• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Struktur Lambung Domba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Struktur Lambung Domba"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Struktur Lambung Domba

Lambung domba terdiri atas empat bagian yang jelas dapat dibedakan. Tiga daerah pertama adalah rumen, retikulum, dan omasum, yang secara kolektif disebut lambung depan (proventrikulus). Lambung depan memiliki selaput lendir tanpa kelenjar dan sangat efektif dalam memecah ingesta fibrosa kasar menjadi nutrisi yang dapat diserap. Lambung keempat disebut abomasum, yang merupakan lambung kelenjar dan dianalogikan dengan lambung hewan monogastrik. Pada lambung depan terjadi proses fermentasi, pencernaan mekanik, serta penyerapan, sedangkan pada abomasum terjadi pencernaan secara enzimatis (Frappier 2006).

Gambar 1 Lambung domba terdiri atas rumen (Ru), retikulum (Re), omasum (Om), dan abomasum (Ab) (A). Bagian interior abomasum menunjukkan bagian fundus (F) yang ditandai adanya plicae spiralis (tanda panah) serta bagian pilorus (P) (B). Sumber : Modifikasi dari Putra (2009).

Abomasum memiliki tiga daerah kelenjar, yakni kardia, fundus, dan pilorus. Daerah kelenjar kardia merupakan area sempit penghasil mukus pada perbatasan esofagus dan lambung. Daerah kelenjar fundus meliputi dua pertiga dari seluruh abomasum dan ditandai dengan adanya lipatan-lipatan mukosa yang disebut dengan plicae spiralis. Pada mukosa fundus terdapat empat jenis sel yang berbeda struktur dan fungsinya, yakni sel penghasil mukus (mucous cells) yang dapat dibedakan lagi atas sel mukus epitelial (mucous epithelial cells) dan sel leher (mucous neck cells), sel utama (chief cells) yang menghasilkan prekursor enzim, sel parietal (parietal cells atau oxyntic cells) yang menghasilkan asam

A B Ru Ru Re Om Ab F P

(2)

klorida (HCl), dan sel endokrin yang menghasilkan hormon-hormon pencernaan. Daerah kelenjar pilorus yang meliputi hampir sepertiga dari seluruh abomasum berada di bagian paling kaudal. Pilorus terdiri atas sel-sel penghasil mukus dan dibatasi oleh otot sphincter yang mengatur pergerakan chyme (cairan lambung) dari lambung ke duodenum serta mencegah aliran balik dari duodenum ke lambung (Colville dan Bassert 2002, Frappier 2006).

Sel-sel mukosa abomasum khususnya daerah kelenjar fundus mensekresikan beberapa jenis enzim protease yaitu pepsin, khimosin, dan gastriksin dalam bentuk prekursor inaktif (Crabbe 2004). Enzim-enzim tersebut bersifat asam dan termasuk kedalam golongan endopeptidase. Prekursor enzim yakni pepsinogen, prokhimosin, dan progastriksin akan diubah menjadi bentuk aktif oleh asam klorida (HCl) yang diproduksi oleh sel-sel parietal pada bagian fundus (Frappier 2006). Sel-sel penghasil prokhimosin ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak pada lambung domba usia menyusu (Trisnawati 2006), dan menurun sejalan bertambahnya usia serta dipengaruhi oleh masa sapih (Arimurti 2006, Guilloteau et al. 1983). Pada domba umur dewasa muda (5-12 bulan) telah dilaporkan terdapat sel-sel penghasil prokhimosin dalam jumlah yang masih relatif banyak (Fitriyani 2006, Nisa’ et al. 2007).

Enzim Protease

Enzim protease merupakan enzim yang bekerja memecah ikatan peptida pada protein dengan cara hidrolisis. Menurut Adams dan Nout (2001), klasifikasi enzim protease didasarkan pada beberapa hal antara lain: sumber/asal protease, aksi katalitiknya (pemecahan ikatan peptida), dan sifat alami sisi aktifnya. Berdasarkan sumbernya, terdapat enzim protease yang diperoleh dari hewan, dari tanaman, ataupun dari mikroba. Berdasarkan aksi katalitiknya, enzim protease terbagi atas endopeptidase (proteinase) dan eksopeptidase. Endopeptidase memecah ikatan peptida yang sesuai (susceptible) di sepanjang rantai polipeptida, sementara eksopeptidase menghidrolisa satu asam amino dari salah satu ujung rantai polipeptida. Endopeptidase sering digunakan dalam industri pangan, dan terkadang juga digunakan secara bersamaan dengan eksopeptidase.

