• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Ind"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENERAPAN ANALOGI

DALAM

HUKUM PIDANA

INDONESIA

(3)
(4)

PENERAPAN ANALOGI

DALAM

HUKUM PIDANA

INDONESIA

(5)

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

© Dion Valerian

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

All Rights Reserved

Cetakan Pertama, 2017

Editor : Ridwan M. Said Penata Letak : Joko P. Perancang Sampul : Dwi Pengkik Pracetak : M. Tasyirul Afkar Supervisi : Nasrullah Ompu Bana

PENERAPAN ANALOGI

DALAM

HUKUM PIDANA

INDONESIA

D i o n V a l e r i a n , S . H .

Perum Pring Mayang Regency 2 Kav. 4 Jl. Rajawali Gedongan Baru

Banguntapan, Bantul-Yogyakarta INDONESIA

Telp. 0878 3419 7555 WA. 0812 3781 8611 BBM. 5BDAAE37

E-mail: redaksiruasmedia@gmail.com

Dion Valerian

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Yogyakarta: RUAS Media 2017 x + 206 hlm.: 14 X 21 cm

(6)

v

KATA PENGANTAR

PROF. DR. TOPO SANTOSO, S.H., M.H.

S

aya menyambut baik terbitnya buku ini yang menambah sumber bacaan dalam bidang hukum pidana, khususnya hukum pidana materiil. Hingga saat ini memang sudah banyak buku yang membahas tentang hukum pidana materiil, akan tetapi kebanyakan membahas secara umum yang mencakup berbagai materi hukum pidana. Buku ini secara khusus membahas tentang analogi, suatu materi yang masih sedikit diulas dalam berbagai buku hukum pidana.

Kelebihan buku ini adalah selain membahas dasar-dasar hukum pidana yang berhubungan dengan analogi, misalnya kaitannya dengan asas legalitas, penafsiran hukum, penemuan hukum, dan sebagainya, juga membahas bagaimana prinsip dan ketentuan terkait hal itu dilaksanakan dalam praktik pengadilan. Penulis melakukan analisis atas beberapa putusan mengenai analogi dan penafsiran ekstensif. Ini yang menjadi kelebihan karena banyak buku yang membahas tentang analogi lebih mengutamakan teori dan konsepnya saja.

Buku ini ditulis oleh saudara Dion Valerian, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang melakukan penelitian tentang penerapan analogi dalam hukum pidana Indonesia. Dalam menulis buku ini, saudara Dion melakukan kajian yang serius dan tulisannya pun sistematis, lengkap dan mudah untuk diikuti. Bahasa yang digunakan cukup jelas dan cukup mendalam.

(7)

vi

yang membahas hingga praktiknya. Oleh karena itu, buku ini menjadi penting.

Saya menyampaikan selamat kepada saudara Dion Valerian yang telah menulis buku ini dengan penuh kerja keras dan semangat. Semoga buku ini bukanlah yang terakhir yang ditulisnya, tetapi merupakan awal yang akan diikuti dengan karya-karya lainnya.

Depok, 29 Desember 2016

Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.

(8)

vii

KATA PENGANTAR PENULIS

A

lhamdulillahirabbil’alamin, akhirnya naskah buku yang mulanya merupakan penelitian skripsi penulis untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini dapat diterbitkan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memiliki andil dalam proses penelitian, penulisan, dan penerbitan buku ini: Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., yang telah berkenan memberikan Kata Pengantar untuk buku ini; Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. dan Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., sebagai dosen pembimbing dalam penelitian skripsi yang penulis lakukan; Akhiar Salmi S.H., M.H. dan Nathalina Naibaho, S.H., M.H., sebagai dosen penguji skripsi penulis; Dr. Shidarta, Dr. Niken Savitri, Dr. Anthon F. Susanto, dan Dr. Fernando Manullang, yang berkenan memberikan masukan berarti kepada penulis dalam proses penelitian; keluarga dan orang-orang terdekat penulis yang memberikan dukungan psikologis dalam proses penyelesaian penelitian dan penerbitan buku ini; serta Nasrullah, DEA dan Ruas Media (Kelompok Genta Publishing) yang telah bersedia menerbitkan buku ini.

(9)

viii

Terakhir, penulis berterima kasih kepada para pembaca. Semoga ada manfaat yang bisa diambil dari buku ini.

