i
KONSTRUKSI MAQASID SYARIAH DALAM RELASI
NALAR FIKIH DAN TASAWUF
Studi Pemikiran Abd. Wahab Asy-Sya’rani
Disusun oleh: Mohammad Nurun Nada
NIM:
17200010172
TESIS
Diajukan Kepada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister of art (MA)
Program Studi Interdiciplinary Islamic Studies
Kosentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2019
vi
ABSTRAK
Dominasi nalar fikih, maupun tasawuf berpengaruh terhadap tereduksinya konsep syariat. Hal ini berimplikasi terhadap terkonstruksinya maqāṣid syarīah pada salah satu aspek tersebut. Dalam konteks inilah Abd. Wahab asy-Sya‟rani mewacanakan relasi antara nalar fikih dan tasawuf, serta mengkonstruksi maqāṣid
syarīah pada relasi nalar fikih dan tasawuf secara metodologis. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf, serta pemetaan maqāṣid syarīah menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani. Maka penulis menggunakan, turaṣ analysis, yang secara operasional meliputi tiga tahap, yakni: pendekatan strukturalis, analisis historis dan kritik ideologi.
Adapun hasilnya, relasi antara nalar fikih dan tasawuf secara metodologis terletak pada konstruksi wacana mīzān. Konsep mīzān meniscayakan adanya relasi nas, analitis dan mukāsyafah pada tataran sumber dan validitas, metode, subjek dan objek syariat. Relasi ini termanifestasi pada beberapa fungsi, yakni: fungsi moderat, pemersatu/ketersambungan, dan klarifikatif.
Adapun pemetaan Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani dapat dipetakan menjadi dua, yakni
Maqāṣid asy-Syarī’ah pada tataran ṡawābit (gāyah) dan mutaḥawwilah (wasāil). Maqāṣid asy-Syarī’ah pada tataran ṡawābit dipetakan menjadi 2, yakni: ad-du’āfā’ dengan tujuan ma’rifat rahmah Allah (mengenal kasih sayang Allah),
sedangkan al-Aqwiyā’ dengan tujuan ma‟rifat Allah. Adapun maqāṣid pada tataran wasāil dipetakan menjadi tiga, yakni: Wasāṭiyyah, Ittiṣāliyyah, serta
Istiqrāiyyah bi al-Manāhij at-Ta’āwwuniyah.
vii
PEDOMAN TRANSLASI ARAB –LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama Ri Dan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Ri Nomor 158/1987 Dan 0543b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1998.
A. Konsonan Tunggal Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
ا Alif Tidak
dilambangkan Tidak dilambangkan
ة ba‟ B Be
ث ta‟ T Te
ث ṡa‟ ṡ es (dengan titik di atas)
ج jim J Je
ح ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah)
خ kha Kh ka dan ha
د dal D De
ذ żal Ż zet (dengan titik di atas)
ر ra‟ R Er
ز zai Z Zet
ش sin S Es
ش syin Sy es dan ye
ص ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)
ض ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)
ط ṭa‟ ṭ te (dengan titik di bawah)
ظ ẓa‟ ẓ zet (dengan titik di bawah)
ع „ain „ koma terbalik di atas
غ gain G Ge ف fa‟ F Ef ق qaf Q Qi ك kaf K Ka ل lam L „el و mim M „em ٌ nun N „en و wawu W We ِ ha‟ H Ha ء hamzah „ Apostrof ي ya‟ Y Ye
viii
B. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
ٍيدقعتي ةدع Ditulis Ditulis muta‟addidīn „iddah C. Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h تبْ تيسج Ditulis Ditulis Hibbah jizyah
(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam bahasa indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.
ءبينولاا ّيارك Ditulis karāmah al-auliyā‟
2. Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harokat, fathah, kasrah, dan dammah ditulis t.
رطفناةبكز Ditulis zakātul fiṭri
D. Vokal Pendek Fathah A Kasrah I Damah U E. Vokal Panjang fathah + alif تيهْبج fathah + ya‟ mati
ىعسي kasrah + ya‟ mati
ىيرك
dammah + wawu mati
ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis A jāhiliyyah a yas‟ā ī karīm u furūd
ix
F. Vokal Rangkap
fathah + ya‟ mati ىكُيب
fathah + wawu mati لوق ditulis ditulis ditulis ditulis Ai bainakum au qaulukum
G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata dipisahkan dengan Apostrof
ىتَأأ ثدعأ ىتركش ٍئن ditulis ditulis ditulis a antum u idat la in syakartum
H. Kata Sandang Alif + Lam
1. Bila diikuti huruf qamariyah ٌارقنا شبيقنا ditulis ditulis al- ura ān al- iyās
2. Bila diikuti huruf syamsiah ditulis dengan menggandakan huruf syamsiyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf l (el)-nya.
ءبًسنا صًشنا Ditulis ditulis as-Samā asy-Syams
I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat
ضورفنا يوذ تُسنا مْأ Ditulis ditulis ẓawī al-furūd ahl al-sunnah
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penelitian tesis ini selesai dengan segala kasih sayang Allah. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Magister of Art (M.A.) pada Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik (KMAS), Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan baik materil, moril, dari berbagai pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu. Meskipun demikian, ada bebarapa pihak yang harus saya sebut namanya. Selain besarnya jasa mereka, juga sudah mewarnai perjalan intelektual saya selama menempuh perkuliahan di Kajian Maqasid dan Analisis Strategik secara khusus, di Yogyakarta secara umum.
1. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag. selaku dosen pembimbing tesis yang telah mencurahkan ilmu, dan meluangkan waktu untuk memberikan arahan untuk menyelesaikan tesis ini. Begitu juga, kepada Bapak Prof. Dr. K.H. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., selaku rektor UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta dan sumber inspirasi Bapak Prof. Noorhaidi, M.A, M.Phil., Ph,D. selaku dekan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta.
2. Segenap keluarga, Bapak Nor Rohmad (alm) dan Ibunda Masri‟ah. Muyassarotul Maisyah tercinta, Naja Syaqi Rabbi Muhammad, Mohammad Lami‟ Najmulkasysyaf, sikecil yang dinantikan kehadirannya, serta keluarga yang tidak lelah-lelahnya mendukung dari banyak aspek. Begitu pula keluarga
xi
Language academic yang selalu mendukung proses pendidikan dari Kajen
(Pati)-Yogyakarta yang ditempuh setiap minggu akhirnya dapat diselesaikan walaupun dengan tertatih-tatih.
3. Sahabat Kajian Maqasid dan Analisis Sterategik (KMAS) keluarga kedua diperantauan. Kemudian keluarga Ma‟had Aly Pesantren Maslakul Huda, Pesantren Barokatul Ulum dan Madrasah Miftahul Huda Tayu Pati.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala saran dan masukan menjadi amal kebaikan di sisi Allah SWT. Semoga karya penulis ini dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat memperluas wawasan Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Yogyakarta, 28 Agustus 2019 Peneliti
Mohammad Nurun Nada, S.Pd.I. 17200010101
xii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... ... i
Halaman Pernyataan Keaslian ... ii
Pernyataan Bebas Plagiasi ... iii
Nota Dinas Pembimbing ... iv
Pengesahan Direktur ... v
Abstrak ... vi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin ... vii
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xii
Daftar Gambar ... xvi
BAB I: PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 7 C. Tujuan Penelitian... 7 D. Manfaat Penelitian... 7 E. Tinjauan Pustaka ... 8 F. Kerangka Teori ... 14 G. Metodologi Penelitian ... 23 H. Sistematika Penelitian ... 25
BAB II: NALAR FIKIH, TASAWUF DAN MAQĀṢID SYARĪ’AH ... 27
A. Nalar Fikih... 27
1. Hakikat Fikih ... 33
2. Sumber dan Validitas Fikih ... 35
xiii
4. Subjek Fikih ... 41
5. Objek Fikih ... 41
B. Nalar Tasawuf ... 42
1. Hakikat Tasawuf ... 43
2. Sumber dan Validitas Tasawuf ... 49
3. Metode Tasawuf ... 50
4. Subjek Tasawuf ... 51
5. Objek Tasawuf ... 52
C. Nalar Maqāṣid Syarī’ah ... 52
1. Hakikat Maqāṣid Syarī’ah ... 55
2. Sumber dan Validitas Maqāṣid Syarī’ah ... 61
3. Metode Maqāṣid Syarī’ah ... 64
4. Subjek Maqāṣid Syarī’ah ... 70
5. Objek Maqāṣid Syarī’ah ... 70
BAB III: KONSTRUKSI MAQĀṢID SYARĪ’AH ABD. WAHAB ASY-SYA’RANI SECARA METODOLOGI ... 72
A. Biografi Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 72
1. Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 72
2. Pendidikan Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 73
3. Historisitas Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 76
4. Karya-Karya Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 80
B. Nalar Fikih Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 87
xiv
2. Sumber dan Validitas Fikih ... 91
3. Metode Fikih ... 93
4. Subjek Fikih ... 96
5. Objek Fikih ... 96
C. Nalar Tasawuf Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 97
1. Hakikat Tasawuf ... 98
2. Sumber dan Validitas Tasawuf ... 99
3. Metode Tasawuf ... 101
4. Subjek Tasawuf ... 104
5. Objek Tasawuf ... 105
D. Nalar Maqāṣid Syarī’ah Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 105
1. Hakikat Maqāṣid Syarī’ah ... 108
2. Sumber dan Validitas Maqāṣid Syarī’ah ... 111
3. Metode Maqāṣid Syarī’ah ... 113
4. Subjek Maqāṣid Syarī’ah ... 117
5. Objek Maqāṣid Syarī’ah ... 118
BAB IV: MAQĀṢID SYARĪ’AH DALAM KONSTRUKSI RELASI NALAR FIKIH DAN TASAWUF STUDI ANALISIS PEMIKIRAN ABD. WAHAB ASY-SYA’RANI ... 120