(3)

Endopeptidase diklasifikasikan lagi menjadi empat golongan berdasarkan residu pada sisi katalitiknya yakni: protease serin, protease aspartat, protease sistein dan metalloproteinase. Protease serin bekerja maksimum pada pH basa sementara protease aspartat bekerja maksimum pada pH asam. Menurut Walsh (2004) protease serin merupakan protease yang banyak diproduksi arkhaea, bakteri, eukariota, dan virus. Protease yang termasuk dalam golongan protease serin antara lain tripsin, kimotripsin, elastase, subtilisin, dan proteinase K. Protease yang termasuk dalam golongan protease aspartat antara lain pepsin, khimosin, dan protease aspartat mikrobial. Berbeda dengan kedua golongan sebelumnya, protease sistein bekerja maksimum pada pH netral. Protease yang termasuk dalam golongan protease sistein ialah papain, bromelin, dan ficin. Metalloproteinase mengandung gugus ion pada sisi katalitiknya, dan sebagian besar bekerja maksimum pada pH netral. Protease yang termasuk dalam golongan metalloproteinase antara lain kolagenase dan termolisin. Ion kalsium menstabilkan enzim-enzim tersebut sementara agen pengkhelat (chelating agents) seperti EDTA menghambat kerjanya.

Rennet

Rennet merupakan bahan bioaktif berupa enzim yang dapat menggumpalkan susu dan digunakan dalam produksi dadih-dadih keju (Cheeseman 1981). Khimosin dan pepsin yang merupakan enzim protease aspartat adalah komponen utama dalam rennet. Rennet yang diektraksi dari anak sapi yang masih menyusu umumnya mengandung 88-94% khimosin dan 6-12% pepsin, sementara rennet yang diekstraksi dari sapi yang lebih tua dapat mengandung 90-94% pepsin dan 6-10% khimosin (Broome dan Limsowtin 1998).

Rennet pada awalnya merupakan hasil ekstraksi kasar abomasum anak sapi. Rennet dari abomasum anak sapi ini mempunyai peran sangat penting dalam proses pengolahan keju. Saat ini rennet juga telah diekstraksi dari berbagai macam sumber termasuk abomasum hewan ruminansia lain seperti kambing (Kumar et al. 2006, Parvin 1975), unta (Wangoh et al. 1993), kerbau (Mohanty et al. 2003), juga lambung ikan tuna (Daulay 1995), lambung anjing laut (Shasuzzaman dan Haard 1985), tanaman (Ogugua et al. 1987, Verissimo et al.

(4)

1995), mikroba (Winarno 1983), bahkan juga diperoleh dari mikroorganisme yang dimodifikasi secara genetik (genetic modified organism = GMO) (Cmegar dan Cruegar 1984, Teuber 1993, Winarno 1983). Berbagai ekstrak rennet dapat dibuat dengan kemampuan mengkoagulasi susu yang berbeda-beda, sehingga dadih-dadih keju yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini sangat penting untuk mengukur kemampuan tiap ekstrak rennet dalam mengkoagulasikan susu (Scott 1986). Rennet yang diperoleh dari berbagai spesies hewan memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu yang bervariasi (Daulay 1990).

Rennet mikroba diisolasi dari mikroorganisme yang secara alami menghasilkan enzim protease yang memiliki fungsi mirip dengan rennet asal hewan. Rennet mikroba telah dicoba untuk mengganti peranan rennet dari abomasum anak sapi. Rennet mikroba yang banyak digunakan antara lain berasal dari mikroorganisme seperti kapang (Mucor pusillus, M. Miehei), fungi (Endothia parasiticus), dan bakteri (Bacillus polymyxa, B. subtilis, B. Cereus) (Winarno 1983). Kendala yang ditemui pada penggunaan rennet mikroba yakni munculnya rasa pahit pada keju. Hal ini disebabkan terbentuknya peptida pahit akibat aktivitas proteolisis yang tinggi pada rennet mikroba (Neelakantan et al.1999).

