• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelusuran Akulturasi Budaya Bali dan Cina Melalui Kajian Historiografi Arsitektur-Arkeologi Masa Bali Kuno di Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penelusuran Akulturasi Budaya Bali dan Cina Melalui Kajian Historiografi Arsitektur-Arkeologi Masa Bali Kuno di Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

Penelusuran Akulturasi Budaya Bali dan Cina

Melalui Kajian Historiografi Arsitektur-Arkeologi Masa Bali Kuno

di Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali

Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA.

Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Ketua Divisi “Palemahan” Paiketan Krama Bali

Email : kastawanarchitect@gmail.com

Abstract

In the last decade, relationship between Bali and China have shown an increase especially in the tourism sector with the increasing number of Chinese tourists visiting Bali and reciprocally Bali promoting tourism promotion to China. As we know that the relationship between the two parties is not the first time. According to Chinese chronology, Bali has been recorded in their chronological books in the early centuries AD. The relationship between Bali and China was further strengthened by the marriage of the Balinese King of the Warmadewa Dynasty Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus with the daughter of a Chinese syahbandar named Kang Cing We, whose story was upheld and inherited until now in the physical manifestation of a sacred place located in the Kintamani area, Bali, precisely in Pura Dalem Balingkang. A marriage of the King and Pura Dalem Balingkang which is currently as a representation of the existence of an acculturation of Balinese and Chinese culture, but the lack of written evidence related to the existence of Pura Dalem Balingkang as a heritage of the past, there is still chance to conduct some research to answer questions that still arise. Therefore, through archaeological of architecture historiography studies an attempt to trace cultural acculturation in the academic realm through a qualitative approach. An utilizing secondary sources and through grounded research is carried out documentation of inheritance which is thought to be an artifact resulting from the process of cultural acculturation. Through the process of synthesis analysis with a qualitative approach, several conclusions were obtained as answers to various problems related to acculturation of Bali and China, especially in Pura Dalem Balingkang. The end of this research, in addition to the conclusion also produced several recommendations for further research.

Abstrak

Dalam satu dekade terakhir, hubungan Bali dengan Cina menunjukkan peningkatan terutama dalam sektor pariwisata dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan Cina ke Bali dan secara reciprokal Bali menggalakkan promosi kepariwisataan ke negeri Cina. Seperti kita ketahui bahwa hubungan antara kedua belah pihak bukan untuk yang kepertama kali. Menurut kronologi Cina, Bali telah tercatat pada buku kronologi mereka di abad awal masehi. Hubungan Bali dan Cina semakin diperkuat dengan adanya perkawinan Raja Bali dari Dinasti Warmadewa Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan putri seorang syahbandar Cina bernama Kang Cing We, yang mana cerita ini terlegendakan dan diwarisi sampai kini dalam perwujudan ragawi sebuah tempat suci yang terletak di Kawasan Kintamani-Bali tepatnya Pura Dalem Balingkang. Perkawinan raja dan Pura Dalem Balingkang yang saat ini sebagai representasi dari adanya sebuah akulturasi budaya Bali dan Cina, akan tetapi kurangnya bukti tertulis terkait keberadaan Pura Dalem Balingkang sebagai bukti warisan bangunan masa lalu maka masih ada ruang melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan yang masih muncul saat kini. Oleh karena itu maka melalui kajian historiografi arsitektur-arkeologi akan dicoba penelusuran akulturasi budaya tersebut dalam ranah akademik melalui pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan sumber-sumber sekunder dan melalui grounded research dilakukan dokumentasi warisan yang diduga sebagai artefak hasil dari proses akulturasi budaya tersebut. Melalui proses analisis sintesis dengan pendekatan kualitatif didapatkan beberapa kesimpulan sebagai jawaban atas berbagai permasalahan terkait akulturasi Bali dan Cina khususnya di Pura Dalem Balingkang. Akhir dari peneltian ini, selain kesimpulan juga dihasilkan beberapa rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.

(2)

2

I. Kilas Balik sebagai Pengantar

Suatu pencapaian kini tak terlepas dari apa yang dilakukan sebelumnya, begitu juga apa yang ada kini dapat dipakai sebagai pedoman dalam pencapaian kedepannya. Hal ini bagai sebuah mata rantai perputaran hidup yang harus bermakna bagi kita semuanya dan tentunya bagi para pendahulu dan generasi selanjutnya. Semua sudah seharusnya teringat serta tak harus terlupa saat ini, bila kita ingin “Merajut Masa Depan yang Lebih Baik”.

Kilas balik bukan berarti kita harus berada dalam posisi mundur, akan tetapi lebih berarti bagai sebuah interospeksi untuk menentukan arah kedepan yang tepat dalam menuju suatu pencapaian yang diinginkan. Terkadang dalam kekinian kita lupa, apa yang telah ada disekitar yang terbentuk dari sebuah perjalanan yang panjang, terabaikan akibat tersilaunya mata dan hati kita pada apa yang ada diluar sana.

Lapis-lapis rekaman sejarah merupakan bukti yang tak semestinya terlupakan, melupakan sejarah membuat kita kehilangan pegangan dan arah. Sebagai warga negara yang baik dari sebuah bangsa yang besar, sudah seharusnya kita memahami perjalanan sejarah negeri ini. Oleh karenanya, lembaran sejarah Balingkang perlu dibuka kembali. Hal ini bertujuan untuk dapat memetakan perjalanan peristiwa yang pernah terjadi di waktu tertentu dan tinggalan artefak yang dapat dilihat kini. Selayang pandang sejarah dibawah ini mungkin dapat menggambarkan hal tersebut diatas.

Pura Dalem Balingkang sebagai artefak dari hasil ide gagasan para leluhur di masa lalu yang diwujudkan berdasarkan perilaku berupa aktifitas ritual keagamaan. Keberadaan suatu artefak tidak terlepas dari raung waktu dan kondisi ketika direncanakan, dirancang maupun dibangun di masa lalu. Berangkat dari kenyataan kini, Pura Dalem Balingkang sebagai representasi dari adanya sebuah akulturasi budaya Bali dan Cina, akan tetapi kurangnya bukti tertulis terkait keberadaan Pura Dalem Balingkang sebagai bukti akulturasi dalam bentuk warisan bangunan masa lalu maka masih terbuka ruang dan kesempatan untuk melakukan penelitian dalam menjawab berbagai pertanyaan yang masih muncul saat ini. Oleh karena itu maka melalui kajian historiografi arsitektur-arkeologi akan dicoba penelusuran akulturasi budaya pada Pura Dalem Balingkang dalam ranah akademik.

Rumusan Masalah

- Bagaimanakah kedudukan Pura Dalem Balingkang dalam Historiografi Masa Bali Kuno? - Bagaimanakah perkembangan Pura Dalem Balingkang dalam perspektif

Arsitektur-Arkeologi Masa Bali Kuno?

