• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Semiotika Menafsir Sistem Tanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat Semiotika Menafsir Sistem Tanda"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT SEOMETIKA

Menafsir Sistim Tanda Dalam peanpesan Teks Keagamaan Oleh : Ahmad

PENDAHULUAN I. Latarbelakang.

Bumi dan seluruh isinya adalah merupakan tanda-tanda (semiotika) serta dalam penciptaan langit dan bumi, yang silih berganti malam dan siang merupakan tanda-tanda (Semiotika) bagi orang-orang yang berakal. Begitu pentingnya mengetahui pesa-pesan teks sehingga Allah memberikan perhatian serius bagi orang yang berakal untuk mentransformasikan pesan Tuhan lewat teks Alquran. Alquran adalah pesan-pesan teks yang diturunkan kepada manusia untuk menjadi inspirasi, motivasi serta petunjuk bagi manusia.

Alquran yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf (teks) arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut-marutnya tanda-tanda (semiotika). Rangkaian teks tersebut mengandung pesan (messege), nilai spiritual, rasional, empiris, ekspresi yang berlapis-lapis maknanya (mempunyai struktur).1 Mengingat banyaknya pesan-pesan yang terkandung dalam teks Alquran tersebut, sehingga membutuhkan metodologi penapsiran untuk mengeksplorasi makna-makna atau pesan-pesan dalam Alquran. Salah satu ilmu yang mempelajari tentang ilmu tanda adalah filsafat semiotika.

Dalam kajian ilmiah ada 3 istilah pokok yang perlu kita fahami, metodologi, metode, dan teknik. Telah diketahui bahwa metodologi penelitian ilmiah bertumpu pada teori, sedangkan teori bertumpu pada “pandangan dunia” (wordviuw). Ada 2 pandangan dunia yang mendominasi kehidupan ilmu penelitian sosial dan agama yakni: 1). Objek yang kita indra (dunia nyata: satu-satunya kenyataan) dan, 2). Di balik apa yang tertangkap oleh panca indra ada sesuatu yang lain yang dapat diserap

(2)

oleh kognisi dan perasaan kita serta dapat dikembangkan dalam suatu pengkajian sistematis. Teori-teori semiotika pada umumnya bertumpu pada pandangan yang kedua ini yaitu makna di balik pesan-pesan teks.

Filsafat semiotika termasuk disiplin ilmu yang populer untuk menapsirkan sistem tanda. Untuk itu dalam memaknai Alquran lewat tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika dengan mengkaji bagaimana fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran. 2

Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam struktur tanda, maka salah satu pendekatan yang menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi dan pendekatan untuk mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, juga dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam Alquran.3 Luasnya ruang lingkup Filsafat Semiotika sebagai penafsir tanda serta banyaknya pesan-pesan verbal maupun non verbal menjadi problematika dalam kajian ilmu pengetahuan. Dengan demikian ilmu semiotika adalah salah satu instrumen penting dalam aplikasi penafsiran sistem tanda untuk menafsirkan pesan-pesan teks keagamaan. Berbicara tentang disiplin ilmu tanda maka,. dalam makalah ini, pemakalah membatasi pembahasan dengan mengangkat tiga permasalahan pokok yaitu:

1. Bagaimana fungsi filsafat semiotika dalam penafsiran pesan-pesan keagamaan.

2. Bagimana peran ilmu semiotika dalam penelitian Sosial dan Agama.

2Beny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de Sauussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jecques Derrida, Carles Sanders Peirce, Marcel Danesi dan Paul Perron, (Cet. I; Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya (FIB) IU Depok 2008), h. 6.

3Paul Cobley dan Litsa Jansz, Mengenal Semiotika For Beginners (Cet. I; Jakarta: Mizan,

(3)

3. Bagaimana aplikasi filsafat semiotika dalam menafsirkan teks keagamaan.

II. Pembahasan.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda, isyarat-isyarat, bahasa isyarat, budaya, gejala-gejala sosial, dan perubahan interaksi sosial.4 Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas.5 Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.6

Dalam kajian semiotika Alquran ini, penulis mencoba menggunakan 2 Paradigma Tokoh semiotika (Saussure dan Parice) serta defenisinya sebagai berikut :

4Komaruddin at.el. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara 2006), h. 237.

