• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Era Mega Paramita Abadi BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Era Mega Paramita Abadi BAB I"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini perhatian terhadap lembaga yang dikenal secara luas sebagai “museum” terasa begitu meningkat. Hal itu tercermin dari banyaknya

(2)

Jika kita melacak asal-usulnya, kata “museum” berakar dari kata Latin “mouseion”, yaitu kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus

yang tugas utamanya adalah menghibur. Jadi, museum masih saudara sepupu dari Amuse atau Amusement (dalam bahasa Inggris) yang merujuk pada perbuatan atau sesuatu yang membuat orang lain gembira. Namun, ketika kata “Museum” mulai banyak digunakan pada Masa Renaissance (sekitar

abad ke-16 dan ke-17), kata ini bukannya semata-mata merujuk pada kegiatan bersenang-senang saja. Sebaliknya, kata museum lebih dikaitkan dengan citra ilmiah. Museum justru digunakan untuk menyebut lembaga yang menyimpan dan memelihara koleksi benda-benda seni atau benda bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan. Koleksi museum ditampilkan untuk pembelajaran dan kesenangan masyarakat (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2007: 15).

(3)

perhatian sejak awal sebab jika tidak, akan mengakibatkan tumbuhnya gejela disintegrasi karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai jati diri (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 12).

Masyarakat Indonesia sebenarnya sekarang ini sedang berada pada poros perkembangan untuk menjadi suatu “negara bangsa” (Nation State) yang

mantap. Ternyata dalam proses tersebut kita lihat bahwa sekarang ini terjadi hambatan-hambatan yang menuju kearah disintegrasi. Oleh karena itu dalam proses perkembangan menjadi “negara bangsa” tersebut yang harus tetap

dipegang teguh adalah kesatuan dan persatuan bangsa. Salah satu dasar yang penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa tersebut adalah adanya pemahaman dan saling menghargai kebudayaan antar suku-suku bangsa. Dalam konteks ini museum harus dapat berperan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tidak hanya mengenai kebudayaan-kebudayaan suku bangsa tetapi juga kontak-kontak budaya yang telah terjadi. Oleh karena itu, museum harus menyuguhkan informasi yang sistematis dan terarah sehingga tercapai pemahaman atas unsur-unsur budaya bangsa (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 12).

(4)

sekolah di potong beberapa persen dari harga tiket, sedangkan untuk masyarakat di sekitar komplek museum tidak dikenakan biaya masuk.

Museum Soesilo Soedarman merupakan museum kebanggaan masyarakat Cilacap, khususnya di Desa Gentasari Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, karena merupakan salah satu tempat melestarikan aset-aset yang dimiliki oleh Bapak Soesilo Soedarman dari beliau kecil hingga beliau wafat, sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para generasi penerus. Museum Soesilo Soedarman sangat cocok dikunjungi wisatawan terutama bagi para pelajar karena memiliki banyak koleksi sejarah yang dapat menambah pengetahuan bagi pelajar. Museum Soesilo Soedarman termasuk museum lokal karena museum Soesilo Soedarman dikelola oleh pihak swasta yaitu yayasan dari keluarga Bapak Soesilo Soedarman itu sendiri.

Arsitektur bangunan Museum Soesilo Soedarman merupakan kombinasi arsitektur tradisional bergaya “Joglo” dan arsitektur modern. Dibangun diatas

(5)

Penghargaan, Foto-foto kenangan perjalanan Soesilo Soedarman didalam maupun diluar negeri, Peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang didokumentasikan seperti Peristiwa Peresmian Gedung. Hasil kajian koleksi baik yang bersifat deskriptif maupun yang bersifat analisis, sangat penting untuk dipublikasikan kepada masyarakat agar dapat memperoleh pengetahuan tentang makna dan arti penting benda warisan budaya tersebut utamanya bagi perkembangan kehidupan budaya sekarang dan yang akan datang.

Museum Soesilo Soedarman memiliki Visi, yaitu Membantu mencerdaskan generasi penerus bangsa yang bernilai ketauladanan. Selain itu, Museum Soesilo Soedarman mempunyai Misi, yaitu Meningkatkan Pendidikan berbudaya dan Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap budaya. Hal itu menarik perhatian peneliti untuk menelusuri peranan pendidikan museum ini melalui penelitian yang hendak dilakukan. Apalagi jumlah yang berkunjung ke museum ini setelah dibuka untuk umum sering dikunjungi oleh khalayak baik siswa sekolah, mahasiswa, dan masyarakat umum (Brosur Museum Soesilo Soedarman, 2012).

(6)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka sebagai masalah pokok dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Latar belakang pendirian museum ?

2. Bagaimana Peranan museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter ?

3. Apa saja Hambatan yang dihadapi oleh pihak pengelola dan bagaimana cara mengatasinya ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran kondisi dilokasi pada perumusan masalah diatas, oleh karena itu penelitian ini lebih memprioritaskan untuk :

1. Mengetahui Latar belakang pendirian museum.

2. Mengetahui peranan museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter.

3. Mengetahui Hambatan apa yang dihadapi oleh pihak pengelola dan bagaimana cara mengatasinya

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Peranan Museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter.

(7)

c. Mengetahui aset-aset peninggalan Bapak Soesilo Soedarman sebagai nilai-nilai sejarah yang perlu dilestarikan.

2. Manfaat Aplikatif

a. Menambah wahana pendidikan terhadap museum, khususnya museum

Soesilo Soedarman.

b. Memberikan informasi kepada pelajar dan mahasiswa terutama mahasiswa Sejarah dalam meningkatkan pengetahuan tentang peranan pendidikan.

E. Tinjauan Pustaka

Pengertian museum yang dikutip dalam buku Panduan dan Lembar Kerja Kunjungan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito (Sunarto, 2008: 1–2) adalah sebagai berikut :

Pengertian museum hanya dapat dipahami oleh karena fungsi dan kegiatannya.Kata ”museum” berasal dari kata Yunani Kuno ”museion” yang

(8)

14 Juni 1974 merumuskan : ”a museum is non profit making, permanent

institution in service of society and of its development, and open the public, wich aquires, conserves, communicates, and exhibit for purposes of study, education and enjoyment, material evidence of human and enviroment.”

