• Tidak ada hasil yang ditemukan

Novi Susanti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh 23111

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Novi Susanti Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh 23111"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

56

PENENTUAN JENIS UQUBAT DAN PELAKSANAAN PUTUSAN DALAM PENERAPAN QANUN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT

(Suatu penelitian di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh)

Novi Susanti

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh – 23111

Nursiti

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Abstrak - Penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh berdasarkan Qanun No 6 Tahun 2014 Tentang Hukum

Jinayat yang dalam rumusan pasal-pasalnya mengatur sanksi dalam 3 pilihan yaitu cambuk, penjara dan denda emas. Namun pada pelaksanaannya tidak dijelaskan secara rinci bagaimana penentuan jenis„uqubat dan apa yang menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis uqubat tersebut. Dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat juga tidak dijelaskan bagaimana pelaksanaan dari uqubat yang telah ditetapkan dalam putusan Mahkamah Syar‟iyah terutama bila beberapa jenis uqubat diterapkan dalam satu putusan pengadilan. Tujuan penulisan artikel ini untuk menjelaskan mekanisme penentuan jenis uqubat oleh majelis hakim dalam pelaksanaan Qanun Jinayat serta untuk mengetahui tata cara pelaksanaan uquba tterhadap putusan Mahkamah Syar‟iyah. Data dalam penulisan artikel ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data sekunder diakukan dengan cara membaca peraturan perundang–undangan, karya ilmiah, pendapat para sarjana, buku-buku, artikel dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berhubungan dengan penelitian ini melalui wawancara dengan responden. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa majelis hakim dalam menentukan jenis uqubat yang akan ditetapkan kepada terdakwa mempertimbangkan suasana kemasyarakatan yang lebih menekankan kepada uqubat cambuk karena akan menimbulkan efek jera dan rasa takut bagi pelaku tetapi orang yang menyaksikan pencambukan tersebut. Uqubat penjara akan dipertimbangkan jika terdakwanya adalah non muslim. Uqubat denda emas sampai dengan saat ini belum pernah diterapkan karena majelis hakim mempertimbangkan kondisi social ekonomi terdakwa yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Dalam pelaksanaan putusan, walaupun yang ditetapkan uqubat cambuk, maka apabila dalam proses menunggu pencambukan dilakanakan terdakwa ditahan, maka masa panahanannya dapat mengurangi jumlah cambukan. Denda emas yang dibayarkan juga dapat digunakan untuk mengurangi jumlah cambukan atau lamanya penjara. Disarankan kepada pemerintah Aceh agar segera menyusun peraturan gubernur tentang mekanisme pembayaran denda emas dan peruntukannya sebagai panduan dalam penerapan Qanun Jinayat di Aceh.

Kata Kunci :uqubat, pelaksanaan putusan, qanun

Abstract - The implementation Sharia Law in the Aceh Province is based on Qanun No. 6 of 2016 regarding Jinayat Law which states in its Article 73 point (2) “the adjusment implied in point (1) with the count of 1 (once) caning which is equalized to 1 (one) month jail, or fine payment of 10 (ten) grams of pure gold.” Uqubat is punishment given by the judge to those who have committed Jarimah, but at the implementation level there isn‟t detailed explanation of how to determine types of uqubat as in Table 1 and 2 and what the bases of consideration are in the selection of the type of uqubat.In Qanun No. 7 of 2013 regarding Jinayat Procedural Law, it was also not explained about the executions of uqubat that have been stipulated by the Syar‟iyah Court, especially when a number of uqubat were stipulated in one court decision. The purpose of this study is to explain mechanisms to determine types of uqubat by the judge panel in the implementation of Qanun Jinayat and to know the procedures of uqubat execution of Syar‟iyah Court decision. Data were collected from library study and field research. Secondary data was obtained by researching and reading laws, scientific works, scholars‟ opinion, books, journal articles, and other resources related to topic. Field research was conducted to obtain primary data using interviews. The results of the research show that in determining the types of uqubat that will be stipulated to the offenders the judge panel considers social condition which prefers caning uqubat because it will yield deterrent effects not only to the offenders but also to the people present the caning procession. Jail uqubat will be considered when the offender is a non muslim. Gold fine uqubat has not been decided as the judge panel considers the socio-economic condition of the offenders, majority of whom had low socio-economic status. When caning uqubat has been stipulated but the offender has to wait in jail before the decision is executed, the length of his jail time substractsthe number of caning. Gold fine can also be used to substract/reduce the number of caning and the jail time. It is recommended that the Government of Aceh issue a

(2)

Governor Regulation prescribing the payment of gold fine and its allocation as a reference in the implementation of Qanun Jinayat in Aceh.

