• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKILAS TENTANG RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL (RCT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEKILAS TENTANG RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL (RCT)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KATA PENGANTAR

01 Sekilas tentang Randomized Controlled Trial (RCT) dr. Siswanto, MHP, DTM

04 Stroke Registri menjadi Jembatan dalam Upaya Perbaikan

Manajemen Kasus ….. dr. M. Karyana, M.Kes

06 Peran Apoteker dalam Saintifikasi Jamu

Dra. Lucie Widowati, Apt., M.Si 08 Aktivitas Laboratorium Terpadu

(Labdu) Pusat TTK & EK 2011-2012. Dr. Fitrah Ernawati, M.Sc

11 Training of the Trainer Good Clinical Practice (TOT GCP)

Junediyono, SKM, MKM

12 Pengukuhan Profesor Riset …... dr. M. Karyana, M.Kes

14 Reformasi Birokrasi

Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes 16 Kausasi

Dr. Ir. Basuki Budiman, MScPH 20 Etika Pemanfaatan Hewan

Perco-baan dalam Penelitian Kesehatan drh. Endi Ridwan MSc

22 Rahasia di balik Cokelat Mutiara Prihatini, S.Gz, M.Si 24 Refleksi Akhir Tahun drh. Endi Ridwan MSc. Pojok Pegawai

Daftar Isi

Kata Pengantar

Tanpa terasa kita telah memasuki bulan Desember, tahun 2012 akan segera berlalu. Kegiatan baru di tahun 2013 sudah di depan mata.

News letter Pusat TTK dan EK nomer ketiga akan menjadi nomer terakhir untuk tahun 2012.

Menjelang akhir tahun ini banyak kegiatan yang harus diikuti oleh para peneliti maupun pejabat struktural. Namun Alhamdulillah, Newsletter nomer ketiga ini akhirnya dapat diterbitkan.

Terbitan kali ini diisi beragam kegiatan yang diikuti oleh peneliti dan informasi kegiatan yang berkaitan dengan fungsi Pusat TTK dan EK. Berita pencapaian keberhasilan jenjang peneliti yang dicapai oleh seorang peneliti disajikan pada tulisan tentang Pengukuhan Profesor Riset. Selain kegiatan penelitian pada terbitan kali ini disampaikan pula selintas tentang Reformasi Birokrasi.

Sebagaimana pernah disampaikan, kegiatan para peneliti merupakan bahan informasi utama yang kami sampaikan, karena itu kami tetap mengharapkan laporan, catatan berbagai kegiatan yang sedang atau telah dilaksanakan dilengkapi dengan foto-foto, artikel dengan topik yang menarik untuk diinformasikan kepada kita semua.

Segenap Redaksi mengucapkan selamat kepada Prof. dr. Emiliana Tjitra, DTM&H, MSc, PhD atas pengukuhan menjadi Profesor Riset.

Selamat Tahun Baru 2013

Semoga tahun mendatang lebih baik lagi.

Salam,

Redaksi

(3)

SEKILAS TENTANG

RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL

(RCT)

dr. Siswanto, MHP, DTM

Sebagaimana diketahui bersama bahwa

Randomized Controlled Trials (RCT) adalah golden standard (baku emas) untuk penelitian eksperimental

guna pembuktian kausal (causation). Apabila kita

ingin membuktikan apakah suatu “intervensi tertentu” akan menghasilkan/menyebabkan “outcome

tertentu”, maka kita harus menggunakan disain

penelitian RCT. Bahkan, tidak cukup hanya RCT saja, tetapi harus double blind (tersamar ganda). Dengan

kata lain, baku emas penelitian eksperimental secara prinsip adalah RCT double blind.

Sejarah penelitian eksperimental bukannya diawali dari uji klinis pada manusia tetapi diawali dari penelitian pertanian. Adalah Sir Ronald Aylmer Fisher (1890-1962) yang menemukan disain

Randomized Controlled Trial (RCT).1 Fisher, yang

bekerja di stasiun penelitian pertanian, mengamati bahwa eksperimen membandingkan dua jenis benih pada dua petak kebun banyak mengandung bias. Katakanlah, hasil penelitian menunjukkan bahwa petak A menghasilkan panen lebih baik dari petak B; maka tidak bisa disimpulkan benih A lebih baik dari benih B. Di dalamnya terkandung banyak variabel pengganggu, misalnya perbedaan kesuburan tanah, perbedaan perawatan, perbedaan cara memanen, dan sebagainya. Fisher akhirnya menciptakan dasar-dasar RCT dengan cara membuat sejumlah petak-petak kecil sebagai unit sampel, kemudian melakukan alokasi random terhadap petak-petak kecil tersebut pada kelompok uji (test) dan kelompok pembanding.

Dengan melakukan hal tersebut, semua variabel pengganggu yang berada pada unit sampel akan terdistribusi secara acak (random) pada kelompok uji (test) maupun kelompok pembanding.

Penelitian uji klinik, yang ingin membuktikan efek terapi tertentu terhadap suatu outcome klinik

tertentu, pada akhirnya mengadop prinsip-prinsip disain eksperimental Fisher. Bahkan, karena unit eksperimennya adalah manusia, maka pada uji klinik harus tersamar ganda (RCT double blind). Double blind, artinya baik subyek penelitian maupun peneliti

harus tidak tahu (ignorance) terhadap perlakukan /

intervensi yang diberikan.

Kualitas penelitian uji klinik pada prinsipnya menyangkut dua hal, yakni kualitas ilmiah dan kualitas etik. Terkait kualitas ilmiah, maka terdapat

dua hal penting, yakni validitas internal dan validitas eksternal. Dalam penelitian uji klinik,

validitas internal menyangkut dua isu penting.

Pertama, isu terkait seberapa jauh instrumen

penelitian mengukur apa yang seharusnya terukur

(dalam hal ini identifikasi variabel outcome menjadi

sangat penting). Kedua, adalah isu terkait apakah

kejadian variabel outcome (parameter klinik) benar-benar diakibatkan oleh intervensi secara murni (bukan oleh variabel pengganggu, misalnya, efek placebo, bias perlakuan, tingkat keparahan penyakit, dan sebagainya). Validitas eksternal adalah terkait dengan seberapa jauh kesimpulan hasil suatu penelitian

(termasuk uji klinik) dapat ditarik generalisasi (digeneralisasikan) ke dalam populasi.

Dalam penelitian uji klinik, validitas internal dalam konteks apakah variabel outcome benar-benar

“hanya” akibat suatu intervensi (tindakan pengobatan)

merupakan isu penting, agar hasil uji klinik dapat meyakinkan klinisi (pengguna) untuk pengambilan

keputusan klinis. Itulah sebabnya, “randomized controlled trial double blind” merupakan baku

(4)

Juga, dalam hirarki butki ilmiah (level of evidence)

hasil penelitian RCT double blind dikategorikan

sebagai level satu (first level), dalam rentangan

pembagian level satu sampai dengan empat.

Disain RCT

Secara diagramatik disain penelitian RCT adalah seperti pada Gambar 1.2 Menurut teori

statistik yang benar, pada RCT seharusnya ada dua tahapan pengacakan (proses random). Pertama, pada

saat mengambil sejumlah sampel (katakanlah

sejumkah “n” subyek eksperimen) dari populasi, seharusnya ditarik secara random (acak) dari populasi sasaran. Kedua, pada saat mengalokasikan

sampel ke dalam kelompok uji dan kelompok pembanding harus dilakukan secara acak pula

(alokasi random). Dengan demikian, menurut teori

statistik yang benar, ada dua proses random, yakni

pengambilan sampel secara random (random sampling), dan pengalokasian secara random (random allocation).

Gambar 1

Disain Randomized Controlled Trial (RCT)

Namun demikian, mengidentifikasi populasi sasaran (sampling frame) pada uji klinik adalah

suatu yang sulit, dan juga untuk mendapatkan subyek uji klinik bukanlah perkara mudah. Oleh karena itu, pada praktiknya pengambilan sampel uji klinik sering menggunakan pendekatan consecutive sampling. Pada consecutive sampling, peneliti

mengambil sampel sejumlah “n” subyek (misalnya

dari pasien yang datang di klinik sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu, mengacu tujuan penelitian). Oleh para ahli statistik,

consecutive sampling tidak bisa dianggap sebagai

probability sampling, namun dianggap cukup

mendekati probability, dengan asumsi “n” subyek yang

direkrut dapat merefleksikan populasi sasaran yang diwakilinya.3

Mengapa harus alokasi random dan tersamar ganda?

