses transisi (b) Model PAL menginterferensi DVBT skenario 1
(c) Model PAL menginterferensi DVBT skenario 1 (d) Model DVBT menginterferensi PAL skenario 1
Skenario 2
Pada skenario 2, pemancar PAL bertindak sebagai sumber interferensi terhadap user yang tersebar secara uniform pada wilayah sel tepi DVBT seperti diilustrasikan pada gambar 1(c).
2. DVBT Menginterferensi PAL Skenario 1
Pada skenario 1, pemancar DVBT bertindak sebagai sumber interferensi terhadap user yang tersebar secara uniform pada wilayah sel PAL seperti diilustrasikan pada gambar 1(d).
B. Parameter Simulasi Parameter
Tabel 1 Parameter DVBT
Parameter Nilai Satuan Keterangan Frekuensi 506 MHz Band IV kanal 25 [4][5]
Bandwidth 8 MHz Kep. Men. [3]
ERP 72.8 dBm RRC’06 [5]
Tx 150 m RRC’06 [5]
Rx 10 m Rekomendasi ITU [6]
C/I 19 dB default
Emission Mask
Tabel 1 gambar 2(a)
dB RRC’06 [5]
Blocking Response
Tabel 2 gambar 3(a)
dB RRC’06 [5]
Tabel 2 Parameter PAL
Parameter Nilai Satuan Keterangan Frekuensi 506 MHz Band IV kanal 25 [4][5]
Bandwidth 8 MHz Kep. Men. [3]
ERP 80 dBm asumsi
Tx 150 m RRC’06 [5]
Rx 10 m Rekomendasi ITU [6]
C/I 19 dB default
Emission Mask
Tabel 3 gambar 2(b)
dB ERC/EBU report [10]
Blocking Response
Tabel 4 gambar 3(b)
dB RRC’06 [5]
Tabel 3 Breakpoints emission mask DVBT 8 MHz
Relative frequency (MHz) Relative level (dB)
12 110
6 85
4.2 73
3.9 32.8
3.9 32.8
4.2 73
6 85
12 110
Tabel 4 Breakpoints emission mask PAL 8 MHz
Relative frequency (MHz) Relative level (dB)
12 62.5
7.18 46
5.75 36
3.5 16
2.88 16
2.75 0
2.62 16
2.25 16
2.5 20
2.685 10
2.815 10
3.05 62.5
12 62.5
Tabel 2 Breakpoints blocking response DVBT 8 MHz
Unwanted signal : 8 MHz analogue TV system Wanted signal : DVBT 8 MHz, 64QAM, code rate2/3
∆f(MHz) Blocking (dB)
10.75 35
10.25 12
9.75 11
9.25 5
7.75 3
3.45 1
3.25 4
2.25 1
1.25 0
2.25 5
3.25 5
4.75 36
5.25 38
Tabel 4 Breakpoints blocking response PAL 8 MHz
Unwanted signal : DVBT 8 MHz Wanted signal : 8 MHz analogue TV system
∆f(MHz) Blocking (dB)
8.25 11
5.25 5
4.75 3
4.25 20
3.75 30
3.25 36
2.25 39
1.25 40
2.75 40
4.75 39
5.75 37
6.75 34
7.75 32
8.75 11
9.75 5
12.75 5
Model Propagasi
Pada saat field test di Jakarta[4] telah diperoleh persamaan model propagasi :
10 L 10
kr
S = - a (1)
dimana :
S = daya terima (Watt) k = daya pancar (Watt)
r = jarak pemancarpenerima (km) a = eksponensial jarak
10 L 10 = efek shadowing
Pada persamaan tersebut 1 terlihat bahwa daya terima S hanya merupakan fungsi jarak. Persamaan tersebut akan bermasalah jika disimulasikan menggunakan SEAMCAT karena dalam SEAMCAT membutuhkan parameter frekuensi, power, tinggi antena, dll. Maka dari itu dibutuhkan validasi terlebih dahulu untuk mencari model propagasi built in yang sudah ada pada SEAMCAT yang paling mendekati dengan model
propagasi di Jakarta.