Devinisi tersebut menjelaskan bahwa museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi, barang pembuktian manusia dan lingkungannya.

Melengkapi pengertian museum seperti yang di uraikan di atas, ICOM menjelaskan bahwa museum meliputi :

a. Lembaga-lembaga konservasi dan ruangan-ruangan pameran yang secara tetap diselenggarakan oleh perpustakaan dan pusat-pusat kearsipan.

b. Peninggalan dan tempat-tempat alamiah, arkeologi dan etnografis, peninggalan dan tempat bersejarah yang mempunyai corak museum, karena kegiatan-kegiatannya dalam hal pengadaan, perawatan dan komunikasinya dengan masyarakat.

c. Lembaga-lembaga yang memamerkan makhluk-makhluk hidup seperti, kebun, tanaman dan binatang, akuarium dan sebagainya.

d. Suaka alam.

e. Pusat-pusat pengetahuan dan planetarium.

(9)

yaitu, museum bertugas melestarikan warisan sejarah alam dan budaya, dengan cara mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan dan memamerkan untuk kepentingan masyarakat guna studi ( penelitian ), pendidikan dan rekreasi dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa.

Peran museum Ronggowarsito sebagai lembaga pelestarian warisan budaya bangsa yang mengkhususkan diri dibidang pelayanan studi dan media pembelajaran, serta sarana rekreasi budaya (Sumber : Brosur Museum Ronggowarsito)

(10)

Sayangnya, konsep museum yang berorientasi pada masyarakat ini masih belum terealisasi secara utuh dilapangan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu kurang maksimalnya peran museum dalam hal membangun kesadaran masyarakat akan pentngnya pelestarian warisan atau cagar budaya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari, belum terbangunnya relasi yang positif antara koleksi dalam museum dengan masyarakat secara langsung. Museum menyajikan beragam koleksi yang merefleksikan sejarah maupun budaya yang berasal dari berbagai wilayah. Selama ini, koleks museum selain berasal dari hibah juga merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli diberbagai tempat dan wilayah di Indonesia. Tetapi disisi lain, tempat dimana koleksi museum itu ditemukan kurang mendapatkan perhatian. Sehingga bukan hal yang aneh, apabila masyarakat ditempat tersebut, tidak menyadari bahwa wilayah mereka itu penting karena menjadi tempat ditemukannya warisan budaya.

(11)

satu tokoh masyarakat dikawasan gua prasejarah Belae Kabupaten Pangkep, kenyataan betapa masyarakat memiliki keinginan yang kuat tentang cagar budaya yang ada disekitar mereka.

Dalam skripsi yang berjudul Perkembangan Monumen Jenderal Soedirman dan Fungsinya sebagai Sarana Pembelajaran Nilai-nilai Sejarah Perjuangan Bangsa Di Desa Bantarbarang Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga yang ditulis oleh Awal Tri Riyadi (2014), Merujuk pada pangertian monumen yaitu, sebuah bangunan atau tanda yang mengabadikan bentuk cuplikan peristiwa bersejarah atau tokoh pelaku sejarah yang dapat mewakili sebuah peristiwa sehingga dipakai sebagai penerus jiwa semangat juang dan pewarisan nilai-nilai kejuangan bagi penerusnya, monumen mempunyai berbagai macam fungsi. Diantaranya yaitu, fungsi edukatif, inspiratif, rekreatif, dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai keteladanan.

F. Landasan Teori dan Pendekatan

1. Deskripsi teori

a. Pengertian Museum

Menurut Direktorat Museum Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009) Museum

adalah lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan, diabdikan untuk kepentingan masyarakat dan perkembangannya,

(12)

dan lingkungannya untuk tujuan studi, penelitian, dan kesenangan (International Council of Museums, 2006). Kata Museum berasal dari mouseion, yang berarti kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Kata museum mulai banyak digunakan pada masa Renaissance, sekitar abad ke 16 dan 17. Kata museum itu, dikaitkan dengan ciri ilmiah disamping bersenang-senang.

(13)

b. Fungsi Museum

Menurut Moh Amir Sutarga, gambaran perkembangan museum, dan Permuseuman (1997-1998) dapat dibuat ikhtisar singkatnya sebagai berikut.

1. Museum sebagai tempat kumpulan barang aneh

2. Museum pernah digunakan sebagai istilah kumpulan pengetahuan dalam bentuk karya tulis pada zaman ensiklopedis

3. Museum sebagai tempat koleksi realia bagi lembaga atau perkumpulan-perkumpulan ilmiah

4. Museum dan Istana setelah revolusi Perancis dibuka untuk umum dalam rangka demokratisasi ilmu dan kesenian

5. Museum menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan dan pengembangannya oleh pemerintah sebagai sarana pelaksanaan kebijakan politik dibidang kebudayaan (Moh Amir Sutaarga, 1983: 17).

(14)

hakekat pengertian museum itu tidak berubah. Ciri ilmiah dan kesenian serta bersenang-senang tetap menjiwai arti museum sampai saat ini.

Para pengelola museum tentunya sadar bahwa salah satu fungsi museum adalah sebagai sumber pengetahuan, dan sumber belajar. Dalam upaya untuk meningkatkan fungsi tersebut, para pengelola khususnya kurator museum, perlu membayangkan diri sebagai seorang yang membutuhkan informasi sekitar koleksi museum tersebut. Hal-hal yang dibutuhkan dari informasi itu adalah : kelengkapannya, akurasinya serta kecepatannya dapat diperoleh. Ini semua membutuhkan sistem yang tangguh dan ketuntasan dalam pengelolaan informasi. Kualitas informasi itulah yang menentukan tingkat kepuasan dari “Klien” museum.

(15)

Museum dapat juga meningkatkan daya tariknya sebagai sumber pengetahuan melalui penyusunan program kegiatan pameran khusus, kegiatan-kegiatan tatap muka seperti festival, basar, dan kontes yang dapat dijadwalkan dan diumumkan sekurang-kurangnya setahun sebelumnya. Dengan adanya penjadwalan jauh sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan rencana acara itu dapat tersampaikan lebih dahulu kepada para calon wisatawan. Akan lebih baik jika jadwal kegiatan pertahun itu dapat dikeluarkan dua kali dalam setahun, sehingga setiap kali ada overlap enam bulanan seperti estafet. Ini berarti bahwa perencana harus siap dengan rencana tahun depan (sekurang-kurangnya semester pertama) enam bulan sebelum tahun yang sekarang berakhir ( Museografia - Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 9).

c. Peranan

Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain sebagai berikut.

a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat,

(16)

c. Peranan juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat,

Kata peranan berasal dari kata peran yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kedudukan dimasyarakat. Peran seseorang tidak lah mungkin dilaksanakan dengan baik kalau tidak jelas kedudukan yang bersangkutan dalam suatu pola kehidupan tertentu. Setiap manusia yang menjadi warga masyarakat senantiasa mempunyai kedudukan tertentu dan berperan menurut kedudukannya. Kedudukan dan peran tidak mungkin dipisahkan karena peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan yang memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang bersangkutan (http://kaghoo.blogspot.com/2010/11/ pengertian-peranan.html diakses pada tanggal 29 Maret 2014).

Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkaan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya ( Soekanto, 2009: 212-213).

(17)

dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus. Wirutomo (1981:99-101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat didalam pekerjaan kita, didalam keluarga, dan didalam peranan-peranan yang lain.

(18)

Kesimpulan pengertian peranan adalah seperangkat tingkat yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kedudukan dalam suatu masyarakat. Peranan seseorang tidak mungkin dilaksanakan dengan baik kalau orang yang bersangkutan tidak mempunyai kedudukan yang berkaitan dalam kehidupan masyarakat tertentu. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan.

d. Kebudayaan

Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, dkk, 2009: 27).

Koentjaraningrat (1990:7) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai berikut :

Keseluruhan yang kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang ada diseluruh bangsa yang ada didunia, yaitu sistem peralatan, perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem masyarakat, pengetahuan, sistem religius, bahasa dan sansekerta.

(19)

(2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud (1) bersifat abstrak yang terdapat dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa terhadap masyarakat. Gagasan tersebut terwujud dalam adat istiadat. Wujud (2) dari kebudayaan disebut pula sebagai sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat yang bersifat konkret (Koentjaraningrat, 1990:186). Wujud (3) dari sistem kebudayaan disebut sebagai kebudayaan fisik. Kebudayaan ini bersifat konkret karena berupa keseluruhan hasil dari aktivitas, perbuatan dan hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:187-188).

(20)

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal (Hari Poerwanto, 2000 : 51). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 2000 : 9).karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan.

Budaya adalah daya dari budi, yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001:18). Dalam Antropologi Budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya disini dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama.

(21)

Primitive Cultur yang dikutip oleh AAGN Ari Dwipayana mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (2001:38). Betapapun goyahnya konsep tentang budaya (cultures, cultural forms) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari (cliiord Geertz, 1999:67).

e. Pendidikan

Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain sebagai berikut. a. Penyadaran

b. Pencerahan c. Pemberdayaan d. Perubahan perilaku

(22)

Karenanya, pendidikan berkaitan dengan bagaimana manusia dipandang. Dalam hal ini, pandangan ilmiah tentang manusia memiliki implikasi terhadap pendidikan. Ini merupakan wilayah studi antropologi pendidikan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang asal usul, perkembangan, karakteristik jenis (spesies) manusia atau studi tentang manusia.

Juga banyak aspek lain yang harus kita pahami untuk memahami makna pendidikan. Arti pendidikan itu sendiri juga menimbulkan berbagai macam pandangan, termasuk bagaimana pendidikan harus diselenggarakan dan metode seperti apa yang harus dipakai (Nurani Soyomukti, 2013: 27-28).

(23)

1. Long-life Education

Pendidikan seumur hidup bermakna bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah hidup. Pengalaman belajar dapat berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hayat. Pendidikan adalah segala sesuatu dalam kehidupan yang mempengaruhi pembentukan berpikir dan bertindak individu. Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan perubahan-perubahan cara berpikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.

Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) negara. Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan corak sejarah manusia. Tidak heran jika R.S Peters dalam bukunya The Philosophy of Education menandaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat (Siti Murtiningsih, 2004:3).

(24)

belum dilandasi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi, pada zaman kuno, tidak ada lembaga pendidikan yang dibakukan. Proses peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan seiring dengan cara kerja manusia dalam memenuhi dan mengembangkan kebutuhan hidup, yaitu menghadapi alam.

Proses dialektika dengan alam membuat manusia belajar, belajar, dan mendapatkan pengalaman dari apa yang dialami dalam berhubungan secara langsung dengan alam. Pengetahuan dan teknologi meningkat karena proses mengalami dan mengambil kesimpulan yang kemudian mewariskan pada generasi dan dikembangkan seiring dengan ditemukannya cara berproduksi yang baru.

2. Pendidikan Alam

(25)

dalam setiap pengalaman belajar dari alam dan lingkungan. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersama-sama dengan tujuan hidup manusia.

Pendidikan dalam makna yang luas sebagai proses umum manusia ini didukung oleh tokoh-tokoh romantik. Disebut aliran romantisme karena mereka sangat mengenang sejarah pendidikan lama yang berbarengan dengan alam. Mereka melihat pendidikan khusus yang direduksi dalam pelembagaan seperti sekolah pada abad modern ini justru mengasingkan manusia dari kehidupan.

Kaum Humanis romantik seperti John Holt, William Glasser, Jonathan Kozol, Charles E. Silberman, Herbert Kohl, Neil Postman, Charles Weingartner, George Leonard, Carl Rogers, Ivan Illich, John Dewey. Cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti mahaluas dan mengecam praktik pendidikan disekolah yang mereka jumpai. Sekolah, menurut mereka justru mendehumanisasikan kemanusiaan. Mereka, misalnya, mengkritik pola hubungan antara guru dengan murid yang otoriter dan sekolah yang memasung perkembangan individualitas.

(26)

atau wawasan baru, sedangkan promosi peran atau jenjang sosial tergantung pada pendapat yang dibentuk oleh orang-orang lain. Belajar sering merupakan hasil dari pengajaran, tetapi seleksi untuk menduduki suatu peran atau jabatan dalam pasar kerja semakin tergantung pada sekedar lama tidaknya mengikuti pendidikan disekolah.

Pengajaran adalah pemilihan situasi yang memudahkan kegiatan belajar. Peran-peran diberikan dengan meramu suatu daftar syarat yang harus dipenuhi oleh calon kalau dia mau lolos dan naik kelas. Sekolah mengaitkan pengajaran dan bukan belajar dengan peran-peran ini. Ini tidak masuk akal dan juga tidak membebaskan. Tidak masuk akal karena cara ini tidak mengaitkan kualitas atau kemampuan yang relevan dengan peran, melainkan hanya mengaitkan proses yang memungkinkan kualitas tersebut diperoleh dengan peran. Tidak membebaskan ataupun mendidik karena sekolah menyediakan pengajaran hanya bagi orang-orang yang telah melewati jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya yang sesuai dengan tolak ukur kontrol sosial yang disepakati.

(27)

sakral dan susul menyusul. Atau, kurikulum bisa terdiri dari rangkaian kemahiran berperang atau berburu, atau kenaikan pangkat lebih tinggi tergantung pada kebaikan hati raja pada zaman dulu. Kewajiban bersekolah yang bersifat universal dimaksudkan untuk melepaskan peran sosial dari riwayat hidup pribadi, ini dimaksudkan untuk memberi setiap orang kesempatan yang sama untuk jabatan manapun. Bahkan kini banyak orang secara keliru percaya bahwa sekolah menjamin bahwa kepercayaan publik tergantung pada prestasi belajar yang relevan. Akan tetapi, bukannya memberi kesempatan yang sama, sistem sekolah justru memonopoli distribusi kesempatan tersebut (Ivan Illich, 2008:15-16).

Lebih jauh, Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem penddidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu :

a. Memberikan kesempatan pada semua orang agar bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat.

b. Memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya.

(28)

Tampaknya pendidikan justru dekat dengan hidup jika ide Ivan Illich terwujud dalam keseharian. Bayangkan jika ada masyarakat yang tiap hari, tanpa ada sekolah yang kaku dan formal, setiap orang yang pengetahuannya lebih matang bisa menjadi guru. Setiap orang dapat belajar saban waktu dan dimanapun tempatnya, membicarakan dunia kehidupannya, alam yang terjadi dengan kontradiksinya, dan masalah sosial yang tengah melandanya. Bayangkan akan ada banyak guru bagi anak-anak, dengan mendapatkan pengetahuan dan keteladanan ditempat manapun berada. Anak menghadapi kawan-kawan yang menantangnyauntuk bernalar, bersaing tanpa distandardisasi dengan rapor, bekerja sama, dan memperoleh pengertian bersama. Apabila anak beruntung, dia akan tampil untuk diperhadapkan dengan anak yang lebih tua yang berpengalaman dan mampu membimbing.

Benda-benda, contoh-contoh, kawan-kawan sebaya, dan orang-orang yang lebih tua adalah empat macam sumber belajar, yang masing-masing memerlukan cara pengelolaan yang berbeda-beda, agar dapat menjamin setiap orang mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, sekolah manusia adalah alam.

(29)

pengajaran yang diselenggarakan disekolah sebagai lembaga tempat mendidik (mengajar). Pendidikan merupakan segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja (usia sekolah) yang diserahkan kepadanya (sekolah) agar mempunyai kemampuan kognitif dan kesiapan mental yang sempurna dan berkesadaran maju yang berguna bagi mereka untuk terjun kemasyarakat, menjalin hubungan sosial, dan memikul tanggung jawab mereka sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Jadi, cara pandang sempit ini membatasi proses pendidikan berdasarkan waktu atau masa pendidikan, lingkungan pendidikan, maupun bentuk kegiatan. Pendidikan berlangsung dalam waktu yang terbatas, yaitu masa anak dan remaja. Anak-anak yang tidak masuk sekolah dianggap menakutkan. Bahkan, orang tua takut terlambat menyekolahkan anaknya. Lingkungan pendidikan pun diciptakan secara khusus dengan standar dan syarat-syarat bagi penyelenggaraan pendidikan. Ada ruang kelas, ruang administrasi, ruang guru, tempat latihan olahraga dan seni, ada laboratorium untuk melakukan tes dan penelitian.

(30)

pendidikan ditentukan oleh pihak luar dan ada pembatasan-pembatasan kemampuan.

Cara pandang sempit terhadap pendidikan ini, menurut penulis, membawa dampak-dampak buruk sebagai berikut :

a. Karena hampir semua orang menganggap pendidikan dipahami melalui lembaga sekolah, maka cara berpikir formalistik merasuk dalam pemikiran orang. Pada akhirnya para orangtua melihat pendidikan anaknya hanya dapat diandalkan dari sekolah. Mereka melihat disekolahlah tempat satu-satunya bagi anak-anaknya untuk memperoleh pengetahuan, pelatihan, dan pembentukan mental dan karakter. Hal jeleknya adalah orangtua tidak mau mendidik anaknya karena merasa anaknya sudah mendapatkan pendidikan disekolah dan tidak mempedulikan pendidikannya di luar sekolah

(31)

tanpa melibatkan si terdidik dalam proses belajar mengajar. Tiba-tiba orang tersebut mendapatkan sertifikat dengan jalan membelinya dengan harga mahal. Gaya berpikir logika-formal berlawanan dengan pikiran esensial dan dialektis sering menyesatkan. Padahal formalitas bukanlah esensi. Oleh sebab itu, ijazah ataupun (keluaran) sekolah tidak menunjukan adanya mutu. Tidak jarang orang yang bersekolah dengan tingkatan tinggi, tetapi kecerdasannya rendah, mentalnya rusak, karakternya kerdil, pengecut, dan jiwanya koruptif. Sekolah justru akan melahirkan manusia-manusia dehuman yang akan merampok seluruh potensi kemanusiaan manusia yangg hidup dalam sebuah komunitas (negara-bangsa).

(32)
(33)

e. Inilah yang terjadi pada era sekarang ini. Logika formal “nyambung” dengan logika kapitalistik yang berbasis ekonomi

budaya liberal-individualistik. Seharusnya siapapun bisa belajar, meskipun mereka tidak dapat masuk sekolah. Akan tetapi, mengapa mereka tidak melakukannya? Dikarenakan logika formal membuat hampir semua orang beranggapan bahwa belajar atau mencari pendidikan diluar sekolah itu tidak berkualitas. Sekolah itu tempat yang indah, bukan karena tempat belajar saja, melainkan juga didalamnya ada teman-teman, anak-anak muda yang merayakan eksistensi palsunya. Disekolahan tempatnya mencari gebetan atau pacar, tempatnya remaja putri pamer rambut yang baru saja di-rebounding, pamer mobil untuk menunjukan orangtuanya kaya dan pejabat tinggi, tempat cantik-cantikan, seksi-seksian, ganteng-gantengan (macho-machoan), tempat bagi godaan hidup anak muda disemai menjadi satu dimensi “gaul”, “keren”, dan itu

menjadi bagian dari sekolah.

(34)

lagi, diluar sekolah, kkegiatan belajar menjadi tidak menarik. Tidak bersekolah jelas karena miskin. Tetapi, siapakah yang akan menolong? Diluar sekolahpun tidak ada tempat belajar, terutama belajar yang terbimbing dan mendapatkan fasilitas. Celakanya, karena pendidikan oleh pemerintah dianggap sebagai sekolah, maka diluar sekolah jelas tidak adaa fasilitas. Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sendiri yang seharusnya dipenuhi justru tidak menghasilkan kegiatan apa-apa.

Pendidikan dalam arti sempit yang mereduksi proses pendidikan menjadi pengajaran ini jelas merupakan manifestasi dari proses ideologisasi kelas, terutama kelas dominan yang merupakan penguasa sumber daya ekonomi dalam masyarakat. Keluaran sekolah tidak akan diabdikan untuk kebersamaan, tetapi direduksi demi kepentingan pribadi, mencari pekerjaan atau kesuksesan pribadi dalam persaingan (kapitalistik).

(35)

Pandangan tersebut memang sangat vulgar, menyamakan anak dan siswa dengan benda dipabrik. Berharap bantuan teknologi akan lahir manusia hasil rekayasa. Cara pandang inilah yang kemudian memunculkan banyak reaksi dari para tokoh pendidikan lainnya di Barat sendiri. Banyak yang menuduh aliran ini sebagai model pendidikan konservatif karena beririsan dengan langgengnya masyarakat industrilisasi kapitalis yang mana kekuasaan kaum modal ingin menguasai anak-anak dan membentuk generasi melalui sekolah-sekolah yang merekayasa kurikulum demi kepentingannya. Dari kalangan liberalis dan progresif, model pendidikan dan sekolah ala Behavioris ini membahayakan subjektivitas anak-anak dan memasung perkembangan jiwa mereka.

Aliran psikologi Behavioris sendiri mendapatkan tantangan dari para psikolog, yang salah satunya melahirkan mazhab lain, yaitu aliran psikologi humanistik yang salah satu tokohnya yang terkenal adalah Dr. Abraham Maslow. Aliran ini menyebut dirinya juga sebagai aliran psikologi Mazhab Ketiga. Artinya, sebagai sintesis dari dua Mazhab lainnya. Dua Mazhab tersebut adalah aliran Freudianisme yang menekankan teori instinktivisme dan Behaviorisme itu sendiri.

(36)

minat Freud ada pada orang-orang yang mengalami gangguan mental, sedangkan laboratoriumnya tidak lain adalah pasien-pasien mentalnya sendiri. Freud dianggap kurang menaruh minat pada implikasi sosial dari teori-teorinya, meski jumlah karya-karyanya tidak sedikit. Freud menarik alam bawah sadar dan implikasinya bagi tingkah laku manusia. Jiwa dilukiskannya sebagai gunung es yang puncaknya, yaitu bagian yang sadar, merupakan bagian kecil dibandingkan bagian yang tak tampak, yang merupakan bagian tak sadar (alam bawah sadar, unconscious mind). Alam bawah sadar adalah letak insting primitif. Dan, dari asal binatangnya itu manusia memperoleh aneka dorongan dasar yang bersifat turunan dan naluriah (instingtif). Freud juga menolak pendidikan moral sebab menurutnya penyakit mental adalah akibat patokan-patokan moral yang terlampau tinggi bagi kodrat binatang yang ada pada manusia.

(37)

sifat-sifat terbaiknya. Akhirnya, berbeda pula dengan Behavioris, Maslow mengemukakan keyakinannya bahwa kita dapat belajar jauh lebih banyak tentang tingkah laku manusia dengan mempertimbangkan segi-segi subjektif maupun segi-segi objektifnya. Jika aspek subjektif itu diabaikan, banyak tingkah laku manusia yang kehilangan maknanya.

Freud dianggap cenderung mengabaikan adanya proses belajar secara asosiasi dan tingkah laku stimulus-resspon, sementara kaum Behavioris secaraa dogmatik menolak segala bentuk naluri, baik atau buruk. Jika tingkah laku manusia, sebagaimana diyakini kaum Behavioris, hampir seluruhnya berupa usaha defensif menghilangkan aneka ketegangan baru yang lebih banyak lagi. Lalu bagaimana mungkin orang menjadi semakin arif dan semakin baik?Bagaimana mungkin orang memiliki semangat hidup jika hidup sekadar upaya menghindari ketegangan?Mungkin terlalu terpukau menyelidiki binatang, kaum Behavioris melupakan adanya bentuk-bentuk motivasi positif pada manusia, seperti harapan, kegembiraan, dan optimisme.

(38)

manusia beserta perkembangannya menuju kehidupan yang lebih bergairah, lebih kreatif, dan lebih memuaskan secara produktivitas. Maslow menyetujui eksperimen yang dilakukan oleh Dr. Otto lewat kelas-kelas dan kelompok eksperimentalnya yang menekankan pada teknik yang paling produktif, yakni teknik yang memberi tekanan pada berbagai kemampuan dan pengalaman positif para peserta. Memberi tekanan pada kekuatan-kekuatan mereka bukan pada kelemahan mereka.