Sebagaimana sudah disitir di depan, baku emas disain uji klinik adalah RCT double blind. RCT double blind harus menyangkut dua hal penting, yakni “alokasi random” dan “ketersamaran ganda”. Untuk

memahami dua prinsip ini, kita lihat kembali Gambar 1.

Katakanlah, kita ingin mengetahui apakah jamu ampuh (kelompok uji) mempunyai efek yang sama, atau lebih superior, dengan pengobatan captopril (kelompok pembanding) pada penderita hipertensi. Dikaitkan dengan validitas internal (efek intervensi), maka peneliti harus yakin outcome klinik

(turunnya tekanan darah) adalah “semata” karena

mendapatkan captopril atau jamu ampuh. Untuk

menjawab “semata” ini, maka harus dapat dipastikan

tidak ada bias, baik yang berasal dari subyek penelitian maupun observer / experimenter.

Untuk menghindari bias ini, “alokasi random” dan “ketersamaran” menjadi hal penting. Alokasi random berkepentingan dalam hal “mengontrol”

variabel pengganggu yang melekat pada subyek

(Natural History of Disease / NH), misalnya faktor

umur, jenis kelamin, tingkat keparahan penyakit, dan sebagainya, yang dapat mempengaruhi outcome klinik

(turunnya tekanan darah).4

Faktor pengganggu lainnya adalah efek di luar obat (jamu ampuh dan captopril) yang disebut dengan

Extraneous Effect (EF), misalnya karena pasien

diberitahu komplikasi hipertensi, maka ia merubah pola diet, mengubah perilaku (olah raga), dan

sebagainya. Dalam EF termasuk “efek plasebo”,

(5)

Katakanlah, karena observer tahu mana yang jamu ampuh dan mana yang captopril, setiap kali pasien datang, bisa saja observer tanya kepada subyek yang

menerima jamu ampuh, “badannya lebih enak ya bu/ pak setelah minum jamu ampuh?”. Pertanyaan yang

demikian, tentunya akan memberi sugesti kepada subyek. Untuk menghindari EF dan OE ini, maka

perlu dilakukan “ketersamaran ganda”, yakni baik

subyek maupun observer tidak mengetahui siapa mendapat jamu ampuh dan siapa mendapat captopril.

Untuk lebih memahami efek hanya “semata”

karena intervensi pada RCT double blind dapat dijelaskan pada model Gambar 2.

Gambar 2

Model RCT double blind

Pada contoh uji klinik “jamu ampuh” vs “captopril”,

tujuan kita adalah menguji apakah jamu ampuh lebih baik, atau setidaknya sama, dalam memberikan efek terapi (turunnya tensi). Untuk itu, kita harus dapat memastikan bahwa outcome klinik

(turunnya tensi) hanya benar-benar karena efek

terapi, yakni jamu ampuh dan captopril (Rxu dan

Rxp). Karenanya, kita harus menyingkirkan pengaruh NH, EF dan OE. Pengaruh NH disingkirkan dengan

teknik “alokasi random”, sementara pengarug EF dan OE disingkirkan dengan teknik “do uble blind” (ketersamaran ganda). Itulah sebabnya disain

uji klinik sebagaimana Gambar1, dinamai Randomized Controlled Trial, karena disain tersebut mampu

mengontrol” variabel pengganggu (confounding factors) di luar efek karena intervensi, yakni variabel NH, EF dan OE. Dengan demikian, kalau ada perbedaan penurunan tensi, kita dapat yakin karena

“semata” efek terapi uji dan terapi pembanding.

Dari penjelasan ini, dapat dimengerti bahwa RCT

by design adalah double blind (tersamar ganda). Maka

cara penulisan disain ini adalah: “randomized,

double-blind, controlled clinical trial”.5 Mudah-mudahan tulisan

ini bermanfaat.

Daftar Pustaka:

1. Si r R o n a l d A y l m e r Fi sh e r . h ttp : / / www.britannica.com/EBchecked/topic/208658/Sir -Ronald-Aylmer-Fisher, Diakses 17 May 2012.

2. Chow, S.C & Liu, J.P. Design and Analysis of Clinical Trials, Concepts and Methodoloies. Wiley Interscience. 2004.

3. Dahlan, M.S. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika. 2010.

4. Grobbee, D.E. & Hoes, A.W. Clinical Epidemiology, Principles, Methods, and Applications for Clinical Research. Jones and Bartlett Publishers. 2009. 5. Website ClinicalTrials.gov

Kelompok test: Ou = Rxu + NHu + EFu + OEu (jamu ampuh)

Kelompok kontrol: Op = Rxp +NHp + EFp + OEp (captopril)

(6)

STROKE REGISTRI MENJADI JEMBATAN

DALAM UPAYA PERBAIKAN MANAJEMEN KASUS

DAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN

KLINIK

dr. Muhammad Karyana, M.Kes

Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat di bidang kedokteran membutuhkan perhatian lebih dalam rangka untuk memberikan pelayanan pasien yang lebih baik lagi. Kasus-kasus seperti stroke jumlahnya makin meningkat di Indonesia.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 penyebab kematian utama di Indonesia adalah stroke (15.4%), tuberkulosis (7.5%), dan injury

(6.5%). Penanganan stroke yang masih dibawah

standar menjadikan stroke sebagai penyebab angka kecacatan dan kematian nomor satu. Sebagian besar penderita tidak dapat hidup mandiri dalam aktivitas sehari-hari, sehingga menghilangkan produktivitas kerja yang menyebabkan bertambahnya beban di masyarakat. Selain itu stroke juga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa, pengendalian faktor-faktor risiko kejadian stroke di Indonesia, misalnya pengendalian hipertensi, hiperkolesterolemia, kencing manis, dan sebagainya, masih belum optimal. Bila dibandingkan dengan negara maju, Amerika Serikat misalnya, penyebab kematian utama di Amerika Serikat adalah penyakit jantung, kanker, stroke, penyakit paru khronis, dan kecelakaan (accidents).

Sampai saat ini masalah penyakit stroke masih banyak yang meliputi problema pre hospital antara lain, kultur budaya, tingkat ekonomi, geografis Indonesia yang heterogen, minimnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat, tingkat ekonomi, jarak antara penderita dan rumah sakit terdekat. Masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang stroke yang apabila ditangani dengan tepat dan cepat akan mengurangi disabilitas dan mortalitas yang akan terjadi. Hal ini akan memberikan kontribusi pada lamanya waktu kedatangan ke pusat kesehatan (delayed in transport).

Salah satu penyumbang konstribusi delayed in transport akhir-akhir ini adalah adanya kemacetan di kota-kota besar dan sistem transportasi. Belum tersedianya sistem emergency transport dan emergency communication juga menjadi masalah.

Penyakit stroke sesungguhnya adalah masuk dalam kelompok penyakit yang dapat dicegah, atau

preventable disease. Banyak penelitian telah

dikerjakan oleh para ahli, baik penelitian epidemiologi maupun penelitian klinis. Berbagai faktor risiko kejadian stroke telah diidentifikasi. Berbagai faktor risiko penyakit stroke tersebut, misalnya, menjadi manula (umur di atas 55 tahun), laki-laki lebih banyak dari wanita, sejarah keluarga (keturunan), tekanan darah tinggi, merokok, menderita diabetes mellitus, kegemukan (obesity), hipercholesterolemia, penyakit

jantung, adanya warning sebelumnya Transient Ischemic Attack (TIA), penggunaan terapi hormon,

minum alkohol, kurang aktivitas fisik, masalah diet

(kurang makan sayur dan buah), stress, dan lain-lain.

Dengan melihat faktor risiko yang telah disebutkan tadi, maka pencegahan penyakit stroke pada

prinsipnya adalah “merubah perilaku”, yang meliputi

pola makan sehat, aktivitas fisik (olah raga), tidak merokok, tidak minum alkohol, tidak stress, dan seterusnya, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor yang dapat dicegah dan dikendalikan

(preventable).

(7)

Bila data prevalensi faktor risiko terjadinya stroke hasil Riskesdas dikaitkan dengan penanganan faktor risiko terdekat, misalnya penanganan hipertensi dan diabetes mellitus, maka kita mengenal adanya fenomena 1:4, atau 1:5. Artinya dari prevalensi hiptertensi 30%, misalnya, maka yang ditangani oleh petugas kesehatan baru seperempatnya (7.5%), dari prevalensi diabetes mellitus 5.7%, baru hanya sekitar 1.1 % penderita yang ditangani oleh petugas kesehatan. Gap antara prevalensi yang sakit dan prevalensi yang ditangani, tentunya akan menambah tingkat risiko untuk jatuh menjadi serangan stroke.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 39/1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan juga PerMenkes 1144/2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, maka Badan Litbangkes, selain mempunyai fungsi melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan, Badan Litbangkes juga mempunyai fungsi memfasilitasi dan mengkoordinir penelitian dan pengembangan kesehatan di Indonesia.

