FACTORS THAT CAUSE VISUAL ACUITY WAS NOT OPTIMAL IN PATIENTS WITH POSTOPERATIVE FACOEMULSIFIKASI CATARACT IN BKMM SULSEL
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PENCAPAIAN TAJAM PENGLIHATAN TIDAK MAKSIMAL PADA PASIEN POST OPERASI KATARAK
FACOEMULSIFIKASI DI BKMM SUL-SEL
SKRIPSI
Disusun Oleh:
Muhammad Fajri Jami’ady 10542 0299 11
Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 10 Maret 2015
Muhammad Fajri Jami’ady (10542 0299 11) dr. Hj. Rahasia Taufik , Sp.M
”FAKTOR – FAKTOR YANG MENYEBABKAN TAJAM PENGLIHATAN TIDAK MAKSIMAL PADA PASIEN POST OPERASI KATARAK FACOEMULSIFIKASI DI BKMM SUL – SEL”.
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Katarak merupakan penyakit yang pertama dari lima area prioritas utama pada prakarsa global untuk mengurangi angka kebutaan (Vision 2020).
Penyakit katarak di Indonesia terjadi pada usia lebih muda, yaitu pada usia 45 tahun.
Menurut kriteria WHO tajam penglihatan pada hari VIII pasca operasi katarak facoemulsifikasi diklasifikasikan yaitu (1) tajam penglihatan baik apabila tajam penglihatan sebesar 6/6-6/18, ( 2 ) tajam penglihatan kriteria sedang apabila tajam penglihatan sebesar <6/18-6/60, dan (3) tajam penglihatan kriteria buruk apabila tajam penglihatan sebesar <6/60.
TUJUAN : Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Menyebabkan Pencapaian Tajam Penglihatan Tidak Maksimal pada Pasien Post Operasi Katarak Facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel
METODE : Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode case control yang bersifat deskriptif. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien katarak pasca operasi. Data sekunder diperoleh dari medical record pasien.
HASIL : Dari hasil yang didapat faktor – faktor yang menyebabkan tajam penglihatan tidak maksimal pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi yaitu Diabetes Melitus 0 % , Degeneratif : 66.7 % , Follow Up : 44.4 % , Teknik Operasi : 0 % , ketidak percayaan dan kepuasan pelayanan : 16,7 %
KESIMPULAN : Variable yang berhubungan dengan faktor – faktor penurunan tajam penglihatan tidak maksimal adalah umur diatas 60 tahun ( Degeneratif ), jenis kelamin perempuan , dan kurangnya follow up dari para pasien post operasi katarak facoemulsifikasi
Kata Kunci :Mata,Katarak , facoemulsifikasi
FACULTY OF MEDICINE
UNIVERSITY OF MUHAMMADIYAH MAKASSAR 10 Maret 2015
Muhammad Fajri Jami’ady (10542 0299 11) dr. Hj. Rahasia Taufik, Sp.M
“FACTORS THAT CAUSE VISUAL ACUITY WAS NOT OPTIMAL IN PATIENTS WITH POSTOPERATIVE FACOEMULSIFIKASI CATARACT IN BKMM SULSEL”
ABSTRACK
BACKGROUND :Cataract is a disease that is the first of the five main priority areas on a global initiative to reduce blindness (Vision 2020). Cataract in Indonesia occurred at a younger age, that is at the age of 45 years. According to the WHO criteria for visual acuity on the eighth day after facoemulsifikasi cataract surgery is classified: (1) the criteria of good visual acuity if the visual acuity is amounting 6 / 6-6 / 18, (2) the criteria of medium visual acuity if the visual acuity is amounting <6 / 18-6 / 60, and (3) the criteria of poor visual acuity if visual acuity is amounting <6/60.
PURPOSE : To determine the Factors That Cause No Maximum Achievement Sharp Vision in Patients with Facoemulsifikasi Cataract post Surgery in BKMM sulsel
METHODS :The method used in this study is descriptive case-control method. The data used in this research is the primary data and secondary data. Primary data is data obtained directly from the patient's postoperative cataract. Secondary data were obtained from medical records of patients.
RESULT : From the results obtained the factors that cause no maximum visual acuity in patients with postoperative cause no maximum visual acuity in patients with postoperative facoemulsifikasi cataract which is Diabetes Mellitus0%, Degenerative:
66.7%, Follow Up: 44.4%, Mechanical Operations: 0%, distrust and service satisfaction:
16, 7%.
CONCLUSION :Variables associated with the factor of the reduction that is not optimal visual acuity age over 60 years (Degenerative), female gender, and the lack of follow up of the patients postoperative facoemulsifikasi cataract
Keyword : Eye,Cataract, facoemulsifikasi
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PENCAPAIAN TAJAM PENGLIHATAN TIDAK MAKSIMAL PADA PASIEN POST OPERASI KATARAK FACOEMULSIFIKASI DI BKMM SUL-SEL”
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad, penulis curahkan ke hadirat junjungan umat, pemberi syafa’at, penuntun jalan kebajikan, penerang di muka bumi ini, seorang manusia
pilihan dan teladan kita, Rasullulah SAW, beserta keluarga, para sahabat dan pengikut Beliau hingga akhir zaman, Amin.
Penulis memulai tulisan ini dengan huruf kemudian menjadi kata lalu menjadi kalimat, begitu seterusnya hingga teesusunlah karya tulis ilmiah ini untuk menjadi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana kedokteran (S.Ked) di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. DR. H. Irwan Akib, M.Pd selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar beserta jajarannya.
2. dr. H. Mahmud Ghaznawie, Ph.D, Sp. PA(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar beserta jajarannya.
3. dr. Hj. Rahasia Taufik , Sp. M selaku pembimbing dan dr. Nurmila , M.Kes selaku penguji yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan pengarahan dan koreksi sampai skripsi ini selesai.
4. dr. Dara Ugi , M. Kes selaku dosen penasehat akademik yang membimbing dari semester 1 sampai semester akhir.
5. Kepala Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul - Sel yang telah memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan segenap Pegawai BKMM yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian pada instansi tersebut.
6. Ayahanda Prof. Dr. Abdul Rahman , M.Pd dan Ibunda Dra. Hj. Nursiah , M.Pd yang tercinta atas segala doa, pengorbanan, kasihsayang, didikan, dan bantuan moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakak Iftithah Nurmaulidia , S.Kom dan adik Agung Tri Utomo dan Rikah Fahranah yang senantiasa membantu dan memberi dukungan kepada penulis sehingga tulisan ini bisa selesai.