Rennet GMO diperoleh dari mikroba yang telah disisipi gen pengkode prokhimosin dari sel-sel penghasilnya pada abomasum anak sapi. Salah satu mikroorganisme yang banyak digunakan yakni bakteri Eschericia coli, dimana gen diekspresikan dalam bentuk badan inklusi tak terlarut (insoluble). Komponen enzim dalam rennet GMO ini tidak berbeda dengan rennet yang diekstraksi langsung dari abomasum anak sapi. Selain E.coli, mikroorganisme lain yang juga digunakan yakni kapang Saccharomyces cerevisiae juga fungi berfilamen seperti Kluyveromyces lactis, Aspergillus nidulans, A. niger, dan Trichoderma reesei (Neelakantan et al. 1999).

Bahan Bioaktif Rennet 1. Khimosin

Khimosin yang disebut juga dengan rennin ialah suatu enzim protease aspartat, bersifat asam dan diproduksi pada abomasum ruminansia yang masih menyusu (Kumar et al. 2006). Pada mukosa abomasum, khimosin dihasilkan

(5)

oleh chief cell (sel utama) dalam bentuk prekursor inaktif yang dikenal dengan prokhimosin (Atallah 2007). Menurut Suhartono (1992) khimosin memiliki berat molekul 31 kD sementara prokhimosin memiliki berat molekul yang lebih besar yakni 36 kD, sementara menurut Atallah (2007) berat molekul khimosin dan prokhimosin yaitu 35,6 kD dan 40,8 kD. Enzim khimosin stabil pada pada pH 5,3-6,3 dan mempunyai titik isoelektrik sekitar 4,5 (Suhartono 1992).

Khimosin disekresikan dalam jumlah yang maksimal selama beberapa hari pasca dilahirkan, kemudian menurun seiring dengan bertambahnya usia dan digantikan oleh pepsin. Pada usia di atas satu minggu produksi khimosin akan menurun drastis, namun pada ruminansia produksi khimosin tidak pernah bernar-benar terhenti walaupun telah memasuki usia dewasa (Fox 1993). Dalam saluran pencernaan ruminansia muda, khimosin membantu susu terserap dengan mengkoagulasinya sehingga susu tidak langsung mengalir dan terbuang melalui saluran ekskresi. Khimosin mengkoagulasi susu dengan memotong ikatan peptida secara spesifik antara asam amino Phenilalanin (Phe) 105 dan Metionin (Met) 106 pada rantai kappa kasein (ĸ-kasein), sehingga segmen C-terminal hidrofilik (kasein makro peptida = CMP) terlepas menyisakan para kappa kasein (Kumar et al. 2006; Jiang et al. 2007). Hal ini kemudian menyebabkan misel kasein menjadi tidak stabil dan menggumpal. Koagulasi misel kasein juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion kalsium (Ca2+) yang berperan sebagai jembatan antar misel kasein. Menurut Fox (1993) ikatan peptida Phe-Met akan terhidrolisa secara optimum pada pH 5,1-5,5.

Aktivitas khimosin menurun sangat cepat pada pH 3-4 diduga akibat auto degradasi, sementara penurunan aktivitas khimosin pada pH basa diduga akibat perubahan konformasi yang ireversibel. Khimosin lebih stabil pada suhu 2°C dibandingkan pada suhu kamar. Aktivitas khimosin juga menurun pada peningkatan suhu dari 44°C ke 45°C (Crabbe 2004).

