• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Asia Foundation. Dicetak di Jakarta, Indonesia Oktober 2010 Diterbitkan oleh LPEM-FEUI dan The Asia Foundation

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Asia Foundation. Dicetak di Jakarta, Indonesia Oktober 2010 Diterbitkan oleh LPEM-FEUI dan The Asia Foundation"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

i

The Asia Foundation

Laporan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (FEUI). Tim LPEM-FEUI dipimpin oleh Arianto A. Patunru dan terdiri atas Vid Adrison, M. Syauqie Azar, Usman, Ainul Huda, Agnes H. Trisilla Samosir, dan Rima Aryandani. Laporan ini disusun bersama oleh tim LPEM-FEUI dan tim The Asia Foundation yang dipimpin oleh Erman A. Rahman dan beranggotakan Mochamad Mustafa, dan Romawaty Sinaga. Draf awal laporan ini mendapatkan masukan dari Wijayanto Sosro dan Harmein Rahman.

Studi dan publikasi ini dapat terlaksana berkat dukungan dari Pemerintah Australia melalui Program Business Enabling Environment - Australia Nusa Tenggara Assistance for

Regional Autonomy (BEE-ANTARA). Namun demikian, isi laporan ini sepenuhnya menjadi

(2)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

Daftar Tabel, Gambar dan Kotak ... iii

Daftar Istilah dan Singkatan ... iv

Ringkasan Eksekutif ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 2

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Metodologi ... 4

BAB II GAMBARAN UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR ... 5

A. Kondisi Demografis dan Perekonomian Daerah... 6

B. Kondisi Infrastruktur Transportasi ... 8

BAB III TEMUAN UTAMA ... 11

A. Pola Perdagangan Antar dan Intra Provinsi ... 12

B. Pemilihan Moda Transportasi ... 16

C. Volume dan Jenis Barang dalam Perdagangan. ... 18

D. Kondisi Cuaca di NTT ... 21

E. Kapasitas dan Kinerja Pelabuhan Laut ... 23

F. Biaya Transportasi Barang di NTT ... 26

G. Pungutan Resmi dan Liar (Pungli) ... 29

H. Sistem Pendataan Pelabuhan Laut dan Penyeberangan ... 31

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 38

LAMPIRAN ... 39

LAMPIRAN 1 Metodologi Survei Lapangan dengan Kuesioner ... 40

LAMPIRAN 2 Kontribusi Sektor Transportasi terhadap Inflasi ... 42

(3)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

iii

Tabel 1.1 Kinerja Sektor Logistik Negara-negara ASEAN 2010 ... 2

Tabel 1.2 Jumlah Angkutan Kargo Internasional Indonesia dengan Transportasi Udara dan Laut 2003-2007 ... 3

Tabel 2.1 Pelabuhan Penyeberangan di Provinsi NTT Menurut Pengelola ... 10

Tabel 3.1 Faktor-Faktor yang Menentukan Pilihan Moda Transportasi di NTT ... 18

Tabel 3.2 Jenis Barang yang Masuk dan Keluar Provinsi NTT ... 19

Tabel 3.3 Matrik Korelasi Frekuensi Penyeberangan Bulanan dan Kecepatan Angin ... 22

Tabel 3.4 Perbandingan Model Tarif TKBM ... 25

Tabel 3.5 Total Biaya Pengangkutan Berdasarkan Rute ... 27

Tabel 3.6 Waktu Tempuh Pengiriman Barang Berdasarkan Rute (dalam Jam) ... 28

Tabel II.1 Hasil Estimasi Bobot Komponen Pembentuk Indeks Harga Konsumen ... 43

Tabel II.2 Hasil Uji Wald Hipotesa Null: Semua Bobot Berjumlah Satu ... 43

Gambar 2.1 Rata-rata Distribusi PDRB per Kabupaten/Kota di Provinsi NTT (2006-2008) ... 6

Gambar 2.2 Rata-rata PDRB per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT (2006-2008) .. 7

Gambar 2.3 Rata-rata Kontribusi Sektor Perekonomian terhadap PDRB Provinsi NTT (2006-2008) 7 Gambar 3.1 Peta Lintasan Penyeberangan dan Perdagangan Dominan Antar Provinsi ... 12

Gambar 3.2 Peta Lintasan Penyeberangan dan Perdagangan Antar Pulau ... 14

Gambar 3.3 Statistik Volume Bongkar-Muat Pelindo III Cabang Kupang, 2007-2009 ... 19

Gambar 3.4 Statistik Arus Barang dan Kendaraan Berdasarkan Lintasan, 2007-2009 ... 20

Gambar 3.5 Jumlah Penyeberangan Berdasarkan Bulan pada Tahun 2008-2009 ... 23

Gambar 3.6 Kinerja Pelabuhan Tenau (Kupang) Dibandingkan dengan Pelabuhan Laut Utama di Bawah Pelindo III dan IV ... 24

Gambar 3.7 Struktur Komponen Biaya Pengangkutan Barang Berdasarkan Rute (dalam Persen) 27 Gambar 3.8 Biaya Transportasi Darat di NTT dengan di Lokasi Lain ... 29

Gambar 3.9 Struktur Komponen Biaya Transportasi Tanpa Biaya Penyeberangan (dalam Persen) . 30 Kotak 3.1 Lebih dari 100 Mobil Masih Antre di Sape ... 22

Kotak 3.2 Tenaga Kerja Bongkar Muat Pelabuhan (TKBM) ... 26

(4)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

ADPEL Administrator Pelabuhan

Bag Cargo Istilah untuk barang-barang bukan kemasan, contohnya adalah semen atau beras

BBM Bahan Bakar Minyak

BOR Berth Occupancy Ratio (tingkat penggunaan tambatan sandar)

BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BPS Badan Pusat Statistik

Box Istilah lain untuk peti kemas

CPI Consumer Price Index (Indeks Harga Konsumen/IHK)

Dishub Kab/Kota Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota Ditjen Hubla Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

DWT Dead Weight Ton, merupakan ukuran yang menyatakan berapa berat muatan

yang bisa dibawa oleh sebuah kapal (ukuran aman muatan dalam sebuah ka-pal)

General Cargo Barang-barang Umum (non-peti kemas)

GT Gross Tonnage, merupakan angka indeks non-satuan yang mengukur volume

keseluruhan kapal

Gantry Crane Crane yang digunakan sebagai alat penanganan peti kemas di pelabuhan

Lintasan Komersial Lintasan penyeberangan yang dioperasikan/dikelola oleh BUMN/swasta, mi-salnya PT ASDP

Lintasan Perintis Lintasan penyeberangan yang masih dioperasikan/ dikelola oleh pemerintah dan memperoleh subsidi penuh

LPI Logistic Performance Index, merupakan angka rerata tertimbang dari penilaian

terhadap enam dimensi logistik dari suatu negara. Angka ini dihitung oleh Bank Dunia dan menghasilkan skala 1-5 yang menunjukkan komparasi kinerja antarnegara

MB Movable Bridge, jembatan bergerak yang menghubungkan dermaga

penyebe-rangan dengan kapal feri

(5)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

v

MST Muatan Sumbu Terberat, merupakan jumlah tekanan maksimum roda terhadap

jalan. Penetapan MST digunakan untuk mengoptimalkan biaya konstruksi dan efisiensi angkutan

Movable Crane Jenis crane yang dapat dipindahkan untuk menyusun peti kemas di container

yard (CY) karena memiliki roda karet. Nama lainnya adalah Rubber Tyre Gantry Crane

NTB Nusa Tenggara Barat

NTT Nusa Tenggara Timur

One-on-One Trading Hubungan perdagangan langsung satu ‘lawan’ satu

PBM Perusahaan Bongkar Muat PDB Produk Domestik Bruto

PDRB Produk Domestik Regional Bruto Pelra Pelabuhan Rakyat

Pemda Pemerintah Daerah

PT ASDP Perseroan Terbatas Angkutan Sungai dan Penyeberangan PT PELINDO Perseoran Terbatas Pelabuhan Indonesia

Pungli Pungutan Liar/Pungutan Tidak Resmi

SP3 Sumbangan Pihak Ketiga, istilah untuk donasi yang dikenakan kepada masyarakat

TEUs Twenty-Foot Equivalent Unit, merupakan ukuran yang mengacu pada kapasitas

peti kemas/container TKBM Tenaga Kerja Bongkar Muat

TRT Turn-Round Time, rata-rata waktu yang diperlukan oleh kapal dari mulai

keda-tangan di pelabuhan hingga berangkat kembali, termasuk di dalamnya waktu menunggu (waiting time and idle time)

(6)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

RINGKASAN EKSEKUTIF

Perbaikan kinerja sektor logistik merupakan agenda yang penting untuk menurunkan biaya transportasi barang dan meningkatkan daya saing. Kinerja sektor logistik Indonesia masih di bawah negara tetangga di Asia. Hal ini terlihat dari Logistic Performance Index yang dipublikasikan oleh Bank Dunia (2010) yang menempatkan kinerja sektor logistik Indonesia pada urutan 75 dari 155 negara. Posisi yang jauh di bawah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, maupun Filipina yang memiliki kondisi geografis serupa dengan Indonesia.

Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan sektor logistik di Provinsi Nusa Teng-gara Timur (NTT). Studi ini mencakup transportasi darat dan laut (pelabuhan dan penyeberangan/ feri), serta aspek regulasi, baik untuk perdagangan antara NTT dengan wilayah lainnya (antarprovinsi) maupun di dalam NTT (antarpulau). Selain mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam trans-portasi barang secara umum, studi ini juga mengkuantifikasi berbagai komponen biaya transtrans-portasi barang, seperti biaya penyeberangan, biaya operasional truk, retribusi dan pungutan “resmi” lainnya, serta biaya ilegal.