8. Keluarga besar angkatan 2011 Astrocyte yang selama ini bersama-sama dengan kompak dalam menjalani perkuliahan.
9. Teman sepembimbing seperjuangan Andi Nurlaely Hamid , Nur Hikmah Jihad, dan Muhammad Ilyas Nurdin.
10. Afra Fatin Arindy yang selalu membantu dan memberi motivasi yang terus-menerus sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menerima saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon ridha dan magfirah-Nya, semoga segala dukungan serta bantuan semua pihak mendapat pahala yang berlipat ganda disisi Allah SWT, semoga karya ini dapat bermanfaat kepada para pembaca, Aamiin
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAK……… i
KATA PENGANTAR ………. iii
DAFTAR ISI………. iv
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Rumusan Masalah ……… 2
C. Tujuan Penelitian ………. 2
D. Manfaat Penelitian ……… 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 4
BAB III KERANGKA KONSEP ………..…… 32
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ……… 34
BAB V HASIL PENELITIAN ……….……. 36
BAB VI PEMBAHASAN ……….. 44
BAB VII KAJIAN KEISLAMAN………. 49
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 51
DAFTAR PUSTAKA ……… 52
LAMPIRAN……… 53
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas …… 12
Tabel 2.2 Nilai Tajam Penglihatan Dalam Meter, Kaki, Desimal……… 16
Tabel 2.3 Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman Penglihatan……… 16
Tabel 3.1 Frekuensi Pasien Akibat DM……… 36
Tabel 3.2 Frekuensi Pasien Akibat Degeneratif……… 36
Tabel 3.3 Distribusi Penderita Menurut Umur dan Jenis Kelamin……… 37
Tabel 3.4 Frekuensi Follow Up……….. 37
Tabel 3.5 Follow Up……….. 38
Tabel 3.6 Tekknik Operasi……… 38
Tabel 3.7 Kurang Kepercayaan Pelayanan ……….. 39
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 struktur Aksesori Mata……… 4
Gambar 2.2 Otot – otot Ekstrinsik Bola Mata……… 5
Gambar 2.3 Anatomi Bola Mata………. 6
Gambar 2.4 Jeras Penglihatan……… 9
Gambar 2.5 Kinetic Perimetry……… 18
Kerangka Teori……… 28
Kerangka Konsep……… 29
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Penelitian Kepada Kepala Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul – Sel 2. Data Dalam Microsoft Excel
3. Analisis SPSS 4. Riwayat Hidup
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Katarak merupakan penyakit yang pertama dari lima area prioritas utama pada prakarsa global untuk mengurangi angka kebutaan (Vision 2020).
Katarak dipilih karena merupakan penyebab utama gangguan penglihatan didunia.
Katarak merupakan masalah nasional yang perlu segera ditanggulangi. Katarak dapat menyebabkan penurunan produktivitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Farida (1989-1999), lebih dari separuh (52%) kebutaan disebabkan oleh katarak. Bahkan 16 % buta oleh karena katarak dialami oleh penduduk usia produktif (40-54 tahun). Penyakit katarak di Indonesia terjadi pada usia lebih muda, yaitu pada usia 45 tahun.
Menurut kriteria WHO tajam penglihatan pada minggu VIII pasca operasi katarak diklasifikasikan yaitu (1) tajam penglihatan baik apabila tajam penglihatan sebesar 6/6-6/18, ( 2 ) tajam penglihatan kriteria sedang apabila tajam penglihatan sebesar <6/18-6/60, dan (3) tajam penglihatan kriteria buruk apabila tajam penglihatan sebesar <6/60.
Dari masalah tersebut diatas, melihat besarnya kasus pada penderita katarak pasca operasi katarak , sehingga hal ini menjadi latar belakang bagi penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor yang Menyebabkan Pencapaian Tajam Penglihatan Tidak Maksimal pada Pasien Post Operasi Katarak Facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya tajam penglihatan yang tidak maksimal pada pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel.
2. Terkhusus pada pasien yang telah dioperasi, dalam hal ini adalah operasi katarak facoemulsifikasi.
3. Pasien post operasi katarak facoemulsifikasi adalah pasien yang melakukan follow up selama tujuh hari.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui faktor penyebab tajam penglihatan tidak maksimal pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel 2. Untuk mengurangi prevalensi penyebab tajam penglihatan tidak
maksimal pada pasien post operasi katarak facoemulsifikasi di BKMM Sul- Sel .
D. MANFAAT PENELITIAN
Ada pun manfaat yang diambil dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat terhadap penulis :
1. Memahami Faktor resiko penyebab tidak maksimalnya hasil operasi facoemulsifikasi pada pasien katarak di BKMM Sul- Sel.
2. Manfaat terhadap akademik :
1. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang penyakit mata, baik pra-operasi maupun pasca operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Mata
Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia. Mata dilindungi oleh area orbit tengkorak yang disusun oleh berbagai tulang seperti tulang frontal, sphenoid, maxilla, zygomatic, greater wing of sphenoid, lacrimal, dan ethmoid (Rizzo, 2001).
1. Komponen Bola Mata
Sebagai struktur tambahan mata, dikenal berbagai struktur aksesori yang terdiri dari alis mata, kelopak mata, bulu mata, konjungtiva, aparatus lakrimal, dan otot-otot mata ekstrinsik. Alis mata dapat mengurangi masuknya cahaya dan mencegah masuknya keringat, yang dapat menimbulkan iritasi, ke dalam mata. Kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya benda asing ke dalam mata. Konjungtiva merupakan suatu membran mukosa yang tipis dan transparan. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam kelopak mata dan konjuntiva bulbar melapisi bagian anterior permukaan mata yang berwarna putih. Titik pertemuan antara konjungtiva palpebra dan bulbar disebut sebagai conjunctival fornices (Seeley, 2006).
Apparatus lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal yang terletak di sudut anterolateral orbit dan sebuah duktus nasolakrimal yang terletak di sudut inferomedial orbit. Kelenjar lakrimal diinervasi oleh serat-serat parasimpatis dari nervus fasialis. Kelenjar ini menghasilkan air mata yang keluar dari kelenjar air mata melalui berbagai duktus nasolakrimalis dan menyusuri permukaan anterior bola mata. Tindakan berkedip dapat membantu menyebarkan air mata yang dihasilkan kelenjar lakrimal (Seeley, 2006).
Air mata tidak hanya dapat melubrikasi mata melainkan juga mampu melawan infeksi bakterial melalui enzim lisozim, garam serta gamma globulin. Kebanyakan air mata yang diproduksi akan menguap dari permukaan mata dan kelebihan air mata akan dikumpulkan di bagian medial
mata di kanalikuli lakrimalis. Dari bagian tersebut, air mata akan mengalir ke saccus lakrimalis yang kemudian menuju duktus nasolakrimalis. Duktus nasolakrimalis berakhir pada meatus inferior kavum nasalis dibawah konka nasalis inferior (Rizzo, 2001).
Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot ekstrinsik. Otot-otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagai H test.
Superior oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus muscle diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya diinervasi oleh nervus okulomotorius (Seeley, 2006).
Otot-otot ekstrinsik bola mata dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.1. Struktur Aksesori Mata (Saladin, 2006)
Untuk menggerakkan bola mata, mata dilengkapi dengan enam otot ekstrinsik. Otot-otot tersebut yaitu superior rectus muscle, inferior rectus muscle, medial rectus muscle, lateral rectus muscle, superior oblique muscle, dan inferior oblique muscle. Pergerakan bola mata dapat digambarkan secara grafik menyerupai huruf H sehingga uji klinis yang digunakan untuk menguji gerakan bola mata disebut sebagai H test.