2. Pepsin

Berdasarkan Harrow dan Mazur (1958), pepsin merupakan enzim protease yang dihasilkan di mukosa lambung dalam bentuk prekursornya yaitu pepsinogen. Perubahan dari bentuk pepsinogen menjadi pepsin disebabkan

(6)

suasana asam dalam lambung. Perubahan ini diikuti lepasnya salah satu asam amino dalam bentuk peptida. Dengan demikian bobot molekul pepsinogen sebesar 42,5 kD akan menurun menjadi 34,5 kD ketika menjadi pepsin. Pepsin memecah substratnya dengan menghidrolisa ikatan peptida C-terminal beberapa jenis asam amino aromatik seperti phenilalanin, tiroksin dan triptofan (Kimball 1992, St. Edward’s Univ. 2005).Pepsin stabil pada pH 5,0-5,5 (Suhartono 1992), sementara titik isoelektrik pepsin yaitu 2,85 (Harrow dan Mazur 1958).

Pepsin merupakan protease yang paling umum digunakan sebagai pengganti khimosin dalam pembuatan keju, tetapi pepsin tidak digunakan sendiri. Campuran khimosin dan pepsin dianggap paling optimum dan paling sering dipilih. Beberapa faktor yang mencegah penggunaan pepsin sendirian adalah waktu penggumpalan yang lama, gumpalan yang lunak, kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur dan konsistensi keju yang lebih lunak, serta ketidakmampuan untuk aktif pada pH 6,5 (Kilara dan Iya 1984).

Pepsin merupakan enzim proteolitik alami yang terdapat dalam rennet sapi muda. Enzim ini juga terdapat dalam cairan lambung hewan dewasa. Pada hewan muda kandungan pepsin belum banyak. Seiring bertambahnya umur, maka kandungan pepsin semakin bertambah menggantikan khimosin. Rasio antara aktivitas penggumpalan dan aktivitas proteolitik dari pepsin yang dihasilkan oleh berbagai jenis hewan bervariasi (Daulay 1990).

Koagulasi Susu

Koagulasi susu adalah proses perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan berbetuk gel. Koagulasi terjadi karena adanya penggumpalan dari kasein yang merupakan kandungan protein terbesar dalam susu yakni sekitar 80%. Dalam susu terdapat empat tipe kasein yaitu αs1-kasein, αs2-kasein, β-kasein, dan κ-kasein (CN) dengan perbadingan jumlah 4:1:4:1 yang seluruhnya tergabung bersama koloid kalsium fosfat (CCP) membentuk misel kasein. Gumpalan kasein berbentuk gel yang terbentuk pada proses koagulasi susu disebut curd atau dadih. Curd juga mengandung lemak, bakteri, air dan bahan-bahan yang terlarut dalam air, serta partikel-partikel lain (Daulay 1990, Fox 1993).

(7)

Gambar 2 Struktur umum misel kasein pada susu. Sumber: Goff (1995).

Pembentukan curd pada proses pembuatan keju, menurut Johnson (1984), dapat terjadi melalui dua cara, yaitu koagulasi secara enzimatis dan koagulasi asam. Koagulasi menggunakan asam dapat dilakukan dengan cara menambahkan asam (biasanya asam laktat) secara langsung ke dalam susu, atau dengan penambahan bakteri asam laktat seperti Lactococcus spp. dan Leuconostoc spp. yang akan memfermentasikan laktosa menjadi asam laktat. Netralisasi muatan negatif dari kasein oleh ion H+ dari asam laktat akan menyebabkan tercapainya pH isoelektrik kasein, yaitu pH 4,6, yang mengakibatkan kasein terkoagulasi. Penggumpalan akan sempurna bila semua muatan kasein menjadi netral.

Agregasi kasein pada susu normal dicegah oleh adanya kasein makro peptida hidrofilik (disebut juga “rambut-rambut”) pada misel kasein, serta muatan negatif dari misel yang mencegah misel saling berdekatan. Koagulasi enzimatis merupakan proses yang ditujukan untuk memecah ikatan pembatas misel kasein, sehingga misel kasein dapat beragregasi (Hill 2006).