Keywords: uqubat, implementation of the verdict, qanun

PENDAHULUAN

Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat disahkan pada tanggal 13

Desember 2013. Qanun ini menjadi sebuah solusi bagi penerapan hukum Jinayat di Provinsi Aceh. Pelaksanaan hukum Jinayat di Provinsi Aceh didasari Oleh UU No 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh dan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Aceh. Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tentang Keistimewaan Aceh, Syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyah akan melaksanakan syariat Islam yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh. Qanun No 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat yang dalam Pasal 73 Ayat (2) “Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan perhitungan, cambuk 1 (satu) kali disamakan dengan penjara 1 (satu) bulan, atau denda 10 (sepuluh) gram emas murni.

Adapun tujuan Qanun Hukum Acara Jinayat adalah pertama, mencari dan mendapatkan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya dari perkara Jinayat, dengan menerapkan aturan hukum acara Jinayat secara tepat dan benar. Kedua. memberi jaminan dan perlindungan hukum kepada korban, pelapor, saksi, masyarakat, tersangka, dan terdakwa secara seimbang sesuai dengan ajaran Islam. Ketiga, mengupayakan agar orang-orang yang pernah melakukan Jarimah, bertaubat secara sungguh- sungguh sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan Jarimah. Adapun ruang lingkup berlakunya Qanun Hukum Acara

Jinayat adalah untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), dalam hubungannya dengan syariat Islam, maka ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan hukum privat seperti perkawinan, zakat, tetap berlaku. Adapun ketentuan hukum publik antara lain

Qanun Maisyir (judi), Khamar (minuman keras), Khalwat (mesum) sudah ditandatangani

oleh gubernur sebagai qanun yang dinyatakan berlaku di Aceh.

Qanun Jinayat adalah manifestasi dari syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Aceh

dapat dikatakan sebagai Propinsi yang mengakui sistem syariah sebagai hukum asasinya sebagaimana telah mempunyai payung hukum dengan Undang-Undang Nomor 44 tahun

(3)

1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dilihat dari perspektif nasional, negara Indonesia adalah termasuk sistem negara yang ketiga, yaitu yang mengakui syariat dan sistem hukum nasional berlaku bersama-sama dalam suatu negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara yang berideologi Islam, melainkan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, ada suatu pertanyaan yang memerlukan analisis mendalam tentang kedudukan

Qanun Jinayat itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.1

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana mekanisme penentuan „Uqubat oleh Majelis Hakim dalam pelaksanaan

Qanun Jinayat?

2. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan putusan Mahkamah Syariah?

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian empiris yaitu memakai sumber data primer yang diperoleh dari hasil wawancara, dan sumber data sekunder yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan dengan mengkaji buku-buku, peraturan perundang-undangan dan pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Lokasi penelitian adalah Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan maupun data dari hasil penelitian kepustakaan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan kemudian dilakukan wawancara dengan responden. Penyusunan hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yaitu berusaha memberikan gambaran secara nyata tentang kenyataan-kenyataan yang ditemukan dalam praktek dengan memaparkan hasil penelitian lapangan yang disertai uraian dasar hukum yang berlaku dan mengaitkannya dengan data kepustakaan, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dan saran dari seluruh hasil penelitian.

1 Hardiansyah, Penerapan Qanun No.6 Tahun 2014 Tentang Qanun Jinayat Di Aceh Serta Kedudukannya Dalam Sistematika Hukum Indonesi, Skripsi, Fakultas Hukum Unila, 2016, hlm. 2

(4)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Mekanisme penentuan ‘Uqubat oleh majelis hakim dalam pelaksanaan Qanun

Jinayat.

Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas adalah melalui kekuasaan kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain. Hakim harus benar-benar menguasai hukum sesuai dengan sistem yang dianut di Indonesia dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang dapat diwakili oleh penasihat hukum untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula penuntut umum. Semua itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil dan pada akhirnya hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.

Ada lima hal menjadi tanggung jawab hakim yaitu:

1. Justisialis Hukum; Hakim bertanggungjawab untuk mengadili. Putusan Hakim harus memperhitungkan kemanfaatan yang perlu diadilkan. Tiap putusan yang diambil dan dijatuhkan bertujuan untuk keadilan. Hal ini merupakan tanggung jawab hakim dalam segala yang berhubungan dengan hukum.

