PARAMETER INDIKATOR
INBREEDING RATE
PADA
POPULASI TERNAK KERBAU DI KABUPATEN LEBAK,
PROVINSI BANTEN
(Indicator Parameter of Inbreeding Rate of Buffalo Population in Lebak
Banten Province)
L.PRAHARANI,E.JUARINI danI.G.M.BUDIARSANA Balai Penelitian Ternak PO Box 221 Bogor 16002
ABSTRACT
Buffaloes have important role in the life of people especially for Banten people, where its population is in the fifth rank in animal population in Indonesia. The share of buffalo meat in the beef availability in Lebak District is quit significant. Therefore effort in improving productivity of buffalo should become the first priority. A research was done to estimate the level of inbreeding occurred and also its performance. This study was done through survey method, done to 56 buffalo farmers and observation was done on 133 heads of buffalo. This study was done in two villages, namely Kadung Agung and Cimangenteg. Parameter observed were the rate of albino birth, effective breeding population structure (number of productive female and male buffaloes), length of breeding in one location, and reproductive performance. Results show that albino occurrence was 40% of population, and inbreeding rate was 0.127. Calving interval was 2.5 years with calving rate was 40%. First estrous occurred in the age of 2.5 years, and first calving was at the age of 3.5 years. High rate of albino occurrence- indicating high inbreeding level in that population and coupled with low reproductive performance indicating that something has to be done to improve buffalo performance in this area. It is suggested that breeding should become first priority of attention.
Key Words: Inbreeding, Buffalo, Banten
ABSTRAK
Ternak kerbau mempunyai peranan penting dalam masyarakat khususnya di Provinsi Banten dimana jumlah populasi ternak kerbau menduduki peringkat ke lima di Indonesia. Sumbangan daging kerbau dalam penyediaan daging di Kabupaten Lebak cukup besar, sehingga upaya peningkatan produktivitas ternak kerbau mendapat perhatian. Suatu penelitian dilakukan untuk mengestimasi tingkat inbreeding ternak kerbau dan performanya. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei pada peternakan rakyat di Kabupaten Lebak. Wawancara terhadap 56 peternak dan pengamatan terhadap 133 ekor ternak kerbau dilakukan di Neglasari dan Cimangenteg. Parameter yang diukur adalah tingkat kejadian albino, struktur populasi breeding efektif (jumlah betina produktif dan pejantan), lama penggunaan pejantan dalam lokasi, dan reproduktivitas ternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40% dari populasi ternak kerbau albino dan tingkat inbreeding sebesar 0,127. Rataan jarak beranak 2,5 tahun, persentase beranak 40%. Umur berahi pertama 2,5 tahun beranak pertama 3,5 tahun. Tingginya tingkat inbreeding yang ditandai dengan persentase kejadian albino yang tinggi serta rendahnya reproduktivitas ternak kerbau merupakan peringatan akan perlunya perhatian dan penanganan aspek pemuliaan untuk meningkatkan produktivitas ternak kerbau.
Kata Kunci: Inbreeding, Kerbau, Banten
PENDAHULUAN
Ternak kerbau mempunyai potensi selain sebagai sumber tenaga kerja, juga berperan penting dalam penyediaan daging, susu dan pupuk. Peran penting ternak kerbau semakin strategis pada daerah-daerah tertentu di
Indonesia. Di Toraja (Sulawesi Selatan), kerbau dijadikan sebagai ternak pelengkap pada acara sosial keagamaan. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Blora dan Banten, preferensi daging kerbau lebih tinggi dimana masyarakat lebih suka mengkonsumsi daging kerbau. Lebih dari 90% ternak kerbau
dipelihara dengan sistem pemeliharaan tradisional pada skala pemilikan 2 – 3 ekor per rumah tangga peternak. Tercatat sebanyak 405.605 rumah tangga petani memelihara dan bergantung pada ternak kerbau (DITJENNAK, 2008). Produktivitas ternak kerbau selayaknya perlu ditingkatkan mengingat perannya dalam usaha tani dan rumah tangga peternak, selain juga kontribusinya sebesar 10,82% terhadap penyediaan daging sapi (DITJENNAK, 2008).