1
(a) (b)
Gambar 2
(a) Emission mask untuk DVBT 8 MHz (b) Emission mask untuk PAL 8 MHz
(a) (b)
Gambar 3
(a) Blocking response untuk DVBT 8 MHz (b) Blocking response untuk PAL 8 MHz
C. Simulasi
Simulasi dilakukan dengan merubah distribusi Victim Receiver pada range jarak D (km) dari Wanted Transmitter. Jarak D divariasikan mulai jarak 0 hingga jarak maksimum coverage dari transmitter dengan range sebesar 5 km. Data yang diambil dari simulasi adalah :
1. Ratarata dRSS (Desired Signal Strength) (dBm)
2. Ratarata iRSS unwanted (Interfering Signal Strength unwanted) (dBm)
3. Probabilitas interferensi (%)
Simulasi dilakukan sebanyak 5 iterasi kemudian diambil rataratanya.
III. HASIL SIMULASI A. PAL Menginterferensi DVBT Skenario 1
Dari simulasi PAL menginterferensi DVBT skenario 1 menghasilkan data seperti pada tabel 5.
Tabel 5 Data PAL menginterferensi DVBT skenario 1
D (Km) Tx/Rx
Hasil ratarata simulasi dengan 5 iterasi dRSS iRSS unwanted C/I P(I) 05 27.78 6.33 21.45 99.54 510 45.44 28.35 17.09 99.59 10 15 52.06 34.93 17.13 99.62 1520 56.38 39.29 17.09 99.56 2025 60.43 43.29 17.14 99.60 2530 63.83 46.69 17.14 99.61 3035 66.90 49.73 17.17 99.62 3540 69.98 52.93 17.05 99.54
Dari data pada tabel 5 diperoleh plot seperti pada gambar 4(a).
Dari tabel 5 dan gambar 19 terlihat bahwa probabilitas interferensi berada pada nilai di atas 99% di sepanjang lintasan. Hal tersebut karena level iRSS unwanted relatif besar terhadap dRSS sehingga menghasilkan rasio C/I di bawah kriteria yang diinginkan (19 dB).
Skenario 2
Dari simulasi PAL menginterferensi DVBT skenario 1 menghasilkan data seperti pada tabel 6.
5.0 2.5 0.0
2.5
5.0
7.5
10.0
12.5 40
30
20
10
0
delta f (MHz)
Blocking (dB)
Blocking Response
Wanted : DVBT 8 MHz 64QAM code rate2/3, Unwanted : Analog TV 8 MHz
15 10 5 0
5
10 10
0
10
20
30
40
delta f (MHz)
Blocking (dB)
Blocking Response Wanted : Analog TV 8 MHz, Unwanted : DVBT 8 MHz 15
10 5 0
5
10
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
Relative frequency (MHz)
Relative level (dB)
Emission Mask DVBT 8 MHz
15 10 5 0
5
10 0
10
20
30
40
50
60
70
Relative frequency (MHz)
Relative level (dB)
Emission Mask PAL 8 MHz
Tabel 6 Data PAL menginterferensi DVBT Skenario 2
D (Km) Tx/Rx
Hasil ratarata simulasi dengan 5 iterasi dRSS iRSS unwanted C/I P(I) 05 27.67 65.83 38.16 09.70 510 45.42 63.90 18.48 44.38 10 15 52.07 62.08 10.01 69.65 1520 56.35 60.16 3.81 83.99 2025 60.38 58.06 2.32 92.81 2530 63.86 55.95 7.91 97.27 3035 66.87 53.82 13.05 98.91 3540 70.06 51.21 18.85 99.68
Dari data pada tabel 6 diperoleh plot seperti pada gambar 4(b).
Dari tabel 6 dan gambar 4 terlihat bahwa probabilitas interferensi memiliki nilai yang berbanding terbalik dengan nilai C/I. Saat nilai C/I berada di atas kriteria (19 dB), maka nilai probabilitas interferensinya akan kecil. Dari hasil kedua skenario, diperoleh diagram contour yang menggambarkan tingkat probabilitas interferensi pada sebuah sel SFN DVBT seperti pada gambar 5.
