commit to user
SEBAGAI FAKTOR RISIKO
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Elsa Rosalina
G0008090
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
commit to user
iv
ABSTRAK
Elsa Rosalina. G0008090, 2011, Hubungan antara Bronkitis Kronik dengan Riwayat Rinitis
Berulang sebagai Faktor Risiko., Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Tujuan Penelitian : untuk mengetahui adanya hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control. Dilakukan terhadap 60 responden, yaitu 30 kasus bronkitis kronik positif sebagai kelompok kasus dan 30 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan mulai dari bulan April sampai dengan Mei 2011 dengan menggunakan data primer dari kuesioner.
Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 24 responden
memiliki riwayat rinitis berulang dan 6 responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Sedangkan pada kelompok kontrol, 22 responden memiliki riwayat rinitis berulang dan 8 responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Berdasarkan analisis statistik dengan X2 dengan taraf signifikansi (p) < 0,05 didapatkan hasil p = 0,542 serta dari tabel Odds Ratio didapatkan OR = 1,5 dan Interval Kepercayaan (IK) = 0,5 – 4,9.
Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.
commit to user
v
ABSTRACT
Elsa Rosalina. G0008090, 2011, The Correlation between Chronic Bronchitis and the History of
Recurrent Rhinitis as a Risk Factor., Faculty of Medicine, Sebelas Maret University.
Objective : The purpose of this studywas to analyze the correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.
Method : This was an observational analytic study with case control approach. Conducted on 60 respondents, were 30 cases of positive chronic bronchitis as the case group, and 30 cases of ARI (Acute Respiratory Infection) as a control group. The data was collected from April to May 2011 by using primary data from questionnaires.
Result: In this study the data obtained from the cases group, 24 respondents had a history of recurrent rhinitis and 6 respondents did not have a history of recurrent rhinitis. Whereas in the control group, 22 respondents had a history of recurrent rhinitis and 8 respondents did not have history of recurrent rhinitis. Based on statistical analysis by X2 with a significance level (p) <0.05, p = 0.542 is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 1.5 and Confidence Intervals (CI) = 0.5 - 4.9.
Conclusion : From this study it can be concluded that there was no correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.
commit to user
vi
Segala puji syukur peneliti panjatkan ke haridat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul “ Hubungan antara Bronkitis Kronik dengan Riwayat Rinitis Berulang sebagai Faktor Risiko”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Reviono, dr., Sp.P (K), selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi.
4. Vicky Eko Nurcahyo Hariadi, dr., Sp.THT-KL., M.Sc., selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang beliau luangkan bagi penulis.
5. Yusup Subagio S, dr.,Sp.P (K)., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan saran, bimbingan, nasihat untuk menyempurnakan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
6. Novi Primadewi, dr., Sp.THT-KL., M.Kes, selaku anggota penguji atas segala bimbingan, saran, nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
7. Budi Subagijo, dr. dan Sri Wulandyah Widayati, selaku orang tua serta Dhany Saputra, S.Kom., M.Sc dan Nila Permatasari S.T selaku kakak dari penulis yang telah memberikan doa, memfasilitasi, dan memotivasi penulis dengan penuh kasih sayang.
8. Seluruh Staf SMF Paru dan SMF THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan.
9. Residen PPDS Paru dan Perawat di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta serta Residen PPDS THT-KL dan Perawat di Poliklinik THT RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data.
10.Seluruh Staf Dinas Kesehatan Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan,
11.Seluruh Staf Klinik Pengobatan Fosmil Surakarta atas segala bantuannya yang telah diberikan.
12.Tim Skripsi, Perpustakaan FK UNS yang banyak membantu dalam penyelesaian skripsi dan sebagai salah satu tempat untuk mencari referensi.
13.Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Surakarta, Juli 2011
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Bronkitis ... 5
a. Bronkitis Akut ... 5
b. Bronkitis Kronik ... 7
c. Bronkitis Eosinofilik ... 13
2. Rinitis ... 14
a. Rinitis Alergi ... 14
b. Rinitis Vasomotor ... 17
c. Rinitis Medikamentosa ... 21
d. Rinitis Simpleks ... 23
e. Rinitis Hipertrofi ... 26
f. Rinitis Atrofi ... 26
g. Rinitis Difteri ... 28
h. Rinitis Jamur ... 29
i. Rinitis Tuberkulosa ... 29
j. Rinitis Sifilis ... 30
k. Post Nasal Drip ... 30
commit to user
viii
a. ISPA yang disebabkan virus ... 32
b. ISPA yang disebabkan oleh Micoplasma Pneumonia ... 34
c. Psitakosis-Ornitosis ... 34
d. Demam Q (Demam Queensland) ... 35
B. Kerangka Pemikiran... 36
C. Hipotesis ... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38
B. Lokasi Penelitian ... 38
C. Subjek Penelitian ... 38
D. Teknik Sampling ... 39
E. Estimasi Besar Sampel ... 40
F. Rancangan Penelitian ... 40
G. Instrumen Penelitian ... 40
H. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
I. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41
J. Cara Kerja ... 42
K. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 44
A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 44
B. Analisis Statistik ... 55
BAB V. PEMBAHASAN ... 60
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 68
A. Simpulan ... 68
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Umur ... 46
Tabel 3. Karakteristik Bronkitis Kronik ... 47
Tabel 4. Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 48
Tabel 5. Karakteristik Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 50
Tabel 6. Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA ... 52
Tabel 7. Karakteristik Riwayat Rinitis pada ISPA ... 53
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasakan Jenis Kelamin ... 45
Gambar 2. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasarkan Umur ... 46
Gambar 3. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ... 48
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 4. Data Hasil Penelitian
Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Chi Square
Lampiran 6. Kuesioner Bronkitis
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bronkitis adalah radang dari selaput lendir bronkus, yaitu saluran pernapasan
yang membawa aliran udara dari trakea ke paru. Bronkitis berbahaya bagi kesehatan
di seluruh dunia. Bronkitis dibagi menjadi dua berdasarkan onset, yaitu bronkitis
akut dan kronik (Enright, 2005).
