• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Gambaran Umum Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau

Menurut silsilahnya asal-usul Orang Sakai berasal dari Pagaruyuang pada sekitar abad ke 14 Masehi ke daerah Riau, yaitu ke Gasib, di tepi sungai Gasib di hulu sungai Rokan70. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan Gasib dan kemudian di hancurkan oleh kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini melarikan diri ke hutan-hutan sekitar daerah sungai Gasib, Rokan, dan Mandau serta seluruh anak-anak sungai Siak. Mereka adalah nenek moyang Orang Sakai71.

Komunitas adat Terpencil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia dan sering dianggap rendah oleh masyarakat dan selalu dijauhkan dari kelompok-kelompok lain. Salah satu kelompok yang termasuk ke

dalam Komunitas Adat Terpencil ini adalah Orang Sakai. Kata “Sakai” sendiri

merupakan nama suatu suku bangsa di tanah Melayu dan dapat juga di artikan sebagai orang bawahan atau hamba sahaya.

Pada masa penjajahan sebagian besar daerah Bengkalis berada dalam lingkungan pemerintahan Kerajaan Siak, kecuali Pulau Bengkalis yang merupakan daerah jajahan langsung pemerintah Hindia Belanda. Kekuasaan pemerintah Kerajaan Siak berakhir tahun 1942.

70

Isjoni, Op. Cit, hal 7 71

(2)

Salah satu kelompok atau komunitas dari masyarakat terpencil ini adalah

orang Sakai. “Sakai” merupakan nama salah satu suku bangsa di tanah melayu dan

dapat juga diartikan sebagi orang bawahan atau hamba sahaya. Orang Sakai pada dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan sosial atau relatif terbelakang kehidupannya. Kelompok ini dianggap tidak maju dan kuat memegang tradisi.

Mengenai kata Sakai dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, menerangkan kata Sakai sebagai nama suku bangsa di tanah Melayu, termasuk bangsa Negrito yang tidak berbahasa Melayu, disamping diartikan pula sebagai orang bawahan (yang diperintah) sama dengan hamba sahaya. Tetapi ada juga anggapan bahwa Sakai itu nama sungai di Mandau Kabupaten Bengkalis. Karena suku itu menetap di tepi sungai tersebut, maka mereka disebut orang atau Suku Sakai72.

Orang Sakai pada dasarnya dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal oleh proses perubahan sosial atau relatif terbelakang kehidupannya73. Kelompok ini dianggap tidak maju dan kuat memegang tradisi. Suku Sakai diartikan sebagai suku anak air ikan, karena sumber penghidupannya adalah dipinggiran air serta menangkap ikan. Menurutnya lagi Sakai adalah suku atau manusia kebal (sakai=badak=kebal), sedangkan menurut orang Sakai sendiri, Sakai adalah suku orang batin74. Dalam uraian mengenai asal muasal Orang Sakai tercakup sejarah asal muasal orang Sakai tercakup adanya Perbatinan Lima dan Perbatinan Delapan.

72

Ibid

73

Isjoni, Op. Cit, hal 2 74

(3)

a. Perbatinan Lima

Negeri Pagaruyung sangat padat penduduknya. Raja berusaha mencari wilayah-wilayah pemukiman baru untuk menampung kepadatan penduduknya. Yang dipilih adalah wilayah-wilayah di sebelah timur Pagaruyung karena tampaknya masih kosong penduduk dan hanya dipenuhi rimba belantara. Sebuah rombongan yang jumlahnya 190 orang terdiri dari 189 orang janda dan seorang hulubalang atau prajurit laki-laki sebagai kepalanya dikirim oleh raja untuk berangkat ke arah timur. Mereka menembus hutan rimba belantara dan akhirnya mereka sampai di tepi sebuah anak sungai yang mereka namakan sungai Biduando, yang artinya sungai dari rombongan 189 orang janda yang dipimpin oleh seorang kepala rombongan (bidu = kepala rombongan, dan Ando = janda). Nama Biduondo kemudian berubah menjadi Mandau.

Setelah rombongan 190 orang tersebut untuk beberapa lamanya tinggal di tepi sungai Mandau, mereka menyimpulkan bahwa wilayah di sekitar sungai tersebut layak untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru. Rombongan tersebut kemudian kembali pulang ke Pagaruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung kemudian mengirim lagi rombongan perintis yang terdiri atas tiga orang hulubalang atau prajurit, yaitu Sutan Janggut, Sutan Harimau dan Sutan Rimbo.

Setelah rombongan 190 orang tersebut untuk beberapa lamanya tinggal di tepi sungai Mandau, mereka menyimpulkan bahwa wilayah di sekitar sungai tersebut layak untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru. Rombongan tersebut kemudian kembali pulang ke Pagaruyung melaporkan hasil ekspedisi mereka. Raja Pagarruyung kemudian mengirim lagi rombongan perintis yang terdiri atas tiga orang hulubalang atau prajurit, yaitu Sutan Janggut, Sutan Harimau dan Sutan Rimbo.

(4)

mengirimkan beberapa keluarga yang dipimpin oleh Sutan Janggut dan Sutan Rimbo untuk bekerja disitu. Tetapi sebelum pekerjaan pembangunan dilaksanakan dengan baik, Sutan Janggut dan Sutan Rimbo bersama dengan lima keluarga yang telah melarikan diri dari kerajaan Rokan kanan dan Kiri masuk ke hutan. Sebabnya adalah Raja Rokan Kanan dan Kiri sangat kejam. Pembangunan kerajaan Rokan Kanan dan Kiri berjalan terus, setelah sepuluh tahun kerajaan ini menjadi besar dan jaya seperti kerajaan Kunto Bessalam. Keluarga-keluarga pekerja yang ditinggalkan oleh rombongan yang melarikan diri sebagian dari mereka tetap menjadi penduduk kota Rokan Kanan dan Kiri. Dan sebagian lainnya tinggal di pedesaan yang berdekatan dengan Rokan Kanan dan Kiri (di desa Sintung dan beberapa desa lainnya). Sehingga sebenarnya mereka seasal dengan lima keluarga yang melarikan diri, yang menjadi nenek moyang orang Sakai di Mandau.

