• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

31

4.1 Pengamatan Gejala Klinis

Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas sebagai ikan uji yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dilakukan dengan mengamati kerusakan fisik, uji refleks dan respon ikan terhadap pakan. Gejala klinis ikan uji mulai terlihat dalam waktu 24-48 jam setelah dilakukan penyuntikan dengan dosis 0,1 ml dengan kepadatan bakteri 108 cfu/ml. Gejala klinis yang pertama tampak adalah terjadinya peradangan (inflamasi) pada daerah bekas suntikan (Gambar 9a) kemudian dilanjutkan dengan terlepas sisik (Gambar 9b), kerusakan sirip (Gambar 9c) serta mata menjadi menonjol (exopthalmia) (Gambar 9d).

Gejala klinis yang muncul tidak terjadi secara merata pada semua ikan, hal ini dikarenakan daya tahan tubuh ikan yang berbeda-beda serta perbedaan tingkat kelimpahan bakteri yang menyerang organ target ikan tersebut. Oleh karena itu, ikan uji ditunggu hingga memperlihatkan gejala klinis yang merata pada semua ikan. Setelah itu ikan uji diberikan perlakuan perendaman dengan menggunakan ekstrak daun teh tua dengan konsentasi yang berbeda-beda selama 48 jam. Apabila proses perendaman telah selesai, maka air akuarium diganti 100% dengan air normal biasa tanpa perlakuan kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengamatan hingga 14 hari.

(a) Inflamasi/Peradangan (b) Sisik Terkelupas

(c) Kerusakan Sirip (d) Mata Menonjol Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

Mata Menonjol

Sisik Terkelupas dan luka Inflamasi

(2)

4.1.1 Kerusakan Fisik

Pada pengamatan hari ke-1 perlakuan kontrol (A = 0 ppm) kerusakan fisik ikan uji terjadi semakin parah yang ditandai dengan inflamasi yang dicirikan dengan timbulnya warna kemerahan (hiperemi) (Gambar 10a) pada bekas suntikan kemudian berlanjut menjadi luka terbuka (Gambar 10b). Terjadi kerusakan pada sirip ikan terutama sirip ekor dan sirip punggung yang mengakibatkan terganggunya aktivitas pergerakan ikan. Kerusakan ini disebabkan oleh toksin yang dimiliki oleh bakteri Aeromonas hydrophila yaitu endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin adalah LPS yang mengakibatkan peradangan dan dapat melindungi bakteri dari sifat bakterisidal serum inang, sedangkan eksotoksin memiliki komponen-komponen yang dapat membantu dalam melawan pertahanan tubuh inang (Angka 2005). Pada hari ke-7, kerusakan fisik sudah sangat parah dengan terlihatnya borok dan tukak pada pada bekas suntikan (Gambar 10c). Beberapa ikan terlihat kehilangan otot daging pada daerah bekas suntikan dibagian (dorsal) dan sirip ekor.

(a) Hiperemi dan Inflamasi (b) Luka Terbuka (c) Borok Gambar 10a–c. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan A (0 ppm)

Hasil pengamatan hari ke-1 setelah dilakukan perendaman dalam ekstrak daun teh tua pada perlakuan B (75 ppm) dan C (150 ppm) terjadi kerusakan fisik pada ikan uji dengan terlepasnya sisik pada bekas suntikan yang menimbulkan luka terbuka (ulcer) namun tidak disertai dengan pendarahan (hemoragi) (Gambar 11a dan Gambar 12a). Hal ini diduga terjadi karena daun teh memiliki kandungan katekin yang dapat memperkuat pembuluh darah (Soraya 2007) sehingga benih ikan mas yang direndam dalam ekstrak daun teh tua tidak mengalami pendarahan.

(3)

Gejala klinis lain yang dominan terlihat pada semua perlakuan adalah pembengkakan pada mata dan perut. Hal ini sesuai dengan pendapat Cipriano (2001) yang menyebutkan bahwa kondisi patologis penyakit MAS ditandai dengan adanya luka terbuka (dermal ulceration), ekor dan sirip membusuk serta pembengkakan mata (exophtalmia).