(39)

Penelitian Dr. Otto itu memiliki arti penting bagi Mazhab Ketiga dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Posisi Abraham Maslow dalam bidang pendidikan bisa diwakili melalui pernyataannya.” Saya ingin menunjukan bahwa nilai-nilai spiritual

memiliki makna yang sangat wajar, bahwa nilai-nilai tersebut bukan merupakan monopoli gereja-gereja, bahwa untuk mensahkannya tidak diperlukan konsep-konsep adikodrati, bahwa mereka ada dalam batas yuridiksi ilmu pengetahuan, karenanya juga merupakan tanggung jawab seluruh umat manusia. Jika demikian, maka kita harus meninjau kembali kedudukan nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral dalam pendidikan. Sebab, nilai-nilai tidak laggi ddipandang sebagai bidang wewenang khusus gereja, maka pengajaran nilai-nilai disekolah-sekolah tidak perlu menghapuskan tembok pemisah antara Gereja dan Negara” (Goble,

1991:250).

(40)

dominasi dan pemerasan, sikap tidak menyerah pada propoganda dan ketidakbenaran (Goble, 1991:250).

Pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-undang ini mengungkapkan satu sistem sebagai berikut :

a. Berakar pada kebudayaan nasional dan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta melanjutkan dan meningkatkan pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa).

b. Merupakan satu keseluruhan dan dikembangkan untuk ikut

berusaha mencapai tujuan nasional.

c. Mencakup, baik jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

d. Mengatur bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas 3 (tiga) jenjang utama, yang masing-masing terbagi pula dalam jenjang atau tingkatan.

e. Mengatur bahwa kurikulum, peserta didik, dan tenaga kependidikan terutama guru, dosen, atau tenaga pengajar merupakan tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar mengajar.

(41)

g. Menyelenggarakan satuan dan kegiatan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

h. Mengatur bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang

diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat berkedudukan serta diperlakukan dengan penggunaan ukuran yang sama.

i. Mengatur bahwa satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakannya sesuai dengan ciri atau kekhususan masing-masing sepanjang ciri itu tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, dan ideologi bangsa dan negara.

j. Memudahkan peserta didik memperoleh pendidikan yang sesuai dengan bakat, minat, dan tujuan yang hendak dicapai serta memudahkannya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.

(42)

berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1989). Sistem Pendidikan Nasional termasuk dalam kategori sistem buatan manusia, artinya sistem pendidikan nasional lahir dari suatu usaha sadar yang dirancang, diatur, dan dilaksanakan secara sengaja dalam rangka mencapai tujuan nasional pendidikan. Sistem pendidikan nasional dimunculkan sebagai wahana pembinaan dan pengembangan bangsa, wahana sistem bagi pendidikan bangsa.

Sistem pendidikan nasional sesuai dengan lingkungannya, tentulah harus bersifat menyeluruh, semesta dan terpadu yang membawa implikasi makna yaitu sebagai berikut :

1. Terbukanya pendidikan nasional bagi seluruh rakyat.

2. Beragamnya program pendidikan sesuai kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang hidup dan berkembang dimasyarakat.

3. Terjalinnya totalitas fungsional diantara komponen-komponen yang berperan didalam upaya pendidikan bangsa.

(43)

Adapun corak pembangunan dari sistem pendidikan nasional yang menyeluruh, semesta dan terpadu tentu saja perlu diikuti dengan kebijakan politik yang mempunyai kekuatan mengatur terhadap seluruh abdi negara (Pemerintah dan seluruh warga negara). Setelah lahir sebagai kebijakan politik,selanjutnya perlu diterapkan secara konsekuen dan konsisten, sehingga benar-benar terwujud haluan pendidikan nasional. Dalam hubungan ini, hasil kerja komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional merupakan salah satu bahan yang berharga guna memantapkan konsepsi dari sistem pendidikan nasional yang menyeluruh, semesta, dan terpadu.

Sistem pendidikan nasional Indonesia dewasa ini menghendaki berlakunya konsep pendidikan seumur hidup, yaitu konsep pendidikan terpadu yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Pendidikan berlangsung dalam seluruh tahapan perkembangan hidup seseorang, lahir sampai mati pendidikan tidak mengenal batas usia.

b. Pendidikan mencakup perkembangan semua aspek kepribadian (fisik, intelektual, afektif, spiritual) dan semua aspek peranan dalam kehidupan (pribadi, sosial, profesional).

(44)

d. Pendidikan terjadi dalam semua pengalaman hidup baik yang berlangsung dalam bentuk pendidikan formal, informal, maupun non formal (Redja Mudyanharjo, 1992 : 27).

Ditinjau dari konsep pendidikan seumur hidup, sistem pendidikan nasional Indonesia terdiri atas tiga subsistem, yaitu subsistem pendidikan formal, subsistem pendidikan informal, dan subsistem pendidikan nonformal. Batas antara ketiga subsistem tersebut tidak jelas, karena sistem pendidikan adalah sistem yang terbentuk dari rangkaian peristiwa yang terus berkembang. Zahara Idris mengemukakan Pendidikan Nasional sebagai suatu sistem adalah karya manusia yang terdiri dari komponen-komponen yang mempunyai hubungan fungsional dalam rangka membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan tingkah laku seseorang sesuai dengan tujuan nasional tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Fuad Ihsan, 2001 : 115).

(45)

sistem yang terbuka yang oleh Katz dan Khan diberi definisi sebagai sistem yang memperoleh masukan dari lingkungan dan memberikan hasil transformasinya kepada lingkungan (Fuad Ihsan, 2001 : 116).

f. Karakter

Penulis paparkan tentang beberapa pengertian karakter itu dari beberapa sumber literatur yang dikemukakan oleh para ilmuwan, diantaranya sebagai berikut.

1) Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak

atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain (Hidayatullah, 2010: 13).

2) Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, Charassein, yang artinya mengukir (Munir, 2010: 2).

3) Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi pernyataan dan tindakan (Khan, 2010: 1).

4) Karakter atau watak adalah ciri khas seseorang sehingga menyebabkan ia berbeda dari orang lain secara keseluruhan

(Sastrowardoyo dalam Said, 2011: 11) .

(46)

karakter, budi pekerti dengan akhlak. Hal ini dikuatkan dengan pendapatnya Sa‟aduddin dalam Hidayatullah (2010: 11), yang mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, antara lain ; tabi‟at, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa

dikehendaki dan tanpa diupayakan, dapat berarti adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan yakni berdasarkan keinginannya dan juga dapat diartikan watak cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabi‟at dan hal-hal-hal yang diupayakan hingga menjadi

adat. Dengan kata lain pengertian karakter, akhlak, moral dan budi pekerti tidak memiliki perbedaan yang signifikan, sehingga menurut Munir (2010: 5), karakter itu dapat dibentuk, jika karakter bukan merupakan seratus persen turunan dari orang tuanya, namun jika gen hanyalah salah satu faktor pembentuk karakter, kita akan menyakini bahwa karakter bisa dibentuk semenjak lahir, jadi disini peran orang tua sangat besar dalam pembentukan karakter.

(47)

kokoh, buutuh waktu lama dan energi yang tidak sedikit untuk mengubahnya.

g. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang di ajarnya (Samani, 2012: 43).

Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat. Sedikitnya, ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan karakter. Keempat alasan itu adalah.

a. Karena banyak keluarga (tradisional maupun non tradisional) yang tidak melaksanakan pendidikan karakter.

b. Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas, tetapi juga anak yang baik.

c. Kecerdasan seorang anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan.

(48)

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat di pertanggung jawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivitas otak tengah secara alami (Khan, 2010: 1).

2. Teori dan Pendekatan

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan kecerdasan emosi seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Muslich, 2011: 29).

Menurut Hidayatullah (2010:39), bahwa strategi pendidikan karakter dapat dilakukan dengan melalui sikap-sikap sebagai berikut.

1) Keteladanan

(49)

layak dicontoh. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keteladanan merupakan pendekatan pendidikan yang paling ampuh. Setidaknya ada 3 unsur agar seseorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu. a. Kesiapan untuk dinilai

b. Memiliki kompetensi minimal c. Memiliki integritas moral

Dalam pendidikan karakter tugas seorang guru selaku pendidik amat sangat penting sekali, menurut Musbikin (2010: 35), bahwa salah satu tugas khusus seorang guru adalah harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya.

2) Penanaman kedisiplinan

Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter. Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Sebaliknya, banyak upaya membangun sesuatu tidak berhasil karena kurang atau tidak disiplin. Penegakan kedisiplinan antara lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti peningkatan motivasi, pendidikan dan latihan, kepemimpinan, penerapan penghargaan dan hukuman dan penegakan aturan.

3) Pembiasaan

(50)

Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak-anak pun paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut orang tuanya.

4) Menciptakan suasana yang kondusif

Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan karakter ada pada semua pihak yang mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Maka menciptakan suasana yang kondusif di lingkungan mana saja merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter.

5) Integrasi dan internalisasi

Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai, karena pendidikan karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan dan terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek kehidupan. Untuk itu diperhatikan pembiasaan diri untuk masuk kedalam hati agar tumbuh dari dalam. Pentingnya pendidikan atau pembelajaran terintegrasi atau terpadu didasarkan pada beberapa asumsi dan dasar pemikiran sebagai berikut.

a. Fenomena yang tidak berdiri sendiri, maksudnya fenomena yang ada di dalam kehidupan dan di lingkungan kita selalu terkait dengan fenomena atau aspek yang lain.

(51)

c. Tidak dikolomi, jika objek dipandang sebagai fenomena yang tidak berdiri sendiri dan sekaligus merupakan suatu keutuhan, maka objek tidak dapat dipisahkan (Asmani, 2011: 50).

Bila berbicara mengenai pendidikan (edukasi) di museum, maka tidak dapat dipisahkan dari teori yang mendasarinya. Hein dalam bukunya yang berjudul Learning in the Museum menjelaskan bahwa teori pendidikan (edukasi) terdiri atas teori belajar (learning theories) dan teori pengetahuan (theories of knowledge) (Hein, 1998:16). Ada dua pandangan yang saling berlawanan dalam teori pengetahuan, yang pertama berpendapat bahwa pengetahuan itu berada di luar atau terpisah dari diri si pelajar, pandangan ini disebut dengan realisme. Sementara itu, lawan dari realisme, yaitu idealisme menyatakan bahwa pengetahuan itu berada dalam pikiran dan dibangun oleh si pelajar (Hein, 1998:17 – 18; 1994;73 – 74; 1995:21; Hooper-Greenhill, 1994:68). Dua pendapat tersebut dapat digambarkan dalam sebuah kontinum seperti berikut.

Gambar 2.1 Teori Pengetahuan (Sumber: Hein, 1995:21)

Selanjutnya, teori belajar yang mendasari pemikiran mengenai bagaimana seseorang belajar juga terdiri atas dua pandangan yang berbeda. Pandangan yang pertama berasumsi bahwa belajar terdiri atas asimilasi

Teori Pengetahuan Pengetahuan

berada terpisah dari pelajar

(Realisme)

Pengetahuan berada dalam pikiran,

(52)

incremental dari berbagai informasi, fakta dan pengalaman, hingga akhirnya menghasilkan pengetahuan (behaviorisme). Sementara itu, menurut konstruktivisme, belajar terdiri atas seleksi dan organisasi data yang relevan dari pengalaman, dalam hal ini mereka meyakini bahwa orang belajar dengan membentuk pengetahuannya (Hein, 1998: 21 – 23; 1994:74; Hooper-Greenhill, 1994:21). Seperti teori pengetahuan, teori belajar ini juga dapat ditampilkan dalam kontinum seperti berikut:

Gambar 2.2 Teori Belajar (Sumber: Hein, 1995:25)

Behaviorisme berpendapat bahwa Guru memiliki 2(dua) tanggung jawab, yang Pertama Guru harus memahami struktur subjek pengetahuan yang akan diajarkan. Banyak karya intelektual barat sejak Renaissance dikhususkan untuk mengelaborasi sistematis pengetahuan dengan asumsi bahwa skema yang dihasilkan secara independen dari pikiran yang terorganisir itu. Karya intelektual ini berusaha untuk mengembangkan hukum yang mengatur pergerakan tata surya, klasifikasi tanaman dan hewan, atau aturan untuk organisasi masyarakat dalam semua kondisi. Tanggung jawab Kedua Guru menyajikan pengetahuan yang diajarkan tepat, sehingga siswa dapat belajar. Dengan demikian, ada urutan logis

Belajar secara incremental

Belajar dengan ditambahkan sedikit membangun

demi sedikit (behaviorisme)

(53)

dari mengajar ditentukan oleh subjek yang akan diajarkan membuatnya mudah untuk belajar.

Konstruktivisme berpendapat bahwa baik pengetahuan yang telah diperoleh tergantung pada pikiran peserta didik. Dimana pada saat mereka belajar, mereka tidak hanya menambahkan fakta baru untuk apa yang dikenal dan menciptakan pemahaman dan kemampuan untuk belajar saat mereka berinteraksi dengan dunia.

Oleh Hooper-Greenhil, dua pendekatan pada teori pengetahuan dan teori belajar ini dapat mendukung interpretasi peran dari pengajar. Jika kita berpikir bahwa pengetahuan berada di luar diri orang yang belajar, dan proses belajar tersebut menjadi bagian dari pengetahuan, maka tugas bagi pengajar adalah untuk mengirimkan pengetahuan itu kepada orang yang belajar. Orang yang belajar dianggap sebagai „botol kosong yang harus

diisi‟, pasif dan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan oleh

pengajar. Sementara jika kita berpikir bahwa pengetahuan dihasilkan oleh orang yang sudah memiliki pengetahuan tersebut, dan prosesnya sebagai aktivitas pikiran dengan kerangka sosial budaya, maka peran pengajar adalah sebagai fasilitator (Hooper-Greenhill, 1994:68).

(54)

museum dapat menggunakan cara didaktik sebagai aspek lain dalam hubungannya dengan publiknya (Hooper-Greenhill, 1994:68).

Berdasarkan konsep dan teori pendidikan (edukasi) di museum tersebut, maka dalam penentuan strategi edukasinya, museum dapat menggunakan strategi belajar aktif (active learning) yang dapat melibatkan seluruh indra dan pengalaman pengunjung lewat konsep edutainment. Dalam pelaksanaannya, dan dalam rangka memperluas akses masyarakat, museum dapat menerapkan strategi edukasi di dalam dan di luar museum, atau bahkan perpaduan keduanya. Dengan cara ini, diharapkan museum dapat membuat strategi edukasi dengan tepat, yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Sejarah Lokal. Metode yang digunakan adalah metode sejarah kritis. Metode sejarah itu sendiri merupakan sekumpulan prinsip dan aturan yang memberikan bantuan secara efektif dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian menyajikan suatu sintesis dan hasil-hasilnya dalam bentuk ilmiah (Gottschalk, 1975:34).

Untuk menelaah Peranan Museum Soesilo Soedarman Terhadap Pendidikan Tahun 2000-2013 digunakan metode sejarah. Dalam metode sejarah langkah-langkah penelitian terdiri dari 4 tahap, yaitu Heuristik atau Pengumpulan Sumber, Kritik Sumber baik Kritik Intern maupun Ekstern, Interpretasi, dan Historiografi atau Penulisan.

(55)

dokumen yang berbentuk Militair Journal serta wawancara dengan pengelola museum dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan Soesilo Soedarman.

Kritik sumber dilakukan secara objektif, yaitu menyelidiki sumber-sumber sejarah secara cermat dan menekankan pada sumber-sumber primer sehingga diperoleh data yang akurat. Kritik Ekstern , melalui tahap ini dapat diperoleh sumber yang dikehendaki, artinya otentik tidaknya atau sejati tidaknya suatu sumber. Asli atau tidaknya sumber, Artinya setelah dianalisa sumber itu asli atau turunan.Utuh tidaknya sumber, artinya kritik teks untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya keutuhan (Otentisitas) isi sumber asli. Kritik Intern mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan bahwa sumber yang dihadapi memang sumber yang dicari. Kritik Intern harus membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber dapat dipercaya.

Buktinya diperoleh dengan cara penilaian Intrinsik terhadap sumber-sumber dan membandingkan kesaksian dari berbagai sumber-sumber. Interpretasi fakta dilakukan dengan menghubungkan data dari sumber tertulis dengan data hasil wawancara. Penyajian merupakan kegiatan penulisan sejarah dalam bentuk publikasi hasil Interpretasi data dengan menggunakan prinsip-prinsip historiografi (Notosusanto, 1978:39-40).

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai isi pembahasan laporan ini, maka penulis membuat sistematika penulisan pada laporan Tugas Akhir sebagai berikut :

(56)

Dalam bab ini meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori dan Pendekatan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Latar Belakang Pendirian Museum Soesilo Soedarman

Menguraikan tentang Perjalanan Hidup Soesilo Soedarman, latar belakang berdirinya Museum Soesilo Soedarman, dan Fungsi Museum Soesilo Soedarman.

BAB III Peranan Museum Soesilo Soedarman terhadap Pendidikan Karakter Pada bab ini menguraikan tentang Peranan Museum Soesilo Soedarman terhadap Pendidikan Karakter

BAB IV Hambatan apa saja yang dihadapi oleh pihak Pengelola dan bagaimana cara mengelolanya

BAB V Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Pasar sebagai sistem maksudnya adalah pasar yang mempunyai suatu kesatuan dari komponen-komponen yang mempunyai fungsi untuk mendukung fungsi secara keseluruhan,

Kedua jenis pajak tersebut mempunyai mempunyai hubungan timbal baik yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainya, karena penghasilan yang yang dibayarkan kepada karyawan

Sebagai suatu karya ilmiah, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan wawasan ilmu pendidikan khususnya dalam mengkaji pengaruh motivasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dan pengaruh komponen Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disebut SPM terhadap capaian laik operasi jalan tol sehingga

Masyarakat Laweyan bukanlah keturunan bangsawan, tetapi karena mempunyai hubungan yang erat dengan keraton melalui perdagangan batik serta didukung dengan kekayaan yang ada,

Supriadi (1994) mengemukakan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun hasil karya nyata yang relatif berbeda

Karean itulah, manusia denga “hak bebas” nya beserta keuatan dan kekuasaan (power) selalu disesuaikan dengan kehendaknya dalam rangka pemeliharaan diri (Hobbes dalam

Yang sepenuhnya bertitik tolak dari tujuan ajaran Islam itu sendiri, yaitu membentuk manusia yang berkepribadian muslim yang bertaqwa dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahan dan