Koagulasi susu secara enzimatis terbagi kedalam tiga tahapan. Tahap pertama merupakan tahap awal penggumpalan, molekul kasein terpecah untuk mempercepat agregasi misel kasein. Tahap kedua merupakan tahap agregasi, misel kasein memerangkap air untuk membentuk struktur tiga dimensi yang memicu terbentuknya gel. Ion kalsium pada tahapan kedua saling berinteraksi dengan misel kasein sehingga mempercepat pembentukan struktur gel dan mempercepat waktu koagulasi susu. Tahapan ketiga, merupakan tahapan terakhir, yaitu pada tahapan ini kasein telah selesai teragregasi dan membentuk curd (Hill

(8)

2006). Koagulasi susu secara enzimatis sangat bergantung pada suhu, pH dan konsentrasi kalsium. Koagulasi susu biasanya tidak akan terjadi pada suhu dibawah 15 °C, dan sensitif pada perubahan pH terutama pada selang 6,5- 7,0 (Shalabi dan Fox 1981, Dalgleish 1999).

Gambar 3 Pemotongan rantai κ-kasein oleh enzim khimosin. Sumber: University of Reading.

Khimosin merupakan koagulan yang telah lama digunakan dalam industri keju dan tampaknya merupakan enzim tertua yang dikenal dalam aplikasi pembuatan keju. Sejarah menggambarkan bahwa khimosin didapat dengan mengekstraknya dari abomasum ruminansia. Khimosin bekerja menghidrolisa ikatan peptida Phe 105-Met 106 pada rantai κ-kasein, pecahnya ikatan tersebut akan menyebabkan susu menggumpal (Johnson dan Law 1999). Mekanisme pemotongan rantai κ-kasein oleh enzim khimosin dapat dilihat pada Gambar 3.

Purifikasi Enzim

Berdasarkan Ahmed (2005) purifikasi protein merupakan suatu langkah awal yang penting untuk mendapatkan komponen biologis suatu protein dalam upaya memahami fungsi biologisnya. Ada beberapa faktor yang harus diketahui sebelum melakukan purifikasi protein ataupun memisahkan suatu protein tunggal dari suatu campuran protein antara lain berat molekul, muatan, serta sifat hidrofobiknya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut metode dalam purifikasi protein terbagi menjadi dua yakni metode kromatografi dan non-kromatografi. Metode non-kromatografi dalam hal ini antara lain elektroforesis, presipitasi, serta filtrasi membran.

(9)

Dalam melakukan purifikasi protein, sangat penting untuk menggunakan metode yang tidak menyebabkan terjadinya denaturasi protein khususnya protein yang menjadi target. Disamping itu, ada beberapa faktor lain yang juga harus diperhatikan dalam memilih suatu metode untuk purifikasi yakni bagaimana protein hasil purifikasi akan digunakan nantinya, jumlah protein terpurifikasi yang dibutuhkan, serta biaya dalam penyediaan pereaksi (reagent) dan material yang dibutuhkan untuk metode purifikasi tersebut. Sebagai contoh, suatu metode purifikasi yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein tidak dapat digunakan bila tujuan purifikasi ialah untuk mempelajari fungsi biologisnya namun masih bisa menjadi pilihan bila hanya ingin mengetahui struktur primer ataupun ukuran subunitnya. Metode purifikasi protein yang digunakan untuk mendapatkan protein terpurifikasi dalam jumlah mikro mungkin berbeda dengan metode yang digunakan untuk mendapatkan jumlah yang lebih banyak (Ahmed 2005).

Purifikasi akan memisahkan suatu ekstrak kasar protein menjadi beberapa fraksi yang kemudian dideteksi aktivitas dan jumlah kandungannya. Keberhasilan purifikasi protein ditentukan oleh tingginya aktivitas spesifik (specific activity) dan lipatan purifikasi (purification-fold) dari fraksi yang dihasilkan. Specific activity diartikan sebagai total aktivitas per miligram protein per mililiter fraksi, sementara purification-fold yaitu rasio antara specific activity dari sebuah fraksi dengan aktivitas total (total activity) dari ekstrak kasar tersebut (Ahmed 2005).

Teknik yang digunakan untuk purifikasi enzim tentunya sama dengan purifikasi protein pada umumnya. Selain diketahuinya komponen biologis dari suatu enzim, melalui purifikasi enzim juga akan diperoleh derajat purifikasi suatu enzim yang dapat digunakan dalam estimasi nilai kuantitatif dari aktivitas enzim. Faktor-faktor yang dijadikan dasar dalam purifikasi enzim juga sama dengan purifikasi protein yaitu homogenitas selama sedimentasi, elektroforesis dan kelarutan (Harrow dan Mazur 1958).