- Bagaimanakah Akulturasi Budaya Cina dan Bali pada Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali?

(3)

3

II. Kajian Literatur

Bali dan Cina dalam Lintasan Sejarah

Catatan kronologi Cina merupakan satu-satunya sumber awal yang memberi nama-nama entitas politik di Asia Tenggara. Rekonstruksi nama-nama dan identifikasi lokasi geografis dilakukan oleh para sejarawan. Akibatnya, tidak ada korelasi yang akurat antara tempat-tempat yang disebutkan dalam catatan kronologi Cina tersebut dengan lokasi-lokasi perdagangan pertama di kepulauan Indonesia-Malaysia, misalnya “Poli” kemungkina untuk nama “Bali” dan beberapa bagian Jawa Timur.

Catatan kronologi sejarah Cina tersebut menyebutkan “Poli” sebagai titik peradaban terakhir di tenggara. Orang-orang yang tinggal jauh ke timur dikatakan memiliki kulit hitam dan rambut keriting. Entitas, yang umumnya dianggap sebagai bagian dari “Bali” mengirim lima duta ke Cina antara tahun 473 dan 630 Masehi (Munoz, 2006).

Bali terkenal dengan industri perunggunya, terutama untuk pengecoran nekara perunggu dari jenis yang sama sekali berbeda dengan nekara Dong Son. Sangat menarik untuk dicatat, mengingat industri khas Bali ini, bahwa tidak pernah ada tambang tembaga atau timah di Pulau Bali. Dengan demikian, hasil perunggu harus diperdagangkan dan diangkut dari bagian lain di nusantara. Penemuan tembikar Romano-India di Pantai Bali Utara menunjukkan bahwa pulau Bali telah menjadi pusat perdagangan antar daerah yang aktif sejak abad pertama.

Sebagai pusat perdagangan, tentu ada proses jual beli dan memakai uang sebagai alat tukar maupun barter antara barang dengan barang. Berdasarkan bukti-bukti historis yang berhasil ditemukan, awal perkenalam masyarakat Bali dengan ekonomi uang ternyata dengan menggunakan mata uang asing (uang logam Cina). Masuknya uang logam Cina ke wilayah Nusantara terutama sebagai barang impor, telah berlangsung sejak meningkatnya hubungan dagang antara Cina dengan Nusantara dan mencapai puncak abad ke XI serta kontak politik antara Cina dengan Jawa dalam bentuk intervensi militer Cina terhadap Kerajaan Singasari di tahun 1290-an semakin memperkuat masuknya uang logam Cina. Belum ditemukan satu petunjuk yang memberitahukan bahwa ketika masyarakat Bali memasuki ekonomi uang telah menggunakan atau memiliki uang sendiri. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, mata uang Cina yang kemudian disebut uang kepeng dianggap sebagai mata uang milik masyarakat Bali sendiri atau pis bali (Sidemen, 2002: 181).

Merujuk pada temuan uang kepeng, ternyata tidak seluruh uang kepeng berasal dari Cina. Ada beberapa jenis berasal dari Jepang dan Vietnam, karena sebagian besar berasal dari Cina maka secara umum dinyatakan bahwa uang kepeng adalah uang Cina atau Chinese Coin.

(4)

4 Pemakaian uang logam Cina sebagai uang kartal di Nusantara mencapai puncak ketika Kerajaan Majapahit secara resmi menggunakan uang logam yang diimpor dari Cina sebagai alat pembayaran yang sah untuk semua jenis kegiatan niaga di seluruh wilayah Nusantara termasuk Bali sebagai salah satu bagian wilayah kekuasaan Majapahit dengan sendirinya memakai uang logam Cina sebagai alat pembayaran yang sah atau uang kartal (Sidemen, 2002: 182).

Pejabat Cina juga mencatat bahwa penggunaan tembaga, perak dan emas membantu dalam kegiatan komersial di Masa Majapahit. Koin tembaga dengan lubang di tengahnya untuk memudahkan mengikat dan memegangnya dan koin ini berasal dari Cina atau koin tiruan buatan lokal seperti mata uang yang telah diterima secara umum ini. Begitu besar jumlah rempah-rempah dan kertas yang diimpor oleh Cina sehingga ada arus keluar yang besar dari koin tembaga dari Cina ke Pulau Jawa (Cotterel, 2014: 128).

Lebih lanjut, ketika uang kepeng telah dipakai sebagai uang kartal, disisi lain uang kepeng juga dipergunakan dalam upakara dan sistem kepercayaan masyarakat khususnya pemeluk Agama Hindu di Bali. Pemakaian sejumlah uang kepeng pada beberapa jenis upakara tertentu dalam sistem pemujaan dan persembahan sebagai petunjuk tentang tingkat atau derajat nilai dari suatu upakara. Uang kepeng digunakan sebagai simbol nilai suatu perwujudan manifestasi Tuhan (Rambut Sedana) maupun perwujudan leluhur atau nenek moyang (Ukur). Disamping itu ada juga pemujaan terhadap jenis-jenis uang kepeng tertentu karena dipercaya memiliki kekuatan magis religius, seperti: pis jaring yang berasal dari Jepang dipuja karena memiliki kekuatan magis yang membawa keberuntungan bagi pemiliknya yang berprofesi sebagai nelayan atau pedagang; dan jenis pis koci atau pis jepun yang pada permukaannya bergambar tokoh-tokoh pewayangan dipuka karena dipercaya memiliki kekuatan magis tertentu yang dapat memberikan keberuntungan tertentu bagi pemiliknya.

Arsitektur Tempat Suci dalam Naskah

Dalam Lontar “Kuturan Tatwa” dinyatakan bahwa pada jaman Kali Sanghara, dimana raja merasakan susahnya memimpin Pulau Bali, diceritakan pada waktu itu banyak aliran/sekte agama yang berkembang di Bali seperti: penganut Agama Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha, Brahmana Rsi, Sora, Ganapatya, Indra, Bayu dan Kala semuanya sama-sama lain pendapatnya dalam melaksanakan tatacara upacara agama. Oleh karena itu Sri Haji Udayana Warmadewa segera mengundang Mpu Kuturan dari Jawa, dengan menggunakan perahu dan mendarat di Bali tepatnya di Teluk Padang, pada tahun 923 Saka, pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang paro terang ke-6. Selanjutnya Sri Haji Udayana

(5)

5 Warmadewa didampingi oleh mahampu yang bernama Mpu Kuturan, yang diangkat sebagai Dharmadyaksa.

Kemudian, diceritakan bahwa Mpu Kuturan segera mengadakan mahasabha antara penganut Siwa Budha dengan orang-orang Baliaga, sejak itulah ada “Desa” dan “Kahyangan Tiga” di Bali. Sejak saat itu, desa-desa tempat tinggal orang-orang Baliaga, seperti adanya Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem, yang dijadikan dasar sebutan adalah “Tri Murti”, yaitu: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Mpu Kuturan juga menjelaskan kepada orang-orang Baliaga adanya Catur Agama, Catur Lokhikabhasa dan membangun Sanggah Kemulan lengkap dengan pedagingannya di tiap-tiap rumah tangga, selain itu ditetapkan juga membangun Parhyangan tempat memuja Kabuyutan, Ibu dan Dadya di seluruh wilayah Baliaga. Balai Pasamwan Agung Siwa Buddha dan orang-Orang Baliaga saat ini bernama Parhyangan Samwan Tiga.