Secara umum populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 1925 menurut WIRYOSUHANTO (1980) dengan laju penurunan yang semakin besar. Berdasarkan data statistik populasi dari DITJENNAK (2008), sejak tahun 2000 sampai 2008 populasi ternak kerbau tidak meningkat dan cenderung menurun 8,85% dengan rataan tingkat penurunan sebesar 1,03% per tahun selama kurun waktu delapan tahun. Penurunan populasi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya produktivitas ternak kerbau, masih tingginya angka kematian ternak, dan pemotongan ternak betina produktif dimana angka pemotongan betina produktif mencapai 71,77% seperti yang dilaporkan di Nusa Tenggara Barat (MUTHALIB, 2006).
Provinsi Banten, termasuk salah satu dari sepuluh Provinsi yang memiliki populasi kerbau terbanyak yaitu sebesar 163.552 ekor dari total 2.045.548 juta atau 7,8% (DITJENNAK, 2008). Peningkatan populasi ternak kerbau sangat lambat dan cenderung menurun. Populasi ternak kerbau pada tahun 1994 sebesar 172.382 ekor, Namur pada tahun 2008 tercatat hanya 163.834 ekor (DITJENNAK, 2008). Ini berarti terjadi penurunan populasi rata-rata 0,32% per tahun.
Rendahnya produktivitas ternak kerbau berkaitan dengan pendugaan terjadinya penurunan mutu genetik di beberapa daerah yang ditunjukkan melalui tingginya tingkat
inbreeding yang disebabkan oleh jumlah ternak yang sedikit dalam satu kelompok sehingga terjadi perkawinan dalam keluarga. Penurunan mutu genetik juga diduga disebabkan oleh inferioritas pejantan yang digunakan dalam kelompok dimana pengeluaran pejantan superior yang dijual ke pasar untuk dipotong. Apabila kondisi ini dibiarkan terus tanpa
kesulitan. Oleh karena itu perlu ada usaha-usaha dari berbagai pihak untuk mendorong berkembangnya ternak kerbau di Indonesia.
Tingginya tingkat inbreeding seperti yang dilaporkan oleh TRIWULANINGSIH, (2005) pada sistem pemeliharaan tradisional menyebabkan kualitas bibit kerbau menurun dan berakibat pada perkembangan populasi yang lambat. Indikator terjadinya inbreeding pada populasi ternak kerbau ditandai dengan gejala kelainan/cacat genetik seperti tanduk melengkung kebawah, dan tingginya kejadian albino. Selain itu juga beberapa laporan menyebutkan rendahnya jumlah pejantan dalam suatu kelompok breeding (persentase pejantan dan betina produktif) dan panjangnya lama pemakaian pejantan dalam kelompok breeding yang lebih dari 5 tahun. Laporan BAMUALIM dan ZULBARDI (2007) di
Kabupaten Brebes Jawa Tengah,
memperlihatkan bahwa dari sejumlah 172 ekor kerbau milik petani terdapat sebanyak 147 ekor betina dan 25 ekor jantan, tetapi kerbau jantan tersebut yang dapat dipakai sebagai pemacek hanya 2 ekor, pejantan muda satu ekor dan lainnya lepas sapih.
Pengaruh perkawinan saudara dekat (inbreeding) pada ternak sangat besar terhadap produktivitas ternak. Inbreeding depression atau tekanan inbreeding pada ternak biasanya dapat menyebabkan penurunan sifat performa ternak (pertumbuhan), tingginya mortalitas dan rendahnya reproduktivitas. Salah satu dampak ekonomis tingginya tingkat inbreeding adalah inbreeding depression dimana terjadinya penurunan rataan phenotypic terutama pada sifat-sifat yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebagai contoh pada ternak sapi dilaporkan kenaikan 1% tingkat inbreeding akan menurunkan produksi susu 9,84 – 29,6 kg, kandungan lemak susu 0,55 – 1,08 kg, protein susu 0,80 – 0,97 kg (CROQUET et al., 2006; MRODE et al., 2004). Sifat ekonomis yang paling dipengaruhi oleh tingkat inbreeding
adalah performa reproduksi (CASSELL et al., 2003 dan WEIGEL dan BARLASS, 2003). Sementara itu, dampak penurunan keuntungan akibat inbreeding dilaporkan oleh CROQUET et al., (2006) sebesar U$22 sampai $24 per ekor setiap kenaikan tingkat inbreeding sebesar 1%.