5Roland Barthes, Mythologies New York: Hill and Wang : 1972 di terjemahkan oleh:

Ikramullah Mahyudin dengan Judul: Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika Budaya (Cet. I; Bandung: Jalasutra 2007). h.34

6

(4)

1. Teori Semiotika Signifikansi: Menekankan pada tori tentang produksi tanda, salah satu diantaranya mengasumsikan 6 faktor dalam komunikasi diantaranya:

 Pengirim, (Messege) adalah penanda pertama.  Penerima (Receiver)Kode/Penanda kode digunakan.  Sistem tanda (Sturktur tanda yang digunakan)  Pesan (Jenis pesan yang disampaikan)

 Saluran Komunkasi dan  Acuan ( Hal yang dibicarakan )

2. Teori Semiotika: Ruang lingkup kajiannnya menekankan pada Teori tanda dan pemahamannya dalam konteks tertentu. Teori yang kedua ini tidak menekankan pada tujuan komunikasi tetapi lebih pada teknik memahami sebuah tanda serta proses komunikasinya. Semiotika : adalah suatu ilmu yang mengkaji dan menganalisis tanda.7

Dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa semiotika murni dengan desain metabahasa yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi 3 poros struktur bangunan yaitu:

1. Poros Horizontal : Menyajikan tiga jenis penyelidikan semiotika: Murni, deskriptif, dan terapan).

2. Poros Vertikal : Menyajikan 3 harapan hubungan Semiotika (Sintaktik, Semantik, Pragmatik).

3. Poros yang mengkaji tiga kategori : yakni sarana informasi seperti signals, signs, dan symbols).8

Kajian teks yang paling tinggi adalah kitab suci yang mengandung banyak sekali pesan-pesan dan perlu dipahami dengan pendekatan semiotika. Untuk melihat

7Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006), h. 68.

(5)

Alquran dari perspektif lain, penulis mencoba melakukan paradigma semiotika sebagai acuan memaknai, memahami pesan-pesan yang tersirat didalamnya. Dalam kajian ini penulis menggunakan tiga metodologi semiotika ini, yang akan menjadi format kajian dan defenisih operasional dalam pemahaman Alquran dari sudut pandang ilmu semiotikanya.

Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut-marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran. Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.9

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan.10 Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.

Dengan pertimbangan bahwa Alquran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan

9

Diakses di internet pada tanggal 18 Pebruari 2009 yang ditulis oleh : Mu’adz D’Fahmi dengan Judul : Semiotika Alquran yang Membebaskan.

10

(6)

relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks Alquran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam Alquran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir Alquran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Berbicara mengenai hermeneutika hampir semua hal berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks.11 Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya.

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure

(1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya. Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme.12 Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami

11F. Dosse, Histoire du Strukcturalisme (Jilid 1 1992), h. 480. Buku ini berbicara sejarah sturkturalisme di perancis, yang merupakan tempat berkembangannya strukturaslisme.

(7)

selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat Alquran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda Alquran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks Alquran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks Alquran dengan maknanya?

a. Pandangan Tokoh Semiotika

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang bertolak belakang dengan gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.

(8)

natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan Alquran.13 Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruksi oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks. 14

Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah Alquran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir Alquran.

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalui genre, spesies, dan pembeda).

13Audifax, Resensi buku “Semiotika Tuhan” http://www. kompas.

com/kompas-cetak/0709/03/Buku/3802338.htm Penerbit: Pinus Book Publisher Kompas Senin, 03 September 2007.

14Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Blogger @

(9)

Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak terhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.15 Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.

Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat Alquran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka alangkah baiknya jika pemaknaan Alquran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.

Jika kita menggunakan paradigma semiotika untuk mengkaji makna-makna dalam Alquran, terlebih dahulu kita ketahui latar belakang arti dari semiotika tersebut serta tokoh yang mendeklarasikan sehingga kita tidak terjebak dalam sistem semiotika yang lain.16 Paradigma semiotika sebagai satu ilmu dalam realitas terjadi kontradiktif tetapi secara substansial tidak bertentangan antara dua tokoh besar yaitu: Semiotika kontinental Ferdinand deSaussure dan semiotika Charles Sander Pierce (Amerika). Dalam hal ini, Umberto Eco dan Paul J. Thimbault memperlihatkan bahwa persoalan kedua tokoh tersebut merupakan suatu hal yang sifatnya ilmiah

15ibid

(10)

sebagai satu bidang ilmu pengetahuan.17 Semiotika signifikansi menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur akan tetapi, bukan berarti mengabaikan sistem tanda yang saling mendinamisasi antara Semiotika signifikan dan semiotika komunikasi serta saling menghidupi.

Teori semiotika signifikansi yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure didefenisikan dalam bukunya yang berjudul “Course in General Linguistics” bahwa semiotika signifikansi adalah : ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, secara implisit defenisi tanda adalah merupakan bagian dari kehidupan sosial serta salah satu “struktur aturan-aturan sosial yang berlaku”. Sementara semiotika komunikasi adalah: ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda sosial yang di dalamnya mempelajari tanda dalam kitab suci dan pemaknaan serta pengamalannya.

