• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOTAL POPULASI MIKROBA DAN AKTIVITAS PROTEASE PADA TANAH GAMBUT DI CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL - BUKIT BATU RIAU.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TOTAL POPULASI MIKROBA DAN AKTIVITAS PROTEASE PADA TANAH GAMBUT DI CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL - BUKIT BATU RIAU."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

TOTAL POPULASI MIKROBA DAN AKTIVITAS PROTEASE PADA TANAH GAMBUT DI CAGAR BIOSFER GIAM SIAK KECIL - BUKIT BATU RIAU

Siti Marliyana1*, Delita Zul2, Bernadeta Leni Fibriarti2 e-mail: marleysite@yahoo.com

1

Mahasiswa Program S1 Biologi FMIPA-UR

2

Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Bina Widya Pekanbaru, 28293, Indonesia

ABSTRACT

Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere Reserve is one of peatland areas located in Riau Province that consist of conserved area and productive area. Most of these areas have been changed as oil palm plantation, industrial forest plantation, agriculture, and settlement. This research aim was to analyze land use change affect to microbial cells in GSK-BB Biosphere Reserve by analyzing physical and chemical characteristics of soil, quantifying microbial cells and determinating of protease activity. Physical and chemical characteristics of soil were measured by employing standard methods, microbial cells was quantified by using of total plate count method and protease activity was measured by using colorimetric method. Soil samples were taken from six different locations, namely primary forests (as a control), secondary forest, 14 years old rubber plantation, 40-60 years old rubber forests, 12 years old palm oil plantation, and 3 years old oil palm plantation. Soil physical and chemical characteristics varied in every location ranging from 3,5 for soil pH; temperature 28,25-31,25oC; dry weight 14,70-34,70%; bulk density 0,08-0,38 g/cm3 and soil conductivity 8,75-20,5 me/100 g. Copiotropic bacterial cell number ranges from 7,05±0,85x104- 44±6,48x104 CFU/g soil.Oligotropic bacterial cell number ranges from 10,5±0,57x104 -40,0±2,16x104 CFU/g soil. Proteolytic bacterial cell number ranges from 0,5±0,08x104 -4,6±0,53x104 CFU/g soil. Fungal cell number ranges from 2,42±0,78x103- 16,0±2,94x103 CFU/g soil. Actinomycetes cell number ranges from 4,00±1,15x103 - 9,25±1,70x103 CFU/ g soil. Protease activity ranges from 2,28-5,78 g tyrosine/ g soil/ hour. The results of this research show that land use changes influence the dry weight, bulk density, soil conductivity and microbial cells number.

Keyword: Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) Biosphere Reserve, land use, microbial cells number, protease

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki lahan gambut seluas 21 juta ha yang merupakan lahan gambut terluas diantara negara tropis yang tersebar terutama di daerah Sumatra, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SLDP 2008). Menurut Wahyunto dan Heryanto (2005), Sumatra memiliki luas hutan rawa gambut mencapai 7,2 juta ha atau sekitar

(2)

2

35% dari total luas lahan rawa gambut yang ada di Indonesia. Berdasarkan sebaran gambut terluas, Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Sumatra yaitu 4,044 juta ha (Darajat 2006).

Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu (GSK-BB) merupakan salah satu lahan gambut di provinsi Riau yang merupakan perpaduan kawasan unik antara kawasan konservasi dan hutan produksi yang tidak dikonservasi. Sebagian besar lahan di kawasan tersebut sudah dialih fungsi menjadi areal perkebunan yang ditanami kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI) yang ditanami kayu pulp, lahan pertanian dan pemukiman.

Adanya aktivitas antropogenik yang mengakibatkan perubahan vegetasi lahan akan mempengaruhi kemelimpahan mikroba dan aktivitas eksoenzim tanah (Carney et

al. 2005). Keberadaan mikroba dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam

memonitor kualitas suatu ekosistem. Aktivitas eksoenzim dapat digunakan sebagai indikator awal dari perubahan kualitas tanah. Salah satu eksoenzim tanah tersebut adalah protease. Protease merupakan salah satu enzim yang terlibat di dalam siklus nitrogen (N) dan memainkan peranan penting di tanah yaitu dalam proses mineralisasi nitrogen (N) (Ladd dan Jackson 1982). Oleh karena itu perlu diketahui informasi mengenai dampak alih fungsi lahan terhadap total populasi mikroba yang meliputi bakteri, jamur dan aktinomisetes serta aktivitas protease di lahan gambut Cagar Biosfer GSK-BB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak alih fungsi lahan terhadap karakter fisika kimia tanah, total populasi mikroba yang meliputi bakteri, jamur, dan aktinomisetes serta aktivitas protease di Cagar Biosfer GSK-BB.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai dengan Juni 2012 di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA UR dan Laboratorium Pengujian dan Analisa Kimia Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UR. Sampel tanah gambut diambil dari kawasan Cagar Biosfer (GSK-BB), Provinsi Riau. Sampel tanah diambil dari enam lokasi yang berbeda dengan menggunakan metode purposive sampling. Lokasi pengambilan sampel meliputi hutan primer, hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, kebun sawit umur 3 tahun, dan kebun sawit umur 12 tahun.

