• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA BRONKITIS KRONIK DENGAN RIWAYAT RINITIS BERULANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA BRONKITIS KRONIK DENGAN RIWAYAT RINITIS BERULANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Elsa Rosalina

G0008090

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

commit to user

iv

ABSTRAK

Elsa Rosalina. G0008090, 2011, Hubungan antara Bronkitis Kronik dengan Riwayat Rinitis

Berulang sebagai Faktor Risiko., Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui adanya hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control. Dilakukan terhadap 60 responden, yaitu 30 kasus bronkitis kronik positif sebagai kelompok kasus dan 30 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan mulai dari bulan April sampai dengan Mei 2011 dengan menggunakan data primer dari kuesioner.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 24 responden

memiliki riwayat rinitis berulang dan 6 responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Sedangkan pada kelompok kontrol, 22 responden memiliki riwayat rinitis berulang dan 8 responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Berdasarkan analisis statistik dengan X2 dengan taraf signifikansi (p) < 0,05 didapatkan hasil p = 0,542 serta dari tabel Odds Ratio didapatkan OR = 1,5 dan Interval Kepercayaan (IK) = 0,5 – 4,9.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

(3)

commit to user

v

ABSTRACT

Elsa Rosalina. G0008090, 2011, The Correlation between Chronic Bronchitis and the History of

Recurrent Rhinitis as a Risk Factor., Faculty of Medicine, Sebelas Maret University.

Objective : The purpose of this studywas to analyze the correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.

Method : This was an observational analytic study with case control approach. Conducted on 60 respondents, were 30 cases of positive chronic bronchitis as the case group, and 30 cases of ARI (Acute Respiratory Infection) as a control group. The data was collected from April to May 2011 by using primary data from questionnaires.

Result: In this study the data obtained from the cases group, 24 respondents had a history of recurrent rhinitis and 6 respondents did not have a history of recurrent rhinitis. Whereas in the control group, 22 respondents had a history of recurrent rhinitis and 8 respondents did not have history of recurrent rhinitis. Based on statistical analysis by X2 with a significance level (p) <0.05, p = 0.542 is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 1.5 and Confidence Intervals (CI) = 0.5 - 4.9.

Conclusion : From this study it can be concluded that there was no correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.

(4)

commit to user

vi

Segala puji syukur peneliti panjatkan ke haridat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan antara Bronkitis Kronik dengan Riwayat Rinitis Berulang sebagai Faktor Risiko”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dr. Reviono, dr., Sp.P (K), selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi.

4. Vicky Eko Nurcahyo Hariadi, dr., Sp.THT-KL., M.Sc., selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang beliau luangkan bagi penulis.

5. Yusup Subagio S, dr.,Sp.P (K)., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan saran, bimbingan, nasihat untuk menyempurnakan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

6. Novi Primadewi, dr., Sp.THT-KL., M.Kes, selaku anggota penguji atas segala bimbingan, saran, nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

7. Budi Subagijo, dr. dan Sri Wulandyah Widayati, selaku orang tua serta Dhany Saputra, S.Kom., M.Sc dan Nila Permatasari S.T selaku kakak dari penulis yang telah memberikan doa, memfasilitasi, dan memotivasi penulis dengan penuh kasih sayang.

8. Seluruh Staf SMF Paru dan SMF THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan.

9. Residen PPDS Paru dan Perawat di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta serta Residen PPDS THT-KL dan Perawat di Poliklinik THT RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data.

10.Seluruh Staf Dinas Kesehatan Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan,

11.Seluruh Staf Klinik Pengobatan Fosmil Surakarta atas segala bantuannya yang telah diberikan.

12.Tim Skripsi, Perpustakaan FK UNS yang banyak membantu dalam penyelesaian skripsi dan sebagai salah satu tempat untuk mencari referensi.

13.Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, Juli 2011

(5)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Bronkitis ... 5

a. Bronkitis Akut ... 5

b. Bronkitis Kronik ... 7

c. Bronkitis Eosinofilik ... 13

2. Rinitis ... 14

a. Rinitis Alergi ... 14

b. Rinitis Vasomotor ... 17

c. Rinitis Medikamentosa ... 21

d. Rinitis Simpleks ... 23

e. Rinitis Hipertrofi ... 26

f. Rinitis Atrofi ... 26

g. Rinitis Difteri ... 28

h. Rinitis Jamur ... 29

i. Rinitis Tuberkulosa ... 29

j. Rinitis Sifilis ... 30

k. Post Nasal Drip ... 30

(6)

commit to user

viii

a. ISPA yang disebabkan virus ... 32

b. ISPA yang disebabkan oleh Micoplasma Pneumonia ... 34

c. Psitakosis-Ornitosis ... 34

d. Demam Q (Demam Queensland) ... 35

B. Kerangka Pemikiran... 36

C. Hipotesis ... 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Lokasi Penelitian ... 38

C. Subjek Penelitian ... 38

D. Teknik Sampling ... 39

E. Estimasi Besar Sampel ... 40

F. Rancangan Penelitian ... 40

G. Instrumen Penelitian ... 40

H. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41

I. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41

J. Cara Kerja ... 42

K. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 44

A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 44

B. Analisis Statistik ... 55

BAB V. PEMBAHASAN ... 60

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Simpulan ... 68

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(7)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Umur ... 46

Tabel 3. Karakteristik Bronkitis Kronik ... 47

Tabel 4. Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 48

Tabel 5. Karakteristik Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 50

Tabel 6. Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA ... 52

Tabel 7. Karakteristik Riwayat Rinitis pada ISPA ... 53

(8)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasakan Jenis Kelamin ... 45

Gambar 2. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasarkan Umur ... 46

Gambar 3. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 48

(9)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Lampiran 4. Data Hasil Penelitian

Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Chi Square

Lampiran 6. Kuesioner Bronkitis

(10)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bronkitis adalah radang dari selaput lendir bronkus, yaitu saluran pernapasan

yang membawa aliran udara dari trakea ke paru. Bronkitis berbahaya bagi kesehatan

di seluruh dunia. Bronkitis dibagi menjadi dua berdasarkan onset, yaitu bronkitis

akut dan kronik (Enright, 2005).