A. Konstruksi Relasi Nalar Fikih dan Tasawuf Menurut Perspektif Abd. Wahab asy-Sya‟rani ... 120
1. Pendekatan Strukturalis ... 122
xv
3. Kritik Idiologis ... 137
B. Maqāṣid asy-Syarī’ah Dalam Relasi Nalar Fikih dan Tasawuf Menurut Abd. Wahab asy-Sya’rani. ... 142
BAB V: KESIMPULAN ... 152
A. Kesimpulan ... 152
B. Saran... 151
DAFTAR PUSTAKA ... 154
xvi
DAFTAR GAMBAR
NO KETERANGAN HAL
01 Kerangka teoritik 23
02 Relasi antar mazhab menurut asy-Sya‟rani 91
03 Analogi relasi antar aqwāl fukaha 108
04 Pemetaan maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf perspektif asy-Sya‟rani
147
05 Maqāṣid ṡawābit dalam maqāṣid asy-Syarī’ah menurut Abd.
Wahab asy-Sya‟rani
149
06 Maqāṣid wasāil dalam maqāṣid asy-Syarī’ah relasi nalar fikih dan tasawuf menurut asy-Sya‟rani.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diskursus syarī’at (syariat) selalu terkait dalam relasi fikih maupun tasawuf. Keterkaitan ini, antara lain dapat ditinjau dari definisi fakih (ahli hukum Islam). Hasan al-Basri mendefinisikan fakīh sebagai pakar ilmu syariat yang mempunyai kualifikasi zuhud, kebersihan hati, mengetahui hal yang disukai dan dibenci oleh Allah, serta senantiasa menebarkan hikmah dari Allah.1 Bahkan kualifikasi fakih banyak disandang oleh orang-orang yang terkenal dengan kesufiannya, diantaranya adalah Sufyan at-Tsauri dan Hasan al-Basri,2 sehingga otoritas seorang fakih selalu berelevansi dengan aspek sufistik.
Relasi tersebut juga dapat dipahami dari paparan Atha bahwa, secara substantif tasawuf berisi sesuatu yang menjaga syariat, memperindah pekerti, serta menggapai kehendak Allah.3 Sedangkan fikih merupakan aktualisasi secara konkrit dari syariat, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.4 Oleh karena itu, Zakariya al-Anshari5 mendefinisikan tasawuf
1
Ihsan Muhammad Dahlan, Sirāj aṭ-Ṭālibīn, (Bairut: Dar al-Fikr, t.,th), juz.1, 5.
2
Abd. Kadir Riyadi, Arkeologi Tasawuf, (Bandung: Mīzān, 2016), 21-22.
3 Abd al-Qadir Ahmad Atha, at-Tasawwuf al-Islamī, (Beirut: Dar al-Jail, 1987), 7. 4 Muhammad bin Ahmad as-Syathiry, Syarh al-yaqūt an-Nafīs, (Pakis:Dar al-Hawi,
1997), 78.
5
Kualifikasi zakariya al-Anshari sebagai seorang fakih serta sufi dibuktikan dengan beberapa kitab fikih maupun usul fikih karangnya, menjadi kitab primer dalam kajian fikih syafii, seperti: fath al-Wahab, at-Tahrir, ghayah al-Wushul dan sebagainya. Demikian pula dalam hal tasawuf seperti kitabnya yang menjadi syarah (komentar) terhadap kitab al-hikam Ibn Athaillah.
2
sebagai perbuatan hati dan anggota tubuh (jawārih).6 Keterkaitan antara tasawuf dan fikih dalam merealisasikan syariat secara tahqīq (riil) merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Menurut an-Nawawi, mengutip al-Ghazali bahwa, bersyariat yang hanya berlandaskan dengan fikih tanpa tasawuf adalah kefasikan, sedangkan bersyariat yang hanya melakukan tasawuf tanpa melaksanakan fikih adalah kekafiran.7 Relasi ini dianalogikan bagaikan kulit/ aspek luar (qasyrun) dan inti (lubb). Untuk sampai pada inti terlebih dahulu perlu melewati aspek luarnya, sehingga penggapaian pada tataran inti dengan meninggalkan aspek luar, merupakan bentuk kemunkaran, demikian pula berfikih tanpa tasawuf adalah kesia-siaan.8
Relevansi antara fikih dan tasawuf dalam tataran praktis antara lain tercermin dari paparan Ghazali yang menganjurkan untuk mensucikan anggota tubuh yang sudah terpisah dari tubuh dalam hal mandi jinabat.9 Abd. Wahab asy-Sya‟rani bahkan memaparkan dalam melakukan hukum syariat seorang mukallaf perlu mendapatkan bimbingan seorang mursyid yang memahami inti syariat serta karakter mukallaf melalui mukāsyafah. Hal ini karena setiap pengamalan hukum
6 Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh, Ṭarīqah al-Huṣūl ‘Alā Gāyah al-Wuṣūl, (Pati:
Masda Grafika, 2012), 64.
7
Muhammad an-Nawawi al-Jawi, Murāqī al-‘Ubūdiyah, (Bairut:dar al-Kutub al-Ilmiah, t, th), 11.
8 Ibid., 10.
9 Menurut al-Ghazaly anggota tubuh yang terpisah dari tubuh seseorang yang berhadas
besar harus tetap dibasuh, karena menurut mukasyafahnya, anggota tubuh yang sudah terlepas sebelum disucikan, akan dihisab dalam keadaan berhadas, sehingga akan menuntut pertanggung jawaban untuk disucikan dikahirat. Maka menurutnya harus tetap disucikan. Berbeda dengan fikih yang didasarkan hanya pada aspek ushul fikih. Lihat. Abd al-Hmid asy-Syarwany dan Ahmad bin Qasim al-Ubady, Hawasyī as-Syarwanī wa al_’Ubadī, (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.) Juz. 1, 301.
3
syariat berdampak pada kualitas spiritual mukallaf, sehingga pemilihan hukum selayaknya sesuai dengan kualitas pelaku/ mukallaf.10
Akan tetapi, pada perkembangannya, terjadi pemisahan konstruksi syariat dalam relasi antara konstruksi fikih yang mengarah pada tataran eksoterisme, dan tasawuf pada tataran esoterisme.11 Hal ini secara tidak langsung berimplikasi terhadap pereduksian atas konstruksi Maqāṣid asy-Syarī’ah yang terkonstruksi oleh salah satu term tersebut. Konstruksi Maqāṣid asy-Syarī’ah yang hanya didasari oleh nalar fikih antara lain terlihat dari beberapa hal, yakni: Pertama, pemetaan maslahat dalam Maqāṣid asy-Syarī’ahmelalui parameter dalil hukum fikih.12 Kedua, otoritas penilaian maslahat dalam Maqāṣid asy-Syarī’ah menjadi otoritas para fukaha.13 Ketiga, penelusuran tujuan syariat diantaranya menggunakan logika ilat, yang notabennya merupakan sumber hukum fikih,14 baik secara langsung (li ẓātihi) maupun tidak langsung (li goirihī).15
10 Abd al-Wahab as-Sya‟rani, Mīzān al-Kubrā, tahkik: Abd ar-Rahman Umairah, (Beirut: Alim
al-Kutub, 1989), 62.
11 Pemisahan pada tataran syariat ini antara lain karena adanya anggapan fikih lebih mengarah
pada tataran eksoterisme, sedangkan tasawuf pada tataran esoterisme. Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), 256.
12 Maslahat dalam konteks usul fikih terbagi menjadi 3 yakni: qath‟iyah, dhanniyah dan
wahmiyah. Lihat Wahbah Zuhaily, Uṣūl al- Fiqh al-Islamī, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), Juz 2, 1029.
13
Parameter fuqaha’ inilah yang kemudian membagi mashlahah menjadi 3 yakni: Pertama, mashlahah mu‟tabarah: mashlahah yang sesuai dengan syariat dan terdapat pembenarannya dalam sumber hukum. Kedua, mashlahah mulghah: mashlahah yang bertentangan dengan nas hukum.
Ketiga, mashlahah mursalah: mashlahah yang tidak di temukan pembenaran nasnya akan tetapi
sejalan dengan nas. Lihat: Wahbah Zuhaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islamī, 754.
14 Ilal al-Fasy, Maqāṣid as- Syarī’ah Wa Makārimuhā, (Kairo: Dar as-Salam, 2013), 111. 15 Pembentukan hukum li ẓātihi seperti hukum haram mengkonsumsi minuman keras.