Pada perlakuan B (75 ppm) gejala klinis kerusakan pada fisik benih ikan mas masih terlihat sampai hari ke-5 (Gambar 11b) dan mulai berangsur-angsur membaik pada hari ke-10 yang ditandai dengan semakin mengecilnya luka dengan munculnya kulit baru yang sedikit demi sedikit menutupi luka (Gambar 11c), ini merupakan tanda dimana senyawa antibakteri dalam ekstrak daun teh tua sudah dapat menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila. Pada hari ke-14 gejala klinis kerusakan fisik ikan berupa luka kecil masih terlihat namun pembengkakan pada mata dan perut sudah tidak terlihat lagi (Gambar 11d).

(a) Hari ke-1 (b) Hari ke-5

(c) Hari ke-10 (d) Hari Ke-14

Gambar 11a–d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan B (75 ppm) Pada perlakuan C (150 ppm) ikan uji yang sudah menunjukkan gejala klinis penyakit MAS pada hari ke-1 (Gambar 12a) semakin parah pada pengamatan hari ke-5 yang ditandai dengan semakin banyak sisik yang terlepas dan luka yang semakin membesar serta terjadi pembengkakan pada mata dan perut (Gambar 12b). Kondisi ikan uji semakin membaik pada hari ke-10 yang ditandai dengan luka yang mengecil namun masih terlihat pembengkakan pada

(4)

mata dan perut (Gambar 12c). Hal ini diduga karena senyawa antibakteri yang terkandung dalam ekstrak daun teh tua telah bekerja optimum dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila sehingga gejala klinis penyakit MAS sudah mulai berkurang dan semakin menunjukkan kondisi yang baik pada pengamatan hari berikutnya. Pada hari ke-14 beberapa ikan sudah tidak terlihat lagi luka pada tubuhnya dan pembengkakan pada mata dan perut tidak tampak lagi (Gambar 12d). Kondisi fisik ikan pada hari ke-14 sudah mendekati seperti kondisi ikan sebelum di infeksi bakteri Aeromonas hydrophila.

(a) Hari ke-1 (b) Hari ke-5

(c) Hari ke-10 (d) Hari Ke-14

Gambar 12a–d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan C (150 ppm) Kondisi ikan uji perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) pada hari ke-1 sampai hari ke-10 menunjukkan gejala klinis kerusakan fisik berupa luka pada daerah bekas suntikan, pembengkakan di bagian perut dan mata yang menonjol (Gambar 13 dan 14). Tubuh ikan uji terlihat berwarna kemerahan di daerah sekitar perut dan operculum (Gambar 13a dan Gambar 14a). Hal ini diduga terjadi karena ikan uji keracunan saponin akibat kelebihan konsentasi ekstrak daun teh tua yang diberikan yaitu pada konsentrasi 225 ppm dan 300 ppm. Dosis tinggi saponin dapat mengakibatkan hemolisis (penghancuran sel darah merah) (Musalam 2001 dalam Afizia 2010).

(5)

Pada pengamatan hari ke-14 ikan uji pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) sudah tidak terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini sejalan dengan hasil histopatologi limpa dengan sedikit ditemukannya Melano

Macrophage Centre (MMC). Namun kerusakan fisik pada ikan uji masih terlihat,

hal ini terjadi karena ikan uji keracunan senyawa dalam ekstrak daun teh tua pada konsentrasi tinggi seperti saponin yang dapat menghemolisis sel darah merah sehingga proses penyembuhan dan perbaikan jaringan yang rusak menjadi terhambat.

(a) Hari ke-1 (b) Hari ke-5

(c) Hari ke-10 (d) Hari Ke-14

Gambar 13a-d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan D (225 ppm)

(a) Hari ke-1 (b) Hari ke-5

(c) Hari ke-10 (d) Hari Ke-14

(6)

4.1.2 Respon Pakan

Pengamatan respon terhadap pakan dilakukan setiap hari selama 14 hari dengan melihat reaksi benih ikan mas sebagai ikan uji pada saat pemberian pakan dan jumlah pakan yang tersisa. Pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali sehari pada pagi, siang dan sore hari. Pada pengamatan hari 1 sampai hari ke-14 ikan uji pada perlakuan A (0 ppm) tidak memberikan respon pakan yang baik. Hal ini terjadi karena ikan mengalami stres pasca penyuntikan dan terjadi infeksi dari bakteri Aeromonas hydrophila, sehingga ikan menjadi kurang merespon atau bahkan tidak merespon terhadap pakan. Menurut Irianto (2005) stres merupakan suatu keadaan saat suatu hewan tidak mampu mengatur kondisi fisiologis yang normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kesehatannya. Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Setiaji (2009) menjelaskan bahwa penolakan terhadap makanan sering dialami pada ikan yang tidak sehat.

