15
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Kota Layak Anak
1. Kebijakan Publik
Kebijaksanaan (policy) diberi arti yang bermacam macam. Harold D. Lasswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijaksanaan sebagai “a projected program of goals, values anf practices”.12
(suatu program pencapaian tujuan, nilai
nilai dan praktek praktek yang terarah). Sedangkan Carl J. Friedrick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai berikut “a proposed course of action of a
person, group, or government within a given environment providing obstacles and
opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effor to
reach a goal or realize an objective or a purpose”.13
(Serangkaian tindakan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu”). Oleh karena itu suatu kebijaksanaan memuat 3 elemen yaitu :
a. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
12Harold D. Laswell dan Abraham, ower and society, New Haven: Yale University
ress, 1970, hal. 71.
13
16
c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Pembuatan keputusan banyak dilakukan dipelbagai macam organisasi.
Pembuatan keputusan itu adalah merupakan salah satu fungsi utama administrator atau manager organisasi, termasuk manager organisasi publik. Proses pembuatan
keputusan bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Hal ini telah mengundang banyak para ahli untuk memikirkan cara atau teknik pembuatan keputusan yang paling baik. Maka penulis akan menjelaskan secara singkat
tentang beberapa macam pandangan mengenai pembuatan keputusan dan perumusan kebijaksanaan, beberapa faktor yang mempengaruhi pembuatan
keputusan, dan cara untuk meningkatkan perumusan kebijaksanaan.
William R. Dill memberi defenisi mengenai pembuatan keputusan sebagai berikut “a decision is a choice among alternatives”.14 (“suatu keputusan adalah
suatu pilihan terhadap pelbagai macam alternatif”). Sedangkan dalam glossary of
public administration pembuatan keputusan (decision making) didefinisikan
sebagai: “a process in which choices are made to change (or leave unchanged) an
existing condition, to select a course of action most appropriate to achieving a
desired objective, and to minimize risks, uncertainty, and resource expenditures in
pursuing the objective” (suatu proses dalam mana pilihan-pilihan dibuat untuk
mengubah (atau tidak mengubah suatu kondisi yang ada, memilih serangkaian tindakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan untuk
mengurangi resiko resiko, ketidakpastian dan pengeluaran sumber–sumber dalam rangka mengejar tujuan”). Dari definisi diatas, nampak jelas sekali bahwa
14 William R. Dill, “Administrative Decision Making” dalam Robert T.
17
sepanjang pembuatan keputusan itu merupakan penentuan serangkaian tindakan (a course of action), maka proses pembuatan keputusan itu dilakukan terus menerus dan tidak mengenal berhenti. Sebagaimana telah pernah disinggung
dalam pembahasan diatas bahwa keputusan/kebijaksanaan bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan sederhana.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback. Komponen
(unsur) yang terdapat dalam proses formulasi kebijakan adalah : a. Tindakan.
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem. Hal ini sejalan dengan tindakan pemrintah kota salatiga yang merespon secara positif penetapan kota salatiga sebagai salah satu Kota Layak Anak (KLA) oleh Kementeritan Negara Pemberdayaan Perempuan RI, oleh karena gagasan pengembangan Kota Layak Anak (KLA) sesungguhnya merupakan komitmen Internasional demi menciptakan sebuah dunia yang layak bagi kehidupan anak.
b. Aktor.
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan
18
perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan
(policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh
semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap
norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama.
c. Orientasi nilai.
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga
setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam
formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu
menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang
19
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis
alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut. Nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para
pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
1. Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik
dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi
kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan
kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan
dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu
berasal dari strata social, birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
2. Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar
nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima
20
oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan organisasi
mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu
mengeliminir kecenderungan tersebut.
3. Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk
mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses
yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kapan ia mendapatkan nilai tersebut dan
bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
4. Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan
yang secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan,
kebersamaan dan lain-lain. Pandangan ini melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihat tentang bagaimana
seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka
21
mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi di proses dan bagaimana informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
5. Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme
dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana
untuk merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.15
Berikut ini akan dijelaskan pendapat Nigro and Nigro mengenai faktor faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijaksanaan serta beberapa
kesalahan umum dalam pembuatan keputusan/kebijaksanaan.16 Beberapa faktor yang memengaruhi pembuatan kebijaksanaan itu adalah sebagai berikut :
a. Adanya pengaruh tekanan tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale
comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan
harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih
berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya
tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan. b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (Konservatisme)
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal,
sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung
15 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/ Diposkan oleh syamsuri di 21.02 Jumat, 01
Juni 2012
22
akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c. Adanya pengaruh sifat sifat ribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak
dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh,
bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang
bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya
kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.17
Masalah nilai dalam diskursus analisis kebijakan publik, merupakan aspek metapolicy karena menyangkut substansi, perspektif, sikap dan perilaku,
17 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/ Diposkan oleh syamsuri di 21.02 Jumat, 01
23
baik yang tersembunyi ataupun yang dinyatakan secara terbuka oleh para actor yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan publik. Masalah nilai menjadi relevan untuk dibahas karena ada satu anggapan yang mengatakan bahwa
idealnya pembuat kebijakan itu seharusnya memiliki kearifan sebagai seorang filsuf raja, yang mampu membuat serta mengimplementasikan
kebijakan-kebijakannya secara adil sehingga dapat memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Meskipun demikian, realita menunjukkan bahwa kebanyakan keputusan-keputusan kebijakan tidak mampu memaksimasi
ketiga nilai tersebut di atas. Juga, tidak ada bukti pendukung yang cukup meyakinkan bahwa nilai yang satu lebih penting dari yang lainnya. Oleh karena
itu, maka keputusan-keputusan kebijakan mau tidak mau haruslah memperhitungkan multi-nilai (multiple values). Kesadaran akan pentingnya multiple values itu dilandasi oleh pemikiran “ethical pluralism”, yang dalam teori
pengambilan keputusan sering disebut dengan istilah “multi objective decision
making”.18
Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa para pembuat kebijakan idealnya
memperhatikan semua dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan mereka, tidak saja bagi para warga unit geopolitik mereka, tetapi juga warga yang lain, dan
bahkan generasi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara
18 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/ Diposkan oleh syamsuri di 21.02 Jumat, 01
24
kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi professional, para administrator dan para politisi.19
Kesalahan-kesalahan umum sering terjadi dalam proses pembuatan
keputusan. Nigro & Nigro menyebutkan adanya 7 macam kesalahan-kesalahan umum itu, yaitu :
a. Cara berpikir yang sempit (Cognitive nearsightedness)
b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi massa lalu (assumption that future will repeat past)
c. Terlalu menyederhanakan sesuatu (over simplification)
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (overreliance on one’s own experience)
e. Keputusan-keputusan yang dilandasi oleh para konsepsi pembuat keputusan (preconceived nations)
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment)
g. Keengganan untuk membuat keputusan (reluctance to decide)
Membuat atau merumuskan kebijaksanaan bukanlah suatu proses yang
sederhana dan mudah, sehingga dalam suatu kebijaksanaan negara dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya guna mempertahankan status-quo pembuat keputusan) tetapi justru untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota
masyrakat secara keseluruhan. Uraian berikut ini akan membahas tentang perumusan masalah kebijaksanaan negara, proses memasukkan masalah
19 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/ Diposkan oleh syamsuri di 21.02 Jumat, 01
25
kebijaksanaan negara dalam agenda pemerintah, perumusan usulan kebijaksanaan negara, proses legitimasi kebijaksanaan negara, pelaksanaan kebijaksanaan negara, dan penilaian kebijaksanaan negara.