(a) (b)
Gambar 4
(a) Grafik hasil simulasi PAL menginterferensi DVBT skenario 1 (b) Grafik hasil simulasi PAL menginterferensi DVBT skenario 2
Gambar 5 Contour sel SFN yang terinterferensi oleh PAL
40 30
20 10
0 100
50
0
50
Jarak Tx/Rx DVBT (Km)
dRSS (dBm), iRSS unwanted (dBm), C/I (dB) dan P(I) (%
dRSS iRSS C/I P(I) Variable
69.98
66.90
63.83
60.43
56.38
52.06
45.44
27.78
52.93
49.73
46.69
43.29
39.29
34.93
28.35
6.33
17.05
17.17
17.14
17.14
17.09
17.13
17.09
21.45
99.54 99.62 99.61 99.60 99.56 99.62 99.59 99.54
69.98
66.90
63.83
60.43
56.38
52.06
45.44
27.78
52.93
49.73
46.69
43.29
39.29
34.93
28.35
6.33
17.05
17.17
17.14
17.14
17.09
17.13
17.09
21.45
99.54 99.62 99.61 99.60 99.56 99.62 99.59 99.54
40 30
20 10
0 100
50
0
50
Jarak Tx/Rx DVBT (Km)
dRSS (dBm), iRSS unwanted (dBm), C/I (dB) dan P(I) (%
dRSS iRSS C/I P(I) Variable
70.06
66.87
63.86
60.38
56.35
52.07
45.42
27.67
51.21
53.82
55.95
58.06
60.16
62.08
63.90
65.83
18.85
13.05
7.91
2.32 3.81 10.01 18.48 38.16
99.68 98.91 97.27 92.81 83.99 69.65
44.38
9.70
70.06
66.87
63.86
60.38
56.35
52.07
45.42
27.67
51.21
53.82
55.95
58.06
60.16
62.08
63.90
65.83
18.85
13.05
7.91
2.32 3.81 10.01 18.48 38.16
99.68 98.91 97.27 92.81 83.99 69.65
44.38
9.70
2
(a) (b)
Gambar 6
(a) Grafik hasil simulasi DVBT menginterferensi PAL skenario 1 (b) Contour sel PAL yang terinterferensi oleh DVBT
B. DVBT Menginterferensi PAL
Dari simulasi PAL menginterferensi DVBT skenario 1 menghasilkan data seperti pada tabel 7.
Tabel 7 Data DVBT menginterferensi PAL skenario1
D (Km) Tx/Rx
Hasil ratarata simulasi dengan 5 iterasi
dRSS iRSS
unwanted
C/I P(I)
05 19.83 34.63 14.8 100.00 510 37.59 52.28 14.69 100.00 10 15 44.50 58.86 14.36 100.00 1520 49.12 62.75 13.63 100.00 2025 52.93 65.58 12.65 100.00 2530 56.48 67.55 11.07 100.00 3035 59.55 68.57 9.02 100.00 3540 62.45 68.89 6.44 100.00 4045 65.04 68.52 3.48 100.00 4550 67.46 67.56 0.1 100.00 5055 69.69 66.11 3.58 100.00
Dari data pada tabel 7 diperoleh plot seperti pada gambar 6(a). Dari tabel 7 dan gambar 6(a) terlihat bahwa probabilitas interferensi berada pada nilai 100% di sepanjang lintasan. Hal tersebut karena level iRSS unwanted relatif besar terhadap dRSS sehingga menghasilkan rasio C/I di bawah kriteria yang diinginkan (19 dB). Dari hasil skenario, diperoleh diagram contour yang menggambarkan tingkat probabilitas interferensi pada sebuah sel PAL seperti pada gambar 6(b).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a) Pada skenario transisi dengan kasus terburuk (bandwidth sama dan frekuensi overlap) : 1) Tingkat interferensi pada user DVBT yang
berada di area tengah sel SFN DVBT mencapai 100%, hal tersebut disebabkan
karena nilai C/I nya tidak memenuhi kriteria yang diinginkan (19dB) .
2) Tingkat interferensi pada user DVBT yang berada di area tepi sel SFN DVBT cukup kecil (< 10%) hanya pada area yang berjarak kurang dari 5 Km dari pemancar DVBT.
3) Tingkat interferensi pada user PAL memiliki nilai 100% di semua area cakupan.
b) Dalam sebuah proses transisi, untuk memperkecil terjadinya interferensi dapat dilakukan halhal berikut :
1) Menghindari transisi dengan skenario kanal overlap.
