• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF MANDATORY REPORT FOR NARCOTICS ADDICTS IN THE PREVENTION OF CRIMES (A Study at Loka Rehabilitasi BNN Kalianda) By Lucyani Putri Wulandari, Erna Dewi, Rini Fathonah Email : lucyani.wulanyahoo.com

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF MANDATORY REPORT FOR NARCOTICS ADDICTS IN THE PREVENTION OF CRIMES (A Study at Loka Rehabilitasi BNN Kalianda) By Lucyani Putri Wulandari, Erna Dewi, Rini Fathonah Email : lucyani.wulanyahoo.com"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN KEJAHATAN

(Studi di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda).

Oleh

Lucyani Putri Wulandari, Erna Dewi, Rini Fathonah Email : lucyani.wulan@yahoo.com

Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika saat ini sudah sangat memprihatinkan dan mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya penanggulangan masalah Narkotika, harus dilaksanakan dengan rangkaian tindakan yang berkesinambungan dari berbagai macam unsur, baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Permasalahan yang menjadi penelitian dalam penulisan ini adalah bagaimanakah pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika sebagai upaya penanggulangan kejahatan di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda dan apakah faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan wajib lapor Pecandu Narkotika di Kabupaten Lampung Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normative dan pendekatan empiris dengan menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pelaksanaan wajib lapor Pecandu Narkotika sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 di Kabupaten Lampung Selatan belum terlaksana dengan maksimal, ini dapat dilihat belum terbentuknya Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan Pelaksanaan Wajib Lapor serta Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika sampai pada tingkat Kecamatan, sehingga pelaksanaan wajib lapor dan rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika yang bertujuan untuk memenuhi hak Pecandu untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan menjadi terhambat. Adapun faktor hambatan pelaksanaan wajib lapor; 1) Faktor internal; a. IPWL sulit dijangkau, b. kurangnya sosialisasi, c. kurangnya SDM, d. belum tersedianya fasilitas sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan tentang pelaksanaan wajib lapor bagi Pecandu Narkotika. 2) Faktor eksternal yaitu : a. Pecandu takut melaporkan diri, b. kurangnya pemahaman masyarakat tentang wajib lapor dan pelayanan rehabilitasi, d. keluarga korban tidak berperan aktif dalam proses wajib lapor dan rehabilitasi. Saran dalam skripsi ini antara lain: menyarankan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan agar dapat membentuk IPWL di masing-masing Kecamatan, dan kepada para Pecandu Narkotika yang belum melaksanakan wajib lapor agar segera melaporkan diri ke IPWL sebelum akhirnya berurusan dengan masalah hukum terkait Narkotika.

(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF MANDATORY REPORT FOR NARCOTICS ADDICTS IN THE PREVENTION OF CRIMES

(A Study at Loka Rehabilitasi BNN Kalianda)

By

Lucyani Putri Wulandari, Erna Dewi, Rini Fathonah Email : lucyani.wulan@yahoo.com

The drugs abuse and the illegal trading today is very alarming and threatening all aspects of the nation life. The efforts to overcome this problem should be implemented with a series of continuous actions from various elements, both from government agencies and non-government. The problems in this research are formulated as follows; How is the the implementation of mandatory report for narcotics addicts in the prevention of crimes (A Study at Loka Rehabilitasi BNN Kalianda) and what are the inhibiting factors in the implementation of the mandatory report for narcotics addict in South Lampung regency? The metode in this research used normative and empirical approaches by using qualitative analysis. Based on the result of the research, that the mandatory report for Narcotics Addicts as stipulated in Government Regulation Number 25/ 2011 in South Lampung Regency has not been implemented thoroughly; The Acceptor of Reporting Mandatory Institution (IPWL) has not been established yet, and as well as the implementation of mandatory report and rehabilitation for narcotics addicts in Sub-district level, so that the implementation of mandatory report and the rehabilitation which aims to fulfill the right of addicts to get treatment and healing were abandoned. Among the inhibiting factors in the implementation, included: 1) internal factors; a. The IPWL was difficult to reach, b. Lack of socialization, c. Lack of human resources, d. The unavailability of suppporting facilities and infrastructure in the implementation of mandatory report for narcotics addict. 2) External factors: a. The drugs addicts were afraid to report themselves, b. Lack of community understanding about mandatory report and rehabilitation services, d. The victim's family did not play an active role in the process of reporting and rehabilitation. The suggestions in this research, included: that the local government of South Lampung Regency should establish IPWL in each sub-district, and for all narcotics addicts who have not reported themselves, they are obliged to report to IPWL as soon as possible before finally dealing with legal problem related to narcotics.

