* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
DILEMATIKA TELEVISI: ANTARA KEBUTUHAN ATAU MEDIA PEMBODOHAN MASYARAKAT*
S. Bekti Istiyanto, S.Sos, M.Si**
Di era informasi seperti saat ini, televisi sudah bukan menjadi sebuah kebutuhan tersier lagi, tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan primer. Setiap rumah baik di kota bahkan sampai ke desa-desa selalu menghadirkan televisi sebagai bagian kelengkapan rumahnya. Televisi menjadi “orang asing” yang akibat globalisasi telah menjadi begitu leluasa hadir di tengah-tengah keluarga, setiap saat mengajari penontonnya apa saja, mengubah pola hidup, mendatangkan kebiasaan-kebiasaan baru, khotbah-khotbahnya membuat orang terhipnotis untuk berada terus di depan televisi dan mengikuti segala ritualnya.
Setiap saat televisi setia hadir dengan segala macam suguhannya, dari mulai yang bersifat mendidik, sekedar memberitahukan, ataupun yang bersifat menghibur penontonnya. Berbagai jenis acara film, kuis, sinetron, iklan, musik selalu dihadirkan televisi. Ditaburi dengan segala macam kemewahan, kekerasan, sensualitas dan seksualitas sebagai bumbu penyedapnya. Melalui acara-acaranya, televisi bisa mengubah pikiran dan kehendak bahkan mengendalikan khalayak penontonnya. Mengenai hal ini, John Fiske dalam bukunya “Television Culture” mengatakan bahwa “… televisi berbeda dengan film, karena televisi adalah media yang amat ampuh untuk mempengaruhi perilaku dalam keluarga” (1987).
Permasalahan
Kehadiran televisi di dunia telah membawa dampak yang besar bagi umat manusia. Televisi membawa berbagai kandungan informasi, pesan-pesan yang dalam kecepatan tinggi menyebar ke seluruh pelosok dunia. Menjadi berbagai alat bagi berbagai kelompok untuk menyampaikan berbagai pesan untuk bermacam kalangan masyarakat. Orang dapat menyaksikan secara langsung suatu peristiwa di dunia lain berkat jasa televisi. Akan tetapi, ada dampak-dampak yang muncul akibat pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi, khususnya akibat keberadaan media televisi ini.
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
Penonton TV cenderung menjadi konsumen budaya massa yang aktif. Hal ini mengakibatkan pola-pola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi menjadi
berubah, bahkan secara total. Televisi menjadi anutan baru (new religion) buat masyarakat. Secara ekonomis, konsumerisme menjadi hal yang umum akibat iklan yang digambarkan sebagai ’obat mujarab’ pemuas segala kebutuhan. Bahkan gara-gara iklan banyak yang harus dibeli konsumen meskipun sebenarnya mereka tidak membutuhkannya. Secara religius, banyak tayangan yang tidak logis, mistis dan klenik yang mendominasi atau menyusupi muatan acara-acara televisi.
Bagaimanapun secara umum televisi mempunyai tiga fungsi utama yaitu : 1. Fungsi informasi (information function)
2. Fungsi pendidikan (educational function)
3. Fungsi hiburan (entertainment function) (Effendy, 1984 :28).
Melihat perkembangan televisi yang demikian pesat, Wilbur Schramm mengatakan televisi telah digunakan secara efektif untuk mengajarkan segala macam subjek, baik
teoritis maupun praktik (Schramm, 1971). Maka tidak berlebihan bila Gerbner (1981) berkata bahwa media massa (khususnya media televisi) telah menjadi agama resmi masyarakat Industri. Pernyataan ini diperjelas Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual (1991:55) sebagai berikut: Televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar daripada jamaah agama manapun. Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi; ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadah agama-agama yang pernah ada.
Media massa sekecil apapun dia dipastikan mempunyai efek kepada peminatnya. Demikian pula dengan media televisi juga mempunyai efek kepada pemirsanya. Secara sederhana efek komunikasi dapat diartikan sebagai “segala perubahan yang terjadi pada pihak komunikan sebagai akibat diterimanya suatu pesan oleh komunikator”. Untuk itu, efek yang dimunculkan oleh televisi seperti disebutkan oleh Sastropoetro yaitu perubahan pandangan, sikap, pendapat, tingkah laku, prestise, prestasi, harga diri, dan perubahan lain yang terjadi pada komunikan (1987:1).