Superior oblique muscle diinervasi oleh nervus troklearis. Lateral rectus muscle diinervasi oleh nervus abdusen. Keempat otot mata lainnya diinervasi oleh nervus okulomotorius (Seeley, 2006).
Mata mempunyai diameter sekitar 24 mm dan tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu outer fibrous layer, middle vascular layer dan inner layer.
Outer fibrous layer (tunica fibrosa) dibagi menjadi dua bagian yakni sclera dan cornea. Sclera (bagian putih dari mata) menutupi sebagian besar permukaan mata dan terdiri dari jaringan ikat kolagen padat yang ditembus oleh pembuluh darah dan saraf. Kornea merupakan bagian transparan dari sclera yang telah dimodifikasi sehingga dapat ditembus cahaya (Saladin, 2006).
Otot-otot ekstrinsik bola mata dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.2. Otot-otot Ekstrinsik Bola Mata (Saladin, 2006)
Middle vascular layer (tunica vasculosa) disebut juga uvea. Lapisan ini terdiri dari tiga bagian yaitu choroid, ciliary body, dan iris. Choroid merupakan lapisan yang sangat kaya akan pembuluh darah dan sangat terpigmentasi. Lapisan ini terletak di belakang retina. Ciliary body merupakan ekstensi choroid yang menebal serta membentuk suatu cincin
muskular disekitar lensa dan berfungsi menyokong iris dan lensa serta mensekresi cairan yang disebut sebagai aqueous humor (Saladin, 2006).
Iris merupakan suatu diafragma yang dapat diatur ukurannya dan lubang yang dibentuk oleh iris ini disebut sebagai pupil. Iris memiliki dua lapisan berpigmen yaitu posterior pigment epithelium yang berfungsi menahan cahaya yang tidak teratur mencapai retina dan anterior border layer yang mengandung sel-sel berpigmen yang disebut sebagai chromatophores.
Konsentrasi melanin yang tinggi pada chromatophores inilah yang memberi warna gelap pada mata seseorang seperti hitam dan coklat.
Konsentrasi melanin yang rendah memberi warna biru, hijau, atau abu-abu.
Inner layer (tunica interna) terdiri dari retina dan nervus optikus (Saladin, 2006).
Struktur anatomi yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.3. Anatomi Bola Mata (Khurana, 2007)
2. Komponen Optik Mata
Komponen optik dari mata adalah elemen transparan dari mata yang tembus cahaya serta mampu membelokkan cahaya (refraksi) dan
aqueous humor, lensa, dan vitreous body. Aqueous humor merupakan cairan serosa yang disekresi oleh ciliary body ke posterior chamber, sebuah ruang antara iris dan lensa. Cairan ini mengalir melalui pupil menuju anterior chamber yaitu ruang antara kornea dan iris. Dari area ini, cairan yang disekresikan akan direabsorbsi kembali oleh pembuluh darah yang disebut sclera venous sinus (canal of Schlemm) (Saladin,2006).
Lensa tersuspensi dibelakang pupil oleh serat-serat yang membentuk cincin yang disebut suspensory ligament, yang menggantungkan lensa ke ciliary body. Tegangan pada ligamen memipihkan lensa hingga mencapai ketebalan 3,6 mm dengan diameter 9,0 mm. Vitreous body (vitreous humor) merupakan suatu jelly transparan yang mengisi ruangan besar dibelakang lensa. Sebuah kanal (hyaloids canal) yang berada disepanjang jelly ini merupakan sisa dari arteri hyaloid yang ada semasa embrio (Saladin, 2006).
3. Komponen Neural Mata
Komponen neural dari mata adalah retina dan nervus optikus. Retina merupakan suatu membran yang tipis dan transparan dan tefiksasi pada optic disc dan ora serrata. Optic disc adalah lokasi dimana nervus optikus meninggalkan bagian belakang (fundus) bola mata. Ora serrata merupakan tepi anterior dari retina. Retina tertahan ke bagian belakang dari bola mata oleh tekanan yang diberikan oleh vitreous body. Pada bagian posterior dari titik tengah lensa, pada aksis visual mata, terdapat sekelompok sel yang disebut macula lutea dengan diameter kira-kira 3 mm. Pada bagian tengah dari macula lutea terdapat satu celah kecil yang disebut fovea centralis, yang menghasilkan gambar/visual tertajam. Sekitar 3 mm pada arah medial dari macula lutea terdapat optic disc. Serabut saraf dari seluruh bagian mata akan berkumpul pada titik ini dan keluar dari bola mata membentuk nervus optikus. Bagian optic disc dari mata tidak mengandung sel-sel reseptor sehingga dikenal juga sebagai titik buta (blind spot) pada lapangan pandang setiap mata (Saladin, 2006).
4. Proses Visual Mata
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epithelial kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoepithelial cells (Saladin, 2006).
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata.
Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006).
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humor (n=1.33), dan lensa (n=1.40). Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini terjadi pada retina (Saladin, 2006).
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada choroid membentuk suatu matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan mengisolasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat tiga lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai lapisan
bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006).
Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks serebri (Seeley, 2006).
Gambaran jaras penglihatan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2.4. Jaras Penglihatan (Khurana, 2007) Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Cental Vision
Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh pada area macula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut. Dalam pemeriksaannya, central vision dapat dibagi menjadi uncorrected visual acuity dimana mata diukur ketajamannya tanpa menggunakan kacamata maupun lensa kontak dan corrected visual acuity dimana mata yang diukur telah dilengkapi dengan alat bantu penglihatan seperti kacamata maupun lensa kontak. Karena
penurunan ketajaman penglihatan jarak jauh dapat disebabkan oleh kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity (Riordan- Eva, 2007).
b. Peripheral Vision
Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada saat cahaya jatuh pada area diluar macula lutea retina dan memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut.
Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini, mata yang tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan telapak tangan dan pemeriksa duduk sejajar dengan pasien. Jika mata kanan pasien diperiksa, maka mata kiri pasien ditutup dan mata kanan pemeriksa ditutup. Pasien diminta untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri pemeriksa. Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa menunjukkan angka tertentu dengan menggunakan jari tangan yang diletakkan diantara pasien dan pemeriksa pada keempat kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk megidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-Eva, 2007).
1. Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan merupakan kemampuan sistem penglihatan untuk membedakan berbagai bentuk (Anderson, 2007). Penglihatan yang optimal hanya dapat dicapai bila terdapat suatu jalur saraf visual yang utuh, stuktur mata yang sehat serta kemampuan fokus mata yang tepat (Riordan- Eva, 2007).
Perkembangan kemampuan melihat sangat bergantung pada perkembangan tumbuh anak pada keseluruhan, mulai dari daya membedakan sampai pada kemampuan menilai pengertian melihat.
Walaupun perkembangan bola mata sudah lengkap waktu lahir, mielinisasi berjalan terus sesudah lahir. Tajam penglihatan bayi sangat kurang
dibanding penglihatan anak. Perkembangan penglihatan berkembang cepat sampai usia dua tahun dan secara kuantitatif pada usia lima tahun (Ilyas, 2009).