Bronkitis akut ini terjadi pada sekitar 5 % orang dewasa, dan tingkat

kejadi-annya meningkat pada musim dingin dan musim gugur dibandingkan dengan

mu-sim panas dan mumu-sim semi. Di Amerika, bronkitis akut merupakan penyakit paling

sering peringkat ke sembilan pada pasien rawat jalan. Virus dipandang sebagai

penyebab paling sering. Sebuah studi di Perancis menunjukkan bahwa dari 164

kasus bronkitis akut, 37 % disebabkan oleh virus, 21 % di antaranya adalah

rhinovirus. Sedangkan peran dari bakteri sebagai penyebab bronkitis akut masih

belum jelas, karena biopsi bronkus tidak menunjukkan invasi bakteri. Beberapa data

menunjukkan Bordetella pertussis sebagai penyebab sebanyak 13-32 % dari kasus

batuk yang bertahan 6 hari atau lebih, dan hanya 1 % sebagai penyebab bronkitis

akut. Dalam sebuah studi, 34 % pasien bronkitis akut akan terdiagnosis bronkitis

(11)

commit to user

terdiagnosis pada 65 % pasien dengan bronkitis akut kambuhan (Wenzel dan

Fowler, 2006).

Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan Chronic Obstructive Pulmonary

Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Di Inggris, COPD

terdiagnosis pada 4 % pria dan 2 % wanita pada usia diatas 45 tahun, dan 6 % pria

dan 4 % wanita meninggal akibat COPD. Di Negara ini pula, COPD merupakan

penyebab kematian paling sering ketiga, dan satu-satunya penyebab kematian yang

terus meningkat tiap tahunnya. Menurut the Global Burden of Disease Study, COPD

adalah penyebab kematian tersering keenam di dunia pada tahun 1990 dan akan

naik ke peringkat ketiga pada tahun 2020 (Hanzel, 2004). Dan di Amerika, 20 %

penduduk dewasa mengidap COPD, dan COPD merupakan penyebab kematian

tersering keempat (Hunter dan King, 2003).

Penyakit saluran pernapasan bawah sering dikaitkan dengan penyakit pada

saluran pernapasan atas, seperti antara asma bronkial dengan rinitis alergika

(Lundbland, 2002) dan common cold yang bergerak dari penyakit infeksi

pernapasan atas ke penyakit infeksi pernapasan bawah atau pneumonia (Fahey,

2005). Hubungan asma dengan rinitis, antara lain oleh ARIA (Allergic Rhinitis and

its Impact on Asthma) sudah dibuktikan bahwa rinitis alergi merupakan faktor risiko

terjadinya asma dan kebanyakan pasien asma juga memiliki rinitis (Cruz et al,

2007; Togias, 2003), oleh The Copenhagen Allergy Study telah dibuktikan 100

persen dari subjek dengan asma alergi terhadap serbuk sari juga memiliki rinitis

alergi terhadap serbuk sari, begitu juga dengan asma alergi terhadap binatang dan

(12)

commit to user

persentase 89 dan 95 (Linneberg et al, 2002), dan studi di Perancis yang

membuktikan hubungan kuat antara asma dengan rinitis pada anak (Chiron et al,

2010). Selain rokok dan polusi, bronkitis juga sering dikaitkan dengan radang pada

saluran pernapasan atas. Penyakit pada sinus, seperti sinusitis, diyakini memiliki

pengaruh terhadap bronkitis (Nurjihad, Yunus, 2001; Kim dan Rubin, 2007). Selain

sinusitis, bronkitis juga diduga memiliki hubungan dengan penyakit-penyakit

pernapasan atas, misalnya rinitis, yaitu melalui postnasal drip. Namun masih

banyak kontroversi mengenai hal ini, antara lain karena masih tidak jelasnya

bronkitis itu sendiri, kurangnya penelitian mendasar mengenai hubungan postnasal

drip dengan bronkitis, dan tumpang tindih antara bronkitis dengan asma

berhubungan dengan postnasal drip ini. Diagnosis bronkitis sering ditegakkan

dalam praktek sehari-hari, sehingga seharusnya bronkitis dapat dibedakan dan

ditetapkan dengan mudah. Namun manifestasi utama dari penyakit ini adalah batuk,

yang bukan merupakan gejala spesifik (Naning et al, 2008), sehingga sering kali

diagnosis bronkitis ditegakkan apabila tidak ditemukan gejala dan tanda yang

mengarah ke penyakit lain .

Maka dari itu, berdasarkan data-data di atas, penulis tertarik untuk

meneliti hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai

(13)

commit to user B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat

dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara

bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara

bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis

Menambah pengetahuan bagi peneliti dan klinisi tentang hubungan

bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang.

2. Aspek praktis

Memberikan tambahan informasi mengenai hubungan bronkitis kronik

dan rinitis sehingga dapat membantu penegakan diagnosis dengan benar dan

(14)

commit to user

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bronkitis

Istilah bronkitis mengacu pada radang di bronkus (jalur pernapasan yang

berukuran medium atau lebar dalam paru) (Stauffer, 2010).

a. Bronkitis Akut

1) Definisi

Bronkitis akut adalah penyakit traktus respiratori yang sering

dijumpai, yang ditandai oleh batuk yang mengalami perkembangan,

dengan atau tanpa produksi sputum. Gejala umum lainnya antara lain sakit

tenggorokan, hidung berair, hidung buntu, demam ringan, radang pleura,

dan malaise. Bronkitis akut sering terjadi selama dalam keadaan penyakit

yang diakibatkan oleh virus, seperti pilek atau influenza. Kebanyakan

kasus bronkitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri dalam

beberapa minggu, sehingga pemakaian antibiotik tidak dianjurkan.

(15)

commit to user

gram dari sputum menunjukkan bakteri dalam jumlah cukup banyak

(Buhagiar, 2009).

2) Epidemiologi

Di Amerika Serikat, batuk merupakan gejala yang paling umum

dari pasien yang berkunjung ke dokter, dan bronkitis akut adalah diagnosis

yang paling sering diberikan. Setiap tahun dilaporkan bronkitis akut

sampai dengan 5 % dari populasi umum. Sebagian besar pasien

mendatangi dokter, dan ini menyumbang lebih dari 10 juta kunjungan

dokter per tahun. 10 dari 1000 orang dengan bronkitis akut melakukan

rawat jalan per tahunnya. Alasan utama untuk mencari dokter adalah untuk

meringankan gejala, dan salah satu survei pada orang dewasa

menunjukkan bahwa 66 % nya melakukan pada minggu pertama sakit, dan

88 % melakukannya dalam waktu 2 minggu (Braman, 2006).

3) Etiologi

Virus merupakan penyebab terbesar dari bronkitis akut, sekitar 85

sampai 95 persen. Virus yang paling sering adalah rhinovirus, adenovirus,

influenza A dan B, dan parainfluenza virus. Sedangkan bakteri umumnya

bakteri komensal yang terisolasi dari orofaring. Bakteri yang sering adalah

Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus

influenzae,Moraxella catarrhalis, dan Bordetella (Worrall, 2008).