Selanjutnya, diceritakan Mpu Kuturan yang dititahkan oleh Bhatara Genijaya, memusatkan pikiran untuk memohon perkenan Hyang Widhi, akhirnya dititahkan untuk membangun “Parhyangan Sapta Giri” (Tujuh Gunung) yang ada di Bali yang menjadi kekuasaan raja Bali dilengkap dengan upacara pemujaan, yakni di Ulun Danu membangun Padmasana, Meru Tumpang 11, Meru Tumpang 9, Meru Tumpang 7, Meru Tumpang 5, Meru Tumpang 3, dan sebuah Pasamwan Agung, disamping dilengkapi juga dengan Bale Mundar-mandir, Pepelik, Gedong Perucut, Paruman Agung, Gedong sthananya Sang Hyang Tri Bhuwana sesuai dengan prinsip ajaran Mpu Kuturan. Kemudian, Mpu Kuturan yang nama aslinya Mpu Raja Kertha, berhasil menata keagamaan dan kemasyarakatan di Bali, atas jasa-jasanya lalu beliau dibuatkan sebuah bangunan pemujaan atau pelinggih pada masing-masing Merajan dengan sebutan “ Manjangan Saluang” (Wikarman, 1998: 40).

III. Metodologi

Metodologi sejarah merupakan cara atau strategi untuk menemukan jawaban atas berbagai permasalahan tentang sejarah sebagai disiplin ilmu. Penelitian tentang “Balingkang Kajian Historiografi Arsitektur Arkeologi Bali Kuno” ini mempergunakan strategi penelitian “Interpretatif-Historis” (Interpretive-Historical Research). Menurut R.G. Collingwood, penyelidikan sejarah merupakan pengetahuan sendiri dengan mempertimbangkan berbagai cara dari sudut pandang strategi dan taktik penelitian. Penelitian sejarah hampir sama dengan penelitian kualitatif.

Istilah penelitian kualitatif, mulanya berasal dari sebuah pengamatan kuantitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kualitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran

(6)

6 pada tingkat dan ciri tertentu. Disisi lain, pengamatan kualitatif cenderung mengandalkan kekuatan indera peneliti dalam merefleksikan fenomena budaya. Pengamatan indera ini dinyatakan lebih akurat dalam melihat fenomena kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring perubahan jaman, yang mana perubahan ini sulit diukur dan direrata dengan paradigma kuantitatif.

PROCESSUAL ARCHAEOLOGY The Nature Of Arcaheology

Explanatory vs Descriptive Explanation

Culture Process vs Culture History Reasoning

Deductive vs Inductive

Validation

Testing vs Authority

Research Focus

Project Design vs Data Accumulation Choice of Approach Quantitative vs Simply Qualitative Scope Optimism vs Pessimism

Pengetahuan kita tentang manusia masa lalu tergantung pada jalannya aktifitas manusia dan proses alami yang akan menjadi rekaman arkeologi dan bagaimana suatu proses atau aktifitas ditentukan dalam waktu yang lama, apakah yang tersisa dan hilang. Sekarang kita berharap tinggalan masa lalu tersebut lebih banyak terselamatkan sehingga dapat dipelajari dengan mengajukan pertanyaan yang benar melalui cara yang juga benar.

“Tapak Arkeologi” (Archaeological Site) dapat dikatakan sebagai suatu tempat dimana dapat dijumpai artefak, fitur, struktur, dan organik dan tinggalan lingkungannya. Terkait dengan tujuan kegiatan, tapak arkeologi dapat dinyatakan sabagai suatu tempat yang mana penelurusan signifikan terhadap aktifitas manusia yang dapat diidentifikasi. Oleh karenanya, tapak arkeologi dapat berupa suatu desa atau suatu kota.

Di era modern atau masa lalu, para pencari harta karun telah merusak suatu tapak arkeologi, barangkali telah memindahkan atau menggeser letak suatu artefak yang tidak menarik mereka, hal ini dapat dikatakan telah merusak artefak dalam “konteks primer”-nya (primary context). Kemudian ketika arkeolog bermaksud melakukan ekskavasi pada tapak arkeologi yang telah berubah konteks primernya, maka dapat dikatakan arkeolog bekerja pada “konteks sekunder” (secondary context).

(7)

7 Dalam kaitannya dengan “sumber dokumenter” (Documentary Sources), beberapa akurasi sejarah dari tulisan terkait penemuan masa lalu, dimana keakuratan tentang lokasi ekskavasi seperti tempat permukiman. Banyak dari buku arkeologi modern merujuk pada kesuksesan dari bukti-bukti tertulis, terutama tentang tempat termasuk penghuni dan aktifitasnya. Disamping bukti-bukti tertulis, seperti peta lama dan foto lama lebih penting dan membantu di dalam suatu tempat bersejarah.

Pada saat kita melakukan “Survey untuk Penemuan” (Reconnaisance Survey in Practice), formulasi pertanyaan dalam terminologi regional, dibutuhkan pengumpulan data sesuai skala, yang mana informasi sebanyak mungkin dengan biaya dan tenaga minimum. - Wilayah yang akan disurvey perlu untuk ditentukan batas alam (lembah, pulau, dll.) maupun

batas budaya (style artefak, dll.), perubahan dari aslinya dan batas alam yang mudah untuk ditetapkan.

- Area sejarah dari pembangunan perlu untuk diuji, tidak hanya dikenal dalam kegiatan arkeologi sebelumnya dengan bahan-bahan lokal serta juga untuk menilai seberapa jauh permukaan benda-benda arkeologi terlapisi atau berpindah akibat proses geomorfologi. - Informasi yang melatarbelakangi suatu wilayah akan membantu dalam menetapkan

intensitas suatu permukaan yang melingkupi suatu survey. Faktor lain yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan adalah waktu serta ketersediaan sumber daya dan seberapa mudah melakukan rekaman terhadap area tersebut. Banyak wilayah terdiri dari berbagai varian lansekap, strategi survey tunggal tidaklah cukup. Pendekatan fleksibelitas dibutuhkan terhadap area yang terstratifikasi dalam zona visual yang berbeda-beda, dan teknik yang sesuai untuk masing-masing area. Beberapa tahap arkeologi (diagnostik artefak dan style) lebih kelihatan dari lainnya.