Tajam penglihatan bayi berkembang sebagai berikut:
Baru lahir : Menggerakkan kepala ke sumber cahaya besar
6 minggu : Mulai melakukan fiksasi; Gerakan mata tidak teratur ke arah sinar
3 bulan : Dapat menggerakkan mata ke arah benda bergerak
4-6 bulan : Koordinasi penglihatan dengan gerakan mata. Dapat melihat dan mengambil objek
9 bulan : Tajam penglihatan 20/200
1 tahun : Tajam penglihatan 20/100
2 tahun : Tajam penglihatan 20/40
3 tahun : Tajam penglihatan 20/30
5 tahun : Tajam penglihatan 20/20 (Ilyas, 2009).
Secara klinis, derajat ketajaman anak-anak mencapai nilai yang mendekati 6/6 saat mencapai usia 5 tahun. Hal ini dikarenakan pemeriksaan visus pada anak-anak secara subjektif maupun objektif tidak dapat menghasilkan data yang valid. Ketajaman penglihatan dapat dibagi lagi menjadi recognition acuity dan resolution acuity. Recognition acuity adalah ketajaman penglihatan yang berhubungan dengan detail dari huruf terkecil, angka ataupun bentuk lainnya yang dapat dikenali. Resolution acuity adalah kemampuan mata untuk mengenali dua titik ataupun benda yang mempunyai jarak sebagai dua objek yang terpisah (Leat, 2009).
Hubungan antara jenis ketajaman penglihatan tersebut dengan usia dimana kondisi tersebut dapat dicapai dapat dilihat pada Tabel 2.1. berikut (Leat, 2009).
Tabel 2.1.
Studi Ketajaman Penglihatan pada Anak Usia Lima Tahun Keatas
2. Pemeriksaan visus mata
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu (Ilyas, 2009).
Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk
kartu. Pasiennya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau 20/20 kaki). Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar, dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam penglihatan mata (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya. Dengan gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut satu menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena sudut yang dibentuk harus tetap lima menit (Ilyas, 2009).
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam meter. Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter, sehingga huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2009).
Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti :
Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enam meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.
Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.
Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.
Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).
Hal diatas dapat dilakukan pada orang yang telah dewasa atau dapat berkomunikasi. Pada bayi adalah tidak mungkin melakukan pemeriksaan tersebut. Pada bayi yang belum mempunyai penglihatan seperti orang dewasa secara fungsional dapat dinilai apakah penglihatannya akan
berkembang normal adalah dengan melihat refleks fiksasi. Bayi normal akan dapat berfiksasi pada usia 6 minggu, sedang mempunyai kemampuan untuk dapat mengikuti sinar pada usia 2 bulan. Refleks pupil sudah mulai terbentuk sehingga dengan cara ini dapat diketahui keadaan fungsi penglihatan bayi pada masa perkembangannya. Pada anak yang lebih besar dapat dipakai benda-benda yang lebih besar dan berwarna untuk digunakan dalam pengujian penglihatannya (Ilyas, 2009).
Untuk mengetahui sama tidaknya ketajaman penglihatan kedua mata dapat dilakukan dengan uji menutup salah satu mata. Bila satu mata ditutup akan menimbulkan reaksi yang berbeda pada sikap anak, yang berarti ia sedang memakai mata yang tidak disenangi atau kurang baik dibanding dengan mata lainnya (Ilyas, 2009).
Bila seseorang diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti ada kelainan refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun (Ilyas, 2009).
Pada Tabel 2.2. dibawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan dalam sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki (Ilyas, 2009).
Tabel 2.2.
Nilai Tajam Penglihatan dalam Meter, Kaki dan Desimal
Snellen (6 meter)
20 kaki Sistem desimal
6/6 20/20 1.0
5/6 20/25 0.8
6/9 20/30 0.7
5/9 15/25 0.6
6/12 20/40 0.5
5/12 20/50 0.4
6/18 20/70 0.3
6/60 20/200 0.1
Tabel 2.3. Metode Estimasi Persentase Kehilangan Ketajaman Penglihatan
(Riordan-Eva, 2007)
3. Penurunan ketajaman penglihatan
Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti usia, kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien.
Ketajaman penglihatan cenderung menurun sesuai dengan meningkatnya usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang (Xu, 2005). Dari penelitian yang dilakukan di Sumatra, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi terjadinya low vision atau visual impairment adalah katarak, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related Macular Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy, dan trauma (Saw, 2003).
Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan mata yang herediter (Riordan- Eva, 2007).
3. Visual Impairment
Menurut International Classification of Diseases (ICD), visual impairment adalah suatu keterbatasan fungsional dari mata. Visual impairment ini sendiri dapat dinilai dengan menggunakan tiga kriteria penting, yaitu:
a. Visual Acuity
Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan metode yang telah dijelaskan sebelumnya (Riordan-Eva, 2007).
b. Visual Field
Metode tradisional standar yang dapat digunakan untuk menilai gangguan dalam lapangan pandang adalah kinetic perimetry untuk menentukan lapangan pandang setiap mata secara keseluruhan. Untuk setiap delapan meridian utama, nilai gangguan lapangan pandang dinyatakan dalam satuan derajat yang kemudian akan dibandingkan dengan nilai standar lapangan pandang normal. Selisih derajat yang didapat akan dirata-ratakan untuk mendapat nilai penurunan lapangan pandang. Nilai kumulatif lapangan pandang mata normal pada delapan
meridian adalah sebesar 500 derajat. Jika batas lapangan pandang sesuai dengan meridian utama maka digunakan rata-rata dari nilai terujung batas sepanjang meridian tersebut. Selain itu, scotoma juga diperhitungkan dengan cara mengurangi batas scotoma tersebut pada garis meridian.
Sebagai contoh, penggunaan kinetic perimetry dapat dilihat pada gambar berikut (Riordan-Eva, 2007).
Gambar 2.5. Kinetic Perimetry (Riordan-Eva, 2007)
c. Ocular Motility
Motilitas okuler dapat dinilai dengan menggunakan arc perimeter dengan pasien tetap melihat mengunakan kedua mata. Motilitas okuler dapat menilai adanya gangguan pada mata seperti diplopia (Riordan-Eva, 2007).
2.1.Katarak
2.1.1. Definisi Katarak
Definisi Lensa adalah suatu struktur transparan (jernih). Kejernihannya dapat terganggu oleh karena proses degenerasi yang menyebabkan kekeruhan serabut lensa (Khurana AK, 2007). Terjadinya kekeruhan pada lensa disebut
tembus cahaya menjadi keruh. "Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina (http://www.republika.co.id).
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggeris Cataract, dan Latin cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh.