1. Perumusan Masalah Kebijakan
Mencari dan menetukan identitas masalah kebijaksanaan itu dengan susah
payah, sehingga usaha untuk mengerti dengan benar sifat dari masalah kebijaksanaan negara itu akan sangat membantu di dalam menentukan sifat proses perumusan kebijaksanaannya sesuai kondisi atau situasi yang menghasilkan
kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara penanggulangannya.
2. Penyusunan Agenda Pemerintah
Pilihan dan kecondongan perhatian pembuat kebijaksanaan terhadap sejumlah kecil problema problema umum itu menyebabkan timbulnya agenda
kebijaksanaan (the policy agenda), maka suatu agenda pemerintah (“governmental agenda) tidak seharusnya dipandang sebagai suatu daftar formal dari pelbagai masalah masalah yang harus diperbincangkan oleh pembuat keputusan, tetapi
pemerintah semata mata menggambarkan problema problema atau isu-isu dimana pembuat keputusan merasa harus memberikan perhatian yang aktif dan serius
pada kebijakannya.
3. Perumusan Usulan Kebijakan
Perumusan usulan kebijakan adalah kegiatan menyusun dan
mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah :
26
Problema-problema umum yang telah dengan jelas dirumuskan dan pembuat kebijaksanaan telah sepakat untuk memasukkannya kedalam agenda pemerintah, berarti telah siap untuk dibuatkan usulan
kebijaksanaan untuk memecahkan masalah. b. Mendefinisikan dan Merumuskan Alternatif
Kegiatan mendefinisikan dan merumuskan alternatif ini bertujuan agar masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuuat kebijaksanaan itu nampak dengan jelas pengertiannya, maka akan semakin
mudah pembuat kebijaksanaan menilai dan mempertimbangkannya aspek postif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Menilai Alternatif
Menilai alternatif adalah kegiatan pemberian bobot (harga) pada setiap alternatif, sehingga nampak dengan jelas bahwa setiap alternatif
mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap alternatif dengan baik diperlukan kriteria tertentu misalnya yang sering digunakan dalam
membuat kebijaksanaan yaitu : “Sampai seberapa jauh alternatif itu dapat dilaksanakan dan diterima oleh semua pihak sehingga menghasilkan
dampak yang positif”.
d. Memilih Alternatif yang memuaskan
Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan itu akan menjadi
suatu usulan kebijaksanaan (policy proposal) yang telah diantisipasikan dapat dilaksanakan dan memeberikan dampak yang positif.
27
Suatu proses kolektif, pembuat keputusan bisa sekaligus sebagai pengesah keputusan tersebut dan atau pembuat keputusan adalah pihak-pihak yang berbeda dengan pengesah keputusan. Oleh karena itu suatu usulan kebijaksanaan yang
dibuat oleh pembuat keputusan (baik berupa orang atau badan) dapat saja usulan itu disetujui atau ditolak oleh pengesah kebijaksanaan.
5. Pelaksanaan Kebijakan
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sekali usulan kebijaksanaan telah diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang, maka keputusan kebijaksanaan
itu telah siap untuk diimplementasikan. 6. Penilaian Kebijakan
Penilaian Kebijaksanaan adalah merupakan langkah terakhir dari suatu proses kebijaksanaan, penilaian kebijaksanaan dapat mencakup tentang isi kebijaksanaan, pelaksanaan kebijaksanaan dan dampak kebijaksanaan. Jadi
penilaian kebijaksanaan dapat dilakukan pada fase perumusan masalahnya yaitu formulasi usulan kebijaksanaan, implementasi, legitimasi kebijaksanaan.20
2. Kebijakan Kota Layak Anak
Setelah penulis uraikan kebijakan publik, berikut ini penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan Kota Layak Anak yang dilatar belakangi dengan
adanya momen penting yang menguatkan komitmen bersama untuk mewujudkan sebuah dunia yang layak bagi anak sebagai wujud terpenuhinya hak anak adalah
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Mei 2002
20 http://kebijakanpublik12.blogspot.com/ Diposkan oleh syamsuri di 21.02 Jumat, 01
28
yang mengadopsi laporan Komite Ad Hoc pada Sesi Khusus untuk Anak. Dokumen itulah yang kemudian dikenal dengan judul "A World Fit for Children". Judul dokumen tersebut menunjukkan gaung puncak dari rangkaian upaya dunia
untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap masalah masa depan bumi, kelangsungan kehidupan umat manusia dan lebih khusus lagi upaya untuk
menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik melalui anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini dan pada masa-masa selanjutnya. Mengingat keterlibatan Indonesia yang sudah sangat awal dan begitu intens tentang pemenuhan hak anak
melalui KHA, dan mengingat Dunia Layak Anak merupakan komitmen global, maka Pemerintah Indonesia segera memberikan tanggapan positif terhadap
rekomendasi Majelis Umum PBB tahun 2002 tersebut.
Keikutsertaan Indonesia dalam komitmen Dunia Layak Anak merupakan bagian tujuan Indonesia sebagaimana terumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar. Setelah melakukan persiapan dan menguatkan institusi, Indonesia bergerak cepat dan memulai fondasi untuk mengembangkan KLA sejak tahun 2006. Penetapan kabupaten/kota adalah adaptasi yang juga dilakukan Indonesia
mengingat bahwa pembagian wilayah administratif di Indonesia terbagi ke dalam dua jenis satuan berupa Kabupaten dan Kota, sementara tantangan yang dihadapi
anak bukan hanya ada di kota namun juga dapat ditemukan di kabupaten. Untuk itu, maka perhatian pun diberikan kepada kabupaten yang memiliki tantangan tersendiri yang tidak kalah kompleksnya dengan yang dihadapi oleh kota.