Rombongan yang melarikan diri dibawah pimpinan Sutan Janggut dan Sutan Rimbo itu berjalan ke arah wilayah Mandau. Setelah beberapa tahun mengembara dihutan-hutan mereka sampai di tepi sungai Syam-syam, di hulu sungai Mandau, dan merupakan salah satu anak sungai Mandau. Mereka berjalan terus ke arah hulu sungai dan akhirnya tiba di wilayah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Dalam wilayah ini terdapat bekas-bekas pemukiman yang menurut dugaan mereka adalah bekas-bekas rombongan pertama yang berjumlah 190 orang. Setelah tinggal untuk beberapa lamanya di tempat tersebut rombongan ini meneruskan perjalanan dan tibalah mereka di hulu sungai Penaso. Mereka tinggal untuk sementara di hulu sungai tersebut dan di sini sutan Rimbo meninggal dunia. Rombongan ini kemudian menuju ke arah Mandau, dan dalam perjalanan menuju Mandau sutan Janggut pergi secara diam-diam meninggalkan rombongan tersebut. Rombongan tiba di desa Mandau dan menyerahkan diri kepada kepala desa (penghulu) Mandau yang bernama Takim. Desa Mandau ini sekarang bernama desa Beringin yang penduduknya adalah orang Melayu75.

Setelah beberapa tahun tinggal di desa Mandau rombongan yang berjumlah lima keluarga ini memohon untuk diberi tanah/hutan bagi mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagaruyung ataupun ke Kunto Bessalam. Oleh kepala desa Mandau masing-masing keluarga diberi hak ulayat atas tanah-tanah dan hutan-hutan yang berada di daerah:

(5)

perbatinan atau batin. Karena jumlah penduduk masing-masing perbatinan tersebut bertambah besar, dan karena adanya usaha penyeragaman administrasi yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Siak dalam usaha mempermudah penarikan pajak, maka masing-masing perbatinan tersebut dijadikan kepenghuluan atau desa dan dikepalai oleh seorang batin atau kepala desa. Desa-desa atau kepenghuluan-kepenghuluan Orang Sakai yang tergolong dalam Perbatinan Lima tersebut adalah: 1) Desa Minas. Desa ini masih ada dan sebagaian besar warganya adalah Orang

Sakai

2) Desa Penaso. Desa ini sudah tidak ada lagi semenjak tahun 1982, karena jumlah penduduknya hanya 8 keluarga, Penaso dijadikan sebuah Rukun Kampung dari desa Muara Basung. Sebagian penduduknya menjadi warga pemukiman masyarakat terasing yang dibangun di Sialang Rimbun dan di Kandis, dan sebagian lainnya tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas ladang yang mereka kerjakan di sekitar daerah Sialang Rimbun dan Balai Pungut, dan masih sebagian lainnya tinggal dalam kelompok-kelompok kecil rumah sederhana yang dibangun di sepanjang jalan raya antara kota Duri dan Minas.

3) Desa Beringin Sakai. Pada masa sekarang desa ini sudah tidak ada lagi karena seluruh warganya dipimpin oleh kepala desa dan telah berpindah ke pemukiman masyarakat terasing di Sialang Rimbun, sebagian lainnya di pemukiman masyarakat terasing di Kandis dan di Bulu Kasap.

4) Desa Tengganou, desa ini masih ada dan sebagian warganya adalah orang sakai77. b. Perbatin Delapan

Beberapa lama setelah keberangkatan rombongan terakhir meninggalkan Pagaruyung, kerajaan ini telah menjadi padat lagi penduduknya. Mencari nafkah dirasakan sulit dan kehidupan dirasakan berat oleh sebagian dari warga masyarakat. Secara diam-diam, tanpa meminta izin dari raja. Sebuah rombongan yang terdiri atas suami-istri, dan seorang hulubalang yang menjadi kepala rombongan yang bernama batin pada suatu malam meninggalkan Pagaruyung dan bertujuan membuka daerah baru untuk tempat pemukiman.

Setelah beberapa lamanya dalam perjalanan akhirnya sampailah mereka ke hulu sungai Syam-syam, di Mandau. Di wilayah tersebut mereka berkeliling sampai ke daerah yang dialiri tujuh buah anak sungai. Tanahnya datar dan digenani air. Di tempat terakhir ini mereka tinggal untuk beberapa tahun lamanya. Mereka membuat ladang, rumah, menempa besi untuk mrmbuat peralatan berbagai alat pertanian dan rumah tangga. Beberapa waktu lamanya kemudian dan istri dari keluarga yang menjadi anggota rombongan tersebut mengandung. Dalam mengidamnya sang istri meminta kepada sang suaminya untuk mencari bayi rusa jantan yang masih ada dalam kandungan. Tetapi yang didengar oleh sang suami adalah bayi jantan yang dikandung oleh pelanduk (kancil) jantan. Sang suami pergi berburu dan tidak pernah kembali karena tidak pernah menemukan ada pelanduk jantan yang mengandung

77

(6)

untuk memenuhi permintaan nyidamnya sang istri. Karena dia telah berjanji tidak akan memenuhi istrinya kalau tidak dapat memenuhi permintaan nyidamnya. Setelah itu rombongan 12 orang perempuan yang dipimpin oleh batin sangkar bermaksud meninggalkan tempat tersebut mencari daerah lainnya yang lebih baik. Sang istri tidak mau turut dan rombongan tersebut tidak dapat lagi ditahan oleh sang istri untuk menunggu kedatangan sang suami. Rombongan 12 orang berangkat dan sang istri melahirkan bayi laki-laki. Setelah bayi tersebut besar, kedua anak-beranak tersebut kembali ke pagaruyung melaporkan apa yang telah mereka lakukan dan memohon ampun kepada raja Pagaruyung. Raja Pagaruyung mengirim lagi serombongan laki-laki dan keluarga untuk memenuhi rombongan yang dipimpin oleh Batin Sangkar78.

Batin yang dipimpin oleh Batin Sangkar akhirnya, setelah merambah hutan

belantara dan rawa-rawa, sampailah mereka didaerah Petani. Setelah menetap di Petani untuk beberapa tahun lamanya, Batin Sangkar memutuskan untuk mencegah rombongan tersebut ke dalam delapan tempat pemungkiman yang letaknya saling berdekatan. Mereka membuka hutan di tepat-tempat pemukiman baru yaitu:

1. Petani

Setelah delapan tempat pemukiman tesebut selesai dibangun, kebetulan datang rombongan yang terakhir dari Pagaruyung yang dikirim oleh Batin Sangkar, keluarga-keluarga tersebut dibagi rata penempatan tempat tinggal di delapan buah tempat pemukiman tersebut dalam rombongan pendatang tersebut telah diangkat sebagai pembantunya. Oleh batin Sangkar pembantunya tersebut disuruhnya pergi ke kota Siak Sri Indrapura untuk menghadap kepada raja Siak dan memohon izin untuk dapat dijadikan rakyat kerajaan Siak Indrapura dan diberi pengesahan atas hak pemukiman dan menggunakan tanah atau hutan wilayahnya80.