- Mempertimbangkan apakah benda-benda tinggalan dikumpulkan atau diuji untuk asosiasi dan konteksnya.

IV. Data Eksisting dan Diskusi IV.1 Data Eksisting

A. Masa Bali Kuna

Tabel 1. Dinasti dan Prasasti terkait Arsitektur

No Dinasti Raja Waktu Keterangan

I Singhamandawa

Nama-nama Raja dari Dinasti

Singhamandawa

tidak diketahui

- Panglapuan di Singhamandawa dan ditemukan 7 buah prasasti sampai kini.

(8)

8 Saka 804 & Saka 836 882-995 Masehi

- Prasasti Sukawana A1, (804 Saka) berisi tentang : pengembalian fungsi kesucian

ulan (bangunan suci keagamaan) di wilayah

Bukit “Cintamani”. Kebijakan penguasa menyuruh Senapati Danda, Bhiksu

Siwakangsita, Siwinirmala dan Siwaprajna

membangun pertapaan yang dilengkapi pasanggrahan (setra) dibagian lain Bukit Cintamani.

II Warmadewa

1 Sri Ksari Warmadewa - Prasasti Blanjong (835 Saka)

2 Sang Ratu Sri Ugrasena 837-864 Saka

3 Sang Ratu Sri Haji Tabanendra

Warmadewa yang memerintah bersama permaisurinya Sri Subhadrika Dharmadewi

877–889 Saka 955-977 Masehi

4 Sang Ratu Sri Jayasingha

Warmadewa

5 Sang Ratu Sri Janasadhu Warmadewa

6 Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi

- beliau tidak menggunakan gelar Warmadewa, berdasarkan ungkapan P.V.

van Stein Callenfels dalam ungkapan Sri Wijaya bisa jadi sang ratu berasal dari

kerajaan Sriwijaya, Sumatera, ini berarti ada perluasan kekuasaan Sriwijaya ke Bali) - Damais, secara tegas menyatakan

bahwa ratu ini adalah putri Pu Sindok yang bernama Sri Isana

Tunggawijaya.

- Ratu ini diperkirakan wafat pada tahun 911 Saka (989 M.)

7 Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri

Dharmodayana Warmadewa

- Prasasti Gunung Penulisan A (933 Saka).

- Prasasti Gunung Penulisan B.

8 Ratu Sri Sang Ajnadewi

9 Paduka Haji Sri

Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa 10 Anak Wungsu 971-999 Saka (1049-1077 Masehi)

11 Sri Maharaja Sri Walaprabhu 1001-1010

Saka 1071-1088

Masehi

12 Sri Maharaja Sri Sakalendukirana

Isana Gunadharma Lakumidhara Wijayottunggadewi

13 Haji Sri Maharaja Sri Suradipha 1037-1041

Saka 1115-1119

Masehi

14 Paduka Sri Maharja Sri Jayasakti 1055-1072

Saka 1133-1150

Masehi

15 Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya 1077 Saka

1155 Masehi

(9)

9

16 Paduka Sri Maharaja Haji

Jayapangus

1099-1103 Saka 1178-1181

Masehi

- Prasasti Mantring A (1099 Saka)

- Prasasti Sembiran C (1103 Saka), bahwa

Sri Maharaja Haji Jayapangus menguasai

tujuh wilayah bawahan (Saptanagara)

17 Sri Maharaja Haji Ekajayalancana

beserta ibunya Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana

1122 Saka 1200 Masehi

18 Bhatara Parameswara Sri Wirama 1125 Saka

1203 Masehi

19 Adidewalancana 1182 Saka

1260 Masehi

Kekosongan pemerintahan selama kurang lebih 64 tahun

1182-1246 Saka 1260-1324

Masehi

- Prasasti Sukawana D (1222 Saka) atas nama Kbo Parud (putra Ken Demung

Sasabungalan)

- Negarakertagama pupuh 42 bait 1, disebutkan bahwa tahun 1206 Saka (1284 M.) Raja Kertanegara (Raja Singosari) berhasil menaklukan Bali serta menawan rajanya.

- Bali selama kekosongan ini berada di bawah pengawasan kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur.

20 Bhatara Sri Mahaguru 1246-1247

Saka 1324-1325

Masehi

21 Paduka Tara Sri

Walajayakattaningrat

(memerintah dibantu ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru)

1250 Saka 1328 Masehi

22 Sri Artasura Ratnabhumibanten 1259-1265

Saka 1337-1343

Masehi

- Prasasti Batu di Pura Tegeh Koripan di Pucak Gunung Penulisan.

- Goris berpendapat bahwa Asta Asura identik dengan Raja Bedahulu yang bernama Maya Denawa.

B. Sejarah Pura Dalem Balingkang

Sejarah Pura Dalem Balingkang akan dibahas dari beberapa sudut pandang, diantaranya:

- Purana Pura Dalem Balingkang (2009)

Purana Pura Dalem Balingkang menyebutkan bahwa Sri Maharaja Haji Jayapangus beristana di Gunung Panarajon. Pada masa pemerintahannya Sri Maharaja Haji Jayapangus didampingi oleh permaisuri beliau yang bergelar Sri Parameswari Induja Ketana. Beliau Sri Parameswari Induja Ketana disebut sebagai putri utama yang sangat bijak. Beliau berasal dari Danau Batur yang merupakan keturunan Baliaga. Pada masa pemerintahan waktu itu yang menjabat sebagai Senapati Kuturan adalah Mpu Nirjamna. Beliau mempunyai dua orang penasehat yang bergelar Mpu Siwa Gandhu dan Mpu Lim. Mpu Lim mempunyai dayang berwajah cantik bernama Kang Cing We, putri dari I Subandar yang memperistri Jangir yaitu seorang wanita Bali.

(10)

10 Setelah lama Kang Cing We menjadi dayang Mpu Lim, ada keinginan beliau Sri Maharaja Haji Jayapangus untuk memperistri Kang Cing We sekaligus diupacarai. Oleh karena demikian keinginan beliau, maka segaralah Mpu Siwa Gandhu menghadap dan memberikan saran kepada baginda raja. Bahwa kehendak baginda raja memperistri putri I Subandar yaitu Kang Cing We tidak tepat, karena baginda raja beragama Hindu sedangkan Kang Cing We beragama Buddha. Namum, nasehat Sang Dwija tidak diindahkan oleh baginda raja. Marahlah baginda raja kepada Bhagawanta-nya, oleh karena demikian Mpu Siwa Gandu tidak lagi menjadi penasehat kerajaan di Panarajon. Kemudian segeralah baginda melangsungkan upacara pernikahan yang disaksikan oleh para rohaniawan dari agama Hindu maupun agama Buddha, para pejabat seperti sang pamegat, para pejabat desa, dan para karaman. Setelah beberapa lama upacara pernikahan berlalu, I Subandar mempersembahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong untuk bekal putrinya mengabdi kepada baginda raja. Selanjutnya dikemudian hari agar baginda raja menganugrahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong tersebut kepada rakyat beliau yang ada di seluruh pulau Bali, sebagai sarana upacara yajña atau kurban sampai dikemudian hari.

