• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polemik Perbandingan Strategi Pemerintah (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Polemik Perbandingan Strategi Pemerintah (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Polemik Perbandingan Strategi

Pemerintahan Bush dan Obama dalam

Menanggapi Pengayaan Senjata Nuklir

oleh Iran

Nama Kelompok:

Assay Lovelianty Farmin – 1801441114

Arsya Husnan –

(2)

BINUS University

2016

BAB I

Latar Belakang

Berbicara mengenai relasi yang terbentuk antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran, maka tak akan jauh dari pemerintahan Bush dan Obama. Pasalnya, Iran merupakan salah satu negara yang membawa dilema politik untuk AS. Padahal pada masa pemerintahan Bush, Iran sempat berhubungan baik dengan AS, disebabkan oleh aksi bantuan Iran dalam menekan Taliban dari Afghanistan pada tahun 2001[ CITATION Ste05 \l 1033 ]. Sayangnya, relasi yang baik ini tidak bertahan lama. Tepat 2 tahun setelahnya yaitu 2003, Iran berhasil mengubah persepsi baik AS melalui usahanya dalam mendukung teroris yang berbentuk suplai senjata, perlindungan, dan pengayaan uranium untuk pembuatan senjata nuklir. Awal pertentangan antara Tehran dan Washington ini di bawah kepemimpinan Bush sebagai presiden AS kala itu.

George W. Bush menjabat sebanyak dua kali sebagai pemimpin tertinggi AS. Pemerintahan Bush terkenal dengan agresinya yang cenderung berbentuk militer. Bahkan setelah tragedi 9/11 di gedung WTC, Bush langsung berkehendak untuk menginvasi Iraq dengan justifikasi bahwa Iraq telah melindungi teroris. Akan tetapi alasan ini malah menjadi tidak konsisten, dan malah berubah menjadi isu perlindungan HAM atas rakyat Iraq yang tertindas oleh pemerintahan “Sadam Hussain”. Penjelasan di atas menjadi relevan dengan isu Iran karena sebenarnya Iran dan AS berkerjasama untuk menetralisir situasi internal Iraq [ CITATION Ste05 \l 1033 ]

Menariknya pada tahun 2003, Iran malah berbalik arah mendukung beberapa golongan yang dilawan oleh AS. Dukungan itu berupa orang-orang terlatih yang bersenjata, dan memberikan bantuan terhadap golongan islam Shia di Iraq, kemudian diikuti oleh kelompok ekstrimis Taliban di Afganistan.

(3)

pengaruh yang cukup kuat terhadap beberapa teroris di Timur Tengah. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada Taliban, namun juga Hezbollah, Palestinian Islamic Jihad, dan Hamas. Iran memberikan kontribusinya melalui distribusi senjata dengan tujuan tertentu. Salah satunya adalah melawan Israel.

Namun, alasan yang paling vital adalah pengayaan senjata nuklir yang dilakukan oleh Tehran. Akibat dari pengayaan senjata nuklir oleh Iran, serta arah politik mereka yang berpihak kepada kelompok ekstrimis, akhirnya AS terutama di bawah pemerintahan Bush menentukan bahwa Iran adalah salah satu dari “The axis of evil”. Mengapa? Karena potensi gabungan antara teroris dan senjata nuklir akan membahayakan stabilitas dan keamanan dunia. Proses negosiasi antara AS dan Iran pun terus dilanjutkan sampai pemerintahan Obama yang berasal dari partai Demokrat. Inilah yang akan dibahas oleh karya tulis ini. Dengan presiden yang berbeda, Bush dan Obama memberikan taktik-taktiknya tersendiri dalam menghadapi Iran.

