• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparasi Sistem Pembelajaran Berbasis Paham Keagamaan pada Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah di Kota Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Komparasi Sistem Pembelajaran Berbasis Paham Keagamaan pada Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah di Kota Makassar - Repositori UIN Alauddin Makassar"

Copied!
299
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPARASI SISTEM PEMBELAJARAN BERBASIS PAHAM KEAGAMAAN PADA PONDOK PESANTREN AN-NAHDLAH DAN PONDOK PESANTREN

WAHDAH ISLAMIYAH DI KOTA MAKASSAR

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan dan Keguruan

pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh

BADRUZZAMAN NIM: 80100310046

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

(2)

Mahasiswa yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Badruzzaman

NIM : 8010031046

Tempat/Tgl. Lahir : Lajoa, 28 Juni 1969

Prodi/Konsentrasi : Dirasah Islamiyah/Pendidikan dan Keguruan Program : Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Alamat : Jl. Abd. Kadir Perumahan Hartaco Indah Blok I.F No 8 Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan

Judul : Komparasi Sistem Pembelajaran Berbasis Paham Keagamaan pada Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah di Kota Makassar.

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa disertasi ini benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikasi, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka disertasi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 15 Agustus 2018 Penyusun,

(3)
(4)

iv

مسب

الله

نحمرلا

ميحرلا

ِتاَئِّيَس ْنِمَو اَنِسُفْ نَأ ِرْوُرُش ْنِم للهبا ُذْوُعَ نَو ،ُهُرِفْغَ تْسَنَو ُوُنْ يِعَتْسَنَو ُهُدَمَْنَ لله َدْمَْلْا َّنِإ

ََََ الله ِهِدَْْ َ ْنَم ،اَنِلاَمَْْأ

َولإ َلَ ْنَأ ُدَْْشَأ ،ُوَل َيِداَى ََََ ْلِلْضَُ ْنَمَو ُوَل َّلِضُم

ُوُلْوُسَرَو ُهُدْبَْ اًدَّمَُمُ َّنَأ ُدَْْشَأَو ،ُوَل َكَِْرَش َلَ ُهَدْحَو الله لَإ

Puji syukur ke hadirat Allah swt. atas segala rahmat dan hidayah yang telah

diberikan sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini telah selesai sesuai rencana.

Disadari bahwa selesainya disertasi ini tidak lepas dari hendak-Nya. Salawat dan

salam senantiasa terkirim kepada junjungan yang mulia Nabi Muhammad saw. yang

menerima surah al-‘Alaq sebagai awal perintah Tuhan kepada manusia untuk

membaca dan menulis kemudian mengajarkannya kepada umatnya.

Keberhasilan dalam penelitian ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan

semua pihak, karena itu apresiasi setinggi-tingginya sebagai tanda ucapan terima

kasih yang tak terhingga diberikan kepada mereka, antara lain:

1. Prof. Dr. Musafir Pabbabari, M.Si., selaku Rektor UIN Alauddin Makassar, dan

Prof. Dr. Mardan, M.Ag., Prof. Dr. H. Lomba Sultan, M.A., Prof. Siti Aisyah,

M.A., Ph.D., dan Prof. Hamdan Juhannis, M.A., P.h.D., masing-masing sebagai

Wakil Rektor I, II, III, dan IV., yang telah memberi kesempatan untuk

menempuh studi Program Doktor pada Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

2. Prof. Dr. Sabri Samin, M.Ag., selaku Direktur Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, dan Prof. Dr. H. Achmad Abu Bakar, M.Ag., selaku Wakil Direktur,

yang telah memberikan layanan akademik dalam proses perkuliahan dan

(5)

v

Kopromotor I dan II, yang dengan tulus membimbing, mencerahkan, dan

mengarahkan dalam melakukan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi

ini.

4. Prof Dr. H. Bahaking Rama, MS., Dr. Sitti Mania, M.Ag., dan Dr. Muzakkir, M.Pd.I, selaku penguji yang dengan tulus membimbing, mencerahkan, dan mengarahkan dalam melakukan penelitian dan penyelesaian penulisan disertasi ini.

5. Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah, Prof. Dr. H. Mappanganro, M.A., Prof. Dr. H. M. Natsir Mahmud, M.A., Prof. Dr. H. Abd. Rahman Getteng, Almarhum Prof. Dr.

H. Nasir A. Baki, M.A., Dr. Abdullah Renre, M.Ag., Prof. Dr. H. Ahmad M.

Sewang, M.A., Dr. Susdiyanto, M.Si., Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M.Ag.,

Prof. Drs. H. M. Rafii Yunus, M.A., Ph.D., Dr. H. Barsihan Nor, M.Ag., Prof.

Dr. Faisal Halim, M.Si., Dr. Muh. Rais, M.S., Prof. Dr. H. Bahaking Rama,

M.S., Prof. Dr. H. Ahmad Tolla, M.A., Dr. Andi Sukri Syamsuri S.Pd., M.Hum.

yang telah banyak mencurahkan ilmunya selama dalam proses perkuliahan.

6. Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar , Dr. H. Hamzah

Harun Al Rasid, M.Ag., beserta keluarga yang tidak pernah bosan

mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan disertasi secepat mungkin.

7. Kepala Perpustakaan Pascasarjana UIN Alauddin Makassar beserta para stafnya

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjam dan

menggunakan sejumlah literatur dalam rangka memenuhi keperluan penulisan

(6)

vi

harapan, dan doa yang tak terputus untuk keselamatan dan kesuksesan penulis.

Kepada istri tercinta Wahyuni Rahman, S.Pd., yang senantiasa mendampingi

dan memberi semangat serta Bapak dan Ibu mertua, Abdurrahman Mustari dan

St. Nurlia Sultan, paman penulis Drs. H. Muh. Sofyan BR, dan seluruh keluarga

yang telah banyak memberi dukungan dan doa.

9. Adik-adik yaitu Nurhamdah Badrun, S.Ag., Mukhlishah Badrun, S.T.,

Mumaerah Badrun, S.S., Abdul Gafur, S.T., dan Siti Hatifah Badrun, S, Kom.

beserta keluarga yang banyak memberikan perhatian serta kasih sayangnya

dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan disertasi.

10. Kawan dan sahabat karib penulis, Dr. Muh. Rais, M.S., Rosdiana Muas, S.Ag.,

M.Pd., Mujizatullah, S.Ag., M.Pd.I, Amiruddin, S.Ag., Asnandar Abubakar,

S.Kom., Baso Marannu, S.Pd., M.M., Abd. Rahman, S.Sos., M.Si., dan Israpil,

S.Sos., M.Si. yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk

mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan disertasi ini.

Akhirnya. semoga mereka mendapat pahala dan balasan terbaik dari di sisi

Allah swt. Mohon maaf atas segala kekurangan yang ditemukan dalam disertasi ini,

dan mohon maaf atas sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekhilafan.

Makassar, 31 Agustus 2018

(7)

vii

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN DISERTASI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN DAN SINGKATAN ... ix

DAFTAR TABEL ... xvii

ABSTRAK... ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1-22 A. Latar Belakang Masalah... ... 1

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ... 8

C. Rumusan Malasah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 21

BAB II TINJAUAN TEORETIS ... ... 23-112 A. Pondok Pesantren ... 22

B. Paham Keagamaan ... 33

C. Sistem Pembelajaran ... 43

D. Kerangka Konseptual ………. ... 111

BAB III METODOLOGIPENELITIAN……….. 113-121 A.Jenis dan Lokasi Penelitian... ... 113

B.Pendekatan Penelitian … ... 116

(8)

viii

F. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ……….. ... 120

G.Pengujian Keabsahan Data ……… ... 121

BAB IV PAHAM KEAGAMAAN DAN KOMPARASI SISTEM PEMBELA- JARAN PADA PONDOK PESANTREN AN-NAHDLAH DAN PONDOK PESANTREN WAHDLAH ISLAMIYAH…………. 122-241 A. Paham Keagamaan Pondok Pesantren An-Nahdlah……. ... 122

B. Paham Keagamaan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah ... 151

C. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pembelajaran Berbasis Paham Keagamaan di Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah ... 163

1. Persamaan Sistem Pembelajaran Paham Keagamaan ... 163

2. Perbedaan Sistem Pembelajaran Paham Keagamaan ... 176

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Sistem Pembelajaran Paham Keagamaan ... 203

BAB V PENUTUP . ……….. 242-248 A. Kesimpulan ... 242

B. Implikasi Penelitian ... 244

KEPUSTAKAAN ... 249

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 256

(9)

ix A.Transliterasi Arab-Latin

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasi ke dalam huruf Latin dapat dilihat pada tabel berikut:

1.

Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

(10)

x 2.

Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ا fatah A a

ا Kasrah i i

ا ammah u u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

ي ـ fatah dan ya>’ ai a dan i

و fatah dan wau au a dan u

Contoh:

ف َ ك : kaifa

ل و ْ : haula

3.

Maddah

(11)

xi

ا .... ا ى... fatah dan alif atau ya>’ a> a dan garis di atas

ى kasrah dan ya>’ i> i dan garis di atas

و ammah dan wau u> u dan garis di atas

Contoh:

تاي : ma>ta

ي ي ر : rama>

مَل : qi>la

ت و ً ٍ : yamūtu

4.

Ta>’ Marbū

t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup atau mendapat harakat fatah, kasrah, dan ammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah [h].\

Kalau pada kata yang berakhir dengan ta>’ marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta>’ marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h).

Contoh:

ل اف ط لأا ة ض و ر : rauah al-afa>l

ة ُ ٍ د ً ن ا ف ن ا ا

ة ه ض : al-madi>nah al-fa>ilah

(12)

xii

Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydi>d ( ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

ا َُّب ر : rabbana>

ا ُ ََّج َ : najjaina>

ُّك ح ن ا : al-aqq

ى ع َ : nu‚ima

َّو د ع : ‘aduwwun

Jika huruf ى ber-tasydi>d di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah ( ي ــ ), maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah msajadi i>.

Contoh:

ٌّي ه ع : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

ٌٌّ ب ر ع. : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

6.

Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf لا (alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

(13)

xiii

ة ف ط ه ف ن ا : al-falsafah

د لا ب ن ا : al-bila>du

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contoh:

ٌ و ري أ ت : ta’murūna

ع وَُّن ا : al-nau‘ ٌء ٌ ش : syai’un ت ر ي أ : umirtu

8.

Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

(14)

kata-xiv Fi> Z\\}ila>l al-Qur’a>n

Al-Sunnah qabl al-tadwi>n

9.

Lafz} al-Jala>lah

( الل)

Kata "Allah" yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mud}a>f ilaih (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

Contoh:

الل ٍ ٍ د :dinullah للا ب :billah

Adapun ta>’ marbu>t}ah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz} al-jala>lah, ditransliterasi dengan huruf [t].

Contoh: الل ة ً حر ٌ ف ى ْ hum fi> rahmatilla>h

10.

Huruf Kapital

(15)

xv Wa ma> Muhammadun illa> rasu>l

Inna awwala baitin wud}i’a linna>si lallazi bi Bakkata muba>rakan Syahru Ramad}a>n al-lazi> unzila fi>h al-Qur’a>n

Nas}i>r al-Di>n al-T}u>si> Abu> Nas}r al-Fara>bi> Al-Gaza>li>

Al-Munqiz\ min al-D}ala>l

Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abu> (bapak dari) sebagai nama kedua terakhimya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam daftar pustaka atau daftar referensi,

Contoh:

Abu> al-Wali>d Muhammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibnu Rusyd, Abu> al-Wali>d Muhammad (bukan: Rusyd, Abu> al-Wali>d Muhammad Ibnu)

Nas}r Ha>mid Abu> Zai>d, ditulis menjadi: Abu> Zai>d, Nas}r Ha>mid (bukan: Zai>d, Nas}r Ha>mid Abu>)

B.Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. = suba>nahu> wa ta‘a>la> saw. = s}allalla>hu ‘alaihi wa sallam a.s. = ‘alaihi al-sala>m

H = Hijrah

M = Masehi

(16)

xvi

QS .../...:4 = QS al-Baqarah/2: 4 atau QS Āli ‘Imran/3: 4

HR = Hadis Riwayat

Untuk karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat beberapa singkatan berikut:

ص = ةحفص

و د = ٌاكي ٌودب

ىعهص = ىهض و َّهع الل ٌهص

ط = ةعبط

ٌد = رش اَ ٌودب

دنا = ِرذا ٌنا\ اْرذا ٌنا

(17)

xvii

Tabel 1 Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian……….. 10

Tabel 2 Perbedaan Bentuk Pesantren dan Paham Keagamaan Pesantren

An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islmiyah………. 161

Tabel 3. Jadwal Pengajian Kitab dan Pembawa Pengajian di Pesantren

An-Nahdlah……… 165

Tabel 4. Pembelajaran Kitab yang Diitegrasikan dengan Mata Pelajaran

Agama serta Pengajarnya di Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah……… 166

Tabel 5. Persamaan Penggunaan Media Pembelajaran di Pesantren

An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah……….. 172

Tabel 6. Perbedaan Ustaz/Tenaga Pengajar Pesantren An-Nahdah dan

Pesantren Wahdah Islamiyah………. 178

Tabel 7. Mata Pelajaran di Pesantren An-Nahdlah……….. 181

Tabel 8. Mata Pelajaran Pesantren Wahdah Islamiyah………. 182

Tabel 9. Kitab yang Diajarkan di Pesantren An-Nahdlah dan Pondok

Pesantren Wahdah Islamiyah……… 184

Tabel 10. Perbedaan Kurikulum Pesantren An-Nahdlah dan Pondok

Pesantren Wahdah Islamiyah………. 185

Tabel 11. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Aswaja

dan Ke-NU-an……… 188

Tabel 12. Standar Kelulusan dan Kompetensi Inti setiap Mata Pelajaran

Berdasarkan Kurikulum Kementerian Agama dan Materi serta Kitab

(18)

Tabel 13. Perbedaan Materi Ajar Paham Keagamaan Pesantren

An-Nahdah dan Pesantren Wahdah Islamiyah………. 196

Tabel 14. Pokok Bahasan Mata Pelajaran Aswaja dan Ke –NU-an di

Pesantren An-Nahdlah... 197

Tabel 15. Perbedaan Pola Rencana {Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan

Paham Keagamaan di Pesantren An-Nahdlah dan Pesantren Wahdah

Islamiyah……… 199

Tabel 16. Perbedaan Strategi Pembelajaran Pesantren An-Nahdlah dan

Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah……… 201

Tabel 17. Perbedaan Penilaian Pesantren An-Nahdlah dan Pondok

(19)
(20)

لا

ةينيد

ةمَّلعلدا

.ةيدوعسلا ةيبرعلا ةكلملدا اتهردصأ تيلا بتكلا لىإ ةيملاسلإا ساردلدا في

اذهف ،يميلعتلا ماظنلا في تبرست دق ةينيدلا ميىافلدا نأ وى ثحبلا اذى نم دافتسلداو

عازنلا امهينثاو ،ةحمرلا املذوأ ،نيرمأ يرثي دق عضولا

؛

لاك في ةعبتلدا ةينيدلا ميىافلدا فلاتخاف

ببسب اهيف حماستلا نكيم لاز ام نيدهعلدا

ءامتنا

امأو .ةعاملجاو ةنسلا لىأ ةديقع لىإ امهنم لك

ميلعت نأ :لولأا ،نيرمبأ يصوي ثحبلا اذى نإف عازنلا روهظ يدافتل

ولوبق نم دب لا ةينيدلا ميىافلدا

هرابتعبا

ماظن نع أزجتي لا اًءزج

نم اىيرغ عم لماكتلا وأ صيصختلا لكشب كلذو ،ةيموقلا ةيبترلا

دادعإ يارورض حبصأ ونأ :نياثلاو ،ةيميلعتلا داولدا

تناوكم

ميلعت معد لجأ نم يميلعتلا ماظنلا

(21)

xix ABSTRACT

Name : Badruzzaman

Student Reg. No. : 80100310046

Title : A LEARNING SYSTEM COMPARISON OF RELIGIOUS

UNDERSTANDING IN AN-NAHDLAH AND

WAHDLAH ISLAMIYAH BOARDING SCHOOLS

The study is aimed at: 1) identifying the description of religious understanding developed in An-Nahdlah and Wahdah Islamiyah Boarding Schools, 2) finding out and describing the similarities and differences of learning system based on the religious understanding held in An-Nahdlah and Wahdah Islamiyah Boarding Schools.