Dalam perkembangannya, antusiasme terhadap pengembangan KLA terus berkembang dari tahun ke tahun. Semula hanya beberapa kabupaten/kota yang
29
inisiatif dari kabupaten/kota untuk ikut membangun dunia yang layak anak tersebut di daerahnya. Untuk menjawab tingginya antusiasme Pemerintah Daerah dan tantangan perubahan jaman yang berdampak serius terhadap anak, maka
dirasakan mendesak untuk menyusun Kebijakan Pengembangan KLA. Pengembangan KLA bertujuan untuk membangun inisiatif pemerintahan
kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di kabupaten/kota. Pengembangan Kebijakan KLA merujuk kepada Konvensi Hak
Anak (KHA) yang berisi hak anak yang dikelompokkan ke dalam 5 (lima) klaster hak anak yang terdiri dari:
1. Hak Sipil dan Kebebasan a. Hak atas identitas
Memastikan bahwa seluruh anak tercatat dan memiliki kutipan akta kelahirannya sesegera mungkin sebagai pemenuhan tanggung jawab negara atas nama dan kewarganegaraan anak (termasuk tanggal
kelahiran dan sil-silahnya); menjamin penyelenggaraan pembuatan akta kelahiran secara gratis; dan melakukan pendekatan layanan
hingga tingkat desa/kelurahan. b. Hak perlindungan identitas
Memastikan sistem untuk pencegahan berbagai tindak kejahatan
terhadap anak, seperti perdagangan orang, adopsi ilegal, manipulasi usia, manipulasi nama, atau penggelapan asal-usul serta pemulihan
30
kejahatan terhadap anak tersebut, dan memberikan jaminan hak prioritas anak untuk dibesarkan oleh orang tuanya sendiri.
c. Hak berekspresi dan mengeluarkan pendapat
Jaminan atas hak anak untuk berpendapat dan penyediaan ruang bagi anak untuk dapat mengeluarkan pendapat atau berekspresi secara
merdeka sesuai keinginannya.
d. Hak berpikir, berhati nurani, dan beragama
Jaminan bahwa anak diberikan ruang untuk menjalankan keyakinannya
secara damai dan mengakui hak orang tua dalam memberikan pembinaan.
e. Hak berorganisasi dan berkumpul secara damai
Jaminan bahwa anak bisa berkumpul secara damai dan membentuk organisasi yang sesuai bagi mereka.
f. Hak atas perlindungan kehidupan pribadi
Jaminan bahwa seorang anak tidak diganggu kehidupan pribadinya, atau diekspos ke publik tanpa ijin dari anak tersebut atau yang akan
mengganggu tumbuh kembangnya. g. Hak akses informasi yang layak
Jaminan bahwa penyedia informasi mematuhi ketentuan tentang kriteria kelayakan informasi bagi anak, ketersediaan lembaga perijinan dan pengawasan, dan penyediaan fasilitas dan sarana dalam jumlah
31
h. Hak bebas dari penyiksaan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Jaminan bahwa setiap anak diperlakukan secara manusiawi tanpa adanya kekerasan
sedikitpun, termasuk ketika anak berhadapan dengan hukum. 2. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif
a. Bimbingan dan tanggungjawab orang tua
Orang tua sebagai pengasuh utama anak, oleh karena itu harus dilakukan penguatan kapasitas orang tua untuk memenuhi
tanggungjawabnya dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak, meliputi penyediaan fasilitas, informasi dan pelatihan yang
memberikan bimbingan dan konsultasi bagi orang tua dalam pemenuhan hak-hak anak, contoh: Bina Keluarga Balita (BKB). b. Anak yang terpisah dari orang tua
Pada prinsipnya anak tidak boleh dipisahkan dari orang tua kecuali pemisahan tersebut untuk kepentingan terbaik bagi anak.
c. Reunifikasi
Pertemuan kembali anak dengan orang tua setelah terpisahkan, misalnya terpisahkan karena bencana alam, konflik bersenjata, atau
orang tua berada di luar negeri. d. Pemindahan anak secara ilegal
Memastikan bahwa anak tidak dipindahkan secara ilegal dari
daerahnya ke luar daerah atau ke luar negeri, contoh: larangan TKI anak.
32
Memastikan anak tetap dalam kondisi sejahtera meskipun orang tuanya tidak mampu, contoh: apabila ada orang tua yang tidak mampu memberikan perawatan kepada anaknya secara baik maka menjadi
kewajiban komunitas, desa/kelurahan dan pemerintah daerah untuk memenuhi kesejahteraan anak.
f. Anak yang terpaksa dipisahkan dari lingkungan keluarga
Memastikan anak-anak yang diasingkan dari lingkungan keluarga mereka mendapatkan pengasuhan alternatif atas tanggungan negara,
contoh: anak yang kedua orangtuanya meninggal dunia, atau anak yang kedua orang tuanya menderita penyakit yang tidak
memungkinkan memberikan pengasuhan kepada anak. g. Pengangkatan/adopsi anak
Memastikan pengangkatan/adopsi anak dijalankan sesuai dengan
peraturan, dipantau, dan dievaluasi tumbuh kembangnya agar kepentingan terbaik anak tetap terpenuhi.
h. Tinjauan penempatan secara berkala
Memastikan anak-anak yang berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) terpenuhi hak tumbuh kembangnya dan mendapatkan
perlindungan.
i. Kekerasan dan penelantaran
Memastikan anak tidak mendapatkan perlakuan kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. 3. Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan
33
Memastikan anak cacat mendapatkan akses layanan publik yang menjamin kesehatan dan kesejahteraannya.
b. Kesehatan dan layanan kesehatan
Memastikan setiap anak mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan terintegrasi.
c. Jaminan sosial layanan dan fasilitasi kesehatan
Memastikan setiap anak mendapatkan akses jaminan sosial dan fasilitasi kesehatan, contoh: jamkesmas dan jamkesda.
d. Standar hidup
Memastikan anak mencapai standar tertinggi kehidupan dalam hal
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial, contoh: menurunkan kematian anak, mempertinggi usia harapan hidup, standar gizi, standar kesehatan, standar pendidikan, dan standar lingkungan.
4. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Kegiatan Budaya a. Pendidikan
Memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan
yang berkualitas tanpa diskriminasi, contoh: mendorong sekolah inklusi; memperluas pendidikan kejuruan, nonformal dan informal;
mendorong terciptanya sekolah yang ramah anak dengan mengaplikasikan konsep disiplin tanpa kekerasan dan rute aman dan selamat ke dan dari sekolah.
b. Tujuan pendidikan
Memastikan bahwa lembaga pendidikan bertujuan untuk
34
mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, dan bekerjasama untuk kemajuan dunia dalam semangat perdamaian.
c. Kegiatan liburan, dan kegiatan seni dan budaya
Memastikan bahwa anak memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat
memanfaatkan waktu luang untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya, contoh: penyediaan fasilitas bermain dan rekreasi serta sarana kreatifitas anak.
