• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEVEL-LEVEL ABSTRAKSI REFLEKTIF DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA. Dra. Binur Panjaitan, M.Pd.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEVEL-LEVEL ABSTRAKSI REFLEKTIF DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA. Dra. Binur Panjaitan, M.Pd."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

LEVEL-LEVEL ABSTRAKSI REFLEKTIF DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

Dra. Binur Panjaitan, M.Pd. ABSTRAK

Salah satu karakteristik atau ciri matematika adalah memiliki objek kajian yang abstrak, sehingga abstraksi menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari matematika. Berbagai kajian tentang abstraksi dalam matematika telah dibahas oleh pakar matematika dan pendidikan matematika yang memunculkan beberapa istilah tentang abstraksi, antara lain empirical abstraction, pseudo-empirical abstraction dan reflective abstraction, yang masing-masing memiliki pengertian sendiri, bahkan mungkin saling terkait satu dengan yang lain. Berkembangnya teori abstraksi berkaitan erat dengan pemebelajaran matematika, baik secara langsung maupun tidak, misalnya dalam pemecahan masalah matematika. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan level-level abstraksi reflektif dalam pemecahan masalah matematika, serta menguraikan karakteristik setiap level.

Kata kunci: abstraksi, abstraksi reflektif, pemecahan masalah matematika I. PENDAHULUAN

Kata “abstrak” (Gray dan Tall, 2007) berasal dari bahasa Latin, terdiri dari “ab” yang berarti “dari (from)” dan “trahere” yang berarti “menarik (to drag)”. Secara grammatika to abstract (a verb) mempunyai arti mengabstraksikan, merupakan suatu proses, to be abstract ( an adjective) mempunyai arti abstrak, merupakan suatu sifat, dan an abstract (a noun) mempunyai arti abstraksi, merupakan arti konsep. Kata “abstraksi (abstraction)” mempunyai dua arti, pertama proses menggambarkan suatu situasi, dan kedua merupakan konsep sebagai hasil dari sebuah proses.

Abstraksi adalah suatu proses yang fundamental dalam pembentukan pengetahuan matematika. Terkait dengan hal ini, Krutetskii (dalam Cifarelli, 1988) dalam penelitiannya pada level-level aktivitas matematika, yang difokuskan pada konstruksi pengetahuan matematika, menggambarkan bahwa berpikir matematika merupakan aktivitas yang terlibat dalam abstraksi dan generalisasi dari ide-ide matematika.

Untuk mengabstraksi, seseorang memerlukan logika. Siswa perlu mempertimbangkan mata rantai pengetahuan teoritis baru dengan komponen lain secara komprehensif untuk mengetahui integrasi atau kontradiksi yang terjadi. Aktivitas dalam komponen matematika dikombinasikan bersama, direstrukturisasi, diorganisasi dan dibangun hingga lebih abstrak atau lebih formal. Kekuatan abstraksi dalam memecahkan masalah tergantung pada latar belakang siswa serta struktur dari dalam diri individu.

Sehubungan dengan pentingnya abstraksi dalam matematika, Dienes (dalam Bell, 1978) mengatakan, untuk belajar matematika, yaitu untuk dapat mengklasifikasikan struktur-struktur dan hubungan-hubungan, siswa harus belajar untuk: (1) menganalisis hubungan struktur-struktur atau kejadian-kejadian secara

(2)

bersama- sama, (2) mengabstraksikan sifat struktur-struktur atau kejadian-kejadian, (3) menggeneralisasikan kelompok struktur-struktur matematika yang dipelajari sebelumnya dengan memperluasnya pada kelompok-kelompok yang lebih luas yang mempunyai sifat serupa, dan (4) menggunakan abstraksi yang telah dipelajari sebelumnya untuk mengkonstruksi tingkat abstraksi yang lebih tinggi.

Menurut Hershkowiz, Schwarz, dan Dreyfus (2001), ciri utama abstraksi ialah penyarian sifat yang sama atau umum dari sebuah himpunan contoh nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (2000: 130), yang menyatakan bahwa suatu abstraksi terjadi bila kita memandang beberapa objek kemudian kita gugurkan ciri-ciri atau sifat-sifat objek itu yang dianggap tidak penting atau tidak diperlukan, dan akhirnya hanya diperhatikan atau diambil sifat penting yang dimiliki bersama. Hasil abstraksi terdiri dari himpunan semua objek yang mempunyai sifat dan hubungan penting sehingga abstraksi ini merupakan sebuah proses dekontekstualisasi. Dekontekstualisasi ialah terjadinya tindakan pada suatu latar yang tidak diinterpretasikan oleh individu yang bersangkutan. Proses ini linier, berawal dari objek-objek menuju pada kelas atau struktur dan disebut objek pada level yang lebih tinggi.

Terkait dengan terjadinya abstraksi, Davydov (dalam Hershkowitz et. al., 2001) menjelaskan asal kejadian abstraksi sebagai berikut. Abstraksi tidak berjalan dari konkret menuju abstrak, tetapi dari abstrak menuju abstrak, yaitu dari sebuah bentuk abstrak yang belum berkembang menjadi bentuk abstrak yang berkembang. Jadi aktivitas dalam komponen matematika dikombinasikan bersama, direstrukturisasi, diorganisasi dan dibangun hingga lebih abstrak atau lebih formal.