Pada perlakuan B (75 ppm), C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) ikan uji memberikan respon yang sedikit terhadap pakan pada pengamatan hari ke-1 dan 2. Kemudian mengalami peningkatan pada pengamatan hari ke-3 sampai hari ke-14 dengan memberikan respon pakan yang sudah kembali normal seperti biasa. Hal ini disebabkan karena ikan uji sudah tidak stres dan telah mengalami masa penyembuhan setelah perendaman dengan menggunakan ekstrak daun teh tua. Senyawa aktif antibakteri dalam ekstrak daun teh tua diduga sudah aktif dan bekerja efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila selama proses penyembuhan. Hasil pengamatan uji respon pakan benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dapat dilihat pada Lampiran 12.

4.1.3 Uji Refleks

Pengujian refleks ikan dilakukan dengan cara menepuk dinding akuarium perlakuan. Pengamatan hari ke-1 dan 2 ikan uji pada semua perlakuan tidak memberikan respon terhadap kejutan hal ini disebabkan karena ikan uji mendapatkan serangan dari bakteri Aeromonas hydrophila sehingga mengalami penurunan respon terhadap kejutan.

(7)

Terjadi perubahan tingkah laku ikan setelah di infeksi bakteri Aeromonas

hydrophila, seperti gerakan ikan yang terlihat lambat, beberapa ikan berenang

mendekati permukaan atau berada disekitar aerasi dan berenang dengan posisi tubuh yang miring akibat daya keseimbangan tubuh yang berkurang dan kerusakan pada sirip ikan akibat serangan bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini sesuai dengan pendapat Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Yuhana et al. (2008) cara bergerak seekor ikan yang tidak sehat bisa lebih lambat atau lebih cepat dari biasanya, berenang kian-kemari secara cepat, berputar-putar, menyusuri tepi,

rotating atau berenang dengan perut diatas merupakan tanda fatal. Penyebabnya

bisa karena adanya suatu peradangan dan penyumbatan pembuluh darah, atau suatu racun (Yuhana et al. 2008).

Pada hari ke-3 ikan uji pada semua perlakuan mulai memberikan respon refleks dengan cara berenang menjauhi sumber tepukan. Namun pada hari ke-7 perlakuan A (0 ppm) terjadi penurunan bahkan tidak ada respon refleks pada ikan uji yang terjadi akibat serangan bakteri Aeromonas hydrophila yang semakin parah. Sedangkan pada perlakuan B (75 ppm), C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) ikan uji masih memberikan respon refleks yang baik sampai akhir pengamatan. Ini menandakan bahwa ikan uji pada perlakuan B, C, D dan E yang mendapatkan perlakuan perendaman dalam ekstrak daun teh tua telah mengalami penyembuhan. Hasil pengamatan uji refleks pada benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dapat dilihat pada Lampiran 13.

4.2 Kelangsungan Hidup

Berdasarkan hasil analisis data rata-rata kelangsungan hidup benih ikan mas (Lampiran 14), benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dengan perendaman berbagai konsentrasi ekstrak daun teh tua selama 48 jam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup. Hasil uji berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan B (75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) tidak berbeda nyata, namun apabila dibandingkan dengan perlakuan A (0 ppm) dan C (150 ppm) memberikan hasil yang berbeda nyata (Tabel 4).

(8)

Tabel 4. Rata-rata Kelangsungan Hidup Hasil Uji Beda Jarak Nyata Duncan

Perlakuan

Kelangsungan Hidup (%) Rata-rata Kelangsungan

Hidup (%)

Signifikasi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3

A (0 ppm) 0 0 0 0 a

B (75 ppm) 93,33 60,00 60,00 71,11 b

C (150 ppm) 93,33 86,67 98,33 93,33 c

D (225 ppm) 60,00 53,33 53,33 55,56 b

E (300 ppm) 80,00 60,00 80,00 73,33 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti berbeda tidak nyata.