5. Perlindungan Khusus
a. Anak dalam situasi darurat
Anak yang mengalami situasi darurat karena kehilangan orang tua/pengasuh/tempat tinggal dan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar (sekolah, air bersih, bahan makanan, sandang, kesehatan dan
sebagainya) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasarnya.
a.i. Pengungsi anak: memastikan bahwa setiap anak yang harus
berpindah dari tempat asalnya ke tempat yang lain, harus mendapatkan jaminan pemenuhan hak tumbuh kembang dan
perlindungan secara optimal.
a.ii. Situasi konflik bersenjata: memastikan bahwa setiap anak yang
berada di daerah konflik tidak direkrut atau dilibatkan dalam peranan apapun, contoh: menjadi tameng hidup, kurir, mata-mata, pembawa bekal, pekerja dapur, pelayan barak, penyandang senjata
35
b. Anak yang berhadapan dengan hukum
Memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan dan akses atas tumbuh kembangnya secara
wajar, dan memastikan diterapkannya keadilan restoratif dan prioritas diversi bagi anak, sebagai bagian dari kerangka pemikiran bahwa pada
dasarnya anak sebagai pelaku pun adalah korban dari sistem sosial yang lebih besar.
c. Anak dalam situasi eksploitasi
Yang dimaksud dengan situasi eksploitasi adalah segala kondisi yang menyebabkan anak tersebut berada dalam keadaan terancam, tertekan,
terdiskriminasi dan terhambat aksesnya untuk bisa tumbuh kembang secara optimal. Praktek yang umum diketahui misalnya dijadikan pekerja seksual, joki narkotika, pekerja anak, pekerja rumah tangga,
anak dalam lapangan pekerjaan terburuk bagi anak, perdagangan dan penculikan anak, atau pengambilan organ tubuh. Untuk itu, perlu memastikan adanya program pencegahan dan pengawasan agar
anak-anak tidak berada dalam situasi eksploitasi dan memastikan bahwa pelakunya harus ditindak. Selain itu, anak-anak korban eksploitasi
harus ditangani secara optimal mulai dari pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial hingga kepada pemulangan dan reintegrasi.
d. Anak yang masuk dalam kelompok minoritas dan terisolasi
36
Selanjutnya, prinsip yang harus selalu menyertai pelaksanaan 5 (lima) klaster hak anak tersebut adalah:
1. Non-Diskriminasi
Yaitu prinsip pemenuhan hak anak yang tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status
ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, atau faktor lainnya. 2. Kepentingan Terbaik bagi Anak
Yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi anak sebagai pertimbangan
utama dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan.
3. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan Anak
Yaitu menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak semaksimal mungkin.
4. Penghargaan terhadap Pandangan Anak
Yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala
sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.
B. Kebijakan Kota Layak Anak di Kota Salatiga
Berkaitan dengan perlindungan dan jaminan kepastian terhadap hak-hak anak dalam terwujudnya sarana dan prasarana kehidupan yang layak bagi anak
37
responsif anak khususnya yang terkiat dengan norma standart, prosedur dan kriteria, maka salah satu kebijakan dan program di tingkat nasional adalah Kebijakan Kabuaten/Kota Layak Anak, yang merupakan pedoman
penyelenggraan pembangunan dalam rangka menciptakan pembangunan yang peduli terhadap anak, pemenuhan kebutuhan anak, dan kepentingan terbaik bagi
anak. Dalam rangka Mewujudkan Salatiga sebagai Kota yang layak untuk anak terdapat prasyarat yang harus dipenuhi yaitu :
1. Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan
memaksimalkan kepimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anak.
2. Baseline data: data dasar yang digunakan untuk perencanaan, penyusunan, program, pemantauan, dan evaluasi.
3. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan
orang dewasa.
4. Produk hukum yang ramah anak: tersedia peraturan perundangan mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
5. Partisipasi anak: mempromosikan kegiatan yang melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengar pendapat
mereka dan mempertimbangkan dalam proses pembuatan keputusan. 6. Pemberdayaan keluarga: memperkuat kemampuan keluarga dalam
pengasuhan dan perawatan anak.
38
8. Institusi perlindungan anak: meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlidungan anak; melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan berkaitan dengan perlidungana anak,
mengupulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.21 Sehingga Tujuan dilaksanakannya pengembangan Kota Salatiga menuju Kota Layak Anak sebagai berikut: 1. Meningkatkan Komitmen pemerintah, masyarakat, dan swasta/dunia usaha
di Kota Salatiga dalam upaya mewujudkan pembangunan yang perduli terhadap anak, serta pemenuhan kebutuhan dan kepentingan terbaik bagi
anak.
2. Mengintegrasikan potensi sumberdaya manusia, keuangan, sarana dan prasarana, metode, dan teknologi yang ada pada pemerintah, masyarakat
serta swasta/dunia usaha dalam mewujudkan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak.
3. Mengimplementasikan kebijakan perlindungan anak melalui perumusan
strategi dan perencanaan pembangunan secara menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan indikator Kota Layak Anak.
4. Memperkuat peran dan kapasitas pemerintah Kota Salatiga dalam mewujudkan pembangunan di bidang perlindungan anak.22
Dalam rangka mewujudkan Salatiga sebagai Kota Layak untuk Anak terdapat Tahapan Menuju Kota Layak Anak
21 Buku Pedoman Kota Layak Anak Salatiga
39
1. Pembentukan Gugus Tugas “Kota Layak Anak” merupakan lembaga
koordinatif yang beranggotakan wakil dari unsur eksekutif, legislatif, yudikatif yang membidangi anak, perguruan tinggi, organisasi non
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, orang tua, dan anak. Tugas dari Gugus Tugas Kota Layak Anak adalah:
a. Mengkoordinasikan pelaksanaan pengembangan kota layak anak. b. Menyusun mekanisme kerja.
c. Mensosialisasikan konsep kota layak anak.
d. Menentukan fokus utama kegiatan dalam mewujudkan kota layak anak yang disesuaikan dengan masalah utama, kebutuhan dan
sumber daya.
e. Menyiapkan dan mengusulkan peraturanperaturan lainnya yang terlibat dengan kebijakan kota layak anak.
f. Melakukan kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan secara periodik.
2. Pengumpulan Data Dasar merupakan untuk mengetahui kondisi obyektif
awal sebuah kabupaten/kota dan sebagai dasar pertimbangan perencanaan dan pengembangan kota layak anak. pengumpulan data dasar dilakukan
oleh lembaga yang memilik kompetensi dan otoritas didaerah yaitu Badan Pusat Statistik Kota Salatiga.
3. Pelaksanaan kota layak anak dapat dilakukan dengan beberapa tahap
sebagai berikut:
40
b. Melakukan konsultasi dengan anak pada proses pengembangan Kota Layak Anak
c. Melakukan konsultasi dengan eksekutif, legislatif, yudikatif
organisasi non pemerintah, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, orang tua dan perwakilan anak di tingkat kabupaten/kota
d. Mengarustamakan kepentingan anak dalam penyusunan, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan kabupaten/kota.
4. Monitoring dan evaluasi
a. Monitoring dilakukan sejak dari mulai proses perencanaan sampai
dengan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota
b. Evaluasi dilakukan secara periodik untuk melihat kemajuan
pembangunan kota layak anak yang telah dicapai dalam kurun waktu sebagai masukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan periode berikutnya dan sebagai bahan laporan.
c. Laporan dibuat secara berjenjang berdasarkan format baku yang dikembangkan Gugus Tugas yang dibentuk Kementerian.23
Sejak tahun 2008 Kota Salatiga telah menerbitkan berbagai keputusan sebagai upaya mewujudkan salatiga sebagai kota layak anak, bahkan saat ini juga sedang disusun perda perlindungan perempuan dan anak yang merupakan hak
inisiatif DPRD Kota Salatiga. Beberapa regulasi yang menjadi dasar kinerja mewujudkan Kota Layak Anak antara lain:
41
1. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/313/2008 Tentang Forum Komunikasi Anak Kota Salatiga.
2. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/05/314/2009 Tentang Tim Kota
Layak Anak.
3. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/315/2009 Tentang Forum
Komunikasi Anak Kota Salatiga, Keputusan walikota ini merupakan revisi dari keputusan walikota salatiga nomor 46305/313/2008 Tentang Tim Forum Komunikasi Anak Kota Salatiga, karena adanya perubahan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dan secara teknis permasalahan perlindungan anak diampu oleh badan pemberdayaan
masyarakat, perempuan, KB
4. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/316/2009 tentang tim pelayanan terpadu terhadap tindak kekerasan berbasis gender dan anak.
5. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/411/2010 tentang tugas dan sekretariat Kota Layak Anak.
6. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 400/206/2012 tentang gugus Tugas
dan Kelompok Kerja Kota Layak Anak.
Sebagai bentuk komitmen terhadap upaya mewujudkan Salatiga sebagai Kota Layak Anak, Bappeda (membuat suatu perencanaan dalam program dalam pelaksanaan kebijakan kota layak anak di Salatiga) dengan difasilitasi oleh
UNICEF indonesia sebagai perwakilan Jawa Tengah, pada tahun 2008 telah menginisiasi mewujudkan Kota Layak Anak, yaitu dengan beberapa tahapan
42
1. Wujud dan komitmen dan kepedulian pemerintah Kota Salatiga terhadap hak-hak anak sebagai bagian dari hak-hak sipil warga negara, pemerintah Kota Salatiga telah menerbitkan Keputusan Walikota Salatiga Nomor
46305/313/2008 tentang tim Forum Komunikasi Anak Salatiga. Keputusan Walikota Salatiga tersebut juga menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan
Sosialisasi dan advokasi Salatiga Kota Layak Anak pada tahun 2008. 2. Persiapan sosialisasi dan advokasi.
3. Advokasi Salatiga Kota Layak Anak.
4. Sosialisasi Salatiga Layak Anak
Sosialisasi dan Advokasi awal pada tahun 2008 tersebut bertujuan untuk
memberikan gambaran mengenai arti penting perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak anak sebagai salah satu perwujudan terhadap pengakuan hak warga negara yang mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum (equality
before of the law) dan menyamakan persepsi antar institusi dalam upaya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak anak. Sehingga hasil yang disepakati pada sosialisasi dan advokasi Salatiga Layak Anak ada tahun 2008
tersebut dapat meningkatkan komitmen dan peran kepemimpinan pemerintah Kota, Mengembangkan kesadaran publik mengenai visi baru tentang anak,
Melakukan analisis situasi anak secara berkelanjutan untuk advokasi, perencanaan, monitoring, evaluasi, memberdayakan keluarga melalui kelembagaan dan program pembangunan masyarakat, Memperkuat jaringan untuk
pemantauan pelaksana perlindungan anak dalam situasi khusus.
Pada tahun 2009 Pemerintah Kota Salatiga menyusun struktur Organisasi
43
penyelenggaraan kota layak anak agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar, berdaya guna dan berhasil guna perlu dibentuk gugus tugas, sekretariat gugus tugas dan kelompok kerja sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat. Gugus
Tugas, Sekretariat Gugus Tugas dan Kelompok Kerja KLA bertugas untuk mengkoordinasi pelaksanaan kebijakan dan perkembangan KLA dan melakukan
pembagian tugas-tugas dari anggota Gugus Tugas, Melakukan sosialisasi, advokasi, desiminasi dan komunikasi informasi dan edukasi kebijakan KLA, Mengumpulkan data dasar serta melakukan analisis kebutuhan yang bersumber
dari data dasar, Menentukan fokus dan prioritas program dalam mewujdkan KLA yang disesuaikan dengan potensi daerah (masalah utama, kebutuhan dan sumber
daya), Menyusun Rapat Anggaran Dasar KLA 5 tahun dan mekanisme kerja, Menyiapkan peraturan Daerah tentang perlindungan anak, Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan baik secara berkala atau sewaktu waktu, Melaporkan hasil
pelaksanaan tugas dan bertanggung jawab kepada walikota. Sedangkan Sekretaris Gugus Tugas bertugas sebagai membantu perencanaan, persiapan dan pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas, Membantu administrasi pelaksanaan kegiatan, Serta
melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan dan bertanggung jawab kepada Ketua Gugus Tugas. Kelompok Kerja (Pokja) ini bertugas sebagai:
1. Kelompok Kerja (Pokja) Pendidikan
a. Melaksanakan pelayanan dibidang pendidikan. b. Memonitoring dan evaluasi
c. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas dan bertanggung jawab kepada Ketua Gugus Tugas
44
a. Melaksanakan pelayanan dibidang kesehatan b. Melaksanakan upaya pengendalian penyakit c. Memonitoring dan evaluasi
d. Melaporkan hasil pelaksanaan Tugas dan bertanggung jawab kepada Ketua Gugus Tugas
3. Kelompok Kerja (Pokja) perlindungan a. Melindungi anak dengan baik
b. Melaksanakan perlindungan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum, termasuk pelayanan dan pendampingan dalam penuntutan perkara dan proses di pengadilan
c. Melaporkasn hasil pelaksanaan tugas dan bertanggung jawab kepada ketua Gugus Tugas.
4. Kelompok Kerja (Pokja) Infrastruktur, Lingkungan Hidup dan Pariwisata
a. Memfasilitasi tersedianya sarana transportasi yang murah bagi anak sekolah, ruang khusus untuk ibu menyusui di tempat tempat umum dan zebra cross di setiap jalan di depan sekolah.
b. Memfasilitasi tersedianya sarana air bersih, ruang terbuka dan lahan hijau serta pencegahan air.
c. Memfasilitasi tersedianya tempat bermain anak yang aman dan terjangkau.
d. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas dan bertanggung jawab
45
Untuk meningkatkan partisipasi bahwa anak dalam perumusan kebijakan pembangunan khususnya program pemberdayaan anak dan remaja, telah dibentuk wadah forum anak kota salatiga, yang mempunyai Visi yaitu Terwujudnya
Salatiga Menjadi Kota Layak Anak dan Misi mengenai Mewujudkan pembangunan dengan berwawasan pendidikan bagi anak dan Generasi Muda.
Adapun tugas Forum anak Salatiga antaralain Merencanakan, Mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan Forum Anak Kota Salatiga, Melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan dan
bertanggung jawab kepada walikota.