Penelitian ini diawali dengan pengukuran karakter fisika kimia tanah yang meliputi pH, temperatur, berat kering tanah, berat volume tanah, dan konduktifitas tanah dengan menggunakan metode Anderson dan Ingram (1992). Total populasi mikroba dihitung dengan metode total plate count (TPC) (Enriquez et al. 1995). Aktivitas protease diukur menggunakan metode kolorimetri (Kandeler 1996).

Hasil pengukuran karakter fisika kimia tanah disajikan dalam bentuk tabel. Data penghitungan total populasi mikroba yang meliputi bakteri, jamur dan aktinomisetes dan aktivitas protease tanah ditampilkan dalam bentuk grafik. Data dianalisis secara statistik menggunakan one way ANOVA dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference) pada taraf nyata 5%.

(3)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Fisika Kimia Tanah Gambut

Karakter fisikia kimia tanah gambut meliputi pH, temperatur, berat kering tanah, berat volume tanah, dan konduktifitas tanah. Data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakter Fisika dan Kimia Tanah Gambut

Lokasi Temperatur (oC) Berat Kering (%) Berat Volume (g/cm3) Konduktifitas Tanah (me/100 g) Tingkat Dekomposisi* Hutan Primer 28,25±0,50 14,70±1,09 0,38±0,06 11,5±4,51 Saprik Hutan Sekunder 28,50±0,58 16,00±4,02 0,32±0,03 8,75±3,59 Saprik Kebun Karet (14 thn) 30,50±0,58 30,45±1,28 0,17±0,05 14,25±1,5 Hemik Hutan Karet (40-60 thn) 28,50±0,58 22,50±1,43 0,34±0,05 20,5±1,29 Saprik Kebun Sawit (3 thn) 31,25±1,73 28,85±3,39 0,08±0,05 10,5±5,57 Fibrik Kebun Sawit (12 thn) 28,75±0,50 34,70±2,80 0,200,05 15,0±8,12 Hemik

Keterangan: *= Berdasarkan Soil Survey Staff (1999) cit Dengiz et al. (2009)

Derajat keasaman berada dalam kondisi tingkat kemasaman yang tinggi dengan nilai pH 3,5. Tingginya kemasaman pH tanah gambut dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi ion H+ sebagai hasil dari proses dekomposisi bahan organik secara anaerob oleh mikroba tanah seperti bakteri dan fungi yang menghasilkan asam-asam humik (Suwondo 2002).

Temperatur tanah gambut berkisar antara 28,25-31,25oC. Temperatur tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun sedangkan temperatur terendah terdapat pada lokasi hutan primer. Tingginya temperatur pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun, dapat disebabkan karena pada lokasi ini telah terjadi penebangan vegetasi yang menyebabkan kanopinya terbuka sehingga cahaya matahari langsung terpapar tanah. Sementara itu, rendahnya temperatur di lokasi hutan primer dapat disebabkan karena lokasi ini masih ditutupi kanopi yang rapat sehingga penutupan kanopi ini akan mengurangi evaporasi dan menjaga temperatur tanah (Maftu’ah et al. 2005).

Berat kering tanah gambut berkisar antara 14,70-34,70%. Berat kering tanah tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit umur 12 tahun dan berat kering tanah terendah terdapat pada lokasi hutan primer. Tingginya berat kering tanah pada lokasi kebun sawit umur 12 tahun dapat disebabkan karena adanya aktivitas antropogenik berupa pembukaan lahan gambut menjadi lahan sawit. Lahan gambut yang sudah dibuka akan mengalami penurunan kandungan air secara berlebihan (Barkah et al. 2009). Sementara itu, rendahnya nilai berat kering tanah pada lokasi hutan primer kemungkinan disebabkan karena lokasi lahan masih alami, belum ada aktivitas antropogenik yang menyebabkan gangguan sehingga kandungan airnya masih tinggi.

Berat volume tanah gambut berkisar antara 0,08-0,38 g/cm3. Berat volume tanah tertinggi terdapat pada lokasi hutan primer dan berat volume tanah terendah terdapat pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun. Rendahnya nilai berat volume tanah pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun kemungkinan disebabkan karena adanya alih fungsi lahan, dengan cara dibakar dan dikeringkan kemudian ditanami dengan sawit. Laiho et al.

(4)

4

(2004) menyebutkan, adanya proses pengeringan pada saat pengolahan lahan akan mengakibatkan hilangnya unsur-unsur tanah, sedangkan pembakaran lahan akan menghasilkan sisa pembakaran dalam bentuk abu dan arang. Hal inilah yang diduga menyebabkan rendahnya nilai berat volume tanah yang didapat.

Berdasarkan pengukuran berat volume tanah, tingkat dekomposisi material organik tanah gambut dapat ditentukan. Berdasarkan klasifikasi tingkat dekomposisi material organik tanah gambut oleh Soil Survey Staff dalam Dengiz et al. (2009) menunjukkan bahwa tingkat dekomposisi tanah gambut Cagar Biosfer GSK-BB pada 6 lokasi pengambilan sampel tanah diperoleh hasil yang bervariasi. Variasi tingkat dekomposisi yang diperoleh mewakili semua jenis tingkat dekomposisi material organik tanah gambut yaitu fibrik, hemik dan saprik. Tingkat dekomposisi gambut jenis fibrik diperoleh pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun. Tingkat dekomposisi jenis hemik diperoleh pada lokasi kebun karet 14 tahun dan kebun sawit umur 12 tahun. Tingkat dekomposisi jenis saprik diperoleh pada lokasi hutan primer, hutan sekunder, dan hutan karet umur 40-60 tahun.