Bronkitis akut ini terjadi pada sekitar 5 % orang dewasa, dan tingkat
kejadi-annya meningkat pada musim dingin dan musim gugur dibandingkan dengan
mu-sim panas dan mumu-sim semi. Di Amerika, bronkitis akut merupakan penyakit paling
sering peringkat ke sembilan pada pasien rawat jalan. Virus dipandang sebagai
penyebab paling sering. Sebuah studi di Perancis menunjukkan bahwa dari 164
kasus bronkitis akut, 37 % disebabkan oleh virus, 21 % di antaranya adalah
rhinovirus. Sedangkan peran dari bakteri sebagai penyebab bronkitis akut masih
belum jelas, karena biopsi bronkus tidak menunjukkan invasi bakteri. Beberapa data
menunjukkan Bordetella pertussis sebagai penyebab sebanyak 13-32 % dari kasus
batuk yang bertahan 6 hari atau lebih, dan hanya 1 % sebagai penyebab bronkitis
akut. Dalam sebuah studi, 34 % pasien bronkitis akut akan terdiagnosis bronkitis
commit to user
terdiagnosis pada 65 % pasien dengan bronkitis akut kambuhan (Wenzel dan
Fowler, 2006).
Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Di Inggris, COPD
terdiagnosis pada 4 % pria dan 2 % wanita pada usia diatas 45 tahun, dan 6 % pria
dan 4 % wanita meninggal akibat COPD. Di Negara ini pula, COPD merupakan
penyebab kematian paling sering ketiga, dan satu-satunya penyebab kematian yang
terus meningkat tiap tahunnya. Menurut the Global Burden of Disease Study, COPD
adalah penyebab kematian tersering keenam di dunia pada tahun 1990 dan akan
naik ke peringkat ketiga pada tahun 2020 (Hanzel, 2004). Dan di Amerika, 20 %
penduduk dewasa mengidap COPD, dan COPD merupakan penyebab kematian
tersering keempat (Hunter dan King, 2003).
Penyakit saluran pernapasan bawah sering dikaitkan dengan penyakit pada
saluran pernapasan atas, seperti antara asma bronkial dengan rinitis alergika
(Lundbland, 2002) dan common cold yang bergerak dari penyakit infeksi
pernapasan atas ke penyakit infeksi pernapasan bawah atau pneumonia (Fahey,
2005). Hubungan asma dengan rinitis, antara lain oleh ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) sudah dibuktikan bahwa rinitis alergi merupakan faktor risiko
terjadinya asma dan kebanyakan pasien asma juga memiliki rinitis (Cruz et al,
2007; Togias, 2003), oleh The Copenhagen Allergy Study telah dibuktikan 100
persen dari subjek dengan asma alergi terhadap serbuk sari juga memiliki rinitis
alergi terhadap serbuk sari, begitu juga dengan asma alergi terhadap binatang dan
commit to user
persentase 89 dan 95 (Linneberg et al, 2002), dan studi di Perancis yang
membuktikan hubungan kuat antara asma dengan rinitis pada anak (Chiron et al,
2010). Selain rokok dan polusi, bronkitis juga sering dikaitkan dengan radang pada
saluran pernapasan atas. Penyakit pada sinus, seperti sinusitis, diyakini memiliki
pengaruh terhadap bronkitis (Nurjihad, Yunus, 2001; Kim dan Rubin, 2007). Selain
sinusitis, bronkitis juga diduga memiliki hubungan dengan penyakit-penyakit
pernapasan atas, misalnya rinitis, yaitu melalui postnasal drip. Namun masih
banyak kontroversi mengenai hal ini, antara lain karena masih tidak jelasnya
bronkitis itu sendiri, kurangnya penelitian mendasar mengenai hubungan postnasal
drip dengan bronkitis, dan tumpang tindih antara bronkitis dengan asma
berhubungan dengan postnasal drip ini. Diagnosis bronkitis sering ditegakkan
dalam praktek sehari-hari, sehingga seharusnya bronkitis dapat dibedakan dan
ditetapkan dengan mudah. Namun manifestasi utama dari penyakit ini adalah batuk,
yang bukan merupakan gejala spesifik (Naning et al, 2008), sehingga sering kali
diagnosis bronkitis ditegakkan apabila tidak ditemukan gejala dan tanda yang
mengarah ke penyakit lain .
Maka dari itu, berdasarkan data-data di atas, penulis tertarik untuk
meneliti hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai
commit to user B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara
bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara
bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek teoritis
Menambah pengetahuan bagi peneliti dan klinisi tentang hubungan
bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang.
2. Aspek praktis
Memberikan tambahan informasi mengenai hubungan bronkitis kronik
dan rinitis sehingga dapat membantu penegakan diagnosis dengan benar dan
commit to user
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Bronkitis
Istilah bronkitis mengacu pada radang di bronkus (jalur pernapasan yang
berukuran medium atau lebar dalam paru) (Stauffer, 2010).
a. Bronkitis Akut
1) Definisi
Bronkitis akut adalah penyakit traktus respiratori yang sering
dijumpai, yang ditandai oleh batuk yang mengalami perkembangan,
dengan atau tanpa produksi sputum. Gejala umum lainnya antara lain sakit
tenggorokan, hidung berair, hidung buntu, demam ringan, radang pleura,
dan malaise. Bronkitis akut sering terjadi selama dalam keadaan penyakit
yang diakibatkan oleh virus, seperti pilek atau influenza. Kebanyakan
kasus bronkitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri dalam
beberapa minggu, sehingga pemakaian antibiotik tidak dianjurkan.
commit to user
gram dari sputum menunjukkan bakteri dalam jumlah cukup banyak
(Buhagiar, 2009).
2) Epidemiologi
Di Amerika Serikat, batuk merupakan gejala yang paling umum
dari pasien yang berkunjung ke dokter, dan bronkitis akut adalah diagnosis
yang paling sering diberikan. Setiap tahun dilaporkan bronkitis akut
sampai dengan 5 % dari populasi umum. Sebagian besar pasien
mendatangi dokter, dan ini menyumbang lebih dari 10 juta kunjungan
dokter per tahun. 10 dari 1000 orang dengan bronkitis akut melakukan
rawat jalan per tahunnya. Alasan utama untuk mencari dokter adalah untuk
meringankan gejala, dan salah satu survei pada orang dewasa
menunjukkan bahwa 66 % nya melakukan pada minggu pertama sakit, dan
88 % melakukannya dalam waktu 2 minggu (Braman, 2006).