Lain daripada itu sesungguhnya terlepas dari ada tidaknya program kota
layak anak, Pemerintah Kota Salatiga telah mempunyai program dan melaksanakan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak anak antaralain meliputi dalam bidang kesehatan,
bidang pendidikan, bidang perlindungan anak. Maka dari itu upaya mempercepat perwujudan KLA menjadi tanggung jawab pemerintah yang didukung oleh seluruh eleman masyarakat yang ada. Mewujudkan KLA berarti telah
menciptakan ruang publik bagi anak. Sebagaimana telah diuraikan antaralain, tanpa penciptaan ruang bagi anak, mereka akan dekat dengan diskriminasi. Ketika
anak masih terjerembab dalam diskriminasi maka masa depan kehidupan di salatiga ini akan semakin terancam. Karena tidak adanya generasi yang diberi ruang untuk berekspresi dan didengarkan keluh kesahnya. Pada akhirnya,
kebijakan publik yang ramah terhadap anak dengan menciptakan kota ramah anak merupakan kesempatan pemimpin daerah untuk berbakti dan berbuat banyak
46
Kepedulian pemimpin daerah dalam merumuskan kebijakan yang ramah terhadap anak merupakan bagian integral dan tidak dapat dipisahkan di era otonomi daerah yang menuntut pemimpin daerah berkreasi demi kemajuan daerah
yang dipimpinnya. Perlindungan terhadap hak anak merupakan sebuah keniscayaan oleh pemerintah, jika pemerintah sengaja mengabaikan terhadap
pemenuhan serta perlindungan hak anak dalam hal ini pemenuhan Kota Layak
Anak. Untuk mewujudkan „KLA‟ perlu diperkokoh kemitraan pemerintah dengan
para pelaku lain yang akan memberikan kontribusi yang unik. Selain itu melalui
kemitraan dan partisipasi ini akan mendorong pemanfaatan segala jalur partisipasi untuk mensejahterahkan dan meningkatkan perlindungan hak anak.
Kemitraan yang terbangun dapat saling berintegrasi dan bersinergi menjadi suatu kesatuan yang saling mengisi dan membutuhkan satu dengan lainnya. Kemitraan ini menurut the International Union of Local Authorites
membentuk suatu lingkaran projek dengan proses perencanaan dan pelaksanaan melalui fase. Selanjutnya adalah pembagian peran apa yang dapat dilakukan oleh setiap individu dan institusi yang ada di perkotaan untuk mewujudkan KLA.
Peran yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki oleh setiap individu dan atau institusi. Peran dari para pihak ini perlu dipertegas,
seperti uraian berikut:
a. Pemerintah - Pemerintah bertanggung jawab dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan nasional dan memfasilitasi kebijakan KLA. Selain
47
b. Asosiasi Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia -
APKSI/APEKSI sebagai jaringan komunikasi antar kabupaten/kota mempunyai posisi strategis untuk wadah bertukar pengalaman dan
informasi antar anggota untuk memperkuat pelaksanaan KLA di masing-masing kabupaten/kota.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam membuat kebijakan dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan memobilisasi potensi
sumber daya untuk pengembangan KLA.
d. Organisasi Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan - Organisasi
Non Pemerintah dan Organisasi Kemasyarakatan mempunyai peran penting dalam menggerakkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan KLA.
e. Sektor Swasta dan Dunia Usaha - Sektor swasta dan dunia usaha merupakan kelompok potensial dalam masyarakat yang memfasilitasi dukungan pendanaan yang bersumber dari alokasi Corporate Social
Responsibility untuk mendukung terwujudnya KLA.
f. Lembaga Internasional - Lembaga internasional sebagai lembaga
memfasilitasi dukungan sumber daya internasional dalam rangka mempercepat terwujudnya KLA.
g. Komuniti (Masyarakat) - Masyarakat bertanggung jawab mengefektifkan
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program KLA dengan memberikan masukan berupa informasi yang obyektif dalam proses monitoring dan
48
h. Keluarga - Keluarga merupakan wahana pertama dan utama memberikan
pengasuhan, perawatan, bimbingan, dan pendidikan dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.
i. Anak – anak merupakan unsur utama dalam pengembangan KLA perlu diberi peran dan tanggung jawab sebagai agen perubah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Kebijakan Kota Layak Anak di Kota Salatiga. Dalam melaksanakan perlindungan anak menuju Salatiga
Kota Layak Anak, kendala yang dihadapi pemerintah berasal dari internal dan eksternal pemerintah.
a. Kendala internal
Sumber Daya Manusia, pemerintah kota salatiga kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak. Mereka tidak mengerti sepenuhnya hal-hal
yang berkaitan dengan aspek psikologis anak. Padahal, dalam melaksanakan perlindungan anak pemerintah harus mengerti dan memahami permasalahan anak. Hal ini sebagaimana yang dilakukan satpol
PP dalam menggaruk anak jalanan yang kurang memperhatikan aspek psikologis anak, mereka asal menggaruk saja, padahal anak sering kali
trauma akan hal itu. Dana, merupakan hal vital penentu untuk keberhasilan pencapaian tujuan. Bagi pemerintah Kota Salatiga dalam program perlindungan anak, ketersediaan dana ,merupakan suatu kendala. Untuk
menangani masalah anak jalanan dan terlantar. APBD yang tersedia sangat terbatas, hal ini disebabkan pemerintah belum sepenuhnya mendanai
49
mandiri, sehingga pemerintah mengandalkan bantuan dari pemerintah pusat maupun sektor usaha dan dunia usaha. Dalam penanganan permasalahan anak walaupun setiap tahun anggaran meningkat tetapi
jumlah kasus/sasaran lebih tinggi peningkatannya sehingga alokasi dana tetap tidak terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi dalam alokasi anggaran
bagi banak putus sekolah. Selain Kendala diatas, ego sektoral menjadi kendala dalam melaksanakan perlindungan anak. Koordinasi antar institusi belum berjalan dengan baik. Hal ini tergambar pada belum adanya
sinergitas dalam pelaksanaan Rencana Aksi Kota. Masing-masing stakeholder selaku anggota gugus tugas masih berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan bidangnya masing-masing. Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa adanya kendala internal yang dihadapi pemerintah antara lain Sumber Daya Manusia Pemerinta Kota Salatiga
yang kurang mengerti akan pentingnya perlindungan anak, keterbatasan dana dan ego sektoral.
