• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cipto Sembodo Dosen FAI UCY c.sembodogmail.com abstract - Tampilan DARI KHILAFAH KE NATION-STATES: TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Cipto Sembodo Dosen FAI UCY c.sembodogmail.com abstract - Tampilan DARI KHILAFAH KE NATION-STATES: TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM ERA MODERN

Cipto Sembodo Dosen FAI UCY

c.sembodo@gmail.com

abstract

This article discusses the transformation of Islamic law in the modern era, following the succession of the Khilafah system into nation-state in the Muslim world. The subject observes the phenomenon of Shari'a's escape from the control and power of ulama, who is traditionally regarded as the goalkeeper and the bearer of the aspirations of Islamic law. The discursive-thematic transformation takes place following the social dynamics that demand the contextual answer of Islamic law. The transformation of Islamic law did also occur on structural ways. These transformations in due course of the time will affect the form, institution and implementation of Islamic law which entirely involves the role of the State, especially in matters relating to the public.

Keywords: Transformation, Islamic Law, Khilafah, nation state

A. Pendahuluan

Isu khilafah kembali menyeruak. Publik Islam kembali dipertontonkan ―drama‖ perseteruan Islam versus negara. Kasusnya adalah dicabutnya status badan hukum organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengklaim pembawa ideologi ―khilafah Islam‖ versus negara (nation state) Indonesia dengan Perpu No. 2 tahun 2017. Sayangnya, gegap gempita isu ini, nyaris tidak menyisakan diskusi tentang apa dan bagaimana khilafah itu, sebagai sistem maupun ideologi yang bekerja secara historis serta pergantiannya menjadi negara bangsa (nation-state) di dunia Islam. Pun demikian, akibatnya terhadap hukum Islam.

(2)

Dalam negara modern, kontrol, kekuasaan, formulasi hingga pelaksanaan hukum Islam berada di bawah kuasa legislator, politisi dan negara (state) berikut organ berserta birokrasinya. Peran dan kedudukan hukum Islam juga berada diantara tarik-menarik, perdebatan kontroversial bahkan polarisasi intelektual-ideologis politik Islam dan ―negara―.1 Belakangan, isu ini makin makin menguat dan menentukan

peta politik serta bentuk-bentuk intelektual dan praktik pelembagaan hukum Islam ketika antusiasme dan kesadaran Syari‘ah melanda hampir seluruh dunia Islam.

Ketiadaan sumber-sumber utama Islam yang menunjukkan secara

definite tentang bentuk -mekanisme bernegara disebut-sebut sebagai satu hal yang menyebabkan berlarutnya kondisi di atas. Meski secara teologis memberikan ajaran yang lengkap meliputi hubungan vertikal dengan Allah (الله نم ليح) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia ( نم ليح

سانلا), tetapi Islam menyinggung soal-soal politik dalam bentuk prinsip-prinsip dasar yang masih bersifat sangat umum, seperti keadilan, ةلادعلا

musyawarah يروش,kepercayaan, ةناملأأ , persamaan, ةواسملا dan sebagainya. Di era modern, terjadi beragam perbedaan teoretis dan praktis, antara ―daulah‖ Islam sebagai praktek era klasik dan pertengahan dengan ―negara‖ di era modern. Hal ini berpusat pada paham negara-bangsa (nation states) yang diperkenalkan di Barat oleh Machiavelli (1469-1527).2

Dalam negara-bangsa (nation state), pembentukan sebuah negara lebih didasarkan pada kesamaan warga negara, bahasa, teritorial, nasionalisme, pemerintahan dan kedaulatan rakyat.3 Hal-hal tersebut tentu saja asing

bagi masyarakat muslim pada masanya. Nation states, dengan demikian, menciptakan ketegangan historis dan konseptual di tengah-tengah umat Islam pada masa modern kini.

Bagaimanakah negara bangsa modern (nation state) itu membawa perubahan peta politik hukum Islam?, apa dan sampai di mana pengaruhnya terhadap bangunan pemikiran dan praktek hukum Islam itu sendiri? Beberapa hal inilah yang coba didiskusikan tulisan ini. Pertama, dibahas khilafah pra-modern. Berikutnya, didiskusikan munculnya konsep negara bangsa (nation-state) era modern. Dua hal ini penting diketahui untuk menganalisis perbedaan berikut problematika hukum Islam sekaligus untuk merekam tawaran-tawaran solusi terhadap problem relasi dan pergumulan hukum Islam dan negara bangsa.

B. Khilafah Dan Sejarah Bernegara Islam

(3)

mempunyai hubungan erat dengan persoalan kenegaraan. Islam memberikan pandangan dunia dan kerangka makna bagi kehidupan individu maupun masyarakat.4 karena itu, dalam ralitasnya komunitas

Islam berifat spiritual sekaligus temporal.5 Islam adalah agama (din) dan

sekaligus negara (daulah).