(16)

commit to user

Dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan

diagnosis apabila didapatkan tanda dan gejala sebagai berikut :

a) Demam lebih dari 100,4°F atau 38°C (Orang-orang di atas usia 75

tahun tidak selalu menunjukkan gejala demam)

b) Batuk lebih dari 10 hari

c) Nyeri dada ketika batuk, susah bernapas, atau batuk darah

d) Batuk menyalak yang membuat pasien susah bernapas, terlebih jika

batuk itu tidak hilang-hilang.

e) Batuk yang disertai penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.

Kebanyakan orang yang menderita batuk yang tidak

sembuh-sembuh setelah infeksi saluran napas bagian atas, biasanya tidak

membutuhkan tes diagnostik seperti x-ray, kultur, dan tes darah. Tetapi,

tes direkomendasikan apabila hasil diagnosis berdasarkan pemeriksaan

tidak begitu jelas, atau jika dicurigai adanya kondisi lain, seperti

pneumonia.

b. Bronkitis Kronik

1) Definisi

Bronkitis kronik adalah salah satu jenis penyakit paru obstruktif

kronik, yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih

dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejala lain meliputi wheezing

(17)

commit to user

Batuk sering bertambah parah saat bangun dari tidur, sputum mungkin

berwarna kuning atau hijau, dan mungkin disertai garis darah (Kuschner et

al, 2009; Bobadilla et al, 2002).

2) Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut (Sutoyo, 2009; Anzueto, Schaberg,

2003; Pillete et al., 2001).

Penderita dengan bronkitis kronik mengalami eksaserbasi yang

cukup sering tiap tahunnya, terutama saat musim penghujan atau musim

dingin pada negara dengan 4 musim. Penyebab tersering dari eksaserbasi

adalah infeksi virus pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya

seperti polusi lingkungan, gagal jantung kongestif, emboli paru, pemberian

oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan lain-lain. Proses

yang kompleks merupakan kombinasi berbagai mekanisme yang

bertanggung jawab atas terjadinya bronkitis kronik. Efek kombinasi

tersebut menghasilkan kolonisasi bakteri dan infeksi kronik yang

berkontribusi terhadap kejadian eksaserbasi dan kerusakan mekanisme

pertahanan paru yang berakibat memudahkan terjadinya eksaserbasi dan

demikian seterusnya.

Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronik (rokok,

polusi udara, infeksi berulang) menimbulkan kondisi inflamasi pada

bronkus. Inflamasi ini melibatkan berbagai sel, mediator, dan

(18)

commit to user

lumen jalan napas dan parenkim paru pada cairan bronkoaveolar (BAL),

teraktivasi. Aktivasi makrofag menghasilkan TNF- dan berbagai mediator

inflamasi lainnya serta protease sebagai respon terhadap asap rokok dan

polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian bersifat kemokin dan

bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil.

Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrophil juga berperan pada

mekanisme ini sehingga terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin,

granzyme-B, TNF-X oleh limfosit T dan IL-8, LTB4, GM-CSF oleh

neutrofil) yang saling berinteraksi dan menimbulkan proses inflamasi

kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat pada penderita bronkitis

kronik dan akan semakin meningkat pada saat eksaserbasi akut. Neutrofil

mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang merupakan mediator yang

poten untuk merangsang produksi mukus sehingga terlibat dalam

hipersekresi mukus yang kronik.

Selain mekanisme di atas, juga dilibatkan imunoglobulin (Ig) A

sekretori yang berfungsi sebagai barier pada epitel saluran napas yang

mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa. Asap rokok/polusi udara

melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara lain melalui

pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Imunoglobulin yang

mengakibatkan penurunan produksi komponen IgA sekretori dan

melemahkan transport komponen sekretori yang mengakibatkan

rendahnya kadar IgA dalam lumen saluran napas.Hal ini menyebabkan

(19)

commit to user

kolonisasi bakteri menimbulkan refluks neutrofil dan degradasi IgAs oleh

neutrofil maupun oleh produk-produk bakteri. Hal ini menimbulkan

inflamasi, semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan

infeksi kronik meningkatkan jumlah neutrofil dan seterusnya

Murphy and Sethi mengemukakan hipotesis Vicious circle pada

bronkitis kronik dengan mengungkapkan kerusakan jalan napas akibat

infeksi kronik dan kolonisasi bakteri adalah melalui penglepasan mediator

inflamasi yang terus menerus. Kondisi tersebut melemahkan pertahanan

paru dan menyebabkan infeksi persisten sehingga mengakibatkan

inflamasi kronik dengan konsekuensi penurunan fungsi paru secara

progresif. Kondisi ini seperti lingkaran setan atau lingkaran yang tak jelas

ujung pangkalnya.

3) Epidemiologi (Alsagaff dan Mukty, 2005)

a) Distribusi dan insidensi

Insidensi dari bronkitis di negara-negara industri menunjukkan

peningkatan. Peningkatan ini mungkin berkaitan dengan polusi udara.

b) Jenis kelamin

Bronkitis lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada wanita,

(20)

commit to user

c) Umur

Insidensi di Belanda ialah 10-15 persen pria dewasa, 5 persen wanita

dewasa, dan 5 persen anak-anak.

d) Pekerjaan

Bronkitis lebih menyebar pada pekerja yang terekspos udara berasap

dan berdebu. Hal ini berkaitan erat dengan faktor alergi dan

hiperreaktifitas bronkus.