Skemp (dalam Mitchelmore dan White, 2004: 3 ) mendefinisikan proses abstraksi adalah sebagai aktivitas dan hasil abstraksi adalah sebagai konsep. Skemp mengatakan secara lengkap sebagai berikut.

“Abstracting is an activity by which we become aware of similarities ... among our

experiences. Classifing means collecting together our experiences on the basis of these similarities. An Abstractions is some kind of lasting change, the result of abstracting, which enables us to recognise new experiences as having the similarities of an already formed class. ... To distinguish between abstracting as an activity and abstractions its end-product, we shall ... call the latter a concept”.

Makna dari kutipan di atas adalah sebagai berikut. “Pengabstraksian adalah suatu aktivitas yang menjadikan kita menyadari kesamaan-kesamaan di antara pengalaman kita. Pengklasifikasian berarti mengumpulkan bersama-sama pengalaman-pengalaman kita atas dasar kesamaan-kesamaan ini. Suatu abstraksi adalah suatu jenis perubahan yang kekal, hasil dari pengabstraksian yang memungkinkan kita mengenali pengalaman baru seperti kesamaan yang telah membentuk kelas. Untuk membedakan antara pengabstraksian sebagai suatu aktivitas dan pengabstraksian sebagai akhir, pengabstraksian sebagai hasil-akhir kita sebut dengan konsep”.

Selanjutnya Herskowitz et. al. (dalam Mitchelmore dan White, 2004), mendefinisikan abstraksi merupakan “suatu aktivitas reorganisasi vertikal konsep matematika yang telah dikonstruk sebelumnya menjadi sebuah struktur

(3)

matematika baru”. Objek-objek matematika baru dikonstruksi melalui pembentukan hubungan, sedemikian hingga menemukan generalisasi, bukti, atau strategi baru pada pemecahan masalah. Definisi abstraksi menurut Skemp dan abstraksi menurut Herskowitz et al. mempunyai kesamaan, yaitu dalam hal sama-sama menyatakan bahwa abstraksi adalah suatu aktivitas.

Abstraksi sebagai aktivitas, searah dengan konstruksi matematika. Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (konstruksi) orang itu sendiri. Hasil proses abstraksi sebelumnya dapat digunakan untuk aktivitas abstraksi sekarang, dan hasil abstraksi sekarang dapat digunakan untuk aktivitas selanjutnya. Reorganisasi ialah aktivitas penyusunan, pengumpulan, pengorganisasian dan pengembangan unsur-unsur matematika menjadi unsur baru dalam bentuk yang lebih abstrak atau lebih formal dari aslinya.

Tall et al. (1999) melakukan studi review dan menyimpulkan bahwa abstraksi konsep matematika pada dasarnya menggunakan abstraksi yang berfokus pada objek dan abstraksi yang berfokus pada operasi objek. Contoh abstraksi yang berfokus pada objek yaitu geometri, dan contoh abstraksi yang berfokus pada operasi objek yaitu aritmatika dan aljabar.

II. PEMBAHASAN

Piaget (dalam Gray dan Tall, 2007; Ozmantar dan Monaghan, 2007) membedakan tiga bentuk abstraksi, yaitu pertama abstraksi empiris (empirical abstraction) yang memfokuskan pada cara anak mengonstruk arti sifat-sifat objek, misalnya, mengetahui berat dan warna sebuah batu kerikil. Kedua, abstraksi empiris semu (pseudo-empirical abstraction) yang memfokuskan pada cara anak mengonstruk arti sifat-sifat aksi pada objek, misalnya menghitung batu kerikil. Ketiga, abstraksi reflektif (reflective abstraction), yang memfokuskan pada ide tentang aksi dan operasi menjadi objek tematik dari pemikiran atau assimilasi, yang berkaitan dengan kategorisasi operasi mental dan abstraksi terhadap objek mental, misalnya menemukan sifat komutatif melalui perhatian pada aksi menghitung.

Piaget (dalam Gray dan Tall, 2007) membedakan antara abstraksi empirik dan abstraksi empirik-semu. Perbedaan keduanya terletak pada fokus konstruksinya. Abstraksi empirik dilakukan pada sifat objek dan abstraksi empirik semu dilakukan pada aksi atau pada relasi dari objek. Abstraksi empirik menggunakan eksperimen pemikiran imajinatif, dan abstraksi empirik semu menggunakan perhitungan numerik dan manipulasi aljabar (simbolik). Secara esensial, antara cara pemikiran imajinatif dan simbolik berbeda, abstraksi dari objek-objek dimulai dengan dunia riel, dan abstraksi dari aksi dikembangkan melalui abstraksi dalam pemikirannya.

Terkait dengan abstraksi reflektif (reflective abstraction), kata “reflective” berasal dari bahasa Prancis yaitu “reflechissement”, suatu kata yang sering digunakan dalam ilmu optik ketika sesuatu sedang dicerminkan. Dalam teori kognisi, istilah ini digunakan untuk menunjukkan suatu aktivitas mental atau operasi mental (bukan suatu kombinasi yang statis dari unsur-unsur sensori).