3) Etiologi
Virus merupakan penyebab terbesar dari bronkitis akut, sekitar 85
sampai 95 persen. Virus yang paling sering adalah rhinovirus, adenovirus,
influenza A dan B, dan parainfluenza virus. Sedangkan bakteri umumnya
bakteri komensal yang terisolasi dari orofaring. Bakteri yang sering adalah
Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae,Moraxella catarrhalis, dan Bordetella (Worrall, 2008).
commit to user
Dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan
diagnosis apabila didapatkan tanda dan gejala sebagai berikut :
a) Demam lebih dari 100,4°F atau 38°C (Orang-orang di atas usia 75
tahun tidak selalu menunjukkan gejala demam)
b) Batuk lebih dari 10 hari
c) Nyeri dada ketika batuk, susah bernapas, atau batuk darah
d) Batuk menyalak yang membuat pasien susah bernapas, terlebih jika
batuk itu tidak hilang-hilang.
e) Batuk yang disertai penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
Kebanyakan orang yang menderita batuk yang tidak
sembuh-sembuh setelah infeksi saluran napas bagian atas, biasanya tidak
membutuhkan tes diagnostik seperti x-ray, kultur, dan tes darah. Tetapi,
tes direkomendasikan apabila hasil diagnosis berdasarkan pemeriksaan
tidak begitu jelas, atau jika dicurigai adanya kondisi lain, seperti
pneumonia.
b. Bronkitis Kronik
1) Definisi
Bronkitis kronik adalah salah satu jenis penyakit paru obstruktif
kronik, yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih
dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejala lain meliputi wheezing
commit to user
Batuk sering bertambah parah saat bangun dari tidur, sputum mungkin
berwarna kuning atau hijau, dan mungkin disertai garis darah (Kuschner et
al, 2009; Bobadilla et al, 2002).
2) Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut (Sutoyo, 2009; Anzueto, Schaberg,
2003; Pillete et al., 2001).
Penderita dengan bronkitis kronik mengalami eksaserbasi yang
cukup sering tiap tahunnya, terutama saat musim penghujan atau musim
dingin pada negara dengan 4 musim. Penyebab tersering dari eksaserbasi
adalah infeksi virus pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya
seperti polusi lingkungan, gagal jantung kongestif, emboli paru, pemberian
oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan lain-lain. Proses
yang kompleks merupakan kombinasi berbagai mekanisme yang
bertanggung jawab atas terjadinya bronkitis kronik. Efek kombinasi
tersebut menghasilkan kolonisasi bakteri dan infeksi kronik yang
berkontribusi terhadap kejadian eksaserbasi dan kerusakan mekanisme
pertahanan paru yang berakibat memudahkan terjadinya eksaserbasi dan
demikian seterusnya.
Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronik (rokok,
polusi udara, infeksi berulang) menimbulkan kondisi inflamasi pada
bronkus. Inflamasi ini melibatkan berbagai sel, mediator, dan
commit to user
lumen jalan napas dan parenkim paru pada cairan bronkoaveolar (BAL),
teraktivasi. Aktivasi makrofag menghasilkan TNF- dan berbagai mediator
inflamasi lainnya serta protease sebagai respon terhadap asap rokok dan
polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian bersifat kemokin dan
bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil.
Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrophil juga berperan pada
mekanisme ini sehingga terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin,
granzyme-B, TNF-X oleh limfosit T dan IL-8, LTB4, GM-CSF oleh
neutrofil) yang saling berinteraksi dan menimbulkan proses inflamasi
kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat pada penderita bronkitis
kronik dan akan semakin meningkat pada saat eksaserbasi akut. Neutrofil
mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang merupakan mediator yang
poten untuk merangsang produksi mukus sehingga terlibat dalam
hipersekresi mukus yang kronik.
Selain mekanisme di atas, juga dilibatkan imunoglobulin (Ig) A
sekretori yang berfungsi sebagai barier pada epitel saluran napas yang
mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa. Asap rokok/polusi udara
melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara lain melalui
pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Imunoglobulin yang
mengakibatkan penurunan produksi komponen IgA sekretori dan
melemahkan transport komponen sekretori yang mengakibatkan
rendahnya kadar IgA dalam lumen saluran napas.Hal ini menyebabkan
commit to user
kolonisasi bakteri menimbulkan refluks neutrofil dan degradasi IgAs oleh
neutrofil maupun oleh produk-produk bakteri. Hal ini menimbulkan
inflamasi, semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan
infeksi kronik meningkatkan jumlah neutrofil dan seterusnya
Murphy and Sethi mengemukakan hipotesis Vicious circle pada
bronkitis kronik dengan mengungkapkan kerusakan jalan napas akibat
infeksi kronik dan kolonisasi bakteri adalah melalui penglepasan mediator
inflamasi yang terus menerus. Kondisi tersebut melemahkan pertahanan
paru dan menyebabkan infeksi persisten sehingga mengakibatkan
inflamasi kronik dengan konsekuensi penurunan fungsi paru secara
progresif. Kondisi ini seperti lingkaran setan atau lingkaran yang tak jelas
ujung pangkalnya.
3) Epidemiologi (Alsagaff dan Mukty, 2005)
a) Distribusi dan insidensi
Insidensi dari bronkitis di negara-negara industri menunjukkan
peningkatan. Peningkatan ini mungkin berkaitan dengan polusi udara.
b) Jenis kelamin
Bronkitis lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada wanita,
commit to user
c) Umur
Insidensi di Belanda ialah 10-15 persen pria dewasa, 5 persen wanita
dewasa, dan 5 persen anak-anak.
d) Pekerjaan
Bronkitis lebih menyebar pada pekerja yang terekspos udara berasap
dan berdebu. Hal ini berkaitan erat dengan faktor alergi dan
hiperreaktifitas bronkus.