Perlakuan B (75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap kelangsungan hidup dibandingkan dengan perlakuan A (0 ppm) sehingga perlakuan perendaman dengan menggunakan ekstrak daun teh tua lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tanpa perendaman ekstrak daun teh tua. Benih ikan mas pada perlakuan A mengalami kematian total pada hari ke-10 dengan kerusakan fisik yang parah. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas pada perlakuan A (0 ppm) yaitu sebesar 0% dikarenakan ikan mengalami penurunan daya tahan tubuh akibat serangan bakteri

Aeromonas hydrophila yang mengganggu fungsi organ-organ tubuh dan dalam

beberapa hari dapat menyebabkan kematian pada ikan tersebut. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas pada masing-masing konsentrasi dapat dilihat pada gambar 15.

Gambar 15. Grafik Kelangsungan Hidup benih Ikan Mas

0 71.11 93.33 55.56 73.33 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A (0 ppm) B (75 ppm) C (150 ppm) D (225 ppm) E (300 ppm)

Kelangsungan Hidup (%)

Kelangsungan Hidup (%)

(9)

Perbandingan perlakuan B (75 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) terhadap perlakuan C (150 ppm) memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Tingkat kelangsungan hidup perlakuan C (150 ppm) yaitu sebesar 93,33 % lebih besar dibandingkan dengan perlakuan B (75 ppm) yang hanya memberikan tingkat kelangsungan hidup sebesar 71,33 % (Gambar 15), hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak yang digunakan kecil sehingga kandungan senyawa-senyawa antibakteri dalam ekstrak daun teh tua masih sedikit. Hal ini menyebabkan aktivitas senyawa antibakteri kurang bekerja secara optimal sehingga kurang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila.

Pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm) yaitu secara berturut-turut sebesar 55,56 % dan 73,33 % (Gambar 15). Konsentrasi ekstrak daun teh tua yang diberikan pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm). Namun, peningkatan konsentrasi tidak selalu menghasilkan kelangsungan hidup yang tinggi karena ekstrak daun teh tua mengandung saponin yang bersifat racun bagi ikan pada konsentrasi tinggi. Saponin merupakan senyawa triterpenoid yang dapat digunakan sebagai zat anti bakteri, namun pada konsentrasi tinggi saponin dapat bersifat toksik ikan dan saponin dapat menghemolisis sel darah merah (Musalam 2001 dalam Afizia 2010). Kandungan saponin yang tinggi ditandai dengan terbentuknya busa pada permukaan air di media pemeliharaan (Gambar 16).

Gambar 16. Konsentrasi Tinggi Ekstrak Daun Teh Tua Menimbulkan Busa pada Media Pemeliharaan

(10)

Mortalitas benih ikan mas pada perlakuan D (225 ppm) dan E (300 ppm) terjadi karena benih ikan mas mengalami keracunan akibat perendaman dengan konsentrasi tinggi ekstrak daun teh tua. Larutan ekstrak daun teh tua yang dibiarkan dalam waktu yang lama, akan menyebabkan penumpukan dan akumulasi senyawa metabolit sekunder dari daun teh tua seperti katekin dan saponin yang akan merubah warna dan rasa larutan ekstrak daun teh tua. Hal ini ditandai dengan perbedaan warna media pemeliharaan pada saat awal diberi ekstrak dan akhir (48 jam) perlakuan perendaman. Warna media pemeliharaan terlihat semakin keruh dan pekat yang diindikasi memiliki rasa yang semakin pahit dan sepat (Gambar 17). Hal ini sejalan dengan yang terjadi di dalam tubuh ikan, kandungan senyawa dalam ekstrak daun teh tua terutama katekin dan saponin akan terakumulasi dalam tubuh ikan sehingga terjadi banyak kematian setelah pengamatan hari ke-10 (Gambar 18). Semakin lama perendaman maka semakin banyak jumlah katekin dan saponin yang terakumulasi dalam tubuh ikan.

(a) Awal Perendaman (b) Akhir Perendaman Gambar 17a-b. Kondisi Media Pemeliharan pada Awal dan Akhir Perendaman

Pada perlakuan D (225 ppm) jumlah akumulasi endapan katekin dan saponin dalam tubuh ikan mencapai puncak pada hari ke-10, 11 dan 12 dengan total kematian sebanyak 6-7 ekor (Lampiran 15). Sedangkan pada perlakuan E (300 ppm) mengalami puncak jumlah akumulasi endapan katekin dan saponin yang menyebabkan kematian pada hari ke-12, 13 dan 14 dengan total kematian sebanyak 3-6 ekor (Gambar 18).

(11)

Gambar 18. Grafik Mortalitas Harian Ikan Uji Tiap Perlakuan

Perlakuan C (150 ppm) merupakan perlakuan yang terbaik dengan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi sebesar 93,33 %, hal ini terjadi karena kandungan alkaloid, flavonoid, katekin, tanin dan saponin pada konsentrasi tersebut mampu memberikan efek antibakteri secara optimum dalam menghambat pertumbuhan bakteri Aeromonas hydrophila.

Katekin merupakan kandungan utama polifenol dalam daun teh. Katekin teh hijau bersifat antimikroba yang disebabkan oleh adanya gugus pyrogallol dan gugus galloil. Senyawa katekin dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara merusak membran sitoplasma bakteri. Pecahnya membran sitoplasma menyebabkan keluarnya semua organel-organel sel yang menyebabkan terhentinya proses metabolisme sel bakteri sehingga menyebabkan kematian sel bakteri (Volk and Wheller, 1993 dalam Rustanty 2009).

Penelitian ini membuktikan bahwa ekstrak daun teh tua dapat menghambat pertumbuhan bakteri dari genus Aeromonas hydrophila. Hal ini sejalan dengan pernyataan Alamsyah (2006) bahwa teh hijau dapat menghambat mikroba pembentuk racun dalam makanan seperti Aeromonas sobria, S. aureus,

Clostridium perfringens, dan Clostridium botulinum. Oleh karena itu, dapat

diduga bahwa ekstrak daun teh tua dapat menghambat pertumbuhan bakteri dari genus Aeromonas. 0 20 40 60 80 100 120 *24 Jam *48 Jam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 M o rtali tas H ar ian (% ) Waktu Pengamatan A (0 ppm) B (75 ppm) C (150 ppm) D (225 ppm) E (300 ppm)

(12)

Berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara perendaman ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Hubungan korelasi antara kedua variabel tersebut dinyatakan dalam bentuk persamaan kuartik dengan persamaan : y = 2E-07x4 - 8E-05x3 + 0.007x2 + 0.802x - 5E-11. Persamaan garis tersebut memiliki hubungan determinasi (R2) sebesar 0,93 artinya konsentrasi perendaman ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup memberikan pengaruh sebesar 93%. Perhitungan analisis regresi dapat dilihat pada Lampiran 16.

Pada grafik persamaan regresi (Gambar 19) dapat dilihat bahwa perlakuan perendaman ekstrak daun teh tua terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila mencapai titik optimum dengan pemberian konsentrasi sebesar 133,58 ppm yang menghasilkan kelangsungan hidup sebesar 95,18 % dan mencapai titik minimum serta titik belok pada konsentrasi 258,51 ppm dengan kelangsungan hidup sebesar 45,10 %. Oleh karena itu, batas toleransi pemberian ekstrak daun teh tua pada benih ikan mas yaitu pada konsentrasi 258,51 ppm.

Gambar 19. Grafik Hasil Analisis Regresi Kuartik

y = 2E-07x4 - 8E-05x3 + 0.007x2 + 0.802x + 2E-10

R² = 0.9305 0 20 40 60 80 100 120 0 50 100 150 200 250 300 350 K el angs u n gan H id u p (% )

(13)

4.3 Histopatologi Organ Limpa

Limpa merupakan salah satu organ target yang diserang bakteri

Aeromonas hydrophila yang dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan limpa.