Secara umum kondisi infrastruktur transportasi di NTT masih terbatas. Dari lima pelabuhan laut komersial di NTT, hanya Pelabuhan Laut Tenau (Kupang) yang dapat disandari kapal besar sampai dengan 10.000 dead weight ton (DWT) dengan fasilitas peti kemas, sementara pelabuhan laut lainnya hanya dengan kapasitas kapal maksimum relatif kecil (kurang dari 2.000 DWT). Kondisi pelabuhan penyeberangan juga masih terbatas. Kecuali Pelabuhan Penyeberangan Bolok (Kupang) yang memi-liki dua dermaga, pelabuhan lainnya hanya memimemi-liki satu dermaga saja. Dalam hal infrastruktur jalan, secara umum kondisi jalan nasional yang dilalui truk yang menjadi sampel dalam studi ini dalam kondisi yang baik,1 namun cakupan dan kualitas jalan kabupaten/kota masih rendah.

Ketergantungan NTT terhadap wilayah lain di Indonesia, terutama Surabaya, sangat besar dengan pola pusat-pinggiran. Sebagian besar barang kebutuhan pokok, sekunder, dan tersier, berasal dari luar NTT, dengan Surabaya sebagai pemasok utama. Sebagian besar barang dengan tujuan Provinsi NTT diangkut dengan kapal laut dari Surabaya ke Pelabuhan Laut Tenau di Kupang yang tercermin dari tingginya volume bongkar-muat dan dari ukuran serta jenis kapal yang berlabuh di Tenau. Demikian juga sebaliknya, barang-barang dari seluruh NTT yang menuju Surabaya maupun wilayah luar NTT lainnya sebagian besar melalui Kupang yang juga merefleksikan pentingnya Kupang sebagai pe-ngumpul. Namun demikian, beberapa pusat perekonomian di Pulau Flores, terutama di bagian barat, langsung berhubungan dengan Surabaya tanpa melalui Kupang.

1 Tiga lintasan dipilih sebagai sampel dalam studi ini, yaitu Kupang-Rote, Kupang-Larantuka, dan Labuan Bajo-Ruteng. Ketiganya diteliti

(7)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

vii

Penggunaan kapal laut untuk perdagangan antarprovinsi lebih dominan, sementara truk dan feri lebih banyak digunakan pada perdagangan antarpulau. Kapal laut lebih dipilih untuk perdaga-ngan antarprovinsi karena rute Surabaya-Kupang yang relatif jauh, deperdaga-ngan biaya yang lebih rendah, walaupun waktu tempuh efektifnya lebih lama daripada truk dan feri. Namun demikian, untuk barang-barang yang diangkut dari/ke Flores bagian barat cukup banyak yang diangkut dengan menggunakan truk dan feri. Sementara itu, kondisi geografis NTT yang berupa kepulauan, dengan volume barang yang relatif rendah, membuat truk dan feri lebih banyak dipilih sebagai moda pengangkutan barang antarpulau di dalam provinsi.

Ketidakseimbangan antara barang yang masuk dan keluar NTT, serta antara Kupang dengan dengan wilayah lain di NTT, sangat tinggi. Data-data bongkar-muat di beberapa pelabuhan utama menunjukkan bahwa volume barang umum (general cargo) yang dibawa keluar NTT melalui pelabuhan tidak lebih dari 10-16% dari total barang yang masuk/dibongkar. Ketidakseimbangan volume bongkar-muat barang juga terjadi pada perdagangan antarpulau. Barang yang didistribusikan dari Kupang ke wilayah lain di NTT lebih tinggi dibandingkan barang yang dibawa ke Kupang. Hal ini mengakibatkan biaya transportasi per satuan berat atau volume barang menjadi lebih tinggi karena kurangnya muatan dari NTT perlu dikompensasikan. Selain itu, ketidakseimbangan perdagangan ini juga menimbulkan peningkatan waktu tunggu untuk mengkonsolidasikan barang yang akan diangkut dari NTT.

Kondisi cuaca di NTT tidak mendukung pelayaran reguler sepanjang tahun. Kondisi geografis

NTT yang berupa kepulauan menimbulkan ketergantungan yang tinggi pada angkutan laut dan pe nyeberangan. Kondisi angin yang kencang dan gelombang yang tinggi terjadi pada bulan Januari dan Februari, sehingga frekuensi penyeberangan hanya mencapai 65% dan 44% dari rata-rata jumlah penyeberangan pada bulan-bulan lainnya. Hal ini tentunya sangat mengganggu distribusi barang, baik untuk konsumsi masyarakat NTT maupun untuk dikirimkan ke tempat lain di luar NTT.

Pelabuhan Laut Tenau di Kupang merupakan pintu utama perdagangan NTT kinerjanya masih rendah. Dalam hal kecepatan bongkar-muat peti kemas hanya mencapai setengah dari Pelabuhan Palaran di Samarinda atau seperempat dari pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta). Kinerja bongkar-muat barang-barang umum (general cargo) sekitar setengah dari kinerja Pelabuhan Lembar di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Selain infrastruktur pelabuhan yang terbatas, hal ini tidak terlepas dari sistem tarif bongkar-muat dengan model gilir kerja (shift) yang diterapkan di Tenau. Sistem ini membayar tenaga kerja bongkar-muat berbasis waktu kerja, bukan volume atau berat barang yang dibongkar dan dimuat, sehingga menghilangkan insentif bagi pekerja untuk menjadi lebih produktif.

Biaya penyeberangan dan waktu tunggu berkontribusi sangat tinggi terhadap keseluruhan biaya transportasi di NTT. Berdasarkan data dari dua rute survei lapangan yang mencakup perjalanan

de-ng an feri (Kupade-ng-Rote dan Kupade-ng-Larantuka), teridentifikasi bahwa biaya penyeberade-ngan (tiket feri) berkontribusi 72-79% dari keseluruhan biaya transportasi. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk

(8)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

menunggu dan mengantri feri dapat mencapai 76% dari keseluruhan waktu tempuh. Hal ini tentunya menambah biaya untuk awak truk (gaji dan uang makan).

Walaupun biaya-biaya akibat penyeberangan dan waktu tunggu dihilangkan, rata-rata biaya transportasi darat di NTT lebih tinggi daripada di lokasi lain di Indonesia. Rata-rata biaya transportasi darat di NTT mencapai Rp 4.910 per kilometer, lebih tinggi dibandingkan biaya transportasi di sembilan rute di wilayah lain di Indonesia sebesar Rp 4.392 per kilometer (harga tahun 2010).2 Tingginya biaya transportasi ini terjadi di lintasan Labuan Bajo-Ruteng dan sebaliknya, serta Rote-Kupang, sementara di ketiga lintasan lainnya relatif rendah.

Berdasarkan komponennya, biaya akibat pungutan resmi di NTT relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, walaupun pungutan liar (pungli) relatif rendah. Secara rata-rata, biaya untuk pungutan resmi – retribusi, sumbangan pihak ketiga (SP3) dan parkir – mencapai 12% dan pungli hanyalah 5% dari total biaya transportasi darat. Kontribusi pungutan resmi dan pungli ini lebih besar daripada rata-rata biaya di sembilan lintasan di lokasi lain yang hanya mencapai 12%. Dalam hal pungutan resmi, sebagian besar terjadi pada tiga lintasan – Rote Kupang dan sebaliknya, serta Kupang-Larantuka – dan dikenakan terhadap komoditas pertanian, peternakan dan perikanan. Pungutan ini resmi karena ditetapkan berdasarkan peraturan daerah (perda) atau peraturan kepala daerah, tetapi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti undang-undang dan dengan prinsip perdagangan domestik yang bebas.

Studi ini merekomendasikan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi biaya trans-portasi barang di NTT. Pertama, persoalan transportasi di NTT tidak bisa diatasi tanpa meningkat-kan aktivitas perekonomian provinsi ini sehingga neraca perdagangannya lebih seimbang dengan provinsi lain, serta antara Kupang dan sekitarnya dengan daerah lain di NTT. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas infrastruktur jalan dan pelabuhan serta berbagai aspek iklim usaha yang baik seperti regulasi dan perbaikan akses pada modal dan pasar. Kedua, dalam jangka pendek, peningkatan kinerja pelabuhan, terutama Pelabuhan Tenau di Kupang, merupakan prioritas utama. Selain investasi pada infrastruktur pelabuhan, perbaikan sistem tarif yang lebih memberikan insentif kepada tenaga kerja bongkar-muat untuk meningkatkan kinerjanya perlu dipertimbangkan. Ketiga, peningkatan kinerja terminal dan penurunan biaya penyeberangan sangat penting untuk dilakukan. Berbagai insentif – pembebasan pajak dan/atau fasilitas kredit – dapat dilakukan untuk mendorong tumbuhnya industri feri yang dapat menciptakan kompetisi dan menurunkan harga, selain tentunya peningkatan kualitas infrastruktur penyeberangan oleh pemerintah. Keempat, penghilangan berbagai pungutan resmi dan pungli perlu dilakukan untuk mengurangi biaya transportasi lebih lanjut. Terakhir, sistem pelaporan dan pendataan transportasi barang di NTT perlu diperbaiki sehingga pemerintah di berbagai tingkatan dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pelaku usaha dan masyarakat NTT.

2 Berdasarkan studi LPEM-FEUI dan The Asia Foundation tahun 2008 yang mencakup enam lintasan di Sulawesi dan masing-masing satu

lintasan di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Ringkasan Eksekutif Transpor tasi B ar ang D i Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan Dan B iay a

(9)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

1

BAB I.

PENDAHULUAN

(10)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Pendahuluan

A.

Latar Belakang

Kinerja sektor logistik Indonesia masih rendah dan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan daya saing. Kinerja sektor logistik yang baik berimplikasi pada rendahnya biaya transportasi barang, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya saing suatu perekonomian. Berdasarkan Logistic Performance

Index (LPI, World Bank), untuk tahun 2010, Indonesia menempati urutan 75 dari 155 negara (Tabel 1.1). Posisi ini masih jauh di bawah beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina yang memiliki kondisi geografis serupa dengan Indonesia (negara kepulauan). Berdasarkan enam kategori yang diukur dalam LPI, kinerja Indonesia lebih buruk daripada kelima negara tersebut hampir dalam semua kategori, kecuali ketepatan waktu (timeliness), di mana Indonesia masih sedikit lebih baik daripada Vietnam. Kepabeanan (customs) dan infrastruktur merupakan dua kategori dengan nilai terendah untuk Indonesia.

Tabel 1.1 Kinerja Sektor Logistik Negara-negara ASEAN 2010

Peringkat

LPI Negara LPI Kepabeanan Infrastruktur

Pelayaran Internasional

Daya Dukung Logistik

Pelacakan Ketepatan Waktu

2 Singapore 4,09 4,02 4,22 3,86 4,12 4,15 4,23 29 Malaysia 3,44 3,11 3,5 3,5 3,34 3,32 3,86 35 Thailand 3,29 3,02 3,16 3,27 3,16 3,41 3,73 44 Philippines 3,14 2,67 2. 57 3,4 2,95 3,29 3,83 47 India 3,12 2,70 2,91 3,13 3,16 3,14 3,61 53 Vietnam 2,96 2,68 2,56 3,04 2,89 3,10 3,44 75 Indonesia 2,76 2,43 2,54 2,82 2,47 2,77 3,46 118 Lao PDR 2,46 2,17 1,95 2,70 2,14 2,45 3,23 129 Cambodia 2,37 2,28 2,12 2,19 2,29 2,5 2,84 133 Myanmar 2,33 1,94 1,92 2,37 2,01 2,36 3,29

Sumber: The Logistic Performance Index and Its Indicator (World Bank, 2010)

Studi yang mengidentifikasi pemasalahan sektor logistik Indonesia masih sedikit dilakukan.

Be-berapa studi tentang sektor logistik di Indonesia telah dilakukan sebelumnya, misalnya Biaya

Transpor-tasi Barang: Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia (LPEM-FEUI dan The Asia Foundation,

2008). Namun identifikasi permasalahan logistik terfokus pada transportasi barang di darat, tanpa memperhatikan permasalahan yang ada pada transportasi laut dan penyeberangan. Sementara itu, studi David Ray (2008) hanya memfokuskan pada persoalan pelabuhan. Dengan kondisi geografis seperti Indonesia, studi yang mampu mengidentifikasi permasalahan transportasi barang di darat dan laut menjadi sangat penting, karena pergerakan barang dari produsen ke konsumen kemungkinan besar akan melibatkan kedua moda transportasi tersebut. Sampai saat ini, studi yang mengidentifikasi permasalahan arus transportasi barang yang mencakup kedua moda tersebut masih belum ada.

(11)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

3

Walaupun pangsa transportasi laut dan penyeberangan untuk penumpang cenderung menurun, transportasi laut masih sangat penting untuk pengangkutan barang. Dalam periode 2003-2007 jumlah penumpang yang menggunakan transportasi laut menurun sebesar 23%, sementara yang mela-lui penyeberangan meningkat 8%. Dalam periode tersebut, jumlah penumpang yang menggunakan transportasi udara meningkat lebih dua kali lipat dan mengambil pangsa transportasi laut sekitar 10% dan penyeberangan 7%. Namun demikian, secara keseluruhan, pangsa transportasi laut dan penye-berangan masih mencakup sekitar 58% dari keseluruhan pergerakan penumpang. Berbeda dengan angkutan penumpang, kontribusi transportasi laut dalam angkutan barang masih sangat signifikan, terutama untuk transportasi kargo internasional. Untuk periode 2003-2007, peranan transportasi laut dalam transportasi barang internasional Indonesia berada pada kisaran 87-93% (Tabel 1.2).

Tabel 1.2 Jumlah Angkutan Kargo Internasional Indonesia dengan Transportasi Udara dan Laut 2003-2007

Tahun Unit (ribu ton) Pangsa (%)

Udara Laut Total Udara Laut

2003 46.768 442.920 489.688 9.55 90.45 2004 50.429 465.067 515.496 9.78 90.22 2005 55.307 492.970 548.277 10.09 89.91 2006 77.864 515.153 593.017 13.13 86.87 2007 42.322 541.000 583.322 7.26 92.74 Rasio/perubahan 2007/2003 0,9 1,2 1,2 -2,3 2,3

Sumber: Informasi Transportasi, Departemen Perhubungan (2007)

B.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan komponen biaya distribusi barang di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dipilihnya NTT sebagai wilayah studi berdasarkan pertimbangan ekonomi dan geografis. Secara ekonomi NTT lebih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Sementara dari sisi geografis, wilayah NTT yang terdiri dari gugusan pulau diharapkan bisa mewakili arus barang di Indonesia yang memanfaatkan moda transportasi darat dan laut. Secara rinci, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Mengestimasi biaya transportasi setiap lintasan terpilih dalam bentuk biaya per kilometer; • Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam transportasi barang pada angkutan di perairan

(angkutan laut dan penyeberangan) di NTT;

• Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam transportasi darat di NTT; dan

• Mengidentifikasi regulasi yang menghambat arus barang, baik antarpulau maupun antar-provinsi.

(12)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Pendahuluan

C.

Metodologi

Penelitian ini dilakukan dengan empat pendekatan:

(i) Survei lapangan dengan menggunakan kuesioner, dilakukan untuk memperoleh data kuanti-tatif mengenai biaya transportasi di beberapa rute terpilih dari pengemudi truk dan perusahaan ekspedisi;

(ii) Wawancara mendalam (in-depth interview), dilakukan dengan beberapa pihak terkait seperti pengguna jasa transportasi darat dan laut, otoritas di pelabuhan dan terminal penyeberangan, perusahaan pelayaran, perusahaan bongkar-muat, asosiasi tenaga kerja bongkar-muat, penge-mudi truk, serta beberapa instansi pemerintah daerah terkait seperti Dinas Perhubungan, Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas Pendapatan Daerah, dan Bagian Hukum Provinsi NTT;

(iii) Analisis data sekunder, dilakukan untuk memperkuat dan memberikan informasi tambahan selain data/informasi yang diperoleh dari dua pendekatan lain; dan

(iv) Observasi lapangan, bertujuan untuk mengonfirmasi temuan-temuan pada studi ini.

Keterangan rinci mengenai pemilihan rute, sampel truk, dan teknis pelaksanaan survei lapangan tersedia di Lampiran 1. Transpor tasi B ar ang D i Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan Dan B iay a

(13)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

5

BAB II.

GAMBARAN UMUM PROVINSI

(14)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sumber: NTT dalam Angka, 2009

A.

Kondisi Demografis dan Perekonomian Daerah

Penyebaran penduduk di NTT relatif merata, walaupun ada beberapa daerah yang tumbuh lebih cepat. Berdasarkan NTT dalam Angka (2009), jumlah penduduk di provinsi NTT pada tahun 2008 ada-lah 4,5 juta jiwa. Rata-rata pertumbuhan penduduk adaada-lah 2,04% per tahun pada kurun 2006-2008. Secara umum penduduk NTT tersebar secara merata di setiap pulau (dan kabupaten/kota), dengan Manggarai merupakan kabupaten dengan penduduk terbanyak dan Kota Kupang sebagai yang ter-padat (1.826 penduduk/km2 pada tahun 2008). Dari segi pertumbuhan penduduk, Kabupaten Belu, pintu masuk utama ke Timor Leste, mempunyai laju yang sangat tinggi, yaitu lebih dari 5% per tahun selama 2006-2008, diikuti dengan Pulau Sumba dan Kota Kupang (masing-masing 2% pada periode yang sama).

Secara umum perekonomian NTT mengalami pertumbuhan moderat. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT pada periode 2006-2008 tumbuh rata-rata 5% per tahun, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bahkan pada tahun 2008, pertumbuhan PDRB NTT cenderung melambat pada tingkat 4,8%.

Perekonomian NTT terkonsentrasi di beberapa wilayah saja. Seperti tercantum dalam Gambar 2.1, Kota dan Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan dan Belu di Pulau Timor serta beberapa daerah di Pulau Flores (Kabupaten Sikka dan Ende). Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi di Kota Kupang – yang merupakan pusat pemerintahan dan sentra bisnis Provinsi NTT – dan Ende. Dalam beberapa tahun terakhir, tumbuh pusat-pusat ekonomi baru, terutama dalam usaha perdagangan eceran dan sarana perbankan, terutama di Kota Kupang.

Gambar 2.1 Rata-rata Distribusi PDRB per Kabupaten/Kota di Provinsi NTT (2006-2008)

2% 2% 6% 9% Sumba Barat Sumba Timur Kupang

Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Manggarai Barat Sumba Barat Daya Sumba Tengah Nagekeo Manggarai Timur Kota Kupang 8% 4% 7% 3% 3% 3% 3% 3% 3% 7% 7% 17% 1% 1% 5% 5%

(15)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

7

Pendapatan per kapita masyarakat NTT termasuk yang terendah di Indonesia, dengan Kota Kupang jauh lebih tinggi daripada daerah lainnya. Dengan rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp 2,45 juta pada tahun 2007, NTT menempati peringkat ke-29 dari total 30 provinsi. Sebagai perbandingan, pendapatan per kapita nasional dan Provinsi DKI Jakarta (tertinggi di Indonesia) adalah masing-masing Rp 8,3 juta dan Rp 36,7 juta. Seperti terlihat dalam Gambar 2.1, pendapatan per kapita Kota Kupang mencapai lebih dari dua kali lipat Ende yang menempati urutan kedua. Jumlah penduduk yang relatif rendah di Pulau Sumba membuat beberapa kabupaten yang berlokasi di sana memiliki pendapatan per kapita yang relatif tinggi, walaupun kontribusi PDRB-nya terhadap perekonomian NTT rendah.

Gambar 2.2 Rata-rata PDRB per Kapita Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT (2006-2008)

Sumber: NTT dalam Angka, 2009 Kota Kupang Ende Sumba Timur Sumba Barat Flores Timur Nagekeo Alor Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Manggarai Barat

Manggarai Sumba Tengah Sumba Barat Daya Lembata Kupang Sikka Rote Ndao Ngada 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0

Perekonomian NTT masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB NTT sedikit menurun – dari 41% (2006) menjadi 39% (2008), namun masih jauh lebih besar daripada sektor lainnya seperti jasa (23%, rata-rata 2006-2008) dan perdagangan (16%, rata-rata 2006-2008). Adapun peran sektor transportasi dalam perekonomian NTT hanya sekitar 7% dari total PDRB (rata-rata 2006-2008).

Gambar 2.3 Rata-rata Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap PDRB Provinsi NTT (2006-2008)

Manufaktur ; 2% Keuangan ; 3%

Bangunan ; 7%

Pertambangan & Penggalian ; 1%

Transportasi & Komunikasi ; 7%

Listrik, Gas & Air ; 0%

Pertanian ; 40% Jasa-jasa ; 23%

Perdagangan ; 16%

(16)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur

Dalam sektor transportasi dan komunikasi, lebih dari 70% merupakan kontribusi dari sub-sektor angkutan jalan raya. Pertumbuhan sektor transportasi dan komunikasi cenderung meningkat yaitu dari 8,3% di 2007 menjadi 10,9% di 2008. Secara rata-rata selama periode 2006-2008, sub-sektor ang-kutan jalan raya tumbuh 2,8%, angang-kutan laut tumbuh 10%, angang-kutan penyeberangan tumbuh 6,7% dan sarana penunjang angkutan tumbuh 9%.

B.

Kondisi Infrastruktur Transportasi

Moda transportasi laut, penyeberangan dan darat di NTT saling mengisi satu sama lain (komple-menter). Dengan luas wilayah laut (200.000 km2) sekitar empat kali lipat luas daratannya (47.000 km2), dan panjang garis pantai 5.700 km, moda transportasi laut dan penyeberangan memegang peranan yang sangat penting di provinsi ini. Sebagian besar perdagangan barang –antarprovinsi dan intraprovinsi – membutuhkan penggunaan lebih dari satu moda transportasi. Dengan demikian, persoalan infrastruktur jalan dan pelabuhan menjadi sangat penting dalam mendukung kinerja transportasi di provinsi ini.

1. Infrastruktur Jalan Raya

Sebagian besar jalan di NTT merupakan jalan kabupaten dan beraspal, walaupun kondisi topografis dan kontur tanah cukup sulit. Jalan raya merupakan penunjang distribusi barang dan komoditas di dalam pulau (inter island trading) di provinsi ini. Berdasarkan NTT dalam Angka (2009), 75% jalan di NTT berstatus jalan kabupaten, 10% jalan provinsi, dan sisanya jalan nasional. Lebih dari 90% jalan yang ada merupakan jalan beraspal. Jika dilihat dari kondisi jalan, 66% dari jalan nasional yang ada di NTT berada dalam kondisi yang baik dan hanya 15% yang rusak dan rusak berat. Sementara itu, untuk jalan provinsi, hanya sekitar 30% jalan berada dalam kondisi rusak. Data mengenai kondisi jalan kabupaten tidak dapat diidentifikasi. Kondisi topografis dan kontur tanah yang berbukit dan tidak rata dengan rata-rata kemiringan lebih dari 60% menjadi faktor yang menyebabkan terhambatnya distribusi barang melalui darat.

Berdasarkan klasifikasi jalan, jalan nasional di provinsi NTT mempunyai kapasitas untuk menanggung kendaraan tipikal di sana. Ruas jalan nasional di Provinsi NTT ditetapkan sebagai kelas II, III A, III B, dan III C. Dengan klasifikasi seperti itu, maka jalan arteri di NTT dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5 meter dan muatan sumbu terberat (MST) antara 8 hingga 10 ton.

2. Infrastruktur Pelabuhan

Terdapat lima pelabuhan laut di NTT yang dikategorikan sebagai pelabuhan komersial. Pelabuhan komersial dikelola oleh PT PELINDO, yang memiliki dua cabang di NTT. PT PELINDO III Cabang Kupang mengelola Pelabuhan Laut Tenau (Kupang), Waingapu (Sumba), dan Kalabahi (Alor). Sementara PT PELINDO III Cabang Maumere mengelola Pelabuhan Maumere (Sikka) dan Ende. Pemerintah, melalui Administrator Pelabuhan (ADPEL), berperan sebagai regulator kelima pelabuhan komersial ini, khususnya dalam hal keselamatan dan keamanan di pelabuhan.

(17)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

9

Pelabuhan non-komersial dikelola langsung baik oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jen-deral Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan atau pemerintah daerah.

Sebagian besar pelabuhan laut di NTT mempunyai fasilitas yang terbatas. Sebagian besar pelabuhan hanya memiliki satu dermaga, yang membuat kapal-kapal harus mengantri untuk bersandar jika tiba pada waktu yang bersamaan. Pelabuhan yang memiliki jumlah dermaga lebih dari satu dengan kapasitas besar (lebih dari 2.000 DWT) umumnya pelabuhan komersial yang dikelola oleh PT PELINDO. Misalnya, Pelabuhan Laut Tenau memiliki lima dermaga, Maumere dan Waingapu masing-masing tiga dermaga. Beberapa pelabuhan non-komersial memang memiliki dermaga lebih dari satu, seperti Pelabuhan Laut Atapupu (empat dermaga) dan Larantuka (empat dermaga), tetapi dengan kapasitas yang relatif kecil (kurang dari 2.000 DWT). Hanya Pelabuhan Laut Tenau yang bisa disandari kapal dengan tonase besar (sampai dengan 10.000 DWT) dan memiliki fasilitas peti kemas,3 walaupun fasilitas seperti gantry crane belum dimiliki oleh pelabuh-an ini. Sementara itu, fasilitas seperti gudpelabuh-ang dpelabuh-an wilayah penumpukpelabuh-an barpelabuh-ang (stacking area) di sebagian besar pelabuhan laut masih terbatas.

3 Selain Tenau, Pelabuhan Maumere mulai membuka layanan peti kemas pada akhir tahun 2009. Namun baru satu liner yang melakukan

(18)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur

3. Infrastruktur Penyeberangan

Sebagian besar pelabuhan penyeberangan memiliki kapasitas yang terbatas. Empat pelabuhan penyeberangan yang relatif besar dikelola oleh PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry, sementara yang lainnya dikelola oleh Dinas Perhubungan Kabupaten/ Kota atau Ditjen Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat), Kementerian Perhubungan. Hampir semua pelabuhan penyeberangan hanya memiliki satu dermaga, kecuali pelabuhan Bolok di Kupang yang memiliki dua dermaga. Rata-rata pelabuhan penyeberangan memiliki movable bridge (MB) dengan kapasitas masing-masing 1.000 GT.

Tabel 2.1 Pelabuhan Penyeberangan di Provinsi NTT Menurut Pengelola

No Pelabuhan Kabupaten/Kota Pulau DermagaJumlah Tipe DermagaJenis Kapasitas (GT) Pengelola 1 Aimere Ngada Flores 1 Dolphin MB 1.000 Belum Ditetapkan 2 Bolok Kupang Timor 2 Dolphin MB 1.000 PT ASDP

3 Kalabahi Alor Alor 1 Beton MB 1.000 UPT Hub Dat 4 Labuan Bajo Manggarai Barat Flores 1 Beton MB 1.000 PT ASDP 5 Larantuka Flores Timur Flores 1 Beton MB 1.000 PT ASDP 6 Marapokot Manggarai Flores 1 Dolphin MB 1.000 Dishub Kab/Kota 7 Nangakeo Ende Flores 1 Dolphin MB 1.000 Belum Ditetapkan

8 Rote Rote Ndao Rote 1 Beton MB 1.000 PT ASDP

9 Teluk Gurita Belu Timor 1 Dolphin MB 1.000 Belum Ditetapkan 10 Waikelo Sumba Barat Sumba 1 Dolphin MB 1.000 Dishub Kab/Kota 11 Waingapu Sumba Timur Sumba 1 Dolphin MB 1.000 Dishub Kab/Kota Sumber: Dinas Perhubungan Provinsi NTT, 2007

(19)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

11

BAB III.

TEMUAN UTAMA

(20)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a

12

Temuan Utama

Surabaya

L. Bajo

Reo

Ruteng

Ende

Waingapu

Sape

A.

Pola Perdagangan Antar dan Intra Provinsi

Ketergantungan NTT terhadap wilayah lain di Indonesia, terutama Surabaya, sangat besar dengan pola pusat-pinggiran. Sebagian besar barang, khususnya kebutuhan pokok, sekunder, dan tersier, berasal dari luar NTT, dengan Surabaya sebagai pemasok utama. Keberadaan Surabaya tidak lepas dari posisi strategis Pelabuhan Tanjung Perak yang melayani berbagai rute perjalanan barang ke wilayah Indonesia Timur dalam berbagai cara pengangkutan (peti kemas dan non-petikemas). Bahkan untuk barang-barang peti kemas, hampir semuanya ber-asal dari Surabaya. Selain Surabaya, Makassar dan wilayah sekitarnya juga memasok barang ke NTT, khususnya

general cargo, tetapi dengan jumlah yang relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan dari Surabaya.

Pelabuhan Tenau merupakan tujuan utama transportasi barang antar provinsi. Sebagian besar barang de ngan tujuan Provinsi NTT diangkut dengan kapal laut dari Surabaya ke Pelabuhan Laut Tenau di Kupang (lihat Gambar 3.1). Ini tercermin dari tingginya volume bongkar-muat dan besarnya ukuran serta jenis kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tenau. Selain Tenau, pelabuhan laut yang juga relatif tinggi aktivitasnya adalah Waingapu (Sumba), Kalabahi (Alor), Atapupu (Timor), Maumere, Ende dan Aimere (ketiganya di Pulau Flores). Untuk lintasan Surabaya-Maumere, selain moda kapal laut juga dilayani dengan kapal penyeberangan yang dikelola swasta. Selain itu, arus transportasi barang juga cukup besar dilakukan melalui jalan darat – dengan menggunakan truk dan angkutan penyeberangan – melalui Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa dan melalui Pelabuhan Sape menyeberang ke Labuan Bajo di Pulau Flores.