Rumusan Masalah

Iran merupakan negara yang cukup berpengaruh di Timur Tengah. pengaruh mereka nyatanya telah mencapai beberapa kelompok ekstrimis di wilayah ini, dan bahkan menaikkan tingkat pengayaan nuklir hingga hampir mencapai 20% batas pengelolaan uranium. Bush dan Obama dengan latar belakang variatif (terutama latar belakang partai), mempunyai strategi dan pendekatan yang berbeda terhadap Iran. Dengan birokrasi yang cukup rumit, diikuti oleh pengaruh dari orang-orang tertentu di masing-masing partai, akan menjawab pertanyaan mengapa pemerintahan Bush dan Obama cenderung berperilaku demikian. Sehingga dari sini disimpulkan satu pertanyaan vital yaitu, “Bagaimana polemik perbandingan strategi pemerintahan Bush dan Obama dalam menaggapi isu Iran?”

Landasan Teori: Realis dan Konstruktifis

(4)

egois dan mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri, keputusan Bush maupun Obama merepresentasikan kepentingan nasional AS yang bertujuan baik untuk mempertahankan, maupun memperluas kekuatannya. Kekuatan tersebut akan digapai ketika AS berhasil menyebarkan pengaruhnya.

BAB II

1. Analisa: Perbandingan Birokrasi Politik dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Bush dan Obama terhadap Isu Iran

Untuk mengetahui bagaimana birokrasi politik di AS, kita patut mengetahui latar belakang partai dari tiap presiden. George W. Bush merupakan bagian dari partai republik, dimana partai ini terkenal bersifat konservatif. Oleh karena itu, calon dari pihak republik sering terlihat memainkan sisi militer/hard power dari pada soft power. Kebalikan dari partai ini, demokrat menonjolkan visi partainya yang mengarah ke kesejahteraan sosial seperti, pendidikan, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Salah satu kandidat demokrat yang berhasil terpilih adalah Obama. Bahkan Obama telah menjabat sebanyak dua kali atau selama 8 tahun.

Dengan kepentingan yang dipengaruhi oleh partai masing-masing, Bush dalam menangani Iran lebih menggunakan diplomasi koersif, yaitu negosiasi yang berdasarkan imbalan dan sangsi. Bahkan di masa pemerintahan Bush, basis militer AS terhitung cukup banyak di Timur Tengah. Hal ini menyebabkan dunia internasional yang melihat AS berperilaku cukup agresif. Namun dari semua sanksi yang dikenakan, pemerintahan Bush belum pernah mengangkat senjata secara langsung untuk melawan Iran. Setidaknya itulah yang diikuti Bush oleh anjuran atau saran dari sekretaris negaranya, Condi Rice pada tahun 2005 di kepemimpinan yang kedua[ CITATION Sco05 \l 1033 ].

(5)

maupun sumber daya manusia. Inilah yang harus dipikirkan oleh Bush. Lagipula, tak ada jaminan bahwa penggunaan kekerasan akan lebih efektif dari pada berdiplomasi di atas meja.

Tak hanya Condi Rice yang tidak setuju dengan jalan berperang, seorang agen CIA dari 2006-2009, Michael Hayden menegaskan bahwa perang hanya akan memberikan dampak katastropik di kawasan Timur Tengah. apa yang dimaksud dari katastropis adalah bagaimana perang akan menghasilkan bencana lain, berupa konflik baru di kawasan tersebut. Apalagi, keamanan Timur Tengah sejak awal sudah tidak stabil lagi. Peran teorisme yang merajalela, serta perang saudara di beberapa tempat membuat kawasan ini sangat rentan. Selain itu, tindakan ini hanya akan menjustifikasi Iran untuk terus melanjutkan dan mengembangkan program senjata nuklir sebagai bentuk dari pertahanan dari serangan agresif AS.

Pada masa pemerintahan Barack Obama, walaupun Michael Hayden telah menjadi mantan agen CIA, ia tetap memberikan nasehatnya terhadap pemerintahan Obama dalam menghadapi Iran[ CITATION Pet15 \l 1033 ]. Tidak sulit untuk Obama mengikuti anjuran tersebut, mengingat partai demokrat jarang mengambil jalan militer.