Jadi dari sejarah asal muasal orang sakai khususnya sejarah terbentuknya perbatinan lima dan perbatin delapan, dapat dilihat bahwa orang sakai menurut penelitian ini mereka berasal dari Minangkabau (Pagaruyung dan Mentawai). Dan mereka adalah orang belian (setengah budak). Yang menarik untuk diperhatikan

78

Parsudi Suparlan, Op. Cit hal 78 79

Isjoni, Op. Cit hal 27 80

(7)

adalah unsur perempuan yang mayoritas dan dominan dalam legenda asal-muasal tersebut. Ciri-ciri ini tampak dalam sistem pembagian warisan. Dan ciri pembagian sistem kemasyarakatan orang sakai adalah paruh dua, yaitu perbatinan lima dan perbatinan delapan.

B. Identitas dan Sifat-Sifat Orang Sakai

Orang Sakai sebagai komunitas adat terpencil dalam kehidupan sehari-hari hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Mereka masih mempertahankan tradisi leluhur dan hidup bertoleransi. Pada saatnya nanti baik langsung maupun tidak langsung mereka akan menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi akibat modernisasi, yang lambat laun tradisi leluhur akan berganti dengan modern. Ada beberapa aspek tertentu yang masih dipertahankan.

Orang Sakai oleh masyarakat sekelilingnya diberikan kesempatan dan peluang baik untuk diasimiliasi dengan masyarakat lainnya, misalnya pembangunan pemukiman yang berdekatan dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan perkawinan, mempekerjakan pada perusahaan, dan lokasi transmigrasi dalam suatu kawasan wilayah kecamatan.

(8)

1. Berladang

Dalam kehidupan tradisional mereka setiap orang Sakai atau setiap keluarga Sakai mempunyai sebidang tanah, karena hanya dari lading itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Ladang adalah kehidupan Orang Sakai dan rumah-rumah mereka dibangun diatas ladang mereka masing-masing. Sebuah ladang biasanya dibangun oleh sebuah keluarga atau dibangun dengan secara bergotong royong atau saling bantu membantu di antara dua keluarga sampai dengan lima keluarga yang ladang-ladang mereka akan dibangun secara berdekatan. Pembuatan ladang dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan :

a. Memilih tempat untuk membuat ladang

b. Menebang dan menebas pepohonan dan semak belukar c. Menugal atau menanam benih81

2. Menanam ubi manggalo

Orang sakai dalam kegiatan mata pencaharian dalam budaya tradisional mereka di samping berladang mereka juga menanam ubi manggalo ( Ubi beracun ). Ubi ini biasanya ditanam di lain dari lokasi ladang. Ubi manggalo ditanam setelah berumur 1-2 tahun baru dapat dimakan langsung karena mengandung racun. Untuk mengkonsumsi ubi ini maka orang sakai melakukan beberapa cara untuk menghilangkan racun tersebut dengan cara disimpan. Ubi manggola tidak boleh disimpan selama 1-2 hari, setelah ubi dicabut langsung dicuci disungai atau rawa. Ubi manggalo yang sudah bersih kulitnya dari kotoran lalu ditaruh di dalam keranjang anyaman lalau ubi ini di rendam selama 3 hari 3 malam. Setelah di rendam, ubi ini diparut oleh pihak wanita sehingga halus, lalu ubi yang telah halus ini di masukan kedalam goni untuk memeras atau membuang air yang terdapat dalam ubi tersebut. Racun yang terdapatt pada ubi ini pun hilang dikarenakan air yang terkandung pada ubi ini telah diperas. Lalu ubi manggalo ini dimasukan kedalam kuali yang diletakan di atas api secara maksimal. Dengan menggunakan sebuah sendok kayu besar dan panjang parutan ubi manggalo di adukan dan diratakan sampai hasil parutan menjadi kering. Orang sakai

menyebutkan proses ini dengan ” Menyangga“82.

Proses terakhir yang dilakukan suku sakai adalah menyimpan ubi yang telah kering tersebut karena ubi ini tidak memiliki racun lagi. Hasil ini disebut

(9)

3. Berburu Hewan dan Menangkap Ikan

Berburu atau mencari ikan merupakan mata pencaharian asli suku sakai, sedangkan berladang dipengaruhi oleh pada masa kesultanan siak. Pengertian berburu oleh orang sakai bukanlah kegiatan yang membunuh hewan tetapi mereka melakukan dengan menjerat alat buruan mereka yaitu konjouw. Konjouw adalah tombak yang terbuat dari besi yang dipanaskan, konjouw itu dibekali oleh mantra-mantra hewan. Hewan yang mereka sering buru adalah kera, babi hutan, kijang, dan kancil. Hasil tangkapan buruan ini mereka gunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari biasanya mereka jadikan sebagai lauk pauk. Tidak hanya berburu, orang sakai sangat terkenal dengan mencari ikan. Cara yang mereka lakukan adalah dengan mengail, serta mereka juga senang menangkap udang dengan menggunakan tangguk, suku sakai mengenal lebih dari 30 jenis ikan. Di rawa-rawa atau di sungai-sungai kecil mereka menangkap ikan dengan menggunakan lukah dan jarring, orang-orang sakai pada masa lalunya memasang lukah dari jarring pada sore hari menjelang malam dan pada pagi hari dapat dilihat hasil tangkapannya. Pada biasanya ikan yang mereka tangkap langsung mereka goreng. Jika jumlah tangkapannya relatif banyak maka sebagian dari ikan itu untuk dijual kepada orang lain, bahkan suku sakai biasanya membarter ikan tangkapan dengan barang yang mereka perlukan84.

Orang Sakai pada masa kini hanya bisa mengerjakan apa yang dikerjakan oleh nenek moyang mereka, yaitu berladang, mengambil hasil hutan dan mencarikan disungai. Hanya saja pekerjaan mereka ini tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup karena hutan sudah dibuat perusahaan yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Guna Usaha, dan sudah habis ditebang untuk memnuhi kebutuhan pabrik kertas85. Selain itu juga habis karena terjadinya penebangan liar.

Seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang

84

Ibid, hal 120 85

(10)

baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani

Ladang sebagai salah satu mata pencaharian orang Sakai yang sudah berkurang terjual kepada Perusahaan di bidang minyak bumi, hal ini terjadi sejak tahun 1950. Perusahaan-perusahaan tersebut memberi kepedulian khusus terhadap orang Sakai antara lain di bidang pendidikan, pelatihan, kebudayaan, pertanian, peribadatan, olah raga , industri kecil, kesehatan/sanitasi, pariwisata, pelestarian lingkungan, pembinaan suku terasing (komunitas adat terpencil), perhubungan dan rekreasi maupun hiburan86. Kepedulian lain yang diberikan oleh pihak perusahaan adalah pemberian bibit ikan dan karet, pengembangan kerajinan, pembangunan gedung sekolah, honor guru-guru yang mengajar di sekolah oemukiman, pembangunan jalan dan jembatan, anak asuh bagi anak yang masih

sekolah dan fasilitas kesehatan87.

Secara tradisional rumah orang Sakai dibangun di ladang, biasanya dibangun di tengah-tengah ladang, yaitu tempat yang agak lebih tinggi dari bagian-bagian lain dari ladang tersebut, tetapi letaknya berdekatan atau tidak terlalu jauh dari mata air atau air mengalir yang ada di ladang tersebut. Rumah Orang Sakai tidak berjendela, mempunyai satu pintu masuk yang hanya ditutup dari dalam dengan menggunakan palang kayu, tanpa engsel atau gerendel pintu. Untuk naik ke rumah dan turun ke

86

Ibid,hal 41-42 87

(11)

tanah dari rumah digunakan sebuah tangga yang terbuat dari kayu gelondongan. Tangga ini dapat dinaik turunkan oleh pemilik rumah baik dimalam hari atau pada sewaktu suami tidak ada dirumah, sehingga tamu laki-laki yang mengetahui bahwa suami tidak ada dirumah pantang masuk ke dalam rumah.

Dari sudut tempat tinggal, dapat dibedakan Sakai Luar dan Sakai Dalam. Sakai Dalam merupakan warga Sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, mata pencaharian mereka tradisional seperti berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan88. Sakai Luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak Melayu dan suku lainnya89. Warga Sakai Luar inilah yang telah maju, yang sebagian besar adalah pemeluk agama Islam. Di antara mereka sudah ada yang menjadi guru dan pegawai negeri lainnya, bahkan juga sudah memasuki perguruan tinggi.

Tokoh atau pemimpin Sakai yang paling menentukan adalah Batin. Batin

memimpin suatu perkampungan yang merupakan pemimpin formal dalam suku yang mengatur dan mengemudikan masyarakat dengan azas adat. Karena itu Batin menjadi pusat kehidupan dan mitos suku. Batin juga merangkap sebagai Bomo. Bomo juga merupakan tokoh yang khas dalam kehidupan masyarakat, sebab Bomo sudah memainkan peranan penting dalam hubungan dengan makhluk gaib, sehingga amat menentukan jalan pikiran masyarakat. Pada Bomo-lah bertumpu alam pikiran

animism sehingga bomo mempunyai peranan yang besar dalam berbagai tradisi yang

88

Hasil wawancara dengan Bapak Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015 89

(12)

bersangkutan dengan alam ataupun makhluk halus90.

Taraf kehidupan orang Sakai sudah mulai meningkat secara bertahap. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia terhadap orang Sakai adalah menjadikan mereka sebagian dari masyarakat Indonesia dengan cara memasyarakatkan dan membebaskan dari keterasingan atau isolasi. Mereka diberi tambahan pendidikan dan pengetahuan keterampilan dalam pertanian.

Menurut kebudayaan orang Sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang digolongkan sebagai anggota keluarganya. Perkawinan antara paman dengan kemanakan juga dilarang kalau si kemanakan tersebut adalah kemanakan menurut garis paralel.

Perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sakai biasanya hanya dilakukan oleh seorang perjaka dengan seorang gadis dan seorang duda dan seorang janda. Dan jarang ditemui adanya poligami, karena ada alasannya yaitu untuk menghindari pembiayaan biaya hidup yang mahal karena menanggung lebih dari satu istri. Dalam kebudayaan Sakai diperbolehkan untuk menikah dengan siapa saja kecuali, dengan anggota keluarganya. Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis. Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis.

90

(13)

Biasanya upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran. Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Adapun bahan

untuk melamar yaitu :

1. Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, seprai, bantal, guling serta kelambu

2. gelang dan cincin yang terbuat dari perak 3. radio atau tape recorder91

Sebagaimana yang lazim berlaku dalam masyarakat manapun, si gadis sudah memberi tahu akan kedatangan utusan dari keluarga si bujang, sehingga pada waktu si utusan atau perempuan tua itu datang orangtua si gadis sebenarnya sudah mengetahui maksud kedatangannya dan sudah menyetujuinya.

Kemudian akan dilaksanakan upacara perkawinan, adapun bahan-bahan untuk melaksanakan upacara perkawinan adalah sebagai berikut :

1) Sebuah mata uang riyal/ jika pada lamaran tidak wajib namun untuk mas kawin ini wajib

2) Baju sepersalinan lengkap;

3) Sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari;

4) Sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak; dan

5) Sejumlah mata uang yang sudah dalam satuan rupiah tergantung kesepakatan92.

91

(14)

Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah batin. Tata Pelaksanaan perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut:

1) Prosesi Lamaran

Lamaran dilakukan oleh seorang batin, perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga. Lalu batin

memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan.

2) Penyerahan Mas Kawin

Penyerahan mas kawin merupakan tahap awal dari upacara dan dilakukan dirumah batin dan tempat dilangsungkannya perkawinan.

3) Upacara Pengesahan Perkawinan

Upacara ini dilakukan di rumah batin setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawinan tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil dari Kantor Urusan Agama setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah dan terdaftar dan diakui pemerintah.

4) Pesta Perkawinan

Setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman93.

