• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN (MOBIL) YANG DISEWAKAN KE PIHAK LAIN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN (MOBIL) YANG DISEWAKAN KE PIHAK LAIN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 560 K/Pdt/2019) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

DAVID CHRISTOPHER 160200130

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : David Christopher

NIM : 160200130

Judul Skripsi : ANALISIS GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN (MOBIL) YANG DISEWAKAN KE PIHAK LAIN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 560 K/Pdt/2019)

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi yang saya tulis ini adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah jikplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Mei 2020

David Christopher NIM: 160200130

(4)

ABSTRAK David Christopher*

Rabiatul Syahriah**

Syaiful Azam***

Penelitian skripsi ini berjudul Analisis gugatan wanprestasi tentang hilangnya kendaraan (mobil) yang disewakan ke pihak lain (studi putusan Mahkamah Agung RI No. 560 k/pdt/2019). Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sewa-menyewa kendaraan yang benar dan mengetahui akibat yang diterima oleh pihak penyewa jika melakukan wanprestasi.

Adapun rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan yaitu: 1.Bagaimanakah aturan hukum antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa mobil? 2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap penyewa yang telah wanprestasi dalam melaksanakan perjanjian sewa-menyewa mobil? 3.

Bagaimanakah analisis yuridis Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 560 k/

pdt/2019?

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah tersebut adalah yuridis normatif dan studi putusan Mahkamah Agung RI No. 560 k/pdt/2019. Adapun data yang digunakan sebagai penelitian berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dan sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menjelaskan bahwa pelaksanaan perjanjian sewa-menyewa mobil dapat dilakukan sepanjang telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Selain itu, pihak penyewa harus memenuhi kewajiban utamanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1560 KUHPerdata. Hilangnya mobil yang disewa oleh pihak penyewa berakibat terjadinya wanprestasi sehingga ia diharuskan untuk mengembalikan mobil atau mengganti mobil yang hilang dengan mobil sejenis serta mengganti kerugian materil atas hilangnya keuntungan yang diharapkan oleh si pemilik mobil sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung RI menolak kasasi yang diajukan oleh pemohon/ semula Tergugat II dan menyatakan bahwa putusan dari judex facti sudah tepat dan benar dalam menerapkan hukum. Hal ini juga dikarenakan Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan kasasi tidak dapat dibenarkan karena penilaian fakta dan hasil pembuktian di persidangan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi

Kata Kunci: Sewa-menyewa, Wanprestasi

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I

***Dosen Pembimbing II

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ANALISIS GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN (MOBIL) YANG DISEWAKAN KE PIHAK LAIN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 560 K/Pdt/2019)”.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan, bantuan, serta dukungan moril dari berbagai pihak sehingga semua hal berjalan dengan lancar dan ingin menyampaikan ucapan terima kasih banyak kepada semua pihak-pihak yang sudah membantu dan secara khusus ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(6)

8. Ibu Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen saya di mata kuliah Antropologi Budaya yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu memberikan saran serta memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

9. Bapak Syaiful Azam, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen saya di mata kuliah Hukum Adat dan Hukum Adat Lanjutan yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu dalam memberikan saran serta memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini;

10. Ibu Dr. Megarita, SH., CN., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik saya yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril selama saya menjalani perkuliahan;

11. Terima kasih kepada seluruh Bapak dan Ibu Dosen pengajar dan juga kepada seluruh jajaran Staf administrasi dan Pegawai Fakultas Hukum universitas Sumatera Utara yang telah membantu saya selama menjalani perkuliahan;

12. Terima kasih kepada kedua orang tua saya Bapak Sarwan Salamah dan Ibu Lina yang senantiasa selalu memberikan saya motivasi, nasehat, dan dukungan untuk selalu menjadi lebih baik kedepannya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini;

13. Terima kasih kepada Syahydah Napitu yang telah banyak membantu, memberikan dukungan, dan menemani penulis selama penulisan skripsi;

14. Terima kasih kepada teman-teman yang telah berjuang bersama-sama dari awal semester mulai dari susah hingga senang, Edwin Pubiway, Loistra Ginting, Jienius Hasugian, Satria Marpaung;

(7)

15. Terima kasih kepada teman-teman Grup E FH USU dan Solidarity yang telah banyak membantu saya dalam menjalani masa perkuliahan;

16. Terima kasih kepada Komunitas Peradilan Semu (KPS FH USU) yang telah banyak memberikan pelatihan serta pembelajaran selama masa perkuliahan;

17. Terima kasih kepada Keluarga KPS FH USU Anti Money Laundering V yang banyak memberikan dukungan dan menjadi tempat berkeluh kesah saya, Bang Reinhard, Bang Samjo, Kak Elva, Kak penita, Edwin Pubiway, Frans, Kunjan, Dina, Irna, Dodi, Agustin, Inka, Yossie, Sheryn, Syahydah, Dyssa;

18. Terima kasih kepada Keluarga KPS FH USU Anti Human Trafficking I yang memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi lebih dewasa dan lebih baik lagi, Edwin Pubiway, Dina, Tiodora, Aulia, Girlie, Cecio, Anton Jambi, Albert, Alfina, yefanie, Larasati, Tridayanti, Pranade, Putri, Elfrida, Khawiy;

19. Terima kasih kepada Abang/Kakak, dan Teman-teman di Pelopor Muda yang menjadi tempat bagi saya untuk lebih menjadi pribadi/ Karakter yang lebih baik lagi;

20. Terima kasih kepada semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu telah membantu penulis hingga mencapai titik ini dan tak kenal lelah memberikan motivasi.

Kiranya hanya ini yang dapat disampaikan, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis berharap dan menerima segala kritik dan saran agar kedepannya bisa lebih baik

(8)

lagi dan semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang memerlukannya.