(4)

Selanjutnya Moessinger & Poulin-Dubois (dalam Glasersfeld, 1991) menerjemahkan reflective sebagai proyeksi (projection).

Piaget menekankan bahwa abstraksi reflektif melibatkan dua fitur/ciri yang tidak dapat dipisahkan, yaitu pertama “reflechissement”, dalam pengertian suatu aktivitas proyeksi dari suatu tingkatan yang lebih rendah ke tingkatan yang lebih tinggi, dan yang kedua adalah “reflexion” yaitu pemantulan, dalam pengertian (sadar atau tidak sadar) pada rekonstruksi atau reorganisasi kognitif dari apa yang sudah diperoleh subjek. Dalam pemecahan masalah, subjek mampu memecahkan masalah yang baru dengan menggunakan koordinasi-koordinasi tertentu dari struktur-struktur yang telah dibangun dan direorganisasikan.

Abstraksi reflektif (reflective abstraction) terjadi melalui aksi mental pada konsep mental dalam operasi mental subjek sendiri menjadi objek baru pada pikirannya. Hasil dari abstraksi reflektif ialah skema (struktur mental) pengetahuan pada setiap tahap perkembangan dan abstraksi reflektif (reflective abstraction) menyarikan skema dari pola aksi yang berkaitan.

Piaget (dalam Suparno, 2001: 117) membedakan adanya dua macam abstraksi, yaitu abstraksi sederhana dan abstraksi reflektif. Abstraksi sederhana adalah abstraksi yang didasarkan pada objek itu sendiri. Dalam abstraksi sederhana ini, seseorang menemukan pengertian sifat-sifat objek itu sendiri secara langsung. Pengetahuan tersebut merupakan abstraksi langsung atas objek itu. Inilah yang disebut juga pengetahuan eksperimental atau empiris.

Sedangkan abstraksi reflektif adalah abstraksi yang didasarkan pada koordinasi, relasi, operasi dan penggunaan yang tidak langsung keluar dari sifat-sifat objek itu. Di sini, abstraksi ditarik tidak dari objek itu sendiri, tetapi dari aksi (tindakan) terhadap objek itu. Inilah yang disebut juga abstraksi logis atau matematis. Tindakan-tindakan dapat dikoordinasikan dalam bermacam-macam cara. Tindakan-tindakan itu dapat dihubungkan secara bersama-sama (koordinasi aditif) atau disusun satu dengan yang lain dalam urutan waktu (koordinasi ordinal). Piaget menganggap koordinasi tindakan itu sebagai dasar struktur logis seseorang. Oleh karena itu akar pengertian logis ditemukan dalam koordinasi tindakan-tindakan yang merupakan dasar abstraksi reflektif. Sebagai contoh, seorang anak berhadapan dengan 7 kelereng. Anak tersebut menghitung kelereng itu sampai 7. Ia menjajarkannya dan menghitungnya, tetap sama 7. Ia meletakkan kelereng di dalam kaleng, dihitung lagi, hasilnya tetap 7. Anak itu menemukan prinsip komutatif bahwa jumlah kelereng tetap sama meskipun susunannya diubah-ubah. Ia juga menemukan pengertian tentang angka 7. Sifat tersebut tidak pada kelereng, tetapi pada aksi terhadap kelereng.

Konsep abstraksi reflektif yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Suparno, 2001) yang didasarkan pada koordinasi relasi dan operasi objek, dan konsep abstraksi reflektif yang dikemukakan oleh Piaget (dalam Gray dan Tall, 2007) yang memfokuskan pada ide tentang aksi dan operasi, pada dasarnya sama, yaitu abstraksi yang tidak menggunakan objek sensori motor atau material.

Von Glasersfeld (1991, 1995) mendeskripsikan teorinya pada konstruktivis radikal, abstraksi reflektif diringkas menjadi tiga tipe, yaitu: (1) abstraksi yang bersifat reflektif (reflective abstraction); (2) abstraksi yang direfleksikan (reflected abstraction); (3) abstraksi empirik-semu

(5)

(pseudo-empirical abstraction). Tipe yang pertama yaitu abstraksi yang bersifat reflektif

(reflective abstraction) mengacu pada kemampuan subjek untuk memproyeksikan dan mengorganisasikan kembali struktur yang diciptakan dari aktivitas dan interpretasi subjek sendiri kepada suatu level baru. Tipe yang kedua, disebut abstraksi yang direfleksikan (reflected abstraction), penting untuk memahami perkembangan kognitif tingkat yang lebih tinggi. Perbedaannya dengan tipe yang pertama, karakteristik dari abstraksi yang direfleksikan bukan hanya subjek mampu memproyeksikan struktur yang diciptakan dengan aktivitasnya kepada suatu level baru dan mengorganisasikannya, tetapi subjek juga sadar akan apa yang diabstraksikannya. Abstraksi yang direfleksikan mengacu pada kesadaran metakognisi dari subjek mengenai aktivitas dan organisasi pada struktur kognitifnya. Perbedaan antara tipe ketiga, yaitu abstraksi empirik-semu

(pseudo-empirical abstraction) dengan dua yang lain adalah bahwa pada abstraksi

empirik-semu, aktivitas abstraksi subjek harus menggunakan bagian dalam konteks objek-objek sensorimotor atau material.