Konduktifitas tanah gambut berkisar antara 8,75-20,5 me/100 g. Lokasi hutan karet umur 40-60 tahun memiliki nilai konduktifitas tanah tertinggi dan lokasi hutan sekunder memiliki nilai konduktifitas tanah terendah. Menurut Hardjowigeno (1996), nilai konduktifitas tanah gambut umumnya sangat tinggi yaitu 90-200 me/100 g dengan tingkat kejenuhan basa yang rendah. Umumnya, nilai konduktifitas tanah yang tinggi dipengaruhi oleh kandungan bahan organik. Rendahnya nilai konduktifitas tanah yang didapat diduga karena tidak adanya pemasukan bahan organik dari luar yang dapat meningkatkan nilai konduktifitas tanah. Menurut Sudaryono (2009), rendahnya nilai konduktifitas tanah ini secara langsung dan tidak langsung juga dipengaruhi oleh reaksi tanah yang sangat masam.

Total Populasi Mikroba Tanah Gambut

Total populasi mikroba yang dihitung dari sampel tanah yang diperoleh dari Cagar Biosfer GSK-BB meliputi bakteri kopiotrof, bakteri oligotrof, bakteri proteolitik, jamur dan aktinomisetes (Tabel 2). Pada hasil penelitian ini dapat dilihat secara umum bahwa pada semua lokasi total populasi bakteri lebih tinggi bila dibandingkan dengan total populasi jamur dan aktinomisetes.

Tabel 2. Kisaran Nilai Total Populasi Mikroba Tanah Gambut dari Enam Lokasi Pengambilan Sampel di Cagar Biosfer GSK-BB

Kelompok Mikroba Kisaran Nilai Populasi Mikroba (CFU/g tanah) Bakteri Kopiotrof 7,05±0,85x104 - 44±6,48x104 Bakteri Oligotrof 10,5±0,57x104 - 40,0±2,16x104 Bakteri Proteolitik 0,5±0,08x104 - 4,6±0,53x104 Aktinomisetes 4,00±1,15x103 - 9,25±1,70x103 Jamur 2,42±0,78x103 - 16±2,94x103

Total Populasi Bakteri

Total populasi bakteri yang dihitung dari sampel tanah gambut di Cagar Biosfer GSK-BB meliputi bakteri kopiotrof, bakteri oligotrof, dan bakteri proteolitik.

(5)

5

Berdasarkan kebutuhan nutrisinya, bakteri dibedakan menjadi dua kelompok yaitu bakteri kopiotrof yang merupakan kelompok bakteri yang mampu hidup dan berkembang biak pada kondisi yang kaya nutrisi, dan bakteri oligotrof yang merupakan kelompok bakteri yang mampu hidup pada kondisi lingkungan yang miskin nutrisi (Hu

et al. 1999; Langer et al. 2004; Yoshida et al. 2007). Selain itu, terdapat kelompok

bakteri proteolitik yang merupakan kelompok bakteri yang memproduksi enzim protease ekstraselular dan berperan dalam reaksi pemecahan protein.

Total populasi bakteri kopiotrof dari enam lokasi pengambilan sampel tanah berkisar antara 7,05±0,85x104 - 44±6,48x104 CFU/g tanah. Total populasi bakteri tertinggi diperoleh pada hutan karet umur 40-60 tahun dan yang terendah pada lokasi hutan primer (Gambar 1).

Gambar 1. Total populasi bakteri tanah gambut di berbagai lokasi pengambilan sampel 1. Hutan primer, 2. Hutan sekunder, 3. Kebun Karet umur 14 th, 4. Hutan Karet umur 40-60 th, 5. Kebun Sawit umur 3 th, 6. Kebun Sawit umur 12 th.

Tingginya nilai total populasi bakteri kopiotrof pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun kemungkinan terkait dengan sistem perakaran karet yang ekstensif/menyebar luas. Dengan sistem perakaran tersebut memungkinkan ketersediaan substrat dan suplai makanan yang melimpah bagi bakteri tanah. Selain itu, adanya sekresi metabolit oleh akar tanaman juga akan meningkatkan ketersediaan nutrisi di tanah. Proses dekomposisi serasah-serasah yang berasal dari vegetasi tanaman-tanaman yang ada di hutan karet umur 40-60 tahun ini diduga juga memberikan kontribusi terhadap ketersediaan nutrisi yang tinggi bagi pertumbuhan bakteri. Kondisi yang aerob akibat alih fungsi lahan di lokasi ini menjadi salah satu faktor pendukung lajunya proses dekomposisi, sehingga ketersediaan nutrisi menjadi tinggi. Sementara itu rendahnya total populasi bakteri kopiotrof pada lokasi hutan primer kemungkinan disebabkan karena ketersediaan unsur hara yang rendah karena belum ada aktivitas pengolahan lahan. Di samping itu, kondisi yang anaerob menyebabkan laju dekomposisi yang menghasilkan suplai nutrisi bagi pertumbuhan bakteri berlangsung lambat.