Bedasarkan kesepakatan Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan Kang Cing We tersebut, marahlah Mpu Siwa Gandhu terhadap sikap baginda raja. Beliau Mpu Śiwa Gandhu melaksanakan tapa brata memohon anugerah kepada para dewa agar terjadi angin ribut dan hujan lebat selama satu bulan tujuh hari. Karena memang benar-benar khusuk Mpu Siwa Gandhu melaksanakan tapa brata, maka benarlah terjadi angin puting beliung dan hujan lebat. Musnahlah keraton Sri Maharaja Haji Jayapangus di Panarajon. Beliau Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus diiringi oleh sisa-sisa abdinya mengungsi ke tengah hutan, yakni ke wilayah Desa Jong Les. Di sana beliau dengan cepat merabas semak belukar dan hutan lebat, juga dilengkapi dengan upacara dan upakara yajña.

Bangunan suci kerajaan baginda raja sekarang bemama Pura Dalem Balingkang. Kata “Dalem” diambil dari kata tempat itu yang disebut Kuta Dalem Jong Les. Adapun kata Balingkang diambil dari kata “Bali”, yaitu baginda raja sebagai menguasa jagat Bali Dwipa. Kata “Kang” sebenarnya diambil dari nama istri beliau yang bernama Kang Cing We. Ada lagi disebutkan, pada saat baginda raja mengungsi dari Panarajon ke tengah hutan disebut Kuta Dalem. Di sana beliau berhasil memusatkan pikiran beliau sampai ke pikiran paling dalam atau daleming cita memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beliau berhasil membangun keraton dan tempat suci di Kuta Dalem. Setelah beliau memerintah di Balingkang kembali sejahteralah seluruh kerajaan Bali Dwipa. Lebih-lebih setelah didampingi oleh kedua permaisuri beliau yang selalu duduk di kiri-kanan singasana beliau. Adapun yang mendampingi atau mengabih

(11)

11 di kanan bergelar Sri Prameswari Induja Ketana, dan di kiri bergelar Sri Mahadewi Sasangkaja Cihna atau Kang Cing We. Serta para pejabat kerajaan dan para abdi atau rakyat beliau semuanya.

- Berdasarkan Mitos Masyarakat di Sekitar Pura Dalem Balingkang

Berdasarkan mitos yang berkembang pada masyarakat di sekitar Pura Dalem Balingkang. Diceritakan bahwa pada jaman dahulu ada seorang raja yang bernama Sri Maharaja Haji Jayapangus. Beliau beristana di bukit Panarajon, serta keraton beliau di Kuta Dalem. Mulanya saat beliau memerintah di Panarajon beliau mempunyai seorang permaisuri bernama Dewi Mandul atau seorang permaisuri yang tidak bisa melahirkan. Sri Maharaja Haji Jayapangus berkeinginan mempunyai seorang putra untuk meneruskan tahta atau kedudukannya di Panarajon. Namun, keinginan beliau tidak terkabulkan berhubung permaisuri tidak dapat melahirkan seorang putra. Suatu ketika beliau berjalan-jalan di Pasar Kuta Dalem, beliau bertemu dengan seorang wanita yang berwajah cantik yang merupakan putri saudagar dari Cina. Karena melihat kecantikan putri tersebut, maka ada keinginan beliau untuk mengawininya secara diam-diam. Tanpa melalui upacara yang disaksikan oleh para pejabat kerajaan, maupun tanpa sepengetahuan permaisuri beliau yaitu Dewi Mandul. Perkawinan secara diam-diam Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan putri Cina tersebut diketahui oleh Bhatara Śiwa. Akhirnya Bhatara Śiwa mengusir Sri Maharaja Haji Jayapangus dari Panarajon karena kesalahan beliau melakukan perkawinan tanpa upacara yajña, yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang raja.

Sri Maharaja Haji Jayapangus yang diiringi oleh kedua permaisurinya menuruni bukit Panarajon, menelusuri hutan menuju arah timur laut pada saat hujan deras dan angin puting beliung. Beliau tanpa mengenal lelah terus melanjutkan perjalanan menuruni perbukitan, dan akhirnya sampai disuatu tempat yang bernama Gunung Lebih. Di sana beliau beristirahat dan melakukan pemujaan terhadap para dewa, memohon petunjuk serta memohon perlindungan-Nya. Ketika melakukan pemujaan beliau mendapat sabda atau pawisik dari para dewa agar terus melanjutkan perjalanan sampai hujan dan angin reda. Apabila hujan dan angin mulai reda, maka di sanalah beliau diperintahkan untuk memasang suatu tanda dan membangun sebuah keraton. Pada saat beliau turun dari Bukit Panarajon dikenal dengan istilah Kuta Dalem Jong Les.

Mengingat sabda atau pawisik dari para dewa tersebut, beliau terus melanjutkan perjalanan menuruni Bukit Panarajon yang diiringi oleh kedua permaisurinya. Akhirnya beliau sampai disuatu tempat yang bernama Dharma Anyar, yaitu tempat pertapaan bagi orang suci

(12)

12 baik Mpu, Maha Rsi, atau yang lainnya. Setibanya beliau di Dharma Anyar hujan dan angin mulai reda, akhirnya di Dharma Anyar beliau membangun ‘keraton’ yang dikenal dengan nama Balingkang. Di sana beliau kembali menata kerajaan seperti dahulu di Panarajon. Serta didampingi oleh para Senapati Kuturan, pejabat kerajaan, dan kedua permaisurinya.

Pernikahan Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan Dewi Danuh, melahirkan seorang putra yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa dikenal dengan gelar Dalem Bedahulu yang beristana di Pejeng. Beliau berhasil dikalahkan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Lama-kelamaan bekas keraton Sri Maharaja Haji Jayapangus di Balingkang dijadikan tempat pemujaan atau tempat suci untuk memuja Sri Maharaja Haji Jayapangus dan kedua permaisurinya yang telah disucikan melalui upacara yajña. Hingga sampai sekarang dikenal dengan nama Pura Dalem Balingkang.

