• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Secara umum belanja kesehatan pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi DIY selama tahun 2012 sampai dengan 2014 mengalami kecenderungan yang selalu meningkat setiap tahunnya. Bahkan di beberapa daerah peningkatan belanja kesehatan terjadi cukup tinggi, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Secara rinci ditampilkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta

No Kabupaten/Kota 2012 2013 2014 Rata-Rata 1 Kab. Bantul 161.589,74 201.902,04 204.940,73 189.477,50 2 Kab. Gunung Kidul 143.084,53 177.505,22 189.218,82 169.936,19 3 Kab. Kulon Progo 236.027,06 296.695,83 699.041,43 410.588,10 4 Kab. Sleman 136.062,31 163.679,02 165.006,46 154.915,93 5 Kota Yogyakarta 343.823,84 402.913,67 419.608,51 388.782,01 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan RI.

Bank Dunia (2008) menyimpulkan bahwa meski pembangunan di bidang kesehatan telah lama diupayakan, ternyata masih mengandung tiga kelemahan serius. Pertama, banyak institusi penyedia dan pendukung pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, asuransi-asuransi kesehatan) belum efisien dalam kiprahnya. Hal ini mengakibatkan kualitas pelayanan kesehatan menjadi tidak sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tingkat pemanfaatan fasilitas kesehatan masih di bawah kapasitas optimumnya. Hal ini membuat investasi di institusi-institusi ini sebagian menjadi mubazir. Kedua, baik pemerintah pusat maupun daerah ternyata baru mengalokasikan anggaran belanjanya ke bidang kesehatan masih rendah bila dibandingkan dengan total GDP. Ketiga, meski era otonomi telah dicanangkan sejak tahun 2001 namun berbagai peraturan pemerintah pusat dan surat keputusan menteri-menteri banyak yang masih membatasi ruang gerak pemerintah daerah, utamanya kabupaten/kota. Akibatnya, pemerintah daerah tidak

(2)

11

11 memiliki kewenangan yang cukup untuk mengalokasikan anggarannya ke bidang-bidang yang menjadi prioritasnya, termasuk bidang-bidang kesehatan masyarakat.

Perpres No. 72 Tahun 2012 menyatakan bahwa upaya percepatan pencapaian indikator kesehatan dalam lingkungan strategis baru, terus diupayakan dengan pembiayaan kesehatan yang terus meningkat, Jaminan kesehatan juga meningkat dari tahun ke tahun. Namun, dalam upaya pencapaian tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah. Masalah strategis dari reformasi pembiayaan kesehatan terutama meliputi: (a) Belum seluruh masyarakat terlindungi secara optimal terhadap beban pembiayaan kesehatan; (b) Terbatasnya dana operasional Puskesmas dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDG’s); (c) Belum terpenuhinya kecukupan pembiayaan kesehatan yang diikuti efisiensi dan efektifitas penggunaan anggaran; (d) Belum adanya pertimbangan kebutuhan biaya pelayanan kesehatan terutama program prioritas sebagaimana Standar Pelayanan Minimal (SPM); (e) Masih terbatasnya peraturan perundang-undangan yang mendukung pencapaian jaminan kesehatan, hal ini terkait dengan masih terbatasnya kemampuan manajemen pembangunan kesehatan.

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip SJSN, diantaranya: prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (UU No. 40/2004).

Sejak berlakukannya kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 1 Januari 2014, maka terjadi perubahan besar dalam sistem pembiayaan kesehatan. Sistem pembiayaan yang dulunya dengan cara pembayaran langsung oleh pasien kepada pemberi pelayanan berubah menjadi sistem asuransi sosial, yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Puskesmas dan jaringannya sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar akan dikontrak oleh BPJS Kesehatan untuk memberikan

(3)

12

12 pelayanan kesehatan dasar yang paripurna kepada peserta BPJS kesehatan. Selanjutnya puskesmas dan jaringannya akan mendapatkan pembayaran dari BPJS kesehatan dalam bentuk kapitasi.

Di dalam Perpres No. 12 Tahun 2013 di sebutkan bahwa BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan jaminan kesehatan, menggunakan sistem pembiayaan kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (primer) dan INA CBG’s untuk faskes tingkat lanjutan. Kedua cara pembayaran tersebut adalah cara pembayaran borongan yang memaksa dokter dan rumah sakit efisien namun tetap menjaga kualitas layanannya. Dokter dan rumah sakit di suatu wilayah yang memiliki indeks harga/indeks kemahalan yang sama akan dibayar sama. Dengan demikian persaingan sehat antara dokter dan rumah sakit terjadi berdasarkan kualitas layanan, bukan tarif. Pada era JKN sesuai dengan pasal 24 ayat 2 UU No. 40 Tahun 2004 menyatakan bahwa BPJS Kesehatan wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan. Berdasarkan inilah besaran pembayaran dana kapitasi Puskesmas harus langsung diberikan oleh BPJS kepada puskesmas tanpa melalui dinas kesehatan. Sehingga jika dana kapitasi melalui dinkes maka dana tersebut adalah dana publik yang dapat dipakai untuk apa saja oleh karena itu mendorong terbitnya Perpres No. 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama milik Pemerintah Daerah. Perpres No. 32/2014 menyebutkan juga bahwa pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi adalah sekurang-kurangnya 60% untuk pembayaran pelayanan jasa dan 40% untuk layanan operasional. Alokasi “sekurang-kurangnya 60%” dapat memberikan banyak interpretasi dimana FKTP bisa saja mengalokasikan hingga 100% untuk pembayaran pelayanan jasa kesehatan saja. Alhasil, kebutuhan operasional tidak dapat dipenuhi. Jika hal ini terjadi, maka kesejahteraan hanya didapat pada tenaga medis dan nonmedis saja tidak pada masyarakat yang ingin sehat. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan tenaga yang khusus untuk mengatur alokasi dana kapitasi ini agar dapat digunakan sesuai dengan amanat rakyat.

Pasal 6 ayat (3) Perpres Dana Kapitasi JKN mengatur rekening dana kapitasi pada setiap faskes tingkat pertama ditetapkan oleh Kepala Daerah, sementara pasal 6 ayat (4) Perpres Dana Kapitasi JKN menegaskan rekening itu merupakan

(4)

13

13 bagian dari rekening Bendahara Umum Daerah (BUD). Regulasi itu memberi kewenangan besar kepada Kepala Daerah terkait penggunaan dana kapitasi. Wewenang besar ini dikhawatirkan mengganggu pelaksanaan pembiayaan program JKN. Kondisi itu diperburuk oleh mekanisme pengawasan yang lemah. Mencermati pasal 11 Perpres Dana Kapitasi JKN itu mengamanatkan kepala SKPD dinas kesehatan dan faskes tingkat pertama itu sendiri yang melakukan pengawasan. Padahal mereka adalah bagian dari pejabat yang membuat laporan penerimaan dan pengeluaran dana kapitasi JKN.

Dalam konteks road map tahun 2019, diproyeksikan bahwa seluruh wilayah DI Yogyakarta dapat mencapai Universal Health Coverage. Masyarakat di semua lapisan ekonomi dapat menikmati pelayanan kesehatan. Akan tetapi yang masih belum dapat ditentukan adalah efisiensinya. Semua faskes di DIY sampai saat ini belum ada yang mempunyai sistem pencegahan fraud. Pihak penegak hukum juga belum memahami mengenai potensi kerugian BPJS dan negara akibat fraud. Dikhawatirkan ada dana yang tidak efisien karena terjadi fraud (Trisnantoro, 2014).

Hasil penelitan Yatiman dan Pujiyono (2013) menunjukkan bahwa secara umum selama periode penelitian pemerintah kabupaten/kota di Provinsi DIY masih mengalami inefisiensi dalam teknis biaya kesehatan di masing-masing daerahnya. Fenomena ini diindikasikan dengan pencapaian nilai efisiensi teknis biaya untuk masing-masing kabupaten/kota yang secara umum masih jauh berada di bawah nilai efisiensi teknis sistem, sebagaimana tersaji dalam tabel 1.2.

Tabel 1.2 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Anggaran Sektor Kesehatan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Propinsi D.I Yogyakarta

Kabupaten/Kota Efisiensi Teknis Biaya Rata-Rata

Efisiensi

2008 2009 2010

Kab. Bantul 39.77 37.50 39.18 38.82

Kab. Gunung Kidul 50.95 49.83 53.57 51.45

Kab. Kulon Progo 97.53 100.00 100.00 99.18

Kab. Sleman 40.58 34.10 42.14 38.94

Kota Yogyakarta 100.00 100.00 100.00 100.00

(5)

14

14 Tabel 1.2 menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi DIY mengalami permasalahan serius terkait dengan teknis penggunaan anggaran biaya belanja sektor kesehatan di masing-masing daerahnya yang ditandai dengan kurang optimalnya pengelolaan anggaran belanja sektor kesehatan. Daerah yang telah efisien secara teknis biaya belum tentu juga efisien secara teknis sistem, fenomena seperti ini yang terjadi di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang telah mencapai kondisi efisien sempurna secara teknis biaya (100%), namun secara teknis sistem kesehatan masih berada di bawah kondisi efisien (99,70%).