Medan, Mei 2020 Hormat Penulis,

(David Christopher) 160200130

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Metode Penelitian... 11

G. Keaslian Penulisan ... 13

H. Sistematika Penulisan... 16

BAB II ATURAN HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA MOBIL ... 18

A. Ketentuan Umum Tentang Pelaksanaan Perjanjian ... 18

B. Syarat dan Asas-asas dalam Perjanjian ... 28

C. Pengertian, Subjek dan Objek dalam Perjanjian Sewa- menyewa ... 40

D. Hak dan Kewajiban Para pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Sewa-menyewa ... 45

E. Berakhirnya Perjanjian Sewa-menyewa ... 49

BAB III WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL DAN AKIBATNYA ... 51

(10)

A. Pengertian Wanprestasi ... 51

B. Bentuk-bentuk Wanprestasi ... 52

C. Akibat Hukum Wanprestasi yang Diterima oleh Pihak Penyewa... 56

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN YANG DISEWAKAN D A L A M PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI. NO. 560 K/Pdt/2019 ... 65

A. Kasus Posisi ... 65

B. Akibat hukum Penyewa yang melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil ... 67

C. Analisis Terhadap Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan MAHKAMAH AGUNG RI. NO. 560 K/Pdt/2019 ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Dewasa ini kebutuhan akan penggunaan kendaraan bermotor sangatlah penting bagi manusia, hal ini tak lain karena kendaraan bermotor dapat mengoptimalkan kinerja manusia dan dapat mempercepat jarak tempuh perjalanan sehingga manusia yang sebelumnya memerlukan tenaga dan waktu yang banyak untuk menempuh sebuah perjalanan kini dapat teratasi dengan adanya sebuah kendaraan bermotor.

Mobil menjadi pilihan transportasi alternatif bagi masyarakat dalam melakukan perjalanan ke tempat yang ingin dituju. Hal ini karena efisiensi dari penggunaan kendaraan berupa mobil yang dapat mengangkut banyak orang sekaligus dalam satu waktu. Tentu apabila dilihat lebih jauh, tak semua orang dapat memiliki kendaraan pribadi berupa mobil dikarenakan harganya yang amat mahal. Selain harganya yang mahal, ada juga faktor lainnya yang membuat masyarakat enggan membeli mobil seperti mahalnya pajak kendaraan bermotor dan perawatan terhadap mobil yang terbilang cukup memakan biaya besar.

Seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai terbiasa menggunakan transportasi mobil untuk mengajak keluarga berpergian terutama dalam hal liburan. Hal ini dapat dilihat dengan semakin menjamurnya usaha sewa-menyewa mobil dengan harga yang terbilang cukup terjangkau. Melihat hal tersebut, maka akan terlahir hubungan perjanjian diantara individu yang satu dengan individu yang lainnya sehingga menimbulkan akibat hukum.

Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

(12)

2

hal.1 Lebih jelasnya lagi mengenai arti dari perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi :

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dari rumusan isi pasal di atas, memperlihatkan bahwa suatu perjanjian itu adalah:

1. Suatu perbuatan;

2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);

3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut. 2

Melihat rumusan isi Pasal 1313 Kitab undang-undang Hukum Perdata tentu dapat dimaknai secara berbeda-beda dikarenakan isinya yang kurang menjelaskan secara rinci maksud dari perkataan “perbuatan” tersebut, karena dalam buku ketiga KUHPerdata tentang perikatan tidak hanya menjelaskan mengenai perbuatan perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak saja, melainkan menjelaskan arti perikatan secara lebih luas. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi :

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena undang- undang.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan selain daripada undang-undang yang mana bahwa perjanjian akan melahirkan hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya sehingga menjadi suatu perikatan. Perjanjian yang dibuat secara sah akan

1I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2016. hal.

42.

2Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. hal. 7.

(13)

memiliki kekuatan hukum karena akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah membuatnya. Hal ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Mengenai sah atau tidaknya suatu perjanjian tentu juga memiliki kriteria sendiri. Adapun kriteria bagaimana sahnya suatu perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 KUHperdata yang berbunyi :

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.”

Dengan demikian, apabila ingin membuat suatu perjanjian, maka harus memenuhi kriteria yang telah disebutkan di atas yang dapat disimpulkan agar isi dari perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan maupun ketertiban umum.

Menurut Subekti, pengertian perikatan yang dimaksud dalam buku ketiga KUHPerdata adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.3 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pihak yang satu diwajibkan untuk memenuhi tuntutan, dan pihak yang lain berhak untuk menuntut pemenuhan kewajiban. Pihak yang diwajibkan memenuhi tuntutan disebut dengan debitur, sedangkan pihak yang berhak atas pemenuhan kewajiban disebut dengan kreditur. Debitur dan kreditur inilah yang menjadi sebuah subjek hukum.

3 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 29, Intemasa, Jakarta, 2001. hal. 122- 123.

(14)

4

Selain adanya subjek hukum tersebut, tentulah pasti ada sesuatu hal yang akan diperjanjikan atau disepakati oleh kedua belah pihak yang disebut dengan objek perikatan. Objek perikatan inilah yang biasanya dinamakan dengan prestasi.

Mengenai prestasi tersebut telah diatur dalam rumusan Pasal 1234 KUHPerdata yang berisi :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Adanya perikatan untuk memberikan sesuatu dimaksudkan kewajiban debitur untuk menyerahkan kepemilikan, penguasaan, atau kenikmatan dari suatu benda.

Misalnya pemberian sejumlah uang.4 Perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu misalnya membangun rumah, membuat lukisan, dan lain-lain; sedangkan perikatan untuk tidak berbuat atau melakukan sesuatu, misalnya seseorang membuat perjanjian dengan pihak lain untuk membeli sebuah rumah di suatu kompleks tertentu, dimana mereka sepakat membuat pagar batas bersama yang tingginya tidak melebihi 1,5 meter.5

Lazimnya dalam melaksanakan perikatan yang lahir dari perjanjian, kedua belah pihak haruslah saling memenuhi isi dari apa yang telah diperjanjikan sebelumnya dimana pihak debitur haruslah memenuhi kewajibannya dan pihak kreditur harus menerima hak-hak yang yang telah disepakati sehingga tercapailah sebuah prestasi.

Namun pada kenyataannya, kadang kala debitur tidak melaksanakan apa yang telah dijanjikan oleh dirinya sehingga ia dinyatakan telah wanprestasi.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk.6 Wanprestasi merupakan pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada

4 I Ketut Oka Setiawan, Op. Cit., hal. 17

5 Ibid.

6 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet 19, Intemasa, Jakarta, 2002. hal. 45.