4) Etiologi (Wilson, 2005)

a) Polusi udara

Eksaserbasi dari bronkitis terjadi berlipat-lipat ketika udara tercemar

oleh asap dalam jumlah tinggi.

b) Rokok

Merokok dapat merusak pohon bronkus dan merupakan salah satu

faktor etiologi yang bertanggung jawab atas bronkitis kronik.

c) Infeksi

Infeksi adalah penyebab utama dari eksaserbasi akut dari bronkitis

kronik. Dari sebuah studi di Hong Kong, pada biakan sputum pasien

eksaserbasi akut bronkitis kronik positif ditemukan Haemophilus

influenzae sebesar 13 %, Pseudomonas aeruginosa 6 %, dan

Streptococcus pneumoniae 5,5 %. Obstruksi aliran udara yang lebih

parah dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi untuk

(21)

commit to user

5) Diagnosis (Alsagaff dan Mukty, 2005)

Menurut American Thoracic Society, diagnosisnya adalah sebagai

berikut:

a) Anamnesis

Anamnesis ulang pada waktu penderita kembali memeriksakan diri,

amat bermanfaat untuk menilai progesivitas penyakit dan respons

pengobatan. Sesak napas yang menjadi keluhan utama, sering disertai

batuk, mengi, dahak, serta infeksi saluran napas berulang.

b) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan tanda-tanda : Hiperinflamasi

paru, penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara

napas yang abnormal.

c) Pemeriksaan Radiologis

Dibutuhkan x-foto thoraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun

perlu ditekankan bahwa korelasi kelainan foto toraks dengan gradasi

obstruksi jalan napas tidak besar. Pada foto toraks nampak gambaran

tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari

hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

Pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan tidak dibutuhkan.

d) Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan utama adalah FEV1 dan rasio FEV1/FVC, walau masih

(22)

commit to user

tes-tes ini dapat menambah informasi yang berarti selain yang telah

diungkapkan oleh pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.

e) Pemeriksaan Laboratorium

Analisis gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita

COPD dengan FEV1 kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten

dengan pembesaran ventrikel kanan. Eritrositosis sekunder yang

didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan keadaan

hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium lainnya

disesuaikan dengan keadaan.

c. Bronkitis Eosinofilik

Bronkitis eosinofilik adalah penyebab batuk kronik yang ditemukan

baru-baru ini, yang bertanggung jawab atas 10 sampai 15 persen kasus.

Pasien dengan penyakit ini mempunyai batuk kronik dengan sputum

bereosinofil (3 % eosinofil), tetapi tidak ada kelainan lain yang terlihat

bersama dengan asma. Secara spesifik, pasien ini tidak mempunyai gejala

obstruksi saluran napas, tes fungsi paru normal, dan tes respon terhadap

methacoline juga normal (Smucny, 2003).

Bronkitis eosinofilik sering ditemukan dengan gejala batuk kronis,

aliran napas yang terhalang, saluran napas yang hiperresponsif, dan bukti

(23)

commit to user

IgE total atau spesifik, hasil skin test positif. Selain itu juga diuji dengan

spirometri, kultur sputum, dan tes methacholine (Brightling, 2006).

2. Rinitis

Rinitis digambarkan sebagai radang dari membran mukus yang

membatasi hidung. Kondisi ini ditandai oleh hidung buntu, rhinorrhea, bersin,

gatal di hidung (Carek,Dickerson, 2003).

a. Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi

alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen

yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan

ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Dan menurut WHO ARIA (Allergic

Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 definisi rinitis alergi adalah

kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorrhea, rasa gatal, dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE

(Irawati Kasakeyan, Rusmono, 2007)

Rinitis alergi adalah masalah hidung paling sering di Amerika

Serikat, mengenai 1 dari 5 orang dewasa dan anak-anak. Onset dari rinitis

alergi secara khas pada masa kanak-kanak, remaja, dan awal masa dewasa.

Pada sebuah studi di Tuczon, Arizona, 42 % dari anak-anak yang dievaluasi

mempunyai rinitis alergi sejak usia enam tahun, tetapi onset dari gejalanya

(24)

commit to user

alergi berkembang sebelum usia 20 tahun. Sepanjang 10 tahun pertama

setelah onset, sekitar sepertiga atau bahkan meningkat hingga separuh orang

dewasa mengalami gejala yang memburuk (Carek,Dickerson, 2003).

1) Patofisiologi(Carek,Dickerson, 2003)

Rinitis alergi mungkin musiman atau tidak berkesudahan, dan

keduanya mungkin hadir dalam individu yang sama. Kedua tipe rinitis alergi

ini merupakan hasil reaksi yang diperantarai IgE dari mukosa nasal kepada

alergen.

Alergen musiman yang paling sering adalah serbuk sari. Serbuk sari

pohon-pohon banyak dilepaskan selama awal hingga pertengahan musim

semi. Sedangkan musim serbuk sari rerumputan yang paling tinggi adalah

pada akhir musim semi hingga awal musim panas, dan serbuk sari rumput liar

pada akhir musim kemarau hingga awal musim gugur.

Rinitis alergi yang tidak berkesudahan disebabkan oleh reaksi yang

diperantarai IgE terhadap alergen di lingkungan. Alergen-alergen ini

termasuk debu hama, ketombe binatang, dan jamur. Sebagai tambahan, kecoa

dan serangga-serangga lain, dan tanaman-tanaman lain yang dapat

mmproduksi alergen yang bertanggung jawab terhadap rinitis alergi yang

(25)

commit to user

2) Diagnosis (Carek,Dickerson, 2003)

a) Anamnesis

Anamnesis yang detil dan akurat penting untuk evaluasi awal

individu dengan rinitis alergi. Hasil anamnesis pasien harus dicatat,

dan ditanyakan apakah diri sendiri atau keluarga ada riwayat atopi

(rinitis alergi, asma, eksim atopi, dsb) selama masa kanak-kanak harus

ditemukan. Pertanyaan tentang gejala dan pola gejala, termasuk onset,

progres, tingkat keparahan, durasi, hubungan dengan musim, kegiatan

sehari-hari dan faktor-faktor yang memperburuk, harus ditanyakan.

Selain itu juga perlu ditanyakan tentang keberadaan peliharaan

dalam rumah, asap rokok atau polusi udara.

Gejala dari rinitis alergi meliputi bersin-bersin; gatal pada

hidung, mata, palatum, atau faring; hidung buntu dengan obstruksi

jalan napas sebagian atau seluruhnya; rhinorrhea, sering bersama

dengan pengeringan postnasal. Mata berair dan sakit ditambah dengan

discharge gelatinous konjungtiva di pagi hari dan perasaan tidak fit

seperti mudah tersinggung, lelah, dan depresi mungkin muncul selama

masa puncak gejala.

b) Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada hidung, mata,

(26)

commit to user

dengan rinitis alergi biasanya menunjukkan tanda pucat, bengkak,

radang mukosa nasal, clear rhinorrhea, sklera yang tersisip dengan

kelopak mata yang membengkak. Nasopharynx mungkin menunjukkan

discharge yang bersih sampai yang seperti krim dan hipertrofi limfoid.

Saluran napas atas bengkak dan kompresi vena-vena setempat dan

aliran limfe sering menimbulkan allergic shiners.

Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan

hitung eosinofil dan total IgE, pemeriksaan sekret hidung untuk sel-sel

inflamasi, test kulit untuk mendeteksi IgE yaitu dengan test prick

epicutan dan tes intradermal, test radioallergosorbent untuk alternatif

test kulit. Selain itu dapat juga dengan fiber-optic nasal endoscopy,

rhinomanometry,CT scan atau MRI.

b.Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis

tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,

hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, β-Blocker,

aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan) (Papon et al,

2005).