92

Ibid

93

(15)

Pada masa sekarang suku Sakai melakukan perkawinan dengan cara pihak laki-laki mendatangi ninik mamak soko pihak perempuan untuk memberitahu niat meminang kemanakannya. Apabila ninik mamak soko menyetujui maksud kedatangan pihak laki-laki maka kemudian pihak laki-laki akan mendatangi rumah pihak perempuan untuk menemui keluarganya. Pihak keluarga perempuan dalam hal ini telah diberitahukan dahulu oleh ninik mamak soko akan tujuan dan maksud kedatangan pihak laki-laki. Setelah mendapat persetujuan dari ninik mamak soko dan orang tua pihak perempuan, maka akan dilakukan pertemuan antara pihak laki-laki, ninik mamak soko pihak perempuan, orang tua perempuan dan Ketua adat serta disaksikan oleh kepala desa dan kerabat kedua belah pihak94. Pertemuan ini bertujuan untuk mempertemukan kedua belah pihak yang ingin melangsungkan perkawinan dengan ketua adat. Dalam pertemuan ini ketua adat akan menanyakan suku dari masing-masing pihak. Adapun perkawinan tidak dapat dilakukan apabila kedua belah pihak masih dalam satu suku yang sama, misalnya suku Sakai Domo dengan Sakai Domo. Apabila kedua belah pihak bukan merupakan suku Sakai yang tidak serumpun maka perkawinan dapat dilakukan95.

Perkawinan di Kecamatan Mandau juga sering dilakukan antar suku, jika terjadi perkawinan berbeda suku, misalnya Suku Sakai dengan Suku lain diluar Sakai seperti Melayu, Jawa, Minang, Batak, atau lain sebagainya, maka adat yang digunakan adalah adat si pihak wanita. Jika si wanita adalah orang Sakai dan si pria

94

Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015 95

(16)

berasal dari Melayu, maka adat dan kebudayaan yang digunakan adalah adat Sakai, dan tidak ada pencampuran kebudayaan diantara keduanya. Begitupun sebaliknya, jika pihak si wanita Suku nya Melayu dan pihak pria lah yang orang asli Sakai, maka si pria mau tidak mau harus mengikuti tradisi dan kebudayaan si wanita. Kemudian pertemuan ini akan diakhiri dengan acara makan bersama.

Masyarakat Sakai menggunakan sistem matrilineal dimana garis keturunan menurut kepada pihak ibu. Jadi jika si perempuan yang berasal dari Sakai, maka pihak laki-laki harus mengikuti ketentuan-ketentuan perkawinan yang ada di Sakai, begitupun sebaliknya. Jika laki-laki yang berasal dari Sakai, maka laki-laki Sakai tersebut harus mengikuti prosesi perkawinan pada suku si perempuan. Dalam hal ini tidak ada pencampuran kebudayaan.

Tujuan dari perkawinan yang dilakukan pada masyarakat Sakai, pada prinsipnya adalah untuk membentuk keluarga dan memperoleh keturunan. Perkawinan bukan hanya menyangkut tentang suami istri, akan tetapi juga kepentingan keluarga pihak suami dan keluarga pihak istri. Khususnya setelah kelahiran anak-anak dari perkawinan ini maka ikatan antara kedua keluarga tersebut menjadi erat.

C. Hukum Waris Adat Pada Masyarakarat Sakai di Kecamatan Mandau

(17)

diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses pengalihannya96.

Istilah waris didalam hukum waris adat diambil dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan hukum waris adat adalah hukum kewarisan yang berlaku dikalangan masyarakat Indonesia yang tidak bersumber pada peraturan. Perumusan tersebut berdasar atas pengertian hukum adat yang dikemukakan Djojodigono, yang menyatakan Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan, sebagai pengecualian hukum waris Islam yang berlaku di suatu daerah di Indonesia meskipun tidak berdasar peraturan, tidak disebut sebagai hukum adat.

Dalam hal ini dapat dilihat dari pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat. Definisi hukum waris adat, menurut pendapat beberapa sarjana dan ahli hukum adalah :

1. Menurut Hilman Hadikusuma

“ Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dan pewaris kepada ahli waris, dengan kata lain hukum

penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya ” 97

2. Menurut Iman Sudiyat :

“Hukum Waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang

bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan

96

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta, 1988, Hal. 161

97

(18)

harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.” 98

3. Menurut Teer Haar menyatakan bahwa:

“…….hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara

bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan

yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.” 99

Hal yang penting dalam masalah warisan adalah bahwa pengertian waris itu memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan unsur mutlak, yakni:

a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan sehingga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan itu berada.

b. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu, kemudian menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris.

c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang

ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu sehingga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada100.

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup dan tidak menjadi “akut” oleh karena orang tua meninggal dunia. Meninggalnya orang tua merupakan peristiwa penting

98

Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 151 99

Teer Haar, Beginselen en Stelsel Van het Adatrecht, JB Groningen Jakarta, 1950, hal 197 100

(19)

bagi proses itu, tetapi tidak mempengaruhi secara radikal proses pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut, dimana proses berjalan terus menerus hingga angkatan baru yang akan mencar dan mentasnya anak-anak. Ini merupakan keluarga baru yang mempunyai dasar kehidupan materiil sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang tuanya sebagai fundamen. Keluarga mempunyai harta benda yang terdiri dari barang asal suami, barang asal istri serta barang-barang suami istri sepanjang perkawinan. Segala barang-barang tersebut merupakan dasar materiil bagi kehidupan dan akan disediakan untuk kehidupan keturunan dari keluarga itu.

Dalam hal sifat kekeluargaan Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku sejak dulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen101. Sistem keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu :

1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan berdasarkan pertalian keturunan melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya dari pihak laki-laki terus ke atas. Patrilineal terdapat di daerah adat orang Batak, orang Bali dan orang Ambon102.

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam

101

Hilman Adikusuma, Hukum Waris Indonesia, Perundang-undangan Hukum Adat, Hindu, dan Islam, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 23

102

(20)

pewarisan (Minangkabau, Enggano dan Timor).

3. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi). suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral103.

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia ini pada prinsipnya terdapat masyarakat yang susunannya berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Pada masyarakat yang menganut garis keturunan bapak-ibu hubungan anak dengan sanak keluarga baik dari pihak bapak maupun pihak ibu sama eratnya dan hubungan hukum terhadap kedua belah pihak berlaku sama. Hal ini berbeda dengan persekutuan yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal) dan garis keturunan ibu (matrilineal), hubungan anak dengan keluarga kedua belah pihak tidak sama deratnya, derajatnya dan pentingnya. Pada masyarakat yang matrilineal, hubungan kekeluargaan dengan pihak ibu jauh lebih erat dan lebih penting, sedangkan pada masyarakat yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak terlihat dekat/erat dan dianggap lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.

Masyarakat suku sakai menerapkan Sistem kewarisan matrilineal yaitu dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah

103

(21)

kedudukan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Sebagian warisan juga diberikan kepada kemanakan perempuan dari saudara perempuan pewaris. Kemudian sistem waris masyarakat Sakai beradaptasi dari peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak yang mengharuskan dilakukannya pembagian warisan menurut garis laki-laki oleh Orang sakai104. Sehingga setelah diberlakukannya peraturan Kerajaan Siak tersebut sistem kewarisan berubah menjadi Parental Matrilineal.

D. Ahli waris dalam Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau

Pengertian ahli waris disini adalah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada asas kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai. Pada masyarakat adat Sakai, apabila si mati yang merupakan kepala keluarga meninggalkan harta warisan, maka harta warisan tersebut diberikan seluruhnya kepada anak perempuan dan kemanakannya105. Kemanakan yang dimaksud adalah anak perempuan dari saudara perempuan si mati. Kemudian sistem waris masyarakat Sakai beradaptasi dari peraturan yang dibuat oleh Kerajaan Siak yang mengharuskan dilakukannya pembagian warisan menurut garis laki-laki oleh Orang sakai106. Ahli waris orang

104

Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 192 105

Ibid

106

(22)

Sakai kemudian berubah menjadi anak laki-laki, anak perempuan dan kemanakan laki-laki dari saudari perempuan si mati. Anak si mati mendapat separuh dari warisan, sedangkan separuh lagi diberikan kepada kemanakan laki-laki dari saudara kandung perempuan107.

Pada masa sekarang, yang menjadi ahli waris Orang Sakai secara adat adalah anak laki-laki, anak perempuan dan kemanakan laki-laki dari saudari perempuan108. Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama untuk harta pencaharian. Sedangkan kemanakan laki-laki dari saudari perempuan kandung mendapat harta pusako yang terdiri dari keris, konjouw dan gelar Batin109. Selain itu Orang Sakai yang tidak menikah maupun yang telah menikah tetapi tidak mempunyai keturunan, maka harta pencaharian akan turun kepada kedua orang tuanya, apabila kedua orang tua tidak ada lagi, maka harta pencaharian akan jatuh kepada saudaranya yang perempuan dan untuk selanjutnya kepada kemanakannya110.

Berbicara tentang sistem kewarisan, tidaklah dapat dilepaskan dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia. Apalagi masyarakat hukum Adat yang ada di Indonesia, memeluk agama yang berbeda-beda, bersuku-suku, kepercayaan yang berbeda-beda, mempunyai bentuk kekeluargaan maupun kekerabatan yang berbeda-beda pula.

107

Ibid hal 193 108

Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015 109

Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015 110

(23)

Sistem kewarisan yang ada dalam masyarakat-masyarakat adat di Indonesia di kenal ada 3 (tiga) jenis:

1. Sistem kewarisan individual adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa.

2. Sistem kewarisan kolektif, cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam bidang hukum di mana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya di antara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagikan pemakainya saja kepada mereka itu (hanya mempunyai hak pakai saja).

3. Sistem kewarisan mayorat, cirinya harta peninggalan diwarisi keseluruhannya atau sebagian anak saja, seperti halnya di Bali di mana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan di Tanah Semendo Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua111.

Masing-masing sistem tersebut tidak mutlak berlaku pada suatu susunan kekerabatan tertentu, tetapi juga bisa berlaku dua atau tiga sistem sekaligus, karena tergantung harta peninggalannya, keadaan ahli waris dan sebagainya.

Sistem kewarisan pada Orang Sakai dahulunya adalah individual kolektif, dimana harta warisan yang diberikan kepada anak si mati dimiliki secara individual sedangkan sebagian harta warisan yang diberikan si mati kepada kemanakannya dikuasai secara bersama-sama, biasanya berupa tanah yang kemudian dikerjakan atau diolah secara bersama-sama, dan nantinya akan dilanjutkan untuk diwarisi kepada keturunan selanjutnya secara kolektif. Akan tetapi dengan masuknya agama Islam, perlahan sistem kolektif mulai memudar, dimana tanah yang tadinya dikuasai secara

111

(24)

kolektif oleh sebagian para ahli waris, beralih menjadi harta warisan yang dapat dibagi secara individual untuk para ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anak pewaris. Hal ini terjadi karena masyarakat Sakai yang sudah banyak menganut agama Islam, dan mengikuti sistem waris Islam yang menganut sistem Individual112. Pecahnya penguasaan harta warisan yang tadinya kolektif menjadi individual tidak terlepas dari adanya kesepakatan para pihak. Sehingga pada masa sekarang, harta

pusako yang masih di kuasai secara mayorat adalah keris, konjouw dan batin113.

Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk pelbagai kepentingan, yaitu perawatan jenazah, hutang-hutang dan penunaian wasiat114. Dilingkungan masyarakat adat yang asas pewarisannya individual, apabila pewaris wafat maka para ahli waris berhak atas bagian warisannya. Disamping itu, ada warisan yang tidak dapat dibagikan penguasaan atau kepemilikannya karena sifat benda, keadaan dan gunanya tidak dapat dibagi dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama yaitu sebagai berikut115 :

1. Harta Asal atau Harta Bawaan

Harta asal atau harta bawaan adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh pewaris sejak pertama masuk kedalam perkawinan dan

112

Hasil wawancara dengan Ramli, Ketua Adat Desa Bumbung, Tanggal 01 Agustus 2015 113

Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani , Tanggal 31 Juli 2015 114

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Gadjah Mada University Press, 2012, hal 25

115

(25)

kemungkinan bertambah sampai akhir hayatnya. Harta bawaan dapat berarti harta bawaan dari suami maupun isteri, karena masing-masing suami dan isteri membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan berdiri sendiri. Harta asal itu terdiri dari :

a. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi

Biasanya berupa benda pusaka peninggalan turun-temurun dari leluhur dan merupakan milik bersama keluarga. Dalam hal ini masyarakat Sakai memiliki harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yang dinamakan dengan harta

pusako, yang berbentuk keris, konjouw, rumah adat dan gelar batin. Harta

pusako ini dinamakan harta pusako tinggi yang hanya bisa digunakan sebagai

hak pakai dan diwariskan oleh kemanakan pewaris, begitu juga setrusnya untuk keturunan berikutnya.

b. Harta peninggalan yang dapat terbagi

(26)

Dalam masyarakat Sakai Harta yang dapat dibagi adalah Harta Pusako rendah berbentuk ladang maupun rumah, harta ini dapat dibagikan kepada ahli waris yaitu keturunan/anak dari pewaris. Harta pusako rendah dapat dibagi sebagai hak milik kepada keturunan/anak pewaris sesuai dengan kesepakatan para ahli waris.