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya. Biasanya kekeruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama (Ilyas, 2013)
Keadaan lensa seperti ini bukan tumor atau pertumbuhan jaringan di dalam mata, akan tetapi merupakan keadaan lensa menjadi berkabut. Bila kekeruhan katarak bertambah tebal, penglihatan akan menjadi keruh seperti melihat melalui kaca jendela yang berkabut. Berat ringannya gangguan tajam penglihatan pada penderita katarak tergantung dari derajat kekeruhan lensa matanya. Gangguan tajam penglihatan bervariasi dari mulai kesulitan melihat benda-benda yang kecil sampai pada kebutaan. Katarak tidak menular ke mata yang sebelahnya tetapi dapat mengenai kedua lensa mata. Katarak bukan disebabkan karena mata yang terlalu lama dipakai dan mata yang dipakai tidak akan memperberat katarak. Katarak tidak berhubungan dengan kanker dan bila menderita katarak bukan berarti akan tetap buta (Ilyas, 2006).
2.1.2. Klasifikasi Katarak:
Menurut Ilyas (2013), katarak dapat diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut:
1. Berdasarkan usia katarak
Katarak congenital, katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun.
Katarak juvenile, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
Katarak sensil, katarak setelah usia 50 tahun.
2. Katarak komplikata, katarak akibat penyakit mata lain
3. Katarak diabetes, katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes mellitus.
4. Katarak sekunder, katarak yang terjadi akibat terbentuknya jaringan fibrosis pada sisa lensa yang tertinggal.
2.2. Keluhan dan Tanda – Tanda Katarak
Lensa mata terletak di bagian depan bola mata. Lensa akan memusatkan sinar pada selaput jala (retina) mata yang terletak dibagian belakang bola mata. Sinar melalui lensa yang akan menghasilkan bayangan yang tajam pada retina. Tergantung pada besar dan letak kekeruhan pada lensa, penderita dapat atau sama sekali tidak sadar akan telah terjadi katarak pada matanya. Bila katarak terjadi pada tepi lensa maka tajam penglihatan tidak akan mengalami perubahan. Bila letak kekeruhan ditengah lensa, penglihtan menjadi kabur.
Bila telah terbentuk katarak, lensa akan demikian keruh dan tidak bening sehingga mengganggu penyaluran sinar masuk ke dalam retina. Katarak akan menghalangi sinar masuk ke dalam sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan. Membaca menjadi sukar terutama bila penerangan terlalu kuat, bila mengendarai kendaraan terutama dimalam hari, penglihatan akan silau terhadap sinar yang datang, sehingga penderita katarak terkadang lenih menyukai membaca atau berada ditempat yang tidak terlalu terang dan sulit membaca dan mengendari di malam hari..
Kadang-kadang pada katarak dini dirasakan tidak perlu memakai kacamata sewaktu membaca dekat. Pada beberapa orang , perlu sering mengganti kacamata. Penglihatan ganda dapat pula terjadi pada saat katarak mulai berkembang. Bila katarak telah lanjut, penglihatan akan seperti berasap, berkabut bahkan kabur sama sekali.
Bila katarak lebih memburuk, kacamata yang tebal sekalipun tidak akan menolong penglihatan. Pada tahap ini, penderita membutuhkan pertolongan operasi ekstrasi katarak. Biasanya katarak sukar terlihat tanpa alat bantu khusus. Tanda yang jelas terlihat pada katarak yang telah lanjut adalah
adanya kekeruhan atau warna keputih-putihan pada pupi atau manic mata.
Bagian dalam mata biasanya diperiksa juga dengan oftalmoskop (Ilyas, 2006)
2.3. Penyebab terjadinya katarak
Katarak dapat disebabkan oleh bermacam – macam faktor seperti kelainan bawaan sejak lahir, penyakit, trauma, efek samping obat, dan radiasi sinar matahari. Tetapi, umumnya penyebab terbesar adalah proses ketuaan/faktor usia.
Berdasarkan faktor risiko penyebabnya. Katarak dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut:
Katarak Kongenital
Adalah katarak yang ditemukan pada anak-anak. Biasanya adalah katarak yang ditemukan pada bayi ketika waktu lahir yang disebabkan oleh virus rubella pada ibu yang hamil muda.
Katarak Komplikata
Adalah katarak yang disebabkan oleh beberapa jenis infeksi dan penyakit tertentu seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, Glaukoma, lepasnya retina atau ablasi retina dan penyakit umum tertentu lainnya.
Katarak Trauma
Adalah katarak yang diakibatkan oleh cedera mata seperti: pukulan keras, luka
tembus, luka menyayat, panas tinggi atau bahan kimia dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa. Katarak trauma dapat terjadi pada semua umur.
Kataral Senilis
Adalah katarak yang disebabkan oleh proses ketuaan/faktor usia sehingga lensa mata menjadi keras dan keruh. Katarak senilis merupakan tipe katarak yang paling banyak ditemukan. Biasanya ditemukan pada golongan usia di atas 40 tahun keatas (Ilyas, 2006).
Terdapat dua bentuk katarak senilis yaitu :
a. Tipe Kortikal : Proses kekaburan mulai pada bagian superficial dari konteks lensa mata.
b. Tipe Nuklear : Proses kekaburan mulai pada bagian nucleus (inti) lensa mata.
Katarak senile secara klinik dikenal dalam 4 stadium yaitu insipient, imatur, intumesen, matur, hipermatur, dan morgagni.
Katarak insipien. Pada stadium akan terlihat hal-hal berikut ini :
a) Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
Katarak subskapular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan korteks berisi jaringan degenerative (benda Morgagni) pada katarak insipient.
b) Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
Katarak intumesen. Kekeruhan lensa mengakibatkan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaucoma. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan mengakibatkan myopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang memberikan miopisasi.
Pada pemeriksaan slitlamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel lensa.
Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang belum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotic bahan lensa yang degenerative. Pada
keadaan dimana lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi glaucoma sekunder.
Katarak matur. Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh.
Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negative.
Katarak hipermatur. Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair.
Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula Zinn menjadi kendor. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nucleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni. (Ilyas,2013)
2.4. Penatalaksanaan dan pengobatan pada penderita Katarak Ada beberapa cara untuk mendiagnostik katarak antara lain:
1. Keratometri 2. Oftalmoskop
3. A-Scan Ultrasoundm (Echography) 4. Hitung sel endotel
(http://www.news-medical.net/health/Cataract-Classificatio(Indonesian).aspx)
Penatalaksanaan / Pengobatan untuk penderita katarak adalah sebagai berikut:
1. Pembedahan / Operasi Katarak
Operasi katarak bertujuan untuk mengeluarkan lensa yang keruh.