Dalam melakukan purifikasi enzim, satu atau lebih metode bisa diterapkan. Enzim bisa dipresipitasi terlebih dahulu dengan beberapa presipitan yang cocok seperti amonium sulfat, kemudian dilakukan dialisa untuk menghilangkan kelebihan amonium sulfat dan molekul pengganggu lainnya. Menurut Bollag dan

(10)

Edelstein (1991) ketika suatu larutan protein ditambah dengan garam dalam konsentrasi tinggi, protein akan terpisah dan terpresipitasi dari pelarutnya. Kondisi ini disebut dengan salting out. Pada keadaan salting out, ion-ion garam akan berikatan dengan molekul air sehingga menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein dan mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian mengendap. Amonium sulfat merupakan garam yang seringkali menjadi pilihan karena garam ini efektif dalam proses salting out, memiliki daya larut tinggi, menghasilkan panas pada tingkat yang rendah, dan relatif murah (Scopes 1994). Konsentrasi garam yang ditambahkan ke dalam suatu larutan protein mempengaruhi jumlah protein yang terpresipitasi. Kelarutan protein (pada pH dan temperatur tertentu) meningkat pada kenaikan konsentrasi garam (salting in), sehingga protein akan terlarut kembali (Harris 1989, diacu dalam Balqis 2007).

Dialisa merupakan proses difusi suatu zat terlarut melalui membran selektif permeabel dengan melawan gradien konsentrasi untuk mencapai titik keseimbangan. Gradien tersebut dibentuk dari perbedaan konsentrasi buffer pelarut dan buffer pendialisa (dialysate buffer). Dialisa dilakukan pada proses purifikasi dengan menggunakan kantong berpori yang disesuaikan dengan ukuran molekul target. Molekul yang berukuran lebih kecil dari pori-pori kantong dialisa dapat berpidah melewati membran, sementara molekul yang berukuran lebih besar akan tertahan pada satu sisi. Dengan mengganti buffer pendialisa yang berada di sisi luar kantong dialisa, molekul yang berukuran lebih kecil akan tertarik keluar secara terus-menerus hingga molekul target di dalam kantong dapat terpurifikasi. Dialisa paling efektif dilakukan dengan beberapa kali penggantian buffer pendialisa dalam satu hari perlakuan yang selanjutnya dibiarkan satu malam dalam sebuah piringan berputar. Protokol standar untuk dialisa yakni dilakukan selama 16-24 jam. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dialisa, antara lain koefisiensi difusi, pH, suhu, waktu, konsentrasi molekul target, volume sampel, volume buffer pendialisa, seberapa sering penggantian buffer pendialisa dilakukan, luas permukan dan ketebalan kantong dialisa, muatan molekul, serta agitasi (stirring) (Spectrumlabs 2008).

(11)

Kromatografi Kolom Gel Filtrasi

Kromatografi merupakan suatu teknik purifikasi dimana komponen dari sampel dipisahkan berdasarkan kemampuan masing-masing komponen tersebut untuk berinteraksi dengan fase gerak (mobile phase) dan fase diam (stationary phase) yang dilalui sampel. Walaupun saat ini telah tersedia berbagai tipe kromatografi, pada dasarnya semua memiliki prinsip pemisahan yang sama (Shetty et al. 2006).

Berdasarkan Ahmed (2005) fase diam dapat berbentuk padat, gel, cair atau campuran padat dan cair, sementara fase gerak dapat berbentuk cair atau gas dan mengalir melewati fase diam. Semua metode kromatografi bekerja dengan dasar keseimbangan yang dicapai antara fase diam dan fase gerak. Sebagian besar metode kromatografi membutuhkan beberapa peralatan yang sama termasuk penampung buffer (buffer reservoir), tabung, pompa peristaltik (peristaltic pump), kolom, detektor ultraviolet (UV detector), pencatat grafik (chart recorder), dan pengumpul fraksi hasil purifikasi (fraction collector). Susunan sistem kromatografi yang lengkap dan bersifat otomatis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4 Peralatan yang digunakan dalam kromatografi kolom gel filtrasi. Fraction

collector (A), Kolom (B). Sumber : Atlantic lab equipment (2011), Biostad

(2011).