2. Penjiwaan Hukum; Hakim harus bertanggungjawab untuk memperkuat hukum dan harus tampak sebagai pembela hukum dalam setiap pemberian putusan.

3. Pengintegrasian Hukum; Hakim perlu senantiasa sadar bahwa hukum dalam kasus tertentu merupakan ungkapan dari pada hukum pada umumnya. Oleh karena itu putusan hakim pada kasus tertentu tidak hanya perlu diadakan dan dijiwakan melainkan perlu dihubungkan dalam sistem hukum yang sedang berkembang oleh perundang-undangan, peradilan dan kebiasaan.

4. Totalitas Hukum; Hakim bertanggungjawab untuk membuat keputusan Hakim dalam keseluruhan kenyataan. Hakim melihat dari dua segi hukum, di bawah ia melihat kenyataan ekonomi dan sosial, sebaliknya di atas Hakim melihat dari segi moral dan religi

(5)

yang menuntut nilai-nilai kebaikan dan kesucian. Kedua tuntutan itu perlu dipertimbangkan oleh Hakim dalam keputusan hukumnya.

5. Personalisasi Hukum; Hakim bertanggungjawab untuk mengkhususkan keputusannya pada personal (kepribadian) dari para pihak yang mencari keadilan dalam proses. Orang-orang yang berperkara adalah manusia yang berpribadi yang mempunyai hak asasi manusia. Hakim bertanggung jawab untuk bisa memberikan perlindungan kepada manusia yang wajib dipandangnya sebagai pribadi yang mencari keadilan.2

Ketika hakim dihadapkan oleh suatu perkara, dalam dirinya berlangsung suatu proses pemikiran untuk kemudian memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: 1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan

yang telah dituduhkan kepadanya.

2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah serta dapat dipidana.

3. Keputusan mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat di pidana. 3

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim akan menilai dengan adil dan bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari memeriksa dan kesaksian dalam sidang pengadilan, sesudah itu hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan yang didasarkan atas surat dakwaan dan didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang telah terbukti dalam pemeriksaan sidang.4

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ini merupakan ciri suatu negara hukum dan tidak boleh diartikan secara harfiah. Dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar5.

Hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut

2 Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara pada tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib

3

Yusri, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016 pukul 10.00 Wib 4 Yusri, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016 pukul 10.00 Wib 5 Yusri, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016 pukul 10.00 Wib

(6)

dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut.

Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 1999 jo. UU Nomor 48 Tahun 2009 yaitu pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Ahmad Zaini Dahlan dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum. Seorang hakim hanya merumuskan hukum. Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 6

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain.7 Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan dalam kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula. 8 Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada yang dapat dijadikan pedoman sementara sebelum KUHP Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut dalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:9

a. Kesalahan pembuat tindak pidana;

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana;

6Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

7Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

8

Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

(7)

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Seorang pelaku tindak pidana hanya dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pelaku tersebut mengandung unsur kesalahan. Hal ini berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder

Schuld (tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal

tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku, hakim harus melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu direncanakan atau tidak).10

Konsep KUHP baru yang didasarkan pada Pasal 55 menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan konsep baru yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan yang dilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga keluarga korban.11

Hakim dalam melakukan persidangan dalam perkara Jinayat ini bersifat pasif. Tidak mencari perkara. Jika tidak terjadi tindak pidana maka hakim tidak melakukan persidangan.

Jarimah kemungkinan dilakukan masyarakat. Maka aparat penegak hukum bisa bertindak.

Prosesnya dimulai dari penyelidikan dan dilanjutkan dengan penyidikan. Dari penyidik baru diserahkan ke Kejaksaan. Jaksa di kejaksaan meneliti berkas perkara, jika berkasnya sudah lengkap baru dilimpahkan ke Mahkamah Syar‟iyah disertai dengan dakwaan. Setelah berkasnya sudah lengkap maka perkara tersebut sudah dapat disidangkan oleh Hakim.12

Dalam pelaksanaan persidangan di Mahkamah Syar‟iyah, jiak Jaksa selaku Penuntut Umum melakukan penuntutan kepada terdakwa Jarimah seperti, Jarimah khalwat atau

10 Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

11Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

12 Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

(8)

mesum dituntut 50 kali cambuk, maka hakim dalam putusannya akan memutuskan apakah akan menerima tuntutan jaksa atau memberikan pertimbangan yang lain. Ketentuan minimal dapat dilaksanakan dengan acara pemeriksaan biasa yang hukumannya berupa 3 kali cambuk, maka tidak dapat dilakukan opsi pilihan denda maupun penjara, „Uqubat Ta‟zir paling banyak 100 (seratus) kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 (seribu) gram emas murni atau penjara paling lama 100 (seratus) bulan.13

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus betul-betul melihat keseuaian antara perbuatan yang dilakukan dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Dengan demikian dalam pertimbangannya hakim harus memastikan aturan hukum yang ada dan kesesuaian dengan alat-alat bukti yang yang sudah terungkap di dalam persidangan.

2. Tata cara pelaksanaan putusan Mahkamah Syariah

Tata cara pelaksanaan putusan terkait dengan jenis-jenis „Uqubat tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan ‘Uqubat Cambuk

Pelaksanaan „Uqubat cambuk Pada awalnya sudah diatur secara tegas melalui Peraturan Gubernur No. 10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan „Uqubat Cambuk. Subtansi dari Pergub tersebut kemudian dirumuskan dalam Qanun Acara Jinayat sebagai berikut:

a. Pelaksana eksekusi adalah jaksa.

b. Penyedia fasilitas dan persiapan dilakukan oleh Dinas Syariat Islam.

c. Pencambukan dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum dan dokter yang ditunjuk.

d. Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 1 cm, panjang 1 meter dan tidak mempunyai ujung ganda/ belah.

e. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada, dan kemaluan.

f. Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.

g. Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya.

13 Ahmad Zaini Dahlan, Hakim Mahkamah Syar‟iyah Banda Aceh, wawancara, tanggal 02 Mei 2016, pukul 11.00 Wib.

(9)

h. Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 hari yang bersangkutan melahirkan.

Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang dapat ditetapkan majelis hakim Mahkamah Syar‟iyah di Aceh terhadap terdakwa yang melanggar Qanun

Jinayat. Cambuk yang dimaksud di dalam qanun adalah suatu alat pemukul yang

berdiameter antara 0,75 cm sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau terbelah.14

2. Pelaksanaan Putusan Penjara

Aturan pelaksanaan qanun jinayat sangat berbeda dengan pelaksanaan qanun tentang khamar maisir dan khalwat yang terdahulu yang hanya melakukan cambuk kepada para pelaku Jarimah itu sendiri. Didalam qanun jinayat telah disebutkan mengenai cambuk, penjara dan denda. Pelaku Jarimah yang pada putusan pengadilan harus dicambuk, maka pelaku tersebut harus dicambuk, jika putusannya di penjara maka pelaku tersebut harus dipenjara. Pelaku Jarimah tersebut akan di penjara seperti pelaku tindak pidana lainnya. Berbeda dengan qanun sebelumnhya yang tidak menyertai „Uqubat penjara bagi pelaku

Jarimah. Apabila si terdakwa diputuskan pada sidang pengadilan dengan hukuman cambuk

40 kali maka si terdakwa dapat memilih untuk membayar denda atau mendekam di penjara selama 4 bulan sesuai dengan ketentuan yang telah di atur didalam Qanun Jinayat. Dengan adanya penerapan qanun jinayat ini maka pelaksanaan hukuman lebih terarah dan sudah sangat dinamis untuk kemaslahatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

3. Pelaksanaan Putusan Denda Emas

Dalam pelaksanaan denda, majelis hakim dapat memutuskan untuk menggantikan

„Uqubat cambuk dengan denda emas sesuai dengan yang di atur dalam qanun jinayat. Seperti Jarimah Maisir Paling banyak 120 Gram Emas murni apabila terdakwa dapat membayarkan

denda tersebut maka eksekusi cambuk tidak akan dilalui oleh terdakwa tersebut. Emas murni tersebut akan disetor ke Baitul Mall untuk disalurkan dan dipergunakan untuk kemaslahatan umat islam yang ada di Provinsi Aceh.

Misalnya ada emas yang sanggup untuk semetara yang mampu setengah gram dari denda emas tersebut itu tergantung dari kejaksaan karena eksekusi itu di Kejaksaan, tapi di aturan itu kan ada batas maksimal dan minimal, kita tidak boleh di atas maksimal. „Uqubat

14

Cut Henny Usmayanti, SH, Jaksa Kejaksaan Negeri Banda Aceh, wawancara, tanggal 23 Mei 2016, pukul 10.00 Wib.

(10)

itu bisa dicampur, dia mengulangi perbuatan Hudud ditambah dengan denda dan penjara sangat tergantung pada kasus, tapi kalau tidak ada qanun yang menentukan kita tidak bisa juga menentukannya, harus ada aturan jelas yang mengatur.15

KESIMPULAN

Majelis hakim dalam menentukan jenis „Uqubat yang akan ditetapkan kepada terdakwa mempertimbangkan suasana kemasyarakatan yang lebih menekankan kepada „Uqubat cambuk karena akan menimbulkan efek jera tidak hanya bagi pelaku tetapi juga pada orang yang menyaksikan pencambukan tersebut.

„Uqubat penjara akan dipertimbangkan jika terdakwanya adalah non muslim. „Uqubat denda emas sampai dengan saat ini belum pernah diterapkan karena majelis hakim mempertimbangkan kondisi social ekonomi terdakwa yang sebagian besar adalah masyarakat miskin. Dalam pelaksanaan putusan, walaupun yang ditetapkan „Uqubat cambuk, maka apabila dalam proses menunggu pencambukan dilakanakan terdakwa ditahan, maka masa panahananya dapat mengurangi jumlah cambukan. Denda emas yang dibayarkan juga dapat digunakan untuk mengurangi jumlah cambukan atau lamanya penjara

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001.

Abdul Djamali R, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan KurikulumKonsorsium Ilmu Hukum, CV.Mandar Maju, Bandung, 2002.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Afdhol, Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam Dan Permasalahan

Implementasi Hukum Kewarisan Islam, Surabaya: Airlangga University Press. 2003. Arief Ginanjar Saputra, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan

Berencana Secara Bersama-Sama, Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman, Fakultas Hukum, 2013.

Gede A.B Wiranata I. Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa, PT Aditya Bakti, Semarang, 2005

(11)

John Gilissen,Frits Gorle,Sejarah Hukum Suatau pengantar,PT.Refika Aditama, Bandung, 2005

Mukhlis et.al, Hukum Pidana, Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 2009

Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayat), Bandung: Pustaka Setia, 2013

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 1992 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari‟at Islam di Aceh, Logos Wacana Ilmu, Banda

Aceh, 2003

Sri Suyanta, Et.al BUKU PANDUAN Pelaksanaan Syariat Islam Untuk Remaja Pelajar Dan Mahasiswa, Dinas Syari‟at Islam Provinsi Aceh, Banda Aceh

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqie, Falsafah Hukum Islam,Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013.

Yusdani, dkk, Pribumisasi Hukum Islam: Pembacaan Kontemporer Hukum Islamdi Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Bentang Aksara Galang Wacana, 2012.

2. Peraturan Perundang Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam

Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum acara Jinayat Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat 3. Skripsi Dan Makalah

Filman Ramadhan, Tindakan Main Hakim Sendiri( Eigenrichting) Dalam Perkara Pelanggaran Qanun Khalwat, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, 2014 Hardiansyah, Penerapan Qanun No.6 Tahun 2014 Tentang Qanun Jinayat Di Aceh Serta

Kedudukannya Dalam Sistematika Hukum Indonesi, Skripsi, Fakultas Hukum Unila, 2016

Qanun Hukum Jinayat, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah-hukumonline.com.html. Diakses pada hari kamis tanggal 5 Mei 2016

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa rata-rata ketersediaan energi dan protein makan sehari untuk santri yang tinggal di asrama Pondok Pesantren Al Hikmah Gresik adalah

Dengan jumlah sedimen yang besar pada hulu Bendung Keumala, penting untuk segera dan rutin dilakukan pengerukan dan pengangkutan sedimen dari dasar bendung.. Kegiatan ini

HASIL PELAKSANAAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU (PLPG) KEMENAG RAYON 101 UNIVERSITAS SYIAH KUALA, DARUSSALAM - BANDA ACEH..

Di Aceh, pelaksanaan hukum cambuk tersebut diakui secara jelas dalam qanun Aceh, yaitu Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat sebagai hukum

Berdasarkan hasil penelitian yang menjadi faktor penyebab tidak terlaksananya sebagian putusan di Mahkamah Syar‟iyah Jantho adalah tidak dapa tmenghadirkan Terdakwa

Berdasarkan tabel diatas, kasus Pelanggaran tidak masuk dinas selama 30 (tiga puluh) hari secara berturut-turut yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia

XI-XII HUKUM LAUT DAN PERIKANAN INTERNASIONAL VIII 2 E 02.02 FK, EZ. XI-XII HUKUM PAJAK DAERAH VIII 2 E 02.03

Tujuan Penelitian ini untuk menjelaskan pengawasan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,untuk menjelaskan pengawasan Komisi