(15)

waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.7 Orang yang melakukan wanprestasi dalam hal ini debitur biasanya merupakan orang yang lalai, ingkar janji, melanggar suatu perjanjian, ataupun melakukan sesuatu yang seharunya tidak boleh dilakukannya. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur ada empat macam yaitu:

1) tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

2) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3) melakukan apa yang diperjanjikannya tetapi terlambat;

4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 8 Perikatan yang lahir dari perjanjian memiliki banyak macam seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, perjanjian kerja, dan sebagainya. Sewa- menyewa merupakan perjanjian antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak sebagai yang menyewakan dan pihak yang lain sebagai penyewa. Pihak yang menyewakan sebagai pemilik akan menyerahkan suatu barang untuk dinikmati pihak penyewa dengan harga dan jangka waktu tertentu. Perjanjian sewa- menyewa diatur dalam Pasal 1548 KUHPerdata yang berbunyi :

“Sewa-menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”

Dari rumusan isi pasal di atas, dapat dipahami bahwa perjanjian sewa-menyewa merupakan :

a) Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.

7 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cet 2, Alumni, Bandung, 1986. hal. 60.

8 Subekti, Hukum Perjanjian, Loc. cit.

(16)

6

b) pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati.

c) penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula. 9

Para pihak yang melakukan perjanjian sewa menyewa haruslah saling melaksanakan apa yang telah disepakati sesuai dengan isi perjanjian. hal ini mencerminkan isi dari alinea ketiga Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan, maka akan timbulah suatu wanprestasi yang menyebabkan salah satu pihak lainnya mengalami kerugian.

Dalam skripsi ini mengangkat kasus tentang sewa-menyewa sebagai bahan penulisan dimana telah terjadi wanprestasi yang dilakukan pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa mobil yang dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 560 K/Pdt/2019.

Awalnya hubungan sewa-menyewa kendaraan mobil antara H (pihak yang menyewakan/ pemilik kendaraan) dengan AS (pihak penyewa) berjalan dengan baik layaknya sewa-menyewa kendaraan mobil pada umumnya. Awal mulanya AS pada hari Kamis tanggal 06 April 2017 mendatangi H untuk meminjam kendaraan miliknya yaitu satu unit kendaraan Toyota Avanza Type 1.3 G M/T warna hitam metalik tahun 2014 No. Pol. Z 1460 YD dengan cara menyewa selama satu hari yang dimulai pada hari Kamis tanggal 06 April 2017 hingga hari Jumat tanggal 07 April 2017 dengan harga sewa sehari semalam sebesar Rp 300.000,-

9 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 220.

(17)

(tiga ratus ribu rupiah). Karena kenal dan percaya satu sama lain, H pun akhirnya menyetujui untuk meminjamkan kendaraannya kepada AS.

Pada keesokan harinya, H mendatangi AS untuk mengambil kendaraan miliknya dikarenakan masa sewa kendaraan sudah berakhir sesuai perjanjian sebelumnya.

Namun ternyata kendaraan milik H tidak ada dan AS mengatakan bahwa kendaraan milik H telah dipinjamkan kepada orang lain yakni DF (pihak yang meminjam kendaraan kepada AS). Kemudian H dan AS mendatangi mendatangi rumah DF dan bertemu dengannya dimana DF memang mengakui bahwasannya kendaraan milik H yang dipinjam dari AS berada dalam penguasaannya. DF memohon kepada H untuk mempanjang waktu selama satu hari lagi untuk mengembalikan kendaraan milik H yang kemudian disetujui oleh H.

Ternyata setelah menunggu sehari lagi, DF belum juga mengembalikan kendaraan milik H dengan berbagai alasan dimana padahal sebelumnya DF telah berjanji akan mengembalikan kendaraan milik H. DF mengatakan apabila kendaraan milik H mengalami kerusakan kecil/berat maupun hilang, maka ia akan bertanggung jawab dan bersedia untuk mengganti kendaraan tersebut sesuai jenis kendaraan yang sama dan bersedia membayar keterlambatan pengembalian kendaraan sebesar Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) perjamnya serta ditambah perharinya sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).

Akhirnya walaupun telah ditunggu-tunggu, AS dan DF telah ingkar janji (wanprestasi) serta tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kendaraan milik H sehingga H selalu pemilik kendaraan dan sebagai pihak yang menyewakan kendaraan merasa sangat dirugikan oleh AS dan juga DF. Kendaraan tersebut belum juga dikembalikan hingga H mengajukan gugatan dan perkara ini telah sampai

(18)

8

pada tahap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 560 K/Pdt/2019, dimana putusan tersebut menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh DF.

Melihat kejadian perkara di atas, ternyata dalam prakteknya masih banyak terjadi permasalahan-permasalahan hukum mengenai perjanjian, walaupun pada dasarnya aturan-aturan tentang perjanjian sudah ada diatur dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Atas dasar itu, penulis mengajukan skripsi ini dengan judul “ANALISIS GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN (MOBIL) YANG DISEWAKAN KE PIHAK LAIN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 560 K/Pdt/2019).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian penjelasan pada latar belakang di atas, maka akan dirumuskan permasalahan yakni sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aturan hukum antara pihak penyewa dengan pihak yang menyewakan dalam perjanjian sewa-menyewa mobil ?

2. Bagaimanakah akibat hukum terhadap pihak penyewa yang telah wanprestasi dalam melaksanakan perjanjian sewa-menyewa mobil ?

3. Bagaimanakah analisis yuridis Mahkamah Agung RI dalam Putusan No. 560 K/Pdt/2019 terhadap perkara wanprestasi dalam sewa-menyewa mobil ? C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan judul serta perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan skripsi tersebut adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan/ pedoman dalam melaksanakan perjanjian sewa-menyewa.

(19)

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum yang diterima oleh pihak penyewa terhadap perbuatan wanprestasi yang dilakukannya dalam perjanjian sewa-menyewa mobil.

3. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI pada putusan No. 560 K/Pdt/2019 tentang perkara wanprestasi dalam hal sewa-menyewa mobil.

D. Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian tersebut, diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :

1. Secara Teoretis, memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum untuk para akademis terutama mengenai perjanjian sewa-menyewa. Selain itu, penelitian juga bermanfaat karena kelak dapat diuji di dalam penelitian- penelitian yang lebih lanjut.10 Hal ini dapat menjadi referensi atau menambah wawasan terhadap siapapun yang ingin mempelajarinya terutama di bidang hukum perdata.

2. Secara Praktis, memberikan manfaat terhadap siapapun yang membutuhkannya dalam melaksanakan perjanjian sewa-menyewa. Kemudian, hasil-hasil penelitian dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menerapkannya sebagai efektivikasi dari kebijaksanaan hukum.11

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan tema wanprestasi yang berasal dari perjanjian sewa- menyewa memanglah sudah ada yang membahas sebelum-sebelumnya. Namun

10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986. hal. 107.