Penentuan waktu operasi katarak sangat ditentukan oleh dokter dan pasien, Berdasarkan penentuan waktu tersebut terdapat dua macam indikasi pembedahan katarak, yaitu:
a) Indikasi Sosial (berorientasi pada pasien)
Pembedahan katarak dilakukan jika kekeruhan lensa telah mengganggu pekerjaan sehari-hari atai mengakibatkan kebutaan pada penderitanya (tajam penglihatan kedua mata kurang atau sama dengan 3/60 setelah dikoreksi). Dulum operasi katarak dilakukan bila katarak sudah matang. Kalau sekarang dilakukan demi memberikan kemudahan bagi para orang-orang dengan pekerjaan halus seperti pengrajin, pelukis, penjahit dan ahli bedah mikro. Sehingga mereka dapat melakukan pekerjaan sehari- hari dengan mudah.
b) Indikasi Medik (berorientasi pada Medis)
Sebaiknya katarak operasi secepatnya bila katarak telah matur/matang, karena bila terlambat akan mengakibatkan penyulit atau komplikasi akibat lensa yang terlalu matang. Penyulit yang akan timbul berupa peradangan bola mata (uveitis) dan terjadinya gangguan keseimbangan pengaliran cairan dalam bola mata yang akan menaikkan tekanan bola mata (glaucoma sekunder). Hal ini akan memberikan keluhan mata merah tanpa kotoran dengan rasa sakit pada mata tersebut dan dapat berakhir dengan kebutaan permanen. Sebaiknya operasi dilakukan pada satu mata saat mata yang lain masih dapat dipergunakan.
Teknik operasi katarak, terdiri dari dua macam teknik, yaitu:
Pengangkatan seluruh lensa katarak, disebut dengan teknik Ekstraksi Katarak Intra Kapsuler (Intra Capsuler Cataract Extraction/ICCE).
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.
Dapat dilakukan pada zonula Zinn telah rapuh atau berdegenerasi dan mudah diputus.
Pada katarak ekstraksi intrakapsular tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang sangat lama populer.
Pembedahan ini dilakukan dengan mempergunakan mikroskop dan pemakaian alat khusus sehingga penyulit tidak banyak seperti sebelumnya. Katarak ekstraksi intrakapsular ini tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligament hialoidea kapsular.
Pengangkatan katarak dengan meninggalkan kapsul belakang lensa, disebut Ekstrasi Katarak Ekstra Kapsular (Extra Capsuler Cataract Extraction/ECCE). Tindakan pembedahan pada lensa katarak, di mana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan terebut, kemudian dikeluarkan melalui insisi 9-10 mm, lensa intraokuler diletakkan pada kapsul anterior. (Ilyas, 2013).
Pada operasi katarak masal, WHO menganjurkan metoda ICCE karena dianggap lebih cepat dan lebih murah. Indonesia, Safari katarak menggunakan teknik ICCE dan ECCE. Dalam penanggulangan katarak paripurna (PKKP) Departemen Kesehatan ini cenderung menggunakan teknik ICCE
a) Dengan Kaca mata apakia b) Lensa kontak
c) Implan Lensa Okuler (IOL)
Intraocular Lens (IOL) menggantikan fungsi lensa mata yang diangkat pada waktu operasi katarak. Kualitas IOL sangat mempengaruhi fungsi penglihatan paska operasi Bahan Acrysof‚ adalah acrylic hydrophobic dengan bio-kompatibilitas yang paling baik dan terbukti secara klinis mempunyai angka terjadinya katarak sekunder (PCO) paska operasi yang paling rendah dibandingkan dengan lensa lainnya yang ada saat ini Acrysof Single Piece dibuat dalam satu kesatuan bahan, tanpa sambungan dan dapat dimasukkan ke dalam bola mata melalui sayatan luka yang kecil (2,2 mm‚ 2,75 mm) dengan injektor khusus.
2.6. Komplikasi Pembedahan Katarak (James et. al., 2006)
a. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel vitreousnya dapat masuk ke dalam bilik mata depan yang merupakan resiko terjadinya glaukoma atau traksi pada retina.
b. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protus melalui insisi bedah pada periode paska operasi dini. Pupil mengalami distorsi.
c. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi (<0,3%), pasien datang dengan mata merah yang terasa nyeri, penurunan tajam penglihatan, pengumpulan sel darah putih di bilik mata depan (hipopion).
d. Astigmatisma pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea untuk mengurangi astigmatisma kornea. Ini dilakukan sebelum melakukan pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh dan tetes mata steroid dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapat terjadi pada garis jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan biasanya menyelesaikan masalah ini dan bisa dilakukan dengan mudah di klinik dengan anastesi lokal, dengan pasien duduk di depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat untuk mencegah infeksi namun mungkin diperlukan jahitan kembali jika penyembuhan lokasi insisi tidak sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka memungkinkan koreksi astigmatisma yang telah ada sebelumnya.
e. Edema makular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila disertai dengan hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring berjalannya waktu, namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat.
f. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan dengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous.
g. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bulan setelah pembedahan ketika sel epitel residu bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur
dan mungkin didapatkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan laser (neodymium yttrum (ndYAG) laser) sebagai prosedur klinis rawat jalan. Terdapat risiko kecil edema makular sistoid atau terlepasnya retina setelah kapsulotomi YAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi ini menunjukkan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi lensa, dan tumpang tindih lensa intraokular dengan sebagian kecil cincin kapsul anterior penting dalam mencegah opasifikasi kapsul posterior
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori
Katarak ( Keruh )
Operasi Katarak
Faktor – faktor pasca operasi
Komplikasi pasca operasi - Hilangnya vitreous - Edema Kornea - Prolap Iris
- Kekeruhan kapsul Posterior
- Residual lens material - Hifema
- Endoflamitis
- Edema macula kistoid Sistem Persyarafan
1. Retina / Makula 2. PN II
3. Jalur visual Refraksi Anomali
1. Miopia
2. Hipermetropia 3. Astigmatisma Media Refrakta
1. Kornea 2. HA 3. LEnsa 4. CV
Faktor Pre Operatif - Hipertensi - Diabetesmilitus - Glukoma
3.2 Kerangka Konsep
Penderita Katarak
Tajam Penglihatan
Operasi Katarak
Faktor – faktor pasca operasi
Komplikasi pasca operasi - Hilangnya vitreous - Edema Kornea - Prolap Iris
- Kekeruhan kapsul Posterior - Residual lens material - Hifema
- Endoflamitis
- Edema macula kistoid
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN 1. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah pasien katarak pasca operasi katarak di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel selama periode 1 Oktober hingga 30 November 2014.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2014 dibagian rekam medic Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel untuk pengumpulan data, kemudian analisis dan pengolahan data akan dilakukan pada bulan Desember 2014.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode case control yang bersifat deskriptif. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien katarak pasca operasi. Data sekunder diperoleh dari medical record pasien.
3. Variable Penelitian
Variable yang terdapat dalam penelitian adalah variable independen (X) dan variable dependen (Y). Variable Independen adalah faktor faktor yang menyebabkan pencapaian tajam penglihatan tidak maksimal pada pasien katarak dimana aspek yang menjadi subjek yang akan dilakukan penelitian sedangkan variable dependen adalah pasien pasca operasi katarak.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam prosedur pengumpulan data, peneliti menggunakan data wawancara dan observasi. Metode wawancara merupakan teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Sedangkan observasi merupakan
sebuah teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan menggunakan medical record pasien sebagai datanya.
5. Teknik Pengambilan Sample
1. Melakukan survey penderita katarak di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar.
2. Mengurus perizinan melakukan penelitian di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar.
3. Menggunakan rumus sample dan melakukan pengambilan sample menggunakan data catatan medis penderita katarak dengan metode case control
4. Seleksi sample berdasarkan kriteria tajam penglihatan maka didapatkan sampel yang benar untuk diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis univariat pada setiap variable yang terdapat dalam instrument penelitian yang meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi tajam penglihatan pada pasien katarak pasca operasi.
7. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian peneliti telah melakukan prosedur yang berkaitan dengan etiika penelitian. Penelti telah meminta surat persetujuan dari pembimbing. Setelah disetujui kemudian peneliti meminta ijin kepada Balai Kesehatan Mata Masyarakat Sul-Sel untuk mencari data pasien yang pernah dilakukan tindakan operasi katarak.
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran umum lokasi penelitian
Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0°12’ - 8° Lintang Selatan dan 116°48’ - 122°36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di sebelah timur, batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores.
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kota, dengan 304 kecamatan dan 2.953 desa/kelurahan..
Tempat yang dijadikan pengambilan sampel adalah Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di jalan Wijaya Kususma Raya no.19 Makassar.
VISI
Balai Kesehatan Mata Masyarakat Propinsi Sulawesi Selatan mempunyai visi untuk menjadi “Center of Excellent” Pelayanan kesehatan Mata dan THT di wilayah Indonesia Timur.
MISI
a. Membangun citra pelayanan prima, bermutu serta professional b. Menjalin kemitraan dengan semua pihak
c. Melaksanakan Diklat dan Penelitian bidang kesehatan mata dan THT
a) Latar Belakang
Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Makassar sebelumnya berbentuk Seksi Mata dibawah koordinasi dan pengawasan Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi Sul-Sel dikepalai oleh Prof.DR.dr.Waraouw,DSM yang dulunya berlokasi di Jln. G. Lompobattang No. 10 Makassar.
Dalam rangka pengembangan Pelayanan Kesehatan Mata, maka Pemerintah melalui SK Menkes RI No. 350 a/Menkes/SK/VI/1991 melembangakan 12 UPT di bidang Kesehatan Masyarakat, salah satu diantaranya adalah BKMM Prop. Sul- Sel diresmikan oleh Dirjen Binkesmas Depkes RI Dr. Leimena, MPH di Gedung Baru Komp. Kesehatan Banta-Bantaeng Jl. Wijaya Kusuma Raya No. 19 Makassar.
Pada tanggal 10 januari 200 BKMM Sul-Sel melakukan kerjasama dengan bagian Ilmu Kesehatan THT FK-Unhas mengadakan uji coba kesehatan THT terpadu dengan dukungan dari Depkes RI, maka pada tanggal 08 Mei 2006 kerjasama tersebut dikukuhkan secara resmi.
Sesuai Peraturan Menkes No. 1652/Menkes/Per/XII/2005 struktur dan organisasi BKMM Makassar meningkat dari Eselon IIIb menjadi Eselon IIIa dengan wilayah kerja meliputi 13 Propinsi.
Sejak dari Seksi Kesehatan Mata sampai sekarang telah beberapa kali pergantian pimpinan.
1. Prof DR. Dr. Waraouw, DSM tahun 1955 sampai dengan 1970 2. Prof dr. Umar, DSM tahun 1970 sampai dengan 1982
3. dr. Robert Sutjiadi, DSM tahun 1982 sampai dengan 1992 4. dr. Semuel R. Dundu, DSM tahun 1992 sampai dengan 1995 5. dr. Ny. Hj. Rahasiah Taufik, DSM tahun 1995 sampai dengan 2003 6. dr. Hamzah, Sp.M tahun 2003 sampai 2011
7. dr. Noor Syamsu, Sp.M, M.Kes (Mars) tahun 2011 sampai sekarang
Saat ini Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar telah berubah menjadi Badan Layanan Umum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan dengan Nomor 56/KMK.05/2011 tentang penetapan Balai Kesehatan Mata Masyarakat makassar pada kementerian kesehatan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) dengan status Badan Layanan Umum secara Penuh (BLU secara Penuh). Dengan status BLU secara Penuh memberikan feksibelitas pengelolaan keuangan kepada Balai Kesehatan Mata Masyarakat Makassar sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005.
b) Tugas Pokok (Kepmenkes No.1652/MENKES/PER/XII/2005) 1. Pelayanan Kesehatan Mata
2. Pendidikan dan Pelatihan Teknis
3. Peningkatan Kemitraan di Bidang Kesehatan Mata c) Fungsi
Dengan adanya Kepmenkes No. 1652/MENKES/PER/XII/2005 yang menyangkut Perencanaan, Koordinasi, Pelaksanaan, Evaluasi dalam fungsi sebagai berikut :
1. Pelayanan Kesehatan Mata Masyarakat 2. Urusan Tata Usaha & RT BKMM
3. Pencegahan timbulnya ganguan kesehatan Mata 4. Pengobatan mata masyarakat
5. Pelayanan penunjang di bidang Kesehatan Mata Masyarakat 6. Pemulihan & peningkatan fungsi penglihatan & kebutaan 7. Pelaksanaan rujukan Kesehatan Mata Masyarakat
8. Diklat tenaga kesehatan
9. Penelitian dan Pengembangan Teknologi Tepat Guna
10. Pelaksanaan kemitraan dan sosialisasi kesehatan mata masyarakat
d) Kegiatan Pelayanan - Loket
- Poliklinik Mata - Poliklinik THT
- Pemeriksaan Spesialis Mata dan THT - Laboratorium Sederhana
- Pemeriksaan dengan alat penunjang diagnostik seperti Biometri A &
B Scan, Keratometri, Slit Lamp, Tonometri non kontak.
- Tindakan Operasi ( operasi kecil, sedang, besar ) - Apotek
- Ruang Observasi
- Pelayanan Bengkel Kacamata dan Optik - Operasi fakoemulsifikasi
B. Karektristik Sampel Penelitian
Penelitian dilaksanakan di BALAI KESEHATAN MATA MAKASSAR (BKMM) pada bulan DESEMBER 2014 dengan menggunakan data rekam medic dan wawancara pasien pasca operasi katarak dengan facoemulsifikasi di bulan oktober . dari keseluruhan penderita yang di operasi yaitu 100 pasien dan didapatkan hasil yang masuk kategori WHO pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi adalah sebagai berikut : BAIK (6/6-6/18) sebanyak 57 pasien , SEDANG (<6/18-6/60) sebanyak 25 pasien , BURUK (<6/60) sebanyak 18 pasien.
A. DIABETES MELITUS
Tabbel 5.1 Frekuensi pasien akibat DM DM
Frequency Percent Valid Percent
Tidak Iya
18 0
100.0 0
100.0 0
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa tidak terdapatnya pengaruh Diabetes Melitus yang mengakibatkan tidak maksimalnya tajam penglihatan pada pasien katarak pasca operasi katarak facoemulsifikasi.
B. UMUR DAN JENIS KELAMIN
Dari 18 pasien yang buruk setelah melakukan operasi katarak facoemulsifikasi terdapat 12 pasien yang diakibatkan Degeneratif, dan 6 pasien tidak dapat dilihat pada tabbel 5.2.