2. Harta Pencaharian

Harta Pencarian adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan berlangsung berupa hasil kerja suami ataupun isteri. Sesuai dengan Hukum adat dan Hukum Islam, pada dasarnya berpindahnya berpindahnya dari tangan yang meninggal dunia terhadap semua ahli waris berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalnya orang yang meninggalkan warisan116.

F. Penyebab Terjadinya Pergeseran Hukum Waris Adat Sakai Menjadi

Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau

Kewarisan dalam Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau, dari hasil wawancara dengan responden yang didapat pada zaman dahulu waris Sakai menganut sistem Matrilineal. Akan tetapi sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat tertentu dalam perkembangannya dapat mengalami perubahan-perubahan. Menurut

Van Dijk dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Adat Indonesia” yang

116

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, PT Asdi Mahasatya, Jakarta, 2000,

(27)

diterjemahkan oleh Mr. A. Soehardi dinyatakan bahwa perubahan hukum adat dapat terjadi karena pengaruh kejadian-kejadian dan keadaan hidup yang silih berganti.

Perubahan peraturan hukum adat tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba, mengingat sifat adat istiadat yang suci dan sudah berlaku sejak dahulu kala. Peraturan hukum adat diterapkan dan diperkenalkan oleh pemangku adat terlebih dahulu pada situasi-situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian tidak akan disadari adanya pergantian. Sifat hukum adat yang tidak tertulis mengakibatkan hukum adat sanggup untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru.

(28)

masyarakat Sakai terdapat pergeseran, yaitu anak laki-laki merupakan salah satu ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.

Faktor keturunan tidak lagi menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam pembagian harta peninggalan sehingga terjadi perubahan struktur orang-orang yang berstatus ahli waris dan bukan ahli waris117. Dalam hal pengalihan harta peninggalan terjadi variasi. Harta tersebut dialihkan kepada ahli waris atau kepada anggota rumah tangga (keluarga) lain yang bukan ahli waris118.

Masyarakat adat suku Sakai telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat tersebut ternyata diikuti pula oleh perkembangan akan kebutuhan hukum. Artinya bahwa dalam masyarakat tersebut telah mengalami pergeseran nilai-nilai sosial khususnya nilai-nilai hukumnya. Dalam hal ini pergeseran tersebut telah terjadi dalam kedudukan Ahli waris dan harta warisan. Sebelumnya laki-laki dianggap berkedudukan di bawah kaum perempuan karena sistem kekerabatan yang bersifat matrilineal, namun dengan berkembangnya pertumbuhan masyarakat laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan sama119.

Situasi dan kondisi saat ini telah berubah dan sangat berbeda. Dalam realita di tengah-tengah masyarakat adat dalam suku ini telah timbul nilai-nilai hukum baru

117

H. R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer : Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2002, hal 199.

118

Ibid

119

(29)

yang selaras dan sejalan dengan kebutuhan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dirasakan tidak adil lagi jika laki-laki berada dibawah

kedudukan wanita sebagai ahli waris120.

Adapun yang menjadi faktor yang mempengaruhi pergeseran Hukum waris adat Sakai menjadi Hukum waris Islam adalah sebagai berikut :

1. Faktor Internal

Secara internal ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran praktik hukum adat dalam pola – pola kehidupan masyarakat bahkan

bisa lebih cepat lagi proses perubahan hukum adat, di antaranya sebagai berikut : a. Faktor Agama

Perkembangan hukum adat terjadi pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau salah satunya disebabkan adanya hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang tidak islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku di lingkungan adat masyarakat121.

120

Hasil wawancara dengan Tasarudin, Kepala Desa Petani, Tanggal 31 Juli 2015 121

(30)

Berdasarkan fakta yang di temukan dengan penelitian ke lapangan, dapat terlihat bahwa Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau cukup taat melaksanakan ibadah. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya rumah ibadah yaitu mesjid dan mushola yang didirikan di Desa Petani, Desa Bumbung maupun Desa Kesumbo Ampai. Adapun Jumlah Rumah ibadah umat Islam di Desa Petani adalah 13 mesjid dan 12 mushola, Desa Kesumbo Ampai 6 mesjid dan 2 mushola, serta Desa Bumbung mempunyai 7 mesjid dan 6 mushola122.

b. Kesadaran Hukum

Konsep kesadaran lazim dianggap titik tolak tumbuh dan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat. Hukum menjadi patokan dalam bertingkah laku, sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum disini diartikan sebagai persepsi hukum dari seorang individu atau masyarakat terhadap hukum. Soerjono Soekanto mengkonsepsikan123.

Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia dan masyarakat tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Penekanannya adalah pada sisi nilai-nilai atau tentang fungsi hukum, dan bukan pada penilaian hukum terhadap kejadian yang konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran hukum merupakan dasar bagi penegakan hukum sebagai proses.

122

Kecamatan Mandau dalam Angka 2014, http://bengkaliskab.bps.go.id , diakses pada tanggal 18 Oktober 2015

123

(31)

Perkembangan hukum adat terjadi, salah satunya disebabkan adanya hukum atau peraturan-peraturan agama. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam dihadapkan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, yang dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Sebagai contoh, hukum kewarisan sudah ada dalam hukum adat sebelum Islam memperkenalkannya. Sehingga pada akhirnya, proses penerimaan hukum kewarisan Islam sebagai sistem hukum berjalan bersama dengan sistem hukum kewarisan adat. Di satu pihak hukum kewarisan Islam menggantikan posisi hukum kewarisan adat yang tidak islamiyah dan di pihak lain hukum kewarisan adat yang tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam mengisi kekosongan hukum kewarisan sesuai budaya hukum yang berlaku d lingkungan adat masyarakat124. Dan lambat laun, hukum kewarisan adat dalam hal tertentu digeser posisinya oleh hukum kewarisan Islam. Dengan demikian, Hukum kewarisan Islam menjadi hukum kewarisan adat dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh hukum kewarisan Islam atau tidak bertentangan dengan hukum kewarisan Islam, maka hukum kewarisan adat itu tetap berlaku.