4) Etiologi (Wilson, 2005)
a) Polusi udara
Eksaserbasi dari bronkitis terjadi berlipat-lipat ketika udara tercemar
oleh asap dalam jumlah tinggi.
b) Rokok
Merokok dapat merusak pohon bronkus dan merupakan salah satu
faktor etiologi yang bertanggung jawab atas bronkitis kronik.
c) Infeksi
Infeksi adalah penyebab utama dari eksaserbasi akut dari bronkitis
kronik. Dari sebuah studi di Hong Kong, pada biakan sputum pasien
eksaserbasi akut bronkitis kronik positif ditemukan Haemophilus
influenzae sebesar 13 %, Pseudomonas aeruginosa 6 %, dan
Streptococcus pneumoniae 5,5 %. Obstruksi aliran udara yang lebih
parah dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi untuk
commit to user
5) Diagnosis (Alsagaff dan Mukty, 2005)
Menurut American Thoracic Society, diagnosisnya adalah sebagai
berikut:
a) Anamnesis
Anamnesis ulang pada waktu penderita kembali memeriksakan diri,
amat bermanfaat untuk menilai progesivitas penyakit dan respons
pengobatan. Sesak napas yang menjadi keluhan utama, sering disertai
batuk, mengi, dahak, serta infeksi saluran napas berulang.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan tanda-tanda : Hiperinflamasi
paru, penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara
napas yang abnormal.
c) Pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan x-foto thoraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun
perlu ditekankan bahwa korelasi kelainan foto toraks dengan gradasi
obstruksi jalan napas tidak besar. Pada foto toraks nampak gambaran
tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari
hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan tidak dibutuhkan.
d) Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan utama adalah FEV1 dan rasio FEV1/FVC, walau masih
commit to user
tes-tes ini dapat menambah informasi yang berarti selain yang telah
diungkapkan oleh pemeriksaan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.
e) Pemeriksaan Laboratorium
Analisis gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita
COPD dengan FEV1 kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten
dengan pembesaran ventrikel kanan. Eritrositosis sekunder yang
didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan keadaan
hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium lainnya
disesuaikan dengan keadaan.
c. Bronkitis Eosinofilik
Bronkitis eosinofilik adalah penyebab batuk kronik yang ditemukan
baru-baru ini, yang bertanggung jawab atas 10 sampai 15 persen kasus.
Pasien dengan penyakit ini mempunyai batuk kronik dengan sputum
bereosinofil (3 % eosinofil), tetapi tidak ada kelainan lain yang terlihat
bersama dengan asma. Secara spesifik, pasien ini tidak mempunyai gejala
obstruksi saluran napas, tes fungsi paru normal, dan tes respon terhadap
methacoline juga normal (Smucny, 2003).
Bronkitis eosinofilik sering ditemukan dengan gejala batuk kronis,
aliran napas yang terhalang, saluran napas yang hiperresponsif, dan bukti
commit to user
IgE total atau spesifik, hasil skin test positif. Selain itu juga diuji dengan
spirometri, kultur sputum, dan tes methacholine (Brightling, 2006).
2. Rinitis
Rinitis digambarkan sebagai radang dari membran mukus yang
membatasi hidung. Kondisi ini ditandai oleh hidung buntu, rhinorrhea, bersin,
gatal di hidung (Carek,Dickerson, 2003).
a. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Dan menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 definisi rinitis alergi adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorrhea, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
(Irawati Kasakeyan, Rusmono, 2007)
Rinitis alergi adalah masalah hidung paling sering di Amerika
Serikat, mengenai 1 dari 5 orang dewasa dan anak-anak. Onset dari rinitis
alergi secara khas pada masa kanak-kanak, remaja, dan awal masa dewasa.
Pada sebuah studi di Tuczon, Arizona, 42 % dari anak-anak yang dievaluasi
mempunyai rinitis alergi sejak usia enam tahun, tetapi onset dari gejalanya
commit to user
alergi berkembang sebelum usia 20 tahun. Sepanjang 10 tahun pertama
setelah onset, sekitar sepertiga atau bahkan meningkat hingga separuh orang
dewasa mengalami gejala yang memburuk (Carek,Dickerson, 2003).
1) Patofisiologi(Carek,Dickerson, 2003)
Rinitis alergi mungkin musiman atau tidak berkesudahan, dan
keduanya mungkin hadir dalam individu yang sama. Kedua tipe rinitis alergi
ini merupakan hasil reaksi yang diperantarai IgE dari mukosa nasal kepada
alergen.
Alergen musiman yang paling sering adalah serbuk sari. Serbuk sari
pohon-pohon banyak dilepaskan selama awal hingga pertengahan musim
semi. Sedangkan musim serbuk sari rerumputan yang paling tinggi adalah
pada akhir musim semi hingga awal musim panas, dan serbuk sari rumput liar
pada akhir musim kemarau hingga awal musim gugur.
Rinitis alergi yang tidak berkesudahan disebabkan oleh reaksi yang
diperantarai IgE terhadap alergen di lingkungan. Alergen-alergen ini
termasuk debu hama, ketombe binatang, dan jamur. Sebagai tambahan, kecoa
dan serangga-serangga lain, dan tanaman-tanaman lain yang dapat
mmproduksi alergen yang bertanggung jawab terhadap rinitis alergi yang
commit to user
2) Diagnosis (Carek,Dickerson, 2003)
a) Anamnesis
Anamnesis yang detil dan akurat penting untuk evaluasi awal
individu dengan rinitis alergi. Hasil anamnesis pasien harus dicatat,
dan ditanyakan apakah diri sendiri atau keluarga ada riwayat atopi
(rinitis alergi, asma, eksim atopi, dsb) selama masa kanak-kanak harus
ditemukan. Pertanyaan tentang gejala dan pola gejala, termasuk onset,
progres, tingkat keparahan, durasi, hubungan dengan musim, kegiatan
sehari-hari dan faktor-faktor yang memperburuk, harus ditanyakan.
Selain itu juga perlu ditanyakan tentang keberadaan peliharaan
dalam rumah, asap rokok atau polusi udara.
Gejala dari rinitis alergi meliputi bersin-bersin; gatal pada
hidung, mata, palatum, atau faring; hidung buntu dengan obstruksi
jalan napas sebagian atau seluruhnya; rhinorrhea, sering bersama
dengan pengeringan postnasal. Mata berair dan sakit ditambah dengan
discharge gelatinous konjungtiva di pagi hari dan perasaan tidak fit
seperti mudah tersinggung, lelah, dan depresi mungkin muncul selama
masa puncak gejala.
b) Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada hidung, mata,
commit to user
dengan rinitis alergi biasanya menunjukkan tanda pucat, bengkak,
radang mukosa nasal, clear rhinorrhea, sklera yang tersisip dengan
kelopak mata yang membengkak. Nasopharynx mungkin menunjukkan
discharge yang bersih sampai yang seperti krim dan hipertrofi limfoid.