Variasi total populasi bakteri kopiotrof yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan one way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Hasil analisis menunjukkan bahwa total populasi bakteri kopiotrof 6 lokasi pengambilan sampel berbeda nyata dengan nilai signifikan

0,0E+00 1,0E+05 2,0E+05 3,0E+05 4,0E+05 5,0E+05 6,0E+05 1 2 3 4 5 6 To ta l Po p u la si B a k te ri (CFU/g ta n a h )

Lokasi Pengambilan Sampel

(6)

6

0,000 (p<0,05). Signifikansi dari total populasi bakteri kopiotrof dari enam lokasi pengambilan sampel kemudian di analisis lebih lanjut menggunakan uji LSD. Hasil uji LSD disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai perbedaan sistem alih fungsi lahan terhadap total populasi bakteri kopiotrof dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Karet (14 th) Hutan Karet (40-60 th) Kebun Sawit (3 th) Kebun Sawit (12 th) Hutan Primer - 0,019* 0,000* 0,000* 0,000* 0,003* Hutan Sekunder - 0,059 NS 0,000* 0,041* 0,373 NS Kebun Karet (14 th) - 0,023* 0,850 NS 0,286 NS Hutan Karet (40-60 th) - 0,034* 0,002* Kebun Sawit (3 th) - 0,213 NS Kebun sawit (12 th) -

Keterangan: *signifikan NS: non signifikan

Hasil uji LSD menunjukkan bahwa lokasi hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, kebun sawit umur 12 tahun dan kebun sawit umur 3 tahun berbeda nyata dengan lokasi hutan primer sebagai kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan memberikan pengaruh nyata terhadap total populasi bakteri kopiotrof. Artinya terdapat perbedaan antara lokasi yang belum mengalami gangguan dengan lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan dapat menyebabkan perubahan jumlah bakteri di tanah.

Total populasi bakteri oligotrof pada hasil penelitian ini berkisar antara 10,5±0,57x104 - 40,0±2,16x104 CFU/g tanah. Total populasi bakteri tertinggi terletak pada lokasi kebun karet umur 14 tahun dan populasi bakteri terendah terletak pada lokasi hutan primer (Gambar 1).Tingginya nilai total populasi bakteri oligotrof pada lokasi kebun karet umur 14 tahun kemungkinan terkait dengan sistem perakaran karet yang menyebar luas sehingga menyebabkan ketersediaan nutrisi yang tinggi bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu, lokasi ini memiliki tingkat dekomposisi gambut hemik yang memiliki konsentrasi bahan organik sedang. Kondisi ini berdampak bagi bakteri oligotrof yang terbiasa hidup pada kondisi miskin nutrisi sehingga mempengaruhi laju pertumbuhannya. Rendahnya total populasi bakteri oligotrof pada lokasi hutan primer kemungkinan disebabkan karena pada lokasi ini ketersediaan nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan bakteri cukup rendah terkait dengan kondisi hutan primer yang anaerob.

Variasi total populasi bakteri oligotrof yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan one way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan di Cagar Biosfer GSK-BB terhadap total populasi bakteri oligotrof. Hasil analisis menunjukkan bahwa total populasi bakteri oligotrof dari 6 lokasi pengambilan sampel berbeda nyata dengan nilai signifikan 0,004 (p<0,05). Signifikansi dari total populasi bakteri oligotrof pada enam lokasi pengambilan sampel kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan uji LSD. Hasil uji lanjut LSD disajikan pada Tabel 4.

(7)

7

Tabel 4. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi bakteri oligotrof dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Karet (14 th) Hutan Karet (40-60 th) Kebun Sawit (3 th) Kebun Sawit (12 th) Hutan Primer - 0,038* 0,000* 0,002* 0,001* 0,002* Hutan Sekunder - 0,051 NS 0,180 NS 0,109 NS 0,192 NS Kebun Karet (14 th) - 0,495 NS 0,691 NS 0,473 NS Hutan Karet (40-60 th) - 0,773 NS 0,971 NS Kebun Sawit (3 th) - 0,745 NS Kebun sawit (12 th) -

Keterangan: *signifikan NS: non signifikan

Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa lokasi hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, kebun sawit umur 12 tahun dan kebun sawit umur 3 tahun memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan lokasi hutan primer sebagai kontrol. Artinya terdapat perbedaan antara lahan yang belum mengalami gangguan dengan lahan yang telah mengalami alih fungsi sehingga mempengaruhi total populasi bakteri oligotrof di tanah.

Kemampuan bakteri dalam beradaptasi pada kondisi miskin nutrisi dapat dilihat dari rasio bakteri oligotrof dengan kopiotrof. Rasio bakteri oligotrof/kopiotrof tertinggi terdapat pada lokasi hutan primer yaitu 1,49 dan rasio terendah terdapat pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun yaitu 0,39 . Nilai rasio bakteri yang tinggi menunjukkan bahwa lokasi tersebut didominasi oleh bakteri oligotrof. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan pada lokasi tersebut stabil dengan ketersediaan substrat rendah. Menurut Nielsen dan Winding et al. (2002), jika rasio bakteri oligotrof/kopiotrof rendah, berarti didominasi oleh bakteri kopiotrof yang menandakan bahwa kondisi lingkungan tersebut mendapatkan tambahan bahan organik secara regular.