Keharaman tersebut karena terdapat ‘illah al-muskīr (memabukkan) bertentang dengan maqāṣid
syarī’ah yang berupa hifḍ al-‘Aql, sehingga segala hal yang bertentangan dengan maqāṣid syarī’ah
hukumnya terlarang. Adapun pembentukan li ghoirihi seperti halnya hukum poligami. Poligami yang hukum asalnya boleh bisa berubah menjadi haram, apabila memunculkan konsekwensi dampak yang bertentangan dengan maqashid syar‟iyah dalam pernikahan, seperti mengakibatkan
4
Adapun konstruksi maqāṣid syarī’ah yang hanya didasari oleh perspektif sufistik antara lain adalah: Pertama, penggunaan nalar sufi dalam memahami substansi maqāṣid syarī’ah, yakni wuṣūl pada Allah melalui pendekatan
riyāḍah.16
Kedua, stratifikasi tujuan syariat, sesuai dengan kapasitas maupun stratifikasi mukallaf,17 Ketiga, parameter maslahat yang lebih mengedepankan maslahat akhirat melalui validasi mukāsyafah dari ‘ārifīn, auliya maupun orang-orang yang mempunyai hati yang bersih.18
Kontradiksi tersebut menurut penulis dikarenakan tidak adanya relasi nalar yang berbasis pada fikih maupun tasawuf dalam konstruksi Maqāṣid
asy-Syarī’ah.19 Adapun solusi atas polarisasi dalam konstruksi Maqāṣid
asy-Syarī’ahadalah merelevansikan, serta mengkonstruksi Maqāṣid asy-Syarī’ahberasaskan nalar fikih dan tasawuf.20
Maka, peneliti menganalisis
madharat bagi istri. Lihat: Michael R Feener, Muslim Legal Thought in Modern Indonesia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 219.
16
Maqaṣid sufistik (tujuan tasawuf) adalah wuṣūl kepada Allah. Abd. Wahab as-Sya‟rani, Mīzan al-Kubrā, (Surabaya: al-Hidayah, t. th.), 25.
17 Hal ini pula, yang mendasari al-Ghazali memetakan pengamal syariat menjadi 3 yaitu:
„awam, khawāṣ dan khawāṣ al-khawāṣ. Lihat: Abu Hamid al-Ghazali, Iḥyā’ ‘Ulūmuddīn, (Semarang: Thaha Putra, t.th.), Juz. 1, 48.
18 Abd al-Wahab as-Sya‟rani, Mīzan al-Kubrā, tahkik: Abd ar-Rahman Umairah, (Beirut:
Alim al-Kutub, 1989), Juz. 1, 12.
19
Nalar fikih bersifar empiris lihat. Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybāh wa an-Naḍāir, Surabaya:Hidayah, t. th.), 106. Sedangkan tasawuf bersifat intuitif. Lihat. Abu Hamid al-Ghazaly, al-Kasyf Wa at-Tabyīn, (Surabaya:al-Hidayah, t, th), 27.
20 Hal ini senada dengan Abu Bakar Bin Abdurrahman as-Saqaf yang mengungkapkan
diantara ilmu yang harus dikuasasi oleh mujtahid adalah: ilmu al-mauhubah, yakni pengetahuan yang langsung diperoleh dari Allah. Ini mengindikasikan untuk dapat mengkonstruksi syariat seorang mujtahid dituntut mempunyai ilmu istinbaṭ naṣ serta ilmu yang didapat melalui proses
suluk. Lihat: Abu Bakar Bin Abdurrahman as-Saqaf, Sab’ah Kutub Mufīdah, (Surabaya:
5
pemikiran Abd. Wahab asy-Sya‟rani sebagai pakar fikih serta sufi,21 yang merelasikan keduanya, serta mengkonstruksinya dalam bangunan syarī’ah.
Abd. Wahab asy-Sya‟rani menawarkan pendekatan yang berbeda dari para pendahulunya, baik para fukaha maupun para sufi. Hal ini antara lain tercermin dalam perspetif hukum yang membenarkan semua pendapat dalam perbedaan pandangan diantara para fukaha, baik satu mazhab, maupun antar mazhab, dalam diskursus hukum fikih.22 Berbeda dengan an-Nawawy maupun Ramly yang melakukan tarjih diantara beberapa hukum yang dipaparkan oleh para pakar fikih, sehingga terbentuk stratifikasi hukum, baik aṣaḥḥ, ṣaḥīḥ, fāsid dan seterusnya dalam perspektif para fukaha mengenai status hukum pada suatu hal.23 asy-Sya‟rani hanya memetakan pada klasifikasi hukum ringan dan berat, sebagaimana klasifikasi mukallaf, yakni rukhṣah bagi ad-du’afā, dan azīmah bagi aqwiyā’.24 Hal ini didasarkan pada cara pandang asy-Sya‟rani, bahwa setiap hukum yang dilontarkan para fukaha, maupun imam mazhab, seperti ranting dari pohon besar
yang bernama syariat.25 Dengan demikian masing-masing aqwāl ulamā’
menempati posisi yang sama benar.
Pada tataran metodologis, wacana syariat yang digagas oleh asy-Sya‟rani tidak hanya menggunakan pertimbangan aqwāl al-‘Ulamā’ (paparan ulama), serta
21 Abd. al-Hafiz, Abd. Al-Wahab as-Sya’ranī, (Beirut: Dar al-Kurub, 1985), 7. 22
Abd al-Wahab asy-Sya‟rani, Mīzān al-Kubrā, Tahkik: Abd ar-Rahman Umairah, 87.
23
Abi Zakaria Muhyiddin Ibn Syarf an-Nawawi, al-Majmū’syarh al-Muhaẓẓab li
asy-Syairāzī, Tahkik. Muhammad najib al-Muti‟i, (Jeddah: maktabah al-Irsyad), juz 2, 381. 24
Abd. Al-Wahab asy-Sya‟rani, Irsyād aṭ-Ṭālibīn, Tahkik. Ahmad Farid al-Mazidi dan Muhammad Abd. Al-Qadir Nassar, (Mesir: Dar al-Karz, 2006)104.
25
6
instinbat pada tataran istidlāliyah,26 sebagaimana mayoritas para ahli fikih. Akan tetapi juga mengimplementasikan pendekatan mukāsyafah.27 Dalam konteks inilah terdapat originalitas perspektif yang dibangun oleh asy-Sya‟rani dalam diskursus syariat yang berbeda dengan wacana syariat mayoritas yang dikonstruksi oleh para fukaha maupun sufi.
Profesionalitas asy-Sya‟rani dalam dua keilmuan tersebut dapat dilihat melalui tiga aspek yakni: Pertama, pendidikan asy-Sya‟rani. asy-Sya‟rani dididik oleh pakar dua keilmuan tersebut, seperti Zakariya al-Anshari, Jalaluddin as-Suyuthi, Ali al-Khawash, Ibnu Arabi, al-Hallaj, Zunnun Ahmad al-Badawi serta Khidir. Kedua, kepakarannya dalam tataran praktis. asy-Sya‟roni merupakan mufti, mursyid, serta praktisi kemasyarakatan. Posisinya sebagai mufti dituntut memberikan fatwa yang dapat diterima oleh semua kalangan, baik antar mazhab fikih, tasawuf, maupun antar keilmuan yang berbeda.28 Ketiga, karya intelektual. asy-Sya‟rani mempunyai karangan yang menjadi referensi primer dalam konteks fikih maupun tawasuf, seperti Mīzān Kubrā, Anwar Qudsiyah, Lawāqih
al-Anwar dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka penting untuk melakukan kajian terhadap pemikiran asy-Sya‟rani dalam relasi nalar fikih dan tasawuf, serta mengkonstruksinya dalam konstruksi maqāṣid syarī’ah.
26
Istidlāliyah merupakan pendekatan yang mendasarkan perspektif pada logika uṣūl
al-fiqh.
27 Abd. Al-Wahab asy-Sya‟rani, Mīzan al-kubrā,.62.
28 Kekaguman terhadap asy-Sya‟rani tidak hanya dari ulama satu mazhab, akan tetapi
juga dari pemuka mazhab lain, antara lain nasiruddin al-maliki, Syihabuddin Ahmad al-Hanafi dan Sirajuddin.
7
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani?
2. Bagaimanakah Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani.
2. Untuk menemukan pemetaan Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
a. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menemukan relasi nalar fikih dan tasawuf dalam satu kesatuan secara metodologis.
b. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menemukan konstruksi
Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf melalui
perspektif Abd. Wahab asy-Sya‟rani. 2. Secara Praktis
a. Memberikan solusi syariat dalam praktik fikih yang bernuansa tasawuf serta pengalaman tasawuf dalam pola praktik berfikih.
b. Memberikan pemahaman Maqāṣid asy-Syarī’ahdalam praktik fikih yang bernuansa tasawuf.