Pandangan seperti itu didukung oleh kenyataan bahwa pada masa awal Islam, setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW. membentuk satu bentuk negara-kota (city-state) di Madinah yang bersifat ketuhanan. Menurut Esposito, di dalam komunitas baru itulah (622-632) Muhammad SAW. menjadi pemimpin politik sekaligus pemimpin keagamaan.6 Beliau adalah seorang Nabi, pemimpin negara, panglima

pasukan perang, hakim dan juga seorang penentu kebijakan. Otoritas demikian itu didasarkan pada sumber utama Islam, al-Qur‘an.7 Dalam

membuat keputusan, Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik sering kali meminta masukan dari sekelompok kecil elit pengikutnya (Sahabat). Selain itu, pada masa ini pula dibentuk sebuah Piagam Madinah (624) sebagai kesepakatan bersama elemen-elemen masyarakat Madinah untuk hidup damai.

Segera setelah wafatnya Nabi SAW. tahun 632, masyarakat Islam generasi pertama itu telah dihadapkan pada sebuah krisis konstitusional tentang siapa yang harus menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin komunitas Islam yang telah dibentuk itu. Meskipun Islam diakui sebagai sistem kepercayaan yang memuat secara yang lengkap tentang tata cara kehidupan duniawi dan ukhrawi–sebagaimana disinggung di atas— dan Nabi Muhammad sendiri merupakan pemimpin politiknya, tetapi baik al-Qur‘an maupun sunnah Nabi tidak memberikan perintah-perintah yang tegas mengenai bentuk pemerintahan ataupun lembaga-lembaga politik lainnya. Oleh karena itu, sejak awal kaum muslim telah dituntut untuk berimprovisasi mengenai bentuk dan sifat pemerintah.

Tidak adanya petunjuk yang definite dari sumber-sumber utama dan konflik politik, inilah fakta pertama yang mengiringi perjalanan pentas sejarah peradaban Islam. Dipilihlah kemudian para Khalifah ar-Rasyidah pengganti Nabi SAW. dengan cara dan mekanisme pemilihan yang berbeda-beda. Abu Bakar (632-634) terpilih melalui suatu perdebatan sengit di Saqifah Bani sa‘idah. Umar ibn al-Khattab (634-644) menjadi khalifah melalui penunjukkan atau wasiat pendahulunya. Sedangkan Utsman ibn ‗Affan (644-656) dan Ali ibn Abi Thalib (656-661) keduanya terpilih melalui pemilihan.8

Jika diamati, periode khulafa ar-Rasyidun sesungguhnya telah memunculkan dua prinsip yang lebih maju dalam sistem kenegaraan Islam klasik, yaitu ikhtiyar dan bay’ah.9 Artinya, seorang pemimpin

(4)

dikukuhkan dengan bai’ah (sumpah setia). Namun demikian, kedua prinsip itu berubah dan digantikan dengan prinsip monarki ketika kekuasaan Islam dijalankan melaui bentuk Dinasti, baik Umayah (661-750) maupun Abasyiyah (750-1258). Setelah jatuhnya Dinasti Abasyiyah, dunia Islam terpecah menjadi kerajaan-kerajaan regional yang berperan sebagai negara-negara teritorial. Hal ini terus berlangsung sampai Dinasti Utsmasi (1281-1922) berhasil mengembalikan keutuhan Islam ke dalam bentuk kerajaan yang terkenal dengan kekholifahan Turki Utsmani.

Praktek bernegara yang telah berjalan di atas itulah pada akhirnya yang membentuk teori dan pemikiran tentang sistem kenegaraan dalam Islam. Teori politik-kenegaraan Islam terwujud berkat perkembangan historis yang menjadi tema bahasannya. Namun harus diakui bahwa konsep-konsep utama baru berkembang ketika lembaga politik yang menjadi subjek teorinya telah mengalami kemunduran.10 Di sinilah

kemudian dapat kita pahami mengapa tema utama yang menjadi perhatian para pemikir politik Islam adalah asal-usul negara, bentuk negara monarki, tentang institusi khilafah yang universal, otoritas kholifah dan hubungan muslim dengan non-muslim dan sebagainya.11 Pendeknya,

teori-teori politik dan sistem kenegaraan yang dikembangkan pada masa klasik ini adalah dimaksudkan sebagai legitimasi dan mempertahankan

status quo.