Untuk itulah, Badan Litbangkes, dalam hal ini Pusat TTKEK, melakukan kerjasama dengan PP-PERDOSSI, untuk mengembangkan disease regitry

berbasis rumah sakit, khususnya “stroke registry”.

Menurut tujuannya, disease registry bisa population based registry, atau hospital based registry.

Population based registry biasanya bertujuan lebih kepada mengidentifikasi prevalensi, faktor risiko, dan survival; sementara hospital based registry lebih kepada upaya perbaikan manajemen kasus dan peningkatan kualitas pelayanan klinik. Ini adalah Disease Registry yang pertama di

Indonesia dalam skala Nasional. Hal ini menunjukkan keseriusan kita bersama dalam memerangi penyakit stroke. Karena untuk memberikan pelayanan pasien yang lebih baik, diperlukan manajemen dan pencatatan kasus yang baik pula. Melalui pengembangan sistem registri yang sedang dibangun ini, harapan itu dapat tercapai.

Oleh karenanya pada hari Jumat tanggal 23 November 2012, bersamaan dengan pembukaan Pertemuan Ilmiah Nasional Stroke 2012 di Kota Semarang, Bapak Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan atas nama Menteri Kesehatan mencanangkan Stroke Registry. Dimana mulai tahun

2013, seluruh kasus stroke di RS pemerintah ataupun swasta di Indonesia akan didata.

Tahap pertama pengembangan stroke registry kerjasama Badan Litbangkes dengan PP-PERDOSSI adalah pengembangan stroke registry berbasis rumah sakit. Dengan pengembangan stroke registry berbasis rumah sakit, maka diharapkan data yang terkumpul akan dapat digunakan untuk meningkatkan outcome pengobatan penyakit stroke. Melalui stroke registry

berbasis rumah sakit, data yang dikumpulkan akan dapat diolah lebih lanjut, untuk berbagi tujuan misalnya, mendeskripsikan perjalanan alamiah penyakit (NHD), menentukan cost-effectiveness

intervensi klinis, memonitor manfaat dan keamanan intervensi klinis, serta meningkatkan mutu pelayanan pasien stroke.

Tentunya, kalau stroke registry berbasis rumah sakit ini sudah berjalan dengan baik, maka bisa saja dikembangkan menjadi population based registry,

dengan melibatkan puskesmas dan dokter keluarga, sehingga akan dapat diidentifikasi prevalensi penyakit stroke yang lebih akurat, dan juga survival dari pasien paska stroke.

Saat ini, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik telah membuat web portal terkait registri. Kedepan pelaksanaan registri ini akan dilakukan secara online dan real time. Alamat website

(8)

PERAN APOTEKER DALAM

SAINTIFIKASI JAMU

Dra. Lucie Widowati, Apt., M.Si

Terlaksananya penelitian jamu berbasis pelayanan perlu didukung keterpaduan komitmen dan keterlibatan unit kerja lintas sektor, berbagai disiplin ilmu, organisasi seminat dan industri. Tujuan dari Saintifikasi Jamu adalah a) Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. b) Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitative dan paliatif melalui penggunaan jamu. c) Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu dan d) Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk mewujudkannya diperlukan kesadaran dari masing-masing pelaku untuk secara terbuka menerima konsep dan mendukung implementasinya untuk semata-mata

pada peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu disiplin ilmu

yang diperlukan untuk berhasilnya program Saintifikasi Jamu adalah ilmu kefarmasian (profesi apoteker). Apoteker adalah profesi kesehatan yang menghubungkan ilmu kesehatan dengan kimia medisinal, farmasetikal, patologi dan farmakologi klinik dan berkewajiban menjaga keamanan dan keefektivan obat.

Karena konsep dari Saintifikasi Jamu adalah Penelitian berbasis pelayanan, maka modalitas dari kegiatan tersebut adalah dokter dan jamu. Jamu yang digunakan harus memenuhi kriteria aman, mempunyai khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada dan memenuhi persyaratan mutu.

Untuk menjamin keamanan, khasiat dan mutu jamu, merupakan kegiatan yang dijalankan oleh apoteker di sisi hulu, artinya dari menjamin mutu mulai budidaya tanaman obat hingga pasca panen, sampai produk ramuan dapat diberikan kepada pasien. Bagaimanakah peran Apoteker dari sisi hilir ?. Sisi hilir pada kegiatan Saintifikasi Jamu merupakan tahap dimana dokter memberikan pelayanan sekaligus sebagai pelaku penelitian, pasien menerima jamu yang telah dijamin mutu dan kemanfaatannya secara empiris.

Klinik yang diatur dalam Permenkes no. 003/ Menkes/I/2010, merupakan Klinik Jamu sebagai tempat penelitian pelayanan. Selayaknya Klinik, tentunya terdapat ketenagaan, sarana dan prasarana yang menjadi kriteria pada Klinik Jamu. Dalam struktur Klinik Jamu, terdapat tugas Apoteker yang menjalankan profesinya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang mengatur tentang pelayanan resep, promosi dan edukasi serta home care.

(9)

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser dan mengalami perubahan pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru dengan filosofi Pharmaceutical care (asuhan kefarmasian), berorientasi kepada pasien. Peran yang menonjol pada asuhan kefarmasian adalah komunikasi dengan pasien, dan inilah yang disebut trend baru dalam pelayanan kefarmasian. Kontribusi dari seorang praktisi asuhan kefarmasian diukur oleh kemampuannya untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk menyelesaikan masalah terapi obat untuk pasien. Komunikasi merupakan suatu aspek penting yang mutlak dikuasai oleh seorang apoteker dalam melakukan praktek kefarmasian khususnya di masyarakat. Apoteker yang handal berkomunikasi akan mampu memberikan penjelasan mengenai pekerjaannya, kepada pengguna jasa, baik pasien, tenaga kesehatan atau pihak lain yang terkait. Kegiatan tersebut merupakan kesatuan sebagai fungsi Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE). Salah satu implementasi dari KIE adalah kegiatan konseling. Tujuan dilakukannya konseling yaitu untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan, diantaranya mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat, dan penggunaan obat-obat lain.

Penelitian pelayanan jamu memanfaatkan pasien yang memilih jamu untuk mengatasi keluhan/ penyakitnya, sebagai respoden. Kerjasama tim dokter, apoteker dan pasien sangatlah erat, untuk menghasilkan penelitian pelayanan yang memenuhi metodologi yang ditentukan. Apoteker sangat berperan dalam menjaga atau memelihara kepatuhan pasien untuk minum jamu. Kepatuhan

dalam minum jamu dalam penelitian pelayanan

dapat diartikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasehat dan petunjuk yang dianjurkan oleh dokter Saintifikasi Jamu dan Apoteker Saintifikasi Jamu. Mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satu diantaranya adalah kepatuhan dalam minum jamu.

Pelatihan Dokter Saintifikasi Jamu telah diselenggarakan sebanyak 6 kali. Dari pelatihan ini telah meluluskan 178 dokter yang mempunyai Sertifikasi Penelitian Saintifikasi Jamu. Selain itu, dokter Saintifikasi Jamu juga berasal dari dokter peserta pasca sarjana herbal UI dan dari diklat SJ mandiri. Perkembangan ke depan, semakin banyak masyarakat yang menggunakan jamu. Jika permintaan pengobatan dengan jamu meningkat maka kebutuhan penyediaan jamu tidak dapat ditangani sendiri oleh dokter yang melakukan praktek Saintifikasi Jamu. Untuk mendukung implementasi program Saintifikasi Jamu di masyarakat, di pandang perlu untuk memberikan pelatihan, tidak hanya kepada tenaga dokter namun juga kepada apoteker.