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen

spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai

(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi kulit IgE spesifik serum)

(27)

commit to user

1) Etiologi dan Patofisiologi(Garay, 2004)

Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa

hipotesis yang telah dikemukakan antara lain:

a) Neurogenik (disfungsi sistem otonom)

Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th

1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian

kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan

neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan

sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang

menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang

bergantian selama 2-4 jam. Keadaan ini yang disebut “siklus nasi”.

Dengan adanya siklus ini, seseorang akan tetap mampu bernapas

normal melalui rongga hidung yang berubah luasnya.

Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior

menuju ganglion sphenopalatina dan membentuk n.Vidianus,

kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar

eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter

asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan

peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti

hidung.

b) Neuropeptida

Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan

(28)

commit to user

hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti

dengan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin

gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas

vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaaan ini menerangkan terjadinya

peningkatan respon pada hiperreaktifitas hidung.

c) Nitrik Oksida

Kadar Nitrik Oksida yang tinggi dan persisten di lapisan epitel

hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel,

sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke lapisan

sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigerminal

dan rekrutment refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung.

d) Trauma

Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang

dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau

neuropeptida.

2) Gejala Klinik(Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai

rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,

minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan

pemanas ruangan, perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan,

stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tersebut tidak dianggap

(29)

commit to user

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi,

namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan

kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinorrhea yang

mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.

Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh

karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembap, asap rokok

dan sebagainya.

Berdasar gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam tiga

golongan, yaitu:

a) Golongan Bersin (Sneezer). Gejala biasanya memberikan respon yang

baik dengan antihistamin dan glukokortikosteroid topikal

b) Golongan Rinorrhea (Runners). Gejala dapat diatasi dengan pemberian

antikolinergik topikal

c) Golongan Tersumbat (Blockers). Kongesti umumnya memberikan

respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan

vasokonstriktor oral.

3) Diagnosis (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu

menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat

obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya

(30)

commit to user

Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran yang khas

berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah

tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi.

Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada

rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada

golongan rinorrhea sekret yang akan ditemukan adalah serosa dan banyak

jumlahnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan

kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret

hidung, akan tetapi jumlahnya sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif.

Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

c. Rinitis Medikamentosa

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa

gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian

vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama

dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang

berlebihan (Lockey, 2006).

1) Patofisiologi (Ramey et al, 2006)

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap

(31)

commit to user

vasokonstriktor. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan

simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan

berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.

Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam

jangka waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang

(rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul gejala

obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering

dan lebih banyak lagi menggunakan obat tersebut. Pada keadaan ini

ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa hidung.

Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitifitas reseptor

alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas

dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti

mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan

mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound congestion.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakain obat

tetes hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak. 2) sel goblet berubah

ukurannya, 3) membran basal menebal, 4)pembuluh darah melebar, 5)

stroma tampak edema, 6) hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH

sekret hidung, 7) lapisan submukosal menebal, dan 8) lapisan periostium

menebal. Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor

sebaiknya tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat

(32)

commit to user

2) Gejala dan tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.

Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung

yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak

berkurang (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007).

d. Rinitis Simpleks ( Hueston, Mainous III, 2003)

Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan

pada manusia. Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu.

Rinitis simpleks bisa terjadi sepanjang saluran pernapasan, dengan

peradangan dan keterlibatan permukaan mukosa hidung, sinus, tenggorokan,

telinga, dan paru. Banyak diagnosis rinitis simpleks yang gejalanya tumpang

tindih dengan gejala lain (misalnya, sinusitis akut dan rinitis simpleks; rinitis

simpleks dengan bronkitis akut). Respon peradangan terhadap patogen

menghasilkan bengkak, discharge, dan rasa nyeri.

1) Epidemiologi

Rinitis simpleks adalah penyakit menular yang sering ditemukan.

Orang dewasa biasanya memiliki 2-4 kejadian rinitis simpleks setiap

tahun, dan anak-anak di tempat penitipan memiliki sebanyak enam atau

tujuh kejadian. Meskipun rinitis simpleks ringan, cenderung membaik

dengan sendirinya, dan durasinya pendek, mereka adalah penyebab utama

(33)

commit to user

Transmisi patogen yang berkaitan dengan rinitis simpleks

biasanya terjadi melalui kontak dengan benda mati seperti bermain kartu

serta melalui tangan langsung ke tangan seperti berjabat tangan. Rinitis

simpleks memiliki variasi musim, di Amerika Serikat, terdapat

peningkatan prevalensi antara September dan Maret. Tidak jelas mengapa

variasi ini ada, meskipun mungkin terkait untuk meningkatkan kepadatan

populasi dalam ruangan pada bulan-bulan dingin. Suhu bukanlah kunci

dari variasi musiman tanpa kehadiran patogen.

2) Patofisiologi

Sebuah studi baru-baru ini menetapkan bahwa sebagian besar

rinitis simpleks disebabkan oleh virus. Rhinoviruses adalah jenis virus

yang paling sering, ditemukan pada 53 persen pasien. Coronaviruses

adalah penyebab kedua yang paling sering.

Infeksi yang disebabkan virus jarang cukup berat sehingga

memerlukan rawat inap. Namun, hal ini tidak benar untuk pasien dengan

masalah paru berat, di antaranya infeksi pernapasan yang disebabkan virus

dapat menghasilkan kompromi pernafasan akut yang memerlukan rawat

inap. Pasien dari populasi berpenghasilan rendah dengan penyakit paru

kronis berada pada risiko terbesar untuk kompromi berat terkait dengan

infeksi pernapasan virus.

Akhirnya, banyak dokter mengatakan kepada pasien bahwa pasien

(34)

commit to user

didasarkan pada faktor-faktor genetik berkaitan dengan pertahanan host

terhadap virus. Meskipun pertahanan yang paling rentan adalah antara usia

6 sampai 17 bulan, ketika menderita rinitis simpleks mungkin terjadi

kompromi dan dapat mengakibatkan komplikasi seperti otitis media.

3) Diagnosis

Rinitis simpleks sering diduga berdurasi pendek, tetapi gejala

sebenarnya bisa bertahan 12 sampai 14 hari. Dalam sebuah penelitian yang

mengamati efektivitas saline nasal spray untuk rinitis simpleks, Adam dan

rekan menemukan bahwa waktu median untuk pemulihan dari rinitis

simpleks tanpa komplikasi adalah 15,5 hari.