11 Ibid.

(20)

10

judul tersebut belum pernah menjadi objek penelitian oleh pihak lain. Dalam penulisan skripsi ini membahas mengenai adanya perbuatan wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil dimana salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya.

Istilah wanprestasi muncul ketika seseorang tidak melaksanakan sesuatu yang telah disepakati sebelumnya atau dengan kata lain tidak melakukan suatu prestasi.

Prestasi sendiri merupakan suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Dengan demikian, apabila seorang debitur tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

Dari hal di atas, diketahui bahwa seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/ selayaknya.12

Para pihak harus senantiasa melaksanakan prestasinya masing-masing di karenakan isi atau substansi dari perjanjian itu sendiri merupakan keinginan dari kedua belah pihak. Perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan ini harus tetap ditaati ataupun dipatuhi mengingat walaupun perjanjian dibuat dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal ini tetap berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam waktu yang tertentu dan dengan sewa yang tertentu.13

12 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 60.

13 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Cet 2, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995. hal. 240-241.

(21)

Para pihak memiliki peran masing-masing dalam melaksanakan perjanjian sewa- menyewa dimana salah satu pihak sebagai yang menyerahkan suatu barang atau benda (menyewakan) dan di lain pihak sebagai yang menerima barang atau benda tersebut untuk dinikmati (penyewa). Perjanjian sewa-menyewa harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1230 KUHPerdata. Dalam sewa-menyewa, barang yang menjadi objek tidaklah dapat dimiliki melainkan hanya dapat dinikmati saja dalam jangka waktu tertentu.

F. Metode Penelitian

Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud merupakan pencarian terhadap suatu kebenaran yang ilmiah karena hal tersebut akan digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tertentu.14 Dalam melakukan penelitian tentu diperlukan sebuah metode agar penelitian tersebut dapat berjalan dengan terarah dan berhasil dengan melihat apakah masalah yang diteliti sesuai dengan metode yang digunakan. Atas dasar itu, adapun metode penelitian yang digunakan yakni sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi tersebut adalah jenis penelitian normatif dan studi putusan Mahkamah Agung RI No. 560 K/Pdt/2019 dimana hanya mengenal data sekunder saja sebagai pengolahan dan analisis data. Data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.15

2. Sifat Penelitian

14 Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet 8, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2014. hal. 19.

15 Ibid. hal. 163.

(22)

12

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yang artinya bertujuan untuk menggambarkan sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan apakah ada suatu hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.16 Dalam penelitian ini akan memberikan suatu penjelasan secara jelas mengenai permasalahan-permasalahan tentang wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil guna mempertegas hipotesa hipotesa atau untuk diambil suatu kesimpulan.

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari tiga bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki sifat autoritatif yang berarti mempunyai suatu keotoritasan. Bahan hukum ini terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, dan putusan- putusan hakim.17 Contohnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum perdata.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum.18 Dalam hal ini akan digunakan suatu bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan lain sebagainya yang menunjang bahan hukum primer dan berkaitan dengan penelitian wanprestasi dalam sewa- menyewa mobil.

16 Ibid. hal. 25

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet 8, Kencana, Jakarta, 2013. hal.

181.

18 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 52.

(23)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau suatu penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya.19

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan yaitu dengan menelusuri kepustakaan yang terkait dengan penelitian wanprestasi sewa-menyewa.

5. Analisa Data

Dalam menganalisa, penulis menggunakan metode analisa kualitatif dimana akan dihasilkan data deskriptif yang kemudian dianalisis secara utuh sehingga tercapailah suatu kesimpulan dari penulisan skripsi tersebut.

G. Keaslian Penelitian

Pertumbuhan kendaraan yang sungguh pesat dalam beberapa dekade terakhir ini membuat manusia sudah terbiasa atau bersahabat dengan kendaraan bermotor sebagai alat untuk mencapai jarak tempuh suatu perjalanan dengan efisien. Kendaraan bermotor sudah menjadi kebutuhan sehari-hari manusia sehingga seperti suatu kebutuhan primer. Pinjam-meminjam atau sewa-menyewa kendaraan sudah menjadi hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian maka akan terjadi perikatan yang lahir dari perjanjian satu sama lain diantara kedua belah pihak, contohnya sewa-menyewa kendaraan. Namun seperti perjanjian pada umum nya, terkadang salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya dalam hal sebagaimana yang telah disepakati sesuai isi perjanjian. Hal ini membuat kerugian bagi pihak dikarenakan ia kehilangan hak-haknya.

19 Ibid.

(24)

14

Melihat adanya masalah seperti yang dipaparkan di atas, maka dilakukanlah penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis gugatan wanprestasi tentang hilangnya kendaraan (mobil) yang disewakan ke pihak lain (studi putusan Mahkamah Agung RI No. 560 K/Pdt/2019)”. Walaupun penulisan skripsi tentang perbuatan wanprestasi dalam hal sewa-menyewa sudah ada sebelumnya, namun hal itu dituliskan dari segi sudut pandang yang tentu saja berbeda. Selain itu, mengenai kasus perbuatan wanprestasi yang dianalisis pun juga berbeda. Hal ini dapat diketahui setelah melakukan uji bersih di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dapat diambil kesimpulannya bahwa judul skripsi tersebut belum pernah ditulis dan tidak ada pada arsip perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kemiripan dengan skripsi lain yang sudah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diantaranya:

1. Nama : Ari Zuwanda Nim : 140200267

Judul : Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Mobil Antara Penyewa dengan CV. Kita Bersama di Kota Medan.

2. Nama : Yohanes L.T Tambunan Nim : 140200355

Judul : Pertanggungjawaban Pihak Penyewa Mobil Rental Dalam Hal Mengalami Kerusakan/ Kecelakaan (Studi pada PT. Kartika Indah Jaya).