Kompetensi yang diharapkan dari Apoteker Saintifikasi Jamu:

1 Melakukan praktik kefarmasian secara profesional dan etik

2. Memformulasi dan memproduksi jamu

3. Melakukan dispensing jamu

4. Menyelesaikan masalah terkait dengan penggunaan jamu

5. Memberikan informasi jamu

6. Mengelola penyediaan jamu

7. Melaksanakan upaya preventif dan promotif

kesehatan masyarakat terkait jamu

(10)

AKTIVITAS LABORATORIUM TERPADU (LABDU)

PUSAT TTK & EK TAHUN 2011-2012

DR. Fitrah Ernawati, MSc

Sesuai dengan PerMenkes 1144 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan maka tugas Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan EK) adalah melaksanakan penelitian dan pengem-bangan di bidang Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik. Dalam melakukan penelitian, peneliti harus memegang kejujuran (honesty) terhadap diri sendiri dan kepada pihak lain. Salah satu bentuk kejujuran seorang peneliti adalah memelihara keakuratan pengumpulan dan pengelolaan informasi dan data penelitian, dengan menghindari kesempatan untuk merekayasa informasi dan data penelitian. (LIPI 2010). Untuk dapat memenuhi kaidah tersebut, laboratorium terpadu (labdu) sebagai sarana penunjang penelitian dalam memberikan layanan pengujian bagi peneliti terus berbenah mencapai laboratorium yang handal dan dapat dipercaya.

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, labdu telah melakukan beberapa kegiatan untuk mening-katkan kualitas baik sarana maupun prasarana. Kegiatan besar yang telah dilakukan labdu antara lain:

1. Persiapan Mendapatkan Akreditasi KAN

Akreditasi dirasakan perlu oleh labdu karena dengan memperoleh akreditasi, laboratorium dapat menunjukkan kredibilitasnya melalui penerapan sistem management yang kuat serta memberikan kepercayaan kepada mitra kerja. Di era terbuka saat ini persyaratan terhadap mutu laboratorium menjadi acuan bagi pengguna laboratorium. Pembuktian tidak hanya cukup dengan hanya bentuk fisik laboratorium atau peralatan yang canggih melainkan juga berdasar-kan dokumen resmi yang menyertai hasil uji. Dokumen yang menerangkan bahwa hasil uji telah memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan, maka untuk dapat diakui, harus dikeluarkan oleh laboratorium penguji yang terakreditasi. Di sinilah keberadaan laboratorium penguji terakreditasi menjadi semakin penting peranannya. Hasil uji yang digunakan oleh peneliti dalam mendukung artikel yang akan dipublikasi nasional utamanya di jurnal internasional, diperlukan pernyataan bahwa pengujian dilakukan oleh laboratorium terakreditasi sehingga tidak menimbulkan keraguan.

(11)

Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah suatu lembaga non struktural yang mempunyai tugas

pokok untuk menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada Badan

Standardisasi Nasional (BSN) dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Untuk dapat diakreditasi sebagai laboratorium yang kompeten, laboratorium tersebut harus menerapkan standar ISO/IEC 17025:2008 – Persyaratan Umum Kompe-tensi Laboratorium Penguji.

Persiapan mendapatkan akreditasi sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2011. Pada tahun 2011 telah dilakukan diseminasi dengan materi Pengenalan dan Interpretasi ISO/IEC 17025:2008 (Persyaratan Manajemen) dan Pengenalan dan Inter-pretasi ISO/IEC 17025: 2008 (Persyaratan Teknis) diikuti oleh peneliti yang banyak menggunggunakan hasil laboratorium dan litkayasa. Dilanjutkan pada tahun 2012 dengan mengadakan seminar tentang bagaimana menyiapkan dokumentasi Mutu Laboratorium, bagaimana melakukan Audit Internal Laboratorium, penyusunan dokumentasi Sistem Manajemen Laboratorium, dan melakukan Pelaksanaan audit internal. Alhamdulillah dengan rahmat Tuhan Yang Maha kuasa Tim manajemen Labdu pada pertengahan November 2012 sudah me-nyerahkan dokumen permohonan akreditasi kepada KAN.

Pembukaan Pelatihan Audit Internal

2. Training Pemeriksaan retinol dalam minyak

Pada tanggal 13 sampai 15 juni 2012 labdu mangadakan training analisa retinol (vitamin A) dalam minyak. Training ini berhubungan dengan studi fortifi-kasi minyak dengan vitamin A yang dilaksanakan di Ciamis dan Tasikmalaya dengan ketua peneliti DR. Sanjaya, MPH. Fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A yaitu penambahan vitamin A dalam minyak goreng. Tujuan training ini adalah memberikan penguatan sumber daya manusia khususnya dalam melakukan analisis vitamin A sehingga hasil uji analisis vitamin A antar laboratorium tidak berbeda. Nara sumber adalah Sherry Tanumihardjo, PhD, beliau adalah pakar vitamin A dari University of Wisconsin – USA. Peserta training adalah pelaksana teknis dari beberapa laboratorium pemerintah seperti BBIA (Balai Besar Industri Agro), SEAMEO, Seafast Center IPB dan BPOM.

Penjelasan Metabolisme Retinol

3

.

Kunjungan Tamu Nepal

(12)

Dalam kunjungan tersebut dijelaskan bahwa Labdu Pusat TTK dan EK mampu melakukan analisis kimia klinik meliputi analisis fungsi ginjal, fungsi hati, profil lipid, darah rutin, analisis mineral seperti selenium, calcium, Pb dan analisis vitamin seperti vitamin A dan E. Disamping itu labdu juga mampu melakukan analisis status besi meliputi ferritin,

Serum Transferrin Receptot (STfR), Total Iron Binding Capacity (TIBC) dan analisis kimia makanan seperti analisis zat gizi makro dan mineral dalam makanan.

Kegiatan labdu saat ini masih terbatas untuk mendukung kegiatan penelitian untuk kepentingan Badan Litbang Kesehatan.

Penjelasan Tugas & Fungsi Pusat TTK dan EK

Penjelasan Ruang Lingkup Labdu

4. Training CRP(C-Reactive Protein)

C-Reactive Protein adalah suatu analisis yang digunakan untuk melihat adanya inflamasi. Analisis ini sering digunakan sebagai screening atau analisis

penyerta dari penentuan status besi. Training dilaksanakan pada tanggal 20 November 2012 pukul

11.00 WIB dan berakhir pukul 16.00 WIB. Nara sumber adalah Mr. Juergen Erhat peneliti dari Jerman. Beliau banyak menulis tentang status besi status vitamin A di beberapa jurnal internasional. Peserta training adalah peneliti muda dan litkayasa Pusat TTK dan EK. Tujuan training ini adalah mengembangkan metode analisa CRP dengan metode-modifikasi sehingga kedepan labdu Pusat TTK dan EK mampu mengembangkan pemeriksaan CRP dengan metode yang lebih efisien, harga lebih murah dari metode ysng ada, sehingga dapat mengurangi ketergantungan import kit dari luar negeri.

Demikian sepintas kegiatan labdu………..

SEMOGA SUKSES.

Training Pengukuran CRP di Lab Terpadu

(13)

TRAINING OF THE TRAINER GOOD CLINICAL PRACTICE

(TOT GCP) Yogyakarta, 3

-

5 Oktober 2012

Junediyono SKM, MKM

Seperti telah disampaikan dr. Siswanto, MHP, DTM pada Newsletter edisi sebelumnya, GCP

merupakan suatu “standar” kualitas etik dan ilmiah

internasional untuk mendisain, melaksanakan, mencatat dan melaporkan uji klinik yang

melibatkan subyek manusia atau merupakan perangkat untuk standarisasi uji klinik. Dalam bahasa baku, GCP sering disebut Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB). Pedoman tentang bagaimana melaksanakan CUKB, juga telah diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan EK) sebagai implementor tugas pokok dan fungsi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/2010, bertugas melaksanakan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi dibidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik, sangat berkewajiban untuk menstandarisasi penelitian klinis. Penelitian klinis yang dimaksud dalam GCP adalah uji klinik. Peneliti harus mempunyai

kemampuan yang „kaffah‟ tentang GCP. Workshop

GCP sendiri sudah pernah dilaksanakan oleh Pusat TTK dan EK bekerjasama dengan Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Peserta adalah semua peneliti Pusat TTK dan EK.

Era sekarang, penekanan peran Pusat lebih sebagai regulator dan fasilitator. Sebagai fasilitator, Pusat TTK dan EK harus dapat membina semua institusi pelaksana penelitian uji klinik, termasuk mengajarkan bagaimana melaksanakan uji klinik yang terstandar. Berangkat dari tugas tersebut, Pusat TTK dan EK bekerjasama dengan World Health Organization Tropical Diseases Research (WHO TDR) telah melaksanakan Training Of the Trainer Good Clinical Practice (TOT GCP).

TOT GCP dilaksanakan guna memperoleh peneliti yang mempunyai kemampuan untuk mengajarkan tentang GCP. Kegiatan pelatihan dilaksanakan selama 3 hari dari tanggal 3 - 5 Otober 2012, di Yogyakarta. Peserta berjumlah 30 orang yang berasal dari 1) Peneliti Pusat TTK dan EK, 2) RS Marzuki Mahdi Bogor, 3) RS Sardjito, 4) Universitas Ahmad Dahlan dan 5) Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Fasilitator berasal dari WHO TDR India dan Universitas Gadjah Mada.