Pada pembagian abstraksi menurut Glasersfeld (1991, 1995), yaitu abstraksi yang bersifat reflektif ( reflective abstraction), abstraksi yang direfleksikan (reflected abstraction) dan abstraksi empirik-semu (pseudo-empirical abstraction), abstraksi yang direfleksikan mengacu pada level tertinggi abstraksi reflektif yang diajukan oleh Cifarelli (1988), yaitu mengacu pada kesadaran subjek dalam struktur kognitifnya sendiri.

Menurut Dubinsky (1991), konsep abstraksi reflektif yang dikemukakan oleh Piaget dapat digunakan sebagai suatu cara dalam membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir matematika lanjutan. Dubinsky juga menganjurkan bahwa konsep abstraksi reflektif dapat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran untuk “mengakibatkan atau mempengaruhi siswa melakukan abstraksi reflektif tertentu”. Agar abstraksi reflektif ini berhasil, seorang guru harus menempatkan perhatian pada pengembangan tugas-tugas pembelajaran matematika yang sesuai.

Terkait dengan pentingnya abstraksi reflektif dalam pembelajaran, Simon et. al. (dalam Goodson-Espy, 2005; 3) mengatakan bahwa “... attribute development of a new conception to a process involving learners’ goal-directed activity and natural processes of reflection”. Dalam pendapat di atas ditunjukkan bagaimana abstraksi reflektif dapat digunakan secara langsung dan secara efektif dalam pembelajaran matematika. Mekanisme pembelajaran konseptual yang didefinisikan oleh Simon et al. meliputi aktivitas mental, rentetan aktivitas, tujuan-tujuan pebelajar dan pengaruhnya. Aktivitas pebelajar dideskripsikan sebagai being constructive, lebih dari induktif, dihasilkan dari perefleksian pebelajar pada pola dalam hubungan pengaruh-aktivitas (activity-effect relationship) sebagai pengganti refleksi pada pola dalam hasilnya. Ini jelas mendeskripsikan bagaimana konsep assimilasi dan akomodasi Piaget bekerja dalam hubungannya dengan abstraksi reflektif untuk mendefinisikan suatu mekanisme pembelajaran. Assimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Akomodasi dapat diartikan sebagai pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau dapat juga

(6)

merupakan modifikasi skema yang ada, sehingga cocok dengan rangsangan yang baru. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan yaitu dengan proses assimilasi dan akomodasi.

Ide Piaget dan von Glasersfeld mengenai abstraksi reflektif diaplikasikan oleh Cifarelli (1988) dan Goodson-Espy (1988) dalam penelitian yang lebih khusus, aksi pemecahan masalah yang dapat diobservasi, digunakan untuk mendefinisikan level-level dari abstraksi reflektif. Cifarelli mendefinisikan level-level dari abstraksi reflektif untuk mendeskripsikan proses pembelajaran, dan dideskripsikan level-level yang dicapai oleh mahasiswa ketika memecahkan masalah aljabar. Goodson-Espy menggunakan level-level tersebut dan menghubungkannya dengan teori Sfard dan Linchevski (1994), yaitu teori reifikasi (reification) untuk mendeskripsikan transisi mahasiswa ketika menggunakan aritmatika pada aljabar.

Level-level dari aktivitas abstraksi reflektif menurut Cifarelli (1988) adalah sebagai berikut: Level pertama adalah pengenalan (recognition), level kedua adalah representasi (representation), level ketiga adalah abstraksi struktural (structural abstraction), dan level keempat atau level tertinggi adalah kesadaran struktural (structural awareness). Penulis menggunakan aktivitas abstraksi reflektif tersebut sebagai dasar dalam mendeskripsikan profil abstraksi siswa dalam pemecahan masalah matematika pada penelitian ini.

Level pertama, adalah mengenali (recognition), berarti mengidentifikasi suatu struktur matematika yang telah ada sebelumnya, baik pada aktivitas yang sama maupun aktivitas sebelumnya. Mengenali suatu struktur matematika terjadi ketika seorang siswa menyadari bahwa suatu struktur yang telah ada dan mungkin telah digunakan sebelumnya “melekat” pada masalah matematika yang dihadapi saat ini. Ketika siswa dihadapkan pada pemecahan masalah, memahami dan menjelaskan situasi tertentu, atau merefleksikan suatu proses, mereka memerlukan aturan atau hubungan yang mendasari permasalahan itu. Untuk mencapai tujuan itu, mereka harus memunculkan atau mengingat kembali struktur yang telah mereka peroleh pada aktivitas sebelumnya dan menggunakannya dalam aktivitas selanjutnya.