Kedua teori semiotika tersebut, Jonathan Culler memberikan pandangannya terhadap kedua teori tersebut: beliau berpendapat bahwa Semotika Signifikansi menaruh perhatian pada bahasa sementara semiotika komunikasi menaruh perhatian pada sturktur sosial (parole), dalam kajiannya beliau mendapatkan perbedaan mendasar dalam pemikiran Saussure (Tokoh semiotika signifikansi) karena konsekwesinya lebih luas dan di luar linguistik dapat dianalogikan antara kitab suci (mewakili semiotika signifikansi dan bagaimana mengamalkannya (mewakili semiotika komunikasi).18 Dari analogi tersebut dapat kita lihat bahwa kedua tekoh tersebut saling sinerjik, Saussure mengkaji Petanda sedangkan Pierce mengkaji

Penanda atau dapat di sederhanakan Saussure mengkaji konotatif sedangkan Pierce mengkaji denotatif.

Dari defenisi ini, dapat membawa kita untuk melakukan kajian dan pemahaman tentang semiotika Alquran baik itu difahami secara konotatif maupun secara denotatif. Tapi sebelumnya perlu kita ketahui untuk apa belajar tentang

17

ibid

(11)

tanda ? pertanyaan ini secara tidak sadar bahwa ternyata jika diprosentasi, 98% kehidupan kita ini berhubungan dengan tanda dan simbol, ini menunjukkan bahwa semiotika itu merupakan satu ilmu kebutuhan mansia sejak lahir sampai mati.19 Dalam kehidupan kita sehari-hari tanda-tanda itu bertebaran dimana-mana dan telah menjadi kebutuhan dalam menentukan hidup kita dan perjalanan kita ke depan.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir Alquran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya.

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya.

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.20

19ibid

20op. cit Richars Harlan, Superstructuralism: the philosofhy of Structuralism and

(12)

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat Alquran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda Alquran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks Alquran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks Alquran dengan maknanya?

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang bertolakbelakang dengan gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.

Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan Alquran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks.21 Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa

(13)

menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.22

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.

Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah Alquran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir Alquran.

b. Metode Analisis Teks

Dalam mengungkap pesan-pesan dari sebuah teks diperlukan metode analisis teks dengan menggunakan semiotika. Pada dasarnya jejang analisis teks pertama: secara individual, misalnya jenis tanda, mekanisme, stuktur tanda, dan makna tanda secara individual. Kedua: analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi, yaitu kumpulan tanda-tanda yang membentuk apa yang disebut dengan teks.

Pada analisis tanda secara individual dapat digunakan berbagai model analisis tanda, misalnya analisis tipologi-tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda. Di antara tipologi tanda yang terkenal adalah pengelompokan tanda menjadi 3 jenis oleh Carles Sanders Pierce, yaitu indek, ikon, dan simbol. Indeks (index) adalah tanda hubungan antara petanda dan penanda didalamnya bersifat kausal, misalnya:

(14)

hubungan antara asap dan api. Ikon (icon) adalah tanda yang hubungan antara pennanda dan petandanya bersifast keserupaan (similitude). 23 Misalnya foto Sukarno yang merupakan tiruan dua dimensi dari Sukarno. Sementara Simbol adalah tanda yang hubungan penanda dan petandanya bersifat arbiter.

Analisis tanda-tanda di dalam kelompok atau kombinasinya disebut analisis teks (textual analysis). Semiotika teks, dalam hal ini, tidak berhenti hanya menganalisis teks. Semiotika teks juga menganalisis yang terdapat dalam sebuah teks yang mengandung nilai idiologi, spiritual, mitos dan ekpresi tanda-tanda tersebut. Adapun prinsip-prinsip analisis teks adalah sebagai berikut:

1. Polisemi: adalah keanekaragaman makna/pesan sebuah

penanda.

2. Konotasi: adalah sebuah tanda yang selalu berkaitan

dengan kode nilai, makna sosial, serta berbagi perasaan, sikap atau emosi yang ada.

3. Setiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda,

lewat kode sosial tertentu, yang menghasilkan konotasi-konotasi tertentu. Metafora dan metonim menjadi bagian dari pengkombinasian tanda ini.

4. Konotasi yang ditentukan oleh pembaca yang berbeda

bergantung pada oposisi sosial mereka masing-masing, yaitu kelas, gender, ras umur, dan faktor lain yang mempengaruhi cara bagimana mereka berfikir tentang dan menafsirkan teks.

5. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan

berkembang menjadi denotasi, yaitu makna tanda atau teks yang dianggap benar oleh pembaca.