Kegiatan dibagi menjadi dua, berupa Workshop GCP pada hari pertama dan kedua dengan mekanisme

pelaksanaan berupa paparan, tanya jawab, dan diskusi kelompok. Materi meliputi:

 History and Principles of GCP

 Quality System in Clinical Research

 Principles of Ethic Research

 Essential Documents

 Stake Holders Responsibility

 GCP in Trial Procedures

 Informed consent process

 Safety management

 Investigational product management

 Data management

Pada hari ketiga, dilaksanakan Training Of the Trainer (TOT). Dari peserta TOT tersebut terpilih 10 orang sebagai peserta terbaik, yaitu : dr. Siswanto,

(14)

PENGUKUHAN PROFESOR RISET

dr. EMILIANA TJITRA, DTM&H, MSc, PhD

dr. Muhammad Karyana, M.Kes

Satu lagi peneliti dari Badan Litbang Kesehatan dikukuhkan sebagai Profesor Riset bidang Parasitologi dan Mikrobiologi dengan orasi yang berjudul

"Perkembangan Pengobatan

Malaria di Indonesia: Pengobatan Radikal dengan Obat Kombinasi". Prof (Riset) dr. Emiliana Tjitra memaparkan orasi tersebut di ruang J. Leimena Kementerian Kesehatan

(19-12-2012). Prof. dr. Emiliana Tjitra merupakan

profesor wanita pertama yang dimiliki oleh Badan Litbang Kesehatan.

Jabatan profesor riset mempunyai implikasi terhadap tugas dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelar profesor riset merupakan insentif non material bagi peneliti yang berprestasi dan merupakan pengakuan resmi pemerintah dan negara. Oleh karena itu, profesor riset diharapkan dapat lebih memacu peningkatan kualitas riset dan sekaligus dapat memberikan bimbingan kepada para peneliti yang lebih muda.

Prof. dr. Emiliana Tjitra dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1952. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Rakyat sampai Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Sarjana Kedokteran diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya pada tahun 1976, dokter tahun 1981. Beasiswa SEAMEO untuk Diploma of Tropical

Medicine and Hygiene (DTM&H) dan Tropical Medicine (MSc) didapat pada tahun 1984 dan 1985 di

Faculty of Tropical Medicine and Hygiene, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Beasiswa untuk

Philosophy of Doctor (PhD) di Menzies School of Health Research (MSHR), Darwin, Australia pada tahun 1997.

Menjadi peneliti di Badan Litbang Kesehatan sejak tahun 1986. Dengan jabatan fungsional pertama adalah Asisten Peneliti Madya pada tahun 1988, Ajun Peneliti Madya tahun 1990, Peneliti Muda tahun 1992, Peneliti Madya tahun 1994, Ahli Peneliti Madya tahun 1996, Ahli Peneliti Utama tahun 2003 pada bidang Parasitologi dan Mikrobiologi.

Sampai dengan tahun 2012, telah menghasilkan lebih dari 140 karya tulis ilmiah yang ditulis sendiri atau bersama penulis lain dalam jurnal ilmiah, buku atau prosiding pertemuan ilmiah dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, di dalam dan di luar negeri.

(15)

Regimen kombinasi derivat artemisinin merupakan obat antimalaria praktis untuk semua jenis dan stadia malaria, dan membantu kekurangan keterampilan mikroskopis dalam mengidentifikasi jenis parasit. Kombinasi artemisinin fixed dose yang

aman, sangat potent dengan efikasi >95%, dosis harian tunggal dan waktu pengobatan sesingkat mungkin dapat memperbaiki kepatuhan minum obat. D i h i d r o a r te m i s i n i n - p i p e r a k u i n , a r te s u n a t -pironaridin dan artemisinin-naftokuin merupakan ACT potensial untuk kebijakan multi first line therapy sehingga perkembangan parasit resisten dapat dicegah dan cakupan pengobatan ditingkatkan. Petunjuk pengobatan malaria dapat dipertajam menjadi:

 pengobatan radikal baku malaria tanpa komplikasi untuk semua kelompok umur dan semua jenis malaria,

 pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dengan gagal pengobatan,

 pengobatan malaria untuk wanita hamil trimester pertama,

 pengobatan radikal malaria berat dan dengan komplikasi.

Pengobatan malaria berkembang dan mengalami perubahan paradigma dari monoterapi menjadi komboterapi. Kombinasi yang ideal adalah antara derivat artemisinin dan obat antimalaria yang mempunyai waktu paruh panjang yang dapat membunuh sisa parasit yang belum terbunuh oleh derivat artemisinin, membunuh parasit yang relaps, dan mencegah infeksi baru didaerah endemis atau dikenal post treatment prophylaxis.

Pengobatan radikal dengan primakuin adalah mutlak walaupun di daerah endemis malaria dan menggunakan ACT yang efektif untuk dapat memutuskan penularan dan menuju eliminasi malaria.

Keluarga besar Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik mengucapkan SELAMAT kepada Prof. dr. Emiliana Tjitra,

atas pengukuhannya...

(16)

REFORMASI BIROKRASI

DR. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes

Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa

pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Sebagai wujud komitmen nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014.

Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan, proses menata ulang, mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih baik

(profesional, bersih, efisien, efektif, dan produktif). Perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi seperti kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, aparatur, pengawasan dan pelayanan publik, yang dilakukan secara sadar untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis.

Perubahan tersebut dilakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi birokrasi secara tepat, cepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sesuai diamanatkan konstitusi. Perubahan kearah yang lebih baik, merupakan cerminan dari seluruh kebutuhan yang bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya menunjukan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang sebenarnya diharapkan, dengan keadaan yang sesungguhnya tentang peran birokrasi dewasa ini.

Sasaran Reformasi Birokrasi antara lain :

 Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN

 Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat

 Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi

Dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi ada 4 misi yang diusung yaitu :

1. M e m b e n t u k / m e n y e m p u r n a k a n p e r a t u r a n perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik

2. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mindset dan culture set.

3. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. 4. Mengelola sengketa administratif secara efektif

dan efisien.

Proses Reformasi yang sedang berjalan tentunya diharapkan memberi manfaat, yaitu: Penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, bersih dan bebas dari KKN, masyarakat mendapat pelayanan yang mudah cepat, ramah terjangkau dan informatif, kemampuan dan rasa tanggungjawab pegawai semakin meningkat.

Pelaksanaan reformasi dibagi dalam 8 area yaitu : 1. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik 2. Penataan Tata Laksana

(17)

4. Penguatan Pengawasan 5. Penataan Organisasi

6. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur 7. Penguatan Akuntabilitas Kinerja

8. Manajemen Perubahan Pola Pikir dan Budaya Kerja

Proses reformasi birokrasi diharapkan akan membawa perubahan antara lain pada peningkatan disiplin kerja, pegawai datang melaksanakan tugas tepat waktu, mengisi waktu di kantor dengan m e l a k s a n a k a n t u g a s y a n g m e n j a d i tanggungjawabnya sesuai dengan tugas dan fungsi dan mengikuti aturan yang berlaku serta tepat sasaran Bekerja dengan hati yang tulus dan berupaya meningkatkan pelayanan maupun meningkatkan keahlian. Semua Pegawai Negeri Sipil mempunyai produktivitas yang tinggi karena mempunyai kinerja yang jelas.

Agar semua itu cepat terlaksana, maka perubahan harus dimulai dari sekarang, mulailah dari diri sendiri yang kemudian ditularkan kepada lingkungannya, sehingga menyebar dan pada akhirnya semua berubah kearah yang lebih baik.

Tentunya hal ini dapat kita mulai dari hal-hal yang kecil seperti absensi, kepatuhan untuk hadir tepat waktu kemudian berkembang pada hal-hal lain. Pelaksanaan perubahan tidak mengenal kata berhenti te ta p i di l a ksa n a ka n te r u s m en er u s d a n berkesinambungan. Mari kita mulai merubah mind set,

berpikir kearah positif, merubah budaya kerja, datang kekantor tidak hanya sekedar mengisi absen.