3. Nama : Mhd. Donny Iskandar Nim : 150200134

(25)

Judul : Tanggung Jawab Pihak Penyedia Jasa Mobil Rental Terhadap Kerusakan yang Mengakibatkan Penyewa Mengalami Kecelakaan (Studi pada CV. 828 Sumatera Jaya)

Walaupun kedua judul skripsi di atas membahas tentang sewa-menyewa mobil juga, tentu memiliki perbedaan yang signifikan pada substansi pembahasan dengan skripsi penulis. Penelitian dengan judul “Analisis gugatan wanprestasi tentang hilangnya kendaraan (mobil) yang disewakan ke pihak lain (studi putusan Mahkamah Agung RI No. 560 K/Pdt/2019)” secara khusus membahas tentang hilangnya kendaraan mobil yang disewakan kepada penyewa sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak yang menyewakan,

Skripsi yang berjudul “Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Mobil Antara Penyewa dengan CV. Kita Bersama di Kota Medan.”

lebih menekankan pada pembahasan mengenai penyelesaian masalah jika ada wanprestasi dalam sewa-menyewa mobil yang artinya membahas perlindungan hak dan kewajiban secara umum terhadap kedudukan pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Kemudian, skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pihak Penyewa Mobil Rental Dalam Hal Mengalami Kerusakan/ Kecelakaan (Studi pada PT. Kartika Indah Jaya)” membahas tentang bagaimana pertanggungjawaban dari pihak penyewa jika mobil yang disewanya mengalami kerusakan/ kecelakaan.

Yang terakhir, skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Pihak Penyedia Jasa Mobil Rental Terhadap Kerusakan yang Mengakibatkan Penyewa Mengalami Kecelakaan (Studi pada CV. 828 Sumatera Jaya)” membahas tentang pertanggungjawaban dari pihak yang menyewakan mobil terhadap penyewa karena adanya kerusakan pada mobil yang disewa sehingga penyewa mengalami kecelakaan.

(26)

16

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa penulisan skripsi ini berbeda dengan yang lainnya dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat judul penulisan yang sama, maka bersedia untuk dimintai pertanggungjawabannya di kemudian hari.

H. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II ATURAN HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA MOBIL Pada bab ini akan diuraikan tentang perjanjian secara umum, diantaranya mengenai definisi, jenis perjanjian, kemudian syarat dan asas-asas dalam perjanjian, subjek dan objek perjanjian, pelaksanaan perjanjian sewa- menyewa, hak-hak dan kewajiban para pihak dalam melaksanakan perjanjian sewa-menyewa, serta berakhirnya suatu perjanjian sewa- menyewa.

BAB III WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA MOBIL DAN AKIBATNYA

Pada bab ini akan menjelaskan tentang pengertian dari wanprestasi.

Kemudian menguraikan tentang bentuk-bentuk wanprestasi dan akibat hukum yang harus diterima oleh pihak penyewa jika melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil.

BAB IV ANALISIS TERHADAP GUGATAN WANPRESTASI TENTANG HILANGNYA KENDARAAN YANG DISEWAKAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI. NO. 560 K/Pdt/2019

(27)

Pada bab ini akan menganalisis sebuah kasus posisi atau duduk perkara dari putusan Mahkamah Agung RI No. 560 K/Pdt/2019 mengenai wanprestasi yang dilakukan pihak penyewa mobil terhadap pihak yang menyewakan (pemilik mobil). Kemudian akan diuraikan mengenai akibat hukum yang diterima oleh penyewa setelah melakukan wanprestasi dalam perjanjian sewa-menyewa mobil. Kemudian yang terakhir akan menganalisis pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim yang mana untuk mengetahui penyebab terjadinya wanprestasi tersebut dan penyelesaiannya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini merupakan bab penutup. Penulis akan menjelaskan kesimpulan dari keseluruhan penjelasan pada bab-bab sebelumnya serta akan memberikan saran-saran yang tentu diharapkan akan berguna bagi siapa saja yang membacanya.

(28)

BAB II

ATURAN HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA MOBIL A. Ketentuan Umum Tentang Pelaksanaan Perjanjian

Menjalani kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan pernah bisa hidup sendirian. Manusia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kehidupannya seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia merupakan makhluk zoon politicon. Oleh sebab itu tentu akan ada sebuah ikatan antara individu yang satu

dengan indiviu yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga lahirlah suatu kesepakatan atau perjanjian.

Pengaturan mengenai perjanjian diatur dalam buku ketiga KUHPerdata.

Dalam buku ketiga KUHPerdata tentang perikatan dapat diketahui bahwa perikatan yang dimaksud adalah abstrak, berbeda dengan perjanjian yang merupakan sumber dari perikatan itu sendiri yang lebih konkrit peristiwanya karena perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan suatu hal yang dikehendaki atau diinginkan oleh dua orang atau dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang merupakan suatu hal yang di luar kemauan dari para pihak.20 Hal ini mengartikan bahwa dalam perjanjian, para pihak ingin mengadakan suatu ikatan hukum di mana salah satu pihak harus memenuhi suatu kewajiban dan pihak lain sebagai penerima hak. Dengan demikian, mereka menjadi terikat satu sama lain atas janji yang mereka buat dan akan berakhir bila perjanjian itu telah terpenuhi.

Kata perikatan dalam bahasa Belanda sering disebut dengan verbintenis.

Namun ada beberapa sarjana yang menterjemahkannya sebagai perutangan atau perjanjian, sedangkan overeenkomst diterjemahkan menjadi persetujuan.21 Namun

20 Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal. 3.

21 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. hal. 1.

(29)

pada kenyataannya, penggunaan kata verbintenis sebagai terjemahan dari perikatan telah banyak digunakan oleh para sarjana dan overeenkomst sering disebut perjanjian atau persetujuan.

Perjanjian (overeenkomst) merupakan suatu hubungan hukum kekayaan/ harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.22 Dengan demikian dapat ditemui wujud dari perjanjian tersebut antara lain adanya suatu hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara dua orang atau lebih tentang hukum kekayaan, yang mana salah satu pihak menerima hak dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi. Hubungan hukum dalam perjanjian ini diatur dan disahkan sendiri oleh pembuatnya sehingga hal inilah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang ditemui dalam harta benda kekeluargaan atau perikatan yang bersumber dari undang-undang.

Definisi perjanjian menurut Subekti ialah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.23 Sedangkan Riduan Syahrani memberikan definisi perjanjian sebagai suatu hubungan hukum di lapangan harta kekayaan, dimana seseorang (salah satu pihak) berjanji atau dianggap berjanji kepada seorang (salah satu pihak) yang lain atau kedua orang (pihak) saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu.24

Walaupun terdapat perbedaan definisi perjanjian menurut beberapa sarjana namun dapat diketahui bersama bahwa suatu perjanjian itu melibatkan dua pihak

22 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 6.

23 Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal. 1.

24 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Edisi Kedua, Cet 1 , Alumni, Bandung, 2004. hal. 244.