Tokoh-tokoh intelektual politik Islam klasik seperti Ibn Arabi, al-Ghazali (1058-1111) dan Ibn Taimiyah (1263-1328) bahkan menyatakan bahwa pemimpin negara (sultan, raja atau khalifah) adalah perpanjangan tangan kekuasaan sekaligus mandat Allah SWT.12 Ini berimplikasi kepada

keharusan secara keagamaan terhadap kekuasaan. Berangat dari sinilah sehingga, sepanjang sejarah peradaban Islam, terlihat adanya hubungan yang secara umum menampilkan pihak penguasa (imam, khalifah, amir

atau sultan) berada pada posisi superior terhadap pihak yang dikuasai (ummat), dengan kekuasaan mutlak dan kedaulatan yang bersifat Ilahiah.13

Tidak terlalu banyak kritik terhadap praktek-praktek kekuasaan yang demikian superior dan sakral. Ibn Khaldun (1332-1406) mungkin dapat disebut sebagai telah mengurangi bobot sakralitas itu dengan pendapatnya bahwa khalifah hanyalah merupakan pengganti posisi Nabi secara sosiologis.14 Kritik lainnya tampak lebih bernada gugatan secara

moral, seperti tuntutan keadilan, penyampaian amanat dan sebagainya seperti pemikiran Ibn Taimiyah. Kritik yang bersifat sistemik untuk menggugat superioritas kekuasaan jarang kita temukan. Mungkin hanya al-Mawardi (975-1059)15 yang mengajukan alternatif tentang hal itu

(5)

teoretis, seorang penguasa bisa dibebas-tugaskan, dimakzulkan dari jabatan kekuasaannya.

Pemikiran politik Islam klasik secara keseluruhan juga menempatkan agama di atas politik, sehingga tidak dikenal adanya pemisahan agama dan negara. Selain itu, pada periode ini dunia Islam masih berada di bawah satu kesatuan politik khilafah Islamiyah. Inilah yang membawa pemikiran politik Islam klasik mengatakan bahwa pemerintahan Islam harus bersifat trans-nasional, tidak mengenal apa yang kini disebut geo-politik, nasionalisme dan sejenisnya.

C. Nation State Dan Praktek Bernegara Modern

Pemikiran politik kenegaraan klasik sebagaimana disebutkan di atas memusatkan perhatiannya pada isu khilafatisme sebagai jawaban historis untuk zamannya. Pemikiran politik periode ini juga masih diwarnai ide-ide filsafat Yunani, meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Berberbeda-beda dengan itu, pemikiran politik kenegaraan Islam modern mengkonsentrasikan pada persoalan bentuk negara-bangsa (nation-states) sebagai respon terhadap tantangan dan penetrasi politik Eropa.

Gagasan nation-states itu sendiri pertama muncul di Barat melalui pemikiran Nicollo Machiavelli (1469-1527).16 Perwujudan dan

pembentukan sebuah negara dalam konsep negara-bangsa (nation state) ini, lebih didasarkan pada kesamaan warga negara, bahasa, wilayah teritorial, nasionalisme, pemerintahan dan kedaulatan rakyat.17 Seperti khilafatisme, gagasan nation-states ini juga merupakan jawaban sejarah atas persoalan yang dihadapi kultur penggagasnya. Perbedaannya, di Barat pada umumnya, semangat kenegaraan semacam ini berkembang mulai dari daratan Eropa, kemudian meluas ke Benua lainnya. Sementara itu, di dunia Islam, nation-states diperkenalkan sebagai suatu mekanisme kenegaraan ketika terjadi kontak antara Islam dengan modernisasi Eropa, baik yang berlangsung melalui kolonilisasi maupun kontak politik kultural biasa.

Di bawah pengaruh Eropa yang sejak abad ke-18 terus mengalami perkembangan dan kemajuan melalui modernisasi, kontak dan interaksi itu pada akhirnya banyak berpengaruh terhadap negara (kekhalifahan) Islam dalam membentuk sistem kenegaraannya. Meski terdapat ketegangan historis, konseptual dan intitusional antara nation-states

(6)

Pengaruh itu memuncak menjadi kontroversi dan pertentangan ketika institusi kekholifahan Islam Turki Utsmani pada masa Mustafa Kemal Attaturk dibubarkan dan dirubah menjadi sebuah negara Republik Turki. Pembubaran kekholifahan Islam itu sendiri dilakukan dalam dua tahap. Pertama, tahun pada bulan November 1922, Majelis Nasional Agung –atas usulan Mustafa Kemal—menghapuskan jabatan Sultan dan mempertahankan jabatan Khalifah yang saat itu dipegang oleh Khalifah Abdul Majid. Kedua, institusi dan jabatan khalifah itupun akhirnya dihapuskan oleh Majelis Nasional Agung pada 3 Maret 1924.19 Dengan

demikian, maka berakhirlah sejarah kekholifahan Islam yang terkenal itu. Merespon fenomena politik tersebut, para pemikir dan tokoh intelektual Muslim modern memberikan pandangan yang beragam. Sebagian pihak mendukung secara total gagasan nation-states

sebagaimana dikembangkan di Barat atau Eropa pada umumnya. Sebaliknya, sebagian ang lain menentang secara keseluruhan praktek tersebut dan menawarkan kembali sistem kekholifahan Islam. Di antara kedua pihak tersebut, ada segolongan yang mencoba mensitesakan dua kecenderungan sebelumnya.