Di lingkungan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, sosialisasi pada

seluruh peneliti oleh “Agent of Change” dilakukan

secara bertahap pada peneliti di kantor Jakarta maupun di Bogor, para litkayasa dan juga seluruh pejabat struktural serta pelaksana administrasi lainnya. Sosialisasi juga disampaikan oleh nara sumber Assesor dari Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan, Bapak Dede Anwar Musadad, SKM, M.Kes dan Ibu Dra. Rahmaniar Brahim, Apt., M.Kes dari Itjen Kemenkes RI

Mari kita bersama mulai melaksanakan Reformasi Birokrasi di lingkungan sendiri, sesuai

(18)

KAUSASI

DR. Ir. Basuki Budiman, MScPH

Kausasi dimaksudkan adalah proses menimbang (judgement) suatu variabel atau faktor

sebagai penyebab suatu kejadian (penyakit, dsb). Pengenalan suatu sebab memudahkan seseorang memutuskan suatu tindakan yang tepat untuk memecahkan masalah. Lingkup tulisan ini membahas beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun, menganalisis dan menyimpulkan suatu penelitian. Kausasi sangat bermanfaat dalam melakukan kajian kumpulan hasil penelitian (review).

Penelitian pada dasarnya adalah proses memecahkan masalah untuk mencari kebenaran relatif. Ilmu dan pengetahuan selalu berkembang. Kebenaran saat ini belum tentu benar di masa yang akan datang. Temuan baru hasil penelitian akan memperbarui kebenaran yang dipercaya sebelumnya.

Kejadian ini selalu berulang secara “secular trend

atau yang dikenal dengan prinsip deducto-hipotetico-verifikasi. Penelitian dimulai dengan mengumpulkan fakta yang ada, menyusun teori dan hipotesis dan melakukan verifikasi termasuk menyimpulkan.

Penyusunan fakta untuk menyusun teori merupakan pekerjaan merunut fakta sedemikian rupa sehingga diperoleh kerangka teori dan menyusun hipotesis. Pada waktu merunut fakta, seseorang memerlukan pengetahuan faktor sebab dan akibat supaya tidak bertentangan dengan logika batang tubuh pengetahuan (body of knowledge). Beberapa

pedoman disarankan oleh cendekiawan untuk menimbang suatu faktor sebagai suatu sebab kejadian, antara lain Hill (1965).

Model Kausasi

Suatu kejadian tidak berdiri sendiri atau tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan pasti berkaitan dengan faktor lain. Rothman (1985) memberi contoh yang sederhana dan mudah dipahami. Jika tombol

sakelar listrik ditekan “on” maka bola lampu akan menyala. Kegiatan menekan sakelar listrik “on” tidak

serta merta menyimpulkan sebagai sebab bola lampu menyala. Faktor lain yang berkonstribusi antara lain kabel. Jika tidak ada kabel tidak mungkin bola lampu menyala. Oleh karena itu perlu prasyarat dan kejadian yang cukup (sufficient cause) untuk mengatakan suatu

faktor sebagai sebab.

Rothman mendefinisikan sufficient cause

sebagai berikut “ a set of minimal conditions and events

that inevitably produce disease”. Minimal prasyarat dan kejadian yang pasti menghasilkan akibat (disease).

Minimal dalam arti prasyarat dan kejadian tidak berlebihan. Dalam etiologi penyakit minimal dipadankan dengan onset penyakit. Namun demikian,

untuk efek biologis, banyak hal dan seringkali terjadi komponen sufficient cause (confounder) tidak

diketahui. Sebagai contoh “merokok penyebab kanker paru”. Di antara “merokok” dengan “sakit kanker paru” terdapat rangkaian kejadian atau prasyarat, sehingga “merokok” itu sendiri tidak cukup

(19)

UNICEF pernah mengenalkan sebab langsung, sebab antara dan akar masalah. Istilah ini diterapkan dalam analisis penyebab kurang gizi. Green dalam menganalisis motif seseorang bertindak, membedakan sebab dalam faktor predisposisi, faktor pendorong dan faktor penghambat.

Kausasi menurut Hill.

Hill memberi 9 (sembilan) bahan pertimbangan dalam menentukan suatu faktor sebagai sebab, yaitu:

1. Strength atau besaran kekuatan asosiasi/ hubungan antara faktor sebab dan faktor akibat. Besaran dinyatakan dengan rasio relatif atau rasio odd atau dalam analisis statistik regresi sebagai koefisien. Semakin besar besaran kekuatan asosiasi semakin besar peluang menyingkirkan atau mengabaikan komponen lain

(confounder). Misalnya rasio odd merokok sebagai

penyebab kanker paru sebesar 10 kali. Definisi merokok adalah menghisap rokok putih, tidak berfilter, 20 batang per hari selama 10 tahun atau lebih. Dalam hal ini faktor merokok dapat disimpulkan sebagai sebab. Jika besaran sangat kecil, misalnya rasio odd 1,10, maka bias tidak terdeteksi. Peran faktor lain, yang mungkin tidak diketahui, tidak terdeteksi.

2. Consistency adalah seri hasil pengamatan/

penelitian yang hampir sama walaupun dilaksankan pada populasi dan mungkin metode penelitian yang berbeda. Hal ini jarang terjadi. Biasanya berbeda metode berbeda hasil.

3. Specificity membutuhkan single efek, bukan

multi efek. Misalnya kuman tuberkolosis menyebabkan sakit tuberkolosis (TB) paru atau defisiensi iodium menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid (gondok, goiter). Jika kuman tuberkolosis dihilangkan tidak terjadi sakit TB atau jika iodium diberikan (profilaksis) maka goiter sembuh. Kuman TB dan iodium adalah

necessary cause.

4. Temporaly merujuk pada keharusan faktor sebab mendahului akibat (efek) dalam satu waktu dan tidak bertentangan dengan body of knowledge.

5. Biological gradient. Yang dimaksudkan adalah

dose-response effect. Semakin besar paparan (exposure) semakin parah akibat yang ditimbulkan. Keparahan akibat bergantung pada dosis sebab.

6. Plausibility lengkapnya adalah biologically plausible mechanism yaitu peran dari faktor sebab

sehingga akibat terjadi. Ringkasnya dalam ilmu kedokteran adalah patologi atau mekanisme kejadian penyakit dari fakor sebab itu. Sebagai contoh adalah pengaruh anemia terhadap kognisi. Anemia berpengaruh terhadap saraf pusat yang berkaitan dengan pendengaran. Mielinasi terganggu karena defisiensi zat gizi besi sehingga transmisi informasi dari auditori ke sistem saraf pusat memerlukan waktu yang lebih lama.

7. Coherence adalah hubungan sebab-akibat tidak bertentangan dengan pengetahuan yang ada mengenai riwayat alamiah dan biologi penyakit.

8. Experimental evidence merujuk pada hasil penelitian double blind randomized controlled trial

yang membuktikan bahwa pemberian intervesi

faktor yang “diduga sebab” memperbaiki atau memulihkan keadaan atau menetralisasikan „faktor akibat‟.

9. Analogy menjelaskan kesepadanan hasil observasi penelitian lain. Misalnya jika suatu obat dapat menyebabkan cacat lahir, bukan tidak mungkin obat lain juga mempunyai pengaruh yang sama.

Pada akhir urainnya Hill mengakui bahwa sem-bilan butir aspek yang disarankan tidak mutlak benar dan harus semuanya ada.

(20)

Telaah sembilan saran Hill

Hill menulis sarannya pada tahun 1965, saat itu ilmu statistik belum berkembang seperti sekarang. Teknik regresi multivariat tidak secanggih sekarang atau bahkan belum ditemukan, sehingga analisis hubungan antar variabel masih bivariat. Suatu kejadian tidak mungkin terjadi berdiri sendiri,

seperti kata Rothman bahwa „sebab‟ disertai „komponen sebab‟ atau dalam bahasa sekarang

dise-but konfonder. Oleh karena itu mengisolasi faktor yang diduga sebab menjadi satu-satunya faktor sebab (spesifisitas) adalah tidak mungkin.

Dalam hubungan dua variable seharusnya ditentukan faktor sebab (independent variable, IV) dan faktor akibat (dependent variable, DV) sehingga ditentukan sebab mendahului akibat. Koefisien korelasi, OR atau RR mungkin besar, namun kekuatan hubungan (asosiasi) akan dimodifikasi oleh faktor lain (konfonder). Besar kekuatan hubungan bukan tidak mungkin menjadi kecil karena faktor lain mempunyai hubungan yang lebih langsung

dibandingkan dengan faktor „sebab‟ yang dianalisis.

Hubungan yang lemah (OR kecil) tidak menghapus

konstribusi faktor „sebab‟.