Cifarelli (dalam Petty, 1996: 9) menjelaskan aktivitas siswa pada level mengenali sebagai berikut. “Recognition. At this stage, the problem solver encounters a new situation, and recalls or identifies activity from previous situations as being appropriate”. Cifarelli menjelaskan bahwa pada tahap pengenalan, problem solver menghadapi suatu situasi baru, dan mengingat atau mengidentifikasi aktivitas dari situasi-situasi yang sebelumnya yang terkait dengan masalah yang sedang dihadapi.

Hershkowitz, Schwarz dan Dreyfus (2001: 9) dan Jirotkova dan Littler (2004: 2) mengemukakan bahwa,

“Recognition of a familiar mathematical structure occurs when a student realizes that a structure (s)he has constructed and possibly used earlier is inherent in a given mathematical situation. Usually, recogniting occurs as part of an activity with a purpose that goes beyond the act of recognition”.

Makna dari kutipan di atas adalah bahwa pengenalan terhadap suatu struktur matematika yang sudah pernah dipelajari, terjadi ketika seorang siswa menyadari

(7)

bahwa suatu struktur yang telah dikonstruksinya dan mungkin telah digunakan sebelumnya, sesuai dengan suatu situasi matematika yang diberikan. Biasanya proses pengenalan terjadi sebagai bagian dari aktivitas dengan tujuan lebih dari sekedar aksi pengenalan. Pada abstraksi mengenali, walaupun siswa sudah mengenali berbagai hal struktur matematika, tetapi tidak secara otomatis berubah menjadi suatu representasi atau gambaran yang dapat mewakili hal tersebut.

Level kedua adalah representasi (representation). Cifarelli (dalam Petty, 1996: 20) menjelaskan aktivitas siswa pada level representasi sebagai berikut. “Representation. The problem solver utilizes a diagram in resolving a problematic

situation to aid reflection. The problem solver is operating at this level if more control over the solution activity is demonstrated or, more precisely, if the solver re-presents this solution activity. This reflective level requires the individual to

demonstrate a certain degree of flexibility and control over prior activity in the sense that the activity could mentally be “run through”.

Pada level representasi ini, siswa menggunakan diagram di dalam memecahkan suatu situasi untuk membantu refleksi. Refleksi level ini memerlukan individu untuk mempertunjukkan suatu derajat tingkat fleksibilitas dan kendali tertentu atas aktivitas sebelumnya. Segala aktivitas penyelesaian yang mungkin dilaksanakan, tanpa bisa mengantisipasi hasilnya.

Untuk dapat mengetahui pemahaman siswa tentang pemecahan masalah matematika, siswa perlu merepresentasikan struktur matematika yang telah dimiliki. Janvier (1987: 28) mengatakan, representasi sebagai gambaran mental memungkinkan matematika menjadi transparan. Melakukan abstraksi terhadap struktur masalah matematika merupakan representasi internal. Representasi internal tidak dapat diamati karena ada di dalam mental. Menurut Goldin (dalam Viholainen, 2007), representasi internal dapat berupa verbal/sintaktik, imaginistik, notasi formal, strategi/heuristik, atau berupa assosiasi mental afektif suatu konsep. Melalui representasi eksternal, dapat diketahui interpretasi siswa tentang struktur masalah matematika tersebut. Dengan demikian dalam penelitian ini, siswa melakukan representasi internal dan representasi eksternal. Siswa mengabstraksi struktur masalah melalui representasi internal, kemudian melalui representasi eksternal, siswa menyatakan dengan gambaran yang ada di dalam pikirannya melalui suatu diagram, simbol, tabel, grafik, bagan atau kata-kata.

Level ketiga adalah abstraksi struktural (structural abstraction) . Cifarelli (dalam Petty, 1996: 20) menjelaskan aktivitas siswa pada level abstraksi struktural sebagai berikut.

“Structural abstraction. At this level, a problem solver is able to distance himself or

herself from the activity in such a manner that he or she could reflect on and make abstraction from the re-presentation of solution activity. This also suggests that the problem solver is able to reflect on potential, as well as, prior activity".

Pada level ketiga ini, siswa mampu membuat abstraksi dari representasi aktivitas penyelesaian. Siswa juga mampu untuk merefleksi potensial dari aktivitas sebelumnya. Siswa mampu untuk memproyeksikan dan mereorganisasi struktur yang diciptakan dari aktivitas dan interpretasi siswa sendiri kepada suatu

(8)

situasi baru. Struktur matematika yang ada diproyeksikan dan direorganisasikan, sehingga menambah kedalaman pengetahuan siswa sendiri. Reorganisasi dari konsep matematika merupakan aktivitas mengumpulkan, menyusun, mengorganisasi, mengembangkan unsur-unsur matematis, menjadi unsur baru. Baru, dimaksudkan menyatakan sebagai hasil abstraksi, siswa dalam sebuah aktivitas merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat mereka peroleh. Dalam pemecahan masalah, subjek mampu memecahkan masalah yang baru dengan menggunakan koordinasi-koordinasi tertentu dari struktur-struktur yang telah dibangun dan direorganisasikan oleh subjek tersebut. Tetapi kita tidak tahu apakah subjek sadar atau tidak sadar dalam hal ini.