Respon intelektual Muslim ini diawali oleh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Afghani menyerukan kembali kepada ajaran Islam salaf dalam pengertian luas dan mencakup perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat sekaligus pengakuan keunggulannya dalam sains dan teknologi untuk mempelajari secara kritis dan selektif. Sejalan dengan itu, ia menganjurkan Jami’ah

Islamiyah, pan-Islamisme; suatu asosiasi politik berdasarkan agama menentang kolonialisme.20

Berbeda dengan pendahulunya, Abduh tidak memperdulikan bentuk pemerintahan, karena menurutnya Islam tidak menetapkan bentuk tertentu tentang pemerintahan.21 Ali Abdurraziq (1888-1966),

murid Abduh, juga mendukung pendapat gurunya. Ia bahkan menerbitkan pendapatnya dalam bukunya al-Islam wa Ushul al-Hukm tahun 1925 setahun setelah dibubarkannya Kekholifahan Islam Turki. Murid Abduh lainnya, Rasyid Ridha (1865-1935) justru mendukung dihidupkannya kembali institusi khifah Islamiyah dengan jalan membentuk ahl halli wal

‘aqdi.

(7)

mulai membuat hubungan yang kurang superior antara yang dipimpin dengan pemimpinnya.

D.Konflik, Ketegangan Dan Transformasi Hukum Islam

Konsep nation-states adalah dampak terbesar penetrasi peradaban Barat pada umumnya ke Dunia Muslim terhadap sistem dan mekanisme politik kenegaraan. Seperti uraian di atas, teori dan praktek kenegaraan Islam bertumpu pada sistem khilafah; ia bersifat trans-nasional dan didasarkan pada kesamaan agama. Lahirlah dua konsep teritorial dar al-Islam dan dar al-harb. Di pihak lain, nation-states menekankan kebersamaan etnis, kultur, bahasa dan wilayah teritorial. Perbedaan dasar inilah yang menciptakan ketegangan historis dan konseptual, karena masyarakat politik (polity) yang tercakup dalam nation-states bersatu dengan mengabaikan garis-garis persamaan religius. Artinya, nation-state

memunculkan persoalan pluralisme (sosio-kultural dan politik) di negara-negara Islam. Selain itu, pada tingkat institusional, nation states

berbenturan secara diametral dengan ―kekhalifahan‖. Ini menyebabkan terpecahnya wilayah kekuasaan Islam ke dalam negara-negara regional.

Menyikapi pluralisme ini, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep pluralisme bangsa dan territorial. Landasannya dikutip dari ayat-ayat al-Qur‘an yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dan menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal (QS. 49: 1-3). Pluralisme sosio-kultural, absah dan diterima dalam sistem sosial kenegaraan Islam. Akan tetapi, pluralisme politik dalam hubungannya dengan nation-state, hingga kini tetap menyisakan perdebatan. Hal ini terkait dengan sistem demokrasi yang dipercaya sebagai mekanisme terbaik untuk menjembatani pluralisme sosial politik ini.

Sikap para pemikir Muslm terhadap demokrasi juga beragam. Kelompok yang menolak demokrasi berpandangan bahwa ―kedaulatan‖ berada di tangah Tuhan, Dia-lah yang berhak menetukan hukum. Mengacu kepada sejarah Nabi di Madinah, mereka ini menamakan idenya sebagai Theo-democracy.22Mengakui demokrasi, bagi mereka berarti

mengambil dan tidak mengakui kedaulatan Tuhan dan menetukan hukum sendiri. Karena itu, mereka mengajukan konsep syura (ىروش) sebagai alternatif dari sumber Islam. Meskipun secara koseptual alternatif demikian sangat menarik, namun miskin praktik dan penjelasan operasional yang memuaskan.23

(8)

menyesuaikan dengan prinsip demokrasi, seperti equality diantara sesama manusia, kebebasan berpendapat, dan sebagainya, tapi juga untuk mengoreksi beberapa ajaran klasik Islam yang dinilai out of dated serta tidak mendukung laju kehidupan kekinian.

Sampai di sini, tampak bahwa salah satu konsekuensi penting dari gagasan nation-states adalah ―liberalisasi― pemikiran dan praktek politik

dari kontrol atau pengaruh Syari‘ah (hukum) Islam dalam pengertian tradisional. Dari sinilah hukum Islam di era modern kelak mulai mengalami transformasi diskursus tematis dan transformasi struktural-epistemologis; suatu transformasi yang nyaris mendekonstruksi hukum Islam dalam pengertiannya yang tradisional.

Sistem negara-bangsa (nation-state) modern yang menekankan kesetiaan kebangsaan ketimbang persaudaraan Islam, egalitarianisme kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan Tuhan, mengakui persamaan hak laki-laki dan perempuan dan representasi politik, semua itu tidak selalu sesuai dengan konsep dan praktek fiqh Islam tradisional maupun petunjuk yang dapat dipahami dari Syari‘ah itu sendiri. Hemat penulis, realitas dan diskursus modernitas itulah yang memaksa transformasi hukum Islam secara tematis dan diskursif.

Dalam konteks inilah dapat kita maklumi betapa hingar-bingarnya wacana ―The Second Massage‖-nya Mahmud Mohammed Thoha yang dikembangkan an-Na‘im dengan ―Dekontruksi Syari‘ahnya‖ di Sudan. Tidak diragukan lagi, ini mewakili transformasi hukum Islam di tengah diskursus demokrasi, gender dan hak-hak asasi manusia.24 Transformasi

hukum Islam ini akan berjalan seiring sejalan dengan diskursus dan tema-tema aktual yang menuntut respon dan jawaban terus menerus. Terlepas dari kontroversi, pro dan kontra yang menyertainya, maka hukum Islam harus terlibat dalam diskursus tematis ini justru agar tetap bisa menjadi bagian kehidupan.

Dalam sistem negara kebangsaan (nation state), hukum Islam juga menjadi satu entitas yang paling banyak mengalami tantangan sekaligus tentangan. Tidak saja dalam aspek detail-detail tematik seperti telah disebutkan pada paragraf di atas, tantangan dan tentangan itu juga menyentuh aspek karakteristik dasar, struktur otoritas pengetahuannya hingga bentuk dan praktek pelaksanaan dan keberlakuannya di tengah masyarakat. Inilah transformasi hukum Islam berikutnya yang bersifat struktural-epistemologis.

(9)

bargainng politik kekuasaan. Tidaklah mengherankan jika Joseph Schacht menyebut fenomena ini sebagai manifestasi modernisme Islam yang paling penting.25 Namun demikian, pada saat yang sama Schacht

menyebutkan bahwa keberadaan hukum Islam tradisional yang bercorak fiqh dalam sistem legislasi negara-bangsa sejak awalnya problematis.26

Menurut Baber Johansen, transformasi hukum Islam ke dalam sistem legislasi yang tidak hati-hati jelas akan merubah otoritas struktural di dalamnya, dan bahkan dapat mengorbankan dimensi-dimensi terpenting serta karakteristik etik dan transendentalnya.27 Sebagaimana

dijelaskan di atas, Syāri‘ al-Ahkām (عراش ماكحلأا) adalah pihak yang berwenang menentukan hukum dalam Islam dan ketundukan Muslim itu adalah legislasi Tuhan yang tidak memerlukan campur tangan manusia. Karakter hukum Islam menekankan ketundukan teologis terhadap عراش . Ini bertolak belakang secara diametral dengan sistem hukum Eropa kontinental atau Roman Law yang mensyaratkan adanya legislasi untuk setiap ketetapan hukum. Dalam kondisi demikian, maka fiqh tradisional tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem negara-bangsa.

Sedangkan secara politis dam praktis institusional, realitas berikutnya juga menunjukkan bahwa penerimaan nation-states dalam praktek demokrasi kebangsaan modern pada akhirnya berimplikasi pada apa yang dapat kita sebut ―deprivatisasi Syari‘ah (hukum) Islam‖ dari tangan ulama sebagai pengawal utama hukum Islam.28 Peran ulama, baik

pada tingkat pembuat ketentuan hukum dan praktek pelaksanaannya kini hanya sebagai ―nara-sumber― yang tidak memiliki otoritas legal maupun politik.

Dengan menerapkan sistem modern negara bangsa seperti yang dikenal saat ini, ketetapan dan penetapan hukum Islam dalam proses legislasi tidak lagi akan menjadi otoritas ulama sebagai penjunjung utama aspirasi masyarakat keagamaan. Legislasi Islam dari format tekstualnya, hingga substansinya akan terbentuk berdasarkan peta kekuatan politik yang ada, seperti partai-partai politik, dewan perwakilan rakyat dan lembaga-lembaga politik lainnya. Karena itu pula, secara politis pembawa aspirasi dan pemikiran hukum Islam beralih kepada para legislator, politisi, lembaga-lembaga yudikatif dan pelaksana hukum lainnya.

(10)

juga kini dengan menggunakan bahasa yang sama yang dapat dipahami semua pihakyang terlibat.

Jika di tingkat pembuat ketentuan, kontrol hukum Islam berada di tangan kekuasaan legislator dan politisi, maka pada praktek dan pelaksanaannya hukum Islam menjadi kewenangan lembaga yudikatif Mahkamah Agung, pengadilan dan para hakim negara berikut organ penegak hukum lainnya, mulai dari penasehat hukum, kejaksaan, kepolisian beserta serangkaian prosedur acaranya.

Transformasi hukum Islam seperti itu terjadi misalnya di Turki. Turki menempatkan reformasi hukum sepenuhnya berada di dalam program sekulerisasi. Proses itu dilakukan dengan dibentuknya pengadilan perdata dan pidana dengan prosedur-prosedur hukum dan pembuktian berdasarkan sistem hukum Eropa Kontinental pada tahun 1847, hukum dagang tahun 1850. Memang dilakukan pembaharuan, tetapi jurisdiksi (kewenangan hukum) hukum Islam pada akhirnya dibatasi hanya dalam hukum keluarga. Hasilnya, tidak diragukan lagi adalah sekulerisasi hukum Islam.29

Indonesia juga menunjukkan fenomena transformasi seperti tersebut di atas pada beberapa politik legislasi undang-undang atau aturan negara yang terkait atau berisi Syari‘ah. Politik sekulerisasi hukum Islam selalu mengiringi proses legislasi dan arah kebijakan hukum Islam sejak diperkenalkannya sistem hukum Eropa melalui penjajahan Belanda, khususnya di era Snouck Hurgronje. Isu yang sama mengiringi proses legislasi hukum perkawinan yang gagal diusung pemerintah pada tahun 70-an. Lahirnya undang-undang ini tahun 1974 –yang dianggap mengakomodasi aspirasi Islam—pun kian menegaskan dirinya sebagai hasil diskusi dan kepentingan politik.30 Tampak jelas pula bagaimana

Syari‘ah seolah hanya menjadi bargaining kepentingan politik pada dilahirkannya undang-undang Peradilan Agama31 dan Kompilasi Hukum

Islam.32 Pola perkembangan yang tampaknya serupa kemudian juga

berlangsung dengan detail pembaharuan hukum yang berbeda-beda di negara-negara Muslim lainnya. 33

E. Penutup

(11)

Ekspansi imperialisme dan kolonialisme Eropa ke wilayah-wilayah Islam tidak hanya menciptakan disintegrasi politik Islamdom, tetapi lebih jauh lagi menggoncangkan jati dirinya. Inilah salah satu pintu interaksi Islam dan ide-ide dan kultur politik Eropa, seperti nation-states.Gagasan

nation-states yang muncul pertama kali di Eropa ini pada akhirnya mempengaruhi sistem dan mekanisme bernegara di wilayah kekuasaan Islam. Bahkan hal itulah yang ikut menyumbangkan tenaga menghentikan kekholifahan Islam Turki Utsmani pada tahun 1922 dan 1924.

Penerimaan dan praktek nation-states –yang dalam banyak hal berbeda dengan sistem kekholifahan-- ini harus diakui membawa berbagai problem yang tidak mudah dan sederhana untuk dipecahkan. Problem ini merentang dari masalah kedaulatan, hubungan agama dan negara, pluralisme sosial dan politik sampai kepada eksistensi hukum Islam di dalam sebuah sistem negara-bangsa.

Selain liberasliasi politik dari kontrol Syari‘ah dalam pengertian tradisional, implikasi terpenting hukum Islam dalam wacana demokrasi kebangsaan adalah deprivatisasi Syari‘ah dari tangan ulama yang secara tradisional menjadi garda depan aspirasi syariah. Di sinilah hukum Islam jika tidak senantiasa dikawal akan semata-mata menjadi diskusi dan tawar menawar politik di meja legislator dan politisi.

Mengakhiri tulisan ini, penulis berpendapat bahwa suatu reposisi peran politik maupun kultural Islam sesungguhnya telah menjadi sebuah keniscayaan agar Islam dapat kembali bermain dalam proses regulasi masyarakat modern. Hal ini tentu saja meliputi seluruh bidang garap hidup dan kehidupan manusia. Ini penting dilakukan secara terpadu antara wahyu dan rakyu bagi keberadaan sebuah umat yang ingin membuktikan kebenaran ajaran kitab sucinya yang rahmatan li

al-‘Alamin.