Tabbel 5.2 Frekuensi pasien akibat Degeneratif Degeneratif
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 6 33.3 33.3
Iya 12 66.7 66.7
Total 18 100.0 100.0
Dari 18 penderita didapatkan laki-laki berjumlah 8 orang ( 45% ) , dan perempuan 10 orang ( 55% ). Umur terendah 47 tahun dan tertinggi 76 tahun.
Tabbel 5.3. Distribusi penderita menurut umur dan jenis kelamin
UMUR ( TAHUN ) ( N ) n (%)
( L ) ( P )
40 – 49 1 ( 6% ) 0 ( 0% ) 1 ( 6% )
50 – 59 2 ( 11% ) 4 ( 22% ) 6 ( 33% )
60 – 69 4 ( 22% ) 5 ( 27% ) 9 ( 49% )
70 – 79 1 ( 6% ) 1 ( 6% ) 2 ( 12% )
JUMLAH 8 ( 45% ) 10 ( 55% ) 18 ( 100% )
C. FREKUENSI FOLLOW UP Tabbel 5.4 Frekuensi Follow Up
Follow up
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 10 55.6 55.6
Iya 8 44.4 44.4
Total 18 100.0 100.0
Dari tabbel 5.4 menjelas kan bahwa terdapat 8 pasien yang tidak teratur melakukan follow up setelah operasi katarak facoemulsifikasi dan 10 pasiennya tidak.
Hasil FOLLOW UP pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi dapat dilihat pada tabel 5.5
Tabbel 5.5 Follow Up
FOLLOW UP ( n )
Tidak ada 2
1 kali 2
2 kali 9
3 kali 3
4 kali Tidak ada
5 kali 1
6 kali 1
7 kali Tidak ada
JUMLAH 18 pasien
D. TEKNIK OPERASI Tabbel 5.6 Teknik Operasi
teknik operasi
Frequency Percent Valid Percent
Tidak Iya
18 0
100 0
100 0
Dari tabel 5.6 menjelaskan bahwa TIDAK adanya dampak kesalahan teknik operasi pada pengaruh tidak maksimalnya pengelihatan pasien pasca operasi katarak facoemulsifikasi.
E. KURANGNYA KEPERCAYAAN DAN KEPUASAN PADA PELAYANAN FACILITAS KESEHATAN
Tabel 5.7 Kurang Kepercayaan dan Kepuasan Pelayanan Kurang kepercayaandan kepuasan pelayanan
Frequency Percent Valid Percent
Tidak 15 83.3 83.3
Iya 3 16.7 16.7
Total 18 100.0 100.0
Dari tabel 5.7 terdapat 3 pasien yang kurang percaya dan kepuasan pada pelayanan kesehatan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Provinsi Sulawesi selatan
BAB VI PEMBAHASAN
A. DIABETES MELITUS
Pada tabel 5.1 menjelaskan bahwa pada pasien pasca opersai katarak facoemulsifikasi TIDAK terdapat penurunan maksimal tajam pengelihatan yang disebabkan Diabetes Melitus. Hal ini dikuatkan dengan adanya pemeriksaan gula darah pada pasien sebelum melakukan operasi . dan juga pemberian obat tetes mata 2 -3 kali pemberia setelah operasi facoemulsifikasi untuk menghindari faktor DM.
B. UMUR DAN JENIS KELAMIN
Pada tabel 5.2 terlihat bahwa frekuensi penurunan tajam penglihatan pasca operasi katarak facoemulsifikasi yang disebabkan karena umur ( Degeneratif ) terdapat 12 pasien , Sebagian besar penderita berada pada kelompok usia 60 – 69 tahun. Beberapa penyakit mata yang sering terjadi seiring pertambahan usia:
Presbiopia. Masalah mata ini paling umum dialami terkait dengan penuaan.
Perkembangan normal yang berhubungan dengan usia, dimana akomodasi yang diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Pada usia diatas 40 tahun umumnya seseorang akan membutuhkan kacamata baca.
Pengembara (Floater) dan Kilatan (Flashes). Ini merupakan titik-titik yang melayang yang kadang Anda lihat bergerak pada penglihatan Anda. Mereka sebenarnya merupakan gumpalan kecil gel atau puing-puing selular di dalam vitreous, cairan seperti jeli yang mengisi rongga dalam mata. Pada usia pertengahan, gel vitreous menyusut atau mengembun, berubah membentuk gumpalan atau benang dalam mata. Floater juga sering terjadi pada orang dengan gangguan penglihatan jarak dekat atau pada mereka yang telah menjalani operasi katarak.
Tidak ada obat untuk floater, dan biasanya hilang dengan sendirinya. Floater jarang menjadi hal yang serius. Namun, jika tiba-tiba mendapati floater baru yang
banyak atau kilatan cahaya, hal itu bisa menjadi indikasi robeknya retina. Dalam hal itu, Anda perlu mencari perhatian medis dengan segera.
Katarak. Sebagian besar katarak terjadi pada orang yang lebih tua. Lensa pada mata menjadi keruh sehingga menyebabkan penglihatan kabur. Kondisi itu mudah diobati. Paparan sinar UV yang lama, penggunaan obat-obatan jangka panjang, seperti steroid, dan penyakit tertentu, seperti diabetes, dapat memengaruhi seseorang untuk mendapat katarak lebih awal. Beberapa tanda- tanda dan gejala lain termasuk sensitivitas terhadap cahaya dan silau yang membuat sulit mengemudi pada malam hari, lingkaran cahaya di sekitar lampu, warna menjadi pudar atau menguning, sering mengganti kacamata.
Glaukoma. Tidak hanya satu penyakit, tetapi sekelompok kondisi yang mengakibatkan kerusakan saraf optik sehingga memengaruhi penglihatan Anda.
Biasanya disebabkan oleh tingginya tekanan di dalam bola mata yang merusak saraf optik.
Glaukoma merupakan penyebab banyak orang menjadi buta sehingga sering disebut pencuri penglihatan secara diam-diam. Glaukoma dapat merusak penglihatan Anda, sehingga secara bertahap Anda tidak merasakan adanya kehilangan penglihatan, sampai ketika penyakit itu sudah stadium lanjut. Jenis yang paling umum dari glaukoma adalah glaukoma primer sudut terbuka. Jenis itu tidak memiliki tanda-tanda atau gejala yang terlihat, kecuali kehilangan penglihatan secara bertahap.
Gejala glaukoma sudut tertutup akut termasuk sakit mata yang parah, mual dan muntah yang menyertai sakit mata parah, kemerahan pada mata, lingkaran cahaya di sekitar lampu, penglihatan kabur, sakit kepala
Degenerasi Makula Terkait Usia (age-related macular degeneration/AMD). Penyakit ini diakibatkan kerusakan pada jaringan di bagian mata yang bertanggung jawab untuk penglihatan sentral. Meski tidak menyebabkan kebutaan total, tetapi memperburuk kualitas hidup Anda dengan mengaburkan atau menyebabkan bintik buta dalam penglihatan pusat Anda yang diperlukan untuk membaca, mengemudi, mengenali wajah dan melakukan pekerjaan detail.