- Berdasarkan Kekawin (geguritan) Barong Landung

Keberadaan Pura Dalem Balingkang juga termuat dalam Geguritan Barong Landung yang ditulis oleh I Nyoman Suprapta dalam tesisnya Juta Ningrat di tahun 2010, sebagai berikut:

Diceritakan seorang raja yang tersohor, bijaksana dan banyak menulis prasasti-prasasti yang memuat tentang pelaksanaan upacara keagamaan, beliau bernama Sri Maharaja Haji Jayapangus tempat kerajaan beliau di Bukit Panarajon. Dalam pemerintahannya didampingi oleh seorang permaisuri yang bernama Dewi Danuh putri dari keturunan Bali Mula. Kelama-kelamaan datanglah seorang pedagang dari negeri Cina yang bernama Dewi Ayu Subandar bersama seorang putri cantik berkulit putih dan bermata sipit yang dikenal dengan nama Kang Cing We. Kang Cing We kemudian diangkat menjadi pelayan Mpu Lim. Karena Kang Cing We sering berada di keraton dan memiliki wajah yang sangat cantik, terpikatlah hati sang raja untuk memperistrinya. Dengan demikian sang raja mengumumkan kepada penggawa kerajaan dan rakyatnya untuk mempersiapkan upacara perkawinan. Mendengar kabar sedemikian rupa, maka menghadaplah salah satu Bhagawanta raja yakni Mpu Siwa Gandu. Sang Bhagawanta raja menyarankan sang raja untuk tidak mengawini Kang Cing We, karena raja tidak boleh memiliki dua permaisuri selain itu pula Kang Cing We beragama Buddha sedangkan Sri Maharaja Haji Jayapangus beragama Śiwa atau Hindu. Sang raja tidak mendengarkan nasehat sang Bhagawanta raja dan tetap bersikukuh untuk mengawini Kang Cing We. Sehingga terselenggaralah upacara perkawinan tersebut. Karena Sang Bhagawanta merasa sarannya tidak diindahkan oleh Sri Maharaja Haji Jayapangus maka marahlah Sang Bhagawanta dan melaksanakan tapa brata menciptakan bencana, hujan lebat, gempa dan bencana lainya

(13)

13 sehingga hancurlah kerajaan beliau. Dengan kehancuran kerajaan beliau, maka dipindahkanlah kerajaannya ke Jong Les atau Dalem Balingkang. Perkawinannya dengan Dewi Danuh memiliki seorang putra yang bernama Mayadenawa dan diangkat menjadi raja di Bedahulu. Sedangkan perkawinanya dengan Kang Cing We tidak mempunyai keturunan. Karena lama tidak mempunyai keturunan untuk melanjutkan pemerintahanya di Dalem Balingkang. Sedangkan Dewi Danuh sudah moksa, maka sang raja meminta ijin kepada Kang Cing We untuk bertapa di puncak gunung Batur. Seraya memohon anugerah agar dikaruniai seorang putra. Sesampainya di puncak gunung bertemulah dengan seorang putri yang sangat cantik, sehingga jatuh cintalah sang raja terhadap waita tersebut. Lama sang raja tidak mengirim kabar ke keraton Dalem Balingkang maka disusulah oleh Kang Cing We ketempat pertapaan. Sesampainya Kang Cing We ditempat pertapaan dilihat sang raja sedang berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik. Melihat kejadian seperti itu maka marahlah Kang Cing We dan memaki-maki wanita tersebut yang tiada lain adalah penjelmaan dari Dewi Danuh untuk menggoda tapanya sang raja. Karena merasa dirinya dimaki-maki oleh seorang manusia atau Kang Cing We. Maka marahlah Sang Dewi tersebut secepat kilat keluar api dari dahi-Nya dan api tersebut mengejar Kang Cing We dan membakarnya, sehingga wafatlah Kang Cing We. Dengan kematian Kang Cing We sang raja pun menjadi sedih dan berduka sehingga disudahilah tapanya. Karena sang raja sebelumnya mengaku belum mempuyai istri kepada Sang Dewi, maka Sang Dewi memutuskan sang raja mendapatkan hukuman yang setimpal, dan akhirnya sang raja bernasib sama. Atas sepeninggal beliau berdua, sang raja dan sang permaisuri dari kerajaan, maka rakyatnya pun menyusul ke tempat pertapaan, dan menemukan junjunganya sudah wafat. Rakyat Dalem Balingkang menjadi sedih dan memohon ke pada Sang Dewi untuk menghidupkan kembali kedua junjungannya. Melihat ketulusan hati permohonan rakyat Dalem Balingkang tersebut maka Sang Dewi mengabulkan permohonannya tetapi dalam bentuk lingga berupa Barong Landung Lanang-Istri. Kemudian Sang Dewi memerintahkan rakyat Dalem Balingkang untuk membawa kedua lingga tersebut ke Dalem Balingkang dan diberikan anugerah bahwa kedua lingga tersebut bisa memberikan perlindungan dari alam niskala atau memerintah dari alam niskala. Sesampainya di Dalem Balingkang dibuatkanlah upacara agama.

C. Arsitektur Pura Dalem Balingkang

Berdasarkan konsepnya, Pura Dalem Balingkang menerapkan konsep Tri Mandala seperti kebanyakan pura-pura di Bali yang membagi ruang atau mandala menjadi tiga bagian sebagai reflika dari konsep Tri Bhuwana yaitu Bhur Loka atau Nista Mandala, Bwah Loka atau

(14)

14 Madya Mandala, dan Swah Loka atau Utama Mandala. Sehingga sering dikatakan bahwa denah pura adalah perlambang alam semesta atau Bhuwana Agung. Akibatnya penempatan bangunan dalam pura disesuaikan dengan pembagian tersebut di atas, seperti bangunan-bangunan suci di tempatkan di Jeroan dan bangunan-bangunan penunjang di tempatkan di halaman pertama atau Jabaan.

Foto 1, 2, dan 3

(15)

15

IV.2 Diskusi

 Kedudukan Pura Dalem Balingkang dalam Historiografi Masa Bali Kuno

Mengkaji kedudukan Pura Dalem Balingkang dalam lapisan atau layer sejarah kebudayaan Bali khususnya peta perkembangan arsitektur-arkeologi tidak hanya dapat dikaji dalam satu perspektif baik secara ‘diakronik” pada perubahan arsitektur-arkeologi dalam waktu yang panjang maupun secara “sinkronik” pada perubahan ruang waktu tertentu. Kajian secara komprehensif dan terintegrasi ditujukan untuk mendapatkan hasil mendekati kebenaran ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Jika kita merunut efigrafi secara detail seperti ditunjukkan Tabel 1 diatas, dalam perspektif “Kerajaan dan Dinasti Penguasa” di Masa Bali Kuno maka kedudukan Pura Dalem Balingkang dalam perspektif arsitektur-arkeologi dapat dinyatakan berdiri di era Kerajaan Warmadewa dengan rajanya Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus yang memerintah dari tahun 1099-1103 Saka atau dari tahun 1178-1181 Masehi.

Lebih lanjut, jika kita menelaah “Purana, Mitos Masyarakat Sekitar dan Kakawin Barong Landung” tentang Pura Dalem Balingkang ada kesamaan isi bahwa keraton atau istana Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus pada awalnya terletak di Bukit Panarajon, akan tetapi karena hancur akibat kutukan Bhagawantha Mpu Siwa Gandhu berupa bencana yang menghancurkan istananya, kemudian paduka raja mengungsi ke tengah hutan dan akhirnya sampailah di Kuta Dalem Jong Les. Pada tempat yang juga dikenal dengan nama Dharma Anyar inilah Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus membangun istananya dan saat ini hanya menyisakan bagian tempat suci yang dikenal dengan nama Pura Dalem Balingkang.