Saluran napas atas bengkak dan kompresi vena-vena setempat dan
aliran limfe sering menimbulkan allergic shiners.
Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
hitung eosinofil dan total IgE, pemeriksaan sekret hidung untuk sel-sel
inflamasi, test kulit untuk mendeteksi IgE yaitu dengan test prick
epicutan dan tes intradermal, test radioallergosorbent untuk alternatif
test kulit. Selain itu dapat juga dengan fiber-optic nasal endoscopy,
rhinomanometry,CT scan atau MRI.
b.Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, β-Blocker,
aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan) (Papon et al,
2005).
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai
(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi kulit IgE spesifik serum)
commit to user
1) Etiologi dan Patofisiologi(Garay, 2004)
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa
hipotesis yang telah dikemukakan antara lain:
a) Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th
1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian
kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan
neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang
menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang
bergantian selama 2-4 jam. Keadaan ini yang disebut “siklus nasi”.
Dengan adanya siklus ini, seseorang akan tetap mampu bernapas
normal melalui rongga hidung yang berubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior
menuju ganglion sphenopalatina dan membentuk n.Vidianus,
kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter
asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti
hidung.
b) Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan
commit to user
hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti
dengan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin
gene-related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaaan ini menerangkan terjadinya
peningkatan respon pada hiperreaktifitas hidung.
c) Nitrik Oksida
Kadar Nitrik Oksida yang tinggi dan persisten di lapisan epitel
hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel,
sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke lapisan
sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigerminal
dan rekrutment refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
d) Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang
dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau
neuropeptida.
2) Gejala Klinik(Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum,
minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan
pemanas ruangan, perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan,
stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tersebut tidak dianggap
commit to user
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi,
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan
kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinorrhea yang
mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembap, asap rokok
dan sebagainya.
Berdasar gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam tiga
golongan, yaitu:
a) Golongan Bersin (Sneezer). Gejala biasanya memberikan respon yang
baik dengan antihistamin dan glukokortikosteroid topikal
b) Golongan Rinorrhea (Runners). Gejala dapat diatasi dengan pemberian
antikolinergik topikal
c) Golongan Tersumbat (Blockers). Kongesti umumnya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor oral.
3) Diagnosis (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat
obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya
commit to user
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak gambaran yang khas
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah
tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi.
Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada
golongan rinorrhea sekret yang akan ditemukan adalah serosa dan banyak
jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret
hidung, akan tetapi jumlahnya sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif.
Kadar IgE spesifik tidak meningkat.
c. Rinitis Medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa
gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama
dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (Lockey, 2006).
1) Patofisiologi (Ramey et al, 2006)
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap
commit to user
vasokonstriktor. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan
simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan
berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam
jangka waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang
(rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul gejala
obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering
dan lebih banyak lagi menggunakan obat tersebut. Pada keadaan ini
ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa hidung.
Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitifitas reseptor
alfa-adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas
dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti
mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan
mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound congestion.
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakain obat
tetes hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak. 2) sel goblet berubah
ukurannya, 3) membran basal menebal, 4)pembuluh darah melebar, 5)
stroma tampak edema, 6) hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH
sekret hidung, 7) lapisan submukosal menebal, dan 8) lapisan periostium
menebal. Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor
sebaiknya tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat
commit to user
2) Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair.
Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung
yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak
berkurang (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007).
d. Rinitis Simpleks ( Hueston, Mainous III, 2003)
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan
pada manusia. Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu.
Rinitis simpleks bisa terjadi sepanjang saluran pernapasan, dengan
peradangan dan keterlibatan permukaan mukosa hidung, sinus, tenggorokan,
telinga, dan paru. Banyak diagnosis rinitis simpleks yang gejalanya tumpang
tindih dengan gejala lain (misalnya, sinusitis akut dan rinitis simpleks; rinitis
simpleks dengan bronkitis akut). Respon peradangan terhadap patogen
menghasilkan bengkak, discharge, dan rasa nyeri.
1) Epidemiologi
Rinitis simpleks adalah penyakit menular yang sering ditemukan.
Orang dewasa biasanya memiliki 2-4 kejadian rinitis simpleks setiap
tahun, dan anak-anak di tempat penitipan memiliki sebanyak enam atau
tujuh kejadian. Meskipun rinitis simpleks ringan, cenderung membaik
dengan sendirinya, dan durasinya pendek, mereka adalah penyebab utama
commit to user
Transmisi patogen yang berkaitan dengan rinitis simpleks
biasanya terjadi melalui kontak dengan benda mati seperti bermain kartu
serta melalui tangan langsung ke tangan seperti berjabat tangan. Rinitis
simpleks memiliki variasi musim, di Amerika Serikat, terdapat
peningkatan prevalensi antara September dan Maret. Tidak jelas mengapa
variasi ini ada, meskipun mungkin terkait untuk meningkatkan kepadatan
populasi dalam ruangan pada bulan-bulan dingin. Suhu bukanlah kunci
dari variasi musiman tanpa kehadiran patogen.
2) Patofisiologi
Sebuah studi baru-baru ini menetapkan bahwa sebagian besar
rinitis simpleks disebabkan oleh virus. Rhinoviruses adalah jenis virus
yang paling sering, ditemukan pada 53 persen pasien. Coronaviruses
adalah penyebab kedua yang paling sering.
Infeksi yang disebabkan virus jarang cukup berat sehingga
memerlukan rawat inap. Namun, hal ini tidak benar untuk pasien dengan
masalah paru berat, di antaranya infeksi pernapasan yang disebabkan virus
dapat menghasilkan kompromi pernafasan akut yang memerlukan rawat
inap. Pasien dari populasi berpenghasilan rendah dengan penyakit paru
kronis berada pada risiko terbesar untuk kompromi berat terkait dengan
infeksi pernapasan virus.