Dalam hal kesadaran Hukum, masyarakat Sakai mempunyai kesadaran Hukum yang cukup. Salah satu contoh kesadaran Hukum yang dapat terlihat dari masyarakat Sakai yaitu telah melakukan perkawinan melalui Kantor Urusan Agama. Akan tetapi masyarakat Sakai hanya mengetahui Hukum Adat dan

124

(32)

Hukum Islam. Namun untuk Hukum positif, masyarakat Sakai mempunyai tingkat pemahaman yang rendah.

2. Faktor Eksternal

Pergeseran Hukum waris adat mengalami perubahan dari pola pikir yang tadinya dengan karakteristik komunalistik menjadi individualistik. Pada faktor eksternal yang juga mendominasi perubahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat yakni dengan adanya informasi-informasi perkembangan teknologi dalam menyertai pembangunan dewasa ini.

a. Faktor Pendidikan125

Semakin tinggi pendidikan seseorang maka cara berpikirnya pun akan semakin maju dan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan perkembangan di lingkungan sekitarnya. Pendidikan membawa seseorang menjadi lebih kritis dalam menghadapi suatu perubahan yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungan dan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lainnya. Hal ini berpengaruh khususnya dalam waris adat Sakai, yang dulunya anak laki-laki tidak berhak mendapat warisan harta pusaka (sistem matrilineal), Karena berpikir dengan logika, seseorang akan lebih cenderung memilih keadilan dalam hal pembagian harta warisan. Dengan demikian bagian warisan kepada anak laki-laki dan perempuan adalah sama rata.

125

(33)

Adapun pendidikan responden adalah sebagai berikut : Tabel 3

Tingkat Pendidikan Responden

No Tingkat Pendidikan Responden

1 Tidak Sekolah -

2 SD 2

3 SMP 6

4 SMA 3

5 Universitas 2

Jumlah 15

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup memadai, sehingga cukup responsif tingkat pemahamannya tentang sistem waris Islam. Hal ini terlihat dari pelaksanaan pembagian yang waris yang sudah mulai mengikuti Hukum waris Islam, walaupun dalam pelaksanaanya Hukum waris Islam belum diterapkan secara menyeluruh dan sempurna.

b. Faktor Perantauan/Migrasi

(34)

c. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi pada setiap individu sangat mempengaruhi terhadap kehidupan di dalam keluarganya. Biaya hidup semakin tinggi dan biaya pendidikan semakin mahal, tetapi juga tidak boleh lupa bahwa persoalan biaya hidup setelah suami/atau ayah meninggal dunia merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin masa depan anak-anaknya yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan adat Sakai yang dipengaruhi oleh sistem matrilineal dan juga apabila dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya hidup kepada keluarga, sehingga tidaklah adil apabila laki-laki sebagai tulang punggung keluarganya bukan merupakan ahli waris126. d. Faktor Sosial

Faktor sosial di dalam masyarakat Sakai dalam hal perkawinan tidak selamanya dilakukan perkawinan satu suku Sakai. Perkawinan yang terjadi di kecamatan Mandau salah satunya di Desa Petani sudah banyak terjadi perkawinan antar suku lain. Hal ini menyebabkan waris adat Sakai perlahan mulai luntur, dan mulai berbaur dengan adat lainnya.

126

(35)

Tabel 4

Perkawinan antar Suku yang dilakukan oleh responden

No Perkawinan antar Suku Responden

n = 15

1 Sakai dengan Sakai 5

2 Sakai dengan Melayu 9

3 Sakai dengan Jawa 1

Jumlah 15

Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa lebih banyak responden yang telah melakukan perkawinan antar suku. Hal inilah yang membuat waris adat Sakai perlahan mulai luntur dan tidak lagi menggunakan sistem waris adat Sakai secara murni. Untuk responden yang melakukan pernikahan antara Sakai dengan Sakai menggunakan sistem waris Islam dalam pelaksanaan pembagian warisan dan cenderung membagi warisan secara merata antara anak laki-laki dan anak perempuan. Responden lainnya yang melakukan pernikahan antara Sakai dengan Melayu maupun Sakai dengan Jawa juga menggunakan sistem waris Islam dalam pelaksanaan pembagian warisannya dengan pembagian waris yang cenderung mengikuti sistem waris Islam yaitu dua bagian untuk anak laki-laki dan satu bagian untuk anak perempuan.

(36)

termasuk dalam hal pembagian warisan127. Selain faktor agama masyarakat Sakai menganggap faktor yang mendukung pergeseran tersebut adalah faktor pendidikan, dimana Pendidikan membawa seseorang menjadi lebih kritis dalam menghadapi suatu perubahan yang akan bermanfaat bagi dirinya, lingkungan dan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lainnya.

127

Gambar

Tabel 3
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan pada kelas IV SD 1 Jepang Pakis menggunakan model pembelajaran make a match berbantu permainan ular tangga

Penentuan Kebijakan Persediaan dalam Cost Reduction Mrenggunakan Model Economic Order Quantity (EOQ) Backorder dengan Shortage.. Sari, Indah

Studi pendahuluan yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Unit II Yogyakarta berdasarkan wawancara didapatkan hasil 6 dari 10 responden mengaku tidak puas dengan

Untuk mengetahui kualitas pelayanan listrik yang tersedia di Lampung, perlu dihitung tingkat keandalaan pembangkit dengan menggunakan beberapa indeks keandalan diantaranya

Pada feminisme eksistensialis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan

Oleh karena itu, pelaksanaan kampanye berbasis Al- Qur‟an dan Sunnah perlu diatur agar sesuai dengan Etika Islam, dan tidak.. menyimpang dari garis-garis yang di

Based on the description above can be understood, Pracimayasa building as a residence of the Mangkunegaran Palace family is in the space configuration in Pura

1.6.3 Berbicara untuk menyampaikan maklumat dengan tepat tentang sesuatu perkara dengan menggunakan ayat yang mengandungi frasa yang sesuai secara bertatasusila.