Perkembangan Pura Dalem Balingkang dalam perspektif Arsitektur-Arkeologi

Masa Bali Kuno

Berdasarkan “Tata Ruang Kawasan Pura Dalem Balingkang”, khususnya “Kawasan Gunung Batur, Kintamani” maka dapat ditemukan sesuatu hal yang menarik dalam konteks “orientasi atau arah” terkait dengan “pemujaan” karena status “Dalem Balingkang” saat ini sebagai sebuah “Pura”. Kedudukan Pura Dalem Balingkang menunjukkan orientasi atau arah hadap ke Pura Pucak Penulisan, sepertinya perletakan pura menerapkan konsep Hulu-Teben karena tidak berorientasi ke Timur ke arah Gunung Agung (3142 mdpl) yang memiliki ketinggian lebih dari Gunung Penulisan (1745 mdpl) di arah Barat dari Pura Dalem Balingkang seperti terlihat pada Gambar 1. Orientasi atau arah hadap Pura Dalem Balingkang ke Pura Pucak Penulisan dapat memberikan jawaban bahwa ada kemungkinan selain mengikuti Konsep Hulu-Teben, perletakan itu juga ada kemungkinan memberi petanda jika keraton atau

(16)

16 istana awal Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus terletak di Bukit Panarajon, khususnya di sekitar Pura Pucak Penulisan saat ini.

\

Gambar 1. Posisi Pura Dalem Balingkang di dalam Kawasan Gunug Batur

Gambar 2. Pura Dalem Balingkang

(17)

17 Lebih lanjut, jika ditinjau dari “Tata Letak Mandala Pura Dalem Balingkang” menerapkan konsep Tri Mandala seperti kebanyakan pura-pura di Bali yang membagi ruang atau mandala menjadi tiga bagian sebagai representasi dari konsep Tri Bhuwana yaitu Bhur Loka atau Nista Mandala, Bwah Loka atau Madya Mandala, dan Swah Loka atau Utama Mandala. Tata Letak Mandala Pura Dalem Balingkang terbagi dalam 3 Mandala dan karena arah hadap atau orientasi ke Barat maka Utama Mandala berada di bagian Barat, Madya Mandala di bagian tengah dan Nista Mandala berada di bagian Timur.

Selanjutnya, “Tata Bangunan disetiap Mandala dari Pura Dalem Balingkang” dapat dinyatakan bahwa penempatan bangunan disetiap Mandala telah disesuaikan dengan konsep Tata Nilai Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Nista. Bangunan (pelinggih) suci atau sakral ditempatkan di Utama Mandala (Jeroan) dan bangunan yang bersifat semi sakral ditempatkan di Madya Mandala (Jaba Tengah), serta bangunan penunjang yang bersifat publik/profane diletakkan di Nista Mandala (Jaba Sisi). Tabel 2. dibawah ini menunjukkan pembagian kelompok bangunan/pelinggih berdasarkan Tata Nilai Tri Mandala-nya.

Nista Mandala

Utama Mandala

Madya Mandala

Ratu Ayu Subandar

(18)

18 Tabel 2. Tata Bangunan dalam setiap Mandala dari Pura Dalem Balingkang

No Utama Mandala Madya Mandala Nista Mandala

1 Tepasana sthana Bhatari Prethiwi Pesimpangan Dalem Tarukan a-b Pelinggih Apit Lawang 2 Meru tumpang 11 sthana Sang

Hyang Pasupati

Palinggih Dukuh Sakti, bangunan yang ada meliputi: a. Palinggih Dukuh Sakti b. Piasan

a-b Pelinggih Pasesanjan

3 Meru tumpang 9 sthana Dewata Nawasanga

Pengaruman Agung A. Pohon Beringin 4 Gedong, Pajenangan Bhatara

Dalem Balingkang

Gedong Simpen B. Pura Bujangga: - Padmasana - Gedong tumpang 3

beruangan 2 pejenengan Bhujangga

- Bale Piasan 5 Meru tumpang 7 sthana Sang

Hyang Sapta Rsi

Jro Kawanan, terdiri atas beberapa pelinggih dan bangunan, yaitu :

a. Kemulan rong 3 stana Hyang Tri Murti

b. Padmasari

c. Meru Tumpang 2 sthana Bhatara Sri-Sedana d. Gedong Pajenengan e. Bale Piasan f. Bale Piasan

C. Jro Kanginan:

- Meru tumpang 3 sthana Tri Murti

- Padmasari - Gedong Sari - Pelinggih Panca Rsi - Piasan

- Piasan - Panggungan

6 Meru tumpang 5 sthana Bhatara Wisnu

Bale Pebat D. Pura Tangguntiti: - Pelinggih Ratu Ngurah

Tangguntiti - Palinggih Ratu Mas

Melanting - Piasan - Panggungan - Palinggih Ratu Gde

Penyarikan 7 Meru tumpang 3 sthana Bhatari

Tri Purusa

Bale Pecalang E. Pangayangan SangHyang Saraswati:

- Padmasari - Gedong - Bebaturan 8 Meru tumpang 2 sthana Bhatari

Sri dan Bhatari Sedana

Bale Pecalang 9 Bale Tajuk/Piasan Bale Pebat 10 Bale Tajuk/Piasan Bale Pebat 11 Bale Tajuk/Piasan Bale Pecalang 12 Bale Tajuk/Piasan Bale Gong 13 Bale Tajuk/Piasan Bale Gong 14 Bale Tajuk/Piasan Bale Gong

15 Bale Tajuk/Piasan Pelinggih Ratu Ayu Subandar 16 Bale Tajuk/Piasan Bale Gong

17 Sanggar Agung rong 3 sthana

Śiwa, Sadaśiwa, Paramaśiwa Perantenan Suci 18 Manjangan Saluwang sthana

Panca Rsi

Bale Keduluan 19 Bale Mundar-Mandir linggih

Pacalang

Bale Kulkul 20 Bale Mundar-Mandir linggih

Pacalang

a. Cangapit b. Cangapit

(19)

19

21 Bale Mas saka 28 Candi Bentar

22 Sanggar Agung rong 3 sthana Śiwa, Sadaśiwa, Paramaśiwa 23 Bale Slaka saka 16

24 Gedong Sari/Lumbung Suci 25 Gedong Panghulun Bale Agung 26 Bale Agung saka 24

27 Bale Agung saka 20 28 Bale Agung saka 12 29 Bale Agung saka 16 30 a-b Candi Bentar

Sumber : Purana Pura Dalem Balingkang (2009)

Berdasarkan Tabel (2) diatas, dijumpai sesuatu yang menarik untuk dikaji tentang keberadaan Pelinggih Ratu Ayu Subandar berupa satu compound yang terdiri dari beberapa bangunan yang terletak pada Madya Mandala. Letak Pelinggih Ratu Ayu Subandar di Madya Mandala ini menjadi menarik jika dibandingkan dengan pura-pura lain, seperti: Pelinggih Ratu Ayu Subandar di Pura Ulun Danu Batur terletak di Utama Mandala dan begitu juga dengan Pelinggih Ratu Ayu Subandar di Pura Penataran Agung Besakih terdapat di teras IV dari enam tingkatan teras yang ada atau dapat dikatakan terletak di Utama Mandala. Apakah mungkin perletakan Pelinggih Ratu Ayu Subandar di Madya Mandala Pura Dalem Balingkang ada kaitannya dengan kedudukan manusia yang telah wafat dan di-lingga-kan serta pemujaan berdasarkan Ajaran Hindu Siwa?