Akhirnya, banyak dokter mengatakan kepada pasien bahwa pasien
commit to user
didasarkan pada faktor-faktor genetik berkaitan dengan pertahanan host
terhadap virus. Meskipun pertahanan yang paling rentan adalah antara usia
6 sampai 17 bulan, ketika menderita rinitis simpleks mungkin terjadi
kompromi dan dapat mengakibatkan komplikasi seperti otitis media.
3) Diagnosis
Rinitis simpleks sering diduga berdurasi pendek, tetapi gejala
sebenarnya bisa bertahan 12 sampai 14 hari. Dalam sebuah penelitian yang
mengamati efektivitas saline nasal spray untuk rinitis simpleks, Adam dan
rekan menemukan bahwa waktu median untuk pemulihan dari rinitis
simpleks tanpa komplikasi adalah 15,5 hari.
Nasal Discharge
Di awal perkembangan rinitis simpleks, nasal discharge jernih. Saat
peradangan lebih berkembang, discharge dapat menjadi berwarna.
Kuning, hijau, atau nasal discharge berwarna coklat-merupakan indikator
dari peradangan, bukan infeksi sekunder bakteri. Tidak adanya perubahan
warna discharge hidung tidak meningkatkan kemungkinan kemunculan
sinusitis, namun keadaan ini sendiri kurang dapat dijadikan sebagai
prediktor infeksi bakteri tanpa adanya tanda-tanda lain dari sinusitis.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan discharge
yang tidak berubah warna respon terhadap antibiotik lebih baik daripada
yang mereka merespon plasebo.
commit to user
menunjukkan infeksi yang lebih serius, pasien sering berpatokan pada
warna dischargenya. Pasien sering berpikir untuk pergi ke dokter saat
dischargenya berubah warna.
e. Rinitis Hipertrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa
hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses
inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi sekunder. Konka inferior dapat
juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakterial, misalnya sebagai
lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung
akibat hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan
gangguan tidur. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.
Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka
inferior. Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi.
Akibatnya pasase udara dalam rongga hidung menjadi sempit. Sekret
mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan septum dan juga
di dasar rongga hidung.
f) Rinitis Atrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung yang kronik, yang ditandai
commit to user
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering
ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan
sanitasi lingkungan yang buruk.
Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,
lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau
atrofi.
1) Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis atrofi
dikemukakan, antara lain 1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering
ditemukan adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman
lainnya yang juga sering ditemukan adalah Staphilococcus,
Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa. 2) Defisiensi Fe, 3)
Defisiensi vitamin A, 4) Sinusitis Kronik, 5) Kelainan hormonal, 6)
Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.
2) Gejala dan Tanda Klinis
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang
berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit
commit to user
Pada pemeriksaan hidung ditemukan rongga hidung sangat lapang,
konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen
dan krusta yang berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media,
pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi
komputer (CT scan) sinus paranasal.
g) Rinitis Difteri (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacteriium diphteriae, dapat
terjadi primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan
dalam keadaan akut atau kronik. Dugaan adanya rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi tidak lengkap. Penyakit
ini semakin jarang ditemui karena cakupan program imunisasi yang semakin
meningkat.
Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat
limfadenitis dan mungkin adanya paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada
ingus yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih
yang mudah berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga
hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala biasanya lebih
ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik,
masih dapat menulari. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
commit to user
h) Rinitis Jamur (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau
non-invasif. Rinitis jamur non-invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi
mukosa yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus
ball). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina
propia. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan
perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat
dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung atau kultur
jamur, misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen,
mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan
nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).
i) Rinitis Tuberkulosa (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra
pulmoner. Sering dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging
disease) yang berhubungan dengan kasus HIV AIDS, penyakit ini harus
diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau
ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan
commit to user
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen dan krusta,
sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan
dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datya Langerhans dan limfositosis.
j) Rinitis Sifilis (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)
Penyebab penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis
sifilis adalah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan
sekunder gejalanya serupa dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat
terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat
ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan
dapat mengakibatkan perforasi septum.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau
dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.
k) Post Nasal Drip(Smucny, 2003)
Post nasal drip adalah penyebab paling umum dan paling sering dari
batuk kronis, berkisar 8-87 persen dari pasien dengan batuk kronis. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk rinitis alergi, rinitis non
alergik, sinusitis bakteri atau jamur kronis, dan rinitis medikamentosa (dari
dekongestan hidung atau kokain). Postnasal drip juga dapat bertahan dalam
commit to user
dengan postnasal drip biasanya mengeluh hidung tersumbat dan/atau
discharge, dan sensasi dari sesuatu (seperti menggelitik) di tenggorokan.
Waktu dan kualitas batuk itu sendiri tidak membedakan postnasal drip dari
penyebab lain batuk kronis. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan
drainase hidung dan atau mukosa abnormal, drainase faring, dan
cobblestoning. Setelah telah ditetapkan bahwa batuk adalah karena postnasal
drip dapat ditentukan melalui tes tambahan, seperti pencitraan sinus dan
pengujian alergi.
3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Alsagaff dan Mukty, 2005)
ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau
disertai radang parenkim paru.
ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi
tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain. Lebih dari 50 %
dari absensi atau dari semua angka tidak masuk kerja/sekolah disebabkan
penyakit ini. Angka kekerapan kejadian ISPA, tertinggi pada
kelompok-kelompok tertutup di masyarakat, misalnya penghuni asrama, kesatrian, sekolah,
atau sekolah yang juga menyelenggarakan pemondokan. Di negara barat, kasus
ini banyak dijumpai pada karyawan dan murid sekolah pada musim dingin, awal
commit to user
ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteria, maupun riketsia, sedangkan
infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebabkan oleh virus,
terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai
keradangan parenkim.
a. ISPA yang disebabkan virus
Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah
dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan
gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus
bersama-bersama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama.
Dalam klinik dikenal enam kelompok besar virus pernapasan sebagai
penyebab ISPA, yaitu Orthomyxovirus, Paramyxovirus, Metamyxovirus,
Adenovirus,Piconarvirus, Coronavirus.
Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri
retrosternaldan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai
malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan
insomnia.Kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung
lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.
Di klinik dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan virus,
commit to user
1) Sindroma Koriza
Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung,
bersin-bersin, hidung buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan
konjungtivitis ringan.