Nasal Discharge

Di awal perkembangan rinitis simpleks, nasal discharge jernih. Saat

peradangan lebih berkembang, discharge dapat menjadi berwarna.

Kuning, hijau, atau nasal discharge berwarna coklat-merupakan indikator

dari peradangan, bukan infeksi sekunder bakteri. Tidak adanya perubahan

warna discharge hidung tidak meningkatkan kemungkinan kemunculan

sinusitis, namun keadaan ini sendiri kurang dapat dijadikan sebagai

prediktor infeksi bakteri tanpa adanya tanda-tanda lain dari sinusitis.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan discharge

yang tidak berubah warna respon terhadap antibiotik lebih baik daripada

yang mereka merespon plasebo.

(35)

commit to user

menunjukkan infeksi yang lebih serius, pasien sering berpatokan pada

warna dischargenya. Pasien sering berpikir untuk pergi ke dokter saat

dischargenya berubah warna.

e. Rinitis Hipertrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa

hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses

inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi sekunder. Konka inferior dapat

juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakterial, misalnya sebagai

lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung

akibat hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan

gangguan tidur. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.

Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka

inferior. Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi.

Akibatnya pasase udara dalam rongga hidung menjadi sempit. Sekret

mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan septum dan juga

di dasar rongga hidung.

f) Rinitis Atrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung yang kronik, yang ditandai

(36)

commit to user

mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering

sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering

ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan

sanitasi lingkungan yang buruk.

Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak

bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,

lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau

atrofi.

1) Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis atrofi

dikemukakan, antara lain 1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering

ditemukan adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman

lainnya yang juga sering ditemukan adalah Staphilococcus,

Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa. 2) Defisiensi Fe, 3)

Defisiensi vitamin A, 4) Sinusitis Kronik, 5) Kelainan hormonal, 6)

Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

2) Gejala dan Tanda Klinis

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang

berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit

(37)

commit to user

Pada pemeriksaan hidung ditemukan rongga hidung sangat lapang,

konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen

dan krusta yang berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis

adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media,

pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi

komputer (CT scan) sinus paranasal.

g) Rinitis Difteri (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacteriium diphteriae, dapat

terjadi primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan

dalam keadaan akut atau kronik. Dugaan adanya rinitis difteri harus

dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi tidak lengkap. Penyakit

ini semakin jarang ditemui karena cakupan program imunisasi yang semakin

meningkat.

Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat

limfadenitis dan mungkin adanya paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada

ingus yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih

yang mudah berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga

hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala biasanya lebih

ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik,

masih dapat menulari. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan

(38)

commit to user

h) Rinitis Jamur (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau

non-invasif. Rinitis jamur non-invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi

mukosa yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus

ball). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina

propia. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan

perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat

dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung atau kultur

jamur, misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen,

mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan

nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).

i) Rinitis Tuberkulosa (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra

pulmoner. Sering dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging

disease) yang berhubungan dengan kasus HIV AIDS, penyakit ini harus

diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau

ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan

(39)

commit to user

Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen dan krusta,

sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan

dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada

pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datya Langerhans dan limfositosis.

j) Rinitis Sifilis (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Penyebab penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis

sifilis adalah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan

sekunder gejalanya serupa dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat

terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat

ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan

dapat mengakibatkan perforasi septum.

Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau

dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis

pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.

k) Post Nasal Drip(Smucny, 2003)

Post nasal drip adalah penyebab paling umum dan paling sering dari

batuk kronis, berkisar 8-87 persen dari pasien dengan batuk kronis. Hal ini

dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk rinitis alergi, rinitis non

alergik, sinusitis bakteri atau jamur kronis, dan rinitis medikamentosa (dari

dekongestan hidung atau kokain). Postnasal drip juga dapat bertahan dalam

(40)

commit to user

dengan postnasal drip biasanya mengeluh hidung tersumbat dan/atau

discharge, dan sensasi dari sesuatu (seperti menggelitik) di tenggorokan.

Waktu dan kualitas batuk itu sendiri tidak membedakan postnasal drip dari

penyebab lain batuk kronis. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan

drainase hidung dan atau mukosa abnormal, drainase faring, dan

cobblestoning. Setelah telah ditetapkan bahwa batuk adalah karena postnasal

drip dapat ditentukan melalui tes tambahan, seperti pencitraan sinus dan

pengujian alergi.

3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Alsagaff dan Mukty, 2005)

ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang

disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau

disertai radang parenkim paru.

ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi

tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain. Lebih dari 50 %

dari absensi atau dari semua angka tidak masuk kerja/sekolah disebabkan

penyakit ini. Angka kekerapan kejadian ISPA, tertinggi pada

kelompok-kelompok tertutup di masyarakat, misalnya penghuni asrama, kesatrian, sekolah,

atau sekolah yang juga menyelenggarakan pemondokan. Di negara barat, kasus

ini banyak dijumpai pada karyawan dan murid sekolah pada musim dingin, awal

(41)

commit to user

ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteria, maupun riketsia, sedangkan

infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebabkan oleh virus,

terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai

keradangan parenkim.

a. ISPA yang disebabkan virus

Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah

dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan

gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus

bersama-bersama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama.

Dalam klinik dikenal enam kelompok besar virus pernapasan sebagai

penyebab ISPA, yaitu Orthomyxovirus, Paramyxovirus, Metamyxovirus,

Adenovirus,Piconarvirus, Coronavirus.

Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri

tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri

retrosternaldan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai

malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan

insomnia.Kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung

lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.

Di klinik dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan virus,

(42)

commit to user

1) Sindroma Koriza

Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung,

bersin-bersin, hidung buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan

konjungtivitis ringan.

2) Sindroma Faring

Gambaran klinik yang menonjol adalah suara serak dan nyeri

tenggorok dengan derajat ringan sampai berat. Terdapat keradangan faring

dan pembesaran adenoid serta tonsil, kadang-kadang adenoid sangat besar

sehingga menimbulkan obstruksi pada hidung. Sering dijumpai penderita

dengan batuk-batuk tanpa disertai koriza.

3) Sindroma Faringkonjungtiva

Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti

dengan konjungtivitis yang sering kali bilateral. Dapat pula dimulai

dengan konjungtivitis yang berlangsung 1-2 minggu sebelum gejala

faringitis itu sendiri. Pada sindroma faringokonjungtiva didapatkan

fotofopi dan nyeri pada bola mata.