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas relatif agak kurang berpendidikan dan kebanyakan tinggal di pedesaan. Bisa jadi mereka langsung mempercayai setiap informasi
yang ada di media TV ini, termasuk yang merusak tradisi bahkan norma ketimuran yang selama ini menjadi anutan masyarakat. Kehidupan bebas nilai dan budaya konsumerisme
akan menjadi bumerang bagi masyarakat kita. Seperti misal, banyak informasi tentang unsur sadistis, mistis dan pornografi di kebanyakan program acara televisi. Kalau ini diterima mentah-mentah oleh penontonnya khususnya generasi muda maka akan menjadi sangat berbahaya. Untuk itulah diperlukan media pemberdayaan masyarakat seperti pendidikan dan pelatihan ini, agar masyarakat tidak menerima begitu saja informasi yang ada terutama dari media televisi.
Bahaya Terhadap Anak-Anak Usia Sekolah
Dengan segala potensi yang dimilikinya itu, televisi telah mendatangkan banyak perdebatan yang tidak kunjung berakhir. Bagi orang dewasa, mungkin apa yang ditampilkan oleh televisi itu bukanlah sebuah masalah besar, sebab mereka sudah mampu memilih, memilah dan memahami apa yang ditayangkan di layar televisi. Namun,
bagaimana dengan anak-anak? Dengan segala kepolosan yang dimilikinya, belum tentu mereka mampu menginterpretasikan apa yang mereka saksikan di layar televisi dengan tepat dan benar. Padahal Keith W. Mielke sebagaimana dikutip oleh Arini Hidayati dalam bukunya berjudul ‘Televisi dan Perkembangan Sosial Anak’ mengatakan bahwa:“masalah paling mendasar bukanlah jumlah jam yang dilewatkan si anak untuk menonton televisi, melainkan program-program yang ia tonton dan bagaimana para orang tua serta guru memanfaatkan program-program ini untuk sedapat mungkin membantu kegiatan belajar mereka”(1998:74).
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
Disamping itu, apakah pernah pula terbersit dalam benak orang tua untuk ikut menonton tayangan-tayangan televisi yang diklaim sebagai tayangan untuk anak-anak?
Pernahkan orang tua memperhatikan, apakah tayangan untuk anak itu memang sesuai dengan usianya? Padahal disinilah peran orangtua menjadi sangat penting artinya. Orang
tualah yang menjadi guru, pembimbing, pendamping dan pendorong pertumbuhan anak yang paling utama. Dari orangtualah anak pertama kali belajar tentang sesuatu kebenaran dan kemudian menanamkan kepercayaan atas kebenaran itu.
Sudah menjadi tanggung jawab orang tua pula untuk selalu mendampingi anak-anak dalam menonton televisi, memberikan pengertian dan penjelasan atas apa yang tidak dimengerti oleh anak-anak. Memberikan penjelasan kenapa suatu tindak kekerasan bisa terjadi dan apa akibat dari semua itu. Orang tua juga harus jeli dalam melihat program-program acara televisi yang ditonton oleh anak. Apakah cocok dengan usianya, apakah bersifat mendidik atau justru malah merusak moral si anak. Mungkin sebagai orang tua, tidak akan kesulitan untuk langsung melarang seorang anak untuk menonton film-film dewasa yang mengandung unsur seks dan kekerasan secara vulgar, karena dengan memandang sepintas lalu saja sudah jelas diketahui bahwa acara tersebut tidak cocok untuk anak. Tetapi pernahkah orangtua mengamati film-film kartun yang kelihatannya memang sudah layak menjadi konsumsi anak-anak? Pernahkah orang tua peduli bahwa berbagai tayangan film kartun Jepang yang mempertontonkan heroisme, seperti film kartun berseri seperti Naruto, Ninja X, Transformer dan sebagainya telah menyebabkan seorang anak menjadi seorang yang agresif? Demikian pula dengan tayangan film-film kartun yang penuh romantisme seperti Sailor Moon? Dan bagaimana pula dengan film-film yang lain?