The study is qualitative research using religious, symbolic interaction, and educative approaches. The data sources are the leaders of boarding schools, teachers (ustaz and ustazah), and students. Additional documents are obtained from archives and literature related to the profile, curriculum, and instructional books of both targeted boarding schools. Furthermore, observation, interview, documentation, and triangulation are utilized in collecting the data which then processed and analyzed through data identification, data reduction, data classification, data synthesis, data verification, and conclusion of the research outcomes.

The study reveals: 1) the two targeted boarding schools developed the religious understanding of Ahlusunah Waljamaah, yet different sources of teachings. An-Nahdlah Boarding School promote a religious understanding coming from Abu Hasan al Asy'ari and Imam Abu Mansur al Maturidi (aspect of aqidah), following the four schools of Hanafi, Maliki, Syafii, and Hambali (aspects of fiqh), following the views of Imam Junaid Bagdadi and Imam al-Gazali (aspects of Sufism), and in social roles embrace the attitude of tawa>sut} and I‘tida>l, tasa>muh, tawa>zun and amar ma'ruf nahi munkar. While the religious understanding developed by Wahdah Islamiyah Boarding School is based on the Qur'an and Sunah according to the understanding of Salaf Saleh (people belonging to the early three generations of Muslims i.e. the Prophet’s Companions, the tabik, and tabik tabiin). The four teaching principles developed in Wahdah Islamiyah Boarding School are (a) Rasulullah is

(22)

xx

(c) no creature is infallible, and (d) there is no ijtihad except on the consideration of the Qur'an and Sunah according to the understanding of Salaf Saleh. 2) Religious understanding is taught monolithically in An-Nahdlah Boarding School, namely the subjects of NU's and Aswaja and the study of classical books. While in Wahdah Islamiyah Boarding School, the religious understanding is delivered by integrating the five subjects of madrasah religion referring to the books published in Saudi Arabia.

(23)

xix ABSTRAK

Nama : Badruzzaman NIM : 80100310046

Judul : KOMPARASI SISTEM PEMBELAJARAN BERBASIS PAHAM KEAGAMAAN PADA PONDOK PESANTREN AN-NAHDLAH DAN PONDOK PESANTREN WAHDAH ISLAMIYAH

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menemukan gambaran paham keagamaan yang dikembangkan di Pesantren An-Nahdlah dan Pesantren Wahdah Islamiyah, 2) menemukan dan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan sistem pembelajaran berdasarkan paham keagamaan yang dianut di Pesantren An-Nahdlah dan Pesantren Wahdah Islamiyah.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan religi, interaksi simbolik, dan edukatif. Adapun sumber data penelitian ini adalah pimpinan pesantren, guru (ustaz dan ustazah), dan santri. Dokumen tambahan diperoleh dari arsip dan literatur yang terkait dengan profil, kurikulum, serta kitab rujukan pembelajaran kedua pesantren sasaran. Selanjutnya, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi. Tahap selanjutnya adalah teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui identifikasi data, reduksi data, klasifikasi data, sintesis data, verifikasi data, dan penyimpulan hasil penelitian.

Penelitian ini menemukan: 1) Kedua pesantren sasaran mengembangkan paham keagamaan Ahlusunah Waljamaah, tetapi berbeda sumber ajaran. Pesantren An-Nahdlah mengembangkan paham keagamaan yang bersumber dari Abu Hasan al

Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi (aspek akidah), mengikuti mazhab empat

yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali (aspek fikih), mengikuti paham Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali (aspek tasawuf), dan dalam peran sosial menganut sikap tawa>sut} dan I‘tida>l, tasa>muh, tawa>zun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sementara paham keagamaan yang dikembangkan oleh Pesantren Wahdah Islamiyah mendasarkan pada Alquran dan Sunah sesuai pemahaman Salaf Saleh dengan menjadikan paham keagamaan Mutharrif bin Abdilllah Shikhkhir al-Amiri al Harasyi al-Basri sebagai sumber ajaran.Empat prinsip ajaran yang dikembangkan di Pesantren Wahdah Islamiyah, yaitu (a) Rasulullah adalah qudwah; (b) mengikuti Alquran dan Sunah sesuai paham Salaf Saleh; (c) tidak ada makhluk yang maksum, dan (d) tidak ada ijtihad kecuali atas pertimbangan Alquran dan Sunah menurut pemahaman Salaf Saleh. 2) Paham keagamaan diajarkan secara monolitik di Pesantren An-Nahdlah yaitu mata pelajaran Ke-NU-an dan Aswaja serta pengajian kitab-kitab klasik. Sementara di Pesantren Wahdah Islamiyah paham keagamaan diajarkan secara terintegrasi dengan lima mata pelajaran agama madrasah yang merujuk pada kitab-kitab terbitan Arab Saudi.

(24)

xx

(25)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pesantren pernah diasumsikan sebagai ‚cagar masyarakat‛ yang kental mewarnai kehidupan kelompok masyarakat luas, tetapi pesantren sendiri tidak kunjung berubah, bagaikan tidak tersentuh dinamika perkembangan masyarakat di sekelilingnya.1 Azyumardi Azra pernah mengungkapkan bahwa pesantren menunjukkan sikap kolot dalam merespons upaya modernisasi (perubahan).2 Kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa dari respons pesantren terhadap kolonialisme Belanda. Lingkungan pesantren merasa bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang datang dari Barat, berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama. Di masa kolonial Belanda, pesantren sangat antipati terhadap modernisme dan westernism yang ditawarkan oleh Belanda. Sikap antipati itu mendorong mereka untuk mengisolasi diri dari sentuhan perkembangan modern. Oleh karena itu, mereka senantiasa merasa curiga terhadap sesuatu yang modern, yang selalu mereka anggap datang dari Barat.

Sikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya tersebut, membuat pesantren dinilai sebagai penganut Islam tradisional dan konservatif. Pesantren dianggap kurang peka terhadap perubahan tuntutan zaman dan masyarakat. Sejalan dengan itu, pesantren dianggap kurang produktif. Menurut Taufik Abdullah bahwa

1Nunu Ahmad An-Nahidl, ‚Pesantren dan Dinamika Pesan Damai,‛ Edukasi Jurnal

Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 4 no. 3, Juli-September ( 2009): h. 16.

2Azyumardi Azra, ‚Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan‛, dalam Nurcholish Madjid,

(26)

diskusi tentang pesantren dalam mereduksi sistem pendidikan modern, seperti yang direncanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan tercapainya pendidikan nasional, menyebabkan pesantren sering dilihat sebagai sistem pendidikan yang mengisolasi diri dari arus utama perkembangan pendidikan nasional.3

Penilaian terhadap kondisi pesantren saat ini sudah berubah. Kini pola pikir mana pun tidak dapat mengabaikan perkembangan kemajuan pondok pesantren yang sangat pesat dalam berbagai hal, terutama meningkatnya transformasi budaya maupun pola pikir masyarakat pesantren. Nunu Ahmad An-Nahidl menyatakan, bahwa pesantren yang pada awalnya lebih dikenal sebatas lembaga pendidikan Islam semata dengan konsentrasi pada penyebaran agama dan tempat mempelajari ajaran agama itu, ternyata pada gilirannya telah menjadi pusat gerakan sosial dan pemikiran yang cukup diperhitungkan.4 Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat diungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan tersebut dan menjadikannya fokus kegiatan. Menurut Mujamil Qamar, bahwa dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang cukup kukuh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam tantangan yang dihadapinya. Dalam sejarah ini pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang besar bagi Islam di negeri ini.5 Bentuk pesantren tetap bertahan dalam waktu yang lama untuk memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat secara demokratis, sehingga

3Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES,

1987), h. 112.

4Nunu Ahmad An-Nahidl, ‚Pesantren dan Dinamika Pesan Damai,‛ Edukasi Jurnal

Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 4 no. 3, h. 16

5Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi

(27)

menjadi lembaga pendidikan yang diperhitungkan mereka. Bahkan, menurut Abd. A‘la, bahwa pada abad ke-19 khususnya pada permulaan abad itu pesantren

merupakan satu-satunya lembaga sesudah pengajian Alquran yang eksis hampir di seluruh wilayah Indonesia.6

Peran pesantren tersebut merupakan implementasi dari Firman Allah swt dalam Q.S. Al-Taubah/9 : 22, sebagai berikut:

 mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Sejak didirikannya (oleh para ulama), pesantren mengemban misi pendidikan sebagai pusat dakwah islamiah, tempat di mana para santri memperdalam ajaran agama yang dianut (tafaqquh fi> al-di>n). Tidak berhenti di situ, para ulama bahkan menyimpan gairah yang besar tetapi tulus untuk melayani kebutuhan yang lebih luas dari masyarakat sesuai dengan misi yang diembannya. Pondok pesantren yang dikembangkan selama ini memiliki dua potensi besar, yaitu sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren lahir karena adanya respons masyarakat terhadap runtuhnya sendi-sendi moral masyarakat. Di sini potensi pesantren yang memiliki nilai tawar sebagai transformasi nilai-nilai melalui misi global dengan pendekatan amar makruf nahi munkar, atau pesantren sebagai agen perubahan sosial (agent of social change).

(28)

Sedangkan pesantren sebagai lembaga pengembangan masyarakat adalah sesuatu yang baru, sebagai sarana peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Nunu Ahmad An-Nahidl, bahwa karakteristik Islam yang ditampilkan oleh para ulama pemangku pesantren sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai infita>h (inklusi), tawa>sut}} (moderat), musa>wah atau tasa>wu’ (persamaan), dan tawa>zun (keseimbangan).7 Oleh karena itu, pesantren tampil pula sebagai agen pembudayaan nilai, norma sekaligus pesan-pesan keagamaan yang sarat dengan harmonisasi, kerukunan, persatuan, dan kedamaian, bahkan para ahli menilai pesantren mempunyai peran yang cukup signifikan dalam melestarikan budaya lokal, termasuk memelihara nilai-nilai dan tatanan sosial yang harmonis di sekelilingnya.

Sampai saat ini pendidikan pesantren telah mengalami transformasi di berbagai dimensinya. Penyebab dinamika pendidikan pesantren tersebut, menurut Fuaduddin TM dan Husen HB, merupakan respons terhadap perubahan sosial masyarakat akibat dari proses modernisasi dan globalisasi yang sedang berlangsung. Kondisi ini, sedikit banyaknya, akan memengaruhi pemikiran, pemahaman keagamaan dan pada gilirannya memberikan warna tersendiri terhadap pandangan hidup santri.8

Bentuk perubahan sebuah pesantren terlihat lebih diwarnai oleh paham keagamaan pemimpin pesantren (kiai) sebagai pemimpin karismatik yang mengajarkan paham keagamaan dan sekaligus sebagai panutan dalam pemikiran,

7Nunu Ahmad An-Nahidl, ‚Pesantren dan Dinamika Pesan Damai,‛ Edukasi Jurnal

Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 4 no. 3, h. 18.

8Fuaduddin TM dan Husen HB, ‚Pandangan Hidup Komunitas Santri‛ dalam Edukasi 4 No

(29)

sikap dan perilaku santri. Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa kiai sebagai elemen yang paling esensial dari sebuah pesantren, yang dengan kelebihan ilmunya dalam Islam seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, sehingga demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat awan.9

Perkembangan pemikiran dan paham keagamaan yang beragam dari pimpinan pesantren pada akhirnya akan melahirkan orientasi pendidikan dan nilai-nilai budaya pesantren yang sangat beragam. Semula, paham keagamaan yang dikembangkan oleh pondok pesantren mengarah pada satu ide ologi. Menurut Zamakhsyari Dhofier bahwa ideologi tersebut, yaitu yang berdasar pada Alquran, Hadis, Ijmak, Kias, dan kitab-kitab kuning klasik, ideologi ini lazim disebut dengan paham Ahlusunah Waljamaah, yang digolongkan sebagai paham Islam yang moderat.10 Paham moderat biasanya lebih mengembangkan pada prinsip-prinsip tertentu, seperti: tawa>sut}, tawa>zun, tasa>wu’ dan al-‘a>dul.

Saat ini beberapa pesantren yang mendasarkan pemahamannya pada hanya Alquran dan Hadis saja, pemahaman ini biasanya lebih condong pada Islam fundamental. Paham fundamental lebih menekankan pada proses pembelajaran rasional, puritan (prinsip pemurnian ajaran) dan menghilangkan bentuk-bentuk

9Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai (Cet. I; Jakarta:

LP3ES, 1982), h. 55-56.

10Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai,

(30)

ajaran yang dianggap menyimpang.11 Komunitas penganut paham ini memungkinkan melahirkan sebuah gerakan dalam bentuk gerakan radikalisme fundamental.

Tiga peranan pesantren tersebut -transformasi nilai dan ajaran agama, peningkatan taraf hidup, dan kesejahteraan umat, dan pusat pergerakan pemikiran (tafaqquh fi al di>n)- tampak tercoreng dengan berkembangnya fenomena paham keagamaan yang fundamental serta radikal. Seakan pesantren kehilangan jati dirinya sebagai lembaga transformasi nilai agama yang infita>h (inklusi), tawa>sut}} (moderat), musa>wah atau tasa>wu’ (persamaan), dan tawa>zun (keseimbangan). Beberapa pesantren yang telah diklaim terlibat mengajarkan radikalisme. Klaim tersebut diindikasi dari keterlibatan pimpinan (kiai) pesantren, alumni pesantren, atau diduga mengajarkan radikalisme.

Pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min, K.H. Abubakar Ba’asyir yang divonis penjara selama 15 tahun oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada tahun 2011, dinilai oleh hakim terbukti terlibat pelatihan militer kelompok teroris di Aceh.12 Fenomena ini merupakan indikasi bahwa pesantren terlibat dalam kegiatan radikalisme. Tiga orang pelaku aksi terorisme di Solo, Jakarta, dan berbagai daerah yang terjadi pada tahun 2012 yaitu Farhan Mujahidin,

Firmansyah, dan Muchsin Tsani, menambah daftar panjang lulusan pondok

pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang terlibat aksi

11Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang, TOR Seminar: ‚Timbulnya

Gerakan Islam Radikalisme dan Dampaknya terhadap Kerukunan Umat Beragama,‛ 2009.

12Kompas.com, 2011, https://nasional.kompas.com/read/2011/06/16/13261643/ Baasyir.

(31)

terorisme.13 Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2016 melalui Saut Usman Nasution menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme. Tiga diantara pesantren tersebut berada di wilayah timur Indonesia, yaitu Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah Makassar, Pesantren Darul Aman Makassar, dan Pesantren Islam Amanah Poso.14

Pondok pesantren memiliki potensi untuk mengembangkan paham fundamentalisme dan radikalisme. Peran penting kiai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti bahwa kiai merupakan unsur yang paling esensial. Menurut Endang Turmudi bahwa pesantren adalah sistem pembelajaran dimana para santri memperoleh pengetahuan keislaman dari seorang ulama (kiai) yang biasanya mempunyai pengetahuan khusus.15 Karenanya, otoritas kiai pesantren untuk mengajarkan paham keagamaan tertentu di pesantren sangat dominan.

Selain otoritas kiai, regulasi pendidikan keagamaan di Indonesia juga memberikan kebebasan kepada pengelola pesantren untuk menentukan kurikulum sendiri berdasarkan kekhasan yang dimiliki setiap pesantren. Kebebasan ini berimplikasi pada kebebasan pesantren untuk menyusun sendiri atau mengadopsi kurikulum yang berasal dari luar negeri, yang terkadang sangat berbeda dengan semangat kebangsaan di Indonesia.

13VOA Indonesia, 2012,

https://www.voaindonesia.com/a/pondok-pesantren-ngruki-enggan- dikaitkan-dengan-terorisme/1512140.html.

14CNN Indonesia, 2016,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/ bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme.

(32)

Dalam konteks Makassar, terdapat sejumlah pondok pesantren yang telah berkembang, namun dua pesantren diantaranya yang dengan tegas telah mengajarkan paham keagamaan pada santrinya, yaitu Pondok Pesantren An-Nahdlah dimana didirikan oleh tokoh Nahdalatul Ulama (K.H. Muhamamad Harisah AS) dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah yang dibina oleh Lembaga Keagamaan Wahdah Islamiyah. Pondok Pesantren An-Nahdlah jalas telah mengajarkan paham keagamaan moderat sebab ia dibina oleh seorang tokoh NU, sementara Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, oleh beberapa kalangan menggolongkan berpaham fundamental. Setidaknya Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saut Usman Nasution telah memasukkannya sebagai salah satu dari sembilan belas pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme16. Meskipun telah dibantah oleh ketua harian Forum Ukhuwah Islamiyah, Prof. Dr. Ahmad Sewang, MA. dalam acara silaturahmi tokoh organisasi-oraganisasi Islam Sulawesi Selatan, bahwa pesantren tersebut bukan organisasi jaringan teroris.17

Berdasarkan uraian di atas, maka sangat urgen untuk mengamati paham keagamaan yang dikembangkan oleh pondok pesantren, sehingga mendapat gambaran tentang eksistensi lembaga pendidikan keagamaan ini era globalisasi ini.

16

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160203201841-20-108711/bnpt-19-pesantren-terindikasi-ajarkan-radikalisme, 04 Februari, 2016.

17

(33)

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus 1. Fokus Penelitian

Penelitian akan mengaji paham keagamaan. Kajian penelitian terbatas pada ajaran paham keagamaan yang dianut yang dikembangkan penganutnya di Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah. Paham Keagamaan yang dianut tersebut dominan ditentukan oleh oleh kiai pendiri/pembina pesantren atau lembaga sosial keagamaan pendiri pesantren.18

2. Deskripsi Fokus Penelitian

Seperti yang dijelaskan terdahulu bahwa fokus penelitian ini adalah paham keagamaan di pesantren. Paham keagamaan yang dianut dan dikembangkan oleh Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah tersebut akan diamati lebih lanjut dalam sistem pembelajaran, mulai dari kurikulum (pemuatan paham keagamaan dalam kurikulum pesantren), latar belakang pendidikan guru dalam kaitannya dengan paham keagamaan yang diajarkan, sumber belajar (dapat berupa kitab-kitab berbahasa asing), proses pembelajaran, dan evaluasi. Sedangkan dua pesantren yang disebutkan terdahulu merupakan sasaran

18Secara historis, pesantren pada mulanya berkembang dari inisiatif seorang kiai yang

memiliki paham keagamaan tertentu. Sebagai contoh, pesantren-pesantren di Jawa dominan didirikan oleh kiai yang berpaham keagamaan Ahlusunah Waljamaah. Karenanya pesantren-pesantren yang dibina oleh ulama-ulama NU akan mempertahankan ajaran-ajaran tersebut. Demikian halnya dengan pesantren-pesantren yang dibina oleh ulama-ulama yang berpaham reformis seperti ulama yang terhimpun dalam Muhammadiyah. Hal serupa dengan bidang ajaran yang dikembangkan, terdapat pesantren yang hanya mengembangkan bidang ilmu fikih, tauhid atau tasawuf, atau gabungan antara dua atau ketiga bidang ajaran agama Islam itu. Berdasarkan bidang ajaran agama Islam tersebut berkembang berbagai jenis pesantren yang mengonsentrasikan diri pada pengajaran bidang agama tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kiai dalam upaya mereka mengembangkan pesantren itu. (Dikutip dari Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis

(34)

penelitian. Oleh karena itu, penelitian memfokuskan amatan pada konsep paham keagamaan dalam sistem pembelajaran, kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasi.

Tabel 1. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian

No Fokus Penelitian Deskripsi Fokus

1. Paham Keagamaan a.b. Paham keagamaan dalam kurikulum. Paham keagamaan dalam materi ajar.

c. Recruitment tenaga pendidik berdasarkan afiliasi paham keagamaan.

d. Pertimbangan Paham keagamaan dalam menyusun perencanaan pembelajaran.

e. Pertimbangan paham keagamaan dalam merancang strategi pembelajaran.

f. Pemuatan paham keagamaan dalam materi evaluasi.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu maka dirumuskan masalah penelitian, sebagai berikut: Bagaimana paham keagamaan Pondok Pesantren di Makassar? Pokok permasalahan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam beberapa sub masalah yaitu:

1. Bagaimana gambaran paham keagamaan yang dikembangkan di Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah?

2. Bagaimana persamaan dan perbedaan sistem pembelajaran paham keagamaan di Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah?

D. Kajian Pustaka

(35)

merupakan suatu lembaga transformasi ajaran, tuntunan atau pedoman hidup bagi umat manusia, berasal dari Tuhan melalui perantaraan seorang Nabi atau Rasul. Lahirnya paham keagamaan tidak bisa dipisahkan dari upaya manusia untuk menyesuaikan ajaran agama dengan perubahan lingkungan sosial dan budaya masyarakat. Dalam Islam, sebagaimana dicatat dalam sejarah, paham keagamaan muncul setelah Rasulullah saw, wafat, saat umat menghadapi masalah suksesi kepemimpinan. Sebagian sahabat berpandangan bahwa Rasulullah saw., meninggalkan pesan (wasiat), sedangkan sebagian lainnya menyatakan tidak memberikan wasiat masalah kepemimpinan. Perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama tidak saja berkaitan dengan politik, tetapi juga berkaitan dengan masalah hukum yang melahirkan banyak mazhab (fikih), dalam bidang teologi dan tasawuf melahirkan berbagai mazhab qalam dan tarekat. Semua itu merupakan bukti keniscayaan tumbuh dan berkembangnya paham keagamaan.19 Perbedaan pemahaman terhadap ajaran Islam terus berkembang sepanjang masa akibat dari perbedaan interpretasi dan pengamalan teks-teks Alquran dan Hadis.

Dalam perspektif ini, maka paham keagamaan telah menjadi target kajian para ahli teologi, antropolog agama, sosiologi agama, maupun ahli sejarah. Kajian-kajian tentang paham keagamaan tersebut semakin marak terutama sepuluh tahun

19Lihat Ahmad Syafii Mufid, ‚Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di

Indonesia‛ dalam Harmoni, 8 no. 30, April-Juni Tahun (2009). (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Penelitian dan Pengembangan sera Pendidikan dan Latihan Departemen Agama RI, 2009), h 9. Pendapat lain, adalah menurut Mahmoud M. Ayoub. The

Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim. (The Crisis of Muslim

History:Religion and Politics in Early Islam). Bandung: Mizan, 2004. (terj. Munir A. Muin), dan Pendapat M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandeng Tangan Mungkinkah? Kajian Atas Konsep

Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit. Lentera Hati, 2007),khususnya Bab Pendahuluan. Juga

Farag Fouda. Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan Dalam Sejarah

Kaum Muslim (Al-Haqiqah al-Gaibah) (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta

(36)

terakhir ini, seiring dengan era reformasi pemerintahan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kemunculan berbagai macam paham keagamaan baik yang berjaringan transnasional, nasional, maupun lokal. Ada banyak penelitian tentang munculnya berbagai pemikiran, paham, aliran dan gerakan keagamaan di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Paham keagamaan dapat dibagi kepada paham keagamaan trans-nasional, paham keagamaan nasional, dan paham keagamaan lokal.

Ahmad Syafii Mufid misalnya, meneliti tentang korelasi paham keagamaan dengan proses demokratisasi di Indonesia menyatakan, bahwa di Indonesia, paham keagamaan muncul beragam seiring dengan proses dakwah Islam. Berbagai mazhab fikih muncul dan diajarkan, seperti Mazhab Syi’ah, Syafi’i, Hanafi, Maliki dan

Hanbali20. Lebih lanjut dikatakan, bahwa begitu juga tasawuf dalam bentuk praktik tarekat tumbuh subur, baik yang tergolong mu’tabarah (muktabar), organisasinya berdiri sejak tahun 195721 maupun gairu mu’tabarah (tidak muktabar) atau tarekat kontemporer,22 selalu ada pada setiap masa. Paham keagamaan tersebut kemudian menjadi dasar dan world view (pandangan dunia) berbagai komunitas muslim di Indonesia. Pengamalan ajaran bidang fikih, mazhab Syafi’i menjadi pegangan

20Lihat Ahmad Syafii Mufid, ‚Paham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di

Indonesia‛ dalam Harmoni, 8 no. 30, h. 9.

21Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama Jawa,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 70.

22Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama Jawa, h.

(37)

mayoritas umat Islam Indonesia.23 Sedangkan tarekat muktabar yang diminati adalah tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah.24

Paham keagamaan transnasional telah berkembang banyak di Indonesia. Menurut Ahmad Syafii Mufid, bahwa paham atau aliran apapun yang dipasarkan di Indonesia pasti ada peminat. Indonesia adalah lahan subur bagi persemaian paham keagamaan. Ungkapan ‚setiap benih yang kau tanam di Indonesia pastilah tumbuh‛

benar-benar terbukti dan nyata baik pada masa lalu, masa kini, dan kemungkinan pada masa mendatang.25 Lebih lanjut diuraikan, bahwa paham keagamaan yang memiliki pengaruh besar bagi pemikiran dan gerakan Islam sebelum kemerdekaan adalah paham pemurnian, pembaharuan, dan modernisme. Beberapa paham dan gerakan Islam trans-nasional yang berpengaruh besar setelah Indonesia merdeka diantaranya Ikhwanul Muslimin, Salafi, Hizbut Tahrir, Jamaah Tablig. Paham Syi’ah Istna Asyariyah sejak era 1980-an juga berkembang.26

Selain itu, paham fundamentalisme juga tergolong sebagai paham keagamaan trans-nasional. Penelitian Nuhrison M. Nuh menemukan, bahwa keberadaan fundamentalisme sudah berkembang dalam bentuk yang bercorak transnasional karena bisa dijumpai hampir di berbagai wilayah negara di muka bumi ini.27 Dalam tataran empiri kelompok-kelompok yang oleh sebagian masyarakat maupun

23Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta:

LKIS, 2007), h . 363.

24Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama Jawa, h.

241.

25Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama Jawa, h. 28. 26Ahmad Syafii Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Kebangkitan Agama Jawa, h. 11. 27Nuhrison M. Nuh, ‚Faktor-faktor Penyebab Munculnya Paham/Gerakan Islam Radikal di

(38)

pemerintah dikategorikan ‚fundamental‛ menunjukkan adanya peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Kelompok-kelompok tersebut dalam aktivitasnya senantiasa menggunakan simbol-simbol agama dengan dalih pemurnian atau purifikasi ajaran agama.28 Paham keagamaan dalam relasi dengan sikap fundamental telah diteliti juga oleh Dra. Nur Jannah, M.Si. Dalam disertasinya (di Universitas Gajah Mada tahun 2010) disimpulkan bahwa sikap fundamental simpatisan organisasi berhubungan dengan pemahaman keagamaan dikonstruksi oleh organisasi. Konstruksi pemahaman agama Islam fundamental dan konstruksi pemahaman agama Islam moderat berpengaruh terhadap sikap fundamental. Penelitian kuantitatif eksperimental ini mengambil sejumlah 50 mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Yogyakarta menyatakan bahwa terdapat perbedaan sangat signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan nilai F=15.349 p=000 (p<=0.010). Hal ini dijelaskan bahwa perlakukan dengan menggunakan konstruksi pemahaman Hizbut Tahrir Indonesia (Islam fundamental) meningkatkan sikap fundamental, sementara perlakuan dengan menggunakan konstruksi pemahaman agama NU (Islam Moderat) tidak memberikan pengaruh terhadap sikap fundamental.29

Selain yang berjaringan transnasional, paham keagamaan yang berjaringan nasional pun diteliti, seperti paham keagamaan NU30 dan Muhammadiyah31.

28 Nuhrison M. Nuh, ‚Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Paham/Gerakan Islam Radikal di

Indonesia‛, dalam Harmoni 8 no. 30, h. 35-36.

29Situs Univeritas Gajah Mada, (lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2202_ Nur%20Jannah.pdf). 30Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat

(39)

Sebagian besar literatur menggambarkan bahwa NU mendasarkan paham keagamaan kepada sumber ajaran Islam, yaitu: Alquran, Sunah, Ijmak dan Kias. Ahmad Zohra mengemukakan bahwa dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam dari sumber-sumbernya, NU mengikuti paham Ahlusunah Waljmaah dan menggunakan jalan pendekatan maz|habi> (bermazhab):

kolonialisme, merespons kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar , makaTaswirul Afka>r, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Disadur dari Situs Wikipedia Indonesia: http://id.wikipedia-.org/wiki/NahdlatulUlama#Sejarah. (10 Januari 2013).

31Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman

(40)

a) Di bidang aqidah, NU mengikuti paham Ahlusunah Waljmaah yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (w.333H/944 M).

b) Di bidang fikih, NU mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu Abu Hanifah

an-Nu’man (80-150 H/700-767 M), Malik bin Anas (93-179 H/713-795 M ),

Muhammad bin Idris asy-Asyafi’i (150-204 H/767-820 M), dan Ahmad bin Hambal (164-241 H./780-855 M). Kemudian cenderung mengikuti mazhab Imam Syafi’i daripada mengakui tiga mazhab yang lain.

c) Di bidang tasawuf, NU mengikuti, antara lain al-Junaidi al-Bagdadi (w.297 H.) dan Abu Hamid al-Gazali (450-550 H./1058-1111 M).32

Sementara Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Menurut Zuly Qadir:

Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah misi utamanya adalah da‘wah ila> khair (mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam), amr bi al-ma‘ruf (menyuruh pada yang makruf), dan al-nahy ‘an al-munkar (mencegah dari yang mungkar). Sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan, Muhammadiyah sejak awal berdirinya dalam level pemurnian akidah umat Islam, unsur syirik, bidah, syariat, dan takhayul, yang kemudian dikenal dalam masyarakat dengan simbol TBC (takhayul, bidah, dan khurafat). Dengan tiga ikon semacam ini, Muhammadiyah kemudian dikenal dengan sebutan gerakan ‚purifikasi‛ oleh para pengamat, peneliti, dan sebagian masyarakat Indonesia serta internasional. Muhammadiyah melakukan purifikasi atas paham-paham keagamaan yang dianggap oleh Muhammadiyah telah menyimpang dari dasar yang kuat, yakni Alquran dan Sunah. Muhammadiyah kemudian hendak mengembalikan kemurnian Islam dalam perspektif purifikasi yang belakangan dikaitkan dengan gerakan Wahabi-Salafi. Namun sebenarnya Muhammadiyah tidak berada dalam gerbong Wahabi-Salafi dalam maknanya yang banyak dipaham selama ini, yakni kembali pada masa-masa para sahabat, tetapi Muhammadiyah lebih merasa nyaman ketika disebut sebagai gerakan al- ruju>‘

32Ahmad Zohra, Lajnah} Bah}s}ul Masa>il 1926-1999, Tradisi Intelektual (Yogyakarta: LKIS,

(41)

ila> al-qur’a>n wa al-sunnah (kembali ke Alquran dan Sunah), ketimbang it}t}iba>‘ sahabat atau it}t}iba>‘ tabiin, it}t}iba>‘ tabik tabiin yang dianggap salaf saleh. Muhammadiyah akhirnya dikenal pula sebagai organisasi sosial keagamaan yang non mazhab, tetapi bermazhab pada Alquran dan Sunah.33

Berkaitan dengan paham keagamaan lokal, Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Latihan Kementerian Agama Republik Indonesia telah melakukan penelitian tentang perkembangan paham keagamaan lokal pada tahun 2008. Penelitian yang menyasar sejumlah paham keagamaan lokal yaitu Agama Jawa Sunda (Kiai Madrais) di Kuningan Jawa Barat, Paham Bodha di Mataram, Aluk To Dolo di Tanah Toraja; Kaharingan di Palangkaraya; Islam Tua di Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, Kepercayaan Paguyuban Sumarah, dan Sapto Darmo di Yogyakarta menemukan, bahwa: (1) sejak berdirinya paham agama lokal ada yang telah mengalami beberapa kali perubahan nama, perubahan tersebut disebabkan adanya pengaruh dari faktor eksternal, tetapi ada juga yang tetap memakai nama semula; (2) adanya pergeseran makna ajaran/ritual, untuk menghindari hujatan dari masyarakat, dan atas pengaruh perkembangan sosial dan politik; (3) pada umumnya paham agama lokal tidak mengalami perkembangan yang signifikan dari segi jumlah penganut, maupun aktivitas sosial meskipun ada semacam keleluasaan bagi mereka untuk mengamalkan ajarannya, keleluasaan itu diperoleh karena adanya kran reformasi dalam pemerintahan. Selain itu mereka telah memperoleh pelayanan publik (catatan sipil) seperti: akta kelahiran, akta perkawinan, kartu penduduk dan kematian; (4) perubahan yang terjadi dalam paham agama lokal lebih disebabkan oleh faktor eksternal; (5) respon pemuka agama dan pemerintah pada umumnya dapat menerima kehadiran paham agama lokal, dengan

33Zuly Qadir, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki

(42)

pertimbangan hak asasi manusia dan adanya peraturan pemerintah (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007).34

Sejumlah penelitian tentang paham keagamaan di atas dikaji dengan pendekatan teologia, historis, antropologis, dan sosiologis. Kajian tentang paham keagamaaan dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan masih jarang dilakukan, terutama lembaga pendidikan pesantren. Pendekatan edukatif dalam mengkaji paham keagamaan sangat urgen untuk dilakukan karena transformasi ajaran agama dilakukan secara secara efektif di lembaga pendidikan terutama di pesantren. Penelitian ini menfokuskan mengkaji proses edukasi di pesantren berkaitan dengan paham keagamaan.

Penelitian tentang pesantren sangat beragam objeknya juga, baik pesantren dikaji secara kelembagaan, proses pendidikan, maupun peran sosialnya. Pesantren sebagai lembaga dapat dikaji melalui sistem norma, sistem tata kelakuan, jaringan hubungan antar pesantren dan kiai, prosedur pengaturan hubungan antar individu dalam pesantren, termasuk tradisi pesantren. Pesantren sebagai pelembagaan tata nilai cukup menarik diamati oleh para ilmuwan. Hasil kajian ini dapat memperoleh informasi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan pola perilaku yang berkembang di pesantren, seperti peran kiai, pola hubungan antar santri, senior dan junior, kiai dan santri, sumber-sumber pemberdayaan ekonomi pesantren, bahkan sampai pada perilaku menyimpang santri terhadap norma, moral, dan agama.

34Situs Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Latihan Kementerian

(43)

Pesantren sebagai proses pendidikan pun dikaji, seperti kurikulum pesantren, proses pembelajaran, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran. Demikian halnya dengan peran sosial pesantren, seperti pesantren sebagai agen perubahan sosial, pesantren sebagai wadah transformasi konflik, pemberdayaan ekonomi, pengembangan budaya damai, pengaderan ulama, tanggungjawab sosial pesantren dan lain-lain sebagainya.

Paham keagamaan yang dikembangkan pesantren yang difungsikan sebagai sarana rehabilitasi kasus-kasus kriminal menjadi kajian. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Astutik tahun 2011 di Pondok Pesantren Inabah Surabaya (PPIS) yang mengembangkan Tarekat Qadiriyah Naqshabandiyah. Dalam disertasinya diungkapkan temuan bahwa psikoterapi yang dilaksanakan di PPIS dalam upaya mengatasi ketergantungan narkoba merujuk pada konsep terapi penyadaran diri yang berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah, Fatwa Ulama, khususnya ajaran yang dikembangkan oleh Tarekat Qadiriyah Naqshbandiyah. Mursyi>d atau pembina sebagai terapi memiliki kompetensi keilmuan, kecakapan, sikap, kepribadian, dan kesanggupan melaksanakan tugas yang dibuktikan secara legal formal melalui baiat oleh pimpinan pondok. Proses dan tahapan terapi dilaksanakan secara ketat dan terprogram dalam satu siklus, melalui kegiatan ritual keagamaan secara utuh dan tertib sesuai dengan jadwal dan kurikulum pondok.35

Penelitian tentang keterkaitan pesantren salaf dengan fundamentalisasi paham keagamaan. Penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Arifin terhadap

35Situs Pascasarjana UIN Sunan Ampel:

(44)

Pesantren Al-Wihdah di Kepulauan Madura menemukan bahwa spirit tajdid yang dibawa oleh, pendiri pesantren Al-Wihdah menjadikan salafisme sebagai basis ideologi. Penguatan fondasi akidah, baik bagi kalangan pengajar maupun santri, jihad merupakan konsep yang tidak terpisahkan dari perjuangan dalam ber-Islam. Dalam hal jihad, pengajar dan santri pesantren mendasari pandangannya pada kitab Minha>j al-Musli>m yang memberi tekanan bahwa makna istilah jihad adalah perang. Bagi pesantren (pengajar dan santri), kedudukan hukum berperang melawan orang kafir adalah fardu kifayah. Berkaitan dengan demokrasi, pandangan pesantren cenderung lunak. Mekanisme pemilihan elit politik yang atas pertimbangan perubahan demokrasi pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk melempangkan agenda penerapan syariat Islam di Indonesia. Pandangan pesantren terhadap pluralisme agama sangat tegas. Mereka memang mengakui adanya pluralitas agama sebagai sunatullah, namun berkaitan dengan pluralisme sebagai sebuah paham bisa memberikan pengaburan akidah terhadap umat Islam, karena itu perlu ditolak. Kalangan pesantren juga cenderung menolak feminisme. Bagi mereka, feminisme tidak lebih dari komoditas Barat seperti halnya fashion, hiburan, atau sport. Kodrat perempuan adalah berada di ruang privat.36

Peran sosial pesantren dalam korelasinya dengan pengembangan budaya damai pun telah dikaji. Mibtadin telah melakukan penelitian di Pesantren al-Muayyad Windan Surakarta menemukan peranan pesantren tersebut dalam upaya menciptakan budaya damai dilakukan dengan aktif membangun kerja sama antar umat beragama dengan mendirikan Forum Lintas Agama dan Golongan, melakukan

36Situs e-Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang: http://ejournal.umm.ac.id/index.php

(45)

advokasi terhadap berbagai persoalan yang dialami oleh umat beragama seperti kekerasan, trauma hilling dan lainnya, menciptakan forum dialog untuk membangun kehidupan saling menguntungkan antar penganut agama, dan melakukan publikasi kerukunan hidup umat beragama.37

Badan Penelitian dan Pengembangan Serta Pendidikan dan Latihan Kementerian Agama RI telah melakukan penelitian tentang paham keagamaan di tiga pesantren yaitu Pondok Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan, Pondok Pesantren Darunnahdaen Nahdatul Wathan di Nusa Tenggara Barat, dan Pondok Pesantren Modern Istiqamah di Sulawesi Tengah. Pesantren As’adiyah dan

Pesantren Darunnahdhatain menganut paham Ahlusunah Waljamaah dengan mengikuti mazhab Imam Syafi’i, sedang pesantren Istiqamah tidak terikat pada mazhab atau golongan tertentu. Paham keagamaan yang dikembangkan adalah paham keagamaan "substantif". Adapun sumber-sumber ajaran yang dijadikan rujukan adalah Alquran, Sunah (Hadis), ijtihad, dan Kias yang ditransfer melalui beberapa kitab salaf (kitab kuning). Ketiganya dapat dikategorikan sebagai kelompok "moderat" yang mengutamakan prinsip tawa>zun dan tasammuh dalam menanggulangi problema keagamaan.38

Beberapa hasil kajian tersebut di atas dominan mengaji pesantren sebagai lembaga pendidikan, dinamika internal dan eksternal, serta peran-peran sosial

37Mibtadin, ‚Pesantren dan Pengembangan Budaya Damai, Studi Kasus Pesantren Al

Muayad Windan Surakarta‛ dalam Kumpulan Makalah Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan,

Temu Riset Keagamaan Tingkat Nasional X (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Serta

Pendidikan dan Latihan Kementerian Agama Republik Indonesia, 2012), h. 119-200.

38Situs Badan Penelitian dan Pengembangan Serta Pendidikan dan Latihan Kementerian

(46)

keagamaan. Namun lembaga pesantren dikaitkan dengan paham keagamaan yang dikembangkan tampaknya masih kurang. Proses-proses edukasi di pesantren dalam mengembangkan paham keagamaan yang dianut merupakan fokus penelitian ini. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan:

a. Paham keagamaan yang dikembangkan di Pondok Pesantren An-Nahdlah dan

Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah.

b. Perbedaan dan persamaan bentuk sistem pembelajaran berdasarkan pah am

keagamaan yang dianut di Pondok Pesantren An-Nahdlah dan Pondok Pesantren

Wahdah Islamiyah.

2. Kegunaan Penelitian

Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan teori terhadap

keilmuan sosiologi pendidikan. Temuan-temuan penelitian ini diharapkan dapat

memperkaya fenomena-fenomena keilmuan secara umum dan sosiologi pendidikan

khususnya. Demikian halnya dengan kegunaan praktis. Hasil penelitian diharapkan

dapat menjadi rujukan oleh penentu kebijakan pendidikan di Indonesia untuk

(47)

23

PESANTREN, PAHAM KEAGAMAAN, DAN SISTEM PEMBELAJARAN

Berikut diuraikan secara teoretis tentang pondok pesantren, paham

keagamaan, dan sistem pembelajaran.

A.Pondok Pesantren

Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, kita harus melihat makna

perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makna dan istirahat.

Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama

bagi para santri. Perkataan pesantren, menurut Zamaksyari Dhofier, berasal dari kata

santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para

santri1. Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut

Wahid2, ‚pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau convent/monastory

(biara) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi

totalitas.‛

Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak di

seluruh nusantara dan dikenal sebagai, menurut Zamakhsyari Dhofier, dayah dan

1Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Santri (Cet. I;

Jakarta: LP3ES, 1982). h. 18.

2Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS,

(48)

rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa3. Pondok

pesantren di Jawa itu terdiri banyak macam jenis. Perbedaan jenis pondok pesantren

di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola

kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Secara umum bentuk pesantren

terdiri atas tiga. Yaitu: Pertama, pesantren tradisional yang komponennya hanya

memiliki kiai, masjid, dan santri. Kedua pesantren klasikal yang komponennya kiai,

masjid, santri, dan pondok atau asrama serta pembelajaran agama secara klasikal.

Bentuk pesantren pertama dan kedua masih didominasi pengelolaannya oleh kiai dan

keluarganya. Ketiga adalah pesantren perguruan (by sistem) dimana pesantren tidak

lagi dikelola dan didirikan oleh seorang kiai, tetapi dikelola secara manajerial

berdasarkan standar pengelolaan satuan pendidikan.4

Namun Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan

Keagamaan Islam mencantumkan unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki

setiap pondok pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kiai. masjid, santri,

pondok, dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning) adalah elemen unik yang

membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

1. Kiai5. Peran penting kiai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan

pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.

3Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. 3

(Jakarta: Kalimah, 2001), h. 70.

4

Azhar Arsyad, disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian dalam ujian disertasi atas nama. Badruzaaman di Ruang Seminar Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, tanggal 6 Juni 2018.

5Istilah kiai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa5 (Ziemek,

(49)

Menurut Endang Turmudi bahwa pesantren adalah sistem pembelajaran dimana

para santri, memperoleh pengetahuan keislaman dari seorang ulama (kiai) yang

biasanya mempunyai pengetahuan khusus.6 Tidak semua kiai memiliki pesantren

namun yang jelas adalah kiai yang memiliki pesantren mempunyai pengaruh yang

lebih besar daripada yang tidak memilikinya7 Kiai pesantren memusatkan

perhatiannya pada mengajar di pesantren untuk meningkatkan sumber daya

masyarakat melalui mengajar. Hubungan antara santri dan kiai menyebabkan

keluarga santri secara tidak langsung menjadi pengikut sang kiai.8 Santri

merupakan pendukung lain bagi kiai pesantren.9 Sosok kiai adalah seorang

pemimpin karismatik, ia berhasil merekrut massa dalam jumlah yang besar.10

Menurut Mujamil Qamar, bahwa gaya kepemimpinan yang karismatik ini,

memang dalam kepentingan tertentu dibutuhkan karena masih membawa

manfaat. Kepemimpinan kiai yang memiliki karisma akan menjadi panutan para

santri yang peduli terhadap kehidupan masyarakat.11 Pesantren tetap memerlukan

figur kiai dengan tingkatan karismatik. Melalui gaya kepemimpinan karismatik

kencana‛ dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan

bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Santri. h. 55).

6Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKis, 2004) h. 28. 7Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan,h. 29.

8Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan,h. 32. 9Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan,h. 33. 10Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dengan Kekuasaan, h. 34.

Gambar

Tabel 15. Perbedaan Pola Rencana {Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan
Tabel 1. Fokus dan Deskripsi Fokus Penelitian
Tabel 2. Perbedaan Bentuk Pesantren dan Paham Keagamaan Pondok (PP.)
Tabel 4.  Pembelajaran Kitab yang Diitegrasikan dengan Mata Pelajaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Muh Harisah AS (Studi Historis tentang Peranannya terhadap Perkembangan Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar ) , yang disusun oleh Nur Asiah Rasyidin, NIM:

Kedua , pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya

pada kenyataannya menjadi amat penting dalam pengembangan pendidikan Islam dan pengembangan Tilawatil Qur’an di Bima.. Pondok pesantren Al-Husainy dalam memaksimalkan fungsi,

sedangkan untuk perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) personal hygiene di pondok pesantren darul Abrar dikategorikan baik.dan untuk aturan sekolah yang diterapkan di

modernisasi di kompleks pesantren. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri sangat setuju. penerapan modernisasi di kompleks pesantren, dengan melihat

Pelengkap dalam laporan penelitian (karya tulis) deskriptif kualitatif mengenai Persepsi Masyarakat Desa Barae terhadap Pondok Pesantren Al-irsyad DDI Pattojo maka beberapa

Bahwa ada pengaruh motivasi belajar pada kelas VII Pondok Pesantren MDIA Bontoala Makassar yang terdiri dari citacita/aspirasi, kemampuan siswa, kondisi jasmani dan

Kepada pihak pembina Pondok Pesantren Nurul Azhar, seluruh civitasnya dan juga keluarga peserta didik bahwa melihat adanya beberapa permasalahant dalam upaya