 Akulturasi Budaya Bali dan Cina pada Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali Akulturasi Budaya Bali dan Cina secara tak benda/niragawi/intagible ditunjukkan adanya hubungan antara Siwa dan Buddha, perkawinan Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan Kang Cing We juga merepresentasikan Rwa Bhinneda yaitu dua unsur berbeda yang saling membutuhkan untuk mewujudkan kehidupan yaitu unsur Purusha atau Lingga dan Pradhana atau Yoni. Kemudian, diceritakan bahwa pada saat upacara pernikahan putrinya Kang Cing We berlalu, I Subandar mempersembahkan dua keping uang kepeng atau pis bolong untuk bekal putrinya mengabdi kepada baginda raja, dikemudian hari agar baginda raja menganugerahkan dua keping uang kepeng tersebut kepada rakyat beliau yang ada di seluruh Pulau Bali, sebagai sarana upacara yajña atau kurban. Pada akhirnya, Sri Maharaja Haji Jayapangus dengan Kang Cing We diwujudkan juga dalam bentuk Lingga berupa Barong Landung Lanang dan Istri.

Menurut sudut pandang benda/ragawi/tangible arsitektur-arkeologi tentu akulturasi budaya Bali dan Cina terlihat dari adanya Pelinggih Ida Ratu Ayu Subandar di Madya Mandala Pura Dalem Balingkang, dalam bentuk arsitektur akulturasi arsitektur tradisional Bali dan asristektur Cina.

(20)

20

V. Kesimpulan dan Rekomendasi

V.1. Kesimpulan

Pura Dalem Balingkang dalam perspektif hsitoriografi didirikan pada Masa Bali Kuno di era Kerajaan Warmadewa dengan rajanya Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus yang memerintah dari tahun 1099-1103 Saka atau dari tahun 1178-1181 Masehi.

Berdasarkan kajian arsitektur-arkeologi Pura Dalem Balingkang, dapat dinyatakan bahwa: (1) “Tata Ruang Kawasan Pura Dalem Balingkang”, menerapkan konsep Hulu-Teben yang ditunjukkan orientasi atau arah hadap ke Pura Pucak Penulisan; (2) “Tata Letak Mandala Pura Dalem Balingkang” menerapkan konsep Tri Bhuana; dan (3) “Tata Bangunan disetiap Mandala dari Pura Dalem Balingkang” ditempatkan sesuai konsep Tata Nilai Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Nista.

Akulturasi Budaya Bali dan Cina pada Pura Dalem Balingkang, Kintamani-Bali dari sudut pandang benda/ragawi atau tangible terlihat dari adanya Pelinggih Ida Ratu Ayu Subandar di Madya Mandala Pura Dalem Balingkang dan disisi lain secara tak benda/niragawi atau intagible direpresentasikan dengan adanya : (1) hubungan erat antara Siwa dan Buddha sebagai simbol Rwa Bhinneda dan Purusha-Pradhana; (2) persembahan dua keping uang kepeng atau pis bolong dalam upacara Yadnya; serta (3) bentuk Lingga berupa Barong Landung Lanang dan Istri.

V.2. Rekomendasi

Penelusuran data yang bersumber baik dari naskah tertulis maupun tutur masa lalu tidak tertulis serta penelitian akademik tentang “Akulturasi Budaya Bali dan Cina” dari berbagai aspek mesti dilakukan secara berkesinambungan untuk mendapatkan hasil terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada generasi lalu, kini dan kedepan.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih banyak kami haturkan khususnya kepada Paiketan Krama Bali dan Organisasi Persatuan Tionghoa-Bali serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Pustaka Acuan

[1] Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, A.A. Bagus Wirawan, Sejarah Bali – Dari Prasejarah Hingga Modern, Denpasar: Udayana University Press, 2013.

(21)

21 [2] Ardika, I Wayan, N.L. Sutjiati Beratha, Perajin Pada Masa Bali Kuno, Denpasar: Udayana

University Press, 2015.

[3] Coedes, George, Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (Terjemahan), Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2010.

[4] Cotterell, Arthur, A History of Southeast Asia, Singapore : Marshall Cavendish Edtions, 2014.

[5] Dinas Kebudayaan Bali, Kuturan Tatwa, Denpasar, 2002.

[6] Dinas Kebudayaan Bali, Terjemahan Prasasti-prasasti Bali Abad XII Ke Dalam Bahasa Indonesia, Denpasar, 2008

[7] Dinas Kebudayaan Bali, Purana Pura Dalem Balingkang – Alih Aksara dan Terjemahan, Denpasar, 2009.

[8] Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

[9] Groat, Linda, David Wang, Architectural Research Methods, Canada: John Wiley & Sons, 2002.

[10] Munoz, Paul Michel, Early Kingdoms of the Indonesia Archipelago and the Malay Peninsula, Singapore: Editions Didier Millet Pte. Ltd, 2006.

[11] Pemerintah Kabupaten Gianyar, IHDN Denpasar, Penelusuran Sejarah Sri Maharaja Haji Jayapangus, Denpasar: Pustaka Manikgeni, 2015.

[12] Sidemen, Ida Bagus, Nilai Historis Uang Kepeng, Denpasar: Larasan-Sejarah, 2002. [13] Wiguna, I Gusti Ngurah Tara (edit), Seni Kerajinan Masa Bali Kuna, Denpasar: Balai

Arkeologi Denpasar, 2007.

[14] Yudoseputro, Wiyoso, Historiografi Seni Indonesia – Sejarah Pemikiran Terwujudnya Sejarah Seni Rupa Indonesia, Bandung: Penerbit ITB, 2005.

Gambar

Tabel 1. Dinasti dan Prasasti terkait Arsitektur
Gambar 1. Posisi Pura Dalem Balingkang di dalam Kawasan Gunug Batur
Gambar 2. Denah Pura Dalem Balingkang

Referensi

Dokumen terkait