• Tidak ada hasil yang ditemukan

I Gede Mudanaa , I Ketut Sutamab , dan Cokorda Istri Sri WidhariC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "I Gede Mudanaa , I Ketut Sutamab , dan Cokorda Istri Sri WidhariC"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

771

Perspektif Pariwisata, Lingkungan, dan Kebudayaan

I Gede Mudana

a*

, I Ketut Sutama

b

, dan Cokorda Istri Sri Widhari

C

aPoliteknik Negeri Bali, Denpasar, Indonesia

*(gedemudana@pnb.ac.id)

Abstrak

Persoalan pendakian gunung suci dalam perspektif pariwisata, lingkungan, dan kebudayaan. Karenanya bidang ini sangat dekat dengan kajian pariwisata (tourism studies), kajian lingkungan (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Aspek kesucian suatu gunung dalam tema ini dimaksudkan untuk menjaga aspek kebudayaan dari persoalan yang dibahas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif melalui analisis data yang dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancana. Penelitian ini menemukan bahwa pendakian Gunung Agung yang dianggap suci di Bali setidaknya dapat dilihat dari berbagai perspektif, yakni dari bisnis kewirausahaan pariwisata, dari perspektif lingkungan karena mendaki adalah pariwisata gunung (trekking/climbing), dan dari perspektif kebudayaan di mana Gunung Agung dipercaya oleh masyarakat sebagai gunung suci. Dengan demikian, kegiatan tersebut bisa dilihat sebagai kajian pariwisata (tourism studies), kajian lingkungan (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Penelitian tentang persoalan pendakian gunung yang dapat dikaji dengan pendekatan multi-, inter-, dan transdisipliner, diharapkan mampu menjadi solusi di dalam memahami hal yang sifatnya religius magis. Kata Kunci : Pendakian, Gunung, Multiperspektif

PENDAHULUAN

Saat ini pariwisata (tourism) merupakan sebuah bisnis yang sangat kompleks seiring peradaban manusia yang semakin kompleks. Ia merupakan industri terbesar di dunia dan merupakan industri yang secara umum bergerak dalam bidang jasa.

Kegiatan pariwisata secara global setidaknya mencakup negara asal wisatawan (tourist generating countries) dan daerah tujuan wisatawan (tourist receiving countries atau destination). Dalam hal ini, yang dimaksud pariwisata terkait dengan

jenis yang terdapat di negara tujuan wisatawan.

Salah satu bentuk pariwisata, yang saat ini mulai mendapatkan perhatian luas adalah pariwisata mendaki gunung (trekking/climbing tourism). Pariwisata mendaki gunung

mencakup kegiatan wisata yang dilakukan untuk menikmati

keindahan gunung dan

(2)

Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif...

772 pariwisata alternatif (alternative tourism), dan sebagainya.

Pariwisata mendaki gunung secara umum sangat dekat dengan

aspek-aspek lingkungan

(environment). Pariwisata jenis ini merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Ia sangat peka terhadap kerusakan lingkungan. Tanpa lingkungan yang baik tidak mungkin pariwisata seperti itu berkembang. Karena itu pengembangan pariwisata mendaki gunung haruslah memerhatikan terjaganya mutu

lingkungan.

Sebagaimana judul yang digunakan, paper ini membahas tentang persoalan pendakian gunung suci dalam perspektif pariwisata, lingkungan, dan kebudayaan. Karenanya bidang ini sangat dekat dengan kajian pariwisata (tourism studies), kajian lingkungan (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Aspek kesucian suatu gunung dalam tema ini dimaksudkan untuk menjaga aspek kebudayaan dari persoalan

yang dibahas. Untuk itu, gunung yang menjadi pokok persoalan adalah gunung yang dianggap suci atau

disucikan oleh masyarakat sekitarnya, yaitu Gunung Agung di

Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

PEMBAHASAN

Pariwisata, lingkungan, dan kebudayaan adalah tiga perspektif berbeda yang relevan dikenakan pada persoalan pendakian gunung suci. Perspektif-perspektif tersebut menarik dibahas baik dari masing-masing perspektif maupun sebagai satu-kesatuan persoalan. Pertama, karena ia merupakan bentuk bisnis kepariwisataan karena menjadi arena penjualan jasa pengantaran pendakian ke wisatawan pendaki.