H a s i l s a t u p e n e l i t i a n , w a l a u p u n dilaksanakan dengan desain double blind randomized

controlled trial-pun, belum meyakinkan mendekati kebenaran relative. Oleh karena itu review (lebih disukai sistematik atau meta-analisis) lebih meyakinkan karena unsur konsistensi hasil penelitian tercakup. Hasil penelitian lain baik yang bersifat praklinis, klinis maupun pada populasi yang luas akan lebih menjelaskan mekanisme hubungan sebab-akibat. Konsistensi juga memenuhi hukum

bell shape” atau kurva normal. Satu penelitian

bagaikan pengambilan satu kelompok sampel dari satu populasi. Pengambilan sekelompok sampel dari populasi yang sama seharusnya menghasilkan kesimpulan yang sama.

Penelitian menghasilkan pengetahuan baru yang dapat menumbangkan atau bahkan memperkuat teori lama. Ilmu selalu berkembang. Sebagai contoh sebelumnya terutama untuk bayi berumur kurang dari enam bulan, yaitu 300 IU (7,5 mg). Untuk kelompok umur lebih tua ditetapkan 400 IU (10 mg). Periode tahun 2008 ditetapkan 400 IU dengan perubahan dasar penetapan RDA ke AI terutama untuk anak di bawah umur kurang dari 6 bulan. Tahun 2011 direkomendasi-kan 600 IU. Perubahan-perubahan penetapan terutama pada kebutuhan anak. Pengetahuan tentang

Analogi seperti yang dikemukakan oleh Hill mungkin lebih banyak subyektif dan dipenuhi oleh imaginasi atau intuisi peneliti. Sebaiknya tidak menggunakan butir ini untuk mempertimbangkan sebab-akibat suatu kejadian.

Penggunaan aspek kausasi

(21)

Tulisan kedua (McCann) menggunakan lima aspek, namun dua di antaranya (spesifisitas dan

ability to manipulate the effect agak tumpang tindih). Aspek lainnya adalah konsistensi, dose-response (biological gradient), dan biologically plausible mechanism. Kedua tulisan tersebut menyimpulkan bahwa walaupun sebagian aspek kausasi telah terpenuhi namun hubungan kausal belum dapat ditegakkan (established). Hal ini disebabkan antara lain penelitian ujicoba dengan perlakuan (trial) pada manusia tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan placebo (kosong) karena alasan etis, demikian pula penelitian pada otak manusia sangat terbatas dan penggunaan pada otak binatang coba tidak begitu saja dapat diterapkan (inference) pada otak manusia.

Penggunaan teknik regresi multivariate dengan memasukkan sebanyak mungkin faktor, tetap saja harus mempertimbangkan aspek kausasi. Pengabaian aspek kausasi ini sering ditemukan pada proporsal penelitian, analisis dan bahkan disertasi. Seringkali asosiasi sering diinterpretasikan bahkan dipaksakan sebagai hubungan sebab-akibat ( causal-effect).

Kesimpulan

Aspek kausasi masih tetap dibutuhkan dalam analisis hubungan sebab-akibat, walaupun kadang-kadang belum sampai mengisolasikan sebagai faktor sebab.

Aspek kausasi sangat membantu dalam menemukan sebab ketika menelaah kumpulan hasil penelitian serumpun (dalam topik yang sama).

Kepustakaan

1. Rothman KJ. Modern Epidemiology. Litle, Brown and Company. 2nd Prn. Boston. 1986 pp 7-21

2. Grantham-McGregor S, Ani C. A Review of studies on the effect of iron deficiency on cognitive development in children. J Nutr 2001;131:649S-668S

3. McCann JC, Ames BN. An Overview of evidence for causal relation between iron deficiency during development and deficiet in cognitive or behavioral function. Am J Clin Nutr 2007;85:931-45

4. Abrams SA. Vitamin D requirements of children:

“all my life‟s a circle”. Nutrition Reviews 2012;70

(22)

Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan

dalam Penelitian Kesehatan

drh. Endi Ridwan. M.Sc

Penelitian kesehatan meliputi penelitian biomedik, epidemiologi, sosial, serta perilaku dibidang kesehatan. Sebagian penelitian kesehatan dari bahan uji (obat) dapat dilakukan dengan cara in vitro,

memakai model matematik, atau simulasi komputer. Jika hasil penelitian dari bahan tersebut akan dimanfaatkan untuk manusia maka diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan hidup seperti: galur sel dan biakan jaringan. Untuk mengamati lebih jauh dalam mempelajari dan menyimpulkan reaksi bahan uji pada mahluk hidup secara utuh masih diperlukan hewan percobaan, karena mempunyai nilai pada setiap bagian tubuh dan terdapat interaksi antara bagian tubuh tersebut. Dalam rangkaian uji klinik pemanfatan hewan percobaan disebut uji pre klinik.

Hewan percobaan yang digunakan pada penelitian akan mengalami berbagai macam p e n d e r i t a a n y a i t u : k e t i d a k n y a m a n a n , ketidaksenangan, kesusahan, rasa nyeri dan terkadang berakhir dengan kematian. Oleh karena itu hewan yang dikorbankan dalam penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan dan menguntungkan bagi manusia patut dihormati, mendapat perlakuan yang manusiawi, dipelihara dengan baik dan diusahakan menyesuaikan pola dengan kehidupannya di alam. Prinsip etika penelitian, dalam pelaksanaan suatu penelitian, peneliti harus membuat dan menyesuaikan protokol dengan standar ilmiah dan etik penelitian kesehatan.

Etik penelitian kesehatan secara umum dikenal dengan tiga prinsip yaitu;

Respect: yaitu menghormati hak martabat makhluk hidup termasuk didalamnya hewan percobaan.

Beneficiary: yaitu memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko

Justice: Bersikap adil dalam hal ini ketika memanfaatkan hewan percobaan. Contoh sikap tidak adil:

1. Hewan di suntik/ dibedah berulang ulang untuk menghemat jumlah hewan

2. Memakai obat euthanasia yang menimbulkan rasa nyeri karena harganya lebih murah. S e t i a p p e n e l i t i a n k e s e h a t a n y a n g menggunakan hewan percobaan agar dapat dipertanggungjawabkan secara etis, selain memperhatikan prinsip umum juga harus menerapkan prinsip 3 R yaitu; Replacement, Reduction dan

Refinement.

Replacement: adalah keperluan atau alasan memanfaatkan hewan percobaan (spesies, asal hewan), sudah diperhitungkan secara seksama baik dari pengalaman terdahulu atau literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Replacement terbagi menjadi dua bagian yaitu;

 Relatif : mengganti hewan percobaan dengan memakai organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah.

 Absolut: mengganti hewan percobaan dengan memakai kultur sel/jaringan, atau dengan program komputer.

(23)

Refinement: adalah memperlakukan hewan percobaan secara humane (manusiawi), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan atau meminimalisir perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan percobaan sampai akhir penelitian. Pinsip Refinement adalah membebaskan hewan

percobaan dari beberapa kondisi yang dikenal dengan istilah 5 F (Freedom) yaitu bebas dari:

 Rasa lapar dan haus, dengan memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi untuk kesehatannya. Makanan dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan melalui analisa proximate makanan, analisa mutu air minum, dan uji kontaminasi secara berkala

 Ketidaknyamanan; menyediakan lingkungan bersih dan paling sesuai dengan biologi hewan percobaan yang dipilih (siklus cahaya, suhu, kelembaban lingkungan dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang, kebiasaan mengelompok atau menyendiri).

 Rasa sakit dan penyakit. Bebas dari penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, pemantauan terhadap hewan percobaan dan pengobatan jika diperlukan. Bebas dari rasa sakit dengan pemilihan prosedur dengan pertimbangan meminimalkan rasa sakit yang diderita dengan menggunakan anesthesia dan analgesia apabila diperlukan. Euthanasia

dilakukan dengan metoda yang “humane” oleh

orang yang terlatih untuk meminimalkan atau bahkan meniadakan penderitaan hewan.

 Ketakutan dan stress jangka panjang, dengan membuat kondisi lingkungan yang dapat mencegah stress, misalnya memberikan masa adaptasi/aklimatisasi, latihan bagi hewan terhadap prosedur penelitian. Semua prosedur dilakukan oleh tenaga yang qualified, dan terlatih untuk meminimalkan stress, dan juga

care terhadap hewan percobaan.

 Mengekspresikan tingkah laku alami dengan memberikan ruang dan fasilitas yang sesuai dengan biologi dan tingkah laku spesies hewan percobaan. Memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi species yang bersifat sosial): Pengandangan berpasangan atau berkelompok, kesempatan dan kebebasan untuk berlari, bermain dll.