Tangerang Selatan, 13 Agustus 2017

(10)

ix

KATA PENGANTAR ... v

KATA PENGANTAR PENULIS ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB II ASAS LEGALITAS ... 11

2.1 Sejarah Pemikiran dan Pemberlakuan Asas Legalitas ... 11

2.2 Pengertian-pengertian dalam Asas Legalitas ... 22

2.3 Asas Legalitas dan Keniscayaan Penafsiran dalam Hukum Pidana ... 28

BAB III PENEMUAN HUKUM DALAM HUKUM PIDANA ... 33

3.1 Penemuan Hukum ... 33

3.1.1 Definisi Penemuan Hukum ... 34

3.1.2 Pelaku Penemuan Hukum ... 37

3.1.3 Signifikansi Penemuan Hukum ... 39

3.1.4 Metode-metode Penemuan Hukum ... 43

3.1.5 Penafsiran dalam Hukum Pidana ... 44

3.1.5.1 Penafsiran Ketat ... 46

3.1.5.2 Penafsiran Gramatikal ... 47

3.1.5.3 Penafsiran Sistematis dan Logis .... 47

3.1.5.4 Penafsiran Historis ... 48

3.1.5.5 Penafsiran Teleologis ... 49

3.1.5.6 Penafsiran Ekstensif dan Restriktif ... 50

3.1.5.7 Penafsiran dalam Hukum Pidana menurut Hazewinkel-Suringa ... 51

3.1.6 Konstruksi Hukum ... 53

3.1.6.1 Argumentum per Analogiam ... 53

(11)

x

3.1.6.2 Rechtsverfijning (Penyempitan

Hukum) ... 56

3.1.1.3 Argumentum a Contrario ... 57

3.2 Hermeneutika Hukum ... 59

3.3 Relevansi Hermeneutika Hukum dengan Penemuan Hukum ... 65

3.4 Analisis terhadap Penerapan Analogi dan Penafsiran Ekstensif ... 68

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN ... 111

4.1 Putusan Myxe Zul Janova (Perkosaan dengan Bujuk Rayu dan Janji Palsu) ... 111

4.1.1 Kasus Posisi ... 111

4.1.2 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu ... 115

4.1.3 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu ... 126

4.1.4 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Mahkamah Agung ... 131

4.1.5 Analisis ... 132

4.2 Putusan Zarima Mir (Pemidanaan dengan Peraturan Menteri Kesehatan) ... 158

4.2.1 Kasus Posisi ... 158

4.2.2 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat... 160

4.2.3 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ... 167

4.4.4 Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar Putusan Mahkamah Agung ... 170

4.2.5 Analisis ... 171

BAB V PENUTUP ... 193

5.1 Kesimpulan ... 193

5.2 Rekomendasi ... 196

DAFTAR PUSTAKA ... 199

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

P

andangan dominan yang dianut oleh komunitas ahli hukum

pidana adalah bahwa penerapan analogi tidak diperbolehkan dalam hukum pidana, sebab penerapan tersebut melanggar asas legalitas. Namun, pandangan ini bukanlah doktrin yang telah bersifat final. Berdasarkan pembacaan yang penulis lakukan terhadap buku-buku mengenai asas-asas hukum pidana, penulis berkesimpulan bahwa penerapan analogi dalam hukum pidana masih menjadi perdebatan yang belum berujung di antara para ahli hukum pidana. Sebelum membahas lebih lanjut tentang permasalahan-permasalahan mengenai penerapan analogi, terlebih dahulu perlu dikemukakan mengenai asas legalitas, sebagai suatu asas yang terhadapnya analogi dianggap bertentangan.

Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia merumuskan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.1 Para ahli hukum

pidana bersepakat bahwa ketentuan ini mengandung asas legalitas, salah satu asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana.2

Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin: nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya dalam bahasa Indonesia

1 Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 7, Pasal

1 KUHP. Dalam buku tersebut, Soerodibroto menggunakan terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

2 Menurut Barda Nawawi Arief, dua asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana adalah

(13)

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

2

adalah “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.3

Dengan mengutip Dupont, Komariah Emong Sapardjaja menjelaskan bahwa asas legalitas merupakan asas perlindungan terhadap masyarakat. Menengok faktor kesejarahannya, asas legalitas lahir sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa di zaman Ancient Regime, serta menjadi jawaban atas kebutuhan fungsional akan kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu negara hukum liberal pada waktu itu.4 Penyerapan hukum

Romawi kuno oleh hukum Eropa pada abad pertengahan dapat dijadikan contoh yang tepat untuk menjelaskan hubungan antara pemerintahan negara yang otoriter dan kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum. Hukum Romawi kuno tidak mengenal asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Jenis kejahatan yang dikenal di zaman Romawi kuno adalah kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam crimina extra ordinaria (kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang).5 Ketika hukum Romawi kuno diserap

oleh hukum Eropa abad pertengahan, begitupun dengan pengertian

crimina extra ordinaria yang juga ikut diterapkan oleh para penguasa di Eropa. Penerapan crimina extra ordinaria inilah yang memungkinkan penggunaan hukum secara otoriter sesuai dengan kehendak penguasa. Asas legalitas dilahirkan untuk mengatasi itu.6

Moeljatno menjelaskan bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:7

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 40. Andi Hamzah

menjelaskan bahwa sering pula digunakan istilah Latin nullum crimen sine lege stricta (tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas) untuk menjelaskan asas legalitas. Sudikno Mertokusumo menguraikan bahwa asas legalitas adalah asas hukum yang dituangkan dalam peraturan konkret, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 7.

4 Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 6-7. Sudarto menjelaskan pula bahwa pembentukan kitab-kitab

kodifikasi pada masa pemerintahan Napoleon di Perancis, seperti Code Civil, Code de Commerce,

Code de Procedure Civil, Code d’Instruction Criminelle, dan Code Penal, adalah perwujudan kepastian hukum sebagai obat penawar absolutisme zaman Ancient Regime, dalam Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 53.

5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: rineka Cipta, 2015), hlm.26. 6 Ibid.

(14)

PENDAHULUAN

3

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias).

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian kedua menurut Moeljatno, mengenai larangan penerapan analogi dalam hukum pidana, menurut penulis adalah salah satu sisi asas legalitas yang sangat menarik untuk dianalisis. Pembahasan analogi selalu muncul dalam sebagian besar buku mengenai asas-asas hukum pidana.8 Hingga sekarang pun, belum

pernah ada kesepakatan di antara para ahli hukum pidana, apakah analogi dalam hukum pidana harus betul-betul ditolak atau malah sebaiknya diterima. Meskipun mayoritas ahli hukum pidana menolak penerapan analogi, namun mereka yang menerima penerapan analogi jumlahnya juga tidak sedikit.9 Setiap ahli memberikan argumennya,

yang masing-masing memiliki bobot tersendiri serta menunjukkan perspektif yang beragam. Uraian tentang penerapan analogi selalu bergandengan dengan penafsiran ekstensif, sebab keduanya mirip dan sulit dibedakan; bahkan Utrecht mengungkapkan dengan tegas bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi sesungguhnya tidak ada perbedaan yang bersifat asasi.10 Untuk memahami lebih

dalam mengenai analogi dan penafsiran ekstensif, sebelumnya perlu dijelaskan secara ringkas tentang jenis-jenis penafsiran dalam hukum pidana.

Berdasarkan pendapat Andi Hamzah, penafsiran hukum atau undang-undang pidana dapat dikategorikan ke dalam lima jenis penafsiran, yaitu:11

a. Penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran yang didasarkan kepada kata-kata undang-undang. Apabila kata-kata undang-undang

8 Ernst Utrecht, Satochid Kartanegara, Moeljatno, Andi Zainal Abidin, Andi Hamzah, Wirjono

Prodjodikoro, dan P. A. F. Lamintang adalah beberapa ahli hukum pidana yang membahas analogi dalam buku mengenai asas-asas hukum pidana yang mereka tulis.

9 Utrecht menerangkan bahwa pada tahun 1922, ahli yang mendukung analogi baru B. M. Taverne

seorang, ahli-ahli lain pada waktu itu, misalnya Simons, Zevenbergen, dan van Hamel menolak diterimanya analogi dalam hukum pidana. Pendukung analogi kemudian bermunculan, terutama dari para ahli yang bermazhab modern, misalnya Roling, Pompe, dan Jonkers. Dikutip dari E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Tanpa tempat: tanpa penerbit, tanpa tahun), hlm. 211-216.

10 Utrecht, Ibid., hlm. 212.

11 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm 81-83. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran hukum hanya

(15)

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

4

sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain. b. Penafsiran sistematis atau dogmatis, yaitu penafsiran yang

didasarkan kepada hubungan secara umum dalam suatu aturan pidana.12

c. Penafsiran historis, didasarkan kepada maksud pembuat undang-undang ketika diciptakan.13

d. Penafsiran teleologis, didasarkan pada tujuan undang-undang.14

e. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran yang memperluas makna ketentuan.

Penafsiran ekstensif selalu dibenturkan dengan analogi, sebab perbedaan keduanya dipandang tipis sekali. Moeljatno, dengan mengutip Paul Scholten, menjelaskan bahwa baik dalam hal penafsiran ekstensif maupun analogi, keduanya memiliki dasar yang sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) dari norma yang ada. Kemudian, dilakukan pereduksian sehingga menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara keduanya tersebut, hanya ada perbedaan gradual saja.15 Secara lebih radikal, Jonkers

mengemukakan bahwa yang dianggap sebagai penafsiran ekstensif atau penafsiran teleologis itu sesungguhnya merupakan analogi.16

Moeljatno, sebagai ahli yang mendukung penafsiran ekstensif namun menolak penerapan analogi dalam hukum pidana, berusaha menjelaskan tentang perbedaan antara penafsiran ekstensif dan analogi. Menurut Moeljatno, dalam penafsiran ekstensif, yang menjadi

12 Andi Zainal Abidin menjelaskan bahwa penafsiran sistematis adalah dalam hal hakim

menggantungkan penjelasan suatu ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana peraturan tersebut berada, dikutip dari Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 117.

13 Menurut Abidin, dengan penafsiran jenis ini, hakim meneliti tentang risalah pembentukan

peraturan tersebut (wetshistorisch) atau hakim meneliti tentang ketentuan-ketentuan dahulu yang mendahului ketentuan sekarang (rechtshistorisch), Ibid.

14 Abidin berpandangan bahwa selain dengan memperhatikan maksud pembuat undang-undang

dan asas-asas yang dijadikan pembuat undang-undang sebagai dasar ketentuan-ketentuan yang dibuatnya, penafsiran teleologis juga mencakup penafsiran berdasarkan syarat-syarat yang dikehendaki oleh masyarakat, Ibid., hlm. 116.

15 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 29 dan Utrecht, Op. Cit., hlm. 210-211.

16 J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda [Handboek van het Nederlandsch-Indische

(16)

PENDAHULUAN

5 pedoman adalah aturan yang ada, di dalamnya ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Sedangkan dalam menerapkan analogi, pangkal pendiriannya adalah bahwa perbuatan yang menjadi persoalan itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Namun, perbuatan tersebut, menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan itu.17 Meskipun begitu, seperti diuraikan di atas, Moeljatno menyetujui

pendapat Scholten bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi hanya ada perbedaan gradual saja.

Eddy Hiariej berpendapat bahwa para ahli hukum pidana yang membahas analogi dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:18

a. Golongan pertama, berisi para ahli hukum pidana yang dengan tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Golongan ini diwakili oleh van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno, dan Remmelink. Van Bemmelen dan van Hattum bahkan menolak penggunaan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana. Moeljatno, meskipun menolak penerapan analogi, namun menerima penafsiran ekstensif.

b. Golongan kedua, berisi para ahli hukum pidana yang tidak secara tegas menerima atau menolak analogi. Golongan ini diwakili oleh Hazewinkel-Suringa dan Vos.

c. Golongan ketiga, adalah para ahli hukum pidana yang menerima penerapan analogi. Golongan ini diwakili oleh Roling, Pompe, dan Jonkers. Golongan ini berargumen bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi tidak ada perbedaan asasi. Dipandang bahwa dengan demikian, analogi tidaklah menabrak asas legalitas. Golongan ini juga berpendapat bahwa sebenarnya pengadilan Belanda telah memutus dengan penerapan analogi, yaitu dalam kasus pencurian listrik19 dan

kasus penjualan sapi oleh orang yang berpura-pura sebagai pemilik sapi.20

Dalam konteks Indonesia, putusan pengadilan yang paling banyak dikutip berkaitan dengan penerapan analogi adalah putusan

17 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 31-33.

18 Eddy O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga,

2009), hlm. 73-82.

(17)

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

6

Pengadilan Tinggi Medan No. 144/Pid/1883/PT.Mdn tanggal 8 Agustus 1983 dengan Ketua Majelis Hakim Bismar Siregar yang mengadili Terdakwa MRS.21 Terdakwa didakwa Pasal 293 KUHP

jo. Pasal 5 ayat (3) UU No. 1/Drt/1951 (Dakwaan Primair), Pasal 378 KUHP (Dakwaan Subsidair), dan Pasal 335 KUHP (Dakwaan Lebih Subsidair). Perbuatan yang Terdakwa lakukan adalah mengajak tunangannya, Saksi A untuk melakukan persetubuhan, dengan janji Terdakwa akan mengawini Saksi A. Akibat janji dan rayuan Terdakwa, Saksi A akhirnya dapat disetubuhi oleh Terdakwa beberapa kali. Saksi A lalu hamil, namun Terdakwa mengingkari janjinya, bahkan kemudian mengawini perempuan lain.22 Pada

pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri Medan), Terdakwa diputus bersalah karena perbuatannya memenuhi Dakwaan Primair dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Di pengadilan tingkat banding, Terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana disebut dalam Dakwaan Primair, namun, Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dalam Dakwaan Subsidair (penipuan) dan dihukum tiga tahun pidana penjara. Pertimbangan yang diangggap penerapan analogi terdapat dalam pertimbangan unsur “memberikan/menyerahkan barang”. Majelis Hakim menimbang bahwa pengertian barang semakin meluas, sejalan dengan perkembangan teknologi modern dan kebudayaan. Maka, pengertian “barang” diperluas, sehingga “jasa” tercakup pula di dalamnya.23 Majelis Hakim juga menafsirkan istilah “barang” dalam

bahasa Tapanuli yang dikenal dengan nama bonda. Bonda tidak lain berarti alat kelamin perempuan, sehingga, menurut Majelis Hakim, ketika Saksi A bersedia vaginanya disetubuhi oleh Terdakwa sama saja dengan menyerahkan benda/barang.24 Di tingkat kasasi, putusan ini

dibatalkan oleh Mahkamah Agung.25

21 Edi Setiadi dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2013), hlm. 35-38.

22 Ibid. 23 Ibid.

24 Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’, http://www.hukumonline.com/

berita/baca/lt54a40e07e7422/ketika-kehormatan-wanita-dianalogikan-hakim-sebagai-barang, diakses pada 8 Februari 2016.

25 Adi Andojo Soetjipto, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung yang membatalkan putusan

(18)

PENDAHULUAN

7 Berbeda dengan KUHP Indonesia yang tidak mengatur tentang larangan analogi, Pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Naskah 2015 secara terang melarang penggunaan analogi dalam menetapkan perbuatan pidana.26 J. E. Sahetapy mengkritik ketentuan ini, karena

menurutnya, kalau sudah ada voorafgegane wettelijke strafbepaling, maka dicantumkannya analogi adalah overbodig alias berlebihan.27 Sahetapy

membandingkan pengaturan larangan analogi ini dengan Denmark dan Belanda. Menurutnya, di Denmark28 analogi tidak dicantumkan,

sedang di Belanda larangan analogi cukup dicantumkan dalam doktrin.29 Rumusan ini menjadi tidak sinkron dan harmonis ketika

dihadapkan dengan ketentuan Pasal 2 Rancangan KUHP Naskah 2015 yang terang-terang menyatakan bahwa asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.30 Sehingga, di satu sisi,

Rancangan KUHP menolak penggunaan analogi namun di sisi lain

Terlalu jauh dia. Jadi, aksi radiusnya itu ditarik terlalu jauh. Padahal ada aturan main kalau mau menafsirkan”. Dikutip dari Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar, http://www.hukumonline. com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-yang-mengayun-bismar, diakses pada 8 Februari 2016.

26 Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Pasal 1. Redaksi lengkapnya: Pasal 1

(1) Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan seagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

27 J.E. Sahetapy, “Membangun Hukum Pidana Indonesia,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono

AR, ed., Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kemang, 2016), hlm. 29. Voorefgegane wettelijke strafbepaling adalah bagian dari Pasal 1 KUHP berbahasa Belanda, yang lengkapnya: Geen feit is straffbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling, artinya, seperti dikemukakan di depan, adalah “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

28 Pasal 1 KUHP Denmark merumuskan “Only acts punishable under a statute or entirely

comparable acts shall be punished. The same rule shall apply to the other legal consequences set out in Chapter 9”. Terjemahan bebas bahasa Indonesia: “Perbuatan yang harus dipidana hanyalah perbuatan-perbuatan yang menurut undang-undang dapat dipidana atau perbuatan-perbuatan yang seluruhnya dapat diperbandingkan. Aturan yang sama berlaku kepada konsekuensi hukum lain yang diatur dalam Bagian 9”. Dikutip dari Denmark, The Criminal Code, Pasal 1.

29 Sahetapy, Ibid.

30 Republik Indonesia, Op. Cit., Pasal 2. Redaksi lengkapnya:

(19)

PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

8

mendukung berlakunya hukum pidana tidak tertulis.31 Pada tahun

1987 dalam diskusinya dengan Tim Pengkajian Hukum Pidana sebagai penyusun Rancangan KUHP, Keijzer dan Schaffmeister menyebut ketentuan ini sebagai “ketentuan akrobatik” karena menyimpang dari asas legalitas.32

Berdasarkan uraian di muka, penulis menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga bahasan besar mengenai penerapan analogi dalam hukum pidana yang patut dianalisis, yaitu: pertama, perdebatan penerapan analogi dalam konteks konsep akademis, di dalamnya mencakup perdebatan mengenai ada tidaknya perbedaan serta persamaan antara analogi dan penafsiran ekstensif; kedua, penerapan analogi dalam putusan pengadilan di Indonesia; dan ketiga, pengaturan mengenai analogi dalam Rancangan KUHP, dikaitkan dengan asas legalitas dan keberlakuan hukum pidana tidak tertulis. Adapun putusan-putusan pengadilan yang menerapkan analogi dalam pertimbangannya adalah:

1. Putusan PN Bengkulu Nomor 410/Pid.B/PN.BGL, Putusan PT Bengkulu Nomor 12/Pid/2015/PT.BGL, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 786K/Pid/2015 dengan Terdakwa Myxe Zul Janova.

2. Putusan PN Jakarta Barat Nomor 011/Pid/B/1997/PN.JKT.BAR, Putusan PT DKI Jakarta Nomor 110/Pid/1997/PT.DKI, dan Putusan Mahkamah Agung 1417K/Pid/1997 dengan Terdakwa Zarima Mir.

Buku ini akan menjawab dua buah pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan antara penerapan

analogi dan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana?

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

31 Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 53-55. Mengenai

kontradiksi ini, Tongat menjelaskan bahwa larangan analogi (Pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP) mengisyaratkan bahwa untuk menentukan adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum harus didasarkan pada ukuran yang tertulis, sehingga menafsirkan makna di balik yang tertulis tidak dihalalkan. Dikutip dari Tongat, “Rekonstruksi Politik Hukum Pidana Nasional (Telaah Kritis Larangan Analogi dalam Hukum Pidana),” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3, (September 2015), hlm. 532.

(20)

PENDAHULUAN

9 2. Bagaimanakah analogi diterapkan dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997?

Jawaban terhadap dua pokok permasalahan tersebut kemudian disintesiskan untuk membuat rekomendasi terhadap perumusan Rancangan KUHP mengenai pelarangan analogi dan keberlakuan hukum pidana tidak tertulis.

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar beberapa temuan di atas, beberapa poin penting yang dapat disimpulkan bahwa strategi experiential learning berpengaruh terhadap self regulated learning mahasiswa

Dengan demikian sumber belajar berupa alam atau lingkungan dapat memberikan arti serta makna yang mendalam pada proses pembelajaran tersebut bagi siswa atau

perlakuan yang terbaik antara dosis pupuk kotoran ayam dan tiga varietas lada di.. media

Selain untuk menekan atau mengurangi jumlah korban jiwa, harta dan dampak psikologis akibat bencana, pengurangan risiko bencana dengan membangun kesiapsiagaan juga

Proses pelaksanaan mengurangi adiktif youtube melali pendekatan cognitive behavior therapy dengan teknik self control pada remaja terdapat lima langkah proses konseling

pengaruh pengajaran iman dan penderitaan terhadap pertumbuhan iman jemaat, maka bagi setiap keluarga Kristen diharapkan dapat memberikan waktu dan tenaga untuk

CPNS KEJAKSAAN TINGGI SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2019 RABU, 02 SEPTEMBER 2020.. YUNUS AHLI

Selain itu, siswa SD kelas VI berada pada fase peralihan perkembangan intelektual dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal; sehingga, kajian terhadap