(21)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

13

Maumere

Larantuka

Kalabahi

Atapupu

Kupang

Rote

Lintasan yang dilayani kapal laut Lintasan yang dilayani truk dan feri Lintasan yang dilayani kapal laut dan feri Lintasan yang disurvei

(22)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

Gambar 3.2 Peta Lintasan Penyeberangan

Sape, NTB

Ruteng

Aimere

Ende

Labuan Bajo

Waingapu

Waikelo

Pola pusat-pinggiran juga terjadi dalam perdagangan antarpulau di dalam NTT, dengan Kupang sebagai pusatnya. Meningkatnya penggunaan peti kemas – relatif aman dan risiko kerusakan barang rendah – dan keberadaan fasilitas peti kemas (cargo handling facility) yang sudah relatif lama di Pelabuhan Tenau (Kupang) membuatnya semakin penting sebagai pelabuhan pengumpul wilayah (regional hub port) bagi wilayah-wilayah lain di NTT. Fungsi sebagai hub ini tidak hanya berlaku untuk barang-barang yang bertujuan Timor Barat, tetapi juga ke berbagai pulau lain seperti Rote, Sumba, Sabu, dan Alor. Demikian juga sebaliknya, barang-barang dari seluruh NTT yang menuju Surabaya maupun wilayah luar NTT lainnya sebagian besar melalui Kupang.

Lintasan penyeberangan di NTT merefleksikan pentingnya Kupang sebagai pengumpul. Seperti terlihat dalam

Gambar 3.2, dari 20 lintasan penyeberangan di NTT, delapan di antaranya menghubungkan Kupang (Pulau Timor) dengan pulau-pulau lainnya. Dari tujuh lintasan penyeberangan komersial yang ada di NTT, enam di antaranya menghubungkan Kupang dengan berbagai tempat, yaitu Rote, Kalabahi, Aimere, Larantuka, Waingapu dan Sabu. Satu lintasan komersial lain adalah antara Sape (Nusa Tenggara Barat) dan Labuan Bajo. Tiga belas lintasan lainnya adalah intasan perintis, termasuk Kupang-Ende, Waingapu-Ende, Waingapu-Aimere, Waingapi-Sabu, Larantuka-Lewoleba, Kalabahi-Baranusa, Baranusa-Larantuka-Lewoleba, dan Kalabahi-Larantuka.

(23)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

15

dan Perdagangan Antar Pulau

Sabu

Rote

Kupang

Teluk Gurita

Kalabahi

Baranusa

Larantuka

Lewoleba

Lintasan penyeberangan perintis Lintasan penyeberangan komersial Lintasan yang disurvei

(24)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

B.

Pemilihan Moda Transportasi

Dua moda transportasi tersedia untuk transportasi barang di NTT, kapal laut atau kombinasi truk dan feri. Secara umum, pemilihan kedua moda ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (i) lokasi; (ii) waktu; (iii) biaya; (iv) karakteristik barang yang diangkut; dan (v) keamanan. Untuk per-dagangan antarprovinsi, kedua moda ini dapat berkompetisi, walaupun pentingnya Kupang sebagai pengumpul (hub) membuat kapal laut lebih dominan. Untuk perdagangan intraprovinsi kombinasi truk dan feri merupakan moda yang lebih dominan karena relatif dekatnya jarak antarpulau di dalam NTT.

Dari segi lokasi, kecuali beberapa wilayah di Pulau Flores bagian barat, kapal laut merupakan moda transportasi perdagangan antarprovinsi yang dominan. Sebagian besar barang-barang dari luar

NTT, utamanya Surabaya, yang menuju Pulau Timor, Sumba, Sabu dan Alor diangkut menggunakan kapal laut. Sementara itu, barang-barang dengan tujuan utama Pulau Flores, terutama bagian barat seperti Labuan Bajo dan Ruteng, lebih banyak menggunakan kombinasi truk dan feri. Khusus untuk Maumere (Flores), selain kapal laut juga tersedia feri yang langsung menghubungkannya dengan Surabaya.

Khusus untuk Pulau Flores, truk dan feri dapat mengirimkan barang dari Surabaya jauh lebih cepat daripada kapal laut. Waktu tempuh efektif kapal laut dari Surabaya ke berbagai

lokasi di Pulau Flores sebenarnya hanyalah dua-tiga hari. Namun demikian, rendahnya volume barang yang diangkut membuat kapal harus menunggu hingga muatan terisi dan mencapai skala ekonominya. Selain itu, pada saat-saat tertentu seperti hari raya, kapal laut harus menda-hulukan kebutuhan pokok dibandingkan dengan barang-barang sekunder. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk mentransportasikan barang melalui kapal laut menjadi relatif lama, dapat mencapai dua-tiga minggu dari Surabaya ke Ende, bahkan satu bulan untuk mencapai Manggarai. Sementara itu, volume truk yang lebih rendah membuatnya tidak perlu menunggu terlalu lama untuk berangkat ke tujuannya. Waktu yang digunakan untuk mengangkut barang dari Surabaya ke Manggarai dan Ende hanyalah tiga-lima hari. Hal ini membuat truk menjadi pilihan yang cukup menarik untuk lokasi-lokasi di Pulau Flores tersebut, terutama jika barang yang ditransportasikan perlu tiba secepat mungkin.

Waktu tempuh feri di laut juga menentukan penggunaan truk untuk pengangkutan barang intra provinsi NTT. Walaupun sama-sama menggunakan feri, bagaimana barang itu diangkut di atas feri

sedikit banyak ditentukan oleh waktu tempuh dari suatu rute. Pada lintasan dengan waktu tempuh yang pendek seperti Kupang-Rote (5 jam) dan Sape-Labuan Bajo (9 jam), misalnya, sebagian besar barang diangkut dengan menggunakan truk atau kendaraan barang. Sebaliknya, untuk lintasan den-gan waktu tempuh yang panjang seperti Kupang-Larantuka (15 jam), sebagian besar diangkut di atas feri sebagai bag cargo. Waktu tempuh feri yang lama menyebabkan truk praktis “menganggur” di atas feri sehingga berimplikasi pada biaya yang lebih mahal.

(25)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

17

Biaya angkut barang ke NTT menggunakan kapal laut jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya truk dan feri.

Sebagai contoh, berdasarkan wawancara dengan pemilik barang, untuk mengangkut generator listrik dari Surabaya ke Ende di Pulau Flores menggunakan truk sedang dengan total muatan sekitar 5 ton, pemilik barang harus mengelu-arkan sekitar Rp 30 juta untuk sewa truk dan seluruh biaya perjalanan lainnya (BBM, sopir, tiket penyeberangan, dan lain-lain). Sementara biaya menggunakan kapal laut bisa sepertiga hingga setengah dari biaya truk dalam kasus ini. Dalam kasus lain, pengangkutan barang kebutuhan sehari-hari dan kelontong, biaya pengangkutan dengan kapal laut dari Surabaya ke Pelabuhan Reo di Manggarai (Flores) adalah Rp 25.000-Rp 30.000 per koli,4 sementara jika menggunakan truk biayanya sekitar Rp 60.000 per koli. Banyaknya jumlah lintasan penyeberangan yang harus dilalui jika mengguna-kan truk merupamengguna-kan kontribusi penting atas tingginya biaya ini. Namun demikian, biaya penggunaan truk dan feri dapat ditekan jika pemilik barang adalah juga pemilik truk, se-hingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya sewa truk.

Beberapa jenis barang hanya dapat diangkut dengan menggunakan kapal laut. Barang-barang seperti

kebu-tuhan pokok, pakaian, dan sebagainya dapat diangkut dengan kapal laut maupun truk dan feri. Namun, terdapat beberapa barang yang hanya bisa diangkut dengan kapal laut. Misalnya, tiang listrik yang memiliki panjang melebihi kapasitas truk.

Risiko barang rusak atau hilang yang diangkut menggu-nakan truk lebih kecil dibandingkan kapal laut, khususnya barang-barang non-peti kemas. Penggunaan kapal laut

mempunyai risiko barang rusak maupun hilang tinggi, ka-rena pekerja bongkar-muat di pelabuhan cenderung tidak berhati-hati saat melakukan tugasnya. Hal ini terutama berlaku untuk barang yang tidak dimuat dalam peti kemas.

4 Koli merupakan istilah untuk kemasan barang. Dalam satuan kg, berat satu koli

berbeda-beda, tidak ada patokan yang pasti dan tergantung dari jenis barang. Secara umum satu koli barang beratnya sekitar 20-30 kg.

Transpor tasi B ar ang D i Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan Dan B iay a

17

(26)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

Seperti tercantum dalam Gambar 3.3, pertimbangan keamanan ini juga membuat volume barang umum (general cargo) yang dibongkar dan dimuat di Pelabuhan Tenau masing-masing menurun 11% dan 36% dalam periode 2007-2009. Sebaliknya, penggunaan peti kemas mengalami peningkatan yang amat signifikan, sekitar 141% pada periode 2006-2009.

Tabel 3.1 Faktor-Faktor yang Menentukan Pilihan Moda Transportasi di NTT

Deskripsi KapalLaut Truk

Biaya (kasus:

Surabaya-Reo) Rp 25.000-30.000 per koli Rp 60.000-63.000 Lokasi tujuan Pulau Timor, Rote, Sumba, Alor, serta sebagian Pulau

Flores, terutama bagian timur.

Pulau Flores, terutama bagian barat

Waktu/ Kecepatan pengiriman

Waktu tempuh laut efektif dari Surabaya ke Kupang adalah 2-3 hari, sedang dari Surabaya ke Flores (Ruteng, Ende atau Maumere) adalah 3-4 hari. Namun, waktu aktual yang dibutuhkan mulai dari barang diangkut di daerah asal ke tujuan sekitar 1 minggu hingga 1 bulan.

Waktu tempuh normal dari Surabaya ke Ruteng atau Ende adalah sekitar 4-5 hari.

Jenis barang yang diangkut

Barang-barang tahan lama (durable goods), barang-barang tertentu yang dari sisi ukuran (besar/panjang) tidak memungkinkan diangkut truk

Barang-barang tidak tahan lama

(non-durable goods)

Keamanan

Relatif aman jika barang ditempatkan dalam peti kemas, tetapi berisiko rusak atau hilang jika diletakkan di atas kapal (bag cargo) terutama pada saat kegiatan bongkar muat.

Risiko barang rusak atau hilang kecil.