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
Sebuah tulisan di Jawa Pos yang mengetengahkan keprihatinan terhadap film tersebut mengatakan bahwa sosok Sinchan itu tidak cocok untuk menjadi teladan bagi
anak-anak. Sinchan sering bertindak kurang ajar, dan kekurang ajarannya itu sering mengarah ke masalah seks. Sebagai anak kecil, Sinchan sering bermimpi tentang
perempuan-perempuan dengan bikini dan ia pun senang sekali menyingkapkan rok ibunya. Memang dikatakan oleh Joseph T. Klapper bahwa media bukanlah penyebab perubahan satu-satunya melainkan ada faktor-faktor lain yang menengahi (mediating factors). Namun bagaimanapun juga, jika mengacu pada teori efek media maka terdapat
teori Belajar, dimana seseorang itu belajar melakukan sesuatu dari media. Seorang anak bisa dengan fasihnya menirukan ucapan atau lagu-lagu yang didengarnya di televisi. Mereka pun dengan segala kepolosan dan keluguannya sering pula menirukan segala gerak dan tingkah laku tokoh idolanya di televisi. Dengan demikian tidaklah mustahil jika anak-anak kita pun akan menirukan kenakalan Sinchan dengan segala kekurang ajarannya. Atau menirukan tindakan Naruto ketika mengalahkan lawan-lawannya dengan memukuli anak lain yang dianggapnya sebagai penjahat. Dan ini menjadi langkah pembenar setiap anak-anak berbuat sesuatu, yang bisa jadi melanggar norma umum yang ada di tengah masyarakat kita.
Langkah Antisipasi
Bagaimanapun juga kehadiran televisi merupakan sebuah kebutuhan, tidak sekadar sebagai sarana untuk memudahkan kita mengakses setiap informasi tapi juga berperan sebagai sarana penghibur yang mudah untuk kita dapatkan. Tetapi, tetap saja efek negatif selalu ada dan ini perlu untuk diantisipasi secara serius. Apalagi kalau yang terkena dampaknya adalah anak-anak yang notabene mereka akan menjadi iron stock keluarga dan negara di masa datang.
Anggadewi Moesono menambahkan pentingnya mengurangi dampak televisi kepada anak. Televisi bagaimanapun ternyata mempunyai dampak yang negatif pada anak yaitu : Pertama, menyebabkan visual laziness; karena warna-warna televisi yang sangat menarik
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
tulisannya kecil serta tidak ada gambar menarik maka tanpa disadari matanya akan sakit. Akibatnya anak menjadi malas atau tidak suka membaca buku.
Kedua, menyebabkan mental laziness; alur cerita yang ada pada umumnya bisa
ditebak, misalnya antara baik dan buruk, atau mula-mula tokoh yang baik kalah tapi pada
akhir cerita akan menang. Dengan tema seperti ini, anak tak dibiasakan berpikir padahal pada saat sekolah mulai banyak problem yang timbul sehingga wajar anak menjadi kebingungan atau penakut menghadapi masalah atau malah menimbulkan masalah baru yang semakin tidak terkendali kebanyakan seperti sekarang ini.
Penutup
Penting untuk masyarakat pahami bahwa orang tua dan para guru yang secara langsung berhubungan dan berkaitan dengan pengaruh televisi terhadap anak-anak atau para siswa bisa mengambil langkah-langkah nyata. Walaupun tidak menutup kemungkinan memberikan alternatif solusi terhadap pihak terkait seperti pihak media televisi dan para pemerhati media secara umum, karena bagaimanapun harus kita sadari bahwa media adalah sebuah industri yang berorientasi profit (keuntungan). Maka kita perlukan langkah-langkah kongkrit antara lain: Pertama, perlu ada sosialisasi secara massif kepada para orang tua dan guru tentang bahaya program yang ada di televisi pada setiap media yang ada dan juga diperlukan kewaspadaan yang penuh dengan tidak membiarkan anak-anak usia sekolah menonton televisi secara bebas. Meskipun label pihak televisi yang diberikan adalah acara untuk anak. Kedua, perlu penjagaan program acara televisi secara langsung dengan cara mendampingi waktu anak-anak menonton televisi dan sekaligus bisa memberi penjelasan
* Disampaikan pada acara Pengabdian pada Masyarakat Desa Pulogading Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
** Penulis adalah staf pengajar Ilmu Komunikasi Fisip Unsoed
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchjana. 1984. Televisi siaran teori dan praktik. Alumni. Bandung. Fiske, John. 1987. Television Culture. Oxford. England
Hidayati, Arini. 1998. Televisi dan perkembangan sosial anak. Remaja Rosda Karya. Bandung.
Mulyana, Deddy. 1999. TV sebagai Instrumen Sinkronisasi Budaya. Makalah. Rakhmat, Jalaluddin. 1992. Islam aktual. Remaja Rosda Karya. Bandung.
Sastroputro, R.A. Santosa. 1987. Pendapat publik, pendapat umum, dan pendapat khalayak dalam komunikasi sosial. Remaja Karya. Bandung.