(3)

I. PENDAHULUAN

Penegakan hukum terhadap kejahatan tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan aparat penegak hukum dan telah banyak mendapatakan putusan hakim di sidang pengadilan. Penegakkan hukum ini diharapkan dapat menangkal merebaknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika, tapi dalam kenyataan justru sebaliknya semakin intensif para penegak hukum melakukan pengawasan, semakin meningkat pula peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Kejahatan narkotika (the

drug trafficking industry), merupakan

bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (activities of

transnational criminal organizations)

di samping jenis kejahatan lainnya yaitu, smugling of illegal migrants,

arms trafficking, trafficking in

nuclear material, transnasional

criminal organizations and terrorism, trafficking in body parts, theft and

smuggling of vehicles, money

laundering.1

Ketentuan untuk mengatasi masalah pecandu sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang narkotika pada bab IX Pasal 53 yang masih minim pengobatan dan rehabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang wajib lapor bagi penyalahgunaan narkotika, merupakan wujud komitmen negara untuk mengakomodir hak pencandu mendapatkan layaanan terapi dan rehabilitasi.

Para penyalahguna tidak perlu khawatir untuk melaporkan dirinya ke institusi penerima wajib lapor (IPWL)

1

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana,Alumni, Bandung, 1986 hlm. 105

yang telah ditunjuk pemerintah, karena dengan payung hukum Pasal 54 Undang-Undang narkotika serta Peraturan PemerintahNomor 25 Tahun 2011 dan permenkes RI Nomor 1305 dan 2171 Tahun 2011 para penyalahguna tidak akan dijebloskan ke dalam penjara jika terbukti hanya mengonsumsi narkotika, namun justru akan mendapatkan layanan rehabilitasi.

Upaya penanganan penyalahguna narkotika dipandang penting mengingat masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proses rehabilitasi khususnya bagi pecandu narkotika yang tengah menjalani proses hukum, Pasal 54 dan Pasal 56 Undang-Undang narkotika mengatur kewajiban pecandu untuk melakukan rehabilitasi. Rehabilitasi baik medis maupun sosial yang harus dijalani oleh para pecandu narkotika diharpkan agar dapat membuat mereka menjadi sehat, produktif, terbebas dari perbuatan kriminal, terhindar dari ketergantungan terhadap narkotika, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhintungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan soial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika.

(4)

tersurat jelas dalam Undang-Undnag Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika yaitu sesuai dalam Pasal 55.

Kegiatan wajib lapor oleh pecandu narkotika baik yang sudah cukup umur maupun yang belum cukup umur dilakukan oleh orang tua atau keluarganya kepad institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan atau perwatan melalui rehabilitasi sosial. Setelah berjalan 5 tahun sejak dikeluarkannya Peraturan PemerintahNomor 25 Tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu narkotika maka penulis akan melihat sejauh mana eksistensi peneraspan dani praturan pemerintah ini.

Berdasarkan latar belakang tersebut, hal yang menjadi perhatian khusus dalam Peraturan PemerintahTentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika ini adalah terkait dengan pelaporan serta monitoring dan evaluasi. Dengan dimaksudkan agar pelaksanaan wajib lapor dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Serta pelaksanaan rehabilitasi selama proses hukum bagi pecandu yang seharusnya menjadi bagian utama dalam kebijakan nonpenal bagi pecandu narkotika khususnya di Lampung, kemudian dalam pelaksanaannya tersebut mengalami hambatan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil judul :

“Implementasi Peraturan

PemerintahNomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika dalam Penanggulangan Kejahatan Non Penal (studi di Loka rehabilitasi BNN

Kalianda).”

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika sebagai upaya penanggulangan kejahatan di loka rehabilitasi BNN kalianda.

b. Apakah faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu narkotika di Kabupaten Lampung Selatan ?

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan observasi dan wawancara secara langsung pada objek penelitian.

II. PEMBAHASAN

A.Pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika sebagai

upaya penanggulangan

kejahatan di loka rehabilitasi BNN kalianda.