Kerusakan tersebut disebabkan toksin bakteri yang mengakibatkan organ-organ tersebut hilang integritas strukturalnya. Bakteri ada di dalam sarung retikuler dari elipsoid limpa yang merupakan pusat dari aktivitas pagositik makropag, bakteri merusak sel endothelial dan retikuler dari elipsoid. Perubahan patologis terjadi pada limpa dari ikan yang diinjeksi dengan Aeromonas hydrophila. Hemoragi (perdarahan) juga terjadi pada organ internal, ginjal dan limpa (Herwig 1979).

Limpa merupakan salah satu organ yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Limpa yang normal berwana merah-ungu karena kandungan darahnya. Jaringan limpa terdiri atas pulpa putih dan pulpa merah (Gambar 20). Fungsi limpa yaitu mengakumulasi limfosit dan makrofag, degradasi eritrosit, tempat cadangan darah dan sebagai organ pertahanan terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah dengan menghasilkan antibodi humoral terhadap antigen yang diangkut melaui darah (Khairinal 2012).

Histopatologi organ yang diamati pada penelitian ini adalah organ limpa pada enam sample benih ikan mas yang berbeda yaitu benih ikan mas sebelum diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila (ikan sehat), benih ikan mas setelah diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila (ikan sakit), dan benih ikan mas setelah pengobatan atau pemberian perlakuan. Hasil analisis histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan dengan melihat kerusakan jaringan pada organ limpa setelah pengobatan yang dibandingkan dengan histolopatologi limpa ikan sehat dan ikan sakit.

Benih ikan mas yang dijadikan sampel histolopatologi ikan sehat adalah benih ikan mas yang belum diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Berdasarkan hasil analisis histopatologi jaringan limpa menunjukkan bahwa benih ikan mas tidak mengalami kerusakan yang terlihat dari struktur jaringan limpa terlihat normal dengan warna merah-ungu yang terdiri dari pulpa putih dan pulpa merah (Gambar 20).

(14)

pulpa merah

pulpa putih

Gambar 20. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan Sebelum di Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila (Pembesaran 400x) (Sumber : Laporan Hasil Uji BUSKI, 2013)

Perubahan histopatologi jaringan limpa yang terinfeksi bakteri Aeromonas

hydrophila dicirikan dengan munculnya peradangan (splenitis) yang ditandai

dengan adanya folikel limfoid yang mengalami Melano Macrophage Centre (MMC) dalam jumlah banyak (Gambar 21). Jaringan limpa berwarna pucat diduga terjadi karena dalam aliran darah terdapat antigen bakteri Aeromonas

hydrophila. Toksik yang dikeluarkan bakteri Aeromonas hydrophila mengalir

dalam aliran darah kemudian masuk ke dalam sel endotel pembuluh darah yang akan menyebabkan kerusakan pada endotel sehingga akan merangsang pembentukan cytokine sebagai mediator inflamasi. Mekanisme ini yang akan merangsang pembentukan MMC (Maryadi 2009). Menurut Bellati (1985) dalam Maryadi (2009) fungsi makrofag dalam respon imun adalah menghilangkan benda-benda asing dan bahan yang bersifat merusak (Maryadi 2009). Makrofag merupakan salah satu sel yang berperan penting dalam respon imun dengan fagositosis dan sebagai antigen presenting cells (APC) (Afifudin 2009).

MMC

MMC

MMC

MMC MMC MMC

Gambar 21. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila (Pembesaran 100x) (Sumber : Laporan Hasil Uji BUSKI, 2013)

(15)

Perbedaan histopatologi jaringan limpa pada perlakuan B (75 ppm), C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) terletak pada jumlah Melano Macrophag Centre (MMC) yang ditemukan. Jumlah Melano Macrophag Centre (MMC) pada perlakuan B (75 ppm) (Gambar 22a) relatif lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) (Gambar 22 b-d). Hal ini menandakan bahwa perlakuan C (150 ppm), D (225 ppm) dan E (300 ppm) mengalami tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan pada perlakuan B (75 ppm). Pemberian perlakuan ekstrak daun teh tua pada benih ikan mas yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila mengalami penyembuhan yang cukup baik dengan memperlihatkan kondisi histopatologi jaringan limpa yang telah mendekati histopatologi jaringan limpa seperti ikan sehat (Gambar 20) serta jumlah MMC yang ditemukan sedikit.