4) Sindroma Influenza

Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan

fisik cukup berat,dengan gejala batuk, meriang, panas badan, lemah badan,

nyeri kepala. Nyeri tenggorok, nyeri retrosternal, nyeri seluruh tubuh,

(43)

commit to user

5) Sindroma Herpangina

Gambaran klinik berupa vesikel-vesikel yang terdapat di dalam

mulut dan faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi

yang membengkak, disertai nyeri tenggorokan,nyeri kepala, dan panas

badan.

6) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut

Gambaran klinik tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak

napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan

sistemik lain.

Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma koriza, kemudian

dengan cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan

penarikan-penarikan sela antariga toraks bagian bawah serta penggunaan

otot-otot napas bantu secara menonjol.

b.ISPA yang disebabkan oleh Micoplasma Pneumonia

Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi

dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinik berupa nasofaringitis,

bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula dilaporkan ada

infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia, Neiseria kataralis, dan

Haemophilus influenza.

(44)

commit to user

Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung.

Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang ornitosis

banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi terjadi melalui

pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau melalui gigitan.

Gejala klinik bervariasi, dari gejala ringan pada saluran napas sampai

pada keadaan yang lebih berat berupa pneumonia.

d.Demam Q (Demam Queensland)

Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinik yang

menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa penyulit radang

(45)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan di atas, maka

diperoleh kerangka teori sebagai berikut:

Faktor Risiko Rinitis :

1. Alergen

2. Obat topikal nasal

3. Infeksi (bakteri, virus, jamur)

4. Perubahan suhu dan kelembapan

5. Asap

6. Stress

Rinitis Berulang

Post Nasal Drip

IgA menurun

Inflamasi di Bronkus

Bronkitis Kronik Bronkitis Akut

(46)

commit to user

C. Hipotesis

Terdapat hubungan bermakna antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis

(47)
(48)

commit to user

38

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

pendekatan Case Control.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik Penyakit

THT RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan April- Mei 2011.

C. Subjek Penelitian

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien usia 18-87 tahun

b. Laki-laki dan perempuan

(49)

commit to user

d. Pasien yang mengidap penyakit bronkitis kronik yang dibuktikan dengan

diagnosis dari dokter spesialis Paru di Poliklinik Penyakit Paru dan

Poliklinik Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai

kelompok kasus).

e. Pasien yang mengidap ISPA di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik

Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai kelompok

kontrol).

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang menderita penyakit asma, bronkiektasis, dan tuberkulosis,

dan lain-lain.

b. Pasien yang sudah lama bronkitis kroniknya tidak kambuh.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu memilih

(50)

commit to user

Analisis Data

E. Estimasi Besar Sampel

Besar sampel ditentukan dengan rumus Rule of Thumbs. Dari rumus

tersebut didapatkan besar sampel sebesar 30 orang (Murti, 2010). Tiap-tiap

kelompok (kasus dan kontrol) masing-masing sampel adalah sebesar 30 orang.

F. Rancangan Penelitian

G. Instrumen Penelitian

(51)

commit to user H. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Riwayat Rinitis Berulang, ISPA

2. Variabel Terikat : Bronkitis Kronik

3. Variabel Luar

a. Terkendali : Usia

Jenis kelamin

b. Tidak terkendali : Faktor Lingkungan

Sosial ekonomi

Penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,

penurunan imunitas tubuh, dan lain-lain

I. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Riwayat Rinitis Berulang

Yang dimaksud rinitis adalah radang dari membran mukus yang membatasi

hidung, dimana terdapat hidung buntu, rhinorrhea, bersin, gatal di hidung.

Sedangkan yang dimaksud riwayat rinitis berulang adalah riwayat

seseorang menderita rinitis sebanyak lebih dari 4 kali dalam jangka waktu

setahun.

Skala Pengukuran : Nominal

Sumber data : Data primer dari pasien yang memeriksakan diri di

(52)

commit to user

b. Bronkitis Kronik

Yang dimaksud bronkitis kronik adalah satu jenis penyakit paru obstruktif

kronik yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih

dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejalanya antara lain sesak napas

yang menjadi keluhan utama, sering disertai batuk, mengi, dahak, serta

infeksi saluran napas berulang. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan

gambaran tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar

dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.

Skala Pengukuran : Nominal

Sumber data : Data Primer dari pasien yang memeriksakan diri di Poliklinik

Penyakit Paru RSUD dr. Moewardi Surakarta.

c. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Yang dimaksud ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun

bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri maupun virus,

tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru.

J. Cara Kerja

Setelah usulan penelitian disetujui, dilakukan pengumpulan data

responden menggunakan kuesioner selama bulan April 2011 sampai Mei 2011.

(53)

commit to user K. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji X2

dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 dan dicari Odds Ratio.

Format Tabel Odds Ratio

Bronkitis Kronik (+) Bronkitis Kronik (-)

Rinitis (+) a b

Rinitis (-) c d

Total a+c b+d

OR = (a / c)

(b / d)

= ad/bc

H0 = Tidak ada hubungan antara bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang

H1 = Ada hubungan antara bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang

Pengambilan keputusan didasarkan pada Uji X2, yaitu :

Jika p ≥ 0,05, maka H1 ditolak

(54)

commit to user

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poli Paru dan Poli THT RSUD

Dr.Moewardi Surakarta sejak tanggal 12 April 2011 sampai dengan 23 Mei

2011 didapatkan pasien bronkitis kronik sebanyak 30 orang dan pasien ISPA

sebanyak 30 orang. Adapun syarat untuk pemilihan sampel telah disesuaikan

dengan kemampuan dan tujuan dalam penelitian ini pada bab sebelumnya.

Berikut ini adalah hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel

yang terdiri atas beberapa karakteristik dari sampel.

a. Karakteristik Sampel Penelitian

Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin

Jenis

Kelamin

Bronkitis Kronik ISPA Jumlah

Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %

Laki-Laki 15 50.0 11 36.7 26 43.3

Perempuan 15 50.0 19 63.3 34 56.7

Jumlah 30 100.0 30 100.0 60 100.0

(55)

commit to user

Gambar 1. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasakan Jenis Kelamin

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa pasien bronkitis kronik yang

memeriksakan diri ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama penelitian baik

laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki frekuensi yang sama.