(30)

20

atau lebih untuk saling mengikatkan dirinya satu sama lain dimana salah satu pihak diwajibkan untuk melaksanakan sesuatu hal baik itu berupa menyerahkan benda ataupun berbuat suatu hal dan pihak yang lain sebagai penerima hak/

prestasi.

Dalam suatu perjanjian, para pihak tentu diberikan kebebasan atau kehendak untuk membuat isi dari perjanjian. Hal inilah yang juga membedakan perjanjian dari perikatan-perikatan lainnya. Walaupun para pihak diberikan kebebasan dalam membuat isi perjanjian, namun hal itu harus tetap sesuai pada koridor hukum yang berlaku, misalnya bahwa perjanjian harus dibuat berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata atau sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1339 yang berbunyi:

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”

Dari hal di atas, maka dikenal dalam doktrin ilmu hukum mengenai unsur- unsur perjanjian yang disebut sebagai perwujudan terhadap kedua pasal tersebut yaitu:

1. unsur esensialia, merupakan suatu unsur perjanjian yang selalu harus ada dan mutlak dalam suatu perjanjian, dengan kata lain tanpa unsur tersebut, perjanjian tak mungkin ada.25 Unsur ini menekankan mengenai prestasi-prestasi yang wajib dilaksanakan oleh para pihak sehingga mencerminkan sifat dari perjanjian itu sendiri atau membedakannya dari jenis perjanjian yang lain, contohnya perbedaan mengenai perjanjian jual-beli dengan sewa-menyewa.

2. unsur naturalia, merupakan unsur yang pasti sudah ada dalam perjanjian setelah diketahui unsur esensialianya. Dalam hal ini misalnya sudah diketahui pada perjanjian yang mengandung unsur esensialia sewa-menyewa, sudah

25 J. Satrio, Op. Cit., hal. 67.

(31)

pasti terdapat unsur naturalia yaitu berupa kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggung segala kekurangan pada benda yang disewakan karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa menghendaki demikian sehingga berlakulah ketentuan dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

3. unsur accidentalia, merupakan suatu unsur pelengkap dalam perjanjian di mana para pihak dapat menentukan sendiri aturan-aturan yang menyimpang yang dikehendakinya sehingga menjadi persyaratan khusus bagi mereka.26 Dengan kata lain bahwa unsur ini sebenarnya bukanlah bentuk dari suatu prestasi yang harus dilaksanakan oleh para pihak.

Perjanjian terdiri dari dua bentuk yaitu perjanjian tertulis dan tidak tertulis.

Baik perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, kedua-duanya tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat namun perjanjian tertulis lebih memudahkan pembuktian apabila terjadi suatu perselisihan di kemudian hari. Perjanjian yang dibuat pada dasarnya hanya mengikat pada pihak-pihak yang membuatnya saja. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang berbunyi:

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”

Maksud dari isi pasal tersebut adalah bahwa perjanjian yang dibuat tidak bisa berlaku bagi orang lain di luar pihak-pihak yang membuatnya sehingga dengan demikian pasal ini memberikan suatu batasan-batasan terhadap siapa saja yang harus bertanggung jawab dan memperolah suatu hak. Tidak ada orang lain/ pihak ketiga yang diharuskan memikul suatu kewajiban atas perjanjian yang dibuat oleh orang lain.

26 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 89.

(32)

22

Meskipun Pasal 1315 KUHPerdata mengatur demikian, ternyata ketentuan tersebut tidaklah mutlak berlaku dalam membuat perjanjian. Ada pengecualian- pengecualian dalam beberapa pasal lain di KUHPerdata yang membolehkan para pihak meletakkan kewajiban-kewajiban/ hak kepada orang lain atau dalam hal ini pihak ketiga, salah satu pasal yang memperbolehkan pengecualian ini adalah Pasal 1317 yang berbunyi:

“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.”

Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa seseorang bisa membuat janji dengan pihak lain dengan maksud untuk memperjanjikan hak-haknya kepada orang lain (pihak ketiga).

Dalam perjanjian, tentu para pihak diberikan kehendak atau kebebasan dalam membuat dan melaksanakan perjanjian, namun kebebasan tersebut tidak bisa dianggap mutlak oleh karena harus mematuhi sifat dari perjanjian itu sendiri seperti yang telah diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Oleh karena itu, agar perjanjian dapat dianggap sah dan berlaku, ada empat syarat yang diperlukan seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dimana kempat syarat tersebut yakni:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, empat syarat tersebut digolongkan ke dalam dua unsur yang mana pada dua unsur pokok di atas yaitu syarat pertama dan kedua menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian

(33)

(unsur subjektif), dan dua unsur pokok sisanya yaitu syarat ketiga dan keempat merupakan syarat yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).27

Pada syarat pertama yaitu mengenai kesepakatan para pihak. Kesepakatan berarti suatu persetujuan karena kata sepakat, atau persetujuan karena persesuaian kehendak.28 Ada lima cara terjadinya suatu persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

1) bahasa yang sempurna dan tertulis;

2) bahasa yang sempurna secara lisan;

3) bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima atau dimengerti oleh pihak lawan;

4) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

5) diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.29 Kesepakatan sangat diperlukan dalam membuat perjanjian dan para pihak mempunyai kebebasan berkehendak tanpa adanya suatu tekanan apapun (sukarela).

Dalam KUHPerdata mengatur bahwa ada 3 hal tekanan yang dimaksud yaitu kesepakatan dibuat dengan adanya suatu paksaan, kekhilafan (dwaling) atau penipuan (bedrog). Hal ini telah diatur dalam Pasal 1321 yang menyebutkan:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

Dengan demikian, apabila perjanjian dibuat dengan adanya tekanan dan telah terbukti memenuhi 3 hal tekanan yang disebutkan dalam pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian itu menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

27 Ibid., hal. 93.

28 B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009. hal. 149.

29 Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta 2014. hal. 15.

(34)

24

Pada syarat kedua yaitu mengenai kecakapan seseorang. Kecakapan seseorang dalam hal ini adalah kecakapan untuk bertindak dalam hukum dan kewenangan bertindak dalam hukum. Masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan seseorang dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, sedangkan masalah kewenangan bertindak berkaitan dengan kapasitas seseorang yang bertindak atau berbuat sesuatu dalam hukum sehingga kedua hal di atas bisa saja diartikan bahwa seseorang yang dianggap cakap bertindak dalam hukum belum tentu berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum, begitu juga sebaliknya seseorang yang berwenang melakukan suatu perbuatan hukum belum tentu ia telah cakap dalam bertindak yang diakibatkan oleh suatu hal.30

Mengenai orang-orang yang dinyatakan telah cakap menurut hukum telah diatur sebagaimana dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang berbunyi:

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.”