2) Sindroma Faring
Gambaran klinik yang menonjol adalah suara serak dan nyeri
tenggorok dengan derajat ringan sampai berat. Terdapat keradangan faring
dan pembesaran adenoid serta tonsil, kadang-kadang adenoid sangat besar
sehingga menimbulkan obstruksi pada hidung. Sering dijumpai penderita
dengan batuk-batuk tanpa disertai koriza.
3) Sindroma Faringkonjungtiva
Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti
dengan konjungtivitis yang sering kali bilateral. Dapat pula dimulai
dengan konjungtivitis yang berlangsung 1-2 minggu sebelum gejala
faringitis itu sendiri. Pada sindroma faringokonjungtiva didapatkan
fotofopi dan nyeri pada bola mata.
4) Sindroma Influenza
Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan
fisik cukup berat,dengan gejala batuk, meriang, panas badan, lemah badan,
nyeri kepala. Nyeri tenggorok, nyeri retrosternal, nyeri seluruh tubuh,
commit to user
5) Sindroma Herpangina
Gambaran klinik berupa vesikel-vesikel yang terdapat di dalam
mulut dan faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi
yang membengkak, disertai nyeri tenggorokan,nyeri kepala, dan panas
badan.
6) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut
Gambaran klinik tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak
napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan
sistemik lain.
Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma koriza, kemudian
dengan cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan
penarikan-penarikan sela antariga toraks bagian bawah serta penggunaan
otot-otot napas bantu secara menonjol.
b.ISPA yang disebabkan oleh Micoplasma Pneumonia
Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi
dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinik berupa nasofaringitis,
bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula dilaporkan ada
infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia, Neiseria kataralis, dan
Haemophilus influenza.
commit to user
Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung.
Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang ornitosis
banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi terjadi melalui
pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau melalui gigitan.
Gejala klinik bervariasi, dari gejala ringan pada saluran napas sampai
pada keadaan yang lebih berat berupa pneumonia.
d.Demam Q (Demam Queensland)
Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinik yang
menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa penyulit radang
commit to user B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan di atas, maka
diperoleh kerangka teori sebagai berikut:
Faktor Risiko Rinitis :
1. Alergen
2. Obat topikal nasal
3. Infeksi (bakteri, virus, jamur)
4. Perubahan suhu dan kelembapan
5. Asap
6. Stress
Rinitis Berulang
Post Nasal Drip
IgA menurun
Inflamasi di Bronkus
Bronkitis Kronik Bronkitis Akut
commit to user
C. Hipotesis
Terdapat hubungan bermakna antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis
commit to user
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan Case Control.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik Penyakit
THT RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan April- Mei 2011.
C. Subjek Penelitian
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien usia 18-87 tahun
b. Laki-laki dan perempuan
commit to user
d. Pasien yang mengidap penyakit bronkitis kronik yang dibuktikan dengan
diagnosis dari dokter spesialis Paru di Poliklinik Penyakit Paru dan
Poliklinik Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai
kelompok kasus).
e. Pasien yang mengidap ISPA di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik
Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai kelompok
kontrol).
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien yang menderita penyakit asma, bronkiektasis, dan tuberkulosis,
dan lain-lain.
b. Pasien yang sudah lama bronkitis kroniknya tidak kambuh.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu memilih
commit to user
Analisis Data
E. Estimasi Besar SampelBesar sampel ditentukan dengan rumus Rule of Thumbs. Dari rumus
tersebut didapatkan besar sampel sebesar 30 orang (Murti, 2010). Tiap-tiap
kelompok (kasus dan kontrol) masing-masing sampel adalah sebesar 30 orang.
F. Rancangan Penelitian
G. Instrumen Penelitian
commit to user H. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : Riwayat Rinitis Berulang, ISPA
2. Variabel Terikat : Bronkitis Kronik
3. Variabel Luar
a. Terkendali : Usia
Jenis kelamin
b. Tidak terkendali : Faktor Lingkungan
Sosial ekonomi
Penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,
penurunan imunitas tubuh, dan lain-lain
I. Definisi Operasional Variabel Penelitian
a. Riwayat Rinitis Berulang
Yang dimaksud rinitis adalah radang dari membran mukus yang membatasi
hidung, dimana terdapat hidung buntu, rhinorrhea, bersin, gatal di hidung.
Sedangkan yang dimaksud riwayat rinitis berulang adalah riwayat
seseorang menderita rinitis sebanyak lebih dari 4 kali dalam jangka waktu
setahun.
Skala Pengukuran : Nominal
Sumber data : Data primer dari pasien yang memeriksakan diri di
commit to user
b. Bronkitis Kronik
Yang dimaksud bronkitis kronik adalah satu jenis penyakit paru obstruktif
kronik yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih
dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejalanya antara lain sesak napas
yang menjadi keluhan utama, sering disertai batuk, mengi, dahak, serta
infeksi saluran napas berulang. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan
gambaran tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar
dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
Skala Pengukuran : Nominal
Sumber data : Data Primer dari pasien yang memeriksakan diri di Poliklinik
Penyakit Paru RSUD dr. Moewardi Surakarta.
c. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
Yang dimaksud ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun
bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri maupun virus,
tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru.
J. Cara Kerja
Setelah usulan penelitian disetujui, dilakukan pengumpulan data
responden menggunakan kuesioner selama bulan April 2011 sampai Mei 2011.
commit to user K. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji X2
dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 dan dicari Odds Ratio.
Format Tabel Odds Ratio
Bronkitis Kronik (+) Bronkitis Kronik (-)
Rinitis (+) a b
Rinitis (-) c d
Total a+c b+d
OR = (a / c)
(b / d)
= ad/bc
H0 = Tidak ada hubungan antara bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang
H1 = Ada hubungan antara bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang
Pengambilan keputusan didasarkan pada Uji X2, yaitu :
Jika p ≥ 0,05, maka H1 ditolak
commit to user
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Poli Paru dan Poli THT RSUD
Dr.Moewardi Surakarta sejak tanggal 12 April 2011 sampai dengan 23 Mei
2011 didapatkan pasien bronkitis kronik sebanyak 30 orang dan pasien ISPA
sebanyak 30 orang. Adapun syarat untuk pemilihan sampel telah disesuaikan
dengan kemampuan dan tujuan dalam penelitian ini pada bab sebelumnya.