8
E. Tinjauan Pustaka
Abd. Wahab asy-Sya‟rani merupakan tokoh yang menarik perhatian beberapa peneliti dalam diskursus fikih maupun tasawuf. Hal ini antara lain karena sebagai seorang ulama, asy-Sya‟rani mempunyai kekhasan baik pada tataran fikih maupun tasawuf. Hal ini juga didukung kualifikasi asy-Sya‟rani sebagai sufi dan ahli fikih yang mendapat legitimasi dari para ulama pada zamannya. Akan tetapi beberapa penelitian terhadap asy-Sya‟rani hanya pada diskursus hukum fikih dan tasawuf, serta belum menyentuh ranah maqāṣid syarī‟ah. Adapun tipologi penelitian yang ada, sesuai penelusuran peneliti, meliputi relasi antara fikih dan tasawuf, kompromistik asy-Sya‟rani dalam perbandingan mazhab fikih, serta maslahat yang diusung oleh asy-Sya‟rani. Adapun dalam konstruksi maqāṣid asy-Syarī’ah yang merelasikan nalar fikih dan tasawuf belum dikaji secara khusus. Lebih lengkapnya, beberapa literatur yang mengkaji asy-Sya‟rani adalah sebagai berikut:
Penelitian Miftahul Huda yang meneliti epistemologi tasawuf dalam pemikiran fikih asy-Sya‟rani. Dalam penelitiannya Huda memaparkan pemikiran Sya‟rani dalam epistemologi syariat untuk merespon eksklusifisme dan fanatisme mazhab dalam hukum Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan epistemologis dan analisis historisitas dalam menelusuri perspektif asy-Sya‟rani. Dalam penelitiannya Miftahul Huda berkesimpulan bahwa eksklusifisme dan fanatisme mazhab tidak mempunyai argumentasi yang kuat baik secara keilmuan maupun perspektif sosiologis. Adapun epistemologi fikih asy-Sya‟rani, meliputi:
9
intuisi dalam hukum Islam untuk merealisasikan kemaslahatan umat.29 Perbedaan Penelitian ini dengan penelitian penulis setidaknya dikarenakan tiga hal. Pertama. Miftahul tidak memandang fikih dan tasawuf sebagai relasi yang saling terkait (mutalāzimaīn) kemudian merelasikan secara konkrit relasi tersebut, dalam sebuah konstruksi. Akan tetapi mencoba mengeksplorasi kandungan tasawuf dari fikih as-Sya‟rani. Kedua. Penelitian lebih terfokus pada hukum Islam. Sehingga esensi relasional tasawuf dengan fikih kurang di eksplor secara seimbang. Ketiga. Belum terkontekstualisasikan relasi tasawuf dengan hukum Islam dalam konteks
Maqāṣid asy-Syarī’ah dan hanya merelasikan tasawuf dengan fikih. Dalam
konteks inilah penelitian penulis merupakan sesuatu yang urgen, karena melihat konsep syariat as-Sya‟rani, selayaknya ditempatkan sebagai respon atas pembedaan tasawuf dan fikih kala itu. Maka dalam merelasikannya asy-Sya‟rani juga menempatkan keduanya berdiri secara terpisah, kemudian membuat konsepsi yang mengkaitkan keduanya. Kemudian pada tataran inilah perlu dirumuskan
Maqāṣid asy-Syarī’ah sebagai distingsi atas maqāṣid yang lain.
Penelitian Subaidi yang berjudul Sufi Educational Tenets: Practical Encounters of Sufi Teachings and Educational Curricula.30 Penelitian ini mencoba mendiskrpsikan asy-Sya‟rani dalam relasi praktik sufi dan pendidikan, meliputi: sarana pendidikan, posisi guru dan siswa dalam perspektif as-Sya‟rani. Kemudian metode yang digunakan asy-Sya‟rani dalam pendidikan tasawuf. penelitian ini
29 Miftahul Huda, “Epistemologi Tasawuf dalam Pemikiran Fikih asy-Sya‟rani”, Ulumuna, Vol. XIV, No. 2, (Desember 2010), 249-268.
30 Subaidi, “Sufi Educational Tenets: Practical Encounters of Sufi Teachings and
Educational Curricula”, Teosofia: Indonesia Journal of Islamic Mysticism, No. 1, Vol. 5, ( 2016), 21-34.
10
menggunakan analisis hermenetik dalam memahami makna tekstualitas dalam karya-karya asy-Sya‟rani. Adapun hasil penelitian menunjukkan pendidikan tasawuf asy-Sya‟rani bertujuan untuk meningkatkan karakter dan kesadaran keilahian untuk mencapai ma'rifatullah melalui musyahadah. Guru adalah orang yang membimbing siswa mengenal Allah melalui jalan tertentu. Menurut al-Sya'rani itu disebut mursyid. Sedangkan, siswa, menurut al-al-Sya'rani, disebut sebagai salik. Domain pendidikan yang diteliti Subaidi dalam melihat Sya‟rani, berbeda dengan peneliti yang melihat pada sisi konstruksi maqāṣid. Walaupun ada beberapa hal yang mirip, karena melihat dari unsur sufistiknya, seperti musyahadah yang menjadi tujuan akhir dan perlunya intensitas dalam bimbingan mursyid. Akan tetapi perbedaanya sufi yang terelasi dalam konteks pendidikan tentu berbeda dengan konteks syariat.
Penelitian Khairul Bahri Nasution berjudul metode kompromistik imam Sya‟rani dalam Ta’āruḍ al-Adillah dan implikasinya terhadap ijtihad hukum Islam.31 Dalam penelitiannya, Khairul menggunakan pendekatan historisitas dan
content analysis dalam menelusuri relasi perspektif asy-Sya‟rani dalam karyanya,
dengan hal-hal yang menyelimutinya. Adapun hasilnya, bahwa metode kompromistik asy-Sya‟rani dilakukan pendekatan takhfīf dan tasydīd. Hal ini dilatar belakangi pluralitas pendapat para ulama, sehingga untuk mengakomodir dan mengkompromikan macam-macam pendapat tersebut, kemudian dipetakan pada tataran mukallafnya. Perbedaan penelitian Khairul dengan peneliti, Khairul hanya melihat ranah hukum Islam, serta belum menyentuh aspek sufistik dan
31 Khairul Bahri Nasution, "Kompromistik Imam Sya‟rani dalam Ta‟arudh al-Adillah dan
11
Maqāṣid asy-Syarī’ah. Padahal karakteristik hukum Islam asy-Sya‟rani tidak
dapat dipisahkan dari sisi sufistiknya. Sehingga karakteristik tersebut akan terlihat secara komperhensif, apabila juga melihat nalar sufistiknya. Pada konteks inilah penelitian yang merelasikan nalar tasawuf dan fikih merupakan hal yang kontributif untuk melihat teknik pengkompromian yang dilakukan oleh as-Sya‟rani.
Penelitian Samuel Pagani yang berjudul The meaning of the ikhtilaf
al-madhahib in Abd al-Wahhab al-Sha’rani’s al-Mīzān al-Kubra.32 Dalam tulisannya, Samuel mengeksplorasi pandangan asy-Sya‟rani melalui pendekatan historis kultural. Melalui analisis ini terlihat, urgensitas perspektif sufistik dalam wacana hukum, untuk menengahi perbedaan pola bermazhab. Ini tercermin dalam validasi yang bersifat metafisik dalam merespon perbedaan mazhab, serta menegaskan perspektif perlunya pluralitas dalam bermazhab. Dalam konteks ini terlihat perbedaan tulisan Samuel serta penelitian yang dilakukan penulis, yakni: Pertama. Dalam tulisannya Samual tidak melihat ranah Maqāṣid asy-Syarī’ah, padahal untuk menunjukkan respon asy-Sya‟rani dalam perbedaan mazhab, perlu dirunut dari tujuan asy-Sya‟rani dalam syariat. Kedua. Eksplorasi pandangan sufistik dalam pandangan hukum asy-Sya‟rani belum merunut tipologi sufistiknya, akan tetapi langsung melihat statemen yang sering diulang-ulang oleh asy-Sya‟rani dalam kitab mīzān. Pada konteks inilah penelitian mengenai konstruksi maqaṣid asy-Sya‟rani merupakan hal yang urgen.
32 Samuel Pagani, “The meaning of the ikhtilaf madhahib in Abd Wahhab
12
Penelitian Ahmad Qarib berjudul pluralitas kebenaran Ijtihad, telaah terhadap model perbandingan mazhab fikih versi imam Sya‟rani.33
Penelitian ini mencoba meneliti pendapat asy-Sya‟rani dalam konteks perbandingan mazhab serta kebenarannya. Dalam menganalisis perspektif perbandingan mazhab asy-Sya‟rani, Qarib menggunakan content analysis. Adapun hasilnya, dapat disimpulkan bahwa asy-Sya‟rani berpendapat bahwa selama yang berijtihad adalah mujtahid yang memenuhi syarat, yakni melalui nas, maka hasil ijtihadnya adalah sama benarnya. Sehingga Ahmad Qarib menggolongkan asy-Sya‟rani sebagai ulama muṣawwibīn (ulama yang membenarkan semua pendapat). Hal ini menurut Ahmad Qarib dipicu banyaknya konflik pada waktu itu, sehingga Sya‟rani cenderung mengakomodir mazhab-mazhab tersebut. Kemudian, perbedaan pola bermazhab hanya pada perbedaan substansi hukum, yang didasarkan pada pola mukhaffaf atau musyaddad. Perbedaannya dengan penelitian penulis, Ahmad Qarib lebih memfokuskan pada isu perbandingan mazhab dalam perspektif as-Sya‟rani, sehingga berbeda dengan penelitian penulis yang memfokuskan pada isu Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf. Walaupun terdapat pemetaan takhfīf dan tasydid, akan tetapi Ahmad Qarib tidak sampai pada hasil akhir tujuan pensyariatan menurut asy-Sya‟rani. Sehingga pemetaan tipologi tersebut hanya ditinjau dari sisi sosiologis yang mempengaruhi pemetaan tersebut dan belum menyentuh aspek konstruksi normatif bagaimana logika stratifikasi takhfīf dan tasydid muncul dari relasi nalar
33 Penelitian tersebut, kemudian dibukukan. Lihat. Ahmad Qarib, Pluralitas Kebenaran Ijtihad Telaah Terhadap Model Perbandingan Mazhab Fikih Versi Imam Sya’rani, (Bandung:
13
fikih dan tasawuf yang menjadi domain sekaligus distingsi perspektif sya‟rani dari ulama sebelumnya. Pada konteks inilah urgensitas penelitian Maqāṣid
asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf, karena mencoba mengeksplor
logika dasar dalam perspektif as-Sya‟rani.