Sedangkan mengenai kriteria orang-orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang berbunyi:

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

a) orang-orang yang belum dewasa;

b) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

c) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.”

Tentang kriteria orang-orang yang belum dewasa dan mengenai perempuan yang dinyatakan tak cakap membuat suatu perjanjian telah mengalami perubahan sejak dikeluarkannya undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perka-

30 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 127.

(35)

winan. Dari kedua syarat yang telah dikemukakan sebelumnya menimbulkan maksud bahwa apabila unsur subjektif tersebut diabaikan maka perjanjian tersebut dapatlah dibatalkan (voidable).

Pada syarat yang ketiga yaitu unsur objektif tentang hal tertentu dalam perjanjian. Mengenai hal-hal tertentu yang dimaksud, diatur dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Adapun bunyi Pasal 1332 yaitu:

“Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”

Konsekuensi hukum apabila tidak terpenuhinya syarat mengenai syarat ketiga yang bersifat objektif tersebut, maka suatu perjanjian akan dinyatakan batal demi hukum (Null and Void).

Pada syarat yang terakhir/ keempat yaitu tentang suatu sebab yang halal dalam perjanjian. Mengenai suatu sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Adapun maksud sebab yang halal ini adalah bahwa dalam membuat perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang- undang, ketertiban umum, maupun kesusilaan. Jika bertentangan dengan hal tersebut, maka perjanjian dengan otomatisnya akan batal demi hukum.

Penjelasan syarat-syarat di atas menunjukkan bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus dilakukan dengan maksud itikad baik sebagaimana yang di amanatkan dalam Pasal 1338 ayat (3)/ alinea ketiga. Pelaksanaan terhadap suatu perjanjian tidak boleh melanggar asas kepatutan dan keadilan. Ayat kesatu dalam Pasal 1338 KUHPerdata dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka ayat ketiga dalam pasal ini harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan sehingga tercapai dua tujuan hukum yakni menjamin kepastian dan memenuhi tuntutan keadilan.31

31 Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hal. 41.

(36)

26

Perjanjian tak hanya bisa dipahami sebatas definisinya saja yaitu menuntut hak dan melaksanakan kewajiban. Ada beberapa jenis perjanjian-perjanjian yang diatur dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya:

(1) Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang memuat hak pada salah satu pihak, dan hak ini sekaligus menjadi kewajiban bagi pihak lawannya, misalnya perjanjian sewa-menyewa mobil.

Perjanjian sepihak merupakan perjanjian dimana hanya ada satu pihak yang mempunyai kewajiban atau prestasi namun tetap mempunyai akibat pada dua pihak, misalnya perjanjian pemberian hibah yang diatur dalam Pasal 1666 KUHPerdata. Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa isi perjanjian sepihak itu merupakan pernyataan sepihak namun memberi akibat bagi kedua pihak yaitu penghibah yang terbebani kewajiban (debitur), terhadap penerima hibah.32

(2) Perjanjian bernama dan tidak bernama

Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan khusus dalam undang-undang. Perjanjian bernama ini paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari walaupun jumlahnya terbatas. Perjanjian bernama disebutkan secara jelas dalam KUH Perdata, seperti sewa-menyewa, tukar-menukar, jual-beli, dan sebagainya.

Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diberi nama dan pengaturan secara khusus dalam undang-undang namun tetap ada dan hidup dalam masyarakat, contohnya seperti perjanjian sewa-beli.33

32 I Ketut Oka Setiawan, Op. Cit., hal. 51.

33 Ibid.

(37)

(3) Perjanjian dengan cuma-cuma dan atas beban

Perjanjian dengan cuma-cuma yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya penghibahan, dan suatu pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata).

Perjanjian atas beban sendiri merupakan perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu, seperti perjanjian sewa-menyewa. Suatu perjanjian timbal-balik juga merupakan suatu perjanjian atas beban.34

(4) Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual merupakan perjanjian yang tercipta dengan tercapai nya persetujuan kehendak para pihak untuk mengadakan perikatan (Pasal 1338 KUHPerdata).

Perjanjian riil sendiri yaitu perjanjian yang tercipta disamping persetujuan- persetujuan para pihak, maksudnya perjanjian ini keterikatannya bukan di tentukan karena konsensus (kesepakatan), namun terjadi setelah dilakukannya penyerahan (perbuatan riil) atas barang yang dijanjikannya itu sehingga bisa dikatakan telah mengingkari asas konsensus., contohnya penitipan dan pinjam- pakai.35

(5) Perjanjian obligatoir dan kebendaan

Suatu perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang hanya mempersoal kan kesepakatan para pihak untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain, misalnya dalam sewa-menyewa walaupun telah tercapai konsensus

34 C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 207-208.

35 I Ketut Oka Setiawan, Op. Cit., hal. 52-53.

(38)

28

antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa tentang barang dan harga sewa belumlah mengakibatkan beralihnya hak pakai terhadap barang tersebut ke si penyewa.

Perjanjian kebendaan memiliki kaitan yang erat dengan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan merupakan suatu perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain.

B. Syarat dan Asas-asas Dalam Perjanjian

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai maksud dari keempat syarat sahnya perjanjian. Perjanjian tak hanya sekedar saling mengikatkan diri satu sama lain. Agar suatu perjanjian menjadi sah maka harus memenuhi empat syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Untuk lebih mudah dimengerti lagi maka akan dijabarkan satu persatu mengenai syarat-syarat agar sahnya suatu perjanjian yakni sebagai berikut.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Tentang sepakat berarti mengenai kesepakatan para pihak yang saling mengikatkan dirinya sesuai kehendak mereka (perjanjian konsensual).

Kesepakatan tersebut dapat terjadi dengan secara tegas seperti mengucapkan kata atau tertulis ataupun secara diam seperti dengan suatu sikap atau dengan isyarat. Mereka yang bersepakat haruslah diberikan kebebasan sesuai kehendak mereka sendiri dalam menentukan isi perjanjian. Namun perlu diingat bahwa isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum maupun

(39)

kesusilaan. Selain itu, kesepakatan yang dibuat tidak dapat dilaksanakan jika diketahui adanya sebuah kekhilafan, diperoleh dengan paksaan ataupun karena penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata.