Sumber: Wawancara responden, diolah LPEM-FEUI, 2010.

C.

Volume dan Jenis Barang dalam Perdagangan

Terdapat ketidakseimbangan volume bongkar-muat yang amat tinggi di NTT. Berdasarkan data

kegiatan bongkar-muat di beberapa pelabuhan laut komersial (dikelola oleh PT Pelindo III Cabang Kupang) seperti Pelabuhan Tenau, Kalabahi dan Waingapu, rata-rata barang yang dimuat ke luar Provinsi NTT hanya sekitar 10%-16% dari total barang yang dibongkar (Lihat Gambar 3.3). Dalam hal peti kemas, data Pelindo hanya mencakup jumlah peti kemas yang dibongkar dan dimuat, sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan di antara bongkar dan muat. Namun demikian, dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa kapal dari Kupang sering memuat peti kemas kosong tanpa barang.

(27)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

19

Gambar 3.3 Statistik Volume Bongkar-Muat Pelindo III Cabang Kupang, 2007-2009

Pelabuhan Tenau (Containers) Pelabuhan Kalabahi (Barang Umum)

Pelabuhan Tenau (Barang Umum) Pelabuhan Waingapu (Barang Umum)

2009 2009 2009 2009 2008 2008 2008 2008 2007 2007 2007 2007 2006 2006 2006 = bongkar 2006 0 0 0 0 30 5 30 60 10 100 60 40 90 15 200 80 120 20 300 150 25 400 V olume (r ibu t on) V olume (r ibu TEU s) V olume (r ibu t on) V olume (r ibu t on) = muat

Sumber: Pelindo Cabang III Kupang (2009), diolah oleh LPEM-FEUI (2010). Catatan: 1 TEUs (twenty-feet equivalent units) setara dengan peti kemas 20-feet.

Dari sisi jenis, barang yang dibongkar dan dimuat berbeda dari sisi karakterisik dan nilai. Sebagian besar barang yang dibongkar di NTT merupakan barang-barang sekunder dan tersier seperti bahan kebutuhan pokok (beras, terigu, minyak goreng dan sebagainya), barang elektronik, bahan bangun-an, dan otomotif. Sedangkan barang yang dimuat di pelabuhan sebagian besar merupakan barang primer seperti produk pertanian dan perkebunan (mete, coklat/kakao), ternak, hasil hutan (kemiri, asam, kayu), barang tambang (mangan), dan perikanan yang masih memiliki nilai tambah relatif rendah (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Jenis Barang yang Masuk dan Keluar Provinsi NTT

Barang Masuk Barang Keluar

Sembako dan barang kebutuhan sehari-hari

Beras, gula pasir, minyak goreng, tepung terigu, mentega, telur ayam, susu, jagung, garam beryodium, sabun, makanan ternak, makanan ringan, bahan makanan, bawang merah, bawang putih, minuman ringan, minuman beralkohol, pakaian jadi, ikan kering, dedak, kacang kedelai, kacang tanah, rokok, korek api, konveksi, brem, karung plastik, aqua, barang campuran, tembakau

Hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan

Kopi, kemiri, kopra, kakao, vanili, cengkeh, jambu mete, pisang, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, asam, kutu lak, pisang iris, madu, ketumbar, mengkudu, beras, makanan ternak, jagung, bawang merah, kunyit, kulit jeruk, gaharu/cendana, kayu gergajian, kayu olahan, kayu kuning, balok jati

Bahan bangunan

Semen, bahan bangunan, kayu gergajian, kayu jati, seng atap/licin, paku, besi beton, besi siku, pipa gips light, tripleks, keramik, gips, kaca

Hasil laut Mutiara, rumput laut, sirip ekor hiu, cumi-cumi, kerang mutiara, teripang/japing-japing, udang/lobster, tuna/cikalang, kerapu, ikan kayu, insang pari, ikan asap, ikan layang, deho/komo, ikan hias, serbuk ikan, agar-agar

(28)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

Barang Masuk Barang Keluar

Automotif dan elektronik

Mobil, sepeda motor, ban mobil, ban sepeda motor, suku cadang, barang elektronik, kabel listrik

Bahan tambang

Batu hitam, batu berwarna, batu karang, pasir besi, batu laga/lola, batu kerikil, matu marmer, mangan

BBM Premium, solar, minyak tanah, avtur, minyak pelumas/oli

Hewan ternak

Sapi, kerbau, kuda, kambing, babi Lainnya Batubara, aspal, barang tenun, LPG, drum

kosong

Barang bekas Besi tua, botol kosong, barang campuran, aluminium, aki bekas

Sumber: Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi NTT, 2009

Perbedaan karakteristik dan nilai barang yang dimuat dan dibongkar ini tercermin dari struktur ekonomi NTT. Banyaknya barang primer yang dimuat di NTT ini terefleksi dalam struktur PDRB Provinsi ini di mana kontribusi sektor pertanian sangat besar, rata-rata 40% pada periode 2006-2008, walaupun kontribusinya cenderung menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya, barang-barang sekunder dan tersier yang banyak dibongkar di NTT, dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi, menguatkan NTT sebagai pinggiran dalam perdagangannya.

Ketidakseimbangan volume bongkar-muat juga terjadi pada perdagangan antar pulau di dalam Provinsi NTT. Berdasarkan statistik arus barang pada lintasan yang tercakup dalam studi seperti

Kupang-Rote dan Kupang-Larantuka (Gambar 3.4), terlihat bahwa berat barang yang diangkut dari Kupang jauh lebih tinggi daripada sebaliknya. Pada lintasan Kupang-Rote, rata-rata barang yang dimuat dari Kupang mencapai 244 ton/tahun pada periode 2007-2009, lebih sepuluh kali lipat dari arus barang sebaliknya yang rata-rata hanya mencapai 22 ton/tahun. Walaupun perbedaannya tidak setinggi Kupang-Rote, lintasan Kupang-Larantuka juga menunjukkan kecenderungan serupa. Berat barang yang dibawa feri dari Kupang ke Larantuka rata-rata mencapai 590 ton/tahun, lebih dari dua kali lipat dari yang diangkut dari Larantuka ke Kupang (rata-rata 287 ton/tahun).

Gambar 3.4 Statistik Arus Barang dan Kendaraan Berdasarkan Lintasan, 2007-2009

Sumber: PT ASDP Cabang Kupang, diolah LPEM-FEUI, 2010

2009 2009 8 145 659 667 445 305 286 269 37 386 200 20 2008 2008 2007 2007 450 350 700 250 500 150 300 50 100 300 600 200 400 100 200 0 0 400 800 Kupang-Rote Rote-Kupang Kupang-Larantuka Larantuka-Kupang

(29)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

21

Demikian juga halnya dengan jenis barang, hasil industri diangkut dari Kupang dan hasil alam dibawa ke Kupang. Berdasarkan temuan survei lapangan, lebih dari setengah barang yang dibawa dari Kupang ke Rote adalah bahan bangunan dan mebel, diikuti dengan barang kelontong (20%), sembako (13%), beras (7%), dan pupuk (7%). Dari arah sebaliknya, komoditas yang dibawa berupa hasil alam seperti beras (40%), rumput laut (27%), dan gula air (20%). Secara umum nilai tambah barang yang dibawa dari Kupang jauh lebih besar daripada yang dibawa ke Kupang.

Terbatasnya infrastruktur khususnya jaringan jalan ke daerah-daerah terpencil berkontribusi pada ketidakseimbangan perdagangan di NTT. Secara rata-rata rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di NTT mencapai 0,33 km/km2, cukup rendah jika dibandingkan dengan rasio jalan di NTB (0,37 km/ km2), apalagi dengan wilayah lain di Indonesia. Di tingkat kabupaten/kota, variasi rasio panjang jalan terhadap luas wilayah sangat tinggi, berkisar antara 0,04 km/km2 hingga 4,4 km/km2. Kepadatan penduduk di NTT yang relatif rendah membuat rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduknya relatif tinggi. Rasio mobilitas di NTT mencapai 3,4 km per 1.000 penduduk atau dua kali lipat rasio di NTB (1,7 per 1.000 penduduk). Masih minimnya jaringan jalan khususnya pada tingkat kabupaten mengakibatkan distribusi barang menjadi terhambat dan banyak komoditas pertanian tidak memiliki akses pasar yang memadai.

Terbatasnya jaringan jalan ini dapat diperburuk dengan tidak adanya pemantauan dan penegak-an hukum terhadap kelebihpenegak-an bebpenegak-an kendarapenegak-an. Hampir semua jembatan timbang di kabupaten/ kota di NTT tidak berfungsi baik karena rusak atau karena kapasitas jembatan timbang yang rendah. Pada praktiknya truk pengangkut barang hampir tidak pernah masuk ke jembatan timbang. Hal ini menciptakan insentif untuk melebihi batas maksimum muatan yang ditetapkan. Misalnya, Kupang memiliki ruas jalan dengan kelas II di mana Muatan Sumbu Terberat (MST) maksimum yang diperbolehkan untuk kategori jalan ini adalah 10 ton.5 Namun demikian, rata-rata truk yang beroperasi di Kupang melebihi MST yang diperbolehkan. Hal yang sama juga terjadi pada lintasan Ruteng-Labuhan Bajo. Dengan ruas jalan kategori kelas IIIA atau hanya bisa dilewati kendaraan dengan MST sebesar 8 ton, rata-rata muatan truk yang melewati lintasan ini adalah 25 ton. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka hal ini dapat memperburuk kondisi jalan sehingga akan mempengaruhi jalur distribusi barang dan komoditas yang dapat mendukung peningkatan ekonomi lokal di masa mendatang. Selain itu, kelebihan muatan juga dapat membahayakan awak truk bersangkutan dan pengguna jalan lainnya.

D.