Penelitian Abd Hafidh yang berjudul Abd. Wahhāb as-Sya’ranī
al-Imām al-Qarn al-‘Āsyir.34
Dalam penelitiannya Abd Hafidh meneliti sisi maslahat yang diusung oleh asy-Sya‟rani. Penelitian ini menggunakan pendekatan historisitas dalam merunut maslahat dalam perspektif asy-Sya‟rani. Maslahat yang diusung asy-Sya‟rani adalah maslahat sosial (maṣālih al-Ijtimā’i). Hal ini diwacanakan oleh asy-Sya‟rani untuk meredam gejolak truth claim yang dilakukan oleh para intelektual kala itu, melalui pengakomodiran parameter kebenaran yang direlasikan antara satu dengan yang lain, seperti antara kalangan ahli fikih, dengan tasawuf dan hadis. Penelitian ini, berbeda dengan peneliti yang meneliti relasi fikih dengan tasawuf, serta konstruksi Maqāṣid asy-Syarī’ah-nya. Dimana peneliti mengeksplor nalar sufistik dan fikih dalam memformulasikan
maqāṣid asy-Syarī’ah.
Penelitian Muhammad sabari ad-Daly yang berjudul Al-Khiṭāb as-Siyāsī
aṣ-Ṣūfī fī Miṣr Qirāah fī Khiṭāb Abd al-Wahhāb al-Asy’rānī. Ad-Daly
menganalisis wacana yang digagas oleh Abd. asy-Sya‟rani dalam konteks otoritas dan sosial dalam bingkai politik Sufi di Mesir. Untuk mengeksplorasi penelitiannya, spesifikasinya dalam konteks politik, sosial serta keagamaan ad-Daly menggunakan pendekatan historis. Adapun hasilnya, otoritas dalam konteks
34 Abd Hafidh, Abd Wahhāb as-Sya’ranī Imām Qarn ‘Āsyir, (Beirut: Dar
14
sosial didapatkan oleh Abd. al-Wahab as-Sya‟rani melalui kualifikasinya sebagai seorang sufi dan fakih. Disamping itu zāwiyah-nya (komunitas) yang dikelola oleh asy-Sya‟rani juga berimplikasi terhadap otoritasnya. Otoritasnya Asy-Sya‟rani semakin kuat karena posisinya secara politik. 35
Berdasarkan penelusuran peneliti terhadap beberapa literatur, belum ada yang meneliti mengenai konstruksi Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti meneliti konstruksi
Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf perspektif Abd
al-Wahab asy-Sya‟rani.
F. Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan dalam rumusan masalah, terlebih dahulu perlu dijelaskan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini. Nalar („Aql) dalam konteks ini adalah epistemologi,36
sehingga relasi nalar fikih dan tasawuf dalam hal ini dapat diartikan sebagai relasi antara fikih dan tasawuf dalam konstruk epistemologis. Epistemologi secara bahasa terdiri dari dua suku kata, yakni episteme dan logos. Episteme adalah pengetahuan, sedangkan logos adalah ilmu.37 Disamping itu, epistemologi juga berarti teori pengetahuan. Adapun secara terminologis, epistemologi merupakan upaya kritis untuk menemukan
35 Mohammad Sabari ad-Daly, Al-Khiṭāb as-siyāsī aṣ-ṣūfī fī miṣr Qirāah fī khiṭāb abd wahhāb Asysya’rānī li as-Sultah wa Mujtama’, (Kairo: Dar Kutub wa wasaiq
al-Qaumiyah, 2011).
36 Naqd al-‘Aql (kritik epistemologi) adalah kritik yang ditujukan terhadap kerangka dan
mekanisme berfikir. Lihat. Ahmad Baso, al-Jabiri, Eropa dan Kita, (Jakarta: Pustaka Afid, 2017), 30
15
pengetahuan. Dalam konteks ini, objek material epistemologi merupakan pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan.
Lebih lanjut, kerangka kajian epistemologi meliputi 4 aspek, yakni: hakikat, sumber, validitas dan metode.38 Kemudian kebenaran secara epistemologi juga meniscayakan adanya subjek dan objek.39 Maka konstruksi tersebut lah yang akan digunakan oleh peneliti untuk melihat maqāṣid syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut perspektif Abd. Wahab as-Sya‟rani. Sedangkan frame yang digunakan oleh peneliti untuk melihat konstruksi epistemologi tersebut adalah pendekatan turāṡ analisis. Baso memetakan turāṡ analisis dalam tiga pendekatan yakni: 40
1. Pendekatan strukturalis (mu’ālajah bunyawiyah). Pendekatan ini menekankan bahwa untuk memahami suatu ide, dimulai dari pemahaman teks secara menyeluruh. Dalam analisis ini dilakukan pemisahan aspek-aspek yang tetap (ṡawābit) dan aspek yang berubah (taḥawwulāt). Kemudian memfokuskan pada aspek isykāliyyah yakni: ide/pemikiran tertentu yang terbentuk dari relasi masalah dalam periode tertentu. Maka akan terpetakan ta‘aqql al-mukawwin (nalar pada umumnya) dan ‘aql mukawwan (nalar yang dikondisikan oleh ruang dan waktu).
2. Analisis historis (taḥlīl at-tārīkhiyyah). Pendekatan ini mencoba mengkaitkan pemahaman yang sudah terekonstruksi melalui analisis struktural dengan
38 Harol H. Titus, dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), 187-188. Berbeda dengan Pranarka yang memetakan kajian epistemologi dalam tiga aspek, yakni: teori, validitas dan metode. Lihat A.M.W Pranarka, Epistemologi Dasar Suatu
Pengantar, (Jakarta: Centre For Strategic and International Studies, 1987), 16-17. 39 A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, 72.
16
konteks sejarah, kebudayaan, ideologis dan sosial politiknya. Hal ini dimaksudkan untuk memahami keterkaitan antara narasi teks dengan aspek-aspek pembentuknya, sehingga diperoleh yang menyeluruh.41
3. Kritik ideologis. Analisis ini mengungkap fungsi ideologis, khususnya fungsi sosial politik yang terdapat dalam konstruksi sejarah. Karena melalui analisis ini, dapat terungkap problematika epistemologis (isykāliyah ma’rīfiyah) yang mendasari ide tertentu.
1. Konstruksi Relasi Nalar Fikih dan Tasawuf.
Untuk melacak konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf dalam perspektif asy-Sya‟rani dalam konstruksi metodologis, maka melihat konstruksi nalar fikih dan tasawuf dalam konstruksi: hakikat, sumber, validitas, metode, subjek dan objek dalam perspektif asy-Sya‟rani.
Adapun konstruksi fikih secara metodologis adalah sebagai berikut: a. Hakikat fikih. Fikih menurut syafi‟i adalah ilmu mengenai hukum syar’iyah
amaliyah yang didasarkaan pada dalil terperinci atau ilmu yang membahas mengenai fi’l mukallaf (tindakan mukallaf) dalam konteks tuntutan (Iqtidha), pilihan (Takhyir) dan tanda (Wadh’).42 Sedangkan as-Syairazi mendefinisikannya secara lebih sederhana sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iyah (wajib, mandub, mubah, mahzurat, makruh, sahih
41 Untuk memahami suatu konsep, eksplorasi konteks Pengetahuan merupakan sesuatu
yang saling terkait, meliputi budaya, sosial, ekonomi, politik maupun diskursus pemikiran saat itu. Lihat. Nasr Hamid Abu Zaid, Al-imam asy-Syafi’i wa ta’sis al-ideolojiyah al-wasatiyah, (Kairo: Maktabah Madbuly, 1996), 9.
42 Abd al-Rahman Bin Ibrahim al-Fazari, Syarah al-Waraqat Imam al-Haramain,
(Kuwait: Dirasah al-Basyair al-Islamiyah, t. th), 82. Lihat. Sahal Mahfud, Tarῑqah al-ḥuṣūl
17
dan batil) melalui metode ijtihad.43 Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa fikih merupakan pengetahuan mengenai hukum syar‟iyah melalui metode ijtihad. Perbedaan definisi tersebut, menurut Abd. Karim dapat dipetakan menjadi 2 yakni: definisi menurut para ushuliyyin dan definisi menurut para fukaha.44 Menurut para ushuliyyin diantaranya adalah ar-Razi mendefinisikannya sebagai ilmu mengenai hukum-hukum
syar’iyah „amaliyah yang berdasarkaan dali-dalil terperinci. Sedangkan
menurut fukaha adalah kumpulan hukum-hukum dan permasalahan-permasalahan yang menjadi sebab turunnya wahyu, serta hasil-hasil ijtihad atau fatwa-fatwa dari mufti.45
b. Sumber dan validitas fikih. Sumber hukum merupakan dasar dalam pemahaman hukum fikih. Sedangkan validitas fikih merupakan parameter sesuatu dikatakan benar. Dalam metodologi fikih sumber hukum merupakan dalil yang dijadikan rujukan, serta validasi dalam hukum fikih. Sumber hukum fikih dapat dipetakan menjadi 2, meliputi:46
1) Sumber fikih yang disepakati (Muttafaq alaih): al-Quran, al-Hadis, Ijma‟.dan Qiyas.