Menimbang banyaknya masukan dari beberapa pihak, kongres AS dari pemerintahan Obama menyimpulkan adanya 3 alternatif dalam menghadapi Iran[ CITATION Pet15 \l 1033 ]. Pertama, akan diberikan pembatasan terhadap Iran mengenai pengayaan senjata nuklir. Kedua, akan ada kemungkinan untuk pergi berperang. Namun sekali lagi alternatif kedua ini tidak dianjurkan oleh banyak pihak. Dan yang terakhir, memberikan sangsi yang lebih berat untuk Iran. Yang diperdebatkan oleh kongres pada alternatif ketiga ini adalah kemiripan dengan yang pertama. Hal yang membedakan hanya tingkat beratnya sangsi.

Arkansas Senator Tom Cotton menyarankan kongres melalui media The Atlantic bahwa mereka harus mengingat kembali tujuan utama dalam menghadapi Iran. Tujuan tersebut adalah menghentikan pengelolaan uranium ke senjata pemusnah masal. Oleh karena itu, tiap alternatif yang dijabarkan di atas harus diulas kembali. Dari ketiga alternatif, manakah yang akan mempermudah jalan mencapai kepentingan nasional AS? Akhirnya, pemerintahan Obama memutuskan untuk memberikan sangsi yang lebih berat.

(6)

Faktor domestik dan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap Iran sebenarnya saling berkesinambungan. Pertama dari sisi internal tepat setelah tragedi 9/11, pemerintahan Bush yang bertanggung jawab atas bobolnya sistem keamanan nasional akhirnya mengambil suatu kebijakan untuk melawan teroris di seluruh dunia. Salah satu istilah yang terkenal saat itu adalah “War on terror”. Oleh karena itulah AS kala itu melakukan banyak agresi terutama ke kawasan Timur Tengah yang dipercaya menjadi sarang teroris. Agresi yang diimplementasikan oleh AS juga merupakan pembuktian terhadap warga negaranya sendiri kalau AS bisa mempertahankan ketahanan nasional dan menanggapi serangan yang terjadi.

Di saat yang sama, Iran malah mendukung beberapa kelompok teroris yang telah disebutkan sebelumnya. Taliban dari Afghanistan, Hamas, dan Hazbulloh dari Libya. Jelas sekali apa yang dilakukan oleh Iran bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS saat itu. Secara instan, Iran menjadi sumber permasalahan baru. Bahayanya, Iran berkontribusi dalam pelatihan, perlindungan, supplai senjata, maupun secara finansial terhadap kelompok-kelompok ekstrimis tersebut. dukungan mereka diiringi oleh pengembangan senjata nuklir yang jelas berbahaya apabila jatuh ke tangan yang salah.

Untuk itu, negara adidaya ini berencana menjinakkan Iran melalui memperkuat relasi sekutu dengan 3 negara Uni Eropa (Jerman, Perancis, dan setidaknya dulu ketika Inggris masih menjadi bagian dari UE) membuat AS lebih mudah bernegosiasi dan membujuk ketiga negara untuk menekan Iran. Salah satu duta besar Inggris memperingatkan Iran bahwa ketika mereka menggagalkan perundingan lain, maka akan ada lebih banyak sangsi yang datang. Dari pihak Jerman juga menambahkan bahwa sangsi yang datang akan jauh lebih berat.

(7)

Akan tetapi menurut analisa karya tulis ini, inilah mengapa ketika Obama terpilih sebagai presiden selanjutnya, ia memilih pendekatan baru dalam menghadapi Iran. Pemerintahannya mengurangi intervensi militer, dan lebih fokus pada strategi cerdik. Bhakan berbeda dengan Bush, Obama cenderung mengerahkan militer secara efisien. Bagaimana? Dengan penggunaan

drone. Dengan begitu, pertumpahan darah dari tentara AS akan jauh lebih berkurang. Strategi cerdik ini diusungkan bukan hanya sekedar ingin menangani permasalahan nuklir Iran, namun juga bentuk pembuktian bahwa kandidat demokrat juga mempunyai kapabilitas menangani isu tersebut.