Tabel 5. Rasio Bakteri Oligotrof/Kopiotrof di Cagar Biosfer GSK - BB

Lokasi Rasio Bakteri

Oligotrof/Kopiotrof (x104 CFU/g tanah) Hutan Primer 1,49 Hutan Sekunder 1,26 Kebun Karet (14 th) 1,29 Hutan Karet (40-60 th) 0,39 Kebun Sawit (12 th) Kebun Sawit (3 th) 1,39 1,16

Total populasi bakteri proteolitik berkisar antara 0,5±0,08x104 - 4,6±0,53x104 CFU/g tanah (Gambar 1). Populasi bakteri proteolitik tertinggi terdapat di dua lokasi yaitu lokasi hutan karet umur 40-60 tahun 4,6±0,68x104 CFU/g tanah dan lokasi kebun sawit umur 3 tahun 4,6±0,53x104, sedangkan total populasi terendah pada lokasi hutan primer 0,5±0,08x104 CFU/g tanah. Total populasi bakteri proteolitik pada lokasi yang telah mengalami alih fungsi lahan akibat aktivitas antropogenik lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi yang belum mengalami gangguan. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem pembukaan lahan. Lahan gambut yang mengalami pembukaan,

(8)

8

pembentukan drainase/kanal dan pembakaran dapat meningkatkan ketersediaan oksigen yang diperlukan bagi mikroba tanah sehingga populasi mikroba tanah akan mengalami peningkatan (Najiyati et al. 2005). Selain itu, ketersediaan nutrisi di dalam tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Mikroba pendegradasi protein sangat membutuhkan bahan organik sebagai sumber energinya. Jika ketersediaan bahan organik di suatu lahan sedikit maka akan berpengaruh pada pertumbuhan mikroba pendegradasi protein (Paramitha 2011).

Variasi total populasi bakteri proteolitik yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan one way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan di Cagar Biosfer GSK-BB terhadap total populasi bakteri proteolitik. Hasil analisis menunjukkan bahwa total populasi bakteri proteolitik dari 6 lokasi pengambilan sampel berbeda nyata dengan nilai signifikan 0,000 (p<0,05). Signifikansi dari total populasi bakteri proteolitik pada enam lokasi pengambilan sampel kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan uji LSD. Hasil uji lanjut LSD disajikan pada Tabel 5.

Tabel 6. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi bakteri proteolitik dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Karet (14 th) Hutan Karet (40-60 th) Kebun Sawit (3 th) Kebun Sawit (12 th) Hutan Primer - 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* 0,000* Hutan Sekunder - 0,000* 0,682 NS 0,682 NS 0,017* Kebun Karet (14 th) - 0,000* 0,000* 0,030* Hutan Karet (40-60 th) - 1,000 NS 0,000 Kebun Sawit (3 th) - 0,007* Kebun Sawit (12 th) -

Keterangan: *signifikan NS: non signifikan

Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa pada lokasi hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, kebun sawit umur 12 tahun dan kebun sawit umur 3 tahun memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan lokasi hutan primer sebagai kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan meningkatkan total populasi bakteri proteolitik di tanah. Lokasi yang belum pernah mengalami aktivitas antropogenik masih tergolong relatif stabil untuk pertumbuhan populasi bakteri dibandingkan dengan lokasi lain yang telah mengalami gangguan atau alih fungsi lahan yang dapat memberikan pengaruh yang signifikan berupa peningkatan terhadap total populasi bakteri proteolitik di tanah.

Total Populasi Jamur

Total populasi jamur pada enam lokasi pengambilan sampel disajikan pada (Gambar 2). Total populasi jamur yang diperoleh berkisar antara 2,42±0,78x103 -16,0±2,94x103 CFU/g tanah. Total populasi jamur tertinggi diperoleh pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun dan terendah pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun.

(9)

9

Gambar 2. Total populasi jamur tanah gambut di berbagai lokasi pengambilan sampel. 1. Hutan primer, 2. Hutan sekunder, 3. Kebun Karet umur 14 th, 4.Hutan Karet umur 40-60 th, 5. Kebun Sawit umur 3 th, 6. Kebun Sawit umur 12 th.

Tingginya populasi jamur di lokasi kebun sawit umur 3 tahun kemungkinan disebabkan karena adanya sejarah lahan terbakar, dimana pembukaan lahan dilakukan dengan proses pembakaran. Abu sisa hasil pembakaran tersebut akan meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah sehingga menjadi nutrisi bagi perkembangan jamur. Berdasarkan tingkat dekomposisi gambut, lokasi ini memiliki tingkat dekomposisi gambut jenis fibrik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Martani (2005) pada tanah gambut di Pangkoh Kalimantan Tengah yang memperoleh total populasi jamur lebih tinggi pada gambut fibrik dibandingkan dengan gambut saprik dan hemik yaitu 0,8x106 CFU/g tanah. Karakteristik tanah dan perbedaan dalam tingkat dekomposisi akan menentukan kerapatan dan dominasi jamur di tanah. Konsentrasi bahan organik gambut fibrik lebih tinggi bila dibandingkan dengan gambut saprik. Lokasi hutan karet umur 40-60 tahun memiliki tingkat dekomposisi gambut saprik. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan total populasi jamur di lokasi ini rendah. Di samping itu, kondisi yang aerob pada lokasi ini juga mempengaruhi pertumbuhan jamur. Pada umumnya, jamur lebih menyukai kondisi pertumbuhan yang anaerob.