6. Denotasi mempresentasikan mitos budaya (mytologi

cultural), seperangkat kepercayaan dan sikap yang dianggap sebagai benar oleh pembaca teks.24

Meskipun demikian, model-model analisis teks tersebut di atas, sering di anggap tidak memenuhi persyaratan penelitian ilmiah, disebabkan lemahnya tingkat objektifitas, tidak adanya prosedur verifikasi, serta kurangnya pembuktian empiris di dalamnya. Metode analisis teks di anggap bersifat subjektif, arbiter dan idiologis.

23op. cit., h. iii. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi

(15)

III. Kesimpulan.

1. Filsafat semiotika sebagai bentuk metodologi dalam menafsirkan pesan-pesan yang tersirat dalam teks, isyarat-isyarat, budaya verbal maupun non verbal serta metode untuk mentranformasikan pesan kepada orang yang mengkajinya.

2. Peran Semiotika dalam penelitian ilmu sosial keagmaan merupakan instrume-intrumen penting khususnya dalam metode kajian teks, simbol, icon, sign, serta menjadi media penunjang dalam menterjemahkan nilai-nilai atau ekspresi dari sebuah tanda yang berbentuk teks dan semacamnya.

3. Dalam operasional filsafat semiotika mengalami perkembangan sesuai dengan regulasi infrastruktur media informasi dan komunikasi yang dipakai dalam melakukan interaksi antar sesama manusia, bahkan hewan dan tumbuhan sekalipun.

<<<<<<<<<<<< Amatoooo danke laiiiiiii >>>>>>>>>>>

DAFTAR PUSTAKA

(16)

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Cet. II; Yokakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara 2007.

Cobley, Paul. dan Litsa Jansz, Mengenal Semiotika For Beginners Cet. I; Jakarta: Mizan, 2002 diterjemahkan oleh: Ahmad Baquni diterbitkan di Inggris Icon Books Cabridge 1997.

Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, Cet. I; Jakarta: Komunitas Bambu 2008.

Piliang,Yasraf Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas matinya makna, Cet. I: Bandung: Jalasutra 2003.

Richars, Harlan. Superstructuralism: the philosofhy of Structuralism and Poststrukturalism London: New York: Mathuen 1997. di terjemahkan oleh: Iwan Hendrawan dengan Judul: Superstruturalisme Cet. I; Yokayakrta: Jalasutra: 2006.

Situs:www.pertamina.com/indonesia/head_office Dewan Periklanan Indonesia kerjasama Perkumpulan Perusahaan PerIklanan Indonesia (PPPI). Di akses pada tanggal 28 Maret 2008.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi Cet. III; PT. Remaja Rosdakarya 2006.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006

ST.Sunardi, Semiotika Negativa: Post Scriptum Cet. II; Yokyakarta: Buku Balik: 2004.

Salam, Adrianus. Umar Khayyan dan dan Jaring Semiotika Cet. I; Yokyakarta: Pustaka Pelajar 1998.

Roland Barthes, Mythologies New York: Hill and Wang : 1972 di terjemahkan oleh: Ikramullah Mahyudin dengan Judul: Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika Budaya (Cet. I; Bandung: Jalasutra 2007.

FILSAFAT SEMIOTIKA :

(17)

Makalah

Disampaikan dalam Seminar Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial dan Agama Semester II Kelas Non Reguler Polewali Mandar

Tahun 2010

Oleh: AHMAD

Dosen Pembina :

PROF.DR.H.MUSAFIR PABABBARI,M.SI DR. MOHD. SABRI AR, M.A.

PROGRAM PASCA SARJANA

Referensi

Dokumen terkait

(4) Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri yang bersangkutan wajib menyampaikan informasi mengenai kemajuan pembangunan pabrik dan sarana

Sistem Distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga listrik.Sistem distribusi ini berguna untuk menyalurkan tenaga listrik dari sumber daya listrik besar ( Bulk Power Source )

Nugroho, Sigit Aprianto. Kediktatoran Tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam Roman Negeri Senja Karangan Seno Gumira Ajidarma. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ion Li + yang di-doping ke dalam katalis CaO dapat meningkatkan reaksi pembentukan metil ester dari minyak sawit mentah (CPO)

i. Rumusan Masalah Sebagaimana kita ketahui, ibadah haji dan umrah sangat penting bagi orang yang mmapu, dan akan berdosa apabila sudah mampu tetapi masih

Melalui kegiatan berdiskusi, siswa dapat menyebutkan dan mempresentasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air dengan benar.. Melalui kegiatan melakukan pengamatan

Santrock dalam (Gunawan, 2012:32) yang menjelaskan tentang fungsi pendidikan karakter yang terperinci yang mana di SDIT At-Taqwa Surabaya dalam program rompi “

sudah berkurang terasa nyeri sedikit, rasa kebas pada lidah berkurang Pemeriksaan intra oral tampak plak putih berkurang pada dorsal lidah, lateral lidah, palatum durum dan