2) Memperkecil power radiasi penginterferensi.
1. Memilih teknik modulasi yang memberikan kriteria nilai C/I terkecil.
V. DAFTAR PUSTAKA
[1] Jose M. C. Brito, Luciano L. Mendes, Fabbryccio A. Cardoso, Carlos A. F. Rocha and Dalton S. Arantes, ”Design, Simulation and Hardware Implementation of a Digital Television System: System Overview”, 2006 IEEE Ninth International Symposium on Spread Spectrum Techniques and Applications, 2006.
[2] Bambang Heru Tjahjono, ”Implikasi KONVERGENSI Teknologi Informasi dan Komunikasi Terhadap Perkembangan Industri dan Bisnis Media”, Seminar ITS, ITS, 2009.
[3] Menteri Perhubungan Republik Indonesia,
“Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF)”, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Km. 76 Tahun 2003, 2003
60 50 40 30 20 10 0 100
50
0
50
Jarak Tx/Rx PA L (Km)
dRSS (dBm), iRSS unwanted (dBm), C/I (dB) dan P(I) (%
dRSS iRSS C/I P(I) Variable
69.69
67.46
65.04
62.45
59.55
56.48
52.93
49.12
44.50
37.59
19.83
66.11
67.56
68.52
68.89
68.57
67.55
65.58
62.75
58.86
52.28
34.63
3.58 0.10 3.48 6.44 9.02 11.07 12.65 13.63 14.36 14.69 14.80
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
69.69
67.46
65.04
62.45
59.55
56.48
52.93
49.12
44.50
37.59
19.83
66.11
67.56
68.52
68.89
68.57
67.55
65.58
62.75
58.86
52.28
34.63
3.58 0.10 3.48 6.44 9.02 11.07 12.65 13.63 14.36 14.69 14.80
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
[4] Gamantyo Hendrantoro, Hary Budiarto, A. A.
N. Ananda Kusuma, Arief Rufiyanto, Satriyo Dharmanto, Bambang Heru Tjahjono, Endroyono, Suwadi, “Urban Radio Propagation Measurement for Digital TV Broadcast in Jakarta, Indonesia”, IEEE Broadcast Technology Society Newsletter page 21, 2009.
[5] International Telecommunication Union,
“FINAL ACTS of the Regional Radiocommunication Conference for planning of the digital terrestrial broadcasting service in parts of Regions 1 and 3, in the frequency bands 174230 MHz and 470862 MHz (RRC
06)”, 2006.
[6] International Telecommunication Union,
“FieldStrength Measurements At Monitoring Stations”, Recommendation ITUR SM. 3786, 1995.
[7] Polytron, “Petunjuk Pengoperasian”.
[8] Electronic Communications Committee (ECC),
“Compatibility Between Mobile Radio Systems Operating in the Range 450470 MHz and Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB
T) System Operating in UHF TV Channel 21 (470478MHz)”, ECC Report 104, Juni 2007.
[9] Adrio Communications Ltd, “Radio receiver noise floor”, http://www.radio electronics.com/
info/receivers/sensitivity/noise_floor.php.
[10] European Broadcasting Union, “Planning and Introduction of Terrestrial Digital Television
(DVBT) in Europe”, ERC/EBU Report, Izmir, December 1997.
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 20 Januari 1985 dengan nama lengkap Achmad Hafidz Effendi sebagai putra bungsu dari pasangan Muslikan dan Wiji Masnifah. Penulis menjalani masa pendidikannya hingga tingkat SMU dan lulus pada tahun 2003.
Setelah menamatkan SMU, penulis melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan tinggi di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan mengambil program Diploma 3 Teknik Elektro Computer Control dan memperoleh gelar Ahli Madya pada tahun 2006. Dengan berbekal skill di bidang kontrol berbasis PLC (Programmable Logic Controller) ,penulis mulai merintis karirnya di dunia industri. Hingga pada tahun 2007, penulis memutuskan untuk melanjutkan studinya kembali ke jenjang sarjana dengan mengambil bidang studi Teknik Telekomunikasi Multimedia di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Di akhir masa studinya, penulis sempat menjadi pegawai honorer di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
sebagai pengembang laboratorium.