b. Kendala Eksternal
Kendala lain yang dialami oleh pemerintah Kota Salatiga adalah pengaruh lingkungan. Lingkungan anak jalanan, anak terlantar, dan pekerja anak
menjadi faktor yang sangat mempengaruhi mereka. Mengapa tidak anak-anak masih sangat mudah terpengaruhi oleh lingkungan sekitar karena mereka masih labil. Jika lingkungan mereka memberi efek bagi anak-anak,
sangat besar kemungkinannya anak-anak terpengaruh. Bisa tidaknya anak bersekolah dipengaruhi oleh karekteristik anak dan situasi yang
50
dapat menyebabkan anak meninggalkan rumah dan pindah kekota besar daripada harus bersekolah. Anak-anak ini beresiko dieksploitasi karena terpisah oleh keluarga, masyarakat dan sekolah. Terdapat anak jalanan
yang mencari uang seharian dan pulang di malam hari. Keluarga dan masyarakat sebaiknya menjadi pelindung dan memiliki kepedulian
terhadap anak. Akan tetapi, kemiskinan sering mempengaruhi anak untuk bersekolah. Karena masalah ekonomi, orang tua sering terpaksa memenuhi kebutuhan primer hidup keluarga saja. Dengan demikian anak harus
menolong keluarganya untuk mencari nafkah dengan mengorbankan pendidikan dan masa depannya. Oleh karenanya, orang tua menganggap
memanfaatkan anak untuk bekerja lebih bernilai daripada belajar di sekolah. Rendahnya kesadaran anak dan orang tua untuk memikirkan masa depan menjadi kendala bagi pemerintah dalam menangani permasalahan
anak. Biasanya orang tua tidak memperdulikan pendidikan anaknya karena dalam pemikiran mereka, untuk mencukupi hidupnya saja sulit, apalagi untuk membiayai anak sekolah. Biasanya mereka membiarkan
anak-anaknya mencari uang dijalan. Kalau orang tua sudah mempunyai pemikiran seperti ini, biasanya anak-anak juga ikut-ikutan tidak
memikirkan masa depannya. Anak belum memiliki filter yang cukup untuk memilih dan memilah apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang seharusnya tidak dilakukan. Anak cenderung masih labil sehingga dapat
dengan mudah terpengaruh oleh hal-hal negative dari lingkungannya. Kondisi ini diperparah dengan semakin bermunculan mall dan pusat-pusat
51
salatiga Sehingga keinginan yang sangat besar dalam memiliki suatu barang tidak ditunjang oleh kondisi ekonomi keluarga dan hal tersebut semakin mendorong seseorang untuk mendapatkan uang dengan jalan
pintas, walaupun cara tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Kondisi anak yang labil dan tingginya budaya
konsumerisme menyebabkan banyaknya anak dengan latar belakang ekonomi lemah lebih mudah terjerumus kedunia prostitusi.
1. Upaya Pemerintah Kota Salatiga dalam Melaksanakan Perlindungan
Anak Menuju Kota Layak Anak
a. Meningkatkan pemahaman tentang perlindungan anak dari aparat pemerintah Kurangnya pemahaman dari aparat pemerintah tentang hak dan
perlindungan anak menyebabkan sulitnya pengambilan kebijakan. Untuk mengatasi hal ini dalam setiap pertemuan pemerintah seperti halnya dalam seminar mengenai kota layak anak guna membekali pengetahuan tentang hak-hak
anak dan hal-hal menyangkut perlindungan anak.
b. Meningkatkan Kerjasama dengan pihak-pihak terkait
Ego sektoral memberikan kesan bahwa para stakeholder dalam perlindungan anak berjalan sendiri-sendiri sebagai upaya peningkatan pelayanan. Pemerintah Kota Salatiga berusaha meningkatkan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait. Contohnya dalam upaya pemerintah yaitu hal-hal dana. Sumber dana diperoleh dari pemerintah dan swadaya dari beberapa lembaga yang terkait. Dana
52
APBD Kota Salatiga. Advokasi anggaran menjadi kebutuhan penting, untuk bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam penanganan kasus kekerasan.
Dalam hal penciptaan birokrasi kebijakan publik yang ramah terhadap
anak kualifikasi tersebut sudah selayaknya dipenuhi.
1. Anak memengaruhi keputusan terhadap kota. Kebijakan publik memang
sudah selayaknya memperhatikan semua golongan. Ketika hal ini menjadi bagian integral dari sebuah program kerja. Maka yang terjadi adalah pemerataan kesempatan pada semua aspek bidang kehidupan. Anak pun
demikian. Ketika anak mendapat perhatian pemerintah lokal maka kehidupannya akan lebih baik. Pemahaman dan kebijakan terhadap anak
yang memadai akan menghantarkan kehidupan yang layak bagi kota dan tatanan masyarakat.
2. Mengapresiasi pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan.
Mendengar suara rakyat, termasuk di dalamnya anak merupakan salah satu aspek dalam kebijakan publik yang ramah terhadap anak. Kota bagi anak adalah tatanan masyarakat yang ramah terhadap mereka. Salah satunya
adalah adanya kawasan bebas asap rokok. Kawasan bebas asap rokok mulai banyak dirancang oleh pemerintah daerah. Salah satunya, Jakarta. Dengan
terciptanya kawasan bebas asap rokok anak menjadi lebih sehat dan terjauh dari berbagai penyakit yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.
3. Demikian pula dengan adanya ruang terbuka hijau (RTH). Selain
dipergunakan sebagai taman kota, RTH juga dapat dijadikan sarana bermain bagi anak yang aman dan nyaman. Semakin banyak ruang bermain dan
53
masyarakat dan dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial. ketika pemerintah daerah mampu menciptakan birokrasi dan tatanan hukum yang memadai guna tumbuh kembang anak, maka kehidupan
di dalam keluarga, komunitas, dan sosial akan terjadi dengan sendirinya. Kebijakan tersebut dapat berupa pemenuhan gizi bagi balita melalui
posyandu atau dasawisma.
4. Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Maka dari itu, pemerintah daerah sudah saatnya mengagendakan pendidikan dasar gratis
bagi anak. Pendidikan gratis akan mendorong orangtua menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan gratis pun perlu didukung oleh kualitas sumber
daya pengajar yan memadai. Tanpa hal yang demikian, pendidikan dasar gratis hanya akan menjadi program tanpa makna. Demikian pula dengan jaminan kesehatan. Ketersediaan puskesmas yang mudah dijangkau menjadi
hal yang wajib disediakan pemerintah daerah bagi rakyatnya.
5. Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik. Kualitas air akan menentukan kualitas hidup manusia. Pasalnya, air
merupakan sumber kehidupan. Maka ketersediaan air bersih menjadi agenda dasar pemerintah daerah bagi kehidupan masyarakatnya. Sanitasi pun
demikian. Jamban bagi setiap rumah tangga menjadi hal yang wajib ada. Jika tidak, maka pemerintah daerah sudah saatnya mengusahakannya melalui program-program kesejahteraan keluarga.
6. Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah. Sebagaimana data yang telah terjadi di atas, maka, pemerintah daerah sudah saatnya
54
lapisan masyarakat. Memenjarakan dan menghukum pelaku tindak kekerasan terhadap anak merupakan cara yang cukup ampuh dalam melindungi masa depan anak.
7. Aman berjalan di jalan. Jalan menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan. Ketersedian jalan yang memadai akan membantu mobilitas
masyarakat. Demikian pula dengan anak. Ketersedian jalan yang baik akan membuat anak betah tinggal di rumah. Selain itu, dengan jalan yang baik dan memadai anak-anak akan mudah bertemu dan bermain dengan
temannya. Sebuah hal yang menyenangkan bagi seorang anak.
8. Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan; hidup di lingkungan
yang bebas polusi. Sebagaimana telah di utarakan di depan, penyediaan RTH akan menjaga kelangsungan hajat hidup masyarakat termasuk di dalamnya, anak.
9. Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; anak dapat dilibatkan dalam banyak hal. Termasuk dalam kegiatan budaya. Penyelenggara pemerintahan sudah saatnya membuat aturan atau regulasi yang memungkin
anak dapat berperan serta dalam banyak hal dalam pembangunan daerah. Kegiatan berskala kabupaten merupakan ajang temu anak dan berbagi
pengalaman dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan anak.
10.Dan setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.
Karena anak adalah generasi pemimpin agama dan bangsa berada pada
55
dengan implementasi pemenuhan kota layak anak merupakan suatau kewajiban pemerintah.24 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Dalam mewujudkan pelaksanaan dari Konvensi Hak Anak tersebut maka pemerintah Indonesia berkewajiban penuh untuk melindungi HAM anak agar
hak-hak anak tersebut tidak diganggu atau dikurangi oleh pihak-hak manapun. Perlindungan terhadap anak, dengan demikian merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.25 Perlindungan hukum terhadap anak merupakan senantiasa
harus dijaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. HAM anak merupakan bagian dari hak asasi
manusia yang termuat dalam UUD 1945, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hak-hak anak. Seorang expert tentang perlindungan anak Pater Newel, mengemukakan
beberapa alasan subyektif dari sisi keberadaan anak sehingga anak membutuhkan perlindungan, yaitu:
1) Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam
memberikan perlindungan anak sangat tinggi
24 Ibnu Amshori, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
25 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
56
2) Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbiatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (unaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya
3) Anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik
4) Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan loby
untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintahan.
5) Anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan
penataan hak-hak anak
6) Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Konferensi Hak Anak berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai
hak-hak anak dan mekanisme hak anak oleh Negara pihak yang merativikasi KHA. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam KHA tersebut dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) katagori hak-hak anak yaitu:
1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk melestarikan dan mempertahankan
hidup (the rights of life).
2) Hak terhadap perlindungan (protections rights) yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan
57
3) Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi hak untuk mencapai standard hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, moral dan sosial anak.26
2. Penilaian situasi Pemenuhan Hak Anak diKota Salatiga
A. Analisis situasi
I. Kelembagaan
Bidang kelembagaan pengelolaan KLA di Kota Salatiga dapat dilihat dari indikator - indikator sebagai berikut:
a. Peraturan Daerah/kebijakan Daerah berkaitan dengan pemenuhan hak hak
anak
Kebijakan pemenuhan hak anak termuat pada misi dan visi Kota Salatiga
2011 2016. Pada misi ke 9 yang menyatakan Mengembangkan pengarustamaan Gender dalam berbagai bidang kehidupan dan perlindungan anak, remaja, serta
perempuan dalam segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi. Dalam visi
kesembilan ini ada 3 tujuan yang ingin dicapai, yakni : 1) Meningkatkan jaminan dan kepastian hukum terhadap perlindungan hak anak dan perempuan, 2)
Menurunkan presentase kekerasan dalam rumah tangga, dan 3) mewujudkan KLA. Kota Salatiga memiliki beberapa kebijakan dalam pemenuhan hak anak, kebijakan ini termuat dalam bentuk Keputusan Walikota Salatiga sebagai berikut :
58
1. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/313/2008 Tentang Forum Komunikasi Anak Kota Salatiga.
2. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/05/314/2009 Tentang Tim Kota
Layak Anak.
3. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/315/2009 Tentang Forum
Komunikasi Anak Kota Salatiga, Keputusan walikota ini merupakan revisi dari keputusan walikota salatiga nomor 46305/313/2008 Tentang Tim Forum Komunikasi Anak Kota Salatiga, karena adanya perubahan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dan secara teknis permasalahan perlindungan anak diampu oleh badan pemberdayaan
masyarakat, perempuan, KB
4. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 463/316/2009 tentang tim pelayanan terpadu terhadap tindak kekerasan berbasis gender dan anak.
5. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 46305/411/2010 tentang tugas dan sekretariat Kota Layak Anak.
6. Keputusan Walikota Salatiga Nomor 400/206/2012 tentang gugus Tugas
dan Kelompok Kerja Kota Layak Anak.
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam mendukung Pemenuhan Hak
Anak di Kota Salatiga antaralain :
1. Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Perda ini menjadi dasar pendidikan dan
memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan yang lebih baik terutama bagi anak anak kurang mampu. Pemenuhan hak anak
59
2. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pelayanan Penduduk dan Pencatatan sipil pasal 19 dan Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum. Pemberian kutipan
akte kelahiran sudah dibebaskan dari biaya (gratis), sejak tahun 2007. Perda ini kemudian ditindak lanjuti dengan penyusunan Raperda
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang saat ini sedang dalam proses finalisasi di DPRD Kota Salatiga.
3. Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2013 Tentang Perlindungan Terhadap
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak.
Rancangan Peraturan Daerah berkaitan dengan Pemenuhan hak hak anak
telah disiapkan oleh Pemerintah Kota Salatiga yaitu :
i. Raperda tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak telah masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) Kota Salatiga.
ii. Raperda tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Raperda tersebut saat ini sedang dalam proses finalisasi di DPRD Kota Salatiga.
b. Anggaran Pembangunan Khusus Anak.
Kota Salatiga telah memiliki anggaran yang secara khusus digunakan untuk perlindungan dan tumbuh kembang, dengan jumlah alokasi yang bervariasi. Total anggaran untuk klaster Hak sipil dan Kebebasan mengalami penurunan
ditahun 2013 sebesar 91% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Anggaran Klaster Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif menurun 20% jika
60
Kesejahteraan menurun 11% dibanding dengan tahun sebelumnya, Sementara itu anggaran bagi klaster perlindungan khusus mengalami peningkatan tajam di tahun 2013. Peningkatan ini dikarenakan tingginya komitmen Pemerintah Kota Salatiga
dalam memberikan perlindungan hak anak. Untuk anggaran Klaster Pendidikan dan waktu luang memiliki prosentase anggaran paling besar yaitu 46% karena
terdapat pos kebijakan anggaran sebesar 20% bagi pendidikan.
c. Forum Anak
Pembentukan Forum Anak Kota Salatiga (RUMANKSA) sebagai sarana keterlibatan/peran serta anak dalam proses pembangunan. Jumlah anak yang
tergabung didalam RUMANKSA sebanyak 70 orang. Sementara itu pada tingkat kecamatan telah dibentuk Forum Anak Tingkat Kecamatan, yang terbentuk tahun 2011 yaitu Forum Anak Kecamatan Tingkir (RUMANTING), Forum Anak
Kecamatan Sidomukti (FORMASI CERIA), Forum Anak Kecamatan Argomulyo, Forum Anak Kecamatan Sidorejo.
d. Peran Forum Anak terhadap kebijakan Pembangunan di Daerah
Pemerintah Kota Salatiga memberikan kesempatan bagi anak untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah. Kesempatan tersebut diberikan pada musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Sarana dan Masukan lain diwadahi didalam Konggres Anak, masukan tersebut disampaikan ke
Pemerintah Kota untuk dikaji dan disinergikan dengan perencanaan pembangunan daerah. Hasil Konggres Anak Kota Salatiga Tahun 2012 antaralain Anak Salatiga