Balqis (2007) menyebutkan bahwa pemurnian enzim protease yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu teknik kromatografi yang paling dasar dan paling umum digunakan (Shetty et al. 2006). Pada kromatografi ini digunakan sebuah tabung kaca atau plastik yang diisi dengan campuran fase gerak yang berbentuk cair dan fase diam yang berbentuk padat. Larutan sampel dituangkan di atas campuran fase diam dan fase gerak dalam tabung vertikal, dan dibiarkan mengalir melalui kedua fase di bawah pengaruh gaya gravitasi ataupun dengan tekanan dari pompa peristaltik yang dihubungkan pada tabung.

(12)

Pada kromatografi kolom, fase diam merupakan materi adsorban yang memiliki ukuran pori yang beragam (mesh size) dan memungkinkan lewatnya larutan sampel. Mesh size rendah yakni sekitar 20-50 mengandung lebih sedikit molekul per inchi persegi sehingga aliran sampel lebih cepat. Sementara mesh size yang tinggi (200-400) mengandung lebih banyak molekul per inchi perseginya sehingga aliran sampel lebih lambat dan sering digunakan dalam pemisahan larutan murni beresolusi tinggi (Shetty et al. 2006).

Gambar 5 Susunan sistem kromatografi kolom gel filtrasi. Bagian-bagian kolom yang digunakan pada gel filtrasi (A), Sistem kromatografi yang lengkap dan otomatis (B). Sumber: Hagel 1998.

Ada beberapa metode kromatografi kolom, diantaranya adalah kromatografi filtrasi gel dan kromatografi penukar ion (ion exchange). Kromatografi filtrasi gel merupakan teknik pemisahan protein dan makromolekul biologis lain berdasarkan ukuran molekul. Matriks gel filtrasi (fase diam) merupakan gel berpori yang dikemas di dalam kolom dan dielusi dengan fase gerak yang berwujud cair. Pori-pori matriks dapat menampung molekul yang berukuran lebih kecil dan

B A

(13)

memisahkannya dari molekul yang berukuran lebih besar. Kromatografi gel filtrasi dapat pula digunakan untuk estimasi berat molekul. Kromatografi penukar ion memanfaatkan perbedaan afinitas antara molekul bermuatan di dalam larutan dengan senyawa yang tidak reaktif yang bermuatan berlawanan sebagai pengisi kolom. Permukaan protein terdiri dari muatan positif dan negatif tergantung dari rantai samping asam amino asam dan basa (Balqis 2007). Ada dua jenis kromatografi penukar ion, yaitu anion-exchange chromatography dan cation-exchange chromatography. Pada umumnya anion-cation-exchange chromatography digunakan dalam purifikasi protein yang bersifat asam, sementara cation-exchange chromatography digunakan dalam purifikasi protein yang bersifat basa (Ahmed 2005).

Menurut Hagel (1998) kromatografi kolom gel filtrasi seringkali digunakan sebagai langkah awal sebelum dilakukan purifikasi lebih lanjut terhadap sampel dengan teknik adsorptif. Selain itu, gel filtrasi juga digunakan pada tahap akhir purifikasi untuk menghilangkan kontaminan yang masih tersisa yang kemungkinan memiliki muatan sama dengan protein target.

Analisa Protein

Analisa kimia protein terdiri atas analisa proksimat dan analisa ultimat. Menurut Winarno (1997) analisa proksimat dilakukan secara kuantitatif ataupun kualitatif. Metode Kjeldahl dan Dumas merupakan contoh analisa proksimat kuantitatif untuk menganalisa kadar protein kasar dengan dasar pengukuran kadar nitrogennya. Sementara analisa ultimat dilakukan dengan dasar pengukuran asam amino yang terkandung di dalam suatu larutan protein (Somaatmadja 1975). Beberapa cara analisa asam amino, antara lain dengan cara kromatografi kolom, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), mikrobiologis, dan spektrofotometrik (Winarno 1997).