Peneliti yang akan memanfaatkan hewan percobaan pada penelitian kesehatan harus mengkaji secara mendalam kelayakan, alasan pemanfaatan hewan dengan mempertimbangkan penderitaan yang akan dialami oleh hewan percobaan dan manfaat yang akan diperoleh untuk manusia.

Penanganan hewan percobaan selama penelitian mulai pemilihan, strain, asal hewan, aklimatisasi, pemeliharaan, tindakan yang direncanakan, termasuk tindakan untuk meringankan, mengurangi rasa nyeri atau meniadakan penderitaan hewan, siapa yang bertanggung jawab terhadap perawatan hewan, sampai cara mematikan dan membuang kadaver harus dijelaskan dengan rinci dalam protokol penelitian. Uraian perlakuan pada hewan percobaan jika dianalogikan berperan sebagai

Informed Consent bagi hewan dan menjadi penilaian

dalam etika pemanfaatan hewan percobaan. Rujukan :

1. Nomura T and Tajima Y. Defined Laboratory Animals,

Advances in Pharmacology and Therapeutics II.

Pergamon Press, Oxford and New York. 1982:15: 325-327 2. Insitute of Laboratory Animal Resources Commission on Life Sciences, Guide for the Care and Use of Laboratory Animals. National Research Council, USA: 1996. 3. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Komisi

Nasional Etik Penelitian Kesehatan Jakarta 2005. 4. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Suplemen

II Etik Penggunaan Hewan Percobaan. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Jakarta 2006.

(24)

Rahasia di balik

COKELAT

Mutiara Prihatini S.Gz, M.Si

Nindira Aryudhani, M.Si

Cokelat merupakan bahan makanan yang enak dan banyak kegunaannya. Bentuk produk coklat antara lain bubuk cokelat (cocoa powder) sebagai

bahan pembuat kue, permen cokelat (cocoa candy)

sebagai makanan kecil atau sebagai bahan untuk buah tangan bagi anak-anak, dan cokelat pengoles roti. Disamping itu, produk antara cokelat , misalnya lemak cokelat (cocoa butter) dapat dipakai sebagai

bahan pembuat kosmetika. Lemak cokelat biasa digunakan untuk membuat lipstick (Roesmanto 1991).

Organ tanaman kakao (T. cacao) yang paling sering diteliti adalah kelopak bunganya. Kelopak bunga tanaman kakao memiliki warna dasar yang berasal dari pigmen antosianin. Demikian halnya dengan organ yang lain, didominasi oleh pigmen antosianin, antara lain ligula, filamen benang sari dan buah (Bartley 2005). Senyawa aktif lain yang terdapat pada cokelat adalah theobromine, yang merupakan

komponen yang mirip dengan kafein (Anonim 2010a). Cokelat (chocolate) dibuat dari tanaman

kakao. Hal ini menunjukkan bahwa cokelat mangandung banyak manfaat kesehatan. Manfaat ini berasal dari flavonoid, yang berperan sebagai antioksidan, yang melindungi tubuh dari penuaan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas juga dapat menyebabkan kerusakan yang akan mengawali penyakit jantung (Chocolate Manufacturers Association 2010).

Cokelat gelap (dark chocolate) mengandung

banyak antioksidan, yang setidaknya ditemukan delapan kali lebih banyak dibandingkan pada buah stroberi. Flavonoid juga membantu relaksasi tekanan darah melalui produksi nitrit oksida serta menyeimbangkan hormon tertentu di dalam tubuh

(Chocolate Manufacturers Association 2010).

Flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa polifenol. Jenis flavonoid yang terkandung pada cokelat bernama flavonol. Konsumsi cokelat dengan kandungan kakao yang tinggi berkorelasi dengan manfaat positif bagi kesehatan yang diperoleh dari daya antioksidan flavonol sebagai hasil derivatisasi biji kakao (T. cacao) yang ditimbun di tanah dan

difermentasi. Dalam hal ini, dark chocolate dapat

membantu resistensi DNA terhadap stres oksidatif karena kandungan flavonoidnya (Anonim 2010b).

Dark chocolate bermanfaat untuk jantung.

Sebatang kecil dark chocolate setiap hari dapat

membantu menjaga jantung dan memperlancar sistem kardiovaskuler. Dua manfaat dark chocolate terhadap

kesehatan jantung adalah menurunkan tekanan darah dan menurunkan kolesterol. Studi telah menunjukkan bahwa konsumsi sebatang kecil dark chocolate setiap

hari dapat menurunkan tekanan darah pada tiap individu yang memiliki tekanan darah tinggi. Dark chocolate juga dapat mengurangi kolesterol LDL

hingga 10% (Chocolate Manufacturers Association 2010).

(25)

Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh tunggal (monounsaturated fatty acid) yang memiliki

manfaat bagi kesehatan. Asam oleat juga terkandung di dalam minyak zaitun (olive oil). Asam stearat

merupakan asam lemak jenuh (saturated fatty acid),

akan tetapi terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa asam stearat memiliki efek yang netral terhadap kolesterol. Asam palmitat juga merupakan asam lemak jenuh, yang dapat meningkatkan kolesterol dan resiko penyakit jantung. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sepertiga bagian dari lemak pada cokelat yang tidak baik untuk kesehatan.

Sebuah penelitian pada tahun 2008 menyatakan bahwa konsumsi sekitar 6,7 g dark chocolate dapat menurunkan jumlah protein yang berasosiasi dengan inflamasi di dalam aliran darah. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa pada para pengkonsumsi cokelat, kondisi trombosit darahnya menggumpal lebih lambat. Penggumpalan trombosit dapat mengawali pembentukan darah beku yang menyebabkan serangan jantung. Konsumsi cokelat dapat menurunkan tekanan darah dan mencegah pembentukan plak pada pembuluh arteri, serta memperbaiki aliran darah, terutama ke otak. Perbaikan aliran darah ke otak tersebut dibantu oleh flavonoid, sehingga seseorang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan lebih baik. Cokelat juga memiliki manfaat antikanker, karena flavonoid dapat membantu mengurangi kerusakan sel yang dapat memacu pertumbuhan tumor (Rettner 2010).

Flavonoid merupakan senyawa yang terdapat pada biji kakao, yang berperan sebagai antioksidan untuk membantu melindungi sel dalam melawan kerusakan yang datang dari toksin di lingkungan maupun yang berasal dari zat sisa metabolisme tubuh. Konsumsi flavonoid dapat terkait dengan manfaat bagi kesehatan jantung. Akan tetapi, flavonoid memiliki rasa pahit, sehingga membuat para produsen cokelat menghilangkan senyawa ini pada saat pengolahan cokelat. Produk cokelat yang masih memiliki kandungan flavonoid adalah dark chocolate, karena tidak banyak mengalami tahap proses pengolahan (Rettner 2010).

Konsumsi cokelat tetap harus memperhatikan konsumsi terhadap makanan yang lain. Pada faktanya, sebagian besar cokelat yang biasa dikonsumsi adalah cokelat sebagai permen yang mengandung banyak gula. Gula tersebut membuat kandungan kalori pada produk cokelat menjadi semakin tinggi. Hal ini menjadi tidak baik jika produk cokelat dikonsumsi dalam jumlah berlebihan, karena akan mengambil tempat bagi makanan bergizi yang lain yang seharusnya juga dikonsumsi. Disamping itu, jika cokelat dikonsumsi secara berlebihan, maka sangat memungkinkan buah dan sayur tidak dikonsumsi lagi. Hal ini mengingat bahwa buah dan sayur juga merupakan bahan pangan yang penting untuk kesehatan jantung dan pencegahan penyakit (Rettner 2010).

Kepustakaan

[Anonim]. 2010a. Theobroma cacao. http:// en.wikipedia.org/wiki/ Theobroma_cacao [Diakses tanggal 23 April 2010].

[Anonim]. 2010b. Types of Chocolate. http:// en.wikipedia.org/wiki/ Types_of_chocolate [Diakses tanggal 14 April 2010].

Bartley BGD. 2005. The Genetic Diversity of Cacao and Its Utilization. UK: King‟s Lynn, Biddles Ltd.

Chocolate Manufacturers Association. 2010. Health Benefits of Chocolate.

http://longevity.about.com/od/lifelongnutrition/p/ chocolate.htm [Diakses tanggal 17 Maret 2010]. Rettner R. 2010. Sweet! Chocolate May Lower Stroke

Risk. http://www.msnbc.msn.com/id/35354279/

[Diakses tanggal 17 Maret 2010].

Gambar

Gambar 1 (Natural History of Disease / NH), misalnya faktor

Referensi

Dokumen terkait