Berikut ini adalah hasil penelitian yang ditampilkan dalam bentuk tabel
yang terdiri atas beberapa karakteristik dari sampel.
a. Karakteristik Sampel Penelitian
Tabel 1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin
Jenis
Kelamin
Bronkitis Kronik ISPA Jumlah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Laki-Laki 15 50.0 11 36.7 26 43.3
Perempuan 15 50.0 19 63.3 34 56.7
Jumlah 30 100.0 30 100.0 60 100.0
commit to user
Gambar 1. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasakan Jenis Kelamin
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa pasien bronkitis kronik yang
memeriksakan diri ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta selama penelitian baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki frekuensi yang sama.
Sedangkan untuk pasien ISPA, yang terbanyak adalah perempuan (63.33
commit to user
Tabel 2. Distribusi berdasarkan umur
Umur Bronkitis Kronik ISPA Jumlah
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
18-27 2 6,7 5 16,7 7 11,7
28-37 1 3,3 6 20,0 7 11,7
38-47 3 10,0 6 20,0 9 15,0
48-57 7 23,3 4 13,3 11 18,3
58-67 8 26,7 7 23,3 15 25,0
68-77 6 20,0 2 6,7 8 13,3
78-87 3 10,0 0 0,0 3 5,0
Jumlah 30 100,0 30 100,0 60 100,0
Sumber : Data Primer 2011
commit to user
Tabel 3. Karakteristik Bronkitis Kronik
Karakteristik Bronkitis Kronik
Frekuensi %
Memeriksakan diri ke dokter/rumah sakit
Sering 26 86,7
Penyakit pernapasan lain 17 56,7
Dingin 5 16,7
Kelelahan 6 20,0
Debu 4 13,3
commit to user
Tabel 4. Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik
riwayat
rinitis
hidung
buntu
meler
bersin-bersin
hidung
gatal
Ya 24 15 17 20 6
Tidak 6 15 13 10 24
Total 30 30 30 30 30
Sumber : Data Primer 2011
Gambar 3. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik
Dari tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa dari empat kategori riwayat
commit to user
hidung gatal) , riwayat rinitis pada pasien bronkitis kronik diurutkan dari
yang paling sering muncul hingga yang paling jarang muncul adalah
bersin-bersin (63 %), hidung meler (57 %), hidung buntu (50 %), dan hidung gatal
(20 %).
commit to user
Tabel 5. Karakteristik Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik
Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal
commit to user
Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Hidung Buntu
Satu sisi 8 53,3
Bergantian kiri-kanan 6 75,0
Tidak Bergantian 2 25,0
Satu dan dua sisi 3 20,0
Bergantian kiri-kanan 2 66,7
Tidak Bergantian 1 33,3
Jernih/ tidak berwarna 16 94,1
Kuning 1 5,9
commit to user
Tabel 6. Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA
riwayat
rhinitis
hidung
buntu
meler
bersin-bersin
hidung
gatal
Ya 22 13 19 17 9
Tidak 8 17 11 13 21
Total 30 30 30 30 30
Sumber : Data Primer 2011
commit to user
Tabel 7. Karakteristik Riwayat Rinitis pada ISPA
commit to user
Karakteristik Hidung Buntu Hidung Meler Bersin-Bersin Hidung Gatal
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Hidung Buntu
Satu sisi 9 69,2
Bergantian kiri-kanan 5 55,6
Tidak Bergantian 4 44,4
Satu dan dua sisi 0 0,0
Bergantian kiri-kanan 0 0,0
Tidak Bergantian 0 0,0
Jernih/ tidak berwarna 18 94,7
Kuning 1 5,3
commit to user b. Analisis Statistik
Tabel 8. Distribusi Riwayat Rinitis Berulang
Bronkitis Kronik (+) Bronkitis Kronik (-)
Rinitis (+) 24 80.00% 22 73.33%
Rinitis (-) 6 20.00% 8 26.67%
Total 30 100.00% 30 100.00%
Sumber : Data Primer 2011
Odds Ratio = (a / c)
(b / d)
= ad / bc
= (24 x 8) / (22 x 6)
= 192 / 132
= 1,4545
= 1,5
Population Atributable Risk
(PAR) = p ( r - 1 )
p ( r – 1) + 1
= 24,4 (1,5-1)
24,4 (1,5-1) + 1
commit to user
Keterangan :
p = proporsi subjek yang terpajan pada populasi → (a + b)
( a + b + c + d)
= 24,4
r = Odds Ratio
= 1,5
Dari tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa dari 30 pasien bronkitis
kronik, 24 di antaranya memiliki riwayat rinitis berulang (80 %). Sedangkan
dari 30 pasien ISPA, 22 di antaranya memiliki riwayat rinitis berulang
(73.33 %).
Hasil perhitung odds ratio berdasarkan tabel 8 didapatkan OR
sebanyak 1.5, artinya orang yang memiliki riwayat rinitis berulang
berpeluang satu setengah kali lebih besar untuk memiliki penyakit bronkitis
kronik dibandingkan dengan orang tanpa riwayat rinitis berulang.
Hasil perhitungan PAR didapatkan hasil 0.92 yang artinya besar
proporsi kasus dalam populasi total yang dapat dicegah bila faktor risiko
dihilangkan adalah sebanyak 0,92
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji X2dengan
commit to user Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square .373a 1 .542
Continuity Correctionb .093 1 .760
Likelihood Ratio .374 1 .541
Fisher's Exact Test .761 .381
Linear-by-Linear Association .366 1 .545
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Approx. Sig.
Nominal by Nominal Contingency Coefficient .079 .542
commit to user Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for PENYAKIT (bronkitis / ISPA)
1.455 .435 4.860
For cohort riwayat rhinitis = ya 1.091 .824 1.444
For cohort riwayat rhinitis = tidak
.750 .296 1.900
N of Valid Cases 60
Mantel-Haenszel Common Odds Ratio Estimate
Estimate 1.455
ln(Estimate) .375
Std. Error of ln(Estimate) .615
Asymp. Sig. (2-sided) .543
Asymp. 95% Confidence Interval
Common Odds Ratio Lower Bound .435
Upper Bound 4.860
ln(Common Odds Ratio) Lower Bound -.832
Upper Bound 1.581