Pada metode spektrofotometrik, panjang gelombang ( λ ) yang digunakan yaitu 280 nm. Hal ini karena kandungan asam-asam amino karboksilat, terutama tirosin, serta sebagian besar protein-protein mempunyai absorbsi maksimum pada panjang gelombang tersebut. Pengukuran absorbsi pada panjang gelombang 280 nm dianggap merupakan suatu cara yang cepat, mudah, dan tidak destruktif untuk menentukan kadar protein dalam suatu larutan karena untuk beberapa protein kadar asam amino tirosin menunjukkan kadar protein (Winarno 1997).

(14)

Menurut Winarno et al. (1973) analisa asam amino bisa juga dilakukan dengan cara elektrofresis. Elektrofresis adalah suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi dari suatu zat berdasarkan atas pergerakan partikel koloid yang bermuatan, di bawah pengaruh medan listrik. Berdasarkan Ahmed (2005) pada elektroforesis, protein dipisahkan berdasarkan muatan dan berat molekulnya. Suatu sampel protein dilewatkan pada suatu media berpori, antara lain berupa kertas, selulosa, asetat, ataupun gel yang terbuat dari pati, agarose, ataupun gel poliakrilamida. Gel poliakrilamida merupakan media yang paling umum digunakan pada pemisahan protein karena aplikasinya yang mudah. Gel ini terbentuk oleh adanya polimerisasi dari monomer akrilamida serta ikatan silang dengan komponen N,N’-metilen bisakrilamid. Polimerisasi ini diawali dengan adanya reaksi antara ammonium persulfat sebagai katalis dan N,N,N’,N’-tetrametilendiamin (TEMED).

Pada metode SDS-PAGE (sodium dodecyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis), protein yang dipisahkan dengan elektroforesis mengalami denaturasi akibat penambahan SDS. SDS merupakan deterjen anionik yang dapat melapisi permukaan protein dan membentuk jaring muatan negatif akibat adanya sulfat pada molekul SDS. Dengan demikian, rasio muatan per bobot molekul setiap fraksi protein sama sehingga sampel protein hanya dipisahkan berdasarkan bobot molekulnya saja. Fraksi protein yang memiliki bobot molekul lebih kecil akan bergerak lebih cepat melewati gel, sementara fraksi protein dengan bobot molekul lebih besar akan bergerak lebih lamban. SDS-PAGE dapat digunakan untuk menganalisa kemurnian protein, menentukan bobot molekul, memonitor purifikasi protein, menentukan konsentrasi protein, mendeteksi reaksi proteolisis, mendeteksi modifikasi protein, dan mengidentifikasi protein terimunopresipitasi (Ahmed 2005).

Gambar

Gambar 2  Struktur umum misel kasein pada susu. Sumber: Goff (1995).

Referensi

Dokumen terkait

1 Pra Rancangan PabrikjHidrogen Peroksida dari Isopropanof A Kapasitas 25.000 ton / tahun Kabag Teknik Kasie Pengadaan & Pemeliharaan Peralatan X Direktur teknik dan Produksi

Curcumin dapat menurunkan titer virus pada infeksi DENV terhadap galur sel A549 dan konsentrasi yang dibutuhkan curcumin untuk menghambat infektivias DENV (IC50)

Sementara itu, Siregar (2005:7) menyatakan bahwa : “ Variabel didefinisikan sebagai suatu atribut (proporsi) objek, yang ada dalam diri sumber populasi dengan

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 43 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, sebagaimana telah diubah beberapa

Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan

Keenam : Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Tenaga Kesehatan untuk Diploma III Analis Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam profil dan kompetensi lulusan terdiri

Danatel Pratama mampu menempatkan diri bukan sebagai penjual semata, namun bisa membuat calon konsumen menjadi nyaman dengan hal yang akan disampaikan, sehingga

Laporan Tugas akhir ini sekiranya dapat membantu mahasiswa maupun pelajar yang mempunyai minat pada set and prop master dalam pembangunan atau pengaplikasian desain untuk