Level ke empat atau level tertinggi adalah kesadaran struktural (structural awareness). Cifarelli (dalam Petty, 1996: 20) menjelaskan aktivitas siswa pada level kesadaran struktural sebagai berikut. “Structural awareness. A problem solver at this level will demonstrate an ability to anticipate results of potential activity without having to run through the activity in thought”.

Pada level kesadaran struktural ini, siswa akan menunjukkan satu kemampuan untuk mengantisipasi hasil-hasil dari aktivitas potensial tanpa harus menyelesaikan semua aktivitas yang dipikirkan. Kesadaran struktural mengacu pada kesadaran metakognisi siswa mengenai aktivitas dan organisasi pada struktur kognitifnya. Struktur yang diciptakan oleh siswa dalam pemecahan masalah menjadi sebuah objek refleksi. Siswa mampu memikirkan struktur sedemikian sebagai objek-objek dan mampu membuat keputusan tentang hal tersebut tanpa mengusahakan bentuk fisik atau secara mental merepresentasikan metode penyelesaian. Ketika seorang problem solver mencapai level yang lebih tinggi pada abstraksi reflektif, pemikiran mereka menjadi makin bertambah fleksibel.

Dalam memecahkan masalah, subjek mampu memecahkan masalah yang baru dengan secara sadar menggunakan koordinasi-koordinasi tertentu dari struktur-struktur yang telah dibangun dan direorganisasikan oleh subjek tersebut. Subjek secara sadar mengetahui mengapa ia menggunakan struktur-struktur terentu dalam memecahkan masalah, dan subjek sadar bagaimana ia menggunakan struktur-struktur tersebut, tidak hanya mengacu pada keterampilan menyelesaikan masalah.

Piaget (dalam Fisher, 1988) menyebutkan bahwa pengabstraksian yang bersifat reflektif (reflective abstraction) sebagai pemikiran tentang pemikiran (thinking about thinking) dan perkembangannya pada anak-anak melalui pertumbuhan kesadaran mereka dari titik pandang yang berbeda serta pengalaman konflik dari diri sendiri ketika masalah dihadapkan pada mereka. Keadaan konflik diperlukan untuk merangsang seseorang mengadakan akomodasi atau perubahan pengetahuan. Selanjutnya, Piaget (dalam Glasersfeld, 1991: 12) dan kolaborasinya mengenai pencapaian kesadaran, mengatakan sebagai berikut,

... action by itself constitutes an autonomos knowledge of considerable power, for while it is only “know-how” and not knowledge that is conscious of it self in the sense of conceptualized understanding, it nevertheless constitutes the source of the latter because the attainment of consciousness nearly always lags quite noticeably behind this initial knowledge which is remarkably efficacious even though is does not know itself.

(9)

Jadi, Piaget berpendapat bahwa pada pengabstraksian yang bersifat reflektif pencapaian kesadaran diharapkan, bukan hanya bagaimana untuk memahami konsep, bukan hanya bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih jauh bahwa siswa sadar akan aktivitas dan organisasi struktur kognitifnya ketika memecahkan suatu masalah.

Suatu keistimewaan dari level-level abstraksi reflektif yang dikemukakan oleh Cifarelli di atas adalah bahwa level-level tersebut adalah suatu langkah untuk mendeskripsikan apakah seorang problem solver sadar atau tidak sadar pada konsep-konsep tertentu selama aktivitas pemecahan masalah mereka, dan membantu mengidentifikasi apakah seorang problem solver menggunakan metode penyelesaian sebelumnya atau apakah dia menggunakan metode pemecahan masalah yang baru (Goodson-Espy, 2005).

Selanjutnya Goodson-Espy (2005) menyatakan perbedaan antara level-level dari abstraksi reflektif mengacu pada kemampuan subjek untuk memecahkan masalah, tetapi Goodson-Espy tidak merinci pada setiap level. Secara lengkap Goodson-Espy (2005: 2) mengatakan sebagai berikut. “The difference between

levels of reflective abstraction are described in terms of whether a solver can:

• recognize having solved a similar problem before; • re-use previous solution methods on a problem;

• develop novel strategies for a problem that the solver has not used previously; • anticipate sources of difficulty and promise during the solution process when

using a previously applied method;

• anticipate sources of difficulty and promise during the solution process when using a new solution method;

• mentally run-through methods used previously; • mentally run-through potential solution methods;

• demonstrate conscious awareness of problem solving activities and decisions”. Dalam tulisan ini, untuk mengetahui proses abstraksi reflektif dalam pemecahan masalah matematika, maka dibuat karakteristik abstraksi reflektif atau indikator pada setiap level aktivitas berdasarkan hasil study literature seperti dikemukakan pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Abstraksi Reflektif

Level Karakteristik

Abstraksi Reflektif

Recognition Mengingat kembali aktivitas sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.

Mengidentifikasi aktivitas sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.

Representation Menyatakan hasil pemikiran sebelumnya dalam bentuk diagram, simbol matematika, kata-kata, tabel, grafik untuk membantu refleksi.

Menerjemahkan dan mentransformasikan informasi atau struktur ke dalam model matematika.

