BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan teori terbentuknya negara1, sesungguhnya negara terbentuk
dari sekelompok individu yang saling berinteraksi satu sama lain hingga
membentuk keluarga, berlanjut hingga membentuk masyarakat dan suku-suku.
Sampai disini manusia membentuk persekutuan-persekutuan tersebut masih
didorong oleh kebutuhan alamiah. Namun manusia tidak berhenti sebatas
kebutuhan alamiah semata akan tetapi terus berlanjut menyentuh kepentingan
yang mengakibatkan persekutuan-persekutuan tersebut membentuk suatu entitas
masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya dengan membentuk
negara. Dengan kata lain negara dibentuk tidak hanya memenuhi kebutuhan
semata tetapi juga untuk memenuhi kepentingan-kepentingan manusia.2
Negara adalah lanjutan dari keinginan manusia yang hendak bergaul antara
seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan
hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya,
maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang
1
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 14
Menurut Socrates negara bukanlah semata-mata merupakan suatu keharusan yang bersifat obyektif, yang asal mulanya berpangkal pada pekerti manusia. Sedang tugas negara adalah menciptakan hukum, yang harus dilakukan oleh para pemimpin, atau para penguasa yang dipilih secara saksama oleh rakyat. Disinilah tersimpul pikiran Demokratis daripada Socrates. Ia selalu menolak dan menentang keras apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajarannya yaitu menaati undang-undang.
2
Fitra Waluyandi, Mengapa Manusia membentuk negara?, dikutip dar
akanmelindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.3Dikaitkan dengan hukum
internasional, definisi negara dikemukakan lebih lengkap oleh Henry C. Black. Ia
mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen
menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum
yang, melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka
dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya,
mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan
internasional dengan masyarakat internasional lainnya.4Hal ini tidak jauh berbeda
dengan unsur suatu negara yang tercantum dalam Pasal 1 Montevideo (Pan
American) Convention on Rights and Duties of States of 1933. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut:5
a. a permanent population;
“The State as a person of international law should possess the following qualifications:
b. a defined territory; c. a government; and
d. a capacity to enter into relation with other States.”
Pada unsur keempat ini, Oppenheim-Lautherpacht menggunakan kalimat
“pemerintah harus berdaulat” (sovereign).6
3
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: Armico, 2002, hlm. 27 4
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 2
5
Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933. Konvensi Montevideo ini disahkan pada konverensi Internasional negara-negara Amerika di kota Montevideo yang ke-7 pada 26 Desember 1933. Lima belas negara Amerika Latin yang menghadiri konvensi ini dan Amerika Serikat juga adalah peserta konvensi ini. Konvensi ini, dan terutama pasal 1 nya, telah diterima dan dianggap sebagai unsur-unsur yang umum sebagai prasyarat adanya suatu negara menurut Hukum Internasional.
6
Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan tertinggi yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kebebasan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.
Negara dikatakan berdaulat atau
dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai
kekuasaan tertinggi.Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas
wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di
dalam batas wilayahnya.Di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki
kekuasaan demikian.7
Unsur inilah yang paling penting dari segi hukum internasional.Ciri ini
pula yang membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti
anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan
luar negerinya dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota
masyarakat internasional yang mandiri.8
7
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, 2003, hlm 16
8loc.cit
, Huala Adolf
Sama halnya seperti manusia, negara tidak dapat berdiri sendiri untuk
mencapai tujuannya, dia membutuhkan negara lain yang dapat membantunya
untuk memenuhi kebutuhan negaranya tersebut. Seiring perkembangan globalisasi
internasional, membuat semakin berkembang pula kepentingan suatu negara
terhadap negara lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal ini dirasakan
masyarakat internasional dewasa ini bukan saja karena meningkatnya kepentingan
negara-negara di dunia dalam segala bidang, tetapi juga untuk menciptakan
suasana yang lebih aman dan damai dalam lingkungan pergaulan
internasional.Kepentingan tersebut terdiri dari bermacam-macam bidang, seperti
contohnya dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan lain
Saling membutuhkan antara negara-negara di berbagai lapangan
kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan
terus-menerus antara negara-negara, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk
memelihara dan mengatur hubungan demikian.Karena kebutuhan antar
negara-negara timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan
yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.9
Oleh karena kepentingan tersebut menyangkut kepentingan banyak negara,
maka perlu diatur melalui hukum internasional agar kepentingan masing-masing
negara dapat terjamin. Hukum internasional sebagaimana yang dimaksud diatas,
dapat diimplementasikan dalam bentuk suatu perjanjian internasional, dimana
suatu negara dapat mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian internasional itu
sendiri dengan negara lain atau bahkan dengan suatu organisasi internasional.
Perjanjian internasional yang dimaksud adalah seperti yang tercantum pada Pasal
2 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang berbunyi:10
9op.cit
, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 13
“treaty,
means an international agreement concluded between States in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two
or more related instruments and whatever its particular designation”
10
Bung Pokrol, Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional?, dikutip
dari
Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969, Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari
Perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi perjanjian internasional
tertulis dan perjanjian internasional tidak tertulis.11Perjanjian internasional tertulis
adalah setiap perjanjian internasional yang dituangkan dalam instrumen-instrumen
pembentuk perjanjian yang tertulis dan formal.Maksudnya adalah perjanjian ini
dituangkan dalam suatu instrumen tertulis yang pembentukannya memiliki
prosedur atau aturan tertentu berdasarkan hukum internasional, sehingga
instrumen tertulis itu menjadi instrumen otentik. Instrumen-instrumen tertulis ini,
sebagai contoh, antara lain: konvensi (convention), protokol (protocol),
persetujuan (agreement), statuta (statute), deklarasi (declaration), dan sebagainya.
Sedangkan, perjanjian internasional tidak tertulis dapat diartikan sebagai setiap
perjanjian internasional yang dibuat melalui instrumen-instrumen tidak
tertulis.Instrumen tidak tertulis dapat berupa ucapan lisan, tindakan tertentu dari
negara atau subjek hukum internasional lainnya dan tulisan yang pembentukannya
tidak melalui atau membutuhkan prosedur tertentu.12
Sebagai subjek hukum internasional penuh, setiap negara memiliki
kemampuan membentuk perjanjian internasional.Hal ini berbeda dengan
organisasi internasional, karena tidak semua organisasi internasional mempunyai
kemampuan tersebut. Perbedaan ini terlihat apabila Pasal 6 Vienna Convention
1969, yang menentukan:13Every State possesses capacity to conclude treaties,
dibandingkan dengan Pasal 6 Vienna Convention 1986, yang berbunyi:14
11
F. A. Whisnu Situni, Indentifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989, hlm. 32
12
op. cit, Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, hlm. 33 13ibid.,
hlm. 34
14Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986
capacity of an international organization to conclude treaties is governed by the
rules of that organization.
Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu
konferensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang
merupakan anggaran dasarnya yang biasa disebut piagam, covenan, atau statuta,
atau dengan istilah yang lebih umum disebut juga dengan konstitusi dari
organisasi internasional.Atas dasar piagam atau konstitusinya itulah suatu
organisasi internasional didirikan.Di dalam piagamnya itu ditentukan tentang
asas-asas dan tujuan dari organisasi internasional maupun organ-organ serta
mekanisme bekerjanya.15
Meskipun anggota-anggotanya adalah negara-negara, tetapi kedudukan
organisasi internasional itu tidaklah diatas negara, melainkan sejajar atau sederajat
dengan negara.Justru karena kedudukannya yang sederajat dengan
negara-negara itulah, maka organisasi internasional dapat mengadakan dan terlibat dalam
hubungan-hubungan internasional, seperti halnya negara dan subyek hukum
internasional lainnya. Atau seperti dikemukakan G. I. Tunkin: “international
organizations are not situated above international relations, but are within the
system of these relations”.16
Hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu organisasi internasional dalam
mengadakan hubungan-hubungan internasional atau menjadi pihak dalam suatu
perjanjian internasional, terbatas pada bidang dan ruang lingkup kegiatannya atau
apa yang menjadi maksud dan tujuan dari organisasi internasional itu
15
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bag:1, Bandung: CV. Mandar Maju, 2002, hlm. 22
sendiri.17Misalnya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai
salah satu organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara.ASEAN
yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 pada hakikatnya merupakan
organisasi regional yang tertutup (closed regional organization) karena
keanggotaannya tidak terbuka untuk kelompok negara-negara
lainnya.Keanggotaan ASEAN hanya negara-negara yang termasuk di dalam
kawasan Asia Tenggara.18 Sebagaimana ketentuan dalam isi Bangkok Declaration
keempat: “… the association is open for participation to all States in the
South-East Asian Region…”19
1. To accelerate the economic growth, social progress and cultural development in the region through joint endeavours in the spirit of equality and partnership in order to strengthen the foundation for a prosperous and peaceful community of South-East Asian Nations; Kewenangan ASEAN dalam mengadakan hubungan-hubungan
internasional pun terbatas pada tujuan pembentukan ASEAN itu sendiri yang
tercantum dalam Bangkok Declaration, yaitu:
2. To promote regional peace and stability through abiding respect for justice and the rule of law in the relationship among countries of the region and adherence to the principles of the United Nations Charter; 3. To promote active collaboration and mutual assistance on matters of
common interest in the economic, social, cultural, technical, scientific and administrative fields;
4. To provide assistance to each other in the form of training and research facilities in the educational, professional, technical and administrative spheres;
17ibid.,
hlm. 23 18
Anggota IKAPI, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, PT Alumni, Bandung, 1997, hlm. 83
19
The ASEAN Declaration (Bangkok Declaration), Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan landasan kesepakatan untuk mengadakan kerja sam
yang terdiri dar
Menteri Malaysia),
Negeri Singapura) da
5. To collaborate more effectively for the greater utilization of their agriculture and industries, the expansion of their trade, including the study of the problems of international commodity trade, the improvement of their transportation and communications facilities and the raising of the living standards of their peoples;
6. To promote South-East Asian studies;
7. To maintain close and beneficial cooperation with existing international and regional organizations with similar aims and purposes, and explore all avenues for even closer cooperation among themselves.20
Disamping itu, untuk diakui statusnya di dalam hukum internasional baik
sebagai organisasi internasional maupun organisasi regional, suatu organisasi
memerlukan tiga syarat penting.Pertama, adanya persetujuan internasional. Dalam
pembentukan ASEAN, para negara pendirinya, yaitu Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand membentuk ASEAN tanpa perjanjian atau
persetujuan yang akan diratifikasi oleh anggotanya melainkan hanya dengan suatu
Deklarasi yang ditandatangani oleh kelima wakil negara tersebut. Dengan
demikian, adanya persetujuan internasional dalam arti multilateral adalah tidak
mutlak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry G. Scohremen:
“Agreements between States can be expressed in other ways. Their
representatives assembled in a conference, may decide to establish a
public international organization without using the form of a treaty and
without the usual proviso for subsequent ratification by each of States”21
Kedua, harus memiliki badan-badan penggerak organisasi atau struktur
organsasi. Dalam hal ini, ASEAN telah membentuk badan-badan seperti Sidang
Tahunan Menteri Luar Negeri (Annual Meeting of Foreign Ministers) yang
20
Hasnil Basri Siregar, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hlm. 145
21op.cit
merupakan badan tertinggi dari ASEAN yang diadakan secara bergiliran di
ibukota masing-masing negara anggota, Standing Committee yang melakukan
tugas-tugas ASEAN selama antar Sidang Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN,
Ad HocCommittee dan Permanent Committees serta Sekretariat Nasional yang
dibentuk di setiap negara anggota.
Ketiga, pembentukannya harus dibawah hukum internasional. Jika dilihat
baik Bangkok Declaration 1997, Kuala Lumpur Declaration 1971, Declaration of
ASEAN Concord 1976, Agreement on the Establishment of the ASEAN Secretariat
1976 maupun Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia 1976,
semuanya adalah merupakan persetujuan-persetujuan internasional antara kelima
negara anggotanya yang mengikat secara hukum internasional.
Kembali merujuk pada syarat kedua, dalam pendirian ASEAN diperlukan
suatu badan yang berfungsi sebagai badan administratif yang membantu
koordinasi kegiatan ASEAN dan menyediakan jalur komunikasi antara
negara-negara anggota ASEAN dengan berbagai badan dan komite dalam ASEAN, serta
antara ASEAN dengan negara-negara lain (Mitra Wicara ASEAN) maupun
organisasi lainnya.Oleh karena itu pada KTT ke-1 ASEAN di Bali tahun 1976,
para Menteri Luar Negeri ASEAN menandatangani Agreement on the
Establishment of the ASEAN Secretariat. Sekretariat ASEAN berfungsi sejak
tanggal 7 Juni 1976, dikepalai oleh seorang Sekretaris Jenderal, dan berkedudukan
di Jakarta yang semula bertempat di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
hingga diselesaikannya pembangunan gedung Sekretariat ASEAN di Jakartatahun
Selanjutnya untuk memperkuat Sekretariat ASEAN, para Menteri Luar
Negeri ASEAN mengamandemen Agreement on the Establishment of the ASEAN
Secretariat melalui sebuah protokol di Manila tahun 1992. Protokol tersebut
menaikkan status Sekretariat Jenderal sebagai pejabat setingkat Menteri dan
memberikan mandat tambahan untuk memprakarsai, memberikan nasihat,
melakukan koordinasi, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan ASEAN.22
B. Perumusan Masalah
Di dalam pendirian Sekretariat ASEAN, tentu saja hal ini tidak terlepas
dari perjanjian internasional yang dibuat antara ASEAN dengan negara tuan
rumah (host country) yang mana adalah Indonesia. Perjanjian ini dikenal dengan
Host Country Agreement.Host Country Agreement tersebut memuat kapasitas
hukum ASEAN di Indonesia, tanggung jawab para pihak, perlindungan terhadap
tempat, pemberian Privileges and Immunities, serta siapa saja pihak yang
mendapatkan Privileges and Immunties tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dirasa penting untuk mengkaji lebih
lanjut bagaimana status perjanjian internasional yang dibuat antara ASEAN
dengan Indonesia dalam hal pendirian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta
saat ini, sehingga melatarbelakangi penulis untuk memberikan judul: Status Perjanjian Internasional Antara Indonesia dengan ASEAN dalam Pendirian Sekretariat ASEAN di Jakarta terkait dengan Host Country Agreement
(HCA).
22
Visensia Evitaria, ASEAN, dikutip dar
Berdasarkan judul dan latar belakang yang penulis paparkan, adapun
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi internasional
regional menurut hukum internasional?
2. Bagaimana keberadaan Host Country Agreement dalam masyarakat
internasional kaitannya dengan pembuatan Sekretariat ASEAN di Jakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
skripsi ini antara lain:
1. Untuk mengetahui kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi
internasional regional menurut hukum internasional.
2. Untuk mengetahui keberadaan Host Country Agreement di dalam
masyarakat internasional terkait dengan pembuatan Sekretariat ASEAN di
Jakarta.
Manfaat Penelitian
Secara praktis dapat memberikan pengertian dan informasi tentang
bagaimana kedudukan ASEAN sebagai suatu organisasi internasional regional
menurut hukum internasional. Selain itu, kiranya kehadiran tulisan ini mampu
memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum internasional
dan juga menjadi sebuah persembahan bagi masyarakat luas terkhusus untuk
Utara agar dapat memahami bagaimana keberadaan Host Country Agreement
dalam perjanjian pendirian Sekretariat ASEAN di Indonesia.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian
ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang
lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama,
demikian juga dengan pembahasan yang diuraikan berdasarkan pemeriksaan oleh
Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara tertanggal 11 September 2014. Dalam hal mendukung penelitian
ini, dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang ada hubungannya dengan
masalah dan pembahasan yang disajikan.
E. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari berbagai sumber yang
dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan berupa buku-buku,
laporan-laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu akan diberikan penegasan dan
pengertian dari judul penelitian yang diambil dari sumber-sumber yang
memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, yang ditinjau dari sudut
etimologi dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari
pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.
SEKRETARIAT ASEAN DI JAKARTA TERKAIT DENGAN HOST COUNTRY AGREEMENT (HCA)” dapat diartikan secara etimologis:
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum
tertentu.Jadi termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antara
suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lannya.Juga dapat
dianggap sebagai perjanjian internasional, perjanjian yang diadakan antara Tahta
Suci dengan negara-negara. Sebaliknya tidak dapat dianggap sebagai perjanjian
internasional dalam arti diutarakan di atas perjanjian internasional dalam arti
diutarakan di atas perjanjian tidak adil (unequal treaties) yang pernah diadakan di
masa lampau, contohnya serikat-serikat dagang yang besar, seperti East India
Company dan Verenigde Oost Companiedengan kepala-kepala negeri bumi
putera.23
Perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi beberapa golongan,
seperti:
Dari uraian ini jelaslah dikemukakan bahwa untuk dapat dinamakan
perjanjian internasional, suatu perjanjian harus diadakan oleh subyek hukum
internasional yang juga merupakan anggota masyarakat internasional.
24
1. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jumlah Pesertanya
Dalam pembuatan suatu perjanjian internasional, dapat dilakukan oleh
dua negara, tiga, maupun lebih dari itu.Secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni perjanjian internasional bilateral yaitu
perjanjian internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di
23
T. May Rudy, Hukum Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hlm. 4 24
dalamnya terdiri atas dua negara saja, serta perjanjian internasional
multilateral yaitu perjanjian internasional yang peserta atau pihak-pihak yang
terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua negara.
Perbedaan antara perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral ini
berkaitan dengan masalah persyaratan, dan sifat atau hakekat dari kaidah
hukum yang dapat timbul/lahir dari isi perjanjian tersebut. Dalam perjanjian
bilateral, kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan
terhadap semua isi/pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau
tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku
sebagai hukum positif. Sedangkan dalam perjanjian multilateral,
negara-negara yang hendak mengikatkan dirinya dapat mengajukan persyaratan
sepanjang tidak secara tegas dilarang oleh perjanjian itu dan sepanjang tidak
bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian tersebut.Dengan
demikian, tunduk atau terikatnya suatu negara pada suatu perjanjian
internasional tidak perlu harus secara penuh, tanpa merombak atau merubah
lagi rumusan naskah atau pasal-pasal yang telah dihasilkan.
2. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Kaidah Hukum yang Dilahirkannya
Ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya, perjanjian
internasional terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang khusus
berlaku bagi pihak-pihak yang bersangkutan, atau yang lazim disebut
b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku umum atau yang terbuka bagi pihak ketiga, atau disebut law
making treaty atau perjanjian umum.
3. Perjanjian Internasional yang Ditinjau dari Prosedur atau Tahap
Pembentukannya.
Ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya, maka suatu
perjanjian internasional dapat dibedakan antara:
a. Perjanjian Internasional yang Melalui Dua Tahap.
Kedua tahap ini adalah tahap perundingan (negotiation) dan
tahap penandatanganan (signature).Dalam tahap perundingan,
wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara
khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang
dirundingkan itu.Selanjutnya pada tahap kedua yaitu tahap
penandatanganan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan
mengikat bagi para pihak yang bersangkutan.Dengan demikian, tahap
terakhir ini mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak
terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internasional yang Melalui Tiga Tahap
Pada jenis perjanjian internasional ini, ditambahkan satu tahap
terakhir yaitu tahap pengesahan (ratification).Pada tahap ini, agar
perjanjian yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil tersebut mengikat
pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau
diratifikasi.Jadi, dengan dilaluinya tahap pengesahan dan tahap
ratifikasi ini, barulah perjanjian itu dapat berlaku atau mengikat bagi
para pihak yang bersangkutan.
4. Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jangka Waktu Berlakunya
Pembedaan atas perjanjian internasional berdasarakan atas jangka
waktunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu
sendiri.Sebab tentang jangka waktu berlakunya ini, di dalam beberapa
perjanjian internasional ditentukan secara tegas. Misalnya, untuk jangka
waktu lima tahun, sepuluh tahun dan seterusnya.
ASEAN adalah suatu Perhimpunan Regional dari negara-negara
merdeka di kawasan Asia Tenggara yang didirikan di Bangkok pada 8
Agustus 1967, dengan ditanda-tanganinya Deklarasi ASEAN oleh
negara-negara pendirinya yakni Republik Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura,
dan Thailand. Ke lima negara ini selain merupakan negara pendiri ASEAN,
mereka juga merupakan negara-negara anggota ASEAN yang pertama. Hal
ini mengingat bahwa menurut Deklarasi ASEAN, Perhimpunan Regional ini
keanggotaannya terbuka bagi semua negara yang berada di kawasan Asia
Tenggara, dengan syarat bahwa mereka harus menyetujui dasar-dasar dan
tujuan organisasi ini sebagaimana yang tercantum di dalam Deklarasi
ASEAN.25
251967-1977 Dasawarsa ASEAN
Sekretariat adalah bagian organisasi yang menangani pekerjaan dan
urusan yang menjadi tugas sekretaris; kepaniteraan.26Sekretariat ASEAN
didirikan pada Februari 1976 oleh Menteri Luar Negeri ASEAN. Pada
awalnya Sekretariat ASEAN bertempat di Departemen Luar Negeri Indonesia
di Jakarta, kemudian berpindah ke Jalan Sisingamangaraja 70A, Jakarta
setelah diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, H.E. Soeharto pada
tahun 1981.27
Host Country Agreement adalah perjanjian yang mengatur kewajiban
masing-masing pihak, serta memberikan status hukum, hak-hak khusus, dan
imunitas kepada organisasi internasional untuk menjalankan fungsinya di
wilayah kedaulatan dari negara tuan rumah(host state).28 Dalam hal Host
Country Agreement antara Indonesia dengan ASEAN ini, ditetapkanlah tugas
dan tanggung jawab dari para pihak serta hak istimewa dan kekebalan, yang
diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk ASEAN, termasuk Sekretariat,
untuk memungkinkannya melakukan fungsi dan tugasnya secara efektif.29
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh
data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi:
26
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2008, dimuat dalam
17.40 WIB 27
ASEAN Secretariat
15 Mei 2015 pukul 18.08 WIB 28
Andin Aditya Rahman, Tentang Headquarters Agreement dan Kebiasaan Internasional,
dikutip dar
WIB 29
ASEAN Secretariat News, Indonesia and ASEAN Sign Host Country Agreement, dikutip
dari
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan
undangan, yang antara lain berupa konvensi internasional ataupun
perundang-undangan nasional Indonesia serta bahan-bahan hukum lain.
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif yang
menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis,
faktual, dan akurat.30
3. Data Penelitian
Penelitian deskriptif juga merupakan penelitian yang
berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi
atau hubungan baik yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang
sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang
kecenderungan yang tengah berlangsung.
Penelitian deksriptif juga dirancang untuk memperoleh informasi
tentang status suatu gejala saat penelitian dilakukan dan penelitian deskriptif
tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, serta tidak ada uji
hipotesis sebagaimana yang terdapat dalam penelitian eksperimen.
Sumber data yang diperoleh berasal dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
termasuk dalam sumber-sumber hukum internasional yang mencakup
30
perjanjian atau konvensi internasional, misalnya yang terdapat dalam
Vienna Convention on the Law of Treaties between States and
International Organizations or between International Organizations
1986, serta berbagai konvensi lainnya dan peraturan
perundang-undangan nasional yang terdapat di Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: buku-buku, termasuk jurnal hukum, serta
hasil-hasil penelitian.
c. Bahan hukum tersier, bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Hukum, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
4. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
yuridis normatif dan mempergunakan data sekunder, maka penelitian ini
mengacu kepada Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu
mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari buku-buku yang
menulis tentang ASEAN, baik karangan dalam negeri maupun luar negeri,
serta peraturan-peraturan yang mengaturnya secara internasional seperti
ASEAN Charter.
5. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistemasi terhadap bahan-bahan
bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis ingin menjabarkan secara singkat
mengenai isi dari skripsi ini. Skripsi ini terbagi dalam empat bab. Berikut
dijabarkan garis besar atau sistematika penulisan dari penelitian ini yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Di dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode pengumpulan data serta
sistematika penulisan skripsi.
BAB II KEDUDUKAN ASEAN SEBAGAI SUATU
ORGANISASI INTERNASIONAL REGIONAL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Di dalam bab ini dibahas mengenai sejarah terbentuknya
ASEAN, tugas dan wewenang ASEAN, serta kedudukan
ASEAN sebagai suatu organisasi internasional regional
BAB III KEBERADAAN HOST COUNTRY AGREEMENT DI DALAM MASYARAKAT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN PENDIRIAN SEKRETARIAT ASEAN DI JAKARTA
Di dalam bab ini dibahas mengenai Host Country
Agreement dan perkembangannya dalam masyarakat
internasional, Host Country Agreement sebagai dasar
pendirian Sekretariat organisasi di suatu negara, pemberian
Privileges and Immunities dalam Host Country Agreement
terkait dengan pendirian Sekretariat ASEAN di Jakarta,
serta keberadaan Sekretariat ASEAN di Jakarta.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran terkait
dengan perjanjian internasional antara ASEAN dan
Indonesia dalam pendirian Sekretariat ASEAN di Jakarta