seperti dikatakan dalam kebanyakan laporan dari beberapa daerah di Indonesia (ALKHUDRI, 2008; SOFYADI, 2009; ACHYADI, et al., 2008; MAWI, 2009; SUSILAWATI dan BUSTAMI, 2009) dengan indikasi semakin menurunnya ukuran tubuh ternak kerbau, fertilitas, kekebalan tubuh terhadap penyakit dan munculnya kerbau bule (albino). Perhitungan besarnya tingkat inbreeding pada ternak kerbau yang sesungguhnya belum ada laporannya. Oleh karena itu suatu penelitian dilakukan di Kabupaten Lebak, Banten bertujuan mengetahui tingkat inbreeding yang terjadi dalam populasi ternak kerbau dan pengaruhnya terhadap performa ternak.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Desa Neglasari (Kecamatan Cibadak) dan Desa Cimangenteg (Kecamatan Rangkas), Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pemilihan Kabupaten Lebak berdasarkan tingginya populasi kerbau di Kabupaten Lebak atau 36% dari total populasi kerbau di Provinsi Banten.
Metode survei dan wawancara terhadap 56 orang peternak kerbau untuk memperoleh data primer meliputi manajemen pemeliharaan ternak dan produktivitas ternak. Parameter yang diukur adalah tingkat kejadian albino, populasi breeding efektif (jumlah betina produktif dan pejantan), lama penggunaan pejantan dalam lokasi, dan reproduktivitas (persentase beranak, jarak beranak, umur beranak dan dewasa kelamin) ternak. Sementara itu, perhitungan tingkat inbreeding
(inbreeding rate) berdasarkan rumus: ΔF = 1/(8Nm) + 1/(8Nf) Keterangan:
F = tingkat inbreeding
Nm = jumlah pejantan Nf = jumlah betina
(FALCONER and MACKAY, 1996). Analisa data dilakukan secara deskriptif. Karena tidak ada
recording berdasarkan silsilah maka perhitungan laju inbreeding dilakukan dengan rumus diatas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem pemeliharaan ternak kerbau secara umum di lokasi penelitian seperti terdapat dalam Tabel 1. Pemeliharaan kerbau pada ke dua lokasi penelitian bertujuan mendapatkan anak yang dibesarkan dan dijual pada umur 3-4 tahun. Peternak biasanya hanya menjual ternak jantan, sedangkan ternak betina tetap dipelihara dalam kelompoknya.
Pemeliharaan ternak kerbau masih dilakukan secara tradisional, meskipun pelatihan dan penyuluhan dari dinas terkait telah dilakukan. Peternak belum mampu menerapkan teknologi yang telah dipelajari disebabkan pola usaha ternak kerbau masih bersifat sampingan dan berskala kecil serta peran ternak kerbau masih sebagai tabungan. Pencatatan produksi dan perkawinan ternak belum dilakukan, sehingga informasi yang diperoleh dari hasil wawancara hanya berdasarkan daya ingat peternak.
Sistem pemeliharaan pada kedua lokasi penelitian tidak berbeda yaitu semi intensif; dimana kerbau digembalakan di lahan milik perorangan pada siang hari dan kembali ke kandang pada sore hari. Kandang terletak di sebidang tanah yang belum dimanfaatkan oleh pemiliknya yang dapat berubah fungsi penggunaanya setiap saat, dan menggusur peternakan kerbau pada lokasi tersebut. Kandang dibangun secara berkelompok antara 2 – 3 kandang individu per peternak. Jumlah peternak per kelompok di Neglasari sebanyak 42 peternak, sementara di Cimangenteg sebanyak 14 peternak yang memelihara kerbau pada lahan yang sama. Kerbau biasanya dibawa ke sungai dekat kandang kelompok pada siang hari untuk berkubang. Oleh karena itu umumnya lokasi kandang kelompok kerbau dipilih tidak jauh dari sungai yang digunakan sebagai tempat berkubang.
Peternak menyediakan pakan tambahan berupa rumput gajah atau limbah pertanian (jerami jagung/batang pisang/jerami padi) pada malam hari. Sementara itu, pakan tambahan seperti dedak atau singkong hanya diberikan
Tabel 1. Sistem pemeliharaan kerbau di Kabupaten Lebak
Uraian Neglasari, Cibadak Cimangenteg, Rangkas
Jumlah peternak per kelompok 42 14
Lama pemeliharaan Sejak tahun 1994 2000 Sistem pemeliharaan Semi intensif Semi intensif Kandang Berkelompok dalam satu kawasan
lahan kosong milik perorangan
Beberapa kelompok kandang individu berdasarkan pemilik Pakan Penggembalaan rumput lapang, di
lahan kosong bukan milik peternak. Jerami/rumput lapang disediakan juga dikandang malam hari
Penggembalaan di lahan kosong, hijauan disediakan ditambah campuran dedak dan onggok
Tujuan usaha Penghasil anak dan pembesaran Penghasil anak dan pembesaran
Inovasi teknologi Belum ada Belum ada
kemarau, peternak mengalami kesulitan mencari pakan hijauan dimana rumput lapang di lahan penggembalaan kering, sehingga biasanya ternak hanya diberi pakan jerami padi dalam kandang.
Perkawinan ternak dilakukan dengan sistem kawin alam menggunakan pejantan milik peternak dalam kelompok. Ketersediaan pejantan di dalam kelompok peternak sangat terbatas dimana hanya ada satu pejantan yang digunakan sebagai pemacek untuk 54 ekor betina produktif pada kelompok ternak Neglasari dan 13 betina pada kelompok Cimangenteg. Keterbatasan pemilikan pejantan di kelompok peternak disebabkan oleh hampir semua ternak jantan dijual oleh peternak karena harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Pejantan pemacek berasal dari dalam kelompok yang telah digunakan selama lebih dari 4 tahun, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan antara pejantan dan anak betinanya. Pejantan pemacek pada kelompok ternak Neglasari berwarna albino, sehingga sebagian ternak kerbau di dalam kelompok ternak ini berwarna albino. Kerbau jantan berwarna hitam biasanya dijual oleh peternak karena harganya lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau albino.
Tingkat inbreeding
Kelompok ternak kerbau Neglasari telah
pemacek biasanya berasal dari dalam kelompok dan betina yang lahir dalam kelompok tetap dipelihara dan pemasukan ternak jantan dan betina dari luar kelompok jarang dilakukan. Pada kelompok ternak di lokasi ini terdapat sejumlah 42 ekor albino atau 42% dari jumlah ternak yang dipelihara. Tabel 2 menunjukan kejadian albino di Neglasari Sementara itu, di Cimangenteg tidak terlihat kejadian albino pada saat pengamatan dilakukan. Pejantan yang digunakan di kelompok Cimangenteg berwarna hitam (abu-abu), tetapi diduga pembawa gen resesif albino, karena dijumpai anak kerbau yang albino.
Tingginya kejadian albino di Neglasari disebabkan oleh pejantan yang digunakan sebagai pemacek berwarna albino sehingga menyebabkan 40% kerbau di kelompok Neglasari albino. Pejantan tersebut telah digunakan selama lebih dari 4 tahun karena kurangnya pejantan pada kelompok ini disebabkan tingginya ternak jantan yang dijual. Tingkat inbreeding di kelompok Kadung Agung bila dihitung menggunakan rumus FALCONER and MACKAY (1996) berdasarkan jumlah betina 54 ekor dan pejantan pemacek satu ekor, maka diperoleh tingkat inbreeding sebesar 0,127. Sementara itu, tingkat inbreeding pada kelompok ternak Cimangenteg sebesar 0,134. Perbedaan tingkat inbreeding di kedua kelompok disebabkan perbedaan jumlah betina produktif. Tingginya tingkat inbreeding
Tabel 2. Struktur populasi dan kejadian Albino ternak di Kabupaten Lebak
Lokasi Betina Jantan
anak dara induk anak muda pejantan
Neglasari 5 23 54 7 10 1
Albino 3 (60%) 9 (39%) 22 (40%) 3 (43%) 4 (40%) 1
Cimangenteg 4 8 13 3 1 (hitam)
dari tingginya kejadian albino sebesar 40% dalam populasi.
Besarnya tingkat inbreeding dalam kelompok Neglasari ini perlu menjadi perhatian utama bagi peningkatan produktivitas ternak melalui perbaikan mutu genetik ternak. Tingkat inbreeding yang tinggi dapat menyebabkan tekanan inbreeding yang ditandai dengan penurunan performa produksi dan reproduksi ternak (MRODE et al., 2004) mengakibatkan menurunnya keuntungan usaha ternak (CROQUET et al., 2006). Beberapa laporan menduga adanya tekanan inbreeding dalam kelompok populasi yang berdampak pada penurunan produktivitas dan lambatnya peningkatan populasi ternak (ALKHUDRI, 2008; SOFYADI, 2009; ACHYADI et al., 2007; MAWI, 2009; SUSILAWATI dan BUSTAMI, 2009).
Perkawinan saudara dekat atau sedarah menyebabkan sifat resesif lebih banyak muncul salah satunya seperti sifat albino (resesif). Beberapa faktor penyebab terjadinya
inbreeding pada kedua kelompok ternak ini antara lain populasi tertutup, sistem perkawinan tidak terarah, kurangnya tingkat pengetahuan peternak dan keterbatasan pejantan. Inbreeding pada kelompok ternak di lokasi tersebut dapat dihindari melalui pemasukan pejantan terseleksi dari luar kelompok ternak, pengaturan sistem perkawinan dengan cara membatasi penggunaan pejantan hanya untuk jangka waktu pemakaian pejantan selama 2 tahun, dan melakukan rotasi penggunaan pejantan antar kelompok ternak.
Salah satu usaha mengurangi kejadian perkawinan sedarah adalah pemasukan pejantan dari luar kelompok ternak. Informasi yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Lebak menyebutkan telah dilakukannya kerjasama antara Dinas Peternakan setempat dengan Dinas Peternakan Kalimantan Selatan dalam penyediaan semen
untuk kerbau yang berasal dari Kalimantan Selatan termasuk semen kerbau yang berasal dari Tana Toraja.
Performa reproduksi ternak
Performa reproduksi ternak pada kelompok Neglasari dan Cimangenteg disajikan dalam Tabel 3. Secara umum performa reproduksi kerbau di kedua kelompok ternak tidak berbeda. Ternak kerbau betina pertama kali dikawinkan pada umur 3,5 – 3,8 tahun dimana umumnya berahi pertama terjadi pada umur 2,5 – 3 tahun. Rataan jarak beranak ternak kerbau antara 2,5 – 2,8 tahun dengan persentase beranak 40 – 50%.
Performa reproduksi pada kedua kelompok Kadung Agung dan Cimangenteg secara umum hampir sama dengan performa kerbau dari beberapa Provinsi di Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh SIREGAR dan DIWYANTO (1996), PASAMBE et al. (2006), DILAGA et al. (2003). Tetapi bila dibandingkan dengan performa reproduksi kerbau di Vietnam (DUNG, 2006) terlihat bahwa kelompok Neglasari dan Cimangenteg lebih rendah. Faktor penyebab rendahnya performa kerbau antara lain rendahnya mutu genetik ternak kemungkinan disebabkan oleh tekanan inbreeding, manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan.
Tekanan inbreeding berpengaruh besar terhadap penurunan performa reproduksi seperti menurunnya tingkat kesuburan (CASSELL et al., 2003 dan WEIGEL dan BARLASS, 2003). Menurut laporan MAWI (2009) tingkat kelahiran kerbau kalang di Kabupaten Kutai hanya sebesar 20,6% yang kemungkinan disebabkan oleh tekanan
Tabel 3. Performa Reproduktivitas Ternak Kerbau di Kabupaten Lebak
Parameter Lokasi Pengamatan
Neglasari, Cibadak Cimangenteg, Rangkas
Jumlah ternak, ekor 100 33
Umur berahi pertama 2,5 2,5
Umur beranak pertama 3,5 3,8
Jarak beranak (tahun) 2,5 2,8
Calving rate (%) 40 50
Mortalitas (%) 2 1
Pejantan pemacek (ekor) 1 1
Penggunaan pejantan (tahun) 4 1
Asal pejantan desa asal membeli
inbreeding pada daerah tersebut. Rendahnya kesuburan ternak kerbau dilaporkan oleh ACHYADI (2007) dimana 52 ekor kerbau betina yang dikawinkan hanya 10 ekor bunting atau 19%.
KESIMPULAN
Tingkat inbreeding di Kabupaten Lebak cukup tinggi (0,127 – 0,134) dengan indikasi banyaknya ternak albino (40%) dalam kelompok. Tingkat inbreeding yang tinggi disebabkan oleh penggunaan pejantan yang masih berhubungan keluarga dekat dan belum adanya sistem perkawinan terarah. Rendahnya reproduktivitas antara lain dicerminkan oleh panjangnya jarak beranak yang kemungkinan disebabkan oleh tekanan inbreeding. Beberapa upaya yang diperlukan untuk menghindari
inbreeding antara lain introduksi pejantan terseleksi dari luar kelompok ternak dan pengaturan sistem perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
ACHYADI,K, S.TEGUH, R.PUJI dan AULIA. 2007. Sosialisasi dan implementasi program grading-up kerbau lumpur (swamp buffalo) melalui teknologi inseminasi buatan di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Workshop Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2007.
ALKHUDRI.S.2008. Profil Peteternakan Kerbau Di
BAMUALIM,A dan M.ZULBARDI. 2007. Situasi dan Keberadaan Kerbau di Indonesia. Workshop Kerbau di Jambi, 22 – 23 Juni 2007.
CASSELL, B. G., V. ADAMEC, and R. E.PEARSON. 2003. Effect of incomplete pedigrees on estimates of inbreeding depression for days to first service and summit milk yield in Holsteins and Jerseys. J. Dairy Sci. 86:2967 – 2976
CROQUET, C, P. MAYERES, A. GILLON, S. VANDERICK, and N. GENGLER. 2006. Inbreeding Depression for Global and Partial Economic Indexes, Production, Type, and Functional Traits. J. Dairy Sci. 89:2257 – 2267.
DILAGA, S.H., ARMAN C, HASYIM dan LESTARI. 2003. Potensi kerbau sebagai penghasil susu untuk menunjang penelitian uji klinis di Sumbawa. Proyek Penelitian dan Pengembangan Teknologi Bappeda.
DITJEN PETERNAKAN. 2008. Statistik Peternakan 2008. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.
DUNG, C.A. 2006. Buffalo in Vietnam: status and some applied reproductive biotechnologies. Proc. of International Seminar on reproductive Biotechnology for Buffaloes. ICARD-FFTC FALCONER, D. and T.F.C. MACKAY. 1996.
Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. Longman Group. Ltd. England. MAWI, S.H. 2009. Program aksi perbibitan ternak
kerbau di Kabupaten Kutai Kertanegara. Workshop Kerbau di Tana Toraja, 24-26
MRODE, R.,G. J.T. SWANSON, and M. F.PAGET. 2004. Computing inbreeding coefficients and effects of inbreeding, heterosis and recombination loss on evaluations for lifespan and somatic cell count in the UK. http://www-interbull.slu.se/bulletins/bulletin32/Mrode.pdf Interbull Bull. 32:109–112.
MUTHALIB,H.A. 2006. Potensi Sumberdaya Ternak Kerbau di Nusa Tenggara Barat. Pros. Lokakarya Nasional Usahaternak kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006.
PASAMBE, D.M. SARIUBANG, SUHARDI dan S.N TAMBING. 2006. Tampilan Produksi dan reproduksi Kerbau Lumpur di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Pros. Lokakarya Nasional Usahaternak kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006
SIREGAR, A dan K. DIWYANTO (1996). Ternak kerbau sumberdaya ternak lokal sebagai penghasil daging (Review). Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1996:381-384. Puslitbang Peternakan. Bogor.
SOFYADI, C. 2009. Perkembangan program aksi perbibitan ternak kerbau di Kabupaten Pandeglang. Workshop Kerbau di Tana Toraja, 24 – 26 Oktober 2008
SUSILAWATI,E. dan BUSTAMI. 2009. Pengembangan Ternak Kerbau di Provinsi Jambi. Workshop Kerbau di Tana Toraja, 24-26 Oktober 2008 TRIWULANNINGSIH, E. SUBANDRIYO, P.
SITUMORANG, T. SUGIARTI, R.G. SIANTURI, D.A., KUSUMANINGRUM, I GEDE PUTU, P. SITEPU, T. PANGGABEAN, P. MAHYUDIN, ZULBARDI, S.B. SIREGAR, U. KUSNADI, C. THALIB,danA.R.SIREGAR. 2005. Data base Kerbau di Indonesia. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor. WEIGEL,K.A., and K.A.BARLASS. 2003. Results of
a producer survey regarding crossbreeding on US dairy farms. J. Dairy Sci. 86:4148 – 4154 WIRYOSUHANTO (1980). Peternakan Kerbau di
Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan Jakarta