Menjalankan metode solusi alternatif yang mungkin. Structural Merefleksi aktivitas sebelumnya kepada situasi baru

(10)

Abstraction Mengembangkan strategi baru untuk suatu masalah, dimana sebelumnya belum digunakan

Mengantisipasi sumber kesulitan selama proses penyelesaian apabila digunakan metode yang lain

Mereorganisasikan struktur masalah matematika berupa menyusun, mengorganisasikan dan mengembangkan

Structural Mendemonstrasikan kemampuan untuk mengantisipasi hasil pemecahan Awareness masalah tanpa menjalankan semua aktivitas yang dipikirkan.

Memberikan argumen-argumen atau alasan-alasan terhadap keputusan yang dibuat.

Sadar akan kesulitan selama proses penyelesaian apabila digunakan alternatif metode penyelesaian yang lain.

Merefleksikan keputusan yang diperoleh untuk aktivitas berikutnya. Mendemonstrasikan/menunjukkan ringkasan aktivitasnya selama pemecahan masalah

Berikut ini diberikan suatu contoh abstraksi reflektif dalam pemecahan masalah matematika, dalam topik sistem persamaan linier dua variabel.

Contoh:

Banyaknya kelereng Ali empat butir lebih sedikit daripada banyaknya kelereng Susan. Jika banyaknya kelereng mereka 24 butir, berapa banyaknya kelereng mereka masing-masing, tuliskan cara penyelesaiannya.

Level abstraksi Langkah-langkah pemecahan masalah refelektif

Recognition Kelereng Susan lebih banyak daripada kelereng Ali. Banyak kelereng Ali dan Susan 24 butir

Representation

Memahami masalah: Diketahui:

Banyak kelereng Ali empat butir lebih sedikit daripada kelereng Susan.

Jumlah kelereng Ali dan Susan 24 butir Ditanya:

Berapa banyak kelereng Ali? Structural Abstraction

Berapa banyak kelereng Susan?

Mengabstraksikan struktur yang mendasari masalah, menyatakan hubungan antara apa yang diketahui dengan Structural Awareness

apa yang ditanyakan.

Mengungkapkan apa yang diabstraksikan tentang yang diketahui dan yang ditanyakan

Recognition

Merencanakan pemecahan masalah:

Mengenali kembali (mengingat) apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.

Mengenal kembali (mengingat) metode pemecahan masalah Representation

yang sudah pernah diselesaikan. Misalkan kelereng Ali adalah x

(11)

Structural Abstraction

Misalkan kelereng Susan adalah y

Mengabstraksikan struktur yang sudah direpresentasikan dengan simbol-simbol.

x + 4 = y x + y = 24

Mengabstraksikan alternatif metode penyelesaian yang lain Structural Awareness

Menyadari dan mengekspressikan apa yang diabstraksikan tentang yang direpresentasikan dengan simbol x dan y.

Recognition

Melaksanakan rencana:

Mengenal kembali struktur masalah yang sudah pernah diselesaikan, dan menghubungkan atau membandingkan ke situasi masalah yang dihadapi.

Representation

Misal diselesaikan dengan metode substitusi x + 4 = y ... (1)

Structural Abstraction

x + y = 24 ... (2)

Mengabstraksikan persamaan yang akan disubstitusikan. Substitusikan persamaan ... (1) ke persamaan ... (2), diperoleh: x + (x + 4) = 24 2x + 4 = 24 2x = 24 – 4 2x = 20 x = x = 10 ... (3)

Substitusikan persamaan ... (3) ke salah satu persamaan ... (1) atau ... (2). Misal disubstitusi ke persamaan ... (1), maka diperoleh:

x + 4 = y 10 + 4 = y y = 14

Jadi, banyaknya kelereng Ali adalah 10 dan banyaknya kelereng Susan adalah 14.

Mengantisipasi kesulitan apabila menggunakan metode Structural Awareness sebelumnya.Mengantisipasi kesulitan apabila menggunakan metode

baru atau metode lain.

Menyadari metode yang digunakan

Menyadari hasil yang diperoleh perlu diperiksa kembali.

(12)

Recognition

Melihat kembali atau memeriksa hasil:

Mengenal kembali (mengingat) hasil yang diperoleh. Representation x = 10, y = 14 ... (1) x + 4 = y 10 + 4 = 14 ... (2) x + y = 24 Structural Abstraction 10 + 14 = 24

Jadi banyaknya kelereng Ali adalah 10 butir dan banyaknya kelereng Susan adalah 14 butir. Jumlah kelereng Ali dan Structural Awareness

kelereng Susan adalah 24 butir.

Mengantisipasi hasil yang diperoleh apabila menggunakan metode baru.

Menyadari keputusan/kesimpulan yang diperoleh, meringkas aktivitas pemecahan masalah.

III. PENUTUP

Dalam setiap langkah pemecahan masalah, dimungkinkan akan muncul abstraksi. Misalnya dalam langkah memahami masalah, mungkin yang muncul adalah abstraksi mengenali, representasi, abstraksi struktural, atau kesadaran struktural, atau mungkin semua level abstraksi tersebut muncul. Begitu juga dalam tahap merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan sesuai rencana dan pada tahap melihat kembali. Penulis akan menggali lebih dalam tentang abstraksi tersebut pada saat penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, H. Fredrick. 1978. Teaching and Learning Mathematics (in Secondary Schools). Wm.C.Brown: Company Publishing.