Faktor domestik lainnya adalah kegagalan pemerintahan Bush untuk memaksa Iran memberhentikan, atau setidaknya menurunkan tingkat pengayaan uranium. Selama masa kepemimpinannya, Bush terlalu fokus pada hard power tanpa mempertimbangkan aspek lainnya. Ketika Bush sadar bahwa soft power juga penting, hal ini sudah cukup terlambat mengingat masa jabatannya hampir habis. Inilah yang dipelajari oleh pemerintahan Obama. Ia akhirnya mengkombinasikan 2 aspek strategi sehingga menciptakan hal baru. Strategi-strategi tersebut akan dijelaskan lebih rinci di bagian selanjutnya.

3. Analisa: Perbandingan Strategi Bush dan Obama dalam Menanggapi Pengayaan Senjata Nuklir oleh Iran

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengayaan senjata nuklir yang dilakukan oleh Iran sangatlah berbahaya, mengingat keberpihakan negara ini terhadap kelompok-kelompok ekstrimis. Yang dikhawatirkan adalah apabila AS membiarkan Iran untuk terus melakukan pengayaan, maka akan semakin besar kemungkinan terciptanya senjata pemusnah masal, dan jatuh di tangan yang tidak tepat (salah satunya teroris). Ketika teroris dapat mendapat akses ke senjata mematikan ini, maka kestabilan duniapun akan terancam.

(8)

Lalu bagaimanakah strategi yang dimainkan oleh AS? Untuk mengetahui ini, kita perlu membagi pemerintahan menjadi 2 kepemimpinan yaitu Bush dan Obama. Pertama di bawah pemerintahan Bush, strategi yang diimplementasikan secara bertahap dari berbicara di atas meja runding, sampai dengan diplomasi koersif. Diplomasi koersif adalah negosiasi yang memerlukan sanksi agar aktor yang dikehendaki mau mengerjakan apa yang diperintahkan negara “coercer”. Perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan koersif diplomasi adalah “stick and carrot” yaitu, apabila negara yang dituju menurut maka mereka boleh mendapatkan wortel. Namun jika sebaliknya, maka negara tersebut akan dipukul dengan tongkat.

Strategi seperti inilah yang digunakan oleh Bush. Akan tetapi, sebelum jenis diplomasi ini diterapkan, pemerintahan Bush memulai langkah dengan mengkonstruksi pola pikir dunia internasional akan bahaya yang dibawa Iran. Konstruksi ini terutama dituju untuk negara-negara besar Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Inilah yang benar-benar terjadi bahwa AS berhasil meyakinkan ketiga negara tersebut. Pada bulan Oktober 2003, 3 negara besar Uni Eropa berhasil membuat Iran setuju untuk mengikuti protokol IAEA (International Atomic Energy Agency) agar menunda pengayaan [ CITATION Ste05 \l 1033 ].

Sayangnya pada tahun 2006, Iran kembali melanjutkan program pembuatan senjata nuklirnya di bawah presiden Mahmoud Ahmadinejad. Akhirnya pada tahun yang sama, melalui Condoleezza Rice sebagai sekretaris negara mengumumkan bahwa AS akan bergabung dengan 3 Uni Eropa menjadi P5+1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman). Pada akhirnya negosiasi ini malah tetap tidak sukses juga.

Disebabkan oleh negosiasi yang kerap gagal, AS di bawah pemerintahan Bush melakukan beberapa sanksi yang dikenakan kepada Iran. Sanksi tersebut berupa penolakan AS terhadap Iran sebagai anggota WTO, meyakinkan beberapa bank asing untuk tidak berkerjasama dengan Iran, memutus pasokan minyak sehingga pengayaannya tertunda, sampai dengan pelarangan turis untuk berkunjung ke Iran[ CITATION Ste05 \l 1033 ]. Tentu dengan kombinasi dari sanksi ekonomi dan pelarangan berhubungan dengan bank asing membuat beberapa proyek asing dibatalkan. Iran pun kewalahan dengan hal ini.

(9)

dirinya berpihak pada rakyat Iran yang sudah terlalu lama menderita oleh kebijakan pemerintahannya. Jadi, berhubungan sanksi ekonomi yang diberikan AS, secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian domestik. Strategi ini bertujuan agar terjadi perlawanan dan perpecahan di sisi dalam, sehingga rezim Iran akan lebih mudah untuk menuruti perintah dari AS. Tak hanya itu, negara adidaya ini juga mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah dengan menaruh lebih banyak basis militer. Basis militer ini berguna untuk menjaga dan melindungi semua negara yang bersekutu dengan AS.

Menurut penjelasan di atas, kita menyimpulkan bahwa walaupun kebijakan AS cenderung terlihat serba militer/hard power, kenyataannya masih ada beberapa strategi lain yang menonjolkan aspek smart power. Contoh smart power yang kami jelaskan disini adalah ketika AS meyakinkan masyarakat Iran akan ketidakadilan rezimnya. Adapula hasutan AS terhadap negara sekutu P5 + Jerman, dan bank asing untuk menekan Iran secara finansial. Tindakan yang diimplementasikan AS secara tidak langsung mengisolasi Iran dari akses luar.

Di sisi lain, pemerintahan Obama malah kebalikan dari pemerintahan Bush yang didominasi oleh hard power. Pasalnya, Obama berkaca dari pengalaman presiden sebelumnya yakni tak lain adalah Bush yang dinilai gagal dalam membawa Iran ke meja diplomasi. Walaupun sempat menunda pengayaan uranium pada tahun 2003, Iran kembali melanjutkan projeknya pada tahun 2006. Ini menjadi pertimbangan pemerintahan Obama, sehingga AS memutuskan untuk fokus pada strategi smart power.

Lebih jelasnya, smart power merupakan taktik dimana AS menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain, serta memulihkan pencitraan AS dari negara yang senang berperang ke negara pecinta damai. Bahkan pada kala ini, AS membuat sebuah program yang bernama Virtual Embassy agar memberikan kesempatan kepada generasi muda Iran untuk belajar di AS. Hal ini disampaikan dan dipastikan oleh sekretaris negara, Clinton dalam wawancaranya dengan Voice of America (VOA)[ CITATION Ira11 \l 1033 ].

(10)

sebagai langkah-langkah dalam mencapai kepentingan nasional negara adidaya ini. Kepentingan nasional tersebut tidak lain adalah menjinakkan Iran dan menurunkan tingkat pengelolaan uraniumnya. Namun, satu hal yang perlu ditekankan adalah dengan adanya inisiatif virtual embassy, bukan berarti AS benar-benar bersahabat dengan Iran. Justifikasi yang diberikan AS adalah, mereka hanya melawan rezim Iran, tetapi tidak untuk rakyatnya.

Di masa pemerintahan ini, AS juga memperkuat hubungan dengan Israel. Israel berperan penting mengingat Iran memusuhi negara ini atas kekejaman yang mereka lakukan terhadap Palestina. Dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa Obama perlu berkomunikasi dengan Israel sehingga tidak melakukan usaha gegabah yang akan memberikan alasan bagi Iran untuk terus memiliki senjata Nuklir. Sekretaris pertahanan negara, Robert Gates menyampaikan aspirasinya bahwa penting untuk menjelaskan maksud dan tujuan AS dengan jelas kepada Israel. Mengapa demikian? Jadi, AS akan tahu langkah apa yang akan diambil Israel dalam menghadapi Iran. Apakah mereka akan menyerang Iran terlebih dahulu? Bila benar demikian, maka mau tidak mau AS harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Keputusan apa yang paling bijak? Mendukung Israel? Tidak mendukung keduanya? Ataukah tetap konsisten mengancam Iran?

Gate dan Mike Mullens sebagai ketua Joint Chiefs pun mempunyai ide lain bahwa pemerintahan Obama harus bisa mengkonstruksi pemikiran para petinggi Iran, membuat mereka percaya bahwa ketika perundingan gagal, AS akan benar-benar menggunakan kekerasan. Konstruksi pemikiran ini perlu untuk dilakukan karena Iran jelas tidak bisa dihadapi dengan lembut. Tetapi ironinya negara adidaya ini tidak bisa seenaknya mengerahkan militernya. Penjelasan di atas menjadi salah satu tugas yang harus dipecahkan Obama.

Analisa di atas jelas menggambarkan bagaimana pemerintahan obama memanfaatkan strategi cerdik, dimana mereka mengkombinasikan hard power dan soft power sekaligus. Seperti Joseph Nye dan teorinya bahwa ketika suatu negara berhasil memanfaatkan kedua strategi, maka mereka akan mendapatkan kemenangan yang strategis[ CITATION Ira11 \l 1033 ]. Obama menyeimbangkan penggunaan sangsi dan pembangunan relasi dengan beberapa negara, termasuk rakyat dari Iran sendiri agar bisa mencapai kepentingan nasionalnya.

(11)

bahwa mereka serius akan menggunakan kekuatan militernya. Awalnya ingin menciptakan solusi strategis malah berakhir saling bertentangan. Tidak mungkin AS di bawah kepemimpinan Obama berhasil meyakinkan sisi keras mereka, sekaligus beramah-tamah dengan semua orang termasuk masyarakat Iran sendiri.

BAB III

Kesimpulan

Amerika Serikat di bawah pemerintahan George W. Bush dan Barack Obama mempunyai ciri khasnya tersendiri. Dalam masa jayanya, Bush terkenal dengan aksi militernya terhadap Timur Tengah. Dan kebijakan luar negeri yang sangat kontroversial, dan terus berlarut sampai 4 kali masa jabatan adalah perundingan dengan Iran mengenai masalah isu pengayaan senjata nuklir. kepemilikan senjata nuklir sangat berbahaya bagi negara yang tidak bisa diprediksi arah keberpihakannya. Salah satunya adalah Iran. Iran yang awalnya berhubungan baik dengan AS malah berbalik mendukung kelompok-kelompok teroris. Bahayanya adalah ketika Iran mempermudah akses senjata nuklir kepada organisasi ekstrimis tersebut.

Sebagaimana teori hegemonic stability, Amerika Serikat sebagai negara hegemony mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan dan keamanan dunia. Mengatasi permasalahan Iran merupakan salah satu tugas yang harus diselesaikan. Pada masa jabatan Bush, AS cenderung bersikap semena-mena tanpa mempertimbangkan opini masyarakat dunia internasional. Strategi yang berfokus pada kekuatan militer ini pada akhirnya malah menurunkan popularitas atau pencitraan baik AS terhadap dunia.

(12)

mengerahkan kekuatan militer melawan Iran) ketika pencitraan yang ditunjukkan AS adalah negara yang bersahabat? Hal-hal di atas merupakan bentuk strategi yang khas dari Bush maupun Obama.

Referensi

Beinart, Peter. (2015). Why the Iran Deal Makes Obama's Critics So Angry. Diunduh dari: http://googleweblight.com/?

lite_url=http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/07/iran-nuclear-deal-

obama/398450/&ei=keP5QjeD&lc=en- ID&s=1&m=46&host=www.google.co.id&ts=1481009989&sig=AF9NednVCS-9SM--DcdGFYmqOk9QsB3grw, diakses: 20/11/2016

Hadley, Stephen J. (2014). The George Bush Administration. Diunduh dari:

http://iranprimer.usip.org/resource/george-w-bush-administration, diakses: 10/11/2016 Iran, Politik. (2011). The Obama Administration's Soft Power Strategy on Iran. Diunduh dari:

http://www.iranpolitik.com/2011/10/29/news/obama-administration%E2%80%99s-%E2%80%9Csmart-power%E2%80%9D-strategy-iran/,diakses: 20/11/2016

Ritter, Scott. (2005). Sleepwalking to Disaster in Iran. Diunduh dari:

www.globalpolicy.org/component/content/article/202/41792.html,diakses 20/11/2016 Ross, Dennis. (2015). The Inside Story of Obama’s Iran Strategy. Diunduh dari:

http://www.politico.eu/article/the-inside-story-of-obamas-path-to-yes-on-iran-netanhayu-israel-iran/, diakses 20/11/2016

Viaud, Astrid. (2016). The Iran Nuclear Deal: The Iranian and US Domestic Factors that Put Its Implementation at Risk. Diunduh dari:

Referensi

Dokumen terkait