43 Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, Al-Bayān al-Mulamma’ ‘An al-Fāḍ al-Luma’,
(Kajen: Mabadi Sejahtera, t, th), 7.
44
Abd. Al-Karim Ibn Ali Ibn Muhammad an-Namlah, Ittihāf Ḍawī al-Baṣāir bi Syarḥ
Rauḍah an-Nāṭir , (Riyadh: Dar al-„Asimah, 1996), Juz 1., 70.
45 Ibid., 59. Perbedaan definisi tersebut berimplikasi terhadap kualifikasi seorang pakar
fikih (fakih) dalam nalar fikih. Apabila menggunakan definisi yang diutarakan oleh para fukaha, maka teolog, mufassir, muhaddis dan ahli bahasa dapat dikatakan sebagai fakih. Akan tetapi apabila menggunakan definisi yang utarakan olehushuliyyin, maka seorang fakih haruslah seseorang yang mempunyai 4 kualifikasi tersebut, seperti Syafi‟i, Malik, Ghazali. Lihat Abd. Al-Karim Ibn Ali Ibn Muhammad an-Namlah, Ittihāf Ḍawī al-Baṣāir bi Syarḥ Rauḍah an-Nāṭir, 76.
18
2) Adapun dasar yang masih diperselisihkan (Mukhtalaf alaih) adalah:
Mashlahah mursalah, Sad zari’ah, Istihsan/ Istiṣlah, Istishab dan Aqwᾱl
ulama ahli madinah.
c. Metode hukum fikih. karakteristik metode yang digunakan dalam memahami hukum fikih secara metodologis, dapat dipetakan menjadi tiga yakni: Pertama. Tekstualis, memahami sumber hukum secara tekstual seperti yang dilakukan oleh ahl al-ḥadīṡ, antara lain adalah imam Ahmad Ibn Ahmad. Kedua. Rasionalis, memahami sumber hukum secara rasional seperti memahami alasan sebuah hukum. Hal ini layaknya yang dilakukan oleh ahl ar-Ra’y, antara lain adalah imam Abu hanifah. Ketiga. Moderat. Memahami sumber hukum dengan melibatkan dua pendekatan tersebut, seperti yang dilakukan oleh ahl al-wasaṭiyyah antara lain dilakukan oleh imam Syafii.47
d. Subjek fikih. Subjek fikih adalah seseorang yang mengamalkan fikih, yakni: mukallaf.48
e. Objek fikih. Objek fikih (maḥkūm fīh) merupakan sesuatu yang di hukumi dalam fikih, yakni: fi’l al-mukallaf (tindakan mukalaf pada tataran amaliah) dan fi’l al-Qalbīy.49
Sedangkan konstruksi tasawuf secara metodologis adalah sebagai berikut: a. Hakikat tasawuf. Tasawuf secara bahasa merujuk dari pakaian yang dibuat
yang terbuat dari bulu.50 Sedangkan secara istilah menurut zakariya adalah
47 Nasr Hamid Abu Zaid, al-imām as-syāfi’ī wa ta’sīs al-īiulūjiyyah al-wasaṭiyyah,. 98. 48
Wahbah Zuhaili, al-wajiz fi Ushul al-Fiqh, 147.
19
melepaskan ego karena Allah, serta menganggap rendah selain Allah pada tataran sikap secara lahir maupun gerak hati.51 Lebih lanjut, Abduh Galib memaparkan bahwa term tasawuf selalu berhubungan dengan hati, karena hati merupakan esensi tubuh, sehingga apabila baik hatinya, baik pula badannya. Sedangkan pembersihan maupun pengobatan hati hanya dapat dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Allah baik secara lahir maupun batin. Kedekatan ini, seakan-akan seorang mutasawif menyaksikan Allah, atau merasa disaksikan oleh Allah.52 yang bertujuan untuk membersihkan hati dari selain Allah dapat dipahami sebagai usaha untuk agar terwujud kondisi wushul serta musyahadah kepada Allah. Tasawuf menurut dipetakan menjadi dua, yakni: tasawuf sunni dan falsafi53
b. Sumber dan Validitas tasawuf. Sumber dan Validitas tasawuf menurut Ibrahim Madkur adalah melalui ẓaūq dan „irfān.54
c. Metode. Metode yang dilakukan dalam proses tasawuf melalui riyāḍah dan
sulūk.55
a. Subjek tasawuf. Subjek tasawuf adalah pelaku dalam pola kesufian, maka subjek tasawuf adalah mukallaf. Karena terdapat perbedaan kekuatan fisik
50 Massignon dan Mustafa Abd al-Razik, at-Tasawuf, (Libanon: Dar al-Kutub, 1984), 25. 51
Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz, Ṭarīqah al-Huṣūl ‘Ala Gāyah al-Wuṣul,.63-64.
52
Abduh Galib Ahmad Isa, Mafhum at-Tasawuf, (Beirut: dar al-Jail, 1992), 12-13.
53 Ibrahim Madkur, Fī Al-Falsafah Al-Islāmiyyah Manhaj Wa Taṭbiquh, (Mesir: dar
al-Ma‟arif, 1976, Juz. 2), 131.
54 Ibid. Implementasi dari sumber dan validitas tersebut, maka pemegang otoritas menurut
Ihsan dapat dipetakan menjadi 2 yakni: Aimmah al-A’yan (para pemimpin sufi yang mengetahui hakekat) dan „Arifin (seseorang yang mengenal Allah). Lihat. Ihsan Muhammad Dahlan, Sirāj
aṭ-Ṭālibīn, 4.
20
dan iman antara satu mukallaf dengan lainnya, maka asy-Sya‟rani memetakan mukallaf dalam dua term, yakni: al-Aqwiyā’ dan ad-ḍu’afā’. d. Objek tasawuf. Objek (manāṭ at-taklīf) yang menjadi garapan dalam laku
sufi adalah hati56
2. Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam Relasi Nalar Fikih dan Tasawuf.
Untuk melacak maqāṣid syarī’ah (tujuan syariat) dalam relasi nalar fikih dan tasawuf. Maka perlu melihat syariat dalam konstruksi epistemologi dalam relasi nalar fikih dan tasawuf, yakni:
b. Hakikat maqāṣid syarī’ah. Maqāṣid asy-Syarī’ah secara secara bahasa terdiri dari dua suku kata yakni: maqāṣid dan syarī’ah. Maqaṣīd adalah bentuk plural dari kata maqṣadun yang berarti tujuan. Syariat adalah aturan Allah yang bertujuan untuk membimbing para hambanya.57 Senada dengan pendapat tersebut, Ihsan Muhammad Dahlan pun mengartikannya sebagai aturan yang dibuat oleh Allah, melalui penjelasan para rasul untuk para hambanya.58 Adapun maqāṣid syarī’ah secara istilah adalah tujuan dan rahasia aturan-aturan Allah yang diberlakukan untuk para hambanya.59 Izzuddin memaparkan bahwa tujuan syariat adalah ketertataan/ kemaslahatan kondisi seorang hamba di dunia dan di akhirat,60 meliputi 3
56
Ibrahim Madkur, Fī Al-Falsafah Al-Islāmiyyah Manhaj Wa Taṭbiquh,138.
57 Ahmad ar-Raisuni, Muhadharat Fi maqᾱṣid Asy-syᾱri’ah, (Kairo: Dar al-Kalimah,
2014), 9.
58 Ihsan Muhammad Dahlan, Sirāj aṭ-Ṭālibīn., 114. 59
Muhammad Abd „Ati Muhammad Aly, Maqāṣid as-Syar’iyyah Wa Aṡarahā fi
al-Fiqh al-Islamī, (Kairo: Dar al-Hadis, 2000), 14.
60 Muhammad Yasin bin ‟Isa al-Fadani, al-Fawᾱid al-Janiyah, (Makkah: Dar al-Mahaja,
21
hal: nuṭqiyyah, syahwatiyyah dan ghaḍbiyyah.61 Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa syariat mempunyai dua dimensi, yakni lahir dan batin.62 Disamping itu, syariat mencakup semua lini kehidupan, baik ibadah, muamalah, etika dan sebagainya, sehingga syariat mempunyai sisi esoterik dan eksoterik.63
c. Sumber dan Validitas maqāṣid syarī’ah. Sumber dan validitas Maqāṣid
asy-Syarī’ahdalam relasi fikih dan tasawuf. Konsekuensi atas dimensi lahir
dan batin dalam syariat, menisayakan Sumber dan validitas yang berbasis pada aspek bayanī atau burhānī yang diklarifikasi pada tataran ‘irfānī.64 d. Metode. As-Sya‟rani memetakan metode dalam memahami syariat antara
nalar fikih dan tasawuf secara metodologis meliputi:65
1) Istidlāl. Mencoba memahami secara istidlaly (analisis) terhadap nas. Metode ini mencoba memahami sumber maqāṣid syarī’ah melalui pendekatan uṣul al-fiqh. Metode ini, umumnya digunakan oleh para mujtahid.