MMC MMC

MMC

MMC

MMC

(a) Perlakuan B (75 ppm) (b) Perlakuan C (150 ppm)

MMC

MMC

(c)Perlakuan D (225 ppm) (d) Perlakuan E (300 ppm) Gambar 22a-d. Histopatologi Jaringan Limpa Ikan (Pembesaran 100x)

(16)

4.4 Kualitas Air

Kualitas air adalah kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya dinyatakan dalam kisaran nilai tertentu (Boyd, 1990). Pengamatan kondisi kualitas air digunakan sebagai parameter pendukung untuk memberikan informasi bahwa media pemeliharaan benih ikan mas tetap dalam kondisi terkontrol. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada awal penelitian, pertengahan penelitian dan akhir penelitian. Beberapa parameter kualitas air yang diukur selama penelitian meliputi suhu, pH, DO dan ammonia. Data hasil pengukuran kualitas air selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 17.

Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Kualitas Air

Parameter yang Diamati Perlakuan Optimum A B C D E Ikan Bakteri Awal Penelitian Suhu (oC) 25,5 25,5-26,0 25,5-26,0 25,5 25,5-26,0 20-28a 15-30b pH 7,38 7,38 7,38 7,38 7,38 6,5-9,0c 4,7-11b DO (mg/L) 5,3-5,7 5,1-5,4 5,6-6,6 5,2-6,3 5,4-6,8 >3d Amonia (mg/L) 0 0 0 0 0 0,6d Pertengahan Penelitian Suhu (oC) 26,0 26,0 26,0-27,0 26,0-26,5 26,0 pH 8,39-8,63 8,36-8,61 8,49-8,53 8,29-8,62 8,36-8,58 DO (mg/L) 3,4-4,9 3,0-5,9 4,4-5,9 5,0-8,5 3,2-4,8 Amonia (mg/L) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 Akhir Penelitian Suhu (oC) - 26 26 26 26 pH - 7,61-7,80 7,56-7,75 7,67-7,94 7,53-7,61 DO (mg/L) - 3,2-5,9 3,5-5,4 3,9-5,4 3,2-6,4 Amonia (mg/L) - 0,0-0,.5 0,0-0,.5 0,5 0,0-0,.5 Keterangan : a Huet 1971 dalam Sulistiawati 2011 b Kabata 1985

c

Boyd 1982 dalam Sitawati 2002 d Boyd 1990

Suhu yang terukur berkisar antara 25,5-27,0oC. Nilai tersebut masih berada pada kisaran optimum untuk pemeliharaan benih ikan mas yaitu antara 20-28oC (Huet 1971). Pengukuran nilai pH selama penelitian berkisar antara 7,38-8,63 dengan kisaran nilai optimum antara 6,5-9,0 (Boyd 1982 dalam Sitawati 2002). pH merupakan parameter aktivitas ion hidrogen (H+) dalam suatu larutan yang dinyatakan dengan asam atau basa.

(17)

Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Kandungan oksigen terlarut (DO) yang terukur berkisar antara 3,0-8,5 mg/l masih berada dalam batas optimum yaitu lebih besar dari 3 mg/l (Boyd 1990). Hasil pengukuran selama penelitian nilai amonia berkisar antara 0-0,5 mg/l. Nilai tersebut masih berada dalam batas nilai optimum yaitu lebih kecil dari 0,6 mg/l. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah (Boyd 1990).

Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian, dapat dinyatakan bahwa kondisi kualitas air selama penelitian memenuhi standar optimum untuk pemeliharaan benih ikan mas sehingga kematian benih ikan mas selama penelitian bukan disebabkan oleh kondisi perairan melainkan karena serangan bakteri Aeromonas hydrophila.

(18)

Gambar

Gambar 13a-d. Gejala Klinis Benih Ikan Mas Perlakuan D (225 ppm)
Tabel 4. Rata-rata Kelangsungan Hidup Hasil Uji Beda Jarak Nyata  Duncan
Gambar 16. Konsentrasi Tinggi Ekstrak Daun Teh Tua Menimbulkan  Busa pada Media Pemeliharaan
Gambar 18. Grafik Mortalitas Harian Ikan Uji Tiap Perlakuan
+3

Referensi

Dokumen terkait