Catatan Akhir

1 Sejak berakhir kolonialisme Barat pertengahan abad 20, negara-negara muslim seperti Turki, Maroko, Mesir, Sudan, Pakistan, Aljazair, Malaysia termasuk Indonesia, menjumpai kesulitan dalam membangun sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktek dan pemikiran politik Islam dengan ―negara‖. Hubungan antara Islam dan negara ditandai ketegangan tajam dan bahkan permusuhan. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 2. Lihat juga Mohammed Ayoub, The Politics of Islamic Reassertion, (London: Croom Helm, 1981) and James P. Piscatori (ed.), Islam in the Political Process, (Cambridge: Cambridge University Press, 1983).

2 Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London: Macmillan Press, 1982), h. 446.

3Ibid., h. 312.

4Pandangan demikian didukung tokoh-tokoh seperti Hassan al-Banna, Sayyid

(12)

5 Tareq Y. Ismael and Jacqueline S. Ismael, Government and Politics in Islam,

9Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme

Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 3.

10 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan,

2001), IV, Entri ―Negara Islam‖, h. 164.

11 Lihat Azra, Pergolakan Politik Islam…, h. 5. Sjadzali, Islam dan Tata

Negara…, h. 204.; Masykuri Abdillah, ―Islam and the Concept of Nation-State‖, Makalah

Seminar Internasional Islami and Humanism, Institut Agama Islam Walisongo Semarang, 6-8 Oktober 2000, h. 3.

12 Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 108.

13 M. Din Syamsuddin, ―Antara Yang Kuasa dan Yang Dikuasai Refleksi Atas

Pemikiran dan Praktek Politik Islam‖, dalam Jurnal Media Inovasi, No. 01, Th. XI, 2001, h. 60.

14 Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, h. 101; Syamsuddin, h. 101.

15 Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 7-8.

16 Roger Scruton, Adictionary of Political Thought, (London: Macmillan Press, 1982), h. 446.

17Ibid., h. 312.

18 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan

Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 15-16.

19 Ibid., h. 150-151. Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Texas: University of Texas, 1982), h. 53-54.

20 Sayyid Jamaluddin al-Afghani, ―Solidaritas Islam‖, dalam John D. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, alih bahasa Machnun Husain, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 16-21. Nikki Kiddie,‖Sayyid Jamaluddin al-Afghani‖, dalam Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan 1997) h. 18.

21Ibid., h. 60-62.

22Abul A‘la al-Maududi, The Law and Constitution, (lahore: Islamic Publication Ltd., 1975), h. 160.

23 Para pendukung ide seperti ini adalah mereka yang biasanya disebut secara

salah kaprah sebagai ―fundamentalis‖, seperti Maududi di Pakistan, Sayyid Quthub di

Mesir, Hasan Turabi di Sudan dan sebagainya.

24 Kelompok pertama biasanya diwakili oleh para modernis atau neo-modernis, seperti Iqbal, Fazlur Rahman, an-Na‘im dan yang lain. Semantara yang terakhir diwakili oleh para westernis, misalnya Zia Gokalp, Mustafa Kemal at-Taturk dsb..

25 Joseph Schacht, ―Problems of Modern Islamic Legislation‖, Studia Islamica, Larose-Paris, 1960, Vol. XII, p. 99-130.

26Ibid.

27Baber Johansen, ―The Muslim Fiqh As A Sacred Law: Religion, Law, and Ethics

In A Normative System‖, dalam Baber Johansen, Contingency In A Sacred Law Legal and Ethical Norms In The Muslim Fiqh, Brill: Leiden-Boston-Koln, 1999, p. 59.

28 Aharon Layish, ―The Transformation of the Shari‘a From Jurists‘ Law to

Statutory Law in the Contemporary Muslim World‖, Die Welt Islam, Vol. 44, No. 1, 2004, p. 85-113.

29Lihat Murteza Bedir, ―From Fikih to Law: Secularization through Curriculum‖,

Journal of Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 3, 2004, p. 378-401. Di negara lain, Maroko telah melakukan reformasi hukumnya dengan cara berbeda yang menimbulkan konfrontasi dan akomodasi antara fiqh dan kode hukum Perancis. Lihat Léon Buskens,

(13)

of Ethnographic Reading and Writing: Confrontations of Western and Indigenous Views, Fort Lauderdale: Plantation, 1993, p. 65-100.

30Azyumardi Azra, ―The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization

of the Shari‘a for Social Changes, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra (ed.), Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003, h. 76-95.

31Lihat Mark Cammack, ―Indonesia‘s 1989 Religious Judicature Act: Islamization

of Indonesia or Indonesianization of Islam?‖, p. 144-145

32 Marzuki Wahid and Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Kritik Atas Politik Hukum

Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001, p. 87. Also see A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, 130.

33 Lihat J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, London: The Athlon Press, 1976. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries [History, Tex and Comparative Analysis], New Delhi: Academy of Law and religion, 1987 and Abdullahi Ahmed an-Na‘im, Islamic Family Law in a changing World, London-New York, 2002. For the Arab world see Jamal J. Nasir, The Islamic Law of Personal Status, 2nd Edtion, Graham &Trotman Ltd., London, 1990. Tentang pola-pola pembaharuan, Lihat J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, New York, New York University Press, 1954.

Bibliografi

Abdillah, Masykuri. ―Islam and the Concept of Nation-State‖. Makalah Seminar Internasional Islami and Humanism, Institut Agama Islam Walisongo Semarang, 6-8 Oktober 2000

Agmon, Iris and Idho Sahad. ―Theme Issue: Shifting Perspectives in the Study of Shari‘a Courts: Methodologies and Paradigms‖. Islamic Law and Society, 15 (2008)

Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York, New York University Press, 1954.

Anderson, J.N.D. Law Reform in the Muslim World. London: The Athlon Press, 1976.

Asshiddiqie, Jimly.‖ Hukum Islam di Indonesia: Dilema Hukum Agama di Negara Pancasila‖. dalam Pesantren, No. 2, Vol. VII, 1990.

Ayoub, Mohammed. The Politics of Islamic Reassertion. London: Croom Helm, 1981.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.

Bedir, Murteza. ―From Fikih to Law: Secularization through Curriculum‖.

Journal of Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 3, 2004.

(14)

Cammack, Mark. ―Indonesia‘s 1989 Religious Judicature Act: Islamization of Indonesia or Indonesianization of Islam?‖. Cornell Southeast Asia Programm, No. 63, 1997.

Donohue, John D. dan John L. Esposito. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah. alih bahasa Machnun Husain. Jakarta: Rajawali Pers, 1995.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Enayat, Hamid. Modern Islamic Political Thought. Texas: University of Texas, 1982

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2001.

Esposito, John L. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, 1987.

Ismael, Tareq Y., and Jacqueline S. Ismael. Government and Politics in Islam. New York: St. Martin‘s Press, 1985.

Kiddie, Nikki.‖Sayyid Jamaluddin al-Afghani‖, dalam Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan 1997.

Layish, Aharon. ―The Transformation of the Shari‘a From Jurists‘ Law to Statutory Law in the Contemporary Muslim World‖. Die Welt Islam, Vol. 44, No. 1, 2004.

Maududi, Abul A‘la. The Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication Ltd., 1975.

Mawardi, Abu Hasan. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Mudzhar, Muhammad Atho. ―Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi‖. Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 15 September 1999 Mudzhar, Muhammad Atho. ―Social History Approach to Islamic Law‖.

dalam al-jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61, 1998.

Mudzhar, Muhammad Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Muslehuddin, Mohammad. Philoshopy of Islamic Law.

Na‘im, Abdullahi Ahmed. Islamic Family Law in a Changing World.

London-New York, 2002.

Nasir, Jamal J. The Islamic Law of Personal Status. 2nd Edition. Graham

&Trotman Ltd., London, 1990.

(15)

Piscatori, James P., (ed.). Islam in the Political Process. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.

Roger Scruton. A Dictionary of Political Thought. London: Macmillan Press, 1982.

Schacht, Joseph. ―Problems of Modern Islamic Legislation‖. dalam Studia Ilamica, Vol. 12, 1960

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.

Syamsuddin, M. Din. ―Antara Yang Kuasa dan Yang Dikuasai Refleksi Atas Pemikiran dan Praktek Politik Islam‖. dalam Jurnal Media Inovasi,

No. 01, Th. XI, 2001.

Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001.

Referensi

Dokumen terkait

Apa yang dialami tidak mesti mutlak berasal dari pengetahuan yang diperoleh melalui pencerapan indera karena ada pengetahuan tanpa referensi, tanpa mediasi inderawi (George

Alhamdulillah berkat petunjuk dan hidayah-Nya, penulis telah selesai menyusun skripsi ini untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana

Strategi merupakan pola atau taktik yang dilakukan oleh seorang pengajar dalam proses belajar bahasa, sehingga siswa dapat lebih leluasa dalam berpikir dan dapat

Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial orangtua dengan efikasi diri pengambilan keputusan karir

Aplikasi berbasis java ini bertujuan untuk melakukan pelacakan penggunaan kata dalam Bahasa Indonesia terbaru yang didapatkan dengan mengumpulkan artikel dari situs

Adapun hasil analisis data pada pengaruh lingkungan sekolah (X1) terhadap motivasi belajar (X3) pada SMK bidang manajemen bisnis jurusan pemasaran di kecamatan jambi selatan kota

tidak diajukan keberatan atas SPPDT atau SKPD PBB-P2 yang dimohonkan Pengurangan, atau dalam hal diajukan keberatan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan

Pertumbuhan perusahaan dan dividen adalah kedua hal yang diinginkan perusahaan tetapi sekaligus merupakan suatu tujuan yang berlawanan.Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan