• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG (Jurnal Skripsi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG (Jurnal Skripsi)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI

TINDAK PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG

(Jurnal Skripsi)

Oleh

SHABRINA KIRANA ALMIRA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KOORDINASI ANTARA PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BALAI KARANTINA IKAN DAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI TINDAK

PIDANA PENYELUNDUPAN BIBIT LOBSTER DI LAMPUNG

Oleh

Shabrina Kirana Almira, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica Email: shabrinakiranaalmira @gmail.com.

Tindak pidana penyelundupan bibit lobster merupakan tindak pidana khusus, sehingga Penyidik Kepolisian melakukan koordinasi dengan Penyidik Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti-bukti permulaan dalam proses penyidikan. Permasalahan: (1) Bagaimanakah koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung? (2) Apakah faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data yang selanjutnya dianalisis dan dibahas secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung, dilaksanakan dengan Penyidik Kepolisian menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum, tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS, rapat secara berkala serta melaksanakan penyidikan bersama. (2) Faktor paling dominan yang menghambat koordinasi tersebut faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya hendaknya jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana. (2) Penyidik Kepolisian dan PPNS agar meningkatkan kemampuan di bidang teknik dan taktik penyidikan.

(3)

ABSTRACT

COORDINATION BETWEEN CIVIL SERVANT INVESTIGATOR OF FISH QUARANTINE STATION AND POLICE IN OVERCOMING CRIME OF

SMUGGLING OF LOBSTERS IN LAMPUNG

The crime of smuggling of lobster seeds is a special crime, so Police Investigator coordinates with Investigator of Fish Quarantine Institute of Lampung Province in order to seek and collect preliminary evidence in the investigation process. The problems of this research are: (1) How is coordination between Civil Servant Investigator of Fish Quarantine Station and Police in overcoming crime of smuggling of lobsters in Lampung? (2) What are the factors inhibiting the coordination between the Civil Servant Investigator of the Fish Quarantine Center and the Police in handling the crime of smuggling of lobster seeds in Lampung? The problem approach used is the normative juridical approach and the empirical juridical approach. The research sources consisted of Police Investigator of Lampung District, PNS Investigator of Fish Quarantine Institute of Lampung Province and Academician of Criminal Law Department of Law Faculty of Unila. Data collection techniques were conducted with literature studies and field studies. The data are then analyzed and discussed qualitatively to obtain the research conclusions. The results of this study indicate: (1) Coordination between Civil Servant Investigator of Fish Quarantine Center and Police in handling of smuggling of lobster smuggling in Lampung, carried out by Police Investigator receiving notification letter of commencement of investigation by PPNS, providing technical assistance, tactical, forced effort and consultation of investigations to PPNS for the improvement and acceleration of court file settlement, receiving court files from PPNS and forwarding to the Prosecutor, exchanging information about suspected crimes investigated by PPNS, regular meetings and conducting joint investigations. (2) The most dominant inhibiting factors of coordination between the Civil Servant Investigator of the Fish Quarantine Center and the Police in handling the smuggling of lobster smuggling in Lampung is apparatus factor law enforcers, namely the quantity of the limited number of investigators and the quality of human resources, is still not optimal tactics and techniques of investigation to uncover the crime of smuggling of lobster seed. Suggestions in this study are: (1) Investigators in conducting investigations should be honest and responsible. (2) Police Investigators and PPNS to improve technical skills and investigation tactics so that efforts to combat smuggling of lobster seeds can be optimized.

(4)

I. PENDAHULUAN

Hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum bukan hanya menjadi parameter untuk keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.1

Keinginan dan kesadaran tiap-tiap individu di dalam masyarakat menjadi dasar dibentuknya hukum, dengan maksud agar hukum tersebut dapat berjalan sebagaimana dicita-citakan oleh masyarakat itu sendiri, yakni menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Orang yang melakukan tindak pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukannya.2

Salah satu jenis tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Kementerian Kelautan dan Perikanan sehubungan dengan tindak pidana ini telah memberlakukan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

1

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm.14.

2

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana,

Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1998, hlm. 11.

56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal 2 menyebutkan penangkapan dan/atau pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), dengan

Harmonized System Code 0306.21.10.00 atau 0306.21.20.00, dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ketentuan: a. tidak dalam kondisi bertelur; dan b. ukuran panjang karapas diatas 8 (delapan) cm atau berat diatas 200 (dua ratus) gram/ekor.

Selanjutnya ketentuan Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 menyatakan bahwa setiap orang yang mengeluarkan Lobster (Panulirus spp.), dalam kondisi yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5)

dengan jumlah masing-masing kantong berisi sekitar 468 ekor dan total terdapat kurang lebih 52.884 bibit lobster yang hendak diselundupkan. Para pelaku terdiri dari empat orang laki-laki dan tiga perempuan, yang membawa masing-masing 1 koper yang berisi sekitar 16-17 kantong plastik berisi benur lobster. Untuk menyamarkan penyelundupan itu mereka berupaya mengelabuhi petugas dengan memasukkan sejumlah pakaian bekas ke dalam koper.3

Mengingat bahwa penyelundupan bibit lobster merupakan tindak pidana khusus maka pihak kepolisian melakukan koordinasi dengan instansi terkait, yang dalam hal ini adalah Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung. Dasar hukumnya adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Berdasarkan Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan diketahui bahwa karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri

3

Aprianto. Ditreskrimsus Polda Lampung Gagalkan Penyelundupan 52.884 Lobster. http://www.sayangi.com/2017/05/05/82090/news

/ditreskrimsus-polda-lampung-gagalkan-penyelundupan-52-884-lobster/Diakses Sabtu 12 Agustus 2017 Pukul 13.30-14.00 WIB

dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia;

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan, diketahui bahwa Balai Karantina Ikan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain didalam negeri atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.

Menurut Pasal 1 Angka (11) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

(6)

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka skripsi ini membahas:

“Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit

Lobster di Lampung”

Permasalahan penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah koordinasi antara

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung?

b. Apakah faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan

dan Kepolisian dalam

menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung

Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung merupakan bagian dari peran kepolisian sebagai aparat penegak

hukum berupaya semaksimal mungkin dalam menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan bibit lobster, dengan melakukan berbagai langkah strategis dan konstruktif dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan hak dan wewenangnya dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri, meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan, dan terbina ketenteraman masyarakat yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Kepolisian Daerah Lampung melaksanakan peran dalam mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster, melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Penyidik sesegera mungkin menanggapi setiap adanya laporan dari anggota masyarakat tentang adanya tindak pidana penyelundupan bibit lobster dengan melakukan penyelidikan, karena laporan tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat untuk menentukan apakah termasuk sebagai tindak pidana atau bukan. Kepolisian dalam penyidikan tersebut melaksanakan koordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan.

(7)

diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

Pasal 30 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, menyatakan bahwa ketentuan kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Adapun wewenang Penyidik PPNS Balai Karantina Ikan terdiri dari:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi dalam tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

c. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan;

e. membuat dan menandatangani berita acara;

f. menghentikan penyidikan apabila tidak didapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

Melalui penyelidikan dilaksanakan rangkaian tindakan penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Rangkaian tindakan penyelidikan hanya dimaksudkan untuk menemukan peristiwa pidana dan tidak mencari/menemukan tersangka. Tindakan penyidikan tidak harus didahului dengan penyelidikan. Manakala penyidik menemukan peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana, dapat segera melakukan penyidikan. Artinya tindakan penyidikan yang dilakukan oleh polisi terlebih dahulu diawali dengan penyelidikan untuk memastikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana penyelundupan bibit lobster.

(8)

Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menganalisis bahwa Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung sesuai dengan teori koordinasi, sebagai suatu mekanisme hubungan dan kerjasama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Koordinasi sebagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai pihak yang sederajat untuk saling memberikan informasi dan bersama mengatur atau menyepakati sesuatu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lainnya.4

Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian merupakan bentuk koordinasi eksternal yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi atau antar organisasi. 5 Koordinasi dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung dilaksanakan dengan menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum,

4

Taliziduhu Ndraha, Kybernologi : Ilmu Pemerintahan Baru. Rineka Cipta, Jakarta, 2003. hlm 45.

5

Inu Kencana.Sistem Pemerintahan Indonesia. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Jatinangor. Bandung. 2001. hlm. 76.

tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS; rapat secara berkala; dan melaksanakan penyidikan bersama. Kegunaan penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster bagi kejaksanan dalam proses penuntutan adalah sebelum Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Negeri, terlebih dahulu harus ada penyerahan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari pihak penyidik, Jika BAP dari penyidik telah lengkap menurut Penuntut Umum, barulah Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan, di mana surat dakwaan tersebut haruslah berjalan selaras dengan BAP tersebut. Apabila BAP tersebut menurut penyidik telah lengkap yang disertai dengan alat-alat bukti dan keterangan para saksi yang dianggap telah sah menurut hukum, serta BAP tersebut telah berjalan sesuai dengan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum.

B. Faktor Penghambat Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyelundupan Bibit Lobster di Lampung

(9)

1. Faktor Substansi Hukum

Faktor aturan perundang-undangan atau substansi hukum tidak menjadi penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung. Ketentuan yaitu Pasal 183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 menyatakan bahwa alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

Pasal 183 Ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa dalam hal hasil Penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk melengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Menurut kedua rumusan Pasal 139 dan Pasal 138 Ayat (2) KUHAP maka dapat diketahui bahwa beban pembuktian pada hakikatnya dilaksanakan oleh penyidik yang berusaha maksimal untuk mengumpulkan alat bukti sah yang selanjutnya diteliti oleh Penuntut Umum

yang akan menentukan kelanjutan proses perkara tersebut apakah ditutup demi kepentingan hukum atau dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau dilakukan sendiri pemeriksaan tambahan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa penyidikan dalam mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster yang dilakukan Kepolisian dan PPNS Balai Karantina Ikan cukup mengumpulkan dua alat bukti yang sah tersebut. Penyidik kepolisian dan PPNS berusaha secara maksimal untuk melaksanakan tugas penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Faktor Aparat Penegak Hukum

faktor aparat penegak hukum yang menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah secara kuantitas terbatasnya personil PPNS Balai Karantina Ikan yang khusus melakukan penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster.

(10)

Tindakan lain yang dimaksud adalah penyelidikan dan penyidikan jika memenuhi syarat sebagai berikut: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d). pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

3. Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah masih terbatasnya sarana prasarana penunjang penyidikan oleh PPNS Balai Karantina Ikan.

Kesadaran yang menyebabkan hukum merupakan instrumen (alat) untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif digunakan untuk mengatur masyarakat, dengan menggunakan (melalui) peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Dalam konteks yang demikian ini, sudah tentu harus diikuti dan diperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebagai basic sosial. Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum akan melayani kebutuhan anggota-anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber daya-sumber daya serta melindungi

kepentingan anggota masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa faktor sarana prasarana yang lengkap sangat diperlukan dalam proses penyidikan tindak pidana penyelundupan bibit lobster, sehingga kurang memadainya sarana dan prasarana yang tersedia dapat menghambat proses penyidikan.

4. Faktor Masyarakat

(11)

5. Faktor Budaya

Penilaian masyarakat mempengaruhi tindakan-tindakan Polisi, termasuk dalam hal penyidikan. Dengan tidak mengurangi hukum nasional yang berlaku jika memang suatu perkara dapat diselesaikan sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat seperti secara kompromi dengan jalan kekeluargaan, mediasi dan lainnnya lebih efisien dan efektif tentu Polisi tidak akan memaksakan untuk diselesaikan melalui sistem peradilan pidana yang ada dan memaksakan berlakunya hukum, tetapi dengan kebijaksanaan Polisi sebagai penyidik tersebut. Dengan cara inilah nilai-nilai budaya mempengaruhi dan mendorong Polisi dalam menentukan kebijaksaan dalam proses penyidikan.

Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Di sini dapat terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa faktor kebudayaan dapat menghambat proses penyidikan adalah masih adanya budaya masyarakat,

khususnya pelaku usaha lobster yang ingin memperoleh keuntungan besar dalam kegiatan jual beli bibit lobster, namun cara-cara usaha yang ditempuhnya melanggar hukum.

Menurut penulis faktor yang paling dominan menghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster. Selain itu apabila profesionalisme penyidik dalam taktik dan teknik penyidikan ditingkatkan maka pengungkapan kasus tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, sehingga proses penangkapan pelaku dan proses penyidikan dapat dilaksanakan dengan baik dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

(12)

tindak pidana tertentu bertumpu pada penyidik Polri. Padahal trend perkembangan hukum pidana di Indonesia sedang tumbuh subur, mempelajari hukum pidana dalam undang-undang tersendiri itu tentu memerlukan waktu dan pikiran yang banyak, serta tentu saja dibutuhkan skill intelektualitas dari penyidik yang Sarjana Hukum dan Sarjana Hukum yang penyidik, padahal jumlah penyidik pada instansi kepolisian terbatas.

Sesuai dengan uraian di atas nampak bahwa berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang pengadilan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum dan Hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah dan selanjutnya memidananya, sangat bergantung atas hasil penyidikan dari penyidik. Berkas perkara yang kabur, tidak mengarah dan menyentuh unsur delik tentang peristiwa pidana yang disangkakan, seringkali ditemukan dalam praktek peradilan. Akibatnya proses persidangan sering mengalami kesulitan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Selanjutnya, berkas perkara yang bersifat kabur tersebut semakin jauh dari kemungkinan mempersalahkan dan menghukum terdakwa, disebabkan alat bukti yang diajukan penyidik tidak memenuhi batas minimal pembuktian yang digariskan oleh Pasal 183 KUHAP karena pPada umumnya penyidik lebih cenderung mengumpulkan dan mengajukan alat bukti secara kuantitatif, bukan berdasar kualitatif. Selain itu terkadang dari sekian banyak alat bukti yang diajukan, tidak satu pun yang memenuhi syarat formil dan materiil, yang berakibat alat bukti yang diajukan tidak mencapai batas minimal pembuktian, sehingga seluruh alat bukti tersebut tidak mempunyai kekuatan

pembuktian. Mengenai seringnya terjadi bolak-balik berkas perkara antara Penyidik – Penuntut Umum hal tersebut dapat dimengerti oleh karena berkas perkara yang sering masih belum sempurna ataupun Jaksa PU menganggap berkas tersebut belum memenuhi syarat formil maupun materiil untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.

III. PENUTUP A. Simpulan

1. Koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan

dan Kepolisian dalam

menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung, dilaksanakan dengan Penyidik Kepolisian menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan oleh PPNS, memberi bantuan teknis, taktis, upaya paksa dan konsultasi penyidikan kepada PPNS untuk penyempurnaan dan mempercepat penyelesaian berkas perkara, menerima berkas perkara dari PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum, tukar menukar informasi tentang dugaan adanya tindak pidana yang disidik oleh PPNS, rapat secara berkala serta melaksanakan penyidikan bersama.

2. Faktor-faktor penghambat koordinasi antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Karantina Ikan dan Kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana penyelundupan bibit lobster di Lampung adalah sebagai berikut: a. Faktor aparat penegak hukum,

(13)

secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap penyelundupan bibit lobster b. Faktor sarana, yaitu masih

terbatasnya sarana dan prasarana penyidikan di Balai Karantina Ikan Provinsi Lampung

c. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan dan penegakan hukum terhadap pelaku penyelundupan bibit lobster. d. Faktor budaya, yaitu masih

adanya nilai-nilai toleransi yang dianut masyarakat untuk menempuh jalur di luar hukum positif untuk menyelesaikan suatu tindak pidana.

Faktor paling dominan yang menghambat koordinasi tersebut faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas sumber daya manusia, masih belum optimalnya taktik dan teknik penyidikan guna mengungkap tindak pidana penyelundupan bibit lobster

B. Saran

1. Penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan sebaik-baiknya hendaknya jujur dan bertanggung jawab serta bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektifitas dalam sistem peradilan pidana. Sekalipun polisi memiliki kewenangan diskresi, namun dalam melaksanakan kewenangan tersebut hendaknya polisi tidak sewenang-wenang, tetapi tetap berada pada

koridor dan batas yang telah ditentukan oleh hukum.

2. Penyidik Kepolisian dan PPNS agar meningkatkan kemampuan di bidang teknik dan taktik penyidikan sehingga upaya penanggulangan tindak pidana penyelundupan bibit lobster dapat optimalkan, dan untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana penyelundupan bibit lobster.

DAFTAR PUSTAKA

Aprianto. Ditreskrimsus Polda Lampung Gagalkan Penyelundupan 52.884

Lobster. http://www.sayangi.

com/2017/05/05/82090/news/ditr

eskrimsus-polda-lampung- gagalkan-penyelundupan-52-884-lobster/Diakses Sabtu 12 Agustus 2017 Pukul 13.30-14.00 WIB

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta

Kencana, Inu. 2001. Sistem Pemerintahan Indonesia. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Jatinangor. Bandung.

Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru. Rineka Cipta, Jakarta

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem

Peradilan Pidana, Pusat

Referensi

Dokumen terkait

pertumbuhan penduduk di Kota Pekanbaru, akan berdampak kepada Kota Pekanbaru, karena jumlah penduduk yang tinggi setiap tahun nya akan berpengaruh dengan

Pekerja las di Jalan Bogor yang bekerja sebelum adanya pekerjaan pengelasan dan bekerja menggunakan kacamata hitam terpajan sinar ultraviolet yang tingkat

Kegunaan kegiatan kerja praktik bagi ilmu pengetahuan yaitu untuk membangun komunikasi secara akademik antara D-III Perbankan Syariah dengan Lembaga Keuangan

penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS, sedangkan peneliti. membahas pengelolaan Program TB Paru mulai dari

Çalışmamızda, çap-çap artımı ilişkisinin, meşcere göğüs yüzeyine (sıklığa) bağlılık derecesinin kavranabilmesi için, yaşı 30 ile 40 arasındaki örnek

Apabila pemenang lelang urutan pertama yang telah ditetapkan sebagai Penyedia mengundurkan diri dan atau tidak bersedia, maka yang akan ditetapkan sebagai Penyedia dapat

Peternak sapi perah di desa Haurngombong yang memasang instalasi gasbio ada yang menggunakan feses saja sebagai substrat, dan ada juga yang menggunakan campuran feses dan serbuk

1.Mendorong seseorang (manusia) berperilaku dan berbuat sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan yang sah serta sesuai QS, sehingga tercipta suatu kondisi masyarakat yang