Kekhilafan dalam kesepakatan perjanjian diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yang berbunyi:

“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.

Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”

Dari isi pasal di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kekhilafan adalah:

1) Saat seseorang membuat perjanjian ia dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang tidak benar;

2) Saat seseorang keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.36

Kesepakatan yang dilarang selain kekhilafan adalah adanya suatu paksaan dalam melaksanakan perjanjian. Maksud paksaan ialah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang.37 Paksaan tersebut merupakan perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, baik ketakutan terhadap dirinya ataupun terhadap kekayaannya. Mengenai paksaan ini diatur dalam Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata. Pasal 1323 berbunyi:

“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila

36 Ratna Artha Windari, Op. Cit., hal. 16.

37 C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 224.

(40)

30

paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”

Dalam pasal ini menerangkan bahwa orang yang terpaksa melakukan perjanjian karena adanya tekanan psikologis diberikan hak untuk meminta pembatalan perjanjian, baik itu berupa paksaan yang datang dari pihak lawan maupun paksaan yang datang dari pihak ketiga.38

Terakhir, perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah apabila adanya suatu itikad tidak baik yaitu penipuan. Tentang penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang berbunyi:

“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut.”

Dari penjelasan isi pasal di atas, diketahui jika orang yang menyetujui membuat perjanjian karena ditipu dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut karena jika ia tahu bahwa telah ditipu maka ia tidak akan mau membuat perjanjian tersebut. Namun hal ini bisa dilakukan jika memang penipuan tersebut terbukti secara hukum.39

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan berarti mampu melakukan suatu perbuatan hukum, atau bisa dikatakan para pihak yang melaksanakan perjanjian telah dinyatakan dewasa oleh hukum. Lawan dari kecakapan adalah tidak cakap sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1330 KUHPerdata yang menyatakan ada 3 penyebab orang dianggap tak cakap melakukan perjanjian yaitu:

1) orang-orang yang belum dewasa;

38 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014. hal. 70.

39 Ibid., Hal. 73

(41)

2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

KUHPerdata memberikan batasan usia yang menyatakan bahwa mereka yang belum dewasa adalah yang belum mencapai usia dua puluh satu tahun dan belumlah kawin (Pasal 330). Apabila seorang anak yang sudah menikah namun kemudian pernikahannya dibubarkan sebelum ia berusia 21 tahun maka ia tetap dianggap telah dewasa. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ada perbedaan pengaturan mengenai batas usia kedewasaan seseorang. Dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”

Dengan demikian, mengenai batasan usia kedewasaan seseorang berubah menjadi 18 tahun yang menggantikan aturan dalam KUHPerdata sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan jika seseorang telah berumur 18 tahun atau telah menikah, dan seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun.40

40 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 130-131.

(42)

32

Mengenai mereka yang ditaruh di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.”

Dengan diletakkannya seseorang di bawah suatu pengampuan, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belumlah dewasa dan orang tersebut dinyatakan menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam melakukan perbuatan hukum, sehingga jika ia melakukan perbuatan hukum maka akan berakibat kebatalan dalam pelaksanaan perjanjian.41

Orang-orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum maksudnya adalah perempuan yang bersuami karena ia harus mendampingi suami sehingga menurut KUHPerdata ia tidaklah cakap.

Namun semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, hak dan kedudukan istri adalah setara dengan suaminya dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat sehingga dengan demikian seorang istri dinyatakan cakap hukum (Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan). Selain itu tentang harta benda suami-istri juga telah diatur oleh undang-undang perkawinan sehingga secara keseluruhan aturan tentang perkawinan yang ada dalam KUHPerdata tidaklah berlaku lagi setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan).

c. Suatu hal tertentu.

Suatu perjanjian, objek perjanjiannya haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak. Objek perjanjian dapat berupa barang maupun jasa, dan bisa

41 Ibid., hal. 136.

(43)

juga berupa tidak berbuat sesuatu. Adapun yang dapat menjadi objek perjanjian menurut Pasal 1332 dan 1334 KUHPerdata ialah:

1) dapat diperdagangkan;

2) objeknya jelas;

3) jumlah dapat ditentukan/dihitung;

4) bisa barang yang akan ada di kemudian hari;

5) bukan warisan yang belum terbuka.42

Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu, objek perjanjiannya haruslah barang/ benda yang telah ditentukan secara pasti. Misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa mobil, para pihak harus menentukan dulu tipe mobil apa yang akan disewakannya, berapa kapasitas tempat duduk pada mobil tersebut dan hal-hal lainnya yang harus diketahui oleh si penyewa sehingga tidak akan menimbulkan suatu keraguan atau ketidakpastian mengenai barang yang dimaksud.

d. suatu sebab yang halal.

Sebab merupakan tujuan diadakannya suatu perjanjian dan hal ini menjadi penentuan apakah perjanjian yang dibuat saat itu sah atau tidak.

Wirjono Prodjodikoro tidak sependapat dengan perkataan sebab dan lebih memilih perkataan causa dalam hal ini dikarenakan sebab selalu berhadap- hadapan dengan akibat, sedangkan causa bukanlah hal yang mengakibatkan sesuatu hal, melainkan hanya suatu keadaan belaka, sehingga ia berpandangan bahwa causa dalam perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan-persetujuan itu.43

42 Ratna Artha Windari, Op. Cit., hal. 17.

43 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Cet 9, Mandar Maju, Bandung, 2011. hal. 37.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan dalam tulisan ini adalah dengan diketahuinya bahwa budaya perusahaan dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap

satu kelas diterapkan model pembelajaran siklus (Learning Cycle) yang. sebelumnya diterapkan model pembelajaran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, saran yang dapat diberikan, diantaranya (1) bagi peneliti lain dapat melakukan pengembangan game Jumanji Tiruan lebih lanjut

Grafik Perbandingan Antara Total Tegangan dan Muatan Baterai Pada Siklus Pengosongan Kurva SOC terhadap tegangan pada siklus pengambilan data ini berbentuk kurva ‘S’ dan tidak

Nama Bank : MAYBANK ISLAMIC BERHAD Cawangan :

Mengkaji motivasi petani jahe emprit mitra menjalin kemitraan dengan

dengan konsep pendukung yang lain yakni materi pemuaian pada. matapelajaran