2) at-Taslīm wa al-yaqīn dan meyakininya. Merupakan pendekatan menerima apa yang ada dalam nas, maupun aqwāl al-‘ulamā’ tanpa ada
61
Ibid.
62Ihsan Muhammad Dahlan, Sirāj aṭ-Ṭālibīn, 115.
63 Bachrun Rif‟i dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
326.
64
Abu Bakar Bin Abdurrahman as-Saqaf, Sab’ah Kutub Mufīdah, (Surabaya: al-Hidayah, t. th), 18.
65 Abd al-Wahab as-Sya‟rani, Mīzān al-Kubra, Tahkik: Abd ar-Rahman Umairah,
22
proses analisis. Umumnya cara ini digunakan oleh seseorang muqallid, atau seseorang yang tidak mempunyai kualifikasi mustadill.
3) Mukāsyafah. Proses ini diawali dengan Proses suluk (proses penyerahan diri seorang salik kepada mursyid) dalam menjalani suluk, seorang salik melakukan riyadhah (bersungguh-sungguh melakukan amalan yang dapat menghantarkan seseorang wuṣūl kepada Allah).
e. Subjek maqāsid syarī’ah dalam relasi fikih dan tasawuf. Subjek maqāsid
syarī’ah sama dengan subjek syariat. Adapun subjek maqāsid dalam relasi
fikih dan tasawuf adalah mukallaf. Karena terdapat perbedaan kekuatan antara satu mukallaf dengan lainnya, baik kekuatan fisik maupun imannya, maka asy-Sya‟rani memetakan mukallaf dalam dua term, yakni: al-Aqwiyā’ dan ad-ḍu’afā’.
f. Objek syariat dalam relasi fikih dan tasawuf. Fi’l al-mukallaf dan hati. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa tujuan syariat adalah pada tataran lahir dan batin.
Secara operasional implementasi turaṡ analisis dalam memahami
maqāṣid syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. wahab
as-Sya‟rani pada tataran metodologis adalah melihat konstruksi syariah dalam lanskap nalar fikih dan tasawuf Abd. Wahab asy-Sya‟rani secara epistemologi, yang meliputi: hakikat, sumber, validitas, metode, subjek dan objeknya, melalui frame turast analisis, yakni: struktural, historis dan kritik ideologis. Berdasarkan analisis ini, akan tampak karakteristik maqāṣid asy-Syarī’ah Abd.
23
Wahab asy-Sya‟rani dalam relasi nalar fikih dan tasawuf. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
Gambar 01. Kerangka Teoritik.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, dimana data yang dihimpun dan dikaji berasal dari beberapa literatur.66 Adapun pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, karena data yang dikumpulkan berupa penjelasan bukan berupa angka-angka.
2. Sumber Data
Penelitian ini mempunyai dua sumber data yakni: primer dan sekunder. Sumber data primer berupa kitab-kitab Abd. Wahab asy-Sya‟rani yang mempunyai korelasi dengan tema seperti kitab Mīzān Kubrā, Qawāid
al-Kasyfiyyah dan Anwar al-Qudsiyah. Adapun sumber sekunder berasal dari
66
Haidar Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), 33.
24
referensi-referensi yang terkait dengan tema, diantaranya adalah al-wajīz,
qawāid al-kibrā, dan maqāṣid asy-Syarī’ah.
3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah dokumentasi dimana peneliti sebagai instrumennya. Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini meliputi:
a. Searching. Mencari literatur berupa kitab-kitab Abd. Wahab asy-Sya‟rani yang terkait dengan maqāṣid syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf. b. Collection. Mengumpulkan literatur berupa kitab-kitab Abd. Wahab
asy-Sya‟rani yang terkait dengan maqāṣid syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf.
c. Chek-list. Menyeleksi objek serta menandai objek yang diteliti terkait hakikat, sumber, metode, validitas, objek dan subjek maqāṣid syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan untuk memahami pemikiran asy-Sya‟rani, serta menginterpretasikannya secara komperhensif adalah turaṡ analysis, yakni sebuah pembacaan secara metodologis terhadap turaṡ melalui beberapa teknik analisis yakni:67
a. Analisis struktural. Pola analisis yang didasarkan pembacaan secara tekstual terhadap sumber data, seperti Mīzan kubrā. Al-Anwār
al-Qudsiyah fī bayān al-Adāb al-‘Ubūdiyah, qawaid al-Kasyfiyah, Al-Baḥr
67
25
Maurūd fī Mawāṡiq wa ‘Uhūd, Lawāqih Anwar fī ṭabaqāt Akhyār, Qawāid az-Zarkasyī, Al-Kaukāb as-Syāhiqfī Farq baīn al-Murīd aṣ-ṣādiq wa gaīr aṣ-ṣādiq, dan sebagainya
b. Analisis historis. Melalui teknik ini, peneliti akan merelasikan data yang berasal dari analisis struktural dengan beberapa aspek sejarah, kebudayaan, ideologis dan sosial politiknya pada masa asy-Sya‟rani.
c. Kritik ideologis. Analisis ini mengungkap fungsi ideologis, khususnya pada tataran sosial politik yang terdapat dalam konstruksi sejarah as-ṣya‟rani.
H. Sistematika Penelitian.
Penelitian ini, terbagi dalam 5 bab. Bab pertama peneliti akan menjelaskan beberapa hal meliputi: latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
Bab ke dua, peneliti akan memaparkan beberapa yang menjadi domain penelitian ini secara umum, yakni: Pertama, Nalar fikih. Kedua nalar tasawuf dan
Maqāṣid asy-Syarī’ah secara umum.
Bab ke tiga. Pada bab ke tiga penulis akan mengeksplorasi pemikiran Abd. Wahab asy-Sya‟rani dalam dalam konstruksi nalar fikih, tasawuf dan Maqāṣid
asy-Syarī’ah. Untuk dapat memetakan serta mengeksplorasi pemikiran
as-Sya‟rani, terlebih dahulu peneliti memaparkan biografi serta karya-karyanya. Kemudian yang kedua konstruksi nalar fikih, tasawuf dan Maqāṣid asy-Syarī’ah.
Bab ke empat. Pada bab empat penulis akan membahas 2 poin, yakni: Pertama, konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf dalam perspektif Abd. Wahab
26
asy-Sya‟rani. Kedua, maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya‟rani.
Bab ke lima. Adapun bab kelima berisi dua sub, yakni kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan peneliti akan memaparkan jawaban dari rumusan masalah. Sedangkan dalam sub saran berisi beberapa hal yang dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya berdasarkan penelitian ini.
152
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian perspektif Abd. Wahab asy-Sya’rani mengenai relasi nalar fikih dan tasawuf, dapat disimpulkan bahwa konstruksi relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya’rani secara metodologis terletak pada konstruksi wacana mīzān yang meniscayakan adanya relasi nas, analitis dan
mukāsyafah pada tataran sumber dan validitas, metode, subjek dan objek syariat.
Relasi ini termanifestasi pada beberapa fungsi, yakni: fungsi moderat, pemersatu/ketersambungan, dan klarifikatif
Adapun pemetaan Maqāṣid asy-Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf menurut Abd. Wahab asy-Sya’rani dapat dipetakan menjadi dua, yakni
Maqāṣid asy-Syarī’ah pada tataran ṡawābit (gāyah) dan mutaḥawwilah (wasāil). Maqāṣid asy-Syarī’ah pada tataran ṡawābit dipetakan menjadi 2, yakni: ad-du’āfā’ dengan tujuan ma’rifat rahmah Allah (mengenal kasih sayang Allah),
sedangkan al-Aqwiyā’, dengan tujuan ma’rifat Allah. Adapun maqāṣid pada tataran wasāil dipetakan menjadi tiga, yakni: Wasāṭiyyah, Ittiṣāliyyah, serta
Istiqrāiyyah bi al-Manāhij at-Ta’āwwuniyah.
B. Saran
Setelah peneliti melakukan kajian mengenai konstruksi Maqāṣid
Syarī’ah dalam relasi nalar fikih dan tasawuf perspektif Abd al-Wahab
asy-Sya’rani. Maka peneliti mengajukan saran atau rekomendasai kepada peneliti atau pembaca pada umumnya.
Pertama, melihat perkembangan wacana diskursus maqāṣid syarī’ah melalui beberapa pendekatan. Maka menurut peneliti selayaknya penelitian tersebut diimbangi dengan pengkayaan penelitian pada tataran turāṡ secara masif, sebagai embrio diskursus maqāṣid syarī’ah. Hal ini guna menjaga keterjalinan relasi pada tataran konsepsional pengembangan maqāṣid syarī’ah.
153
Kedua, perkembangan diskursus dalam kajian keagamaan semakin pada tataran yang mengarah pada perpecahan sosial. Maka menurut peneliti, konstruksi
Maqāṣid asy-Syarī’ah melalui relasi pendekatan dengan beberapa pendekatan
yang berbeda dalam diskursus keagamaan selayaknya dapat diimplementasikan dalam menanggulangi permasalahan keagamaan.