Kedua, sebagai trekking/climbing tourism, karena ia berbasik lingkungan gunung. Ketiga, karena gunung yang dimaksud bukan “gunung biasa” melainkan gunung tertentu yang dipercayai sebagai gunung suci. Dalam hal ini adalah Gunung Agung di Bali.

Perspektif Pariwisata

Ilmu pariwisata setidaknya mengenal dua daya tarik wisata, yaitu daya tarik wisata alam dan daya tarik wisata budaya. Dalam hal ini, secara substansial, pariwisata gunung (mountain tourism) atau trekking/climbing tourism terkait dengan daya tarik yang disebut

pertama.

(3)

773 tidak kalah dibandingkan pariwisata pantai yang selama ini menjadi aktivitas mainstream pariwisata. Ia kemudian menjadi salah satu daya tarik wisata (tourist attraction) penting daerah tujuan wisata. Tak terkecuali di Bali, salah satu gunung di Bali, yaitu Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3.142 meter dari permukaan laut, merupakan gunung tertinggi di daerah tujuan wisata Bali. Gunung Agung termasuk gunung vulkanik tipe monoconic strato dan dalam sejarahnya telah beberapa kali meletus. Sejak 1800-an, ia telah

beberapa kali meletus, yaitu 1808, 1821, 1843, dan 1963. Pascaletusan terakhir (1963), tidak sedikit

petualang dan/atau wisatawan

internasional dan domestik,

mendakinya. Pada awalnya, mereka

yang mendaki gunung yang relatif

sulit didaki ini umumnya tidak

menggunakan pemandu, sehingga di

antara mereka sering ada yang hilang,

tersesat, mengalami kecelakaan, dan

bahkan meninggal. Sejak tahun

1990-an, ketika jumlah wisatawan pendaki

internasional dan domestik terus

bertambah, mulai ada kesadaran di

kalangan anggota masyarakat di Desa

Selat yang merupakan ibukota

Kecamatan Selat dan di Desa Sebudi,

khususnya Dusun Sogra yang

merupakan lingkungan berdirinya

point pendakian dimulai, yang

berinisiatif menyediakan jasa

memandu pendakian Gunung Agung.

Kini, terkait dengan

pendakian Gunung Agung, terdapat

beberapa titik pendakian di Bali,

yakni di Kabupaten Karangasem,

yang teridentifikasi sebagai bagian

dari bisnis atau produk pariwisata.

Dibandingkan dengan Desa Besakih

(Kecamatan Rendang), Desa

Budakeling (Kecamatan Bebandem)

atau Desa Kubu (Kabupaten Kubu),

starting poing di Desa Selat melalui

Dusun Sogra dan Pura Pasar Agung

di Desa Sebudi (Kecamatan Selat)

dikenal merupakan jalur yang paling

populer dan paling banyak diminati

wisatawan pendaki. Jalur ini sering

disebut Jalur Selatan karena berada

di wilayah selatan gunung.

Menurut I Wayan Widiasa yang merupakan Ketua Kelompok Sadar Wisata Pendaki Gunung Agung Sebudi, di Dusun Sogra, mulai 12 Februari 2017 sampai 03 Agustus 2017, tercatat 4.459 wisatawan pendaki di mana mayoritas adalah wisatawan mancanegara. Angka tersebut menunjukkan rata-rata 630 orang per bulannya atau kira-kira 20 orang per harinya. Hanya dari jumlah tersebut, tentu ada beberapa yang

(4)

Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif...

774 Perspektif Lingkungan

Kegiatan mendaki gunung, termasuk gunung yang disucikan seperti Gunung Agung, juga merupakan bagian integral pariwisata berkelanjutan (sustained/sustainable tourism) atau green tourism (pariwisata hijau). Pariwisata berkelanjutan adalah praktik pengembangan berbagai bisnis pariwisata yang menjaga keseimbangan-keseimbangan berupa (1) keberlanjutan ekologis, (2) keberlanjutan ekonomis, dan (3) keberlanjutan sosial. Keseimbangan ketiganya secara global sering disebut

3P (planet-profit-people) dalam pariwisata. Planet adalah keseimbangan ekologi; profit adalah keseimbangan ekonomi; people adalah keseimbangan sosial-budaya.

Secara lebih terinci, aspek dalam pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah: (1) Aspek Lingkungan: Memanfaatkan secara optimal sumber daya lingkungan yang merupakan elemen kunci dalam pengembangan pariwisata, memertahankan proses ekologi dan turut andil dalam melestarikan

warisan alam dan keanekaragaman hayati di suatu destinasi wisata. (2). Aspek Ekonomi: Memastikan kegiatan

ekonomi jangka panjang yang layak, memberikan manfaat sosial ekonomi kepada semua stakeholder dengan

adil, seperti pekerjaan tetap,

kesempatan mendapatkan

penghasilan (membuka usaha) dan pelayanan sosial kepada masyarakat lokal, serta membantu mengurangi kemiskinan. (3) Aspek Sosial-Budaya: Menghormati keaslian sosial budaya masyarakat setempat, melestarikan nilai-nilai warisan budaya dan adat yang dibangun, dan berkontribusi untuk meningkatkan rasa toleransi serta pemahaman antar-budaya.

Tujuan pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah untuk membawa pengalaman positif bagi para stakeholder, yaitu

masyarakat setempat, perusahaan (/industri) pariwisata, dan wisatawan sendiri. Untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang, maka keseimbangan antartiga dimensi tersebut harus dibangun dengan baik. Pariwisata berkelanjutan juga harus menjaga tingkat kepuasan dan memastikan pengalaman yang berarti untuk para wisatawan, meningkatkan kesadaran mereka tentang isu-isu keberlanjutan dan mengajak wisatawan untuk turut serta mempromosikan praktik pengelolaan lingkungan yang baik di sekitar mereka.

Pencapaian pariwisata berkelanjutan merupakan proses

(5)

775 langkah pencegahan dan perbaikan yang diperlukan terhadap dampak dari kegiatan pariwisata juga harus terus dilakukan. Praktik manajemen dan pedoman pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat diaplikasikan ke semua bentuk aktivitas pariwisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk pariwisata massal dan berbagai jenis kegiatan pariwisata lainnya.

Apa yang terjadi dalam kegiatan pendakian Gunung Agung adalah penjabaran pariwisata berkelanjutan tersebut. Pertama,

mendaki Gunung Agung tidak boleh mengorbankan lingkungan gunung itu sendiri. Ekologi gunung harus dijaga. Pada umumnya, mereka yang mendaki adalah mereka yang menyukai alam dan pegunungan. Kedua, dalam pendakian tersebut, semua stakeholder memeroleh bagian keuntungan ekonominya sendiri, katakanlah industri pariwisata yang melayani wisatawan pendaki, anggota masyarakat yang menangani wisatawan pendaki mendaki gunung, dan pemerintah. Ketiga, karena Gunung Agung dianggap sakral, mendakinya adalah menghormati sistem budaya dan kepercayaan yang

berlaku. Misalnya, wisatawan pendaki tidak boleh bertindak sombong dan berkata kasar sepanjang perjalanan,

ada, harus menjaga kesucian dan kesakralan gunung. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini dijelaskan di bagian perspektif kebudayaan berikut.

Perspektif Kebudayaan

Gunung menempati posisi dan peran penting dalam berbagai agama. Ada agama-agama yang percaya bahwa gunung adalah tempat disampaikan atau diungkapkannya ajaran agama, atau tempat turunnya guru atau pendiri agama mereka dari sorga. Agama-agama lain menganggap gunung sebagai simbol pendakian spiritual. Oleh karena itu para

penganut agama menjadikan gunung sebagai tempat suci dan sebagai tujuan dharma yatra (ziarah). Gunung Kaliasa (Kailash) di India dipandang sebagai tempat suci oleh empat agama, yaitu Hindu, Buddha, Jain, dan Bon. Di Indonesia, dikenal juga beberapa gunung yang dianggap sebagai tempat suci, seperti Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Batukaru, Gunung Semeru, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Salak. Status sebagai tempat suci membuat gunung terlindungi dan terpelihara dari perusakan dan pencemaran. Oleh karena itu, gunung suci juga terjamin sebagai sumber air

(6)

Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif...

776 (Media Hindu, Edisi 159, Mei 2017, hal. 1).

Dalam penelitiannya di Bali, Stuart-Fox (2010) menyatakan, mitos tentang asal usul Gunung Agung sering dikaitkan dengan Hinduisasi yang menghubungkan bagaimana gunung tersebut dibawa dari India ke Pulau Jawa dan Bali. Puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan merupakan tempat berbersemayam para penjaga kehidupan, bumi, dan roh para leluhur yang telah menganugrahkan kemakmuran bagi umat manusia, atau mengambil kembali dengan kemurkaannya

membawa kematian dan kehancuran bagi dunia. Mitos Gunung Agung dipercaya merupakan pecahan dari Gunung Mahameru, dan dalam metafora genekologis ini dewa dari Gunung Agung merupakan putra dari dewa Gunung Mahameru, yakni Dewa Pasupati. Salah satu nama dewa Gunung Agung, Putrajaya (atau Putranjaya) secara jelas mengungkapkan hubungan anak ini, sementara namanya yang lain Mahadewa, adalah salah satu julukan bagi Siwa, menunjukkan statusnya yang paling tinggi dalam Hinduisme di Bali.

Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali. Gunung

Agung mendapatkan posisi yang sangat spesial dalam masyarakat

Hindu, khususnya di Bali. Di tengah gunung yang disucikan ini terdapat Pura Pasar Agung dan di kakinya berdiri Pura Besakih sebagai pura terbesar di Bali. Bahkan di puncak Gunung Agung, yakni di kawasan kawahnya, bahkan ada semacam tempat yang disucikan bernama Puser Tasik yang merupakan tempat mulang pakelem (upacara melarung sesajian). Puser tasik (puser = pusat, tasik = garam) dapat dimaknai secara harfiah sebagai “pusat garam” karena ada kepercayaan bahwa lobang kepundan Gunung Agung tembus dengan laut (tempat garam) sesuai

paradigma segara-gunung (segara= laut, gunung = gunung) dalam sistem budaya masyarakat Bali.

Pura Besakih yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, ini dikategorikan sebagai Sad Kahyangan, jadi ia adalah salah satu dari enam pura utama yang ada. Lima lainnya adalah Pura Lempuyang di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem; Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; Pura Goa Lawah, Kabupaten Klungkung; Pura Batukaru, Kabupaten Tabanan; Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik), Desa Pejeng, Keacamatan

(7)

777 tokoh spiritual India yang lama hidup di Jawa, yaitu Markandeya. Ada yang menambahkan namanya dengan Resi di depannya. Ada juga yang menjulukinya Bhatara Giri Rawang.

Dari penjelasan di atas, mendaki Gunung Agung bukan perkara main-main. Banyak aspek budaya dan kepercayaan yang harus dipatuhi bila ingin sukses dan selamat dalam pendakian. Itulah sebabnya mengapa setiap pendakian Gunung Agung disarankan harus disertai pemandu (guide) lokal. Di samping tingkat kesulitan

pendakiannya tinggi, terdapat banyak mitos, tabu, dan penggalan-penggalan cerita pengalaman pendakian yang harus diikuti dan ditaati sebagai panduan. Tentu ini boleh dipercaya atau tidak, tergantung pribadi masing-masing. Kenyataannya, ketika pendakian dilakukan tanpa layanan pemandu sebagaimana terjadi sebelum 1990-an pasca terjadinya letusan besar pada tahun 1963, banyak wisatawan pendaki yang tersesat, hilang, mengalami kecelakaan hingga meninggal. Seorang pemandu pelopor dari Desa Selat bernama Anak Agung Ngurah Wibawa (43 tahun) yang akrab dipanggil Gung Bawa mengatakan

kepada penulis, mendaki Gunung Agung tidak sekadar menikmati

lebih dari itu, mengalami spiritualitas. Tidak semua hari di mana wisatawan pendaki boleh mendaki. Yang pertama adalah karena keadaan alam, yaitu musim. Musim mendaki Gunung Agung biasanya dari April sampai Oktober. Ini murni persaoalan alamiah dan duniawi. Yang kedua adalah pada saat ada upacara keagamaan baik di Pura Pasar Agung maupun di puncak (kawah) Gunung Agung sendiri. Pada saat diadakan upacara di Pura Pasar Agung atau di puncak Gunung Agung, selama beberapa hari atau minggu,

pendakian tidak boleh dilakukan. Kegiatan mendaki dianggap membuat leteh (kotor). Melanggar semua ketentuan tersebut dipercaya mengandung risiko tertentu dalam pendakian.

PENUTUP

Mendaki Gunung Agung yang dianggap suci di Bali setidaknya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ia bisa dari perspektif pariwisata itu sendiri, yakni dari bisnis kewirausahaan pariwisata, dari perspektif lingkungan karena mendaki adalah pariwisata gunung (trekking/climbing), dan dari

(8)

Mudana,Sutama,Widhari-Mendaki Gunung Yang Disucikan Perspektif...

778 Dengan demikian, kegiatan tersebut bisa dilihat sebagai kajian pariwisata (tourism studies), kajian lingkungan (environment studies), dan kajian budaya (cultural studies). Bahkan lebih bagus kalau studi tentang itu dilakukan secara multi-, inter-, dan transdisipliner mengingat begitu kompleksnya pemahaman dan pemaknaan tentang gunung dalam masyarakat, khususnya di Bali.

Dalam konteks pengembangan kepariwisataan, untuk hasil dan manfaat yang lebih baik, terkait dengan pendakian Gunung Agung, sudah dilakukan penelitian tentang

“Pengembangan Model

Kewirausahaan Memandu Wisata

Mendaki Gunung” (Mudana, et al,

2017) yang di dalamnya terdapat model pengembangan tersendiri yang pantas diacu dalam pengembangan tersebut. Hal ini mengingat semua aspek ekonomi-pariwisata, lingkungan alam (ekologi), dan kebudayaan (sistem kepercayaan dalam masyarakat) sudah dipertimbangkan secara saksama dengan melibatkan ketiga pilar (threefolding) politik-ekonomi-budaya atau negara-pengusaha-masyarakat sebagaimana dianjurkan oleh Perlas (2000). Bahkan dalam penelitian

Mudana, et al, (2017) tersebut, dibuat sebuah standard operating procedure (SOP) yang sangat layak menjadi SOP

bagi kegiatan wisatawan pendaki dan pemandunya agar pendakian bisa berjalan lancar dan memberikan kebermanfaatan semua pihak yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA

Media Hindu. 2017. ”Gunung Suci dalam Agama-agama”, Media Hindu, Edisi 159, Mei 2017, hal. 1.

Mudana, I Gede, I Ketut Sutama, dan Cokorda Istri Sri Widhari. 2017.

“Pengembangan Model

Kewirausahaan Memandu

Wisata Mendaki Gunung”,

penelitian DRPM Dikti.

Perlas, Nicanor. 2000. Shapping Globalization: Civil Society, Cultural Power and Threefolding. New York: CADI and Global Network for Social Threefolding.

Stuart-Fox, David J. 2010. Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali. Jakarta: Pustaka Larasan.

Tim Redaksi Bali Post. 2010. Mengenal Pura, Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat, cetakan ketiga. Denpasar: PT Offset BP

Referensi

Dokumen terkait

Pada bagian ketiga ini penata ingin memunculkan kesimbangan antara musik Bali dan musik barat. Kesimbangan itu bisa muncul apabila kedua porsi dari kedua musik itu.. memiliki ukuran

Dalam garapan ini penata membuat sebuah perpaduan warna suara dalam gamelan Balaganjur melalui instrumen yang berbahan dari kerawang dengan instrumen yang berbahan

Melalui pengukuran keempat perspektif ini, manajemen perusahaan akan lebih mudah untuk mengukur kinerja dari unit bisnis saat ini dengan tetap mempertimbangkan kepentingan

Yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Tina Febriani dan Ayu Desi Indrawati yang bersal dari Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali, Indonesia