Variasi total populasi jamur yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan

one way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan di Cagar Biosfer GSK-BB

terhadap total populasi jamur. Hasil analisis one way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tehadap total populasi jamur dari 6 lokasi pengambilan sampel dengan nilai signifikan 0,000 (p<0,05). Signifikansi dari total populasi jamur pada enam lokasi pengambilan sampel kemudian di analisis lebih lanjut menggunakan uji LSD. Hasil uji LSD disajikan pada Tabel 6. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa hanya dua lokasi yaitu hutan karet umur 40-60 tahun dan kebun sawit umur 12 tahun yang berbeda nyata dengan lokasi hutan primer sebagai kontrol, sedangkan lokasi hutan sekunder, kebun karet 14 tahun, dan kebun sawit 12 tahun tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pada kedua lokasi tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap total populasi jamur. Sementara itu, lokasi lainnya yang telah mengalami alih fungsi lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi populasi jamur di tanah.

0,0E+00 5,0E+03 1,0E+04 1,5E+04 2,0E+04 1 2 3 4 5 6 T o ta l P o pu la si J a m ur (CF U/g T a na h)

(10)

10

Tabel 7. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi jamur dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Karet (14 th) Hutan Karet (40-60 th) Kebun Sawit (3 th) Kebun Sawit (12 th) Hutan Primer - 0,424 NS 0,463 NS 0,000* 0,001* 0,453 NS Hutan Sekunder - 0,134 NS 0,000* 0,000* 0,130 NS Kebun Karet (14 th) - 0,000* 0,006* 0,987 NS Hutan Karet (40-60 th) - 0,000* 0,000* Kebun Sawit (3 th) - 0,007* Kebun sawit (12 th) -

Keterangan: *signifikan NS: non signifikan

Total populasi aktinomisetes pada penelitian ini berkisar antara 4,00±1,15x103 - 9,25±1,70x103 CFU/g tanah. Total populasi aktinomisetes tertinggi diperoleh pada lokasi hutan sekunder dan terendah pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun. Total populasi aktinomisetes pada enam lokasi pengambilan sampel disajikan pada (Gambar 3).

Gambar 3. Total populasi aktinomisetes tanah gambut di berbagai lokasi pengambilan sampel. 1. Hutan primer, 2. Hutan sekunder, 3. Kebun Karet umur 14 th, 4. Hutan Karet umur 40-60 th, 5. Kebun Sawit umur 3 th, 6. Kebun Sawit umur 12 th.

Pada umumnya, aktinomisetes cenderung hidup dalam kondisi yang kelembabannya rendah (Ambarwati 2007). Tingginya populasi aktinomisetes di lokasi hutan sekunder kemungkinan disebabkan karena di lokasi ini banyak terdapat aktinomisetes yang toleran terhadap lingkungan yang ekstrem seperti kondisi anaerob sehingga menyebabkan peningkatan jumlah populasi aktinomisetes.

Variasi total populasi aktinomisetes yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan one way ANOVA untuk melihat dampak alih fungsi lahan terhadap total populasi aktinomisetes. Hasil analisis one way ANOVA menunjukkan bahwa total populasi aktinomisetes dari 6 lokasi pengambilan sampel berbeda nyata dengan nilai signifikan 0,000 (p<0,05). Signifikansi dari total populasi aktinomisetes pada enam lokasi pengambilan sampel kemudian dianalisis lebih lanjut menggunakan uji LSD. Hasil uji LSD disajikan pada Tabel 7.

0,0E+00 2,0E+03 4,0E+03 6,0E+03 8,0E+03 1,0E+04 1,2E+04 1 2 3 4 5 6 T o ta l P o pu la si Ak tino m is et es (CF U/g ta na h)

(11)

11

Tabel 8. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi aktinomisetes dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Lokasi Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Karet (14 th) Hutan Karet (40-60 th) Kebun Sawit (3 th) Kebun Sawit (12 th) Hutan Primer - 0,000* 0,003* 0,630 NS 0,041* 0,001* Hutan Sekunder - 0,236 NS 0,000* 0,025* 0,472 NS Kebun Karet (14 th) - 0,001* 0,236 NS 0,630 NS Hutan Karet (40-60 th) - 0,015* 0,000* Kebun Sawit (3 th) - 0,104 NS Kebun sawit (12 th) -

Keterangan: *signifikan NS: non signifikan

Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa pada lokasi hutan sekunder, kebun karet umur 14 tahun, kebun sawit umur 12 tahun dan kebun sawit umur 3 tahun berbeda nyata dengan lokasi hutan primer sebagai kontrol, sedangkan lokasi hutan karet umur 40-60 tahun tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pada keempat lokasi tersebut memberikan pengaruh nyata terhadap total populasi aktinomisetes. Sementara itu, lokasi hutan karet umur 40-60 tahun yang telah mengalami alih fungsi lahan tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi populasi aktinomisetes di tanah.

Aktivitas Protease Tanah Gambut

Aktivitas protease disajikan pada (Gambar 4). Aktivitas protease pada 6 lokasi pengambilan sampel berkisar dari 2,28-5,78 g tirosin/g tanah/jam. Aktivitas tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun dengan dan aktivitas terendah terdapat pada lokasi hutan primer.