Ketiga, kajian Maqāṣid asy-Syarī’ahpada tataran turāṡ, hanya terfokus pada konteks teoritis. Akan tetapi minim pembuktian pada tataran aplikatif kasuistik untuk membuktikan akurasi konsepsional pada tataran praktis. Oleh karena itu, penelitian pada tataran ini perlu dilakukan sebagai pengembangannya.
Dengan demikian, apapun hasil penelitian ini, dalam konteks pengembangan wacana keilmuan, saran dan kritik yang konstruktif, selalu terbuka. Semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi pengembangan keilmuan dan peneliti pada khususnya.
1
DAFTAR PUSTAKA
as-Saqaf, Abu Bakar Bin Abdurrahman Sab’ah al-Kutub al-Mufīdah, Surabaya: al-Hidayah, t. th.
ad-Daly, Mohammad Sabari, Al-Khiṭāb as-siyāsī aṣ-ṣūfī fī miṣr Qirāah fī
khiṭāb abd wahhāb Asysya’rānī li as-Sultah wa Mujtama’, Kairo: Dar
al-Kutub wa al-wasaiq al-Qaumiyah, 2011.
ad-Dimsyiqy, Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdirrahman, Raḥmah
Al-Ummah Fī Ikhtilāf al-Aimmah, Maktabah at-Taufiqiyyah, 4. Diunduh dari: http:
www. Al-Mostafa.com.
al-Abidi, Hammadi, Ibn Rusy Wa ‘Ulūm asy-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, Beirut: Dar Wahyu Al-Qalam, 2002.
al-Alim, Yusuf Hamid, al-maqāṣid al-‘Ammah li asy-Syarī’ah al-Islām, Riyad: dar al-Alamiyah, 1994.
al-Alwani, Taha Jabir, Qadāyā Islāmiyah Mu’āṣirah Maqāṣid
asy-Syarī’ah, Beirut: Dar al-Hadi, 2001.
al-Askandari, Amar, tārīkh miṣr ilāal-fath al-‘Usmānī, Mesir: al-Maarif, 1338 H. al-badawi, Yusuf ahmad, Maqāṣid asy-Syarī’ah, Ardan: Dᾱr an-Nafᾱis, 2001.
Al-Burny, Muhammad Sidqi Ibn Ahmad, Masū’ah Qawā’id
al-Fiqhiyyah, Beirut: ar-Risalah, 1991, juz.1.
Buty, Muhammad Said, Dawābiṭ Maṣlaḥah fī asy-Syarī’ah
al-Islāmiyyah, Mesir: ar-Risalah, 1973.
al-Fadani, Muhammad Yasin bin ‟Isa, al-Fawᾱid al-Janiyyah, Makkah: Dar al-Mahaja, 2008.
al-Fasy, Ilal, Maqāṣid as- Syarī’ah Wa Makārimuhā, Kairo: Dar as-Salam, 2013. Fazari, Abd Rahman Bin Ibrahim, Syarah Waraqat Imam
al-Haramain, Kuwait: Dirasah al-Basyair al-Islamiyah, t. th.
al-Ghazaly, Abi Hamid Muhammad, al-Kasyf Wa at-Tabyīn, Surabaya:al-Hidayah, t, th.
2 al-Hafnawi, Muhammad Ibrahim, Al-Fath Al-Mubīn Fī Hill Ar-Rumūz
Wa Muṣṭalāhāt Al-Fuqahā’ Wa Al-Uṣūliyyīn,18. Diunduh dari: http: www.
Waqfeya. com. 01-05-2019.
Jabiri, Abid, Binyah ‘Aql ‘Arabī, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahah al-Qrabiyah, 2009.
al-Jauzi, Ibn al-Qayyum, Asrār as-Syarī’ah min A’lām al-muwaqqi’īn, tahkik: Musaid Ibn Abdillah Salman, Riyad: al-Masir, 1998.
Jawi, Muhammad an-Nawawi, Murāqī ‘Ubūdiyah, Bairut:dar al-Kutub al-Ilmiah, t, th.
al-Jund, Anur, Mausū’ah al-Islamiyah Tarīkh al-Gazw wa al-Fikr wa
Tagrīb, Dar al-I‟tisham, t, th.
Juwaini, Abi Maali Abd. Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf, Kitāb
Al-Ijtihād Min Kitāb At-Talkhīṣ Li Imām Al-Juwainīy, Tahkik. Abd. Hamid Abu
Zunair, Beirut: Dar al-Ulum Wa Atsaqafah, 1987.
Kamali, Abdullah Yahya, Maqᾱṣid asy-Syarῑ’ah fī Dou’ Fiqh
al-Muwāzanāt, Beirut: Ibnu Hazm, 2000.
al-Kamasykhanawi, Diyā‟ ad-dīn Ahmad, an-Naqsyabandi, Jāmi’ al-uṣūl
fī al-Auliyā’ wa Anwā’ih, Surabaya: Haramain, t.th.
Khadimi, Nuruddin Mukhtar, Al-Istiqrā’ Wa Dauruh Fī Ma’rifah
al-Maqāṣid asy-Syar’iyyah, Beirut: Maktabah ar-Rusyd, 2007.
Mahalli, Syamsuddin Muhammad Ibn Ahmad, ḥāsyiah ‘Allāmah
al-Bannānīy, Beirut: dar al-fikr, Juz. 1.
al-Marini, Jailali, Al-Qawāid al-Uṣūliyyah ‘Ind Al-Imām Asy-Syāṭibī, Kairo: Dar Ibnu Affan, 2002.
al-Qasimi, Muhammad Abd Rauf, al-Kasyf Ḥaqīqah aṣ-Ṣūfiyyah Li
Awwal Marrah Fī At-Tārīkh, Beirut: Dar as-Sahabah, 1987.
al-Qalyubi, Syihabuddin Ahmad Ibn Salamah dan Syihabuddin Ahmad al-Barlissy, Ḥāsyiyatān Qalyūbī-‘Umāirah, Surabaya: al-Haramain, t.th.
al-Qusyairi, Abi al-Qasim Abd Karim, Ar-Risālah al-qusyairiyyah, tahkik: Abd Halim Mahmud dan Mahmud Ibn Syarif, Kairo: Dar al-Maarif, 1999, Juz. 2.
al-Washifi, Ali bin sayid Ahmad, Mawāzin as-ṣūfiyah, Iskandariyah: Dar al-Iman, 2001.
3 Aly, Muhammad Abd al-„Ati Muhammad, al-Maqāṣid as-Syar’iyyah Wa
Aṡarahā fi al-Fiqh al-Islamī, Kairo: Dar al-Hadis, 2000.
al-Yubi, Mohammad Sa‟d Ibn Ahmad Ibn Masud, Maqᾱṣid asy-Syarῑ’ah
al-Islᾱmiah, wa ‘Alāqatihā bi Adillah asy-Syar’iyyah Riyadh: ar al-Hijrah, 1998.
an-Nadawi, Ali ahmad, Masū’ah Qawā’id Wa ad-Dawābiṭ
al-Fiqhiyyah, Beirut: ar-Risalah, 1991, juz.1.
an-Namlah, Abd. Al-Karim Ibn Ali Ibn Muhammad, Ittihāf Ḍawī
al-Baṣāir bi Syarḥ Rauḍah an-Nāṭir, Riyadh: Dar al-„Asimah, 1996, Juz 1.
an-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin Ibn Syarf, Majmū’syarh
al-Muhaẓẓab li asy-Syairāzī, Tahkik. Muhammad najib al-Muti‟i, Jeddah: maktabah
al-Irsyad, juz 2.
Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and syari’ah, London: The Islamic Foundation, 1986.
Anwar Jundi, Tārīkh Gaz wa Fikr wa at-Tagrīb, Kairo: Dar al-I‟tisam, 1988.
Arkun, Muhammad, Tārikhiyyah al-Fikr al-‘Arabiy al-Islāmiy, Terj. Hasyim Salih, Beirut: Markaz as-Tsiqafy al-Araby, 1996.
ar-Raisuni, Ahmad, al-Muhᾱdharᾱt Fῑ Maqᾱṣid asy-Syarῑ’ah, Kairo: Dᾱr al-Kalimah, 2014.
as-Salam, Izzuddin Ibn Abd., al-Qawāid al-Qubrā, Tahkik: Nazeh Kamal Hammad dan „Usman Jum‟ah, Damaskus: Dar Qalam, 2000, juz. 1.
---., Maqāṣid ‘ibādāt,tahkik. Aburrahim Ahmad, Kurnisy: Matba‟ah al-Yamamah, 1995.
as-Suaimin, Muhammad bin Shalih, Syarḥ al-Uṣūl Min ‘Ilm al-Uṣūl, Kairo: Maktabah Misr, 2008.
as-Sulami, Abi Abd. rahman, Al-Muqaddimah Fī At-Taṣawwuf, tahkik: Yusuf Zaidan, Beirut: dar al-Jmail, 1999.
as-Suyuthi, Jalaluddin, al-Asybāh wa an-Naḍāir, Surabaya:al-Hidayah, t. th. as-Syathiry, Muhammad bin Ahmad, Syarh al-yaqūt an-Nafīs, Pakis:Dar al-Hawi, 1997.
asy-Sya‟rani, Abd al-Wahab, Mīzān al-Kubrā, tahkik: Abd ar-Rahman Umairah, Beirut: Alim al-Kutub, 1989.