Kondisi Cuaca di NTT

Jumlah penyeberangan untuk dua rute yang dikaji berkorelasi negatif terhadap kecepatan angin yang tinggi. Berdasarkan data statistik angin harian dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

(BMKG) dan data jumlah penyeberangan dari PT. ASDP Kupang pada tahun 2008 dan 2009 diperhi-tungkan korelasi antara jumlah hari dengan kecepatan angin di atas 10 knot per jam dan frekuensi

5 Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 20 tahun 2004, ruas jalan yang berada di Provinsi NTT ditetapkan sebagai jalan

kelas II, IIIA, IIIB, dan IIIC. Jalan kelas II hanya boleh dilalui kendaraan dengan MST tidak lebih dari 10 ton. Sedangkan jalan kelas IIIA, IIIB, dan IIIC hanya diizinkan untuk dilalui kendaraan dengan MST tidak lebih dari 8 ton.

(30)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

penyeberangan untuk periode yang sama. Seperti terlihat pada Tabel 3.3, frekuensi penyeberangan Kupang-Rote dan Kupang-Larantuka berkorelasi negatif terhadap kecepatan angin, masing-masing, di Rote dan di Larantuka.

Tabel 3.3 Matrik Korelasi Frekuensi Penyeberangan Bulanan dan Kecepatan Angin

Lintasan Kupang-Rote Lintasan Kupang-Larantuka

Penyeberangan Kupang-Rote Angin Kupang Angin Rote Penyeberangan Kupang-Larantuka Angin Kupang Angin Larantuka Penyeberangan Kupang-Rote 1,000000 Penyeberangan Kupang-Larantuka 1,000000

Angin Kupang 0,003415 1,000000 Angin Kupang 0,024401 1,000000

Angin Rote -0,170797 0,665091 1,000000 Angin Larantuka -0,439839 0,061150 1,000000

Sumber: Hasil olahan data sekunder dari BMKG dan PT. ASDP Kupang, LPEM-FEUI, 2010

Frekuensi penyeberangan Kupang Rote dan Kupang-Larantuka (pulang-pergi, PP) relatif rendah pada bulan Januari-Februari. Seperti terlihat dalam Gambar 3.5, akibat kecepatan angin dan gelom-bang yang tinggi frekuensi penyeberangan untuk kedua rute yang dikaji tidaklah merata sepanjang tahun. Frekuensi penyeberangan rata-rata bulan Januari-Februari pada rute Kupang-Rote hanyalah 65% dari bulan-bulan lainnya. Kondisi pada rute Kupang-Larantuka lebih buruk lagi, frekuensi penye-berangan pada bulan Januari-Februari hanya 44% dari rata-rata bulan Maret-Desember. Kondisi yang mirip diidentifikasi harian Kompas untuk rute Sape (Sumbawa, NTB)-Labuan Bajo. Hal ini tentunya menghambat distribusi barang dan meningkatkan biaya transportasi di provinsi NTT.

Kotak 3.1 Lebih dari 100 Mobil Masih Antre di Sape (Kompas Minggu, 24 Januari 2010)

Bima, Kompas. Cuaca sudah berangsur pulih, setidaknya ditandai dengan kembali beroperasinya kapal-kapal feri di sejumlah lintasan penyeberangan di kawasan Nusa Tenggara, sejak kurang lebih seminggu lalu.

Namun, lalu lintas penyeberangan hingga Sabtu (23/1) petang masih terhambat. Seperti di Pelabuhan Sape, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), lebih dari 100 kendaraan jenis truk hingga Kijang dan lainnya masih harus menunggu giliran menyeberang ke Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

”Di Sape sekarang ini masih terjadi antrean panjang kendaraan yang harus menunggu giliran menyeberang. Kalau cuaca terus membaik, butuh waktu sekitar seminggu untuk menyeberangkan lebih dari 100 truk dari jenis lainnya yang tertahan di Sape selama seminggu lebih akibat cuaca buruk,” kata Kepala Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (PT ASDP) Pelabuhan Sape, Jumono, Sabtu petang.

Selain alasan cuaca buruk, terganggunya penyeberangan Sape- Labuhan Bajo juga akibat keterbatasan armada penyeberangan.

Saat ini hanya ada tiga unit feri di bawah pengendalian PT ASDP Sape. Dua di antaranya ber operasi penuh untuk penyeberangan Sape-Labuhan Bajo. Satu lainnya melayani penyeberangan Sape-Sumba (NTT)

(31)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

23

Gambar 3.5 Jumlah Penyeberangan Berdasarkan Bulan pada Tahun 2008-2009

Jumlah Penyeberangan Kupang-Rote

Jumlah Penyeberangan (PP) Jumlah Penyeberangan (PP) Jumlah Penyeberangan Kupang-Rote

Des Des Nov Nov Okt Okt Sep Sep Ags Ags Jul Jul Jun Jun Mei Mei Apr Apr Mar Mar Feb Feb Jan Jan 100 25 80 20 60 15 40 10 20 5 0 0 2008 2009 2008 2009

Sumber: PT. ASDP Cabang Kupang

E.

Kapasitas dan Kinerja Pelabuhan Laut

Kinerja Pelabuhan Laut Tenau masih rendah. Secara umum tingkat penggunaan tambatan sandar

(Berth Occupancy Ratio/BOR) di Pelabuhan Laut Tenau Kupang mencapai 65,7% pada tahun 2006. Nilai ini sudah mengalami perbaikan dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 74,4%. Namun demikian, BOR di Tenau masih di atas rata-rata pelabuhan lainnya di Indonesia yang hanya 57,6%. Sementara itu, Turn Round Time (TRT) Tenau merupakan yang terburuk di antara 12 pelabuhan yang dikelola Pelindo III dan IV. Artinya, peningkatan aktivitas bongkar-muat di Pelabuhan Laut Tenau jika tidak dii-kuti dengan penambahan kapasitas pelabuhan akan menghambat perjalanan kapal dan menambah waktu tunggunya.

Produktivitas peralatan bongkar-muat peti kemas di pelabuhan masih rendah. Dibandingkan dengan pelabuhan lain, produktivitas peralatan untuk bongkar-muat peti kemas di Pelabuhan Laut Tenau Kupang termasuk rendah. Dengan rata-rata sekitar 12 boks per jam, kecepatan bongkar-muat di Pelabuhan Tenau jauh dari Pelabuhan Palaran di Samarinda yang mencapai 24 boks per jam, terlebih jika dibandingkan dengan pelabuhan internasional seperti Tanjung Priok yang memiliki rata-rata pergerakan peti kemas hingga 45-50 boks per jam. Kecepatan bongkar-muat di kedua pelabuhan ini tidak lepas dari fasilitas dan peralatan container crane yang memadai.

(32)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

Gambar 3.6 Kinerja Pelabuhan Tenau (Kupang)

Dibandingkan dengan Pelabuhan Laut Utama di Bawah Pelindo III dan IV

Perbandingan BOR Pelabuhan Pelindo III & IV (2006)

Perbandingan TRT Pelabuhan Pelindo III & IV (2006)

Berth Occupancy Ratio, BOR (%) Turn Round Time, TRT (jam)

Sorong Tenau (Kupang) Samarinda Biak Tenau (Kupang) Tanjung Emas

Banjarmasin Benoa Tanjung Perak Samarinda Benoa Bitung

Jayapura Makassar Makassar Makassar

Tanjung Emas 28 Tanjung Perak 38

43 50 66 77 50 52 69 80 54 55 69 89 56 61 70 104 71 124 75 137 80 167 80 100 150 200 60 100 40 20 50 0 0 Biak Biak Bitung Jayapura Ambon Ambon

Sumber: Ray, 2008, diolah oleh LPEM-FEUI (2010)

Produktivitas bongkar-muat general cargo di Tenau juga rendah. Produktivitas bongkar-muat untuk barang-barang umum (general cargo) baru mencapai 600-750 ton per hari. Kinerja seperti itu masih jauh di bawah kinerja Pelabuhan Lembar di NTB yang rata-rata mencapai 1.500 ton per hari. Rendahnya capaian kinerja ini menyebabkan waktu bongkar-muat menjadi makin lama. Sebagai ilustrasi, untuk membongkar 3.000 ton beras di Lembar, diperlukan waktu dua hari kerja sedang di Pelabuhan Laut Tenau dibutuhkan waktu dua hari lebih lama.

Model tarif gilir kerja di Tenau tidak mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja bongkar-muat. Pelabuhan utama di NTT ini menerapkan tarif tenaga kerja bongkar-muat (TKBM) berdasarkan model gilir kerja (shift). Sekitar 300 TKBM yang bekerja di bawah Koperasi TKBM itu terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan jenis pekerjaannya: tenaga stevedoring, cargodoring, dan delivery. Dalam sehari – 21 jam kerja ditambah tiga jam untuk isitrahat – terdapat tiga shift TKBM atau tujuh jam kerja per shift. Dengan pendapatan TKBM yang relatif tetap, model tarif gilir kerja tidak memberikan insentif kepada TKBM untuk lebih produktif. Beberapa Perusahaan Bongkar Muat (PBM) yang diwawancarai mengeluhkan ritme kerja yang diperlambat TKBM, seperti beristirahat lebih lama dari yang seharus-nya. Hal ini dapat menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas bongkar-muat general cargo di Tenau.

(33)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

25

Sementara itu, beberapa pelabuhan lain menerapkan sistem berbeda yang dapat menciptakan insentif untuk bekerja lebih keras. Sebagai contoh, Pelabuhan Atapupu menggunakan model borongan sebagai basis tarif TKBM. Model ini menghitung tonase barang yang dibongkar/dimuat sebagai dasar pengenaan tarif. Beberapa pelabuhan non-komersial seperti Pelabuhan Laut Larantuka di Pulau Flores menerapkan model tarif karung/koli yang menggunakan jumlah karung/koli sebagai basis pembayaran bagi TKBM. Kedua model ini dapat mendorong TKBM untuk bekerja lebih cepat dan mengangkut barang lebih banyak, karena penghasilannya juga akan bertambah. Pilihan bagi PBM diberikan oleh Pelabuhan Lembar di NTB dengan dua model tarif TKBM yang dapat digunakan, yaitu gilir kerja dan borongan.

Tabel 3.4 Perbandingan Model Tarif TKBM

Deskripsi Gilir Kerja (Tenau) Borongan (Lembar) Koli/Karung (Larantuka)

Dasar penentuan upah

Jam kerja tetap yaitu 7 jam per hari

Jumlah ton yang dibongkar/muat. Jadi, makin banyak jumlah ton, makin besar upah yang diperoleh

Jumlah karung/koli, makin banyak karung yang dibongkar/muat,makin besar upah

Waktu efektif kegiatan bongkar-muat

21 jam per hari (plus istirahat 3 jam). Mulai jam 08.00

Pk. 08.00-22.00 Mengikuti jam operasi pelabuhan.

Biaya Rp 58.095 per orang per waktu gilir kerja. Jadi, jika satu orang bekerja satu shift sehari dan 21 hari dalam sebulan, maka upah yang akan diperoleh adalah sebesar Rp 1.219.995 (21xRp 58.095). Upah ini lebih tinggi dari UMP NTT (Rp 800 ribu) dan belum memasukkan komponen biaya lain seperti biaya asuransi TKBM dan biaya administrasi.

General cargo (koli/peti kayu): Rp 7.200 per ton Bag cargo: Rp 6.200 per ton

Drum/cair: Rp 7.200 per ton

Rp 10.000 per karung untuk karung ukuran kecil (≤50 kg) dan Rp 15.000 untuk karung sedang-besar (>50 kg).

Contoh pelabuhan yang menerapkan

Pelabuhan Laut Tenau Kupang

Pelabuhan Laut Atapupu, Kab. Belu; Pelabuhan Laut Lembar, NTB

Pelabuhan Laut Larantuka, Kab. Flores Timur

Sumber: Wawancara responden, diolah LPEM-FEUI, 2010

Lambatnya kinerja TKBM di pelabuhan juga menyebabkan barang yang tidak bisa dimasukkan ke dalam gudang penerima. Waktu bongkar-muat efektif di pelabuhan adalah 21 jam per hari sedang jam operasi gudang lebih pendek, berhenti pada pukul 22.00. Implikasinya, barang yang dibongkar seringkali harus berada lebih lama di lapangan penumpukan karena tidak bisa masuk ke dalam gu-dang. Ini akan menambah biaya penumpukan. Biaya tambahan ini sebenarnya dapat dihilangkan jika produktivitas tenaga kerja tinggi dan/atau peralatan pendukung seperti gantry crane memadai.

(34)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a T imur: P ermasalahan dan B iay a Temuan Utama

Kotak 3.2 Tenaga Kerja Bongkar Muat Pelabuhan (TKBM)

Di sebagian besar pelabuhan di Provinsi NTT, terutama di pelabuhan non-komersial, peran tenaga kerja pelabuhan dalam kegiatan bongkar-muat sangat besar. Pertama, fasilitas bongkar-muat yang memadai seperti crane dan forklift belum tersedia. Dengan demikian, tidak ada pilihan bagi pemilik barang selain menggunakan tenaga buruh untuk membantu proses bongkar-muat tersebut. Kedua, kekuasaan tenaga kerja bongkar-muat di dalam aktivitas pelabuhan sangat besar. Isu bahwa mereka adalah penduduk lokal sehingga harus dapat terlibat dalam berbagai kegiatan pelabuhan sering dijadikan tameng untuk memaksa otoritas pelabuhan. Parahnya, di beberapa tempat seperti Pelabuhan Rakyat (PELRA) Wuring, Sikka, kekuatan informal buruh secara tidak langsung mengambil alih peran otoritas. Sebagai contoh, kunci pintu masuk pelabuhan dipegang oleh pemimpin buruh di sana.

Dengan posisi tawar buruh terhadap pengguna jasa dan otoritas pelabuhan yang makin besar, (organisasi) buruh telah menjadi monopolist dan membawa sejumlah dampak. Misalnya, hasil wawancara dengan be-berapa pengguna layanan kapal di Larantuka, menyebutkan bahwa kondisi monopoli ini mengakibatkan biaya buruh mejadi mahal. Biaya angkut satu karung barang sekitar Rp 10.000-15.000 dirasakan terlalu mahal. Di samping itu, jam kerja buruh yang terbatas juga menyebabkan waktu bongkar-muat menjadi lebih lama.

Sumber: Wawancara dengan pengusaha/pemilik barang, LPEM-FEUI, 2010

F.

Biaya Transportasi Barang di NTT

Berdasarkan data pada tiga rute yang dikaji, biaya transportasi barang berkisar antara Rp 0,7-1,9 juta. Biaya pengangkutan barang dengan truk yang melintasi Kupang-Larantuka dan sebaliknya merupakan yang tertinggi, mencapai rata-rata Rp 1,8 juta per trip (perjalanan). Sebaliknya, biaya pengangkutan barang untuk rute Labuan Bajo-Ruteng merupakan yang termurah, dengan biaya rata-rata hanya Rp 0,73 juta saja. Hal ini diakibatkan tidak adanya biaya penyeberangan pada rute ini. Sementara itu, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara biaya pengangkutan barang pada lintasan Kupang-Rote dan sebaliknya. Biaya transportasi barang dari Kupang ke Rote lebih tinggi daripada sebaliknya karena: (i) biaya feri Kupang-Rote mencapai rata-rata Rp 1 juta/truk, sementara sebaliknya hanya Rp 0,73 juta/truk; (ii) jarak tempuh darat yang lebih pendek – truk-truk dari Rote ke Kupang berhenti di Pelabuhan Laut Tenau yang hanya berjarak 4 km dari pelabuhan penyeberangan di Bolok, sementara untuk lintasan sebaliknya truk-truk berangkat dari tempat asal muatan dimuat yang berjarak 8 km lebih jauh; dan (iii) waktu tunggu di Kupang jauh lebih tinggi.

(35)

Transpor tasi B ar ang di Nusa Tenggar a Timur: P ermasalahan dan B iay a

27

Tabel 3.5 Total Biaya Pengangkutan Berdasarkan Rute

Lintasan Total Biaya (Rp) Jarak Tempuh Darat (Km)

Rata-rata Kupang-Rote 1.116.536 36 Kupang-Rote 1.268.500 40 Rote-Kupang 964.571 32 Rata-rata Kupang-Larantuka 1.815.104 83 Kupang-Larantuka 1.873.333 95 Larantuka-Kupang 1.756.875 70

Rata-rata Labuan Bajo-Ruteng 731.625 129

Labuan Bajo-Ruteng 736.250 129

Ruteng-Labuan Bajo 727.000 128

Rata-rata Tiga Rute 1.221.088 82

Sumber: Hasil olahan data primer, LPEM-FEUI, 2010.

Catatan: Total biaya transportasi untuk rute Kupang-Rote dan Kupang Larantuka termasuk biaya tiket penyeberangan dan waktu tunggu

Sumber biaya transportasi terbesar adalah biaya penyeberangan (feri). Dengan kondisi geografis

yang berbentuk kepulauan, komponen biaya penyeberangan menjadi sangat signifikan. Kontribusinya terhadap total biaya transportasi barang di NTT mencapai 72-79%. Proporsi biaya penyeberangan ini sedikit lebih besar pada lintasan Kupang–Rote, mencapai sekitar 75-79%, sementara untuk lintasan Kupang–Larantuka mencapai 72-76% dari total biaya transportasi barang. Studi yang dilakukan oleh Bank Indonesia Cabang Mataram (NTB) juga menemukan hal yang sama di daerah lain, yaitu biaya penyeberangan/feri memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total biaya transportasi barang dari Jawa Timur ke Pulau Sumbawa, yaitu mencapai 61% dari total biaya (BI, 2009).

Gambar 3.7 Struktur Komponen Biaya Pengangkutan Barang Berdasarkan Rute (dalam Persen)

Rata-rata Lintasan Kupang-Rote (PP)

P ersen tase t erhadap Total Bia ya Tr ansp or tasi P ersen tase t erhadap Total Bia ya Tr ansp or tasi 100 80 60 40 20 0 100 80 60 40 20 0 77 74 11 13 7 3 2 11 2 0,3 100 100,0 Tiket F eri Biaya a wak tr uk BBM Pungli Total Retr ibusi,

parkir & SP3 Tik

et Fer i Biaya a wak tr uk BBM Pungli Total Retr ibusi,

parkir & SP3

Rata-rata Lintasan Kupang-Larantuka (PP)

Komponen Biaya Komponen Biaya

Gambar

Tabel 1.1 Kinerja Sektor Logistik Negara-negara ASEAN 2010
Tabel 1.2 Jumlah Angkutan Kargo Internasional Indonesia dengan Transportasi Udara dan Laut 2003-2007
Gambar 2.1 Rata-rata Distribusi PDRB per Kabupaten/Kota di Provinsi NTT (2006-2008)
Gambar 2.3 Rata-rata Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap PDRB Provinsi NTT (2006-2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keunggulan yang muncul dengan adanya program Kertajaya Creative Destination, pada Kelompok Share Bag sebanyak lebih dari 8000 goodie bag yang dihasilkan dan menciptakan

Sehingga dari apa yang sekarang sudah ada di Hot Chord, untuk lebih meningkatkan promosi, iklan dan oplah, Aplikasi Majalah Virtual ”Hot Chord” merupakan salah satu

Tujuan penelitian ini adalah mendiskripsikan secara analisis tentang personifikasi Gareng, alasan Sumar Bagyo memilih Gareng, dan tentang karakter gerak gecul yang dibawakan

 Pemberhentian pegawai adalah pemutusan hubungan kerja, baik untuk sementara maupun untuk selamanya yang dilakukan oleh perusahaan atas permintaan. pegawai atau karena

bahwa Retribusi Pemeriksaan Kesehatan Hewan dan Pemotongan Hewan dalam Wilayah Kabupaten Ciamis telah diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 18

Berbagai paparan peraturan yang mengatur terkait dengan BUM Desa diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa klasifikasi pembentukan BUM Desa terpolarisasi menjadi BUM

adalah rasa ingin tahu dan pergaulan, serta minimnya pendidikan seks. Rasa ingin tahu muncul dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan remaja. Rasa ingin tahu yag tinggi

Revolusi digerakkan secara menyelurh dan bersama-sama oleh suatu konsorium yang terdiri dari para tokoh nasional (birokrasi pemerintah, dunia usaha, tokoh agama,