Gambar 4. Aktivitas protease tanah gambut di berbagai lokasi pengambilan sampel. 1. Hutan primer, 2. Hutan sekunder, 3. Kebun Sawit umur 3 th.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari ke enam lokasi pengambilan sampel, hanya tiga lokasi yang memiliki aktivitas protease yaitu lokasi hutan primer, hutan sekunder, dan kebun sawit umur 3 tahun. Sementara itu, tiga lokasi lainnya seperti kebun karet umur 14 tahun, hutan karet umur 40-60 tahun, dan kebun sawit umur 12 tahun tidak memiliki aktivitas protease sama sekali. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ketiga lokasi tersebut memiliki konsentrasi protein yang rendah di tanah sehingga aktivitas enzim ini juga menjadi sangat rendah. Menurut Weintraub dan Schimel (2005); Rejsek et al. (2008), aktivitas enzim protease di tanah dipengaruhi oleh

0 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 Ak tiv it a s P ro tea se (µg tiro sin/ g t a na h/ja m )

(12)

12

konsentrasi protein. Selain itu, faktor suhu dan pH tanah juga mempengaruhi aktivitas enzim ini. Aktivitas protease terendah terdapat pada lokasi hutan primer. Hal ini kemungkinan disebabkan karena lokasi ini memiliki ketersediaan substrat protein yang rendah akibat proses dekomposisi bahan organik yang berjalan lambat karena kondisi lingkungan yang anaerob. Proses dekomposisi berlangsung lebih cepat pada kondisi aerob dibandingkan dengan kondisi anaerob. Berbeda dengan lokasi kebun sawit 3 tahun yang mengalami sejarah lahan terbakar, memiliki tingkat aktivitas protease yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena sistem pengolahan lahan dengan cara pembakaran lahan dan penebangan vegetasi dapat mempengaruhi suhu tanah sehingga berdampak terhadap aktivitas enzim di tanah. Selain itu, kemungkinan tingginya ketersediaan bahan organik akibat proses pembakaran lahan juga mempengaruhi aktivitas enzim.

KESIMPULAN

Karakter fisika-kimia tanah bervariasi di setiap lokasi pengambilan sampel dimana temperatur 28,25-31,25oC, berat kering tanah 14,70-34,70%, berat volume tanah 0,08-0,34 g/cm3, dan konduktifitas tanah 8,75-20,5 me/100 g. Namun untuk pH tanah memiliki nilai yang sama yaitu 3,5 untuk setiap lokasi. Total populasi mikroba secara umum pada semua lokasi didominasi oleh bakteri. Total populasi bakteri kopiotrof berkisar yaitu 7,05±0,85x104 - 44±6,48x104 CFU/g tanah dengan total populasi tertinggi pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun dan terendah pada lokasi hutan primer. Total populasi bakteri oligotrof berkisar yaitu 10,5±0,57x104 - 40,0±2,16x104 CFU/g tanah dengan total populasi tertinggi pada lokasi kebun karet umur 14 tahun dan terendah pada lokasi hutan primer. Total populasi bakteri proteolitik berkisar yaitu 0,5±0,08x104 - 4,6±0,53x104 CFU/g tanah dengan total populasi tertinggi pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun dan kebun sawit umur 3 tahun dan terendah pada lokasi hutan primer. Total populasi jamur berkisar yaitu 2,42±0,78x103 - 16,0±2,94x103 CFU/g tanah dengan populasi tertinggi diperoleh pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun dan terendah pada lokasi hutan karet 40-60 tahun. Total populasi aktinomisetes berkisar yaitu 4,00±1,15x103 - 9,25±1,70x103 CFU/g tanah dengan populasi aktinomisetes tertinggi diperoleh pada lokasi hutan sekunder dan terendah pada lokasi hutan karet umur 40-60 tahun. Aktivitas protease tertinggi diperoleh pada lokasi kebun sawit umur 3 tahun sedangkan aktivitas protease terendah terdapat pada lokasi hutan primer.

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati. 2007. Studi Actinomycetes yang Berpotensi Menghasilkan Antibiotik dari Rhizosfer Tumbuhan Putri Malu (Mimosa pudica L.) dan kucing-kucingan (Acalypha indica L.). Jurnal Penelitian Sains & Teknologi 8(1): 1 – 14.

Anderson, J.M., Ingram, J.S.I. 1992. Tropical Soil Biology and Fertility a Handbook of

Methods. Second Edition. CAB International. UK.

Barkah, B.S., Sidiq, M. 2009. Panduan Penyekatan Parit/ Kanal dan Pengelolaan Bersama Masyarakat di Areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kab. Musi Banyuasin. Report No.20.TA.Final. MRPP: Sumatra Selatan.

(13)

13

BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian). 2008. Laporan tahunan 2008, Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Carney, K.M., P.A. Matson. 2005. Plant Communities, Soil Microorganisms, and Soil Carbon Cycling : Does Altering the World Belowground Matter to Ecosystem Functioning ? Ecosystems 8: 928-940.

Darajat, S. 2006. Konversi Lahan Gambut dan Perubahan Iklim. http://republika.co.id (tanggal akses: 20 Agustus 2011).

Dengiz, O., Ozaytekin, H.H., Cayci, G., Barran, A. 2009. Characteristics, Genesis and Classification of A Basin Peat Soil Under Negative Human Impact In Turkey.

Environmental Geology 56: 1057-1063.

Enriquez, G.L., Saniel, L.S., Matias, R.R., Garibay, G.I. 1995. General Microbiology

Laboratory Manual. University of the Philippines Press: Diliman.

Harjowigeno, S. 1996. Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian Suatu Peluang dan Tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni 1996.

Hu, S.J, AHC Van Bruggen, NJ, Grunwald. 1999. Dynamics of bacterial population in relation to carbon availability in residu-amended soil. Applied Soil Ecology 13:21-30.