Cifarelli, V. V. 1988. The Role of Abstraction as a Learning Process in Mathematical Problem Solving. Doctoral Dissertation, Purdue University, Indiana.

Dubinsky, E. 1991. Reflective abstraction in advanced mathematical thinking. In D. Tall (ed.), Advanced mathematical thinking (pp.95-123). Dordrecth, The Netherlands: Kluwer.

Fisher, Robert. 1998. Thinking about Thinking: Developing Metacognition in Childreen,

http://www.teachingthinking.net/thinking/web%20resources/robert_fishe r_thinkingaboutthinking.htm. Diakses 14 Februari, 2009

Goodson-Espy, T. 1998. The roles of reification and reflective abstraction in the development of abstract thought: Transitions from arithmetic to algebra. Educational Studies in Mathematics, 36,219-245.

(13)

Goodson-Espy, T. 2005. Why Reflective Abstraction Remains Relevant In Mathematics Education Research. In Lloyd, G.M., Wilson, M., Wilkins, J.L. M., & Behm, S.L. (Eds.). Proceedings of the 27th annual meeting of

the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education. Applachian State University.

Gray, E. & Tall, D. 2007. Abstraction as a Natural Process of Mental Compression. Mathematics Education Research Journal. Vol. 19, No. 2, 23-40.

Gray, E., Pinto, M., Pitta, D. & Tall, D. 1999. Knowledge and Construction and Diverging Thinking in Elementary and Anvanced Mathematics,

Educational Studies in Mathematics, 38,111-133.

Herskhowitz, R., Schwarz, B., & Dreyfus, T. 2001. Abstraction in context. Epistemic Actions. Journal for Research in Mathematics Education, 32 (2), 195-222.

Janvier, c. 1987. Problem of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics. London: Lawrence Earlbaum Associated, Publishers. Jirotkova, D., Littler, G. H., Classification Leading to Structure,

http://cerme4.crm.es/Papers%20definitius/3/JirotkovaLittler.pdf. Diakses 14 Februari 2009

Mitchelmore, M. & White P. 2004. Abstraction in Mathematics and Mathematics Learning. In M.J. Hoines, & A.B. Fuglestad (Eds.), Proceedings of the 28th conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education (Vol.3, pp. 329-336). Bergen, Norway: Bergen University College.

Mitchelmore, M. & White P. 2004. Development of angle concepts by progressive abstraction and generalization. Educational Studies in Mathematics, 41(3), 209-238.

Ozmantar, M.F., & Monaghan, J. 2007. A dialectical approach to the formation of mathematical abstractions. Mathematics Education Research Journal, 19(2), 89-112.

Petty, James Alan. 1996. The role of reflective abstraction in the conceptualization of infinity and infinite processes. Doctoral Dissertation, Purdue University, Indiana.

Polya, G. 1973. How To solve It. Secon Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Sfard, A., and Linchevski, L. 1994. The gains and pitfalls of reification-The case of algebra. Educational Studies in Mathematics, 26, 191-228.

Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta. Kanisius.

Tall, David. 1999. A Versatile theory of Visualisation and Symbolisation in Mathematics, http://www.warwick.ac.uk/staff/david.tall/pdfs/dot1996b-plenary-cieaem.pdf. Diakses 12 Februari 2009

(14)

Viholainen, A. 2007. Relationships Bettween Informal and Formal Reasoning in

The Subject Derivative, University of Jivaskyla, Finland. Tersedia dalam

http://www.fractus.uson.mx/Paper/CERME4/Paper%20definitus/14/AV iholainen.pdf. Diakses 12 Februari 2009

Von Glasersfeld, E. 1991. Abstraction, re-presentation, and reflection.In L. Steffe (ed.), Epistemological Foundations of Mathematical Experience (pp. 45-67). New York: Springer Verlag.

Von Glasersfeld, E. 1995. Radical constructivism: A way of knowing and learning. London: The Falmer Press.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Abstraksi Reflektif

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari ROA, ROE, dan Tobins’Q terhadap kebijakan dividen (DPR) perusahaan

Genetik tanaman rotan jernang tersebut juga berhubungan dengan respon tanaman rotan jernang terhadap pemupukan yang merupakan salah satu dugaan mengapa Trichokompos

Disiplin Kerja dan Motivasi Kerja secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan, sedangkan pengembangan karir tidak berpengaruh

Pertanggungjawaban pidana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri dalam hal melakukan tembak di tempat terduga teroris apabila telah sesuai dengan beberapa ketentuan

Selain data yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum, penulis juga mewawancarai Satpol PP. 87 Sebagai penegak hukum terhadap pelanggaran Perda Kota Salatiga. Dijelaskan

Implementasi kegiatan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (teknis sipil dan vegetatif) telah dilaksanakan sebanyak 4 (Empat) kegiatan dari seharusnya 6 (enam)

Hal yang kita lakukan pada kode program di atas adalah, membandingkan nilai potensiometer yang telah disimpan oleh variable " nilaiPotensio " dengan nilai batas yang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada