• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARSITEK INTELEKTUAL ULAMA BUGIS ABAD 20 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ARSITEK INTELEKTUAL ULAMA BUGIS ABAD 20 (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Muhammad Irfan Hasanuddin, M.A.

A. PENDAHULUAN

Meskipun geneologi dunia kiai-pesantren di Sulawesi Selatan mempunyai mata rantai keilmuan sampai ke walisongo,2 namun studi

tentang kiai dan pesantren di Sulawesi Selatan tampaknya tidak seintensif dengan kiai-pesantren di Jawa-Madura. Sampai pada akhir abad ke 20, daya tarik kajian kiai-pesantren di Sulawesi Selatan belum banyak menarik sarjana asing maupun sarjana lokal, kecuali segelintir nama seperti Wahyuddin Halim (2013), Afifuddin Harisah (2013), Azyumardi Asra (1994),3 Martin van Bruinessen (1995),4 Andi Faisal Bakti (2005),5 Abdul

1Makalah ini dipresentasikan pada acara “AICIS Tahun 2014” yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI bekerjasama dengan STAIN Samarinda.

2Pengaruh Walisongo bukan hanya dirasakan oleh Muslim Jawa abad ke 16, akan tetapi juga mempunyai pengaruh yang kuat pada pengembangan Islam di Sulawesi Selatan abad kw 17. Salah satu murid Sunan Giri (wafat 1530) yakni Abdul Makmur Khatib Tunggal yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Bandang merupakan salah satu di antara tiga penyebar Islam yang berjasa di Sulawesi Selatan pada abad 17. Lihat, M. Tolhah Hasan “Prolog: Hibrida Kultural dan Tradisi Intelektual Pesantren dari Masa-ke Masa” dalam Mastuki H.S. dan M. Isho al-Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawal Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta; Diva Pustaka, 2003).

3Kajian Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaian Nusantara Abad XVII- XIX (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1994). Dalam kajiannya, Azra menyimpulkan bahwa pembaharuan pemikiran jauh dimulai sejak munculnya Syeikh Yusuf al-Makassari, salah satu ulama Sulawesi Selatan yang menjadi icon tarekat khalwatiah dan penyebaran Islam di daerah Banten dan Cirebon.

4Martin van Bruinessen, salah seorang pengkaji isu-isu keislaman termasuk duni kiai dan pesantren, sempat menyebut beberapa kiai pesantren pionir seperti Gurutta H.M. As’ad dan muridnya Gurutta H. Ambo Dalle. Lihat, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning,Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1995)

5Andi Faisal Bakti menulis beberapa artikel berkenaan dengan Gurutta H.M. As’ad dan Gurutta Ambo Dalle tentang perkembangan pesantren As’adiyah dan DDI di Sulawesi Selatan.

(2)

Karim Hafid (1997),6 dan Abu Hamid (1983).7 Makalah ini paling tidak akan

menjelaskan salah satu figur kunci kebangkitan intelektualisme pesantren abad ke 20 yang luput dari perhatian indonesianis, khususnya di luar pulau Jawa-Sumatera. Lebih detail lagi paper ini akan menjelaskan akar genealogis keilmuan Gurutta H.M. As’ad yang menghubungkan beberapa ulama besar Nusantara seperti K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama).

Eksistensi kiai dan komunitas pesantren di Sulawesi Selatan menunjukkan hal yang relatif berbeda dibanding di Jawa-Madura. Paling tidak ada tiga hal yang merupakan keunikan dunia pesantren di Sulawesi Sealatan. Pertama, pesantren pada umumnya tidak dibangun sebagai properti pribadi melainkan atas nama umat Muslimin. Karena itu, hampir jarang ditemukan pesantren yang dibangun oleh keluarga tertentu atau tidak diwariskan pada keturunan kiai pendiri pesantren. Hal inilah yang menyebabkan kultus terhadap kiai di Sulawesi Selatan bukan hal yang umum. Kedua, pesantren di Sulawesi Selaatan pada umumnya tidak terfokus pada spesifikasi keilmuan tertentu seperti di Jawa-Madura. Jarang ditemukan pesantren dengan penamaan khusus seperti pesantren tafsir-hadis, pesantren tahfiz, pesantren fiqih, atau pesantren tasawuf. Paling tidak, kondisi ini tidak seramai seperti yang dipraktekkan di Jawa. Ketiga, alumni pesantren di Sulawesi Selatan pada umumnya menghindari sikap ekstrim dalam beragama dan memilih jalan tengah dalam konteks beragama. Keadaan ini bisa dilacak pada kurangnya alumni pesantren yang tergabung dalam gerakan radikal di Indonesia.

Menurut Hairus Salim (2001), setidaknya terdapat tiga faktor yang berkontribusi terhadap pentingnya dunia kiai dan pesantren. Pertama, pesantren merupakan sarana dan instrumen bagi perkembangan tradisi Muslim. Pesantren secara tradisional telah melegitimasi masyarakat desa dan diakui sebagai simbol budaya dan media efektif dalam mempengaruhi perubahan sosial. Kedua, studi tentang pesantren belum banyak dilakukan

(3)

khususnya oleh sarjana Barat. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid (Gusdur) percaya bahwa terjadi kesalahpahaman dalam memaknai peran pesantren karena kurangnya studi yang serius. Karena itu, penelitian ilmiah pada satu sisi harus berusaha keras memberikan gambaran yang jelas mengenai kekuatan dan potensi pesantren dalam menginisiasi perubahan, dan menawarkan kritik konstruktif terhadap peran kiai dan pesantren di sisi lain. Ketiga, tradisi pesantren tidaklah statis melainkan dinamis karena ia telah menjaga kontinuitas tradisi dan menerima perubahan.8

Peran kiai-pesantren dalam memberi warna identitas keislaman menarik untuk dikaji. Kiai bukan hanya tampil sebagai sosok tafaqquh f al-di>n yang otoritatif menerjemahkan teks agama (al-Qur’an-Hadis), tetapi juga sekaligus sebagai vigur elit sosial masyarakat muslim yang melampaui batas-batas keagamaan. Kiai dalam konteks ini dapat berfungsi sebagai “cultural broker” (Clifford Geertz), “cultural maker” (Hiroko Horikoshi), dan banyak lagi peran lainnya. Sebagai vigur elit sosial, kiai tentu dapat memainkan peran sebagai seorang pemimpin yang diteladani dan diikuti. Dalam spektrum lebih luas, kiai-pesantren menemukan tantangannya ketika mengahadapi isu-isu global seperti sekularisme, pluralisme, demokrasi, dan multikulturalisme. Kelompok elit muslim ini dipaksa untuk membaca dua teks sekaligus yakni teks agama dan teks empirik (realitas sosial). Menurut hemat penulis, keberadaan

Gurutta H.M. As’ad sejak tahun 1928 telah memberikan warna baru bagi kebangkitan intelektualisme di tanah Bugis-Makassar. Sebelum kedatangan Gurutta pendidikan Islam diajarkan dalam bentuk tradisional dan belum terorganisir dengan baik. Pengajian kitab kuning dilaksanakan di rumah-rumah para guru agama. Dengan keberadaan Gurutta, pengajian kitab kuning menjadi lebih variatif dan lebih modern dengan bentuk dan model klasikal. Kreatifitas kiai-pesantren dalam memberikan warna identitas keislaman yang bisa jadi moderate respectfull (mengahargai-moderat), fundamentalis dan radikal.

(4)

Peran kiai dan kaum santri cukup senteral dalam kehidupan sosial masyarakat Muslim. Otoritas kiai (ulama) sebagai figur penting dalam Islam mempunyai landasan teologis karena telah dilegitimasi oleh hadis Nabi. Karena itu, konsideran teologis atas posisi ulama sebagai pewaris Nabi menempatkan kiai secara tidak langsung pada posisi elit yang dihormati. Kiai (ulama) dalam batas tertentu menjadi cermin sekaligus penafsir ajaran agama di tengah kaum Muslim. Dalam konteks yang lebih luas, kiai akan memerankan fungsi agama seperti dalam nalar Emile Durkheim sebagai; 1] membentuk solidaritas sosial, 2] sumber makna 3] kontrol sosial, 4] agen dan inspirator perubahan sosial, 5] dukungan psikologis. Meminjam teori fungsional Emile Durkheim, agama adalah hal universal dalam kehidupan manusia karena agama memiliki fungsi yang sangat penting dalam mempertahankan sistem sosial secara keseluruhan. Lebih lanjut tentunya signifikansi klaim Clifford Geerzt dan Hiroko Horikoshi semakin teruji.

Secara historis, institusi pesantren dan kiai telah berfungsi sebagai agen perubahan sosial dalam pembentukan budaya pada masyarakat. Kiai dan pesantren memiliki tanggung jawab berkelanjutan dalam mempertahankan ajaran Islam dan membentuk identitas nasional di bawah payung tradisi Islam. Karena itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana peran Gurutta H.M. As’ad dalam membentuk jaringan intelektualisme pesantren di Sulawesi Selatan abad ke 20 yang pada akhirnya turut memperkaya dan memberikan kontribusi positif bagi terbentuknya identitas nasional.

(5)

menemukan dan sekaligus mengidentifikasi problem masyarkat secara ril. Dengan menggusung prinsip moderasi dalam beragama, eksistensinya mendapatkan tempat di masyarakat Muslim Wajo. Bahkan, tidak lama kemudian Gurutta mendirikan madrasah pertama di Sulawesi Selatan yakni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) tahun 1930.

Gurutta H.M. As’ad membangun fondasi keilmuan melalui otoritas keilmuan para syeikh di Mekkah dan Medinah. Dengan mengkaji dan menguasai kitab-kitab yang dipelajarinya, Ia memperoleh pengakuan dan ijazah dari para gurunya, khususnya ketika menyelesaikan pendidikan di Madrasah al-Falah Mekkah. Dalam konteks nasional, peran Gurutta H.M. As’ad dalam memperkaya identitas nasional,9 sangat signifikan. Hampir

pada umumnya santri-santri Gurutta menjadi tokoh penting dan elit agama baik di tingkat lokal maupun nasional.10 Oleh karena itu, makalah

ini diproyeksikan untuk mengisi kekosongan kajian akademis tentang dunia kiyai dan pesantren di Sulawesi Selatan khususnya pada abad ke 20.

B. LATAR SOSIAL GURUTTA H.M. AS’AD 1. Kelahiran Gurutta

Terlahir dengan nama lengkap Muhammad As’ad al-Bugisi tahun 1907 dari pasangan Gurutta H.Abd Rasyid dan Hj. Sitti Saleha binti Abdul Rahman, seorang ulama Bugis yang bermukim di Mekkah.11 Ia

9Identitas nasional adalah sesuatu yang diambil dan digali dari akar budaya, bahasa, suku, bahasa bangsa Indonesia. Identitas nasional bangsa Indonesia mengkristal dalam Pancasila sebagai berikut: 1] Ketuhanan Yang Maha Esa, 2] Kemanusiaan yang Adil Beradab, 3] Persatuan Indonesia, 4] Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan 5] Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji peran kiai-pesantren di Sulawesi Selatan dalam memberikan sumbangan positif bagi identitas keislaman Indonesia yang moderat.

10Sebahagian besar murid-murid Gurutta H.M.As’ad adalah pendiri beberapa pesantren terkemuka di Sulawesi Selatan yang kemudian cabang-cabangnya menyebar ke berbagai propinsi di Seluruh Indonesia, misalnya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Palangkaraya, Sumatera, Jambi, Sulawesi, Flores dan beberap wilayah di Maluku, Papua dan Sorong.

(6)

menghabiskan masa kecil dan remajanya menuntut ilmu di Mekkah sebelum hijrah ke Indonesia, Sulawesi Selatan tahun 1928. Selama hidupnya, Gurutta H.M. As’ad. Di usianya yang masih mudah Ia pernah dipercayakan untuk menjadi imam shalat Tarwih di Masjidil Haram. Selama hidupnya, Gurutta H.M> As’ad pernah menikah tiga kali dengan perempuan yang berbeda. Pertama, ketika berumur 17 tahun, Ia menikah dengan St. Hawa Daeng Mattejo dan dikaruniai seorang anak. Kedua, setalah tiba di Sengkang-Sulawesi Selatan Ia menikahi Syahribanong dan dikaruniai seorang anak. Ketiga, pada perkawinan kali ini Ia dikaruniai 8 orang anak dari istrinya bernama Daeng Haya.12 Suasana batin Gurutta

dipengaruhi oleh latar belakang sosial yang berbeda yakni kehidupan Arab (Mekkah-Medinah) yang pada saat itu dikuasai oleh kelompok Wahabi dan kehidupan sosial masyarakat Bugis-Makassar yang masih rentang dengan

animisme dan dinamisme dalam praktek kehidupan sosial beragama. 2. Genealogi Keilmuan

Pada mulanya, Gurutta H.M. As’ad mempelajari beberapa kitab dari ayahnya antara lain kitab Saf>nah al-Najah, Subdah al-‘Aka>id Sala>m al-Aka>id, al-Juru>miyah, Ilmu Sharf, dan Syarh Dahla>n. Pada pengajian umum yang dilaksanakan ayahnya, Gurutta H.Abd. Rasyid, Ia mempelajari

Syarh al-Azhariyah, Syarh Ibn Aqil, dan al-Jala>la>yn. Pada tahun 1921, Gurutta telah menguasai dan menghafal beberapa matan kitab seperti

Sullam al-Mantiq, Manzu>ma>t Ibn Sya>niah, dan al-Nuhbat al-Ashriyah.

Kitab-kitab ini Ia pelajari dari Gurutta Syeikh Ambo Wellang, ulama Bugis yang bermukim di Mekkah.13

Pada tahun 1924, Gurutta H.M> As’ad dikirim ke beberapa ulama untuk mempelajari secara khusus beberapa kitab. Dari Allamah Syeikh Abbas Abdul Jabbar, Ia mempelajari Tafsir Jala>layn, Syarh Ibn Akil, Syarh al-Fawa>kih, Syarh al-Baiqu>ni, dan Mallawi. Setahun kemudian, 1925 Ia belajar dari seorang ulama Bugis, Syeikh H. Mallawa, beberapa kitab yakni

al-Rawa>kihah, Fath al-Mui>n, Syarh al-Hika>m dan Tanwi>r al-Qulu>b.

12Muhammad Yunus Pasanreseng, Sejarah Lahir dan Perkembangan Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang, (Sengkang: Adil, 1992), h. 45. Dari perkawinannya dengan Daeng Haya dikaruniai 8 orang anak yakni Abu Hamid, Abdul Rahman, Abdul Rasyid, Ahmad Ridha, Muhammad Radhi, Syamsuduha, Umm al-Khair, dan Rasyidah.

(7)

Selain itu, Ia juga mempelajari kitab Subul al-Sala>m dan Syarh al-Nuhbah dari seorang ulama besar Syeikh Umar Hamdani dan kitab al-Mahalli dari Syeikh Ahmad Nadzirin di Mekkah. Pada periode yang hampir bersamaan, Gurutta H.M. As’ad memperdalam kitab Mutammimah, Mukhtasar al-Ma’a>ni dan al-Samu>ni dari Syeikh Jama>l al-Ma>kki.14

Gurutta H.M. As’ad menguasai kitab ilmu mantiq seperti Isa>guji, Qa>la Yaqu>lu, Hida>yah al-Nahwi, Syarh Damhu>ri, dan Jauha>r al-Mangku>ni.15 Gurutta menyelesaikan Pendidikan Tinggi formalnya dan

memperoleh ijazah pada Madrasah al-Falah sebelum hijrah ke Indonesia, Sulawesi Selatan pada tahun 1928. Hanya saja, Ia tidak menyebutkan nama guru-guru yang mengajarnya ketika memperdalam ilmu agama di Madrasah al-Falah.16 Selain itu, Gurutta juga pernah menjadi sekretaris

pribadi seorang pemimpin tarekat Sanusiyah (Idrisiyah) sebelum kepulanngannya ke Indonesia. Ia memperdalam ilmu tarekat

3. Karya Akademis

Ia menulis beberapa karya akdemis berkaitan dengan bidang akidah, fiqh, sejarah, tafsir baik dalam bahasa Bugis maupun dalam bahasa Arab. Karya-karyanya antara lain yakni Izha>r al-Haqi>qah berisi tentang teologi dan akidah berbahasa Bugis (terbit di Makassar 1931), Tuhfah al-Faqir ‘ala Nazm Usul al-Tafsir (terbit di Kairo-Mesir, 1940), Sirah al-Nabawiyah menjelaskan sejarah hidup Nabi dalam bahasa Bugis, al-‘Aqa>id (Bugis), al-Zakah (Bugis), al-Kaukab al-Muni>r (Arab), Irsya>d al-Ammah (Arab), al-Ibrahi>m al-Ja>liyah (Arab), al-Ajwibah al-Mardiyah

ditulis dalam bahasa Arab, Bugis, Indonesia (terbit di Makassar, 1940), Tafsir Surah al-Naba’ (Bugis-Indonesia), Nibrah al-Nasi>k (Bugis), Sabi>l

14Ibid., h. 46-47.

15Ibid., h. 47. Ilmu mantiq ini masih diajarkan sampai sekarang meskipun hanya menggunakan kitab pengantar. Kecenderungan santri pesantren As’adiyah Pusat Sengkang sekarang tidak cukup tertarik mendalami ilmu ini.

(8)

al-Shawa>b (Bugis-Indonesia), al-Qaul al-Maqbu>l, Majallah al-Mauidsah al-Hasanah. Karya Maba>his ‘Ilmiyah liman Radda Bara>hi>n al-Ja>liyah (terbit 1941) adalah jawaban khusus Gurutta H.M. As’ad terhadap diskusinya dengan Dr. Hamka, salah seorang ulama besar Muhammadiyah dari Sumatera.17 Gurutta cukup prolific dalam menulis

karya-karyanya.

C. GURUTTA H.M. AS’AD DAN ARSITEK JARINGAN INTELEKTUAL ABAD 20

1. Jaringan Intelektual Nusantara

Jaringan intelektual Gurutta H.M. As’ad pertama kali dibangun di Mekkah melaui guru-guru Bugis mupun orang Arab. Beberapa guru utama ketika Gurutta menutut ilmu di Mekkah-Medinah tidak bisa dipungkiri merupakan sumber otoritas keilmuan yang menghubungkannya dengan beberapa ulama Nusantara yang kemudian beberapa di antaranya mendirikan dan terlibat aktif dalam pengembangan organisasi keislaman di Indonesia. Otoritas keilmuan yang Gurutta peroleh bukan hanya meneguhkan mata rantai keilmuannya sampai ke Rasulullah tetapi juga sekaligus memberikan “mandat” berupa pengukuhan sekaligus pengakuan atas keilmuan yang dimilikinya. Sumber keilmuan Gurutta relatif lebih lengkap karena Ia memperoleh dari sumber-sumber utama baik dari guru Bugis seperti Gurutta Abdul Rasyid, H. Mallawa, H. Ambo Wellang, maupun para allamah grand syeikh” seperti Syeikh Abdul Jabbar, Syeikh Muhammad Said al-Yamani, Syeikh Umar Hamdani, Syeikh Ahmad Nadzirin, Syekh Jamal al-Makki dan Syeikh Hasan al-Yamani, Syeikh Abrar.

Syeikh Muhammad al-Yamani dan Syeikh Umar Hamdani merupakan dua guru utama Gurutta H.M. As’ad sekaligus menjadi sumber keilmuan beberapa ulama terkemuka di Indonesia. Beberapa ulama nusantara pernah berguru pada dua syeikh utama tersebut antara lain Syeikh Hasyim Asy’ari (Jombang,1871), Anwar Musaddad (Garut, 1903), Zain Mun’im (Probolinggo, 1906), Muhammad As’ad al-Bugisi (Mekkah, 1907),

(9)

Zainuddin Abdul Madjid (Sumbawa, 1908), Ali Maksum (Rembang, 1915).18

Sanad dan mata rantai keilmuan para ulama nusantara abad 20 tersebut meneguhkan keilmuan Islam tradisional yang mengental pada faham akidah Asy’ari, mazhab fiqh Sya>fiiyah, dan ajaran akhlah dan tasawuf al-Gaza>li. Dengan ungkapan lain, para ulama tersebut pada gilirannya merupakan penafsir otoritatif sekaligus penerus tradisi keilmuan Islam klasik.

Beberapa ulama nusantara tersebut merupakan agen-agen pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke 20. Hampir semua dari mereka kemudian mendirikan pesantren yang menjadi pionir di daerahnya. Silang saling keilmuan para ulama nusantara yang pernah berguru di Mekkah merupakan satu ikatan jaringan yang dalam jangka panjang melampaui bangunan “intelektualisme” pesantren. Ikatan jaringan kemudian berkembang menjadi jaringan ideologi ahlu sunnah wal jama>ah yang salah satunya direpresentasikan oleh organisasi keislaman Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926. Lebih jauh dapat disebutkan bahwa para ulama nusantara berperan aktif dalam memberikan warna dan identitas keislaman yang moderat bagi muslim Indonesia.

Dalam konteks lahirnya Indonesia, peran jaringan ideologi dan keilmuan ini tidak bisa dinafikan. Semangat “jihad” yang diajarkan untuk membela kebenaran “Islam” menjadi spirit perjuangan bagi para ulama nusantara bersama komunitas muslim lainnya. Tidak salah kalau dikatakan bahwa “imagine community” yang pernah diperkenalkan Bennedict Anderson menemukan signifikansinya dalam konteks ini. Betapa tidak, dengan kekuatan jaringan ideologi dan keilmuan yang diajarkan para ulama membentuk semangat dan pengetahuan kolektif untuk memepertahankan hak dan menjadi orang merdeka di bawah penjajahan kolonialisme. Jadi, ulama nusantara punya andil dalam membentuk nasionalisme bangsa Indonesia.

2. Gambaran Awal Pendidikan Islam di Wajo, Sulawesi Selatan

(10)

Belum ditemukan institusi pendidikan di kerajaan Wajo yang mengajarkan ilmu umum dan agama sampai akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20. Secara umum, para santri belajar secara secara personal dari guru agama dan para ustaz cara membaca dan menulis. Di samping kegiatan belajar tersebut, para santri juga dilatih dengan Nusantara melalui organisasi Muhammadiyah20 yang berdiri pada tahun

1912. Organisasi Muhammadiyah secara resmi eksis di Sulawesi Selatan pada tahun 1926 dibawa oleh seorang ulama pedagang dari Surabaya, Mansur al-Yamani. Pada perkembangan selanjutnya, K>.H> Abdullah, ulama lokal yang lahir di Maros, memimpin organisasi Muhammadiyah. Ia berguru selama 10 tahun di Mekkah kemudian pulang ke Makassar pada tahun 1914.21 Di sinilah cikal bakal munculnya gerakan pembaharuan via

Muhammadiyah yang kemudian berkembang ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan, termasuk di Kabupaten Wajo.

19Ajaran Wahabiyah pada mulanya dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Semenanjung Arabiah. Doktrin utama Wahabiyah adalah penentangan keras terhadap praktik bid’ah dan syirik. Muhammad bin Abdul Wahab pernah berguru pada seorang ulama ahli hadis yakni Muhammad Hayyat. Muhammad Hayyat dianggap berpengaruh pada Muhammad bin Abdul Wahab, tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa gerakan radikal Wahabi dipengaruhi oleh Muhammad Hayyat. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Islam di Nusantara, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1999), h. 136-137. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, (Jakarta: Logos, 1999), h. 104-107. Lihat pula, Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), h. 63.

20Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, atau Muhammad Darwis.

(11)

Perkembangan Muhammadiyah di beberapa distrik (kabupaten) cukup pesat. Pada tanggal 15 Juli 1928 Muhammadiyah resmi didirikan di bawah kepemimpinan H. Andi Muri (ketua) dan Andi Juranga (wakil ketua). Tidak lama setelah berdirinya pada tahun yang sama, Muhammadiyah membuka sekolah pertama yang mengajarkan pengetahuan umum dan agama dengan sistim klasikal meniru sekolah Belanda.22 Menurut

Azyumardi Azra, model sekolah yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai “Sekolah Belanda Plus”, sekolah yang mengintegrasikan pendidikan agama dan umum dalam kurikulum.23

Awalnya, sekolah ini merupakan kursus tablig, salah satu divisi dibawah bidang pendidikan dan pengajaran yang diketuai oleh Abdul Latif dan dibantu oleh Daeng Madimeng, Andi Baso Melle, dan Daeng Mattata.24

Perkembangan pesat organisasi Muhammadiyah di Wajo dapat dijelaskan dalam dua hal. Pertama, semangat pembaharuan Islam yang dibawa Muhammadiyah merupakan mata rantai gerakan pembaharuan di dunia Islam secara umum, Saudi Arabiyah, Turki dan Mesir. Tidak bisa dipungkiri bahwa faham Wahabi sangat kental berpengaruh pada gerakan dakwah Muhammadiyah. Hal tersebut dapat dilihat dari slogan dan icon yang digunakan cenderung mirip, misalnya kembali ke al-Qur’an dan Sunnah dan perang melawan bid’ah, khurafat dan syirik. Kedua, dalam konteks nusantara, terjadi rivalitas otoritas dan pengaruh antara kelompok pembaharu (Muhammadiyah) dan kelompok tradisional. Kedua kelompok tersebut cenderung ingin meneguhkan pengaruh dan otoritas agama melalui faham yang dimilikinya. Kondisi tersebut di atas merupakan latar sosial keagamaan sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad. Bisa dikatakan bahwa Ia muncul ditengah “rivalitas” kedua kelompok tersebut.

3. As’adiyah dan Jaringan Pesantren Sulawesi Selatan Abad 20

Kontinuitas tradisi pesantren secara implisit menunjukkan bahwa tradisi pesantren masih relevan di abad moderen. Untuk mempertahankan

22Mattulada, “Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”, dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 266-267.

23Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 91.

(12)

eksistensinya pesantren melakukan strategi dalam bentuk akomodasi, penyesuaian dalam menghadai modernisasi dan perubahan dalam masyarakat. Misalnya, perubahan yang dialami pesantren pasca kemerdekaan 1945 terus meningkat. Ekspansi sekolah umum yang diperkenalkan Pemerintah sedikit banyaknya telah mengancam eksistensi dunia pesantren. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan perubahan, akomodasi, serta penyesuaian dalam sistem pendidikan pesantren yakni membangun institusi baru dalam pesantren berupa sekolah, madrasah dan perguruan tinggi.25

Lahirnya pesantren As’adiyah yang berpusat di Sengkang-Sulawesi Selatan, tidak luput dari setting sosial-keagamaan pada saat itu. Pertama, secara internal, kondisi masyarakat Muslim Bugis di Sengkang-Wajo masih rentang dengan praktik syirik seperti suburnya praktik sesembahan, serta ritual berkaitan dengan kematian, perkawinan, syukuran dan keselamatan. Bisa jadi situasi politik kala itu tidak memberikan kesempatan yang luas bagi guru-guru agama untuk menyebarkan syiar Islam. Selang rentang 1928-1942, sejak kedatangan Gurutta H.M. As’ad, wilayah nusantara khususnya kerajaan Wajo masih dikuasai oleh Belanda. Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada perkembangan dakwah Islam di tanah Bugis-Wajo. Kedua, polarisasi praktik keagamaan masyarakat Muslim Wajo terbelah menjadi dua kelompok besar yakni tradisional dan moderen. Salah satu alasan kedatangan Gurutta H.M. As’ad ke Sengkang-Wajo disebabkan panggilan para ulama tradisional yang merasa gerakan dakwah Muhammadiyah telah menimbulkan “riak-riak” bagi kelompok tradisional. Tradisi keislaman yang selama ini dipraktekkan, tahlilan, pembacaan kitab al-Barzanji, tarwih 20 rakaat, pembacaan al-Qur’an untuk orang meninggal, digugat oleh kelompok Muhammadiyah. Paling tidak hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi kelompok tradisional. Oleh karena itu, pesan dan amanah dari beberapa ulama tradisional melalui kelompok jamaah haji untuk meminta Gurutta H.M. As’ad untuk pulang ke tanah leluhurnya di Sengkang.

(13)

Kelahirnya Pesantren As’adiyah mirip dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, terutama pada latar setting sosial keagamaan yang terjadi di Wajo sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad. Kelahiran NU merupakan reaksi terhadap dinamika internal dan eksternal umat Islam di Indonesia dan Saudi. Meluasnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia melalui Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 dengan ideologi yang dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta paham Wahabi memunculkan kehawatiran di kalangan ulama terhadap praktik keagamaan yang dijalankan selama ini seperti zikir, wirid, ziarah kubur, wasilah, shalat tarwih 20 rakaat.26

Pengaruh paham dan tokoh Muhammadiyah melalui para kadernya menimbulkan kehawatiran tersendiri bagi kelompok kiyai tradisional, sebagaimana juga terjadi di Sengkang-Wajo tempat kelahiran pesantren As’adiyah. Dalam konteks ini, H. Abdul Rahman (Imam Belawa) meminta kepada Gurutta H. Abdul Rasyid yang sudah lama menetap dan bermukim di Mekkah untuk mendidik dan mengajar di Sengkang-Wajo. Akhirnya, Ia mengutus anaknya, Gurutta H.M. As’ad, untuk membuka pengajian dan menyebarkan faham ahlu sunnah wal jamaah di Sengkang. Karena itu, kedatangan Gurutta H.M. As’ad ke Sengkang merupakan salah satu respon kelompok kiyai terhadap gerakan pembaharuan tersebut.27

Polarisasi kelompok muslim tradisional dan moderen di Sengkang-Wajo idak luput dari situasi ini. Muncul dan berkembangnya paham Muhammadiyah dianggap sebagai “ancaman” bagi kelompok tradisional muslim Sengkang. Klaim-klaim kebenaran ke dua kelompok muslim tersebut tidak bisa dihindari. Tradisi-tradisi yang sering dilakukan kebanyakan kelompok tradisional seperti pembacaan Kitab al-Barzanji pada saat acara dan even syukuran, tahlilan dan pembacaan al-Qur’an secara berkelompok untuk orang meninggal, tarwih 20 rakaat dianggap bid’ah oleh kelompok Muhamadiyah. Pada satu sisi, tujuan baik

26Nuhayati Djamas, op. cit., h. 62-68. Bandingkan dengan, Abdul Karim Hafid, K.H. Muhammad As’ad dan Peranannya terhadap Pemurnian Akidah Islam di Wajo, (Sengkang: STAIN As’adiyah, 1997), h. 40. Lihat pula, Abdul Aziz al-Bone, Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Studi Kasus di Perguruan Tinggi As’adiyah Sengkang, (Jakarta: YIIS, 1986), h. 13.

(14)

uhammadiyah patut dinilai positif. Dengan simbol perang melawan “TBC”, akronim dari takhayul, bid’ah dan churafat, gerakan dakwah Muhammadiyah tidak pandang kompromi karena tradisi masyarakat waktu itu diklaim berbau syirik. Kekuatan dakwah Muhammadiyah seperti ini bisa jadi sekaligus titik lemahnya karena apresiasi terhadap kearifan lokal masyarakat Bugis-Wajo belum tentu berbau “syirik” tidak dapat dilakukan. Dari latar sosio-religio inilah Gurutta H.M. As’ad hadir memberikan nuansa baru beragama bagi kalangan tradisional. Bukan hanya kedatangannya untuk memberikan “legalitas agama” bagi praktik kaum tradisional Bugis-Muslim, Gurutta lebih jauh berpandangan ke depan dengan membuka pengajian kitab di rumah kediamannya.

Pada tahun 1928, pengajian kitab kuning rutin dilaksanakan di rumah kediaaman Gurutta. Kedalaman ilmunya menjadi daya tarik para santri dari berbagai penjuru di Sulawesi.28 Tidak lama setelah pengajian

berlangsung, pengajian dipindahkan ke Mesjid Jami Sengkang dan tidaBahkan, pemerintah kerajaan Wajo turut andil dalam merintis lahirnya perguruan ini. Sinergitas antara raja, ulama, dan masyarakat Muslim Wajo dapat ditemukan pada lahir dan berkembangnya perguruan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo yang dibangun pada tahun 1930.

4. Jaringan Keilmuan Pesantren

Sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad di Sengkang pada tahun 1928, sudah beberapa pusat-pusat pengajian kitab di rumah para ulama lokal antara lain: Gurutta H.Abdul Aziz Gobe (Sengkang, 1910), H. Ambo Emme (Sengkang, 1910-1920), H. Maratang (Belawa, 1920), H. Makkatu (Tosora, 1920), H. Katu Ganra (Soppeng), H. Husein bin Umar, H. Sulaiman, H. Kudaedah, H. Ahmad, H. Mekkah (Bone), H. Katu, H. Petta Buraerah, H. Daeng, H. Mahmud (Soppeng), H. Ambo Umme, dan H. Hasanuddin.29

Meskipun guru-guru masa awal telah membuka pengajian kitab pada awal

28Gurutta H.M. As’ad sudah mendapat pengakuan dari para syeikh di Mekkah pada umur 21 tahun. Itulah sebabnya ketika Gurutta membuka pengajian di Sengkang banyak santri yang tertarik untuk belajar pada guru muda yang keilmuannya mendalam. Bahkan, konon, Gurutta Ambo Dalle sebelum menjadi santrinya pernah menguji keilmuan Gurutta H.M. As’ad dan kemudian berguru dan menjadi murid utama beliau.

(15)

abad ke 20 di Wajo, namun demikian, eksistensi pengajian ini tidak mengalami perkembangan yang signifikan sampai setelah datangnya

Gurutta H.M. As’ad.

Setelah pengajian halaqah kitab “mangaji tudang” dibuka pada tahun 1928, akhirnya Gurutta mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo secara resmi pada tahun 1930. Pengalamannya menjadi santri di Madrasah al-Falah memberikan pengalaman dalam mengorganisir dan memanaj pendidikan dan pengajian pesantren. Perkembangan madrasah ini sangat pesat karena santrinya semakin bertambah dari berbagai pelosok pulau Sulawesi. Di samping itu, daya tarik Gurutta menjadi jaminan keilmuan lembaga pendidikan ini di samping keterlibatan beberapa ulama Medinah, Mekkah dan Mesir. Beberapa santri awal telah menjadi pilar utama pengembangan pendidikan Islam dan pendiri pesantren yang tersebar di pulau Sulawesi, Kalimantan, Sorong, Maluku, Sumbawa, Sumatera dan Jakarta.

Para santri awal di bawah bimbingan langsung Gurutta H.M. As’ad dan beberapa ulama lainnya antara lain: Gurutta Ambo Dalle (Pesantren DDI Mangkoso, Pare-pare dan Pinrang), Gurutta Daud Ismail (Pesantren Yastrib-Soppeng), Gurutta H.M. Yunus Maratan (As’adiyah-Sengkang),

Gurutta Abduh Pabbaja (Pesantren al-Furqan, Pare-pare), Gurutta Abdul Muin Yusuf30 (Pesantren al-Urwatul Wutsqa, Sidrap), Gurutta H. L. Said

(Pesantren Tahfiz 77 Biru-Bone), Gowa-Makassar), Gurutta H. Hamzah Badawi (As’adiyah-Sengkang), Gurutta H. Hamzah Manguluang (As’adiyah Sengkang), Gurutta H. Abdul Malik Muhammad (As’adiyah-Sengkang), dan

Gurutta H. Abdullah Maratan, (As’adiyah-Sengkang) dan Gurutta H.M. Hasyim (PMDS Putera, Luwu-Palopo).

Lapisan kedua alumni Pesantren As’adiyah yang kemudian mendirikan pesantren mandiri antar lain: Gurutta H. M Haritsah (Pesantren al-Nahdah-Makassar), Gurutta Abdul Aziz (Pesantren Nurul Junaidiyah-Luwu Utara), Gurutta H. Bustani Syarif (Pesantren Bahr al-‘Ulum, Gurutta

H>.Abunawas Bintang (As’adiyah, Sengkang), Gurutta Muh. Ilyas Salewe

(16)

(As’adiyah, Sengkang), Gurutta Muhammad Hasan (As’adiyah, Sengkang),

Gurutta Abdul Gani (As’adiyah, Sengkang) dan sebagainya.

Pesatnya perkembangan santri MAI Wajo menunjukkan bahwa

Gurutta H.M. As’ad adalah seorang manajer dalam bidang pendidikan. Ia melibatkan beberapa ulama seperti Syeikh Muhammad Abdul Jawwad (Medinah), Syeikh Ahmad al-Afifi (Mesir), Syeikh Sulaiman, Syeikh M. Ya’la (Makassar) dan Syeikh Abdul Sadaqah Dahlan (Garut) untuk membantunya mengajar.31 Bahkan beberapa di antara ulama dari

Jawa-Sumatera pernah bertemu dan berdiskusi dengan Gurutta antara lain: Hamka (ulama Muhammadiyah), Sayyid Salim bin Jindan (Ahli hadis, Jakarta), Syeikh Abdul Rahman Firdaus dan Syeikh Amudi (Pare-pare).32

5. Gurutta H.M. As’ad dan Tipologi Pemikiran Islam

Tipologi pemikiran Islam Gurutta H.M. As’ad dapat digolongkan sebagai pemikir muslim moderat. Dalam bidang dakwah Islamiyah, beliau cukup tegas namun bijaksana dalam bertindak. Dalam bidang tasawuf, Ia tidak menonjolkan diri menjadi sumber kultus seperti kebanyakan pemimpin tarekat lainnya. Dalam bidang fiqh, Ia cukup toleran dengan kearagaman praktek fiqh pada zamannya. Meskipun Ia dikenal sebagai ulama pembela kelompok tradisional, namun upaya dan karya-karyanya dalam bidang dakwah dan pendidikan sudah maju. Ia termasuk ulama pertama yang mendirikan perguruan Islam moderen dalam bentuk

madrasah yakni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo pada tahun 1930. Dalam pergaulannya dengan para ulama, Ia menjalin hubungan erat dengan pemuka Muhammadiyah. Bahkan, Gurutta H.M. As’ad memperistri anak seorang tokoh Muhammadyah di Sengkang-Wajo. Lebih detail mengenai corak pemikirannya dapat ditelusuri dari karya-karya Gurutta.

Menurut Zainuddin Hamka, corak pemikiran keagamaan Gurutta

H.M. As’ad dapat digolongkan “eklektik” yang tergambar dalam

31Syeikh Muh. Abdul Jawwad adalah mantan mufti Medinah kemudian ke Bone untuk mendirikan Madrasah Amiriyah Bone atas permintaan raja Bone. Syeikh Afifi adalah seorang ulama hafiz alumin al-Azhar dari Mesir. Ia tinggal lama di Sengkang sampai wafatnya. Salah seorang ulama dari Jawa yang kemungkinan besar merupakan salah satu penerus tarikat Sanusiyah-Idrisiyah di Indonesia. Lihat Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” (Makassar: LP. UNHAS, 1977), h. 75.

(17)

pandangannya mengenai al-Qur’an, Hadis, Mazhab, Kalam, Fiqh, Tasawuf dan adat istiadat. Pandangan Gurutta terhadap al-Qur’an dan Hadis sama dengan pendapat para ulama salaf yang memposisikan al-Qur’an dan Hadis dalam melaksanakan ajaran agama, menetapkan hukum dan melaksanakan ibadah. Gurutta H.M. As’ad berbeda dengan Ibn Taimiyah yang sama sekali tidak menggunakan takwil. Bagi Gurutta, takwil dapat digunakan selama ia tidak bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan Hadis.33 Dalam bidang kalam, Ia berpendapat bahwa iman dan islam harus

sejalan sedangkan dalam masalah mazhab Gurutta sangat moderat yakni tidak fanatik pada mazhab tertentu dan tidak menjelek-jelekkan mazhab lain. Selanjutnya, Gurutta H.M. As’ad sangat mendorong kaum muslim untuk melakukan ijtihad bagi yang memenuhi persyaratan. Adapun dalam masalah tasawuf, Gurutta hanya mengikuti tasawuf sunni yakni tasawuf yang medamaikan antara tarekat dengan syariah. Ia sendiri adalah pengamal tarekat sanusiyah yang dikenal luas di Sulawesi Selatan dengan nama tarekat “muhammadiyah”. Dalam hal pengamalan adat istiadat,

Gurutta sangat selektif dalam menerpakan adat istiadat. Jika adat istiadat tidak bertentangan dengan syariah maka adat istiadat tersebut dibiarkan tumbuh.34

Salah satu karya terbesar Gurutta H.M. As’ad adalah lembaga pendidikan pesantren yang dirintis sejak tahun 1928 yang dalam perkembangannya, telah menjadi salah satu corong Islam sunni yang damai dengan segala karakteristik tradisi Islamnya yang kental misalnya: wiridan, doa berasama, tahlil, talqin, yasinan dan membaca kitab al-Barzanji. Pesantren As’adiyah Sengkang tetap mempertahankan sikap egalitarian khususnya dalam menerima santri dari berbagai suku di Nusantara: Bugis, Makassar, Mandar, Jawa, Kalimantan, dan Sumbawa. Warisan Gurutta H.M. As’ad cukup menjawab stigma negatif yang dilekatkan pada dunia kiai dan pesantren sebagai komunitas anti perubahan, rigid (kaku), sarungan, dan agen gerakan radikal. Penglabelan

33Zainuddin Hamka, Corak Pemikiran Keagamaan Gurutta H. Muh. As’ad al-Bugisi, (Jakarta: Departemen Agama RI Badang Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan, 2009), h. 317.

(18)

tersebut dibentuk sangat generalis sekali dengan menghubungkan sebahagian aktifistas kaum muslim yang dicap sebagai “santri” dengan aksi kekerasan dan radikalisme di Indonesia. Lebih lanjut, kajian ini akan mengungkapkan bagaimana peran mereka dalam memperkaya identitas nasional serta respon kiai dan komunitas pesantren terhadap wacana global seperti multikulralisme, pluralisme, gender, dan kemiskinan. Dalam kondisi “contested identity” inilah, kiai dan pesantren menggali falsafah budaya lokal seperti kejujuran (alempureng), kecerdasan (amaccangeng), kepatutan (asitinajangeng), keteguhan dan ketegasan (agettengeng), dan usaha keras (reso temmangingngi)35 yang diinternalisasi melalui contoh

teladan kiai dan pengajian “kitab kuning”.

Paling tidak, Pesantren As’adiyah Sengkang yang damai cukup menjadi jawaban atas pandangan pejoratif Barat melihat pesantren sebagai ladang subur bagi terorisme dan radikalisme.36 Kekeliruan Barat

dalam memandang Islam seperti Salman Rushdie (Inggris), Kurt Westergaard (koran Jyllands-Posten, Denmark), dan Geertz Wilders (Belanda)37 menjadi bukti nyata bagaimana Islam dipahami secara keliru.

Karena itu, potret wajah dunia Muslim Indonesia, khususnya dunia kiai dan pesantren tetap menarik dikaji dan diangkat ke permukaan. Oleh karena itu, perlu upaya memperkenalkan dunia pesantren yang damai secara terus menerus kepada masyarakat Muslim secara luas mengingat jumlah

35A. Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Cet.I; Ujungpandang: LEPHAS, 1985), h. 83. Lihat pula, Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Suf dan Pejuang, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 46-47. Menurut Abu Hamid, nilai utama orang Bugis-Makassar antara lain; jujur (malempu), berkata benar (ada tongeng), keteguhan hati (getteng), rasa malu (siri), kecerdasan (amaccang), dan usaha keras (makkareso).

36Dunia Islam kembali menjadi bahan pembicaraan hangat sejak terjadinya peristiwa “Black September” 2001 di Amerika. Hampir seluruh belahan dunia mengutuk kejadian itu, dan imbasnya tidak bisa dipungkiri dirasakan kaum Muslim di seluruh dunia termasuk dunia pesantren di Indonesia. Tidak lama setelah itu, kejadian Bom Bali meletus (2002), J.W. Marriot (Jakarta, 2003), Kafe Raja (Bali, 2005), dan Pengemboman di Musalah Kantor Polisi (Serang-Banten, 2011). Meskipun kejadian ini merupakan hasil tangan orang Islam, namun demikian tidak ada bukti cukup mengenai keterlibatan para kiai dan dunia pesantren. Aksi radikal ini tentu saja tidak menguntungkan kalangan kiai, santri dan pesantren yang telah lama dikenal sebagai salah satu agen penting dalam membentuk dan memperkaya identitas nasional bangsa Indonesia.

(19)

terbesar penduduk Muslim, menurut hitungan John L.Esposito, yakni seperlima penduduk Muslim dunia tinggal di Indonesia.38

D. Penutup

Gurutta H.M. As’ad beserta para kiai awal yang belajar di Makkah al-Mukarramah pertengahan abad ke 19 merupakan arsitek intelektualisme Tanah Bugis abad ke 20. Dinamika intelektualisme di kalangan orang Bugis merupakan kelanjutan dan bagian dari tradisi keilmuan Islam Nusantara yang bersumber dari Makkah al-Mukaramah. Syeikh Muhammad al-Yamani dan Syeikh Umar Hamdani merupakan dua guru utama Gurutta H.M. As’ad yang sekaligus menghubungkannya dengan beberapa ulama Nusantara Syeikh Hasyim Asy’ari (Jombang,1871), Anwar Musaddad (Garut, 1903), Zain Mun’im (Probolinggo, 1906), Muhammad As’ad al-Bugisi (Mekkah, 1907), Zainuddin Abdul Madjid (Sumbawa, 1908), Ali Maksum (Rembang, 1915.

Jaringan keilmuan yang terbentuk baik dari guru-guru Bugis maupun para syeikh tanah Arab telah dirangkum oleh Gurutta H.M. As’ad kemudian dikembangkan melalui perguruan Islam dalam betuk madrasah moderen, Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo. Pengalaman Gurutta H.M. As’ad berguru cukup panjang menjadi jaminan keilmuan dan otoritas keagamaan di Tanah Bugis. Jaringan keilmuan ini kemudian dikembangkan melalui murid utama beliau yakni Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Abdurrahman Ambo Dalle (Mangkoso, Pare-pare dan Pinrnag), Yunus Maratang (Sengkang), Hamzah Badawi (Sengkang), Abdul Malik Muhammad (Sengkang), dan H.M. Rafi’I Yunus (Sengkang). Usaha Gurutta H.M. As’ad dalam menyemai dan memproduksi kiai-santri kelas menengah dikembangkan melalui tiga tradisi yakni tradisi intelektualisme, tradisi menghafal al-Qur’an dan tradisi sufisme.

DAFTAR PUSTAKA

(20)

Abbas, Sirojuddin. Transformasi Otoritas Keagamaan, (ed) Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedhowi. 2003.

Al-Bone, Abdul Aziz. Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Studi Kasus di Perguruan Tinggi As’adiyah Sengkang. Jakarta: YIIS, 1986.

Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

---., Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Islam di Nusantara. Cet. I; Bandung: Mizan, 1999.

---., Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.

Djamas, Nurhayati. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.

Esposito, John L. (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New York-Oxford: Oxford University Press, 1995.

Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Cet. II; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hafid, Abdul Karim. K.H.M. As’ad dan Peranannya terhadap Pemurnian Akidah Islam di Wajo, (Sengkang: Laporan Penelitian, STAI As’adiyah: 1997.

Hamid, Abu. “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial.

Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.

---., “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” Makassar: LP. UNHAS, 1977.

---., Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Suf dan Pejuang. Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Hasan, M. Tolhah “Prolog: Hibrida Kultural dan Tradisi Intelektual Pesantren dari Masa-ke Masa” dalam Mastuki H.S. dan M. Isho al-Saha,

Intelektualisme Pesantren : Potret Tokoh dan Cakrawal Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta; Diva Pustaka, 2003.

(21)

Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Jakarta: Mizan, 1995.

Mattulada, “Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”, dalam Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983.

Pasanreseng, Muhammad Yunus. Sejarah Lahir dan Perkembangan Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang. Sengkang: Adil, 1992.

Rahim, A. Rahman. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Cet.I; Ujungpandang: LEPHAS, 1985.

Salim, Hairus H.S, “pengantar editorial dalam karya Abdurrahman Wahid”,

Menggerakkan Tradisi: Esesi-esei Pesantren. Yogyakarta: LKIS, 2001.

Walinga, Hatta. Kiyai Haji Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya.

Ujungpandang-Makassar: Skripsi IAIN Alauddin, 1981.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam melakukan lompat jauh teknik awalan sangat menentukan untuk mendapatkan kecepatan lari yang tinggi, jarak awalan diambil tergantung pada kemampuan dengan

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa diantara 9 indikator motivasi intrinsik dan ekstrinsik, indikator prestasi peternak memiliki nilai skor tertinggi, diikuti dengan

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan Deskriptif dengan teknik pengumpulan data yang menggunakan teknik observasi, wawancara, dan

Adapun dokumen – dokumen yang yang harus dilampirkan itu antara lain : turunan Putusan Pengadilan yang membuktikan bahwa barang bukti dimaksud telah dinyatakan dirampas

Bumi perkemahan dapat menjadi wadah yang mampu menampung kegiatan perkemahan yang di dalamnya terdapat sarana kegiatan untuk mewujudkan metode pendidikan

akuisisi data akuisisi data gravity gravity dilakukan pada dilakukan pada lintasan tertutup, sehingga akan memudahkan dalam pembuatan peta kontur, baik  lintasan

dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi strategis dalam