• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENDAHULUAN

Pada bab ini dicantumkan beberapa penelitian yang berhubungan dengan analisis kinerja heat exchanger yang telah dilakukan sebelumnya. Selain itu dicantumkan juga teori dasar yang dijadikan acuan dalam penyelesaian tugas akhir yang didapatkan dari buku, modul, laporan tugas akhir, jurnal, internet, dan sebagainya. Teori dasar tersebut di antaranya mengenai teori perpindahan panas, heat exchanger, dan shell and tube, juga termasuk perhitungan kinerja.

2.2. REFERENSI JURNAL

Bizzy & Setiadi (2013)melakukan penelitian untuk merancang dimensi shell and tube dengan menggunakan metode analisis komputerisasi Heat Transfer Research Inc. (HTRI) dan metode analisis perhitungan manual. Perhitungan dimensi alat penukar kalor ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dari alat penukar kalor berdasarkan koefisien perpindahan kalor keseluruhan, faktor pengotoran, dan penurunan tekanan yang akan terjadi. Alat penukar kalor yang dirancang adalah alat penukar kalor tipe shell and tube 1 (satu) pass shell dan 1 (satu) pass tube aliran berlawanan dengan fluida panas berupa gas ammonia dan fluida dingin berupa air berdasarkan data lapangan yang diperoleh di PT. Pupuk Sriwijaya Palembang.

Handoyo & Ahsan (2012) melakukan penelitian untuk menganalisis kinerja heat exchanger jenis shell and tube yang digunakan sebagai pendingin aliran air pada PLTA Jatiluhur. Analisis ini diperlukan karena heat exchanger yang digunakan sering

(2)

mengalami kebocoran, khususnya pada bagian rear head dikarenakan terjadi konglomerasi deposit. Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dari pengotoran yang terjadi pada heat exchanger terhadap efektivitas heat exchanger tersebut.

Lebo et al (2015) melakukan penelitian pada heat exchanger dengan tipe shell and tube di Pabrik Semen Kupang II - PT. Sarana Agra Gemilang, KSO PT. Semen Kupang (Persero). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif, berdasarkan informasi data yang didapat dari lapangan. Tujuan dilakukan penelitian adalah untuk mengetahui kinerja shell and tube yang digunakan, di mana parameter yang akan dianalisis di antaranya besarnya nilai laju perpindahan panas aktual yang terjadi yang dipengaruhi oleh pengotoran dan efektivitas yang dihasilkan. Selain itu juga dihitung pengaruh NTU terhadap efektivitas yang dihasilkan. Soekardi (2015) melakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh rata-rata faktor efektivitas perpindahan panas dan faktor koefisien perpindahan panas global terhadap dimensi utama hasil perancangan heat exchanger shell and tube dengan metode efektivitas-NTU. Hasil penelitian menunjukan hubungan antara efektivitas perpindahan panas dengan koefisien perpindahan panas global, di mana dimensi utama APK yang paling ekonomis didapat dengan nilai efektivitas perpindahan panas dan koefisien perpindahan panas global tertentu.

Zainuddin et al (2016) melakukan penelitian pada suatu heat exchanger dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan shell and multi tube helical coil HE sebagai pemanas udara dengan memanfaatkan gas buang dari mesin diesel. Pengujian kinerja heat exchanger dilakukan dengan putaran mesin diesel yang beragam. Hasil dari pengujian adalah didapatkan efektivitas heat exchanger yang dipengaruhi oleh kenaikan laju aliran massa udara, besarnya panas yang berpindah dari gas buang ke udara yang akan dipanaskan, dan kenaikan temperatur udara tersebut yang akan digunakan untuk mengeringkan gabah.

(3)

2.3. PERPINDAHAN PANAS

Perpindahan panas adalah ilmu yang berupaya untuk memprediksi perpindahan energi yang mungkin terjadi antara material sebagai akibat dari adanya perbedaan temperatur (Holman, 2010). Sesuai dengan hukum termodinamika ke-2 (dua), aliran energi panas akan selalu mengalir ke bagian yang memiliki temperatur lebih rendah (Kothandaraman, 2006). Secara umum terdapat 3 (tiga) jenis perpindahan panas yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.3.1. Konduksi

Perpindahan panas secara konduksi adalah suatu proses mengalirnya energi panas dari yang mempunyai temperatur tinggi ke temperatur lebih rendah, dan perpindahan energinya terjadi karena kontak molekul secara langsung tanpa adanya perpindahan molekul itu sendiri dan biasanya terjadi pada benda padat (Setiawan, 2011).

Gambar 2.1 Perpindahan panas konduksi pada dinding

Salah satu contoh perpindahan panas konduksi terjadi pada suatu dinding, seperti ditunjukan pada Gambar 2.1. Berdasarkan gambar tersebut, terjadi perpindahan panas dari permukaan dinding sebelah kiri dengan temperatur T1, ke permukaan dinding

sebelah kanan dengan temperatur T2. Dinding tersebut memiliki nilai konduktivitas

(4)

Untuk menghitung besarnya laju perpindahan panas konduksi digunakan persamaan berikut (Cengel, 2006): 𝑄𝑐𝑜𝑛𝑑 = 𝑘. 𝐴 𝑇1− 𝑇2 𝛥𝑥 (2.1) di mana:

Qcond = laju perpindahan panas konduksi (W)

T1-T2 = beda temperatur antara permukaan (K)

Δx = tebal dinding (m)

kt = konduktivitas termal bahan (W/m.K)

A = luas permukaan (m2)

2.3.2. Konveksi

Perpindahan panas konveksi terjadi bila ada perbedaan temperatur antara permukaan benda padat dengan fluida cair atau gas (Setiawan, 2011). Arah perpindahan panasnya dapat terjadi dari benda padat ke fluida atau sebaliknya, tergantung mana yang memiliki temperatur lebih tinggi.

Gambar 2.2 Perpindahan panas konveksi pada plat

Gambar 2.2 merupakan salah satu contoh perpindahan panas konveksi dari permukaan atas plat yang memiliki luas permukaan (A) tertentu, ke aliran fluida yang memiliki nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) tertentu. Untuk menghitung besarnya laju perpindahan panas konveksi digunakan persamaan berikut (Cengel, 2006):

𝑄𝑐𝑜𝑛𝑣= ℎ. 𝐴. (𝑇𝑠 − 𝑇𝑓) (2.2)

(5)

Qconv = laju perpindahan panas konveksi (W)

h = koefisien perpindahan panas konveksi (W/m2.K)

A = luas permukaan (m2)

Ts = temperatur permukaan (K)

Tf = temperatur fluida (K)

2.3.3. Radiasi

Perpindahan panas secara radiasi adalah proses mengalirnya energi panas dari benda bertemperatur tinggi menuju benda bertemperatur rendah, yang terjadi di ruang hampa (Setiawan, 2011).

Gambar 2.3 Perpindahan panas radiasi antar dinding

Salah satu contoh terjadinya perpindahan panas radiasi adalah terjadinya perpindahan panas antara dua buah dinding yang terpisah dan berada pada suatu ruangan hampa udara, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.3. Pada gambar tersebut, terjadi perpindahan panas radiasi dari dinding-A yang memiliki luas permukaan tertentu ke dinding-B.

Besarnya laju aliran panas yang terjadi dipengaruhi oleh konstanta boltzman dan emisivitas dari benda. Nilai emisivitas bergantung pada warna dari benda tersebut, dan memiliki nilai dari 0 – 1. Apabila benda berwarna hitam, maka nilai emisivitasnya adalah 1, sedangkan apabila berwarna putih, maka emisivitasnya 0.

(6)

Untuk menghitung besarnya laju perpindahan panas radiasi digunakan persamaan berikut (Cengel, 2006):

𝑄𝑟𝑎𝑑= 𝜀 . 𝜎 . 𝐴. (𝑇14− 𝑇24) (2.3)

di mana:

Qrad = laju perpindahan panas radiasi (W)

ε = emisivitas benda (1 ≥ ε ≥ 0)

σ = konstanta boltzman (5,67 x 10-8 W/m2.K4)

A = luas permukaan (m2)

T1-T2 = beda temperatur antar dinding (K)

2.4. HEAT EXCHANGER

2.4.1. Tinjauan Umum

Heat exchanger adalah suatu alat yang di mana terjadi aliran perpindahan panas di antara dua fluida atau lebih pada temperatur yang berbeda (Kakac, 2012), di mana fluida tersebut keduanya mengalir didalam sistem. Di dalam heat exchanger tersebut, kedua fluida yang mengalir terpisah satu sama lain, biasanya oleh pipa silindris. Fluida dengan temperatur yang lebih tinggi akan mengalirkan panas ke fluida yang bertemperatur lebih rendah.

Secara umum perpindahan panas yang terjadi pada heat exchanger merupakan perindahan panas konveksi antara fluida dengan dinding pipa, dan perpindahan panas konduksi pada dinding pipa yang memisahkan kedua fluida tersebut. Penggunaan heat exchanger dapat ditemukan pada aplikasi pemanas dan pengkondisian udara, pembangkit listrik, pemanfaatan limbah panas, dan proses kimia (Incropera, 2007).

2.4.2. Jenis Heat Exchanger

Menurut Kotandaraman (2006), heat exchanger dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan fungsional dan jenis permukaan perpindahan panasnya. Pembagian tipe heat exchanger secara fungsional di antaranya:

(7)

a. Recuperative type: adalah tipe yang umum digunakan, perpindahan panas antara fluida dipisahkan oleh pembatas.

b. Regenerative / storage type: pada tipe ini, material tertentu terlebih dahulu dipanaskan oleh fluida panas yang mengalir. Kemudian aliran fluida panas tersebut dihentikan. Selanjutnya dialirkan fluida dengan temperatur yang lebih rendah pada material tersebut sehingga memanaskan fluida tersebut. Tipe ini digunakan untuk pemanasan udara pada steam plant. Selain itu juga digunakan pada sistem pemanas matahari di pemukiman.

c. Direct mixing type: pada tipe ini, terjadi pencampuran fluida hingga mencapai temperatur tertentu. Tipe ini jarang digunakan.

Sementara itu, pembagian tipe heat exchanger berdasarkan permukaan perpindahan panasnya dapat diatur dalam beberapa bentuk di antaranya:

a. Single tube arrangement

a) Parallel flow b) Counter flow

c) Cross flow

Gambar 2.4 Heat exchanger tipe single tube arrangement (Sumber: Kotandaraman, 2006)

(8)

Pada tipe ini, satu fluida mengalir didalam pipa, dan fluida lain mengalir di luarnya. Terdapat tiga kemungkinan arah aliran, yaitu parallel flow, di mana kedua fluida mengalir pada arah yang sama; counter flow, di mana fluida mengalir dengan arah yang berlawanan satu sama lain; dan cross flow, di mana aliran fluida yang berada di bagian luar mengalir tegak lurus terhadap sumbu pipa. Tipe ini cocok untuk perpindahan panas dengan kapasitas kecil, sehingga tidak banyak digunakan di industri.

b. Shell and tube arrangement

Tipe ini adalah yang paling populer. Konstruksinya berupa beberapa buah pipa dengan ukuran lebih kecil dipasang di antara dua buah plat pada tube, yang mana fluida mengalir pada tube tersebut. Tube terpasang di dalam shell, di mana fluida mengalir pada shell tersebut dan melewati permukaan tube. Jenis dari shell and tube terbagi menjadi one shell pass-one tube pass, one shell pass-two tube pass, dan two shell pass-four tube pass seperti ditunjukan pada Gambar 2.5.

a) One shell pass – one tube pass b) One shell pass – two tube pass

c) Two shell pass – four tube pass

Gambar 2.5 Heat exchanger tipe shell and tube arrangement (Sumber: Kotandaraman, 2006)

(9)

c. Cross flow heat exchanger

Tipe ini umum digunakan pada heat exchanger dengan fluida udara atau gas. Jenis yang sering dipakai menggunakan plat dan gabungan plat-tube. Heat exchanger ini terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu one fluid mixed dan both fluid mixed.

a) One fluid mixed b) Both fluid mixed Gambar 2.6 Cross flow heat exchanger

(Sumber: Kotandaraman, 2006)

2.5. SHELL AND TUBE

2.5.1. Tinjauan Umum

Seperti pembahasan pada sub bab sebelumnya, shell and tube merupakan jenis heat exchanger yang populer dan lebih banyak digunakan. Shell and tube terdiri dari sejumlah tube yang terpasang di dalam shell yang berbentuk silindris (Brogan, 2011). Terdapat dua fluida yang mengalir, di mana satu fluida mengalir di dalam tube, dan yang lainnya mengalir di luar tube (Holman, 2010).

Gambar 2.7 Konstruksi umum shell and tube (Sumber: Brogan, 2011)

(10)

Menurut Brogan (2011), konstruksi dari shell and tube terdiri dari 4 (empat) bagian utama yaitu:

a. Front header; merupakan bagian di mana terdapat sisi masuk aliran fluida yang menuju tube.

b. Rear header; merupakan bagian di mana terdapat sisi keluar aliran fluida dari dalam tube, atau di mana fluida didalam tube kembali mengalir ke arah front header. c. Tube bundle; terdiri dari tube, tube sheet, baffles, dan tie rod yang dipasangkan satu

sama lain.

d. Shell; merupakan tempat tube bundle dipasangkan

Pada bagian tube bundel, terpasang beberapa komponen seperti tube, tube sheet, baffles, dan tie rod. Fungsi dari komponen komponen tersebut yaitu (Brogan, 2011): a. Tube

Merupakan saluran di mana fluida dengan temperatur yang lebih rendah mengalir. Menurut Brogan (2011), diameter tube yang digunakan berkisar anatara 12,7 mm (0,5 in) hingga 50,8 mm (2 in), tetapi yang umum digunakan adalah ukuran 19,05 mm (0,75 in) dan 25,4 mm (1 in). Pemasangan tube dapat disusun menjadi bentuk triangular dan square. Bentuk triangular dapat membentuk sudut 300 atau 600,

sedangkan bentuk square dapat membentuk sudut 450 atau 900.

Gambar 2.8 Penyusunan tube (Sumber: Brogan, 2011)

(11)

Masing-masing susunan memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Susunan triangular cocok dipakai ketika dibutuhkan perpindahan panas yang besar, sedangkan susunan square cocok dipakai apabila lebih diutamakan kebersihan mekanik (Brogan, 2011).

Dari faktor desain, susunan triangular memiliki nilai Tube Layout Constant (CL) sebesar 0,87, sedangkan susunan square memiliki nilai CL sebesar 1. Terdapat pula nilai tube pitch, yang menunjukan jarak antara titik pusat dua tube terdekat, yang nilai umumnya sekitar 1,25 dikali diameter luar tube.

Aliran fluida pada tube dapat dibuat menjadi satu aliran (one tube pass), dua aliran (two tube pass), atau tiga aliran (three tube pass). Masing masing jumlah aliran akan berpengaruh pada nilai tube count constant (CTP).

Tabel 2.1 Nilai CTP untuk masing-masing aliran

Jumlah Aliran CTP

One tube pass 0,93

Two tube pass 0,90

Three tube pass 0,85

(Sumber: Brogan, 2011) b. Baffles

Menurut Holman (2010), baffles berfungsi untuk menjamin aliran fluida pada bagian shell mengalir sepanjang tube, sekaligus memperbesar perpindahan panas yang terjadi. Selain itu, baffles juga menjadi penyangga tube, menjaga jarak antara masing-masing tube, menahan vibrasi yang ditimbulkan oleh tekanan dan suhu fluida (Setiawan, 2011). Jenis baffles yang umunya digunakan terdiri dari single segmental, double segmental, dan doughnut and disc, seperti tercantum pada Gambar 2.9 berikut:

(12)

a) Single segmental baffles

b) Double segmental baffles

c) Disc and doughnut baffles Gambar 2.9 Jenis baffles (Sumber: Savasadiya, 2015)

(13)

c. Tube sheet

Berfungsi sebagai dudukan untuk tube pada bagian ujungnya (Setiawan, 2011). Konstruksi tube sheet biasanya dibuat tebal, dan tube harus terpasang tanpa bocor pada tube sheet.

Gambar 2.10 Tube sheet (Sumber: Savasadiya, 2015) d. Tie rod

Digunakan untuk pengikat sistem baffles menjadi satu dan tetap pada posisinya (Setiawan, 2011). Secara umum fungsi dari tie rod di antaranya mempertahankan jarak anatara tube sheet, mempertahankan jarak antara baffles, serta menjaga dan mempertahankan sambungan tube.

2.5.2. Standardisasi TEMA

Karena shell and tube merupakan tipe yang paling banyak digunakan, sehingga perlu dilakukan standardisasi dalam pembuatannya. Pembuatan standardisasi tersebut dilakukan oleh Tubular Exchanger Manufactures Asociation (TEMA) dengan dilakukan sistem penomeran. Sistem penomeran dibuat dengan 3 (tiga) huruf alphabet. Masing masing huruf mewakili bagian dari shell and tube di mana huruf pertama menunjukan front header type, huruf kedua menunjukan shell type, dan huruf ketiga menunjukan end header type (Brogan, 2011).

(14)

Gambar 2.11 Standardisasi TEMA (Sumber: Brogan, 2011)

Dari standardisasi tersebut, dapat diciptakan beberapa jenis kombinasi dari shell and tube. Namun terdapat 3 (tiga) kombinasi utama yang sering digunakan (Brogan, 2011), di antaranya:

(15)

a. Fixed tubesheet heat exchanger

Gambar 2.12 Fixed tubesheet heat exchanger (Sumber: Savasadiya, 2015)

b. U-tube heat exchanger

Gambar 2.13 U-tube heat exchanger (Sumber: Savasadiya, 2015) c. Floating header heat exchanger

Gambar 2.14 Floating header heat exchanger (Sumber: Savasadiya, 2015)

Masing masing kombinasi tersebut dapat dibentuk dengan komposisi bagian bagian sebagai berikut:

(16)

Tabel 2.2 Kombinasi shell and tube standardisasi TEMA Fixed tubesheetheat

exchanger U-tubeheat exchanger Floating header heat exchanger

AEL AEU AES

AEM CEU BES

AEN DEU

BEL BEM BEN

(Sumber: Brogan, 2011)

2.5.3. Perhitungan Shell and Tube

Beberapa perhitungan yang dilakukan dalam menganalisis kinerja dari heat exchanger atau shell and tube di antaranya sebagai berikut:

a. Koefisien perpindahan panas global dan fouling factor

Koefisien perpindahan panas global merupakan keseluruhan nilai koefisien perpindahan panas yang terdapat pada suatu heat exchanger, yang dinotasikan dengan U. Besarnya nilai U dapat dihitung dengan persamaan (Cengel, 2006):

1 𝑈𝐴𝑠 = 1 𝑈𝑖𝐴𝑖 = 1 𝑈𝑜𝐴𝑜 = 𝑅 = 1 ℎ𝑖𝐴𝑖 + ln(𝐷𝑜⁄ )𝐷𝑖 2𝜋𝑘𝐿 + 1 ℎ𝑜𝐴𝑜 (2.4) di mana:

U = koefisien perpindahan panas global (W/m2.K)

Ui = koefisien perpindahan panas global bagian dalam (W/m2.K)

Uo = koefisien perpindahan panas global bagian luar (W/m2.K)

As = luas permukaan perpindahan panas total (m2)

Ai = luas permukaan perpindahan panas bagian dalam (m2)

Ao = luas permukaan perpindahan panas bagian luar (m2)

hi = koefisien perpindahan panas konveksi bagian dalam (W/m2.K)

ho = koefisien perpindahan panas konveksi bagian luar (W/m2.K)

Do = diameter luar tube (m)

Di = diameter dalam tube (m)

k = konduktivitas termal bahan tube (W/m. K)

(17)

Tabel 2.3 Nilai U untuk beberapa heat exchanger berdasarkan fluida nya

Jenis heat exchanger U (W/m2.0C)

Water to water 850-170

Water to oil 100-350

Water to gasoline/kerosene 300-1000

Feedwater heaters 1000-8500

Steam to light fuel oil 200-400

Steam to heavy fuel oil 50-200

Steam condenser 1000-6000

Freon condenser (water cooled) 300-1000 Ammonia condenser (water cooled) 800-1400 Alcohol condenser (water cooled) 250-700

Gas to gas 10-40

Water to air in finned tubes (water in tubes)

30-60 400-850 Steam to air in finned tubes (steam in

tubes)

30-500 400-4000 (Sumber: Cengel, 2006)

Sedangkan fouling factor adalah besarnya pengotoran yang terjadi pada heat exchanger yang mengakibatkan bertambahnya besaran tahanan termalnya. Fouling factor dinotasikan dengan Rf. Besarnya nilai Rf akan mempengaruhi besarnya nilai

U, sehingga persamaannya menjadi (Cengel, 2006):

1 𝑈𝐴𝑠 = 1 𝑈𝑖𝐴𝑖 = 1 𝑈𝑜𝐴𝑜= 𝑅 = 1 ℎ𝑖𝐴𝑖 + 𝑅𝑓𝑖 𝐴𝑖 + ln (𝐷𝑜⁄ )𝐷𝑖 2𝜋𝑘𝐿 + 𝑅𝑓𝑜 𝐴𝑜 + 1 ℎ𝑜𝐴𝑜 (2.5) di mana:

Rfi = fouling factor di bagian dalam (m2.K/W)

(18)

Tabel 2.4 Nilai Rf untuk beberapa jenis fluida

Jenis fluida Rf (m2.0C/W)

Distiled water, sea water, river water, boiler feedwater: Below 500C Above 500C 0,0001 0,0002 Fuel oil 0,0009 Steam (oil-free) 0,0001 Refrigerants (liquid) 0,0002 Refrigerants (vapor) 0,0004 Alcohol vapors 0,0001 Air 0,0004 (Sumber: Cengel, 2006)

Besarnya fouling factor dapat juga dihitung dengan persamaan berikut (Holman, 2010): 𝑅𝑓= 1 𝑈𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦− 1 𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 (2.6) di mana: Rf = fouling factor (m2.K/W)

Udirtty = koefisien perpindahan panas global setelah terjadi pengotoran

(W/m2.K)

Uclean = koefisien perpindahan panas global sebelum terjadi pengotoran

(W/m2.K)

b. Perhitungan laju perpindahan panas aktual

Laju perpindahan panas aktual merupakan panas yang dilepaskan oleh fluida panas atau yang diserap oleh fluida dingin, yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Cengel, 2006):

𝑄𝑎𝑐𝑡 = 𝐶. (𝑇ℎ1− 𝑇ℎ2) (2.7)

atau

𝑄𝑎𝑐𝑡 = 𝐶𝑐. (𝑇𝑐2− 𝑇𝑐1) (2.8)

di mana:

(19)

Ch = laju kapasitas panas fluida panas (W/K)

Cc = laju kapasitas panas fluida dingin (W/K)

Th1 = temperatur fluida panas masuk heat exchanger (K)

Th2 = temperatur fluida panas keluar heat exchanger (K)

Tc1 = temperatur fluida dingin masuk heat exchanger (K)

Tc2 = temperatur fluida dingin keluar heat exchanger (K)

Selain itu perhitungan laju perpindahan panas aktual dapat dicari dengan menggunakan persamaan (Cengel, 2006):

𝑄𝑎𝑐𝑡 = 𝑈. 𝐴𝑠 . ∆𝑇𝑙𝑚 (2.9)

di mana:

U = koefisien perpindahan panas global (W/m2.K)

As = luas permukaan perpindahan panas total (m2)

ΔTlm = perbedaan temperatur rata rata logaritma / log mean temperature

difference (K)

c. Perhitungan laju kapasitas panas

Untuk mempermudah menghitung laju perpindahan panas dibutuhkan laju kapasitas panas yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Cengel, 2006):

𝐶ℎ = 𝑚̇ℎ. 𝑐𝑝ℎ (2.10)

atau

𝐶𝑐 = 𝑚̇𝑐. 𝑐𝑝𝑐 (2.11)

di mana:

ṁh = laju aliran massa fluida panas (kg/s)

ṁc = laju aliran massa fluida dingin (kg/s)

cph = panas jenis fluida panas (J/kg.K)

cpc = panas jenis fluida dingin (J/kg.K)

d. Perhitungan laju perpindahan panas maksimal

Laju perpindahan panas maksimal merupakan nilai perpindahan panas terbesar yang mungkin terjadi pada heat exchanger yang dapat dihitung dengan persamaan berikut (Cengel, 2006):

(20)

di mana:

Qmax = laju perpindahan panas maksimal (W)

Cmin = nilai terkecil di antara nilai Ch dan Cc (W/K)

Th1 = temperatur fluida panas masuk heat exchanger (K)

Tc1 = temperatur fluida di ngin masuk heat exchanger (K)

e. Perhitungan Log Mean Temperature Difference

Besarnya nilai LMTD atau perbedaan temperatur rata rata logaritma bergantung pada jenis heat exchanger yang digunakan, di mana pada dasarnya dibagi menjadi 3 (tiga) jenis heat exchanger berdasarkan arah alirannya yaitu parallel flow (searah), counterflow (berlawanan), dan multi pass and cross flow (i.e shell and tube). Persamaan untuk menghitung nilai LMTD dari masing masing jenis heat exchanger yaitu (Cengel, 2006):

1) Parallel flow dan counter flow

∆𝑇𝑙𝑚 = ∆𝑇1− ∆𝑇2 ln (∆𝑇1

∆𝑇2)

(2.13)

di mana untuk parallel flow:

ΔT1 = Th1 – Tc1 (2.14)

ΔT2 = Th2 – Tc2 (2.15)

sedangkan untuk counter flow:

ΔT1 = Th1 – Tc2 (2.16)

ΔT2 = Th2 – Tc1 (2.17)

2) Multi pass dan cross flow

∆𝑇𝑙𝑚 = 𝐹 . ∆𝑇𝑙𝑚,𝑐𝑓 (2.18)

di mana:

F = faktor koreksi, F < 1

ΔTlm,cf = LMTD aliran counterflow (K)

Nilai F didapat dengan menghitung perbandingan temperatur yang dinotasikan dengan P dan R.

(21)

𝑃 = 𝑡2− 𝑡1 𝑇1− 𝑡1 𝑅 = 𝑇1− 𝑇2 𝑡2− 𝑡1 = (𝑚̇. 𝑐𝑝)𝑡𝑢𝑏𝑒 𝑠𝑖𝑑𝑒 (𝑚̇. 𝑐𝑝)𝑠ℎ𝑒𝑙𝑙 𝑠𝑖𝑑𝑒 (2.19) (2.20) di mana:

T1 = temperatur fluida masuk ke bagian shell

T2 = temperatur fluida keluar dari bagian shell

t1 = temperatur fluida masuk ke bagian tube

t2 = temperatur fluida keluar dari bagian tube

Untuk menentukan nilai F digunakan grafik sebagai berikut, disesuaikan dengan jenis heat exchanger nya.

Gambar 2.15 One shell pass dengan 2, 4, 6, (kelipatan 2) tube pass (Sumber: Cengel, 2006)

Gambar 2.16 Two shell pass dengan 4, 8, 12, (kelipatan 4) tube pass (Sumber: Cengel, 2006)

Gambar 2.17 Single pass cross flow dengan kedua fluida unmixed (Sumber: Cengel, 2006)

(22)

Gambar 2.18 Single pass cross flow dengan salah satu fluida mixed (Sumber: Cengel, 2006)

f. Perhitungan efektivitas

Efektivitas shell and tube dapat dihitung dengan persamaan berikut (Cengel, 2006):

𝜖 = 𝑄𝑎𝑐𝑡

𝑄𝑚𝑎𝑥 (2.21)

di mana:

𝜖 = efektivitas (%)

Qact = laju perpindahan panas aktual (W)

Gambar

Gambar 2.1 Perpindahan panas konduksi pada dinding
Gambar  2.2  merupakan  salah  satu  contoh  perpindahan  panas  konveksi  dari  permukaan atas plat yang memiliki luas permukaan (A) tertentu, ke aliran fluida yang  memiliki nilai koefisien perpindahan panas konveksi (h) tertentu
Gambar 2.3 Perpindahan panas radiasi antar dinding
Gambar 2.4 Heat exchanger tipe single tube arrangement  (Sumber: Kotandaraman, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada eksplorasi di tempat lain di Pulau Buton (Cagar Alam Kakenauwe, 2005 dan Suaka margasatwa Buton Utara, 2003 &amp; 2004) dan pengecekan koleksi herbarium yang tersimpan di

Metode yang digunakan pada penelitian ini dititik beratkan pada proses perancangan untuk menghasilkan sebuah karya desain. Perancangan merupakan sebuah kegiatan

A. Bubuhkan produk pembersih di telapak tangan yang tertangkup, mencakup semua permukaan telapak tangan. Gosok hingga kering. Jika mencuci tangan dengan sabun dan air, basahi

Meskipun karbon hitam mengakibatkan iritasi paru-paru, perkembangbiakan sel, fibrosis, dan tumor paru-paru pada tikus dalam kondisi &#34;kelebihan beban paru-paru&#34;, terdapat

Berikut ini adalah kamus data yang di ambil dari data flow diagram Sistem Informasi Penjualan Konveksi Bandung Jaya Laksana yang diusulkan :.. Atribut : nama_produk,

Program dan Kegiatan yang telah disusun untuk mencapai target indikator kinerja sesuai dengan sasaran strategis yang tertuang dalam Renstra Dinas Kelautan dan

Kegiatan Pengambilan Data Sebenarnya Kondisi Ruang Terbuka Hijau Di Kota Prabumulih merupakan proses upaya pemerintah dalam menyediakan RTH dengan

Ekstraksi atau pemisahan residu pestisida dari bahan utama yang dianalisis (bagian tumbuhan, residu pestisida dari bahan utama yang dianalisis (bagian tumbuhan, tanah, air