Pendanaan untuk sistem layanan kesehatan telah disadari banyak ahli dan akademisi sebagai hambatan utama bagi pemerintah untuk menyediakan sistem layanan kesehatan yang memadai di daerahnya. Mereka menghadapi isu-isu terkait apakah belanja kesehatan masyarakatnya benar-benar memberikan manfaat yang setimpal atau sebaliknya hal tersebut merupakan pemborosan ekonomi semata. Babazono et al., (1994) menyatakan bahwa pada penelitiannya, mereka menemukan bahwa output-output performa kesehatan tidak berhubungan signifikan secara statistik dengan total pengeluaran kesehatan perkapita pada studi kasus 21 negara OECD tahun 1988. Mereka menyimpulkan bahwa keseimbangan alokasi sumberdaya-sumberdaya kesehatan serta keseimbangan antara pengeluaran kesehatan dan non-kesehatan merupakan faktor yang lebih penting dalam mendorong peningkatan performa atau output kesehatan di suatu negara. Hal ini juga senada dengan temuan Mackenbach (1991) yang menyatakan bahwa tingginya pengeluaran kesehatan tidak serta merta menurunkan tingkat kematian dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa biaya yang efektif sangat diperlukan disini. Penelitian-penelitian tersebut menekankan kepada efisiensi sumberdaya kesehatan bukan semata-mata besaranya saja. Hal ini mengkonfirmasi kembali kepada kita pentingnya mengevaluasi efisiensi sistem kesehatan demi tercapainya sistem layanan kesehatan yang lebih baik.

Elemen pembiayaan kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan implikasinya pada penyediaan pelayanan kesehatan. Kelebihan dan kekurangan pilihan sistem pengelolaan asuransi kesehatan nasional perlu dianalisis berdasarkan kriteria keadilan, efisiensi, dan daya tanggap (responsiveness), baik dalam aspek

(6)

15

15 pembiayaan maupun penyediaan pelayanan kesehatan (Sreshthaputra dkk, 2001; WHO, 2005): (a) Keadilan (Equity): Keadilan dalam pembiayaan pelayanan kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama bagi setiap warga. (b) Efisiensi (Efficiency): Efisiensi penggunaan sumber daya, baik dalam administrasi dan manajemen dana asuransi maupun efisiensi penyediaan pelayanan kesehatan. (c) Daya tanggap (Responsiveness): Daya tanggap sistem pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan dalam memenuhi hak dan ekspektasi warga terhadap pelayanan kesehatan yang efektif, bermutu, dan dibutuhkan.

Dalam sistem pelayanan kesehatan di Singapore, pemerintah dengan aktif meregulasi suplai dan harga pelayanan kesehatan untuk menjaga agar biaya selalu terkontrol. Sistem tersebut sangat baik meskipun tidak mudah untuk direplikasi di negara manapun. Dengan sistem tersebut, jumlah keseluruhan pengeluaran kesehatan hanya 3% dari PDB tahunan. Dari jumlah tersebut, 66% berasal dari sumber swasta. Hasilnya bagi kesehatan warga sangat menakjubkan. Dewasa ini Singapore memiliki angka kematian bayi nomer dua terendah di seluruh dunia, dan satu di antara negara dengan angka harapan hidup saat kelahiran tertinggi di dunia. WHO menyebut Singapore “salah satu sistem pelayanan kesehatan yang paling sukses di dunia, baik dalam arti efisiensi pembiayaan maupun hasil-hasil kesehatan komunitas yang dicapai” (Murti, 2010).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam konteks evaluasi kinerja kebijakan program permasalahan yang muncul adalah apakah penggunaan dana kapitasi JKN di puskesmas berjalan efisien dan bagaimana tingkat efisiensi pelaksanaannya terhadap upaya kesehatan perorangan di puskesmas.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum :

Untuk menganalisis tingkat efisiensi pengelolaan dana kapitasi terhadap upaya kesehatan perorangan di puskesmas, agar selanjutnya dapat memberikan rekomendasi kebijakan sebagai solusi strategis mencapai kondisi efisiensi pengelolaan dana kapitasi bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

(7)

16

16 2. Tujuan Khusus :

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini adalah: a. Menganalisis tingkat efisiensi teknis biaya pengelolaan dana kapitasi

(variabel input) terhadap upaya kesehatan perorangan di puskesmas (variabel intermediate output).

b. Menganalisis tingkat efisiensi teknis sistem upaya kesehatan perorangan di puskesmas (variabel intermediate output) terhadap pencapaian kinerja puskesmas dalam konsep kapitasi (variabel output).

c. Mengidentifikasi variabel-variabel yang secara signifikan mempengaruhi tingkat efisiensi teknis dana kapitasi puskesmas.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan implikasi praktis dan sumbangan teoritis sebagai berikut:

1. Implikasi praktis

a. Mendorong Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) dan Kementerian Kesehatan RI:

i. Untuk menerapkan metode pembayaran kapitasi berbasis kinerja (payment for performance) pada FKTP di seluruh daerah setelah berhasil uji coba di beberapa daerah di Indonesia.

ii. Untuk menggunakan indikator kinerja puskesmas dalam konteks manfaat dana kapitasi yang lebih komprehensif sebagai rujukan melakukan rekredensialing dengan FKTP.

iii. Melakukan penilaian kinerja FKTP secara rutin setiap bulan untuk menghasilkan mutu atau dan pelayanan optimal.

b. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan sebagai regulator untuk membuat peraturan atau kebijakan dalam sistem jaminan kesehatan di Kabupaten Sleman, khususnya yang terkait dengan pengelolaan dan penggunaan dana kapitasi yang efisien dan efektif.

2. Sumbangan Teoritis

a. Memberi bukti empiris tentang pengaruh metode pembayaran kapitasi puskesmas terhadap efisiensi teknis biaya dan sistem pelayanan kesehatan.

(8)

17

17 b. Sebagai masukan dalam pengembangan teori manfaat dana kapitasi, khususnya untuk memahami pengaruh tingkat efisiensi teknis biaya dan teknis sistem terhadap kinerja mutu puskesmas dalam penggunaan dana kapitasi.

E. Keaslian Penelitian

1. Penelitian mengenai efisiensi teknis anggaran kesehatan dalam mengevaluasi kinerja kebijakan publik bidang pelayanan kesehatan menggunakan 3 variabel telah banyak dilakukan, terutama sekali untuk melihat kebijakan kesehatan di negara-negara berkembang.

a. Jafarov dan Gunnarson, (2008) melakukan penelitian di Kroasia yang berjudul, Government Spending on Health Care and Education in Croatia: Efficiency and Reform Options. Hasil penelitian tersebut menyebutkan telah terjadi inefisiensi yang signifikan dalam teknis biaya pengeluaran kesehatan di Negara Kroasia pada tahun 2007. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan Jafarov dan Gunnarson adalah analisis efisiensi anggaran kesehatan pada pelayanan primer dengan metode analisis DEA menggunakan variabel input, intermediate output dan output. Adapun perbedaannya adalah penggunaan indikator kinerja pelayanan primer, penelitian ini menggunakan indikator kinerja puskesmas dalam penggunaan dana kapitasi, sementara penelitian Jafarov menggunakan indikator derajat kesehatan masyarakat.

b. Almekinders et al., (2007), melakukan penelitian di Negara Mesir mengenai tingkat efisiensi dalam pengeluaran biaya kesehatan Pemerintah Mesir. Marijn et al., (2007), melakukan penelitian yang dilakukan di Negara maju dalam hal ini G7. Kedua penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu pada penggunaan metode analisis DEA dengan 3 variabel, yakni variabel input, intermediate output dan output. Berbeda pada bidang unit penelitian dimana Almekinders dan Marijn meneliti pada seluruh institusi kesehatan pemerintah sementara penelitian ini hanya pada puskesmas.

(9)

18

18 2. Penelitian mengenai efisiensi teknis dalam penggunaan anggaran dan

pelayanan kesehatan:

a. Roberts et al., (2004), menulis mengenai efisiensi teknis dalam penggunaan pelayanan kesehatan dengan membandingkan negara-negara OECD. Tulisan tersebut menganalisa bagaimana negara-negara OECD meng-utilisasi input kesehatan dengan cara yang paling efisien dan menghasilkan output maksimal dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Input yang digunakan terdiri dari dua kategori yaitu input kesehatan dan input sosial berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan single input dan multi output. Namun, sama–sama menganalisis efisiensi teknis sistem pada pelayanan kesehatan dengan metode analisis DEA.

b. Afonso et al., (2005) menganalisis efisiensi teknis pengeluaran publik untuk kesehatan dengan berfokus pada negara-negara OECD dan menggunakan teknik non-parametrik. Penelitian tersebut menemukan bahwa sektor kesehatan, nilai atau skor efisiensi sangat bervariasi di seluruh negara-negara OECD, hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa negara-negara tersebut memiliki kebutuhan input yang berbeda untuk mencapai tingkat output yang sama, tergantung pada kepadatan populasi atau tingkat perkembangan ekonomi bahkan di bawah pelayanan publik yang efisien. Persamaan penelitian yang dilakukan Afonso dengan penelitian ini adalah analisis efisiensi anggaran biaya kesehatan dengan metode analisis DEA, namun berbeda pada penggunaan variabel output. c. Yatiman dan Pujiyono (2013), melakukan penelitian efisiensi teknis

anggaran belanja sektor kesehatan Pemerintah DI Yogyakarta dengan metode DEA. Penghitungan nilai efisiensi teknis dilakukan dengan menggunakan tiga variabel, yaitu variabel input, variabel intermediate output, dan variabel output. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum selama periode penelitian pemerintah kabupaten/kota di Provinsi DIY masih mengalami inefisiensi dalam teknis biaya kesehatan di masing-masing daerahnya. Persamaan penelitian ini terhadap peneliti lakukan

(10)

19

19 adalah pengunaan 3 variabel untuk mengukur nilai efisiensi teknis. Perbedaannya adalah lokasi dan jenis input yang digunakan.

3. Penelitian tentang hubungan pembayaran kapitasi terhadap kinerja provider/ dokter di Indonesia pernah dilakukan oleh Hendrartini (2010) yang berjudul “Model Kinerja Dokter dengan Pembayaran Kapitasi dalam Program Asuransi Kesehatan”, hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan terhadap pembayaran kapitasi tidak mempengaruhi kinerja dokter secara langsung, tetapi mempunyai pengaruh tidak langsung melalui sikap sebagai variabel perantara dapat mengkoreksi pengaruh negatif dari kepuasan terhadap kinerja. Beda penelitian ini dengan penelitian di atas adalah: Subyek pada penelitian diatas mengambil dokter primer yang menerima dana kapitasi dan metode FFS, sedangkan pada penelitian ini subyeknya adalah puskesmas milik pemerintah yang memperoleh dana kapitasi. Sama-sama menggunakan variabel kepuasan pasien, angka utilisasi dan angka tingkat rujukan sebagai indikator kinerja.

Gambar

Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita                                                                                        Kabupaten/Kota di Provinsi D.I
Tabel 1.2 Nilai Efisiensi Teknis Biaya Anggaran Sektor Kesehatan                         Berdasarkan Kabupaten/Kota di Propinsi D.I Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

pada kenyataannya sama dengan mendekati suatu harga tertentu melalui garis lurus.  Untuk memperbaiki

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh PT CDM Indonesia Jaya 6) dinyatakan bahwa pembangunan proyek PLTMH ini tidak layak secara ekonomis dengan alasan keuntungan dari

Jawa Timur menjadi wilayah yang paling potensial untuk dijadikan lokasi berdirinya pabrik ini karena kedua bahan baku tersebut dapat diperoleh dari PT Petro Jordan Abadi

Sehingga untuk meningkatkan kualitas manusia di masa yang akan datang, kita diperlukan untuk memperhatikan kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat anak usia

Latar Belakang dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi stres, yang dapat menyebabkan penyakit fisik dan tekanan psikologis yang telah diinvestigasi dan terjadi di

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam tentang insentif passive income di PT.K-link dan sehubungan dengan fenomena yang

AMOR AMOR AMOR AMOR AMOR AMOR -- #IAH #IAH  A  AANG ANG #ANUNG #ANUNG #ANUNG #ANUNG ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI ROTI -- USIN USIN ULING ULING

Kriteria untuk setiap nilai resiko dalam matriks penilaian resiko dipergunakan untuk menentukan bisa atau tidaknya suatu resiko dapat diterima atau tindakan yang