(5)

dapat mencapai lingkungan bebas Narkoba.

Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengibatan dan atau perwatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial; mengikut-sertakan orang tua, wali, keluarga dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap pecandu Narkotika yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya; dan memberikan bahan informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor; Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit dan atau lembaga rehabilitasi medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan Nomor

1305/MENKES/SK/VI/2011 tentang Institusi Penerima Wajib Lapor. Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Wajib lapor dilakukan dengan melaporkan Pecandu Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Dalam hal ini laporan dilakukan selain pada Institusi Penerima Wajib Lapor, petugas yang menerima laporan meneruskannya kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Pecandu yang telah melaksanakan wajib lapor dimaksud, wajib menjalani rehabilitasi medis dan atau rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasinya. Rehabilitasi medis dapat dilaksanakan

melalui rawat jalan atau rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen. Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lembaga rehabilitasi sosial sesuai dengan rencana rehabilitasi dengan mempertimbangkan hasil asesmen.

Terhadap Pecandu Narkotika yang telah selesai menjalani rehabilitasi dilakukan pembinaan dan pengawas-an dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud, dilaksanakan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah dibidang sosial dan Badan Narkotika Nasional.

Badan Narkotika Nasional (BNN) merupakan sebuah lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas dalam pemerintahan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol atau yang sering kita sebut selama ini dengan kata NARKOBA atau NARKOTIKA. BNN dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dasar hukum BNN sebagai LPNK adalah Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010. Sebelumnya,

BNN merupakan lembaga

(6)

Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan atau orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial. Tujuannya adalah sebagai berikut : a. Memenuhi hak Pecandu Narkotika

dalam mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

b. Mengikut sertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di bawah pengawasan dan bimbingannya.

c. Memberikan bahan informasi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan di bidang pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika.

Penulis berpendapat bahwa upaya-upaya yang dilakuan untuk menanggulangi kejahatan Nonpenal adalah dengan cara preventif dan

represif. Kedua upaya tersebut

seharusnya direncanakan dan dilakukan dengan sebaik dan seoptimal mungkin. Mengedepankan upaya yang bersifat preventif tentu akan lebih membawa pengaruh positif terhadap usaha pencegaan kejahatan penjualan satwa liar yang dilindungi, karena upaya preventif akan jauh lebih efisien dibandingkan upaya-upaya yang dilakukan ketika suda terjadi suatu tindak kejahatan. Tetapi terhadap upaya-upaya represif pula tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena langkah ini pula sangat penting dalam mempengaruhi proses

penanggulangan kejahatan, sehingga dalam apabila langkah-langkah

preventif tidak dapat berfungsi

optimal dan masih terjadi kejahatan tersebut, pada tahap inilah upaya harus dilakukan dengan baik dan seoptimal mungkin, sehingga dapat menjadi suatu efek jera bagi para pelaku yang melakukan kejahatan Narkotika.

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara tentang prosedur dan tahapan pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika, maka yang dijadikan kebijakan yaitu kebijakan nonpenal terhadap pecandu narkotika. Dengan adanya kebijakan nonpenal atau penanggulangan secara nonpenal untuk kejahatan tindak pidana narkotika, batas-batas Batas – batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak–hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Narkotika adalah :

1. Bahwa Undang-Undang narkotika juga dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar prilaku hidup masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Negara Pancasila.

2. Bahwa Undang-Undang narkotika merupakan satu-satunya produk hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara efektif.

(7)

masyarakat yang demokrasi dan modern.

Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam perinsip hukum tersebut, maka dapat dipahami bahwa apabila masih ada cara lain untuk mengendalikan sosial, maka penggunaan hukum pidana dapat ditiadakan, upaya ini disebut sebagai

upaya “non-penal”.

Penanggulangan penyalahgunaan narkoba diperlukan upaya yang terpadu dan komprenhensif yang meliputi upaya preventif, represif, terapi dan rehabilitasi. Penanggulang-an dilakukan bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dalam upaya penanggulangan kejahatan narkoba yang merajalela, pemerintah telah melakukan pendekatan yang integral salah satunya upaya nonpenal.

Penyalahgunaan narkoba diluar kepentingan medis sesungguhnya perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu para produsen, pengedar dan jaringannya, dan pemakainya harus ditindak tegas secara hukum. Untuk penanggulangan penyalah-gunaan narkoba diperlukan upaya yang terpadu dan komprenhensif yang meliputi upaya preventif, represif, terapi dan rehabilitasi. Penanggulang-an harus dilakukPenanggulang-an bukPenanggulang-an saja oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat. Dalam upaya penanggulangan kejahatan narkoba yang kian merajalela, pemerintah telah melakukan pendekatan yang integral salah satunya kebijakan nonpenal. Kebijakannon penal ini lebih condong kearah pencegahan terhadap timbulnya suatu kejahatan dengan melalui pendekatan non penal yang adalah pendekatan terhadap

kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan. Kebijakan non penal yang dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulangan bahaya narkoba antara lain melalui treatment dan pengobatan berbasis rehabilitasi bagi para pecandu.

B. Faktor-faktor yang Menjadi Hambatan dalam Pelaksanaan Wajib Lapor bagi Pecandu Narkotika

Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan. Perkataan penegakan hukum mempunyai konotasi yang artinya menegakan, melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku didalam masyarakat. Sehingga dalam konteks yang lebih luas penegakan hukum meruapakan kelangsungan dalam perwujudan konsep-konsep yang abstrak dan menjadi kenyataan. Perlindungan hukum bagi masyarakat dari segala bentuk kejahatan yang terjadi merupakan salah satu tujuan yang diharapkan tercapai tatkala penegakan hukum dilaksanakan dengan baik. Namun, adakalanya penegakan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik, karena ada beberapa faktor yang menghambat penegakan hukum tersebut.

Berdasarkan penelitian di lapangan yang telah dilakukan dan yang selaras dengan Soerjono Soekanto, secara garis besar faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan wajib lapor dan perawatan / rehabilitasi pecandu narkotika adalah sebagai berikut :

1. Faktor Hukum Itu Sendiri

(8)

korban, pecandu, dan penyalahguna narkotika, sampai dengan prosedur dan tahapan wajib lapor itu sendiri. Secara materiil Peraturan Pemerintahini telah baik untuk dilaksanakan, walaupun dalam pelaksanaannya akan ada berbagai

hambatan yang membuat

pelaksanaannya berbeda dengan apa yang dikehendaki sebuah peraturan perUndang-Undangan dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

2. Faktor Penegak Hukum

Badan Narkotika Nasional Kalianda Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini sebagai salah satu penegak hukum ikut berperan dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Sebagai amanat dalam Pasal 13 Peraturan PemerintahNomor 25 Tahun 2011, bahwa penyidik dalam kewenangan-nya melakukan kebijakan penahanan tersangka pecandu narkotika yaitu dilakukan di panti rehabilitasi. Namun berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan. Tidak semua penegak hukum mengetahui tentang peraturan ini. Sedangkan penengak hukum dalam hal ini penyidik yang mengetahui tentang peraturan ini lebih cenderung mengenyamping-kannya.

Pecandu narkotika dianggap sebagi penjahat yang tidak perlu mendapat belas kasihan. Pecandu narkotika juga diaangap adalah kesalahannya sendiri, maka dari itu banyak perlakukan yang melanggar HAM para tahanan Pecandu Narkotika dengan mendapat perlakukan yang kasar. Dibiarkan kesakitan, dan lain sebagainya.

Mengenai wajib lapor juga penyidik banyak sekali yang memanfaatkan dari program ini secara negatif. Pecandu yang tertangkap tangan menggunakan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika oleh penyidik menggunakan cara wajib lapor agar terlepas dari penangkapan. Dengan memiliki keterangan dokter dan kartu kuning, pecandu narkotika bisa lepas dari jeratan hukum. Isu tersebut kemudian menjadi alat bagi pecandu yang tertangkap bisa terlepas dari jeratan hukum.

3. Faktor Sarana Dan Prasarana Peredaran gelap narkotika yang menggunakan teknologi yang canggih sayangnya tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang canggih dalam membongkar kegiatan pelaku tersebut. Sarana dan prasarana tersebut salah satunya adalah detektor atau alat sadap telepon.

Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dilakukan untuk mencapai tujuan hukum. Darji Darmodiharjo dan Shidarta berkata,

“setidaknya kita sadar bahwa hukum

dibentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigheit) disamping sebagai kepastian hukum

(rechtssicherheit) dan kemanfaatan

(zweckmassigheit).”2

4. Faktor Masyarakat

Faktor masyarakat yang menghambat upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Resor Denpasar adalah adanya masyarakat pelaku baik yang berasal dari warga

2

(9)

negara Indonesia maupun warga negara asing yang berasal dari Persia, Nigeria, Australia, Iran, dan Malaysia. terhadap pelaku warga negara asing ini, pemerintah telah mengambil kebijakan sanksi yang dituangkan melalui Pasal 146 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia. Warga negara asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Menurut penulis, niat dan kesadaran masing individu yang menjadi faktor utama untuk tidak menggunakan narkotika. Melakukan rehabilitasi untuk sembuh tidak cukup. Niat untuk tidak menggunakannya lagi yang seharusnya dimiliki oleh setiap pasien pecandu narkotika. Melainkan juga bahwa yang menyembuhkan para pecandu narkotika bukanlah dokter atau obat melainkan dirinya sendiri.

5. Faktor Kebudayaan

Masuknya budaya barat dengan gaya hidup yang bebas memperbesar celah dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia hendakanya ditangkal dengan moral bangsa. Dalam faktor moral terhimpun antara lain agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir serta

suasana yang tercipta di pengadilan.3 Packer menyatakan“the proponents of the behavioral position often seem oddly obtuse in the face of modern

knowledge.”4

Pandangan holistik dari sudut pandang agama, adat-istiadat, kekuasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir mengenai bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat menjadi upaya untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.

Pelaksanaan ketentuan wajib lapor Pecandu Narkotika setelah Peraturan PemerintahNomor 25 Tahun 2011 mulai berlaku tahun 2012 masih terdapat beberapa faktor penghambat, baik internal maupun eksternal mengingat tersangka pengguna Narkotika cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menyimpulkan bahwa berlakunya ketentuan wajib lapor tidak berpengaruh terhadap menurunnya jumlah Pecandu Narkotika khususnya di Kabupaten Lampung Selatan. Adapun faktor-faktor penghambat yang menjadikan pelaksanaan wajib lapor kurang maksimal dalam kegiatan maupun program yang dijalankan. Hal tersebut seperti apa yang diungkapkan oleh Bayu Adhi Joyokusumo diantaranya :

1. Faktor internal

Dalam upaya pemenuhan hak para Pecandu Narkotika untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan melalui rehabilitasi sebagai program pelaksanaan wajib lapor

3

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 81-82.

4

Herbert Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,

(10)

masih terdapat hambatan atau kendala antara lain:

a. Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang sulit dijangkau. b. Kurangnya sosialisasi di daerah c. Kurangnya sumber daya manusia

dalam penanganan wajib lapor. d. Belum tersedianya fasilitas sarana

dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelayanan informasi tentang pelaksanaan wajib lapor bagi Pecandu Narkotika.

2. Faktor eksternal

Beberapa faktor-faktor eksternal penghambat pelaksanaan wajib lapor Pecandu Narkotika sebagai berikut : a. Pecandu takut melaporkan diri.

b. Kurangnya pemahaman

masyarakat tentang wajib lapor. c. Minimnya pemahaman masyarakat

tentang pelayanan rehabilitasi. d. Masih adanya keluarga korban

penyalahgunaan Narkotika yang tidak berperan aktif dalam proses wajib lapor dan rehabilitasi.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka penulis membuat kesimpulan sebagai berikut:

1. Implementasi wajib lapor Pecandu Narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 di Kabupaten Lampung Selatan belum terlaksana dengan maksimal, ini dapat dilihat dari 2 hal pokok yaitu Pembentukan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan Pelaksanaan Wajib Lapor serta Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika belum menyentuh sampai ketingkat Kecamatan, sehingga pengaturan wajib lapor Pecandu Narkotika

yang bertujuan untuk memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi terhambat. Upaya

penanggulangan dan

pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dilakukan melalui kebijakan non penal (non

penal policy) dan kebijakan penal

(penal policy). Kebijakan non

penal dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat preventif dan preemtif yang diimplementasikan melalui penyuluhan, safari narkotika, penyebaran pamflet dan baliho serta pendekatan terhadap tokoh adat dan agama serta pembinaan terhadap masyarakat. Pendekatan ini dilakukan oleh BNNK Lampung Selatan serta Loka Rehabilitasi BNN kalianda lampung Selatan dan para ahli melalui perspektif antropologi budaya, sosiologi, komunikasi, psikologi, pendidikan hidup sehat (ilmu kesehatan masyarakat). Kebijakan non penal ditujukan pada anak (termasuk remaja usia sekolah) dan masyarakat umum. Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika dengan kebijakan penal di wilayah Kabupaten lampung Selatan dilakukan melalui upaya-upaya represif yakni dengan menerapkan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

(11)

penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Selain faktor yang telah di uraikan ada beberapa faktor lain diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang menjadi hambatan pelaksanaan wajib lapor bagi Pecandu Narkotika di Kabupaten Lampung Selatan adalah sebagai berikut:

a. Faktor internal antara lain: 1) Institusi Penerima Wajib

Lapor (IPWL) yang sulit dijangkau,

2) Kurangnya sosialisasi di daerah,

3) Kurangnya sumber daya manusia dalam penanganan wajib lapor,

4) Belum tersedianya fasilitas sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pelayanan informasi tentang pelaksanaan wajib lapor bagi Pecandu Narkotika.

b. Faktor eksternal yaitu :

1) Pecandu takut melaporkan diri,

2) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang wajib lapor,

3) Minimnya pemahaman masyarakat tentang pelayanan rehabilitasi, 4) Masih adanya keluarga

korban penyalahgunaan narkotika yang tidak berperan aktif dalam proses wajib lapor dan rehabilitasi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis menyarankan Beberapa saran penulis sampaikan terkait dengan pelaksanaan wajib lapor Pecandu Narkotika berdasarkan Peraturan

PemerintahNomor 25 tahun 2011 adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah hendaknnya melakukan koordinasi dengan lembaga melalui lembaga/dinas instansi terkait dalam hal ini Dinas Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan untuk membentuk Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di masing-masing Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, selain yang sudah ada di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan memberikan keterampilan dan kemampuan untuk menangani masalah ketergantungan Narkotika kepada tenaga medis yang bertugas yang sudah ada.

2. Para Pecandu Narkotika yang belum sesuai melaksanakan wajib lapor ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) agar segera melaporkan diri sebelum akhirnya berurusan dengan masalah hukum terkait Narkotika. Karena kalau sudah melaporkan diri dijamin tidak akan dipenjara, melainkan mendapatkan pengobatan dan perawatan melalui layanan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dengan biaya ditanggung pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia).

Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Packer. Herbert. The Limits of the

Criminal Sanction. California:

(12)

Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum

Pidana.Alumni: Bandung.

Tanya, Bernard L. dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi.

Yogyakarta. Genta Publishing.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika

http://www.kemenkumham.go.id/v2/b erita/31-pecandu-dan-korban- penyalagunaannarkotika- dalam-proses-hukum-tak-lagi-

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan dengan menggunakan metode demonstration dalam pembelajaran Pekerjaan Dasar Konstruksi Bangunan (PDKB) dapat dilihat dalam 11 aspek yaitu kesiapan peserta didik

Seharusnya kalau ditinjau dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 10 TAHUN 2009 Baku Mutu Udara Ambien Dan Emisi Sumber Tidak Bergerak Di

Pertumbuhan tanaman melon di lahan tailing pasir mengalami penghambatan, dimana tinggi tanaman yang paling tinggi ± 41-45 cm (Gambar 1 dan Gambar 2), dan pertumbuhan diameter

• Penilaian pemilih terhadap dua kelompok lembaga yang p p p g y g konflik di tingkat pusat, yakni Presiden, wakil presiden, dan pemerintah pusat di Jakarta versus DPR dan Partai

Adanya pesaing yang menjual produk dengan harga yang lebih murah, kami menyiasati ancaman itu dengan selalu mencari inofasi pada produck kami dari segi rasa, bentuk, dan kemasan,

Rekapitulasi Hasil Regersi Berganda dari Variabel yang Memepengaruhi Rentabilitas pada Perusahaan Dagang di Kotamadya

Program pelatihan keterampilan sangat bermanfaat bagi para pemuda, karena dapat mendorong untuk menciptakan lapangan kerja baru terutama bagi dirinya maupun orang

Dari hasil analisis, nilai rata-rata post-test kelompok eksperimen sebesar 86 sedangkan nilai rata-rata post-test kelompok kontrol sebesar 78 ( 1 > 2) maka