Sedangkan untuk pasien ISPA, yang terbanyak adalah perempuan (63.33

(56)

commit to user

Tabel 2. Distribusi berdasarkan umur

Umur Bronkitis Kronik ISPA Jumlah

Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %

18-27 2 6,7 5 16,7 7 11,7

28-37 1 3,3 6 20,0 7 11,7

38-47 3 10,0 6 20,0 9 15,0

48-57 7 23,3 4 13,3 11 18,3

58-67 8 26,7 7 23,3 15 25,0

68-77 6 20,0 2 6,7 8 13,3

78-87 3 10,0 0 0,0 3 5,0

Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0

Sumber : Data Primer 2011

(57)

commit to user

Tabel 3. Karakteristik Bronkitis Kronik

Karakteristik Bronkitis Kronik

Frekuensi %

Memeriksakan diri ke dokter/rumah sakit

Sering 26 86,7

Penyakit pernapasan lain 17 56,7

Dingin 5 16,7

Kelelahan 6 20,0

Debu 4 13,3

(58)

commit to user

Tabel 4. Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik

riwayat

rinitis

hidung

buntu

meler

bersin-bersin

hidung

gatal

Ya 24 15 17 20 6

Tidak 6 15 13 10 24

Total 30 30 30 30 30

Sumber : Data Primer 2011

Gambar 3. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik

Dari tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari empat kategori riwayat

(59)

commit to user

hidung gatal) , riwayat rinitis pada pasien bronkitis kronik diurutkan dari

yang paling sering muncul hingga yang paling jarang muncul adalah

bersin-bersin (63 %), hidung meler (57 %), hidung buntu (50 %), dan hidung gatal

(20 %).

(60)

commit to user

Tabel 5. Karakteristik Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik

Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal

(61)

commit to user

Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Hidung Buntu

Satu sisi 8 53,3

Bergantian kiri-kanan 6 75,0

Tidak Bergantian 2 25,0

Satu dan dua sisi 3 20,0

Bergantian kiri-kanan 2 66,7

Tidak Bergantian 1 33,3

Jernih/ tidak berwarna 16 94,1

Kuning 1 5,9

(62)

commit to user

Tabel 6. Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA

riwayat

rhinitis

hidung

buntu

meler

bersin-bersin

hidung

gatal

Ya 22 13 19 17 9

Tidak 8 17 11 13 21

Total 30 30 30 30 30

Sumber : Data Primer 2011

(63)

commit to user

Tabel 7. Karakteristik Riwayat Rinitis pada ISPA

(64)

commit to user

Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Hidung Buntu

Satu sisi 9 69,2

Bergantian kiri-kanan 5 55,6

Tidak Bergantian 4 44,4

Satu dan dua sisi 0 0,0

Bergantian kiri-kanan 0 0,0

Tidak Bergantian 0 0,0

Jernih/ tidak berwarna 18 94,7

Kuning 1 5,3

(65)

commit to user b. Analisis Statistik

Tabel 8. Distribusi Riwayat Rinitis Berulang

Bronkitis Kronik (+) Bronkitis Kronik (-)

Rinitis (+) 24 80.00% 22 73.33%

Rinitis (-) 6 20.00% 8 26.67%

Total 30 100.00% 30 100.00%

Sumber : Data Primer 2011

Odds Ratio = (a / c)

(b / d)

= ad / bc

= (24 x 8) / (22 x 6)

= 192 / 132

= 1,4545

= 1,5

Population Atributable Risk

(PAR) = p ( r - 1 )

p ( r – 1) + 1

= 24,4 (1,5-1)

24,4 (1,5-1) + 1

(66)

commit to user

Keterangan :

p = proporsi subjek yang terpajan pada populasi → (a + b)

( a + b + c + d)

= 24,4

r = Odds Ratio

= 1,5

Dari tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa dari 30 pasien bronkitis

kronik, 24 di antaranya memiliki riwayat rinitis berulang (80 %). Sedangkan

dari 30 pasien ISPA, 22 di antaranya memiliki riwayat rinitis berulang

(73.33 %).

Hasil perhitung odds ratio berdasarkan tabel 8 didapatkan OR

sebanyak 1.5, artinya orang yang memiliki riwayat rinitis berulang

berpeluang satu setengah kali lebih besar untuk memiliki penyakit bronkitis

kronik dibandingkan dengan orang tanpa riwayat rinitis berulang.

Hasil perhitungan PAR didapatkan hasil 0.92 yang artinya besar

proporsi kasus dalam populasi total yang dapat dicegah bila faktor risiko

dihilangkan adalah sebanyak 0,92

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji X2dengan

(67)

commit to user Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

Pearson Chi-Square .373a 1 .542

Continuity Correctionb .093 1 .760

Likelihood Ratio .374 1 .541

Fisher's Exact Test .761 .381

Linear-by-Linear Association .366 1 .545

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value Approx. Sig.

Nominal by Nominal Contingency Coefficient .079 .542

(68)

commit to user Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for PENYAKIT (bronkitis / ISPA)

1.455 .435 4.860

For cohort riwayat rhinitis = ya 1.091 .824 1.444

For cohort riwayat rhinitis = tidak

.750 .296 1.900

N of Valid Cases 60

Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate

Estimate 1.455

ln(Estimate) .375

Std. Error of ln(Estimate) .615

Asymp. Sig. (2-sided) .543

Asymp. 95% Confidence Interval

Common Odds Ratio Lower Bound .435

Upper Bound 4.860

ln(Common Odds Ratio) Lower Bound -.832

Upper Bound 1.581

Gambar

Tabel 1.   Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin .........................................................................
Gambar 4.
Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin
Gambar 1. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasakan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan dengan penulisan ini adalah Harni Eka Putri B menekankan pada tinjauan yuridis tindak pidana pemalsuan surat, sedangkan penulisan ini mengenai penegakan hukum

[r]

Hasil analisis terhadap variabel intensitas kontak menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara etika batuk dengan keberadaan tersangka tuberkulosis paru di

In relation to this research, the agency model developed by the principal-agent theory is the appropriate model to describe the phenomenon of unethical behavior and tendency

Penelitian berjudul “ Optimalisasi Integrasi Kebijakan Penggunaan Sarana Penal Dan Non Penal Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkoba Oleh Kepolisian Resor Demak

Hitung peluang terjadinya munculnya angka 5 pada dadu atau kejadian munculnya head pada pelemparan koin. • Ekperimen pelemparan dua

dengan desinfektan baik sebelum masuk maupun keluar lokasi peternakan, pembatasan secara ketat keluar masuk orang dan kendaraan dari dan ke lokasi peternakan,

15 Penelitian Stroud et al (1994) menunjukkan setiap gigi geligi laki-laki mempunyai diameter mesiodistal yang lebih besar dibandingkan.. dengan perempuan akibat