Kandeler, E. 1996. Protease Activity. In: Schinner F, Ohlinger R, Kandeler E, Margesin R (Eds Methods in Soil Biology, Springer, Berlin/Heidelberg/New York). pp:165-168.

Ladd, J. N., Jackson, R.B. 1982. Biochemistry of Ammonification. In Nitrogen in Agricultural Soils, ed. F. J. Stevenson, American Society of Agronomy, Madison, WI. pp. 173-228.

Laiho, R., Pentilla, T., Laine, J. 2004. Variation in Soil Nutrient Concentrations and Bulk Density Within Peatland Forest Sites. Silva fennica 38(1): 29-41.

Langer, U., Livia, B., Frank, B. 2004. Classification of soil microorganism based on growth properties: a critical view of some commonly used terms. Journal Plant

Nutrition Soil Science 167:267-269.

Maftu’ah, E. Alwi, M., Willis, M. 2005. Potensi Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut. Bioscientiae 2(1): 1-14.

Martani, E. 2005. Fungal Diversity in Peat Soil from Pangkoh Central Kalimantan.

Jurnal Tanah Tropika 11(1): 39-46.

Najiyati, S., Muslihat, L., Suryadiputra, INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forest and

Peatland in Indonesia. Bogor. Wetlands International-Indonesia Programmed an

Wildlife Habitat Canada.

Nielsen, M.W., Winding, A. 2002. Microorganism as Indicators of Soil Health. Technical Report No.338. Denmark. National Environmental Research Institute. Paramitha, A.P. 2011. Keanekaragaman Mikrob Fungsional Tanah Pada Perakaran

Tebu Transgenik IPB1 di Lahan Percobaan PG Djatiroto PTPN XI, Lumajang, Jawa Timur. [Skripsi]. IPB,Program Sarjana.

(14)

14

Rejsek, K., Formanek, P., Pavelka, M. 2008. Estimation of Protease Activity in Soils at Low Temperatures by Casein Amendment and With Substitution of Buffer by Demineralized Water. Amino Acids, 35 : 411-417.

Sudaryono. 2009. Tingkat Kesuburan Tanah Ultisol Pada Lahan Pertambangan Batubara Sangatta, Kalimantan Timur. Jurnal Teknik Lingkungan 10(3): 337-346

Suwondo. 2002. Komposisi dan Keanekaragaman Mikroartropoda Tanah sebagai Bioindikator Karakteristik Biologi Pada Tanah Gambut. www.unri.ac.id/jurnal_natur/vol 4(2) suwondo.pdf.m

Wahyunto, B. Heriyanto. 2005. Sebaran Gambut dan Status Terkini di Sumatera. Dalam CCFPI, 2005. Prosiding Lokakarya Pemanfaatan Lahan Gambut Secara Bijaksana Untuk Manfaat Berkelanjutan. Pekanbaru. 31 Mei-1 Juni 2005. Wetlands International- Indonesia Programme. Bogor.

Weintraub, M.N., Schimel, J.P. 2005. Seasonal Protein Dynamics in Alaskan Arctic Tundra Soils. Soil Biology and Biochemistry 37 : 1469-1475.

Yoshida, N., Ohhata, N., Yoshino, Y., Katsuragi, T. 2007. Screening of Carbon dioxide-Requiring Extreme Oligotrophs From Soil. Biotechnology 71(11): 2830-2832.

Gambar

Gambar 1.    Total populasi bakteri tanah gambut di berbagai lokasi pengambilan    sampel 1
Gambar  2.  Total  populasi  jamur  tanah  gambut  di  berbagai  lokasi  pengambilan    sampel
Tabel 7. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi   jamur  dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%
Tabel 8. Nilai perbedaan sistem pengolahan lahan terhadap total populasi aktinomisetes  dengan uji lanjut LSD pada taraf uji 5%

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan dalam Kadar Pembiayaan Asas (BFR) boleh menyebabkan ansuran yang tinggi atau memanjangkan tempoh pembiayaan tetapi jumlah bayaran tidak boleh melebihi Harga Jualan

dibiarkan maka yang terjadi adalah kejadian DBD yang akan terus meningkat. Hujan mempengaruhi dengan dua cara yaitu menyebabkan turunnya temperatur dan naiknya kelembaban

Sumber data pada penelitian ini kepala sekolah, guru khusus membidangi program Adiwiyata, dokumen yang berkaitan tentang Adiwiyata dan siswa SDN 02 Gedong Hasil

Beberapa faktor yang melatar belakangi perencanaan saluran drainase di Kelurahan Benpasi Kabupaten Timor Tengah Utara ialah terjadi genangan yang diakibatkan oleh meluapnya air

Atur aliran air di dalam flume biarkan air mengalir melalui weir, ukur head diatas crested weir, catat volume aliran menggunakan pembacaan langsung flow meter,

Dari yield yang didapat maka dapat dihitung potensi selulosa TKKS dari total produksi kelapa sawit di Indonesia sebagai bahan baku bioplastik yang ramah lingkungan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat metilasi yang menentukan abnormalitas buah menggunakan Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) dan melihat

Perlakuan dosis pupuk Petroganik dan dosis pupuk N berpengaruh sangat nyata terhadap variabel pengamatan tinggi tanaman